Você está na página 1de 3

Kepemimpinan Dimensi Keempat

Penulis : Herry Tjahyono


Penerbit : PT Elex Media Komputindo, 2003
ISBN : 979-20-4064-1
Jumlah halaman : 124

Ada thesis menarik diungkapkan oleh penulis buku ini. Di situ disebutkan
bahwa berbagai krisis yang melanda Indonesia pasca reformasi, seperti krisis
keuangan, krisis budaya, krisis moral, korupsi, terjadinya benturan kepentingan
antara kaum buruh dan pemilik modal adalah disebabkan oleh krisis
kepemimpinan. Artinya, krisis kepemimpinan inilah yang menjadi biang
berbagai masalah di negeri ini.
Apa yang menjadi penyebab krisis kepemimpinan ini ? Ada beberapa faktor
yang dikemukakan oleh penulis buku ini. Antara lain :
1. Krisis moral dan etika. Krisis moral dan etika yang melanda para pemimpin
berakibat pada rusaknya berbagai tatanan dan aturan yang ada di Indonesia.
2. Wacana kepemimpinan yang terlalu berlebihan mengangungkan rasionalitas.
Sebagai contoh : saat Arief Budiman mengkritik Megawati sebagai pemimpin
yang lemah dan memiliki visi yang lemah. Kritik ini mencerminkan wacana
kepemimpinan sebatas pada matra rasionalitas belaka. Tidak ada yang lain.
3. Kondisi di atas justru makin memicu terjadinya krisis kepemimpinan.
Kecenderungan seperti ini justru membuat para pemimpin semakin rentan
dihinggapi krisis moral, terutama dalam tataran praktik. Namun sayang,
praktik-praktik semacam itu yang sangat digemari oleh dunia kepemimpinan
kita.
4. Praktik-praktik kepemimpinan itu biasanya pada semua hal yang menyangkut
gaya kepemimpinan, teknik kepemimpinan, ketrampilan kepemimpinan, visivisi kepemimpinan, yang berujung pada kualitas kepemimpinan-yang
observasi dan parameternya relatif kasat mata. Padahal, semua aspek
kepemimpinan yang serba kasat mata seperti itu sangat mudah terjerumus
ke dalam krisis moral dan etik.

5. Jelasnya, praktik kepemimpinan dewasa ini cenderung menjadi


kepemimpinan eksesif yang serba koersif, deterministik, egois, relasi dan
orientasi menang-kalah, licik, oportunitis, asas manfaat, serta manipulatifeksploitatif.
Karena fenomena di atas, maka penulis buku ini mencoba menggali
persoalan-persoalan kepemimpinan dari sudut yang relatif tak kasat mata, the
unseen things.
Lalu apa yang dinamakan dengan the unseen things itu ?
Mengutip Anthony Robbins, penulis menyatakan bahwa ada raksasa tidur
di dalam diri setiap orang. Maksudnya, setiap insan sesungguhnya dilahirkan
untuk bisa menjadi pemimpin. Ada potensi yang bukan sekadar hebat di dalam
diri setiap insan tersebut, tetapi juga luhur, sebagai kurnia terbesar dari Sang
Pencipta. Potensi ini bertujuan agar setiap diri bisa menjadi manusia maha
insani.
Kepemimpinan seperti itu, tidak selalu membutuhkan tempat, kedudukan,
posisi atau jabatan. Setiap orang pada hakikatnya dikaruniai untuk menjadi
pemimpin. Jadi, kepemimpinan bukan lagi monopopli presiden, CEO, tokoh
masyarakat atau lainnya. Potensi memimpin juga dikaruniakan kepada penjual
bakso, penarik becak, operator dan sejenisnya.
Akibat dari thesisnya itu, penulis buku ini kurang sependapat dengan
banyak ahli manajemen modern yang menyatakan bahwa tugas utama seorang
pemimpin adalah bagaimana membuat para pengikutnya menjadi pemimpin
bagi dirinya sendiri, membangun pemimpin dan situasi kepemimpinan dalam
tim.
Semua unsur tersebut masih belum menjamin seorang pemimpin disebut
sebagai pemimpin sejati. Yang dimaksud pemimpin sejati jika ia mampu
membuat dirinya mampu menjadi manusia yang maha insani dan pada saat
bersamaan mampu mendidik anggotanya sehingga juga menjadi manusia yang
maha insani.
Selanjutnya dikatakan bahwa jika seseorang telah mencapai tahap insani
berarti ia telah mendaki puncak keinsaniannya, bukan hanya dari segi-segi
kemanusiannya, namun juga dari segi tingkat eksistensinya. Pada tahap ini,
seseorang akan menjadi imun terhadap godaan-godaan virus kepemimpinan
(krisis moralitas) sebagaimana dijelaskan di atas. Virus-virus tersebut tak akan
pernah mampu merobohkan benteng integritas pribadinya.

Dengan demikian, tugas utama seorang pemimpin adalah membantu


anggotanya mengaktualkan potensi-potensi tersembunyinya dan kemampuan
terbaik anggotanya. Sehingga mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia
yang unggul secara insaniah.
Dengan begitu, para pemimpin harus mampu melatih para anggotanya
membersihkan debu-debu yang menyelimuti segala potensinya tersebut.
Semakin bersih dan jernih hati nurani seseorang akan semakin tinggi dan
berkembang potensi penyadaran dirinya. Mengutip Schumacher, penulis buku
ini menyatakan bahwa daya kekuatan mata hati yang menghasilkan wawasan
jauh lebih unggul dari daya kekuatan pikiran, yang menghasilkan pendapat.
Inilah tugas berat bagi seorang pemimpin. Namun, seberat apa pun, jika diri
seorang pemimpin mampu menjernihkan nuraninya, maka, tugas berat itu
bukanlah hal yang mustahil untuk berhasil.

Você também pode gostar