Você está na página 1de 11

1

SEORANG PENDERITA ACUTE KIDNEY INJURY AKIBAT JENGKOL


Maria Rini
PENDAHULUAN
Acute kidney injury (AKI) adalah penurunan mendadak fungsi ginjal (dalam 48 jam)
didefinisikan sebagai peningkatan absolut kreatinin serum lebih dari atau sama dengan 0.3
mg/dl (26.4 mol/l) atau peningkatan kreatinin serum lebih dari atau sama dengan 50%
(1.5 kali nilai awal) atau penurunan produksi urin (oligouria kurang dari 0.5 ml/kg per jam
selama lebih dari 6 jam (Mehta, 2007). Dengan modifikasi, dipakai kriteria RIFLE yang
dibagi dalam (Risk, Injury, Failure, Loss dan End-stage kidney disease) sebagai dasar
klasifikasi. Sistim klasifikasi yang baru merupakan modifikasi RIFLE yang menggunakan
stadium1, stadium 2 dan stadium 3 (Ronco C, 2007; Himmelfarb J, 2007; Kirpalani A, 2007).
Insidens terjadinya AKI di negara tropik lebih tinggi dibanding negara lainnya. Studi di
negara India melaporkan 1.5% penderita dirawat dengan diagnosis AKI, sedangkan di negara
Amerika penderita AKI hanya 0.5 %. Salah satu penyebabnya AKI di negara tropik adalah
akibat mengkonsumsi makanan tertentu yang merupakan budaya negara-negara Asia
Tenggara, termasuk Indonesia misalnya makan buah jengkol (Adler, 2006; Sakhuja V,1998).
Jengkol adalah sejenis tanaman didaerah tropik yang dikenal dengan Pithecellobium
jiringa, Pithecellobium lobatum and Archidendron jiringa. Jengkol hanya didapatkan di
beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Birma dan Indonesia. Tidak semua
orang yang memakannya akan menimbulkan gejala keracunan jengkol. Keracunan jengkol
diduga berasal dari bahan yang terdapat dalam biji jengkol berupa asam jengkolat.
Manifestasi klinik dapat bervariasi antara lain berupa serangan mual, muntah, nyeri waktu
kencing, kencing berdarah , oligouria, anuria (Sakhuja V,1998; Wong, 2007).
Acute kidney injury karena jengkol sangat jarang kasusnya. Berikut ini kami
sampaikan kasus AKI akibat keracunan jengkol
KASUS
Seorang penderita laki-laki Tn D, 59 tahun, pekerjaan sebagai petani kiriman RS
Gambiran, Kediri. datang ke IRD RS Dr. Soetomo pada 9 Januari 2008 dengan keluhan utama
tidak bisa kencing. Keluhan tersebut dirasakan sejak 4 hari yang lalu (tanggal 05-01-2008
sekitar jam 16.00) setelah penderita makan jengkol mentah kira-kira 7 jam sebelum keluhan
Laporan Kasus Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam RSU dr. Soetomo FK UNAIR
Surabaya, 24 Oktober 2008

2
sebanyak 10 buah. Penderita kencing hanya beberapa tetes saja berwarna kuning disertai nyeri
saat kencing. Didapatkan juga nyeri perut, mual dan muntah, nafsu makan berkurang. Tidak
didapatkan panas, tidak sesak. Sebelum makan jengkol, selama 2 hari penderita merasakan
badan lemah, sumer-sumer, mual, muntah,

