Você está na página 1de 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak
masyarakat Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan tersebut
berjalan secara lambat. Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan cara kerja
yang lebih sederhana. Seiring berjalannya waktu, lama kelamaan pertanian
berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani mengolah hasil
pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak. Dengan demikian pembangunan
pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Dalam proses pembangunan
pertanian tersebut, bantuan para ahli di bidang pertanian dan pemerintah sangat
dibutuhkan untuk mendukung dan memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para
petani untuk memberi metode baru kepada para petani dan mengubah cara berpikir
mereka menjadi lebih kompleks sehingga mampu untuk meningkatkan produksi
pertanian dalam negri ini.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengupas tentang
pembangunan pertanian yang telah bergulir beberapa era di Indonesia, untuk mencari
tahu apa saja pembangunan pertanian yang terjadi di negri ini sejak Indonesi mulai
meneguk kebebasan dari kemerdekaan hingga Indonesia mulai mencoba untuk
bangkit membangun kemajuan negri ini di era reformasi saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan-Kebijakan Pertanian pada masa Penjajahan
A. Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat
perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)
dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup
defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa
tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen
utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila).
Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima
luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya.
Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak
tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa
tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai

tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di
Jawa.Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga
kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di
pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena
antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya
hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30
persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72%
penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda.
Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai
kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami
surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij
(NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.Akibat tanam paksa ini,
produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843,
muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa
Tengah, tahun 1850.
Ketentuan-ketentuan pokok dari sistem tanam paksa tertea dalam Staatsblad
(Lembaran Negara) tahun 1834, no.22. Jadi beberapa tahun setelah sistem tanam
paksa mulai dijalankan di pulau Jawa,bernunyi sebagai berikut : Persetujuan akan
diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk
penanaman tanaman dagangannya yang dapat dijual dipasaran Eropa Bagian dari
tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi
seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa. Pekerjaan yang
diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang
diperlukan untuk menanam padi. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam
tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah Tanaman dagangan yang
dihasilkan ditanah yang disediakan ,wajib diserahkan kepada pemerintahan
Hindia Belanda Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada
pemerintah,sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak dissebabkan oleh kurang rajin
atau ketekunan dari pihak rakyat. Penduduk desa mengerjakan tanah mereka dibawah
pengawasan kepala-kepala mereka,sedangkan pegawai Eropa hanya membatasi diri
pada pengawasan apakah membajak tanah ,panen ,dan pengangkutan tanaman
berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
2.2 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Lama
Di era orde lama, yakni ketika pemerintahan yang sah baru saja dibentuk dan
bangsa Indonesia masih mengalami problem belajar berdemokrasi, Pertanian di masa
itu praktis mengalami masa sulit seiring dengan ketidakstabilan situasi politik yang
masih euforia pasca 350 tahun masa kolonialis dengan sistem tanam paksa dan 3,5
tahun kerja rodi.
Di era serba terjepit, para pemimpin negeri ini berkali-kali mencoba mengembangkan
formula untuk menyelamatkan pertanian. Program yang dibuat antara lain:
A. Rencana Kasimo (Kasimo Plan)
Program ini disusun oleh Menteri Urusan Bahan Makanan I.J.Kasimo. Program ini

berupa Rencana Produksi Tiga tahun (1948-1950) mengenai usaha swasembada


pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Inti dari Kasimo Plan
adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat dengan menigkatkan produksi bahan
pangan. Rencana Kasimo ini adalah :
Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277 HA
Melakukan intensifikasi di Jawa dengan menanam bibit unggul
Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi produksi
pangan.
Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit
Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera dalam
jangka waktu 10-15 tahun
B. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara
dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan;
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Sayangnya pemerintahan Orde Lama tidak berlangsung lama, kebijakan distribusi
tanah secara adil menurut UU Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan landreform
kandas di jaman Orde Baru. Maka, Agrarische Wet yang menjadi dasar bagi Hak
Guna Usaha (HGU) para pemodal dan partikelir untuk memeras tanah dan petani
kecil terus berlangsung.
2.3 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Baru
A. Revolusi Hijau
Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru dikenal dengan sebutan
Revolusi Hijau. Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara
tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu
revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih
unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan
tingginya hasil panen komoditas tersebut.
Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi
petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna
memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin
berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan
peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
Latar belakang munculnya revolusi Hijau adalah karena munculnya masalah
kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat
pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. Sehingga dilakukan