kurang nafsu makan, dan biasanya untuk

meningkatkan nafsu makan penderita makan lalapan jengkol. Penderita makan jengkol
mentah pada saat makan pagi sekitar jam 09.00 pagi, kemudian pada sore harinya sekitar jam
16.00 pasien merasakan kesulitan buang air kecil. Sebagaimana kebiasaan penderita sehabis
makan jengkol selalu minum beberapa gelas air, namun setelah minum air cukup sampai jam
16.00 penderita tidak bisa kencing, kemudian penderita datang ke RS Gambiran. Sebelumnya
penderita sering makan jengkol bahkan jumlah lebih banyak , tapi tidak pernah ada keluhan
seperti ini.
Riwayat penyakit dahulu : diabetes melitus, hipertensi, sakit ginjal, batu ginjal
disangkal. Sebelum dirujuk ke RS Dr. Soetomo pasien opname di RS Baptis Kediri selama 2
hari, dengan membawa surat rujukan dari dokter yang merawat bahwa penderita sudah
diberikan rehidrasi dan suntikan furosemid tapi penderita tetap tidak bisa kencing.
Pemeriksaan fisik (09-01-2008) didapatkan penderita dengan keadaan umum baik
kesadaran kompos mentis, tekanan darah150/90 mmHg, nadi: 84x/menit., suhu: 36.8C,
frekuensi pernapasan: 16/menit. Kepala/leher: tidak anemis, tidak ikterus, tidak sianosis
tidak sesak. Toraks : jantung dan paru tidak didapatkan kelainan. Abdomen : hepar dan lien
tak teraba. Ekstremitas tidak didapatkan edema. Terpasang kateter, tidak terdapat urine.
Pemeriksaan laboratorium dari RS Kediri didapatkan hasil tanggal 8 januari 2008 :
Hb: 12,6 g% , lekosit: 8.600 g/dl, trombosit: 230.000 g/dl, LED 24, dif count -/ -/ -/ 76/24-.
BUN 92mg/dl, kreatinin serum: 8.2 mg/dl, SGOT 15.1 UK, kalium 3,8 meq /dl , natrium
139 meq /1, LED 24, dif count -/ -/ -/ 76/24-.
Hasil Laboratorium di RSU dr.Soetomo tanggal 09 januari 2008: Hb: 12,0 g% ,
lekosit: 13.200 g/dl, trombosit: 261.000 g/dl, LED 22, dif count -/ -/ -/ 72/20-. BUN: 94
mg/dl, serum kreatinin: 15.2 mg/dl,

kalium 4.49 meq /dl , natrium

127.2 meq /1,

trigliserida 115 mg/dl, cholesterol 202 mg/dl, bilirubin total 0,48 mg/dl , bilirubin direk 0,22
mg/dl,SGOT 16 UK, SGPT 24 UK, protein total 6.1g%, Albumin 3.4 g%, globulin 3.1g% ,
SO2: 97, Asam urat 5,8 mg/dl, BGA: pH: 7.37, pCO2: 28, pO2: 89, HCO3: 16.2, BE: -9,1,
SO2: 97, HbsAg: negatif. Pemeriksan EKG : Irama sinus 80 x/menit
Hasil USG abdomen tanggal 09-01-2008:
Hepar

: Ukuran normal, densitas parenkim homogen, tepi rata, sudut tumpul, vena
porta/vena hepatica tak melebar, tak tampak nodul/massa/kista.

3
Lien

: Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal. Tak tampak massa.

Pancreas

: Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal. Tak tampak massa.

Gall Bladder : Ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak sludge/batu
Ginjal kanan : Ukuran normal, intensitas echocortex meningkat. Batas sinus cortex tak jelas.
Tampak ectasis ringan pelviocalyceal. Tak tampak kista/batu.
Ginjal Kiri

: Ukuran normal, intensitas echocortex meningkat. Batas sinus cortex tak jelas.
Tampak ectasis ringan pelviocalyceal. Tak tampak kista/batu.