pengontrolan jumlah kelahiran dan meningkatkan usaha pencarian dan penelitian


binit unggul dalam bidang Pertanian. Upaya ini terjadi didasarkan pada penelitian
yang dilakukan oleh Thomas Robert Malthus.
Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menggalakan revolusi hijau
ditempuh dengan cara:
1. Intensifikasi Pertanian
Intensifikasi Pertanian di Indonesia dikenal dengan nama Panca Usaha Tani yang
meliputi :
Pemilihan Bibit Unggul
Pengolahan Tanah yang baik
Pemupukan
Irigasi
Pemberantasan Hama
2. Ekstensifikasi Pertanian
Ekstensifikasi pertanian, yaitu Memperluas lahan tanah yang dapat ditanami dengan
pembukaan lahan-lahan baru (misal mengubah lahan tandus menjadi lahan yang
dapat
ditanami, membuka hutan, dsb).
3. Diversifikasi Pertanian
Usaha penganekaragaman jenis tanaman pada suatu lahan pertanian melalui sistem
tumpang sari. Usaha ini menguntungkan karena dapat mencegah kegagalan panen
pokok, memperluas sumber devisa, mencegah penurunan pendapatan para petani.
4. Rehabilitasi Pertanian
Merupakan usaha pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis, yang
membahayakan kondisi lingkungan, serta daerah rawan dengan maksud untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah tersebut. Usaha pertanian tersebut
akan menghasilkan bahan makanan dan sekaligus sebagai stabilisator lingkungan.
Pelaksanaan Penerapan Revolusi Hijau:
Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada petani.
Kegiatan pemasaran hasil produksi pertanian berjalan lancar sering perkembangan
teknologi dan komunikasi.
Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi atau yang dikenal dengan monokultur,
yaitu menanami lahan dengan satu jenis tumbuhan saja.
Pengembangan teknik kultur jaringan untuk memperoleh bibit unggul yang
diharapkan yang tahan terhadap serangan penyakit dan hanya cocok ditanam di lahan
tertentu.
Petani menggunakan bibit padi hasil pengembagan Institut Penelitian Padi
Internasional (IRRI=International Rice Research Institute) yang bekerjasama dengan
pemerintah, bibit padi unggul tersebut lebih dikenal dengan bibit IR.
Pola pertanian berubah dari pola subsistensi menjadi pola kapital dan
komersialisasi.
Negara membuka investasi melalui pembangunan irigasi modern dan pembagunan
industri pupuk nasional.

Pemerintah mendirikan koperasi-koperasi yang dikenal dengan KUD (Koperasi


Unit Desa).
B. Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun)
dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima
Tahun). Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.
Pelita I (1 April 1969 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian.
Keberhasilan dalam Pelita I yaitu:
Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4% setahun.
Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil.
Perbaikan jalan raya.
Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik.
Semakin majunya sektor pendidikan.
Pelita II (1 April 1974 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan,
sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja .
Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7%
setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna
produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.
Pelita III (1 April 1979 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan. Asas-asas pemerataan di
tuangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan
pembagian kerja, kesempatasn kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan
sandang, pangan, dan perumahan,dll
Pelita IV(1 April 1984 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu
sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain.
Swasembada Pangan
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya
Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari
FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan
prestasi besar bagi Indonesia.
Pelita V (1 April 1989 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk
memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya

serta menghasilkan barang ekspor.


Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi.
Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta
pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
2.4 Kebijakan-Kebijakan Pertanian Pada Masa Orde Reformasi
Pada era reformasi, paradigma pembangunan pertanian meletakkan petani
sebagai subyek, bukan semata-mata sebagai peserta dalam mencapai tujuan nasional.
Karena itu pengembangan kapasitas masyarakat guna mempercepat upaya
memberdayakan ekonomi petani, merupakan inti dari upaya pembangunan
pertanian/pedesaan. Upaya tersebut dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat
pertanian menjadi mandiri dan mampu memperbaiki kehidupannya sendiri. Peran
Pemerintah adalah sebagai stimulator dan fasilitator, sehingga kegiatan sosial
ekonomi masyarakat petani dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan pada paradigma tersebut maka visi pertanian memasuki abad 21 adalah
pertanian modern, tangguh dan efisien. Untuk mewujudkan visi pertanian tersebut,
misi pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani menuju suatu masyarakat
tani yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan. Hal ini akan dapat dicapai melalui
pembangunan pertanian dengan strategi
Optimasi pemanfaatan sumber daya domestik (lahan, air, plasma nutfah, tenaga
kerja, modal dan teknologi)
Perluasan spektrum pembangunan pertanian melalui diversifikasi teknologi,
sumber daya, produksi dan konsumsi
Penerapan rekayasa teknologi pertanian spesifik lokasi secara dinamis, dan
Peningkatan efisiensi sistem agribisnis untuk meningkatkan produksi pertanian
dengan kandungan IPTEK dan berdaya saing tinggi, sehingga memberikan
peningkatan kesejahteraan bagi petani dan masyarakat secara berimbang.
Salah satu langkah operasional strategis yang dilakukan dalam rangka mencapai
sasaran tersebut di atas adalah Gerakan Mandiri (Gema) yang merupakan konsep
langkah-langkah operasional pembangunan pertanian, dengan sasaran untuk
meningkatkan keberdayaan dan kemandirian petani dalam melaksanakan usaha
taninya. Mulai TA 1998/1999 telah diluncurkan berbagai Gema Mandiri termasuk
Gema Hortina untuk peningkatan produksi hortikultura.
Gerakan Mandiri Hortikultura Tropika Nusantara menuju ketahanan hortikultura
(Gema Hortina), dilaksanakan untuk mendorong laju peningkatan produksi
hortikultura. Melalui gerakan ini komoditas hortikultura yang dikembangkan adalah
sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat unggulan.
Komoditas yang diutamakan adalah yang bernilai ekonomi tinggi, mempunyai
peluang pasar besar dan mempunyai potensi produksi tinggi serta mempunyai
peluang pengembangan teknologi. Adapun upaya yang dilaksanakan untuk