Kesimpulan

: Hidronefrosis ringan bilateral

Hasil BOF : Tidak ada batu radio opaque sepanjang tractus urinarius
Diagnosa kerja adalah: Acute Kidney Injury
Terapi: Diet 2100 kalori 60 gram protein, Infus NaCl 0,9% 1000 ml/24 jam , Nabic 100
mEq/24 jam, Injeksi Ceftriaxone 2x1g iv. dilakukan hemodialisa dengan dialisat bikarbonat
PERJALANAN PENYAKIT :
Perawatan hari kedua setelah dilakukan hemodialisa keluhan penderita masih tidak
bisa kencing, merasakan mual, penderita merasa sesak. Hasil laboratorium: BUN: 87 mg/dl,
serum kreatinin: 12.3 mg/dl, kalium 4.4 meq /dl , natrium 134 meq /1, BGA: pH: 7.48,
pCO2: 38, pO2: 81, HCO3: 28.3, BE: 4.8, SO2: 97. Terapi tetap
Perawatan hari ketiga, tanggal 11 januari 2008. Penderita tidak bisa kencing, mual
bertambah, dan sesak dengan frekuensi pernapasan 32/mnt. dan didapatkan edema.. Hasil
laboratorium sebelum hemodialisa : Hb: 12.6 g% , Lekosit: 11.200 g/dl, Trombosit: 243.000
g/dl, BUN 153 mg/dl, serum kreatinin: 15.4 mg/dl, kalium 4.51 meq /dl , natrium 135
meq /1, LED 20, albumin: 3.5 g%, globulin: 3.2g% , asam urat: 6,5 mg/dl, Ca: 9.3, Phosfor:
3.6, BGA: pH: 7,46, pCO2: 24, pO2: 92, HCO3: 26,2, BE: 5,2, SO2: 97, HbsAg:- Setelah
dilakukan hemodialisa didapatkan hasil laboratorium : BUN 79 mg/dl, serum kreatinin: 11.2
mg/dl, kalium 4.34 meq /dl , Natrium 133 meq /1. Dilakukan evaluasi produksi urin, 4 jam
setelah dilakukan hemodialisa penderita mulai kencing. 100 cc/6 jam Hasil pemeriksaan
urinalisis: SG :1.016, pH: 5, lekosit 5-6/lp, eritrosit 3-4/lp, , glukosa - , bilirubin -, keton -,
protein +2, urobilin normal, nitrit -. Sedimen urine lekosit 6-8/lp, sedimen eritrosit 4-5/lp,
epitel 2-1/lp, didapatkan kristal, tidak didapatkan silinder, glukosa, bilirubin, keton , dan
nitrit , urobilin normal. Terapi Infus D5% lifeline , Nabic 100 mEq/24jam, Injeksi Ceftriaxone
2 x 1g iv. Dilakukan hemodialisa
Perawatan hari keempat : keluhan sesak berkurang. tekanan darah 140/80 mmHg,
nadi 90 x/m., T: 37.4, RR 22/mnt. Produksi urine: 800 cc/24 jam. Hasil pemeriksaan

4
urinalisis: SG :1.018, pH: 6.5, lekosit 5-6/lp, eritrosit 2-3 /lp, , glukosa - , bilirubin -, keton -,
protein +1, urobilin normal, nitrit -. Sedimen urine lekosit 6-8/lp, sedimen eritrosit 2-3/lp,
epitel 0-1/lp, didapatkan kristal, tidak didapatkan silinder, glukosa, bilirubin, keton, dan nitrit,
urobilin normal. BUN 57 mg/dl, kreatinin serum: 6.8 mg/dl, kalium 4.5 meq /dl , Natrium
137 meq /1, Calsium 9.3 mg/dl, Phospor 3.6 mg/dl. Terapi: Natrium bikarbonat 3x1 tablet,
terapi lain tetap.
Perawatan hari kelima : keluhan sesak berkurang. tekanan darah 130/80 mmHg ,nadi
88 x/m., suhu: 37.2, frekuensi pernapasan: 22/mnt. Produksi urine: 1500 cc/24 jam. Hasil
laboratorium: Hb: 12,8 g% , lekosit: 9.200 g/dl, trombosit: 251.000 g/dl. kalium 4.6 meq /dl,
natrium 130 meq /1. Hasil pemeriksaan urinalisis: SG :1.017, pH: 6.8 lekosit 2-3/lp, eritrosit
1-2/lp, , glukosa - , bilirubin -, keton -, protein +1, urobilin normal, nitrit -. Sedimen urine
lekosit 1-2/lp, sedimen eritrosit 1-2/lp, epitel 0-1/lp, didapatkan kristal, tidak didapatkan
silinder, glukosa, bilirubin, keton , dan nitrit , urobilin normal. BUN 34 mg/dl, kreatinin
serum: 3.4 mg/dl, kalium 4.1 meq /dl , natrium 135 meq /1. Setelah keluhan sesaknya
berkurang dan penderita dapat kencing, penderita merasa lebih baik kondisinya dan penderita
pulang paksa. Terapi yang diberikan saat penderita pulang adalah: Natrium bikarbonat 3x1
tablet, disarankan minum banyak, kontrol ke poli ginjal-hipertensi.
Evaluasi penderita selama dirumah tanggal 20 Januari 2008 (7 hari setelah KRS).
Keluhan sesak dan mual sudah tidak ada. Produksi urine penderita kurang lebih 2000 cc/24
jam. Hasil pemeriksaan urinalisis: SG :1.016, pH: 7.3, lekosit 1-2/lp,

eritrosit 0-1/lp,

glukosa - , bilirubin -, keton -, protein +1, urobilin normal, nitrit -. Sedimen urine lekosit
0-1/lp, sedimen eritrosit -/lp, epitel -/lp, tidak didapatkan kristal, tidak didapatkan silinder,
glukosa, bilirubin, keton , dan nitrit , urobilin normal. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi
90 x/m., T: 36.8, RR 20/mnt. Hasil Laboratorium: Hb: 13.4 g% , Lekosit 9.800, Trombosit:
238.000, BUN 26 mg/dl, serum kreatinin: 1.5 mg/dl, kalium 4.6 meq /dl, natrium 130
meq /1.

Tanggal

BUN (mg/dl)
Kreatinin(mg/dl)

08-01

09-01

Kediri

PRE

92
8.2

HD
94
15.2

URINALISIS 08-01
Jumlah
Protein
Lekosit
Eritrosit
Kristal

09-01
-

10-01

11-01

11-01

POST

PRE

POST

HD
87
12.3

HD
153
15.4

HD
79
11.2

10-01
-

11-01
100
+
6-8/lp
4-5/lp
+

12-01

13-01

20-01

57
6.8

34
3.4

26
1.5

12-01
800
+
5-6/lp
2-3/lp
+

13-01
1500
+
1-2/lp
1-2/lp
+

20-01
2000
0-1/lp
-/lp
-

PEMBAHASAN
DIAGNOSIS Acute kidney injury (AKI)
Kriteria diagnosis Acute kidney injury (AKI) adalah penurunan mendadak fungsi
ginjal (dalam 48 jam) yang ditandai dengan peningkatan serum kreatinin lebih dari atau sama
dengan 0.3 mg/dl (26.4 mol/l), atau peningkatan serum kreatinin lebih dari atau sama
dengan 50% (1.5 kali dari nilai awal) atau penurunan produksi urin (oligouria kurangdari 0.5
ml/kg per jam selama lebih dari 6 jam (Mehta, 2007). Untuk mengetahui disfungsi renal maka
AKI menggunakan klasifikasi RIFLE. Kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss dan Endstage kidney disease), atau dengan modifikasi RIFLE menggunakan stadium1, stadium 2,
stadium 3 yang menggunakan perubahan kreatinin serum dan produksi urin. Pada stadium 1
peningkatan kreatinin serum 0.3 mg/dl atau peningkatan 1.5-2 kali dari nilai awal,
didapatkan penurunan produksi urin < 0.5 ml/kg/h > 6 jam, stadium 2 peningkatan kreatinin
serum > 2-3 kali dari nilai awal, dengan penurunan produksi urin < 0.5 ml/kg/h > 12 jam,
sedang stadium 3 peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari nilai awal, penurunan produksi
urin < 0.3 ml/kg/h > 12 jam atau anuria > 12 jam. Kategori Risk dari RIFLE sama dengan
kriteria diagnosis AKI stadium 1, kategori Injury dan Failure sama dengan diagnosis AKI
stadium 2 dan 3. (Himmelfarb, 2007; Kirpalani,2007; Ronco, 2007).
Pada penderita ini diagnosis AKI didasarkan adanya anuria lebih dari 6 jam.
Tidak didapatkan tanda-tanda kronisitas maupun faktor resiko terjadinya penyakit
ginjal kronis. Berdasarkan klasifikasi RIFLE adalah stadium Failure, sedangkan
menurut modifikasi RIFLE adalah stadium tiga.
DIAGNOSIS KERACUNAN JENGKOL

6
Insidens terjadinya AKI di negara tropik lebih tinggi dibanding negara lainnya.
Indonesia merupakan negara tropik, salah satu penyebabnya AKI di Indonesia adalah akibat
mengkonsumsi makanan tertentu yaitu: jengkol (Barsoum, 1997; Segasothy, 1995)
Diagnosis keracunan jengkol berdasarkan anamnesis, manifestasi klinik, serta
laboratorium penunjang.