mendorong tumbuh dan berkembangnya hortikultura unggulan tersebut meliputi


penumbuhan sentra agribisnis hortikultura dan pemantapan sentra hortikultura yang
sudah ada.
Komoditas unggulan yang mendapat prioritas adalah :
Sayuran : kentang, cabe merah, kubis, bawang merah, tomat dan jamur
Buah-buahan : pisang, mangga, jeruk, nenas dan manggis
Tanaman hias : anggrek
Tanaman obat : jahe dan kunyit.
Pada tahun 2000 pemerintah mengurangi dan menghapus bea masuk import beras
yang berdampak pada masuknya beras Vietnam, Thailand, Philipine, dan Cina. Sejak
itu pula, perjuangan petani Indonesia makin berada pada posisi yang sangat lemah
dengan tingkat kesejahteraan/nilai tukar petani yang sangat lemah.
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pertanian dari Masa ke Masa
Sistem pertanian dari masa ke masa yang dibangun oleh berbagai generasi tentunya
akan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat, tetapi begitupun tentunya juga
memiliki kekurangan yang timbul akibat kebijakan-kenijakan tersebut. Berikut akan
dibahas beberapa hal yang menjadi kelebihan maupun kekurangan pembangunan
sistem pertanian pada masa Orde Baru dan Masa Reformasi.
1. Kelebihan
a. Orde Baru
Terciptanya kestabilan ekonomi Indonesia dengan adanya PELITA
Berkembangnya kemampuan petani dalam hal pengolahan lahan maupun produksi
bahan pangan menjadi lebih modern
Terjadinya peningkatan produksi hasil pertanian yang menjadikan Indonesia
berhasil bangkit dari masalah kebutuhan pangan dengan menciptakan swasembada
pangan
Terciptanya kualitas sumber daya manusia yang lebih kompeten dan
menghasilkan
b. Reformasi
Pada program yang dijalankan pemerintah tentng program SRI dapat dilihat beberapa
kelebihan di antaranya:
SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit
Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat
Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak
akan memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan
memperbaiki kondisi tanah
Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional
akan memperbaiki efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi
perluasan areal irigasi
Pada kebijakan tentang Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi dapat dilihat

beberapa kelebihan di antaranya:


Meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya
mewujudkan ketahanan pangan yang solid
Semua pihak memiliki dan berkewajiban mengelola dan memelihara jaringan
irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya
Proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak
untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi,
akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan
2. Kekurangan
a.
Orde Baru
Timbulnya kesulitan untuk mengatasi dampak dari kemajuan pengolahan tanaman
yang lebih modern
Petani menjadi tertinggal kerena kurangnya penyuluhan pertaniankepada para
petani
Terjadi keterbelakangan subsektor selain pangan dikarenakan pemerintah lebih
mengutamakan kemajuan dalam produksi tanaman pangan
b.

Reformasi
Petani belum siap dengan beberapa kebijkan dari pemerintah yang dianggap terlalu
sulit dan merepotkan
Dalam permasalahan irigai petani menjadi kebingungan akibat tidak memahami
penduan yang tidak pasti dalam sistem pembagian air
3. Solusi
Permasalahan yang timbul pada sistem pembangunan pertanian tersebut
sebenarnya menjadi pemicu bagi para ahli di bidang pertanian untuk memecahkan
bagaimana mencari solusi dari masalah tersebut.
Beberapa masalah yang tecipta dari masa Orde Baru maupun Reformasi sebenarnya
memerlukan pemecahan yang cukup sederhana dan dapat dipahami dengan mudah
oleh para petani agar dapat melakukan prodes produksi bahan pangan maupun hasi
hortikultura yang dapat meningkatkan kemajun pertanian Indonesia.
Permasalahan tentang lahan irigasi yang ingin memperluas areal untuk
meningkatkan produksi padi sawah sebenarnya telah terjawab dengan hadirnya padi
SRI yang mampu menghasilkan padi lebih banyak namun dengan konsumsi air yang
sedikit. Hanya saja dalam penanaman padi SRI ini juga mengalami hambatan dengan
kurangnya buruh tani yang bekerja untuk mengembangkan sistem padi ini
diakibatkan para petani yang sebagian besar memiliki pekerjaan lain dan menjadikan
kegiatan pertanian menjadi pekerjaan sampingan. Seharusnya pengembangan padi
SRI menjadi solusi tepat bagi sulitnya membuka areal irigasi bagi petani, hanya saja
hal itu harus sejalan dengan kegiatan petani yang lebih fokus pada produktifitas
tanaman-tanaman pangan.

Sedangkan permasalahan penggunaan air lahan irigasi yang membingungkan


petani akibat ketidakjelasan panduan penggunaan dan pembagian air seharusnya
menjadi perhatian yang lebih bagi penyuluh pertanian sehingga lebih meningkatkan
penyuluhan untuk menambah pengetahuan para petani yang tidak hanya terfokus
tentang penggunaan air lahan irigasi, tetapi juga pada masalah pembibitan,
pembasmian hama, maupun pada pemberian pupuk dengan dosis yang tepat bagi
tanaman.
Pada kebijakan pemerintah tentang PELITA dan Revolusi Hijau yang bertujuan
meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatkan produktifitas tanaman pangan
menuju swasembda pangan mengakibatkan permasalahan pada keterbelakangan
produktifitas subsektor tanaman selain tanaman pangan seperti hortikultura.
Seharusnya peningkatan produktifitas dari tanman pangan juga diimbangi dengan
peningkatan produktifitas tanaman lainnya seperti tanaman hortikultura.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk
terus memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti
tanamn pangan, tanaman hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk
meningkatkan ketahanan pangan bagi bangsanya yang terus meningkan. Selain itu
juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara.
Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian
dengan melakukan beberapa kebijakan seperti PELITA dan Revolusi Hijau untuk
meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatana produktifitas
tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia swasembada pangan.
Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang
menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani
untuk memberikan hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan
areal irigasi maupun penemuan bibit-bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik
dari sektor pertanian.
20 Apr 2015 Perdagangan yang Adil ulil
Swasembada Pangan di Era SBY
Jika swasembada pangan tercapai, artinya tidak ada lagi impor. Swasembada pangan
bukanlah hal yang baru. Kita dapat belajar pada pemerintahan sebelumnya di masa
Presiden SBY yang telah menjadikan pangan sebagai prioritas isu melalui
swasembada 5 komoditas pangan strategis yaitu beras, kedelai, jagung, gula, dan
daging sapi.