Pada anamnesis didapatkan riwayat penderita makan jengkol,

ditandai dengan bau tidak sedap pada mulut maupun air kencing. Manifestasi klinik
keracunan jengkol biasanya timbul 2-12 jam setelah makan jengkol dimana ditandai dengan
muntah, nyeri pinggang waktu kencing , kencing berwarna merah atau keluhan susah buang
air kecil sehingga berkembang menjadi oligouria atau anuria. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan mulut , nafas dan urine berbau khas jengkol (Wong,2007).
Secara klinis gejala keracunan jengkol dapat dibagi (Tambunan,2002) :
1. Ringan, bila didapatkan keluhan ringan seperti sakit pinggang, kencing berwarna
merah.
2. Berat, bila disertai oliguria
3. Sangat berat, bila terdapat anuria atau tanda-tanda gagal ginjal akut yang nyata.
Penelitian terhadap asam jengkolat pernah dilakukan oleh Van Veen dan Hyman pada
tahun 1933 dan berhasil mengisolasi asam jengkolat dari biji jengkol. Asam jengkolat sangat
sukar larut dalam air dan kelarutannya dalam asam basa sangat lama. Bila asam jengkol dalam
bentuk tidak berikatan dengan zat lain, maka kadarnya adalah 12 persen. Asam jengkolat
merupakan asam amino yang mengandung unsur belerang, yang memiliki sruktur mirip
dengan cystine, bersifat amfoter dan memiliki titik isolektris pada pH 5,5 (Sitprija,1998;
Vigneaud, 1946). Asam jengkol tak terbau, bau yang khas tersebut berasal dari uraian asam
jengkol. Patogenesis terjadinya keracunan, sampai saat ini belum diketahui secara pasti,
namun para ahli sependapat bahwa penumpukan kristal asam jengkol pada tubulus ginjal,
ureter dan uretra adalah penyebab utama dari keadaan ini (Areekul,1978; Segasothy,1995).
Secara teoritis terdapat beberapa faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya
keracunan jengkol: jumlah jengkol yang dimakan, umur dan varietas buah jengkol, cara
memasaknya, kerentanan seseorang. Jumlah jengkol yang dimakan makin banyak makin
tinggi kemungkinan terjadinya keracunan. Kandungan asam jengkolat berbeda-beda
tergantung umur biji jengkol. Pada biji muda, kandungannya lebih rendah dibandingkan pada
biji tua. Kandungan asam jengkolat dalam biji jengkol muda (berusia kurang dari 3 bulan)
mengandung 1,1 % asam jengkol, sedangkan buah jengkol tua (lebih kurang 4 bulan) kadar
asam jengkolatnya mencapai 1.6 %. Pada varietas hitam kadar asam jengkolat lebih tinggi.
Biji jengkol mentah dan setengah masak dicurigai sebagai penyebab keracunan karena kadar
asam jengkolat masih tinggi. Pada musim jengkol jumlah yang mengkonsumsi buah jengkol