Importasi pangan menjadi menarik untuk diperhatikan sebagai pisau analisis


swasembada pangan. Pada era awal kepemimpinan SBY tahun 2003, laju impor
pangan di Indonesia sebesar 3,34 Milyar USD dan di akhir-akhir masa
pemerintahannya di tahun 2013 laju impor pangan menjadi 14,9 Milyar USD.
Peningkatan laju impor pangan Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun pemerintahan
sebelumnya meningkat sebesar 346%. Ini merupakan angka yang sangat signifikan
dan cukup ironis mengingat target swasembada yang dicanangkan sejak awal
pemerintahan tidak berakhir manis dengan angka merah peningkatan laju impor
pangan yang sangat besar.
Menjadi pertanyaan kemudian mengapa laju impor pangan ini menanjak signifikan.
Anggaran pertanian tentu menjadi sorotannya. Tetapi jika melihat data anggaran
pertanian tahun 2004 sebesar 10,1 Triliun menjadi 71,9 Triliun pada 2013, menjadi
tidak masuk aneh jika anggaran pertanian dipermasalahkan. Dapat dibayangkan
bahwa dalam kurun 2 periode pemerintahan anggaran pertanian terus meningkat
hingga 611% tetapi laju impor pangan meningkat 346%. Idealnya, investasi
pemerintah melalui peningkatan anggaran pertanian harus diiringi dengan penurunan
laju impor pangan sebab investasi tersebut dimaksudkan untuk mencapai target
swasembada pangan. Jika swasembada pangan tercapai tentu tidak ada lagi impor
pangan. Realitanya ternyata berbeda, investasi semakin besar, laju impor pun semakin
besar. Sungguh ironis.
Subsidi pupuk diketahui menjadi penyumbang besar dalam alokasi anggaran
pertanian sebelumnya, sekitar lebih dari 20 Triliun. Tidak mengherankan dalam kurun
waktu tahun 2000-2009 terjadi peningkatan penggunaan pupuk yang besar di
Indonesia antara UREA 80,8%, TSP 302%, ZA 371%, dan NPK 82,20%. Penggunaan
pupuk kimia yang sangat tinggi di Indonesia adalah masalah besar bagi kondisi
agroekologi. Dalam ilmu budidaya tanaman, semakin tinggi penggunaan bahan
sisntetis dalam pertanian, semakin merusak struktur tanah. Syarat optimalisasi
pertanian adalah penyehatan agroekologi, sementara kenyataanya saat ini di
Indonesia menurut KSKP IPB, agroekologi kita semakin tidak sehat.
Aspek distribusi dalam kebijakan pangan adalah hal yang perlu dicermati. Dalam
perdagangan pangan, Indonesia tidak dapat lepas dari sistem perdagangan pangan
global sebab untuk memenuhi kebutuhan pangan dan cadangan pangan dalam negeri
kita masih belum terlepas dari ketergantungan impor pangan strategis. Hal ini tentu
berkaitan dengan kondisi sistem distribusi pangan dalam level nasional. Yang menjadi
masalah adalah tentang fluktuasi harga yang seringkali terjadi dan merugikan petani
serta hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Pihak yang dimaksud mengnabil
keuntungan adalah mafia-mafia pangan yang sering bermain dalam perdagangan
pangan strategis seperti beras, kedelai, bawang merah, dan lain sebagainya.
Seperti kasus peningkatan harga beras yang baru-baru ini terjadi, kelangkaan pasokan
menjadi alasan. Kelangkaan pasokan tersebut memaksa pemerintah untuk melakukan
impor pangan untuk memenuhi cadangan pangan nasional. Operasi pasar kemudian

diambil pemerintah sebagai langkah menstabilkan harga, namun kebijakan tersebut


tidak berdampak signifikan atas pemulihan harga beras di pasar. Selanjutnya
muncullah Inpres No. 5 tahun 2015 tentang peningkatan HPP Gabah kering giling
dan Gabah kering panen. Inpres inipun dianggap tidak berpengaruh signifikan sebab
masih dianggap belum menjadi harapan petani di sejumlah daerah dan cadangan
pangan pemerintah tetap masih terancam belum mencukupi sehingga impor beras
tetap akan dilakukan. Seperti disebutkan di awal, peningkatan HPP kemudian
menguntungkan siapa?
Mendorong dikeluarkannya Inpres peningkatan HPP di tingkat penggilingan dinilai
merupakan cara halus mafia pangan untuk memperoleh keuntungan dalam bisnis
perberasan dalam negeri permainan pasokan menjadi mainstream dilakukan untuk
menciptakan kelangkaan. Masuk diakal jika menilik realita distribusi pangan dalam
hal ini distribusi beras yang dilakukan pemerintah melalui Bulog.
Mencapai target swasembada pangan, Bulog kuncinya. Pengukuran data distribusi
beras tentu mengacu pasokan yang Bulog miliki. Cadangan beras nasional dihitung
berdasarkan stok di gudang Bulog. Namun kelemahan Bulog, tidak bisa
menggudangkan semua beras hasil produksi petani. Jika Produksi Gabah Kering
Panen (GKP) sebesar 71 juta ton, bukan berarti angka tersebut adalah cadangan
pangan nasional, itu merupakan angka produksi total. Itu tidak bisa direlasikan
dengan cadangan pangan pemerintah. Bulog hanya memiliki kemampuan menyerap
lebih kurang 10% dari produksi beras total, sekitar 7,1 Juta ton GKP. Jadi, kecil
kemampuan Bulog untuk menyerap hasil petani untuk menyediakan cadangan pangan
Indonesia. Mekanisme perolehan anggaran Bulog untuk menyerap petani pun melalui
mekanisme persetujuan DPR.
Masalah lain di level bawah adalah Bulog tidak mampu bersaing untuk membeli
beras langsung dari petani, sebab meskipun ada peningkatan HPP 10% melalui Inpres
No. 5 Tahun 2015, petani masih lebih memilih menjual gabahnya ke distributor lain
yang harga pembeliannya telah lebih tinggi daripada HPP. Hal ini menjadi dilematis
karena Bulog terikat aturan tidak membeli gabah petani di atas HPP yang telah
ditentukan.
KRKP menjelaskan bahwa logika sederhana swasembada pangan terkait pada Bulog,
angka konsumsi, dan angka impor. Bulog yang memiliki peran sentral sebab data
patokan pemerintah untuk mengetahui angka cadangan pangan dan kebutuhan
produksi ada pada Bulog. Sementara untuk mendukung pencapain indikator
swasembada pangan adalah pada angka konsumsi.
Sederhana. Untuk mencapai swasembada pangan, maka angka konsumsi diturunkan.
Saat ini rilis data terbaru angka konsumsi pangan (beras) Indonesia telah mengalami
penurunan yang signifikan dari 139 Kg/kapita/tahun menjadi 113 Kg/kapita/tahun
yang telah diumumkan oleh Wakil Presiden RI beberapa waktu yang lalu. Dan yang

terakhir menjadi patokan indikator swasembada pangan adalah angka impor.


Logikanya, hitung-hitungan data produksi dan angka konsumsi yang menurun saat ini
yang dipakai pemerintah, seharusnya Indonesia tidak perlu melakukan impor pangan.
Namun sistem distribusi pangan yang membuka keran impor untuk pemenuhan
cadangan pangan nasional tidak selaras dengan logika data yang digunakan
pemerintah. Artinya ada yang perlu ditinjau kembali.
Banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan pemerintah untuk mengevaluasi
kembali target swasembada pangan yang hendak dicapai baik dari aspek produksi,
distribusi dan konsumsi. Dari logika anggaran dan importasi hingga teknis dan
hitung-hitungan pendistribusian pangan hingga ke level bawah. Perbaikan sistem
pangan dari segala lini penting untuk dilakukan agar target swasembada pangan
menjadi realistis untuk dilakukan pada pemerintahan ini kedepannya.

image source: tiwilestari.blogspot.com

Kebijakan Pangan Pada Sektor Pertanian


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan doktor lulusan Institut
Pertanian Bogor. Dia menulis disertasi bertajuk 'Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan sebagai upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis
Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal'.
Pada awal pemerintahannya di tahun 2004 lalu, SBY sebenarnya sudah
menyusun sebuah Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) selama 20 tahun ke
depan. Dalam rencana pembangunan yang merupakan pengganti GBHN di era Orde
Baru itu, SBY sebenarnya sudah dengan jitu bisa memetakan berbagai masalah yang
akan dihadapi Indonesia ke depan. Dalam rancangan itu sudah disebutkan, Indonesia
akan menghadapi masalah seperti krisis air, krisis energi dan krisis pangan.
Pemerintahan SBY sendiri dalam RPJP sudah menyebutkan berbagai ancaman
krisis itu harus diantisipasi sejak dini. Khusus soal pangan, dalam rancangan itu juga
disebutkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh sektor pertanian.
Pembenahan sektor pertanian, termasuk mendorong pasokan bahan pangan
dari dalam negeri dinilai SBY akan menyejahterakan masyarakat. Sebab, seperti
ditulis presiden dalam salah satu bab disertasinya, "semakin tinggi upah di
pertanian semakin berkurang kemiskinan di pedesaan".
Menurut Koordinator Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Tejo Wahyu Jatmiko
dimulai ketika SBY menyusun 11 prioritas pembangunan nasional. Dalam daftar ini
yang menjadi prioritas utama adalah reformasi birokrasi dan tata kelola disusul
pendidikan dan penanggulangan kemiskinan. Sementara ketahanan pangan termasuk
masalah pertanian di dalamnya ditaruh pada posisi nomor lima. Akibatnya

perhatian pemerintah terhadap pertanian sangat kecil, kata Tejo kepada


Gresnews.com, Selasa (29/4).
Karena bukan merupakan prioritas pertama, maka eksekutif dan legislatif
hanya bisa memberikan budget sekitar 6-7% dari total APBN. Ini sangat jauh dari
saran lembaga pangan dunia FAO yang menyatakan negara hendaknya menyisihkan
20 persen anggaran untuk memenuhi hak atas pangan rakyatnya di tengah situasi
pangan yang bergejolak. Prioritas yang rendah ini juga mengakibatkan lemahnya
implementasi kebijakan pangan di lapangan, kata Tejo.
Karena hal tersebut diatas, untuk itu Bapak Presiden SBY melakukan
beberapa kebijakan pangan khususnya sektor pertanian yang akan kita bahas
kali ini. Dari banyaknya kebijakan yang telah dilakukan, saya hanya akan
membahas 2 kebijakan yang menurut saya tidak perlu untuk dilakukan.
Berikut pembahasannya:
A.