7
akan bertambah dan kemungkinan menderita keracunan jengkol akan meningkat pula Tetapi
dalam penelitian Suhardjono dan Sadatun tahun 1968 tidak terbukti adanya hubungan erat
antara jumlah buah jengkol yang dikonsumsi dengan kejadian keracunan jengkol. Menurut
Van Veen dan Hyman timbulnya gejala keracunan tergantung dari kerentanan seseorang
terhadap asam jengkol, dan itu bersifat sementara. Hal ini terbukti pada banyak orang yang
pernah mengalami keracunan jengkol ternyata tidak kambuh lagi walaupun berulang kali
memakan jengkol (Sitprija,1998; Tambunan,2002; Vigneaud, 1947).
Penelitian yang dilakukan oleh Oen menyebutkan molekul asam jengkolat berikatan
dengan albumin serum yang memudahkan transportasi dalam darah. Dalam ginjal molekul
asam jengkolat dapat melewati membran semipermeabel dari glomerulus, sedang albumin
serum sendiri tidak dapat melewati karena memiliki molekul yang besar, sehingga dilepaskan
albumin serum dari asam jengkolat. Asam jengkolat ini terdapat dalam ultrafiltrat glomerulus
ini mudah sekali menjadi kristal karena tidak ada lagi protein yang membuatnya larut seperti
halnya dalam darah, selanjutnya pada loop of Henle terjadi penyerapan sejumlah air dan
menyebabkan asam jengkol mencapai titik kejenuhan sehingga mengendap sebagai kristal
yang berbentuk jarum-jarum tajam (Oen, 1982). Penelitian untuk membuktikan bahwa kristal
asam jengkol dapat menyumbat saluran kemih dilakukan oleh Mreyen tahun 1941 hanya
menemukan tanda-tanda hiperemia pada tubulus dan pielum ginjal pada hewan percobaan.
Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Munadjat dan Sadatun pada penderita
keracunan jengkol ditemukan hiperemia pada mukosa buli-buli, selanjutnya Wiratmaja
membuktikan adanya hiperemia dan endapan kristal di dalam buli-bulu. Bila endapan kristal
cukup banyak dapat menimbulkan retensi urine dan terjadinya obstruksi akut saluran kemih
sehingga dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus (Tambunan 2002)
Pemeriksaan urinalisis pada penderita keracunan jengkol sangat spesifik karena dapat
mengetahui bentukan dari kristal asam jengkolat. Menurut Van Veen dan Hyman kristal asam
jengkol ini tidak selalu ditemukan pada pemeriksaan urine, sebab kristal cepat menghilang
bila urine tersimpan lama atau bila berubah menjadi lebih alkalis. Pemeriksaan kristal urin
positif memastikan adanya asam jengkol , sedang pemeriksaan negatif tidak bisa memastikan
tidak adanya asam jengkol pada urine penderita. Selain bentukan kristal pada urin juga
ditemukan hematuria (Sakhuja,1998; Wong, 2007).
Pemeriksaan penunjang radiologi berupa BOF dan USG diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab AKI yang lain yaitu: adanya obstruksi lain pada ginjal
berupa batu, massa atau kista.

8
Pada penderita ini diagnosis keracunan jengkol didasarkan anamnesis penderita
makan buah jengkol sebanyak 10 buah (jumlah lebih dari biasanya, yaitu: 4-6 buah)
berupa jengkol mentah dan dimakan bersama nasi. Penderita sudah sering makan
lalapan jengkol pada waktu musim jengkol, selama ini setiap makan jengkol penderita
tidak merasakan keluhan tidak bisa kencing. Selama 2 hari sebelum makan jengkol
penderita merasakan badan lemah, sumer-sumer, mual, muntah, kurang nafsu makan.
Untuk meningkatkan nafsu makan, maka penderita makan jengkol. Tujuh jam setelah
makan jengkol mentah penderita merasakan nyeri waktu kencing dan jumlahnya
sedikit disertai mual, muntah yang bertambah berat. Penderita sudah berusaha minum
air banyak tapi keluhan nyeri perut, mual, muntah makin bertambah dan tidak bisa
kencing. Terjadinya anuria pada penderita ini merupakan manifestasi klinis keracunan
jengkol yang sangat berat.
Hasil USG abdomen didapatkan hidronefrosis ringan bilateral, tidak ada batu,
massa, atau kista. Untuk mengetahui obstruksi dilakukan pemeriksaan penunjang BOF
dengan hasil normal. Hidronefrosis yang terjadi kemungkinan olehkarena adanya
obstruksi akut akibat keracunan jengkol.
PENATALAKSANAAN
Pada prisipnya penatalaksanaan keracunan jengkol yang menyebabkan terjadinya
acute kidney injury (AKI) yaitu dengan melakukan hidrasi yang cukup dan alkalinisasi urin
dan tindakan dialisis (Tambunan,2002; Mehta, 2007).
1. Hidrasi
Pada keracunan jengkol yang ringan cukup diberikan minum yang banyak dengan
penambahan air soda Pada kasus berat yang ditandai dengan oliguria/anuria penderita
harus diterapi sebagai kasus acute kidney injury. Pemberian cairan yang cukup akan
memperbesar produksi urine sehingga zat kimia yang larut dalam bentuk urine ikut
dalam jumlah yang lebih besar.
2. Alkalinisasi urine
Untuk zat beracun yang bersifat asam dilakukan alkalinisasi, karena pada suasana basa
lebih mudah membentuk partikel yang terionisasi. Tablet natrium bikarbonat 1
meq/kgBB/ hari, atau sebanyak 1-2 gram/hari diberikan pada keracunan jengkol yang
ringan. Sedangkan keracunan jengkol yang berat diberikan dalam bentuk intravena
natrium bikarbonat 2-5 meq/kgBB dengan monitor derajat pH urine dengan target
6.5-7.
3. Tindakan dialisis