Kebijakan dengan Menaikan Impor Pangan


Terlepas dari karya tulis yang dihasilkan presiden pada 2004 lalu itu, menurut
data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat realisasi
kebijakan selama hampir 10 tahun SBY menjabat presiden, tak sesuai disertasinya.
Dua kali periode di kursi RI 1, pembukaan keran impor, justru menjadi pilihannya
buat menurunkan harga pangan.
Alasannya, cadangan bahan pangan utama nasional seperti beras, jagung,
kedelai, gula, daging sapi, cabai dan bawang merah tidak mencukupi kebutuhan
sehingga memicu lonjakan harga. Hal itu nampak dari data yang dihimpun Bappenas
terhadap tujuh jenis bahan pangan utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Menurut data yang dikutip merdeka.com dari laporan Pencapaian Kinerja
Pembangunan Periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan KIB II terbitan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) catatan importasi bahan pangan
utama sepanjang KIB II meningkat cukup besar dibanding dengan KIB I.
Impor pangan Indonesia sejak tahun 2009-2012 cenderung meningkat. Angka
tertinggi dicapai pada tahun 2011 dengan volume mencapai 22,9 juta ton dan nilai
impor mencapai US$20,58 miliar. Hal ini jelas menunjukkan pemerintah tidak
berpihak pada produsen pangan skala kecil sebagai tulang punggung ketahanan
pangan nasional.
Untuk itu karena mayoritas orang Indonesia mengkonsumsi nasi/beras sebagai
bahan makanan pokok, maka saya akan membahas tentang kebijakan para petani di
negeri ini.
Hasil survei Petani Center NGos tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat
pendapatan petani Indonesia yang memiliki luas sawah 0,5 hektare kalah
dibandingkan dengan upah bulanan buruh industri di kota besar. Para petani yang
memiliki tanah/sawah 0,5 hektare untuk sekali musim tanam memerlukan biaya
produksi sebanyak Rp 2,5 juta, termasuk biaya sarana produksi, upah pekerja,
pemeliharaan, dan lain-lain.
Sementara itu, hasil dari produksi beras/padi sawah seluas 0,5 hektare yang
dijual, setelah sebagian dijadikan stok logistik rumah tangga, hanya menghasilkan Rp
3,5 juta hingga Rp 4 juta. Jadi, keuntungan bersih hanya Rp 1 juta sampai Rp 2 juta,

yang jika dibagi tiga bulan maka rata-ratanya hanya mendapatkan laba Rp 700.000
per bulan. Jika impor beras dilakukan dan harga beras petani semakin anjlok, dapat
dibayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan oleh para petani negeri ini.
B.

Kebijakan Peluncuran Perpes 39/2014


Di tengah kebutuhan mendesak akan kemandirian dan konsolidasi modal
dalam negeri yang melibatkan tenaga dan modal produktif rakyat petani sesuai
amanat Pembukaan UUD 1945, rezim SBY justru melahirkan kebijakan liberalisasi
sektor pertanian. Pada 23 April 2014 lalu, Perpres 39/2014 tentang Daftar Bidang
Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal diberlakukan. Pepres tersebut semakin meyakinkan
penyimpangan ke arah liberalisasi penuh sistem ekonomi Indonesia.
Diakhir periode kekuasaan, SBY justru meninggalkan kebijakan yang akan
semakin menyingkirkan petani dan pertanian dari tangan rakyat. Sektor Pertanian
dalam Perpres tersebut dijadikan salah satu bidang usaha yang diliberalisasi dengan
kepemilikan modal asing 30-95% (daftar terlampir). Perpres tersebut lahir dari
pelakasnaan UU No 25/2007 Tentang Penanaman Modal yang sangat liberal.
Kebijakan tersebut berdampak pada tersingkirnya tenaga produktif pertanian, baik
dalam bentuk tenaga produksi tani dan modal.
Dibukanya investasi pertanian pangan, industri bibit hingga GMO kepada
investor asing, semakin menandakan bahwa rencana pembangunan pertanian nasional
kita bukan mentransformasikan petani menjadi pemilik dan pelaku usaha
modern yang disupport pemerintah melalui tanah, modal dan teknologi dalam skema
reforma agraria.
Dibukanya investasi ini akan semakin membawa perubahan aktor pertanian
pangan ke arah penguasaan korporasi, ini melanjutkan trend yg telah terjadi, dimana
jumlah petani menurun hingga 5,04 juta rumah tangga dan jumlah perusahaan
pertanian pangan yg menguasai pangan masyarakat semakin meningkat hingga 5.486
perusahaan (Sensus Pertanian 2013).
Potret buram gagalnya kebijakan pangan pemerintahan SBY ini, menurut
Koordinator Pokja Beras ADS Said Abdullah bisa dilihat dari beberapa indikator.
Pertama, dari sisi jumlah rumah tangga pertanian. Selama sepuluh tahun belakangan
ini dari tahun 2003-2013, jumlah rumah tangga petani menghilang sebesar 5 juta
rumah tangga. Mereka mayoritas adalah petani dengan lahan kurang dari 1000 m2.
Jika di tahun 2003 masih ada sekitar 31,17 juta rumah tangga, maka di tahun 2013
hanya tersisa 26,13 juta rumah tangga.
Selain itu, lahan pertanian juga menyusut rata-rata seluas 110.000
hektare setiap tahunnya. Padahal di satu sisi untuk hal ini pemerintah telah
menerbitkan UU Nomor 14/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Hanya saja implementasinya sangat lemah karena diserahkan kepada
provinsi dan kabupaten tanpa ada koordinasi dan rencana yang berkesinambungan,
kata Said kepada Gresnews.com.
Keuntungan atas 2 kebijakan yang telah dibuat:

1.

2.
3.
4.

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Meningkatkan anggaran APBN untuk pupuk murah dan bersubsidi dari tahun 2004
sampai sekarang, yang meningkat dari Rp 1,8 triliun menjadi Rp 5,8 triliun, atau naik
sebesar 350 %.
Meningkatkan Anggaran untuk benih unggulan gratis dulu Rp 80,9 miliar kini
menjadi Rp 1 triliun, atau meningkat 1300 %.
Meningkatkan Subsidi bunga untuk petani plasma di perkebunan jumlahnya sekitar
Rp 1 triliun.
Pada tahun 2007 sektor pertanian secara umum telah terjadi kemajuan. Ada
peningkatan produksi padi, peternakan, perikanan dan perkebunan. Ada peningkatan
penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing.
Kerugian atas 2 kebijakan yang telah dibuat:
Pertanian kini tidak lagi menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi
dimana sumbangannya sejak 2007-2013 hanya sebesar rata-rata 3-4 persen. Jika
dibandingkan dengan sektor jasa dan properti yang menyumbang pertumbuhan
hingga 8-9 persen.
Berkurangnya jumlah petani yang ada di Indonesia.
Berkurangnya lahan untuk pertanian karena pengalihfungsian atas industrialisasi
perusahaan.
Impor yang dilakukan pemerintah menimbulkan inflasi yang tinggi, karena impor
yang dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan ekspornya.
Indonesia telah mengarah ke negara industri, padahal kemampuannya masih di
bidang agraris.
Para petani mendapatkan upah yang sangat kecil dibandingkan dengan upah yang
ada di perkotaan.
Jumlah kemiskinan di pedesaan meningkat.

Kesimpulan :
Pemerintah menargetkan kemiskinan turun hingga 8 persen pada
kenyataannya angka kemiskinan masih relatif tinggi terutama di pedesaan dimana
sebagain besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada
tahun 2013 angka kemiskinan mencapai 11,4 persen atau 28,1 juta orang. Angka ini
memang turun hingga 2 persen jika dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 13.33
persen.
Sementara pada tahun 2012, walaupun menurun justru Indeks Kedalaman
Kemiskinan di pedesaan meningkat dari 2,36 menjadi 2,42. Adapun Indeks
Keparahan Kemiskinan di pedesaan juga meningkat dari 0,59 menjadi 0,61.
Setelah membahas kebijakan-kebijakan tersebut di atas, maka dapat saya
simpulkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kali ini sangat tidak
membantu para petani, Produksi dalam negeri semakin tidak dapat mencukupi

kebutuhan dalam negeri, bahkan para petani banyak yang mengalokasikan lahan
pertaniannya menjadi lahan industri. Kemiskinan di daerah perdesaan lebih buruk
dari daerah perkotaan. Jika demikian maka pembangunan sektor pertanian belum bisa
memberikan dampak yang besar pada petani. Petani masih berstatus warga miskin.

Saran saya untuk kebijakan di sektor pertanian masa mendatang yaitu:


Memulihkan kemampuan produsen pangan skala kecil dengan menata sumbersumber agraria.

Meningkatkan investasi publik untuk pangan.

Melindungi pasar pangan lokal dari liberalisasi.

Menghentikan pemberian lahan kepada perusahaan besar dan konversi lahan


pangan.

Memperbaiki tata kelola pangan nasional.

Melakukan diversifikasi pangan sesuai potensi lokal.

Pemanfaatan inovasi dan teknologi yang bisa dikuasai penghasil pangan skala
kecil.
Sumber:
http://m.merdeka.com/uang/tujuh-bahan-pangan-ini-rajin-diimpor-selama-erasby.html
http://m.merdeka.com/uang/tujuh-bahan-pangan-ini-rajin-diimpor-selama-erasby/beras.html
http://sawitwatch.or.id/2014/04/potret-buram-kebijakan-pangan-rezim-sby/
http://sbykita.wordpress.com/sby-untuk-pertanian/

Você também pode gostar