9
Bila cara tersebut belum berhasil atau terdapat tanda-tanda perburukan klinis maka
tindakan dialisis perlu dilakukan
Penatalaksanaan pada penderita ini adalah hidrasi, alkalinisasi urine dan
tindakan dialisis. Hidrasi telah dilakukan penderita ini dengan minum air cukup tetapi
keluhan semakin berat, tidak bisa kencing dan penderita pergi ke RS. Terapi yang
diberikan di RS Kediri adalah hidrasi dengan memasukkan cairan tetapi kondisi
penderita tetap tidak bisa kencing kemudian dirujuk. Setelah dilakukan alkalinisasi
urine dan tindakan dialisis terjadi perbaikan secara klinis maupun laboratorium pada
penderita, ditandai dengan adanya produksi urin, serta penurunan BUN maupun
kreatinin serum.
PROGNOSIS
Prognosis pada penderita keracunan jengkol dengan komplikasi AKI stadium failure
umumnya baik, bila dilakukan terapi sedini mungkin untuk mencegah terjadi AKI pada
stadium loss bahkan end-stage kidney disease. Dengan pemberian hidrasi yang cukup dan
tindakan haemodialisa maka penderita ini mempunyai prognosis yang baik, ditandai dengan
peningkatan produksi urine dan menurunnya BUN dan kratinin serum.
Hasil evaluasi sesudah penderita KRS tidak terdapat keluhan lagi. Terdapat
peningkatan produksi urine dan penurunan BUN dan serum kreatinin
RINGKASAN
Melaporkan kasus seorang laki-laki, 59 tahun dengan diagnosa acute kidney injury
(AKI) disebabkan anuria lebih dari 6 jam. Penderita merupakan rujukan dari Kediri dengan
keluhan tidak bisa kencing selama 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis
didapatkan penderita makan jengkol mentah sebanyak 10 buah, setelah 7 jam makan jengkol
penderita merasakan keluhan tidak bisa kencing. Stadium AKI menurut klasifikasi RIFLE
pada penderita ini adalah stadium failure atau stadium 3 sesuai kriteria modifikasi RIFLE.
Hasil USG abdomen didapatkan hidronefrosis ringan bilateral, tidak ada batu, massa, atau
kista. Hidronefrosis yang terjadi kemungkinan olehkarena adanya obstruksi akut akibat
keracunan jengkol. Tatalaksana penderita ini adalah dengan hidrasi, alkalinisasi urine dan
tindakan hemodialisis.

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Adler SG, Weening JJ (2006). A Case of Acute Renal Failure. ClinicoPathologic
Conference. Clin J Am Soc Nephrol 1: 158165
2. Areekul S, et al (1978). Djenkol bean as a cause of urolithiasis. Southeast Asian J Trop
Med Public Health;9:42732.
3. Barsoum R, Sitprija V (1997). Tropical nephrology. In Diseases of the Kidney, 6th ed.
Edited by Schrier RW, Gottschalk CW. Boston: Little, Brown and Company;:22212268.
4. Himmelfarb J, Ilkizler TA (2007). Acute kidney injury: changing lexicography, definitions
and epidemiology. Kidney International (2007) 71, p 971-976
5. Oen LH (1982). Peranan asam jengkol pada keracunan buah jengkol. Simposium Nasional
Masalah Penyakit Ginjal dan Saluran Air Kemih di Indonsia
6. Kirpalani A, et all (2007). Improving outcome from acute kidney injury: Report of an
initiative. Indian Journal of Nephorology, vol 17, p 1-3
7. Mehta RL, et al (2007). Research. Acute Kidney Injury Network: report of an initiative to
improve outcomes in acute kidney injury. Critical care 2007,11(2):R31
8. Palmer B (1999). Dialysate Composition in Hemodialysis and peritoneal dialysis. Eds:
Henrich W. In: Principles and Practice of Dialysis. 2

nd

ed. Philadelphia. Lippincott

Williams & Wilkins, pp.22-37


9. Ronco C, Bellomo R, Kellum JA (2007). Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel,
Karger,2007, vol 156. pp 10-16
10. Sakhuja V, Sud K (1998). Acute Renal Failure in the Tropics. Saudi J Kidney Dis
Transplant;9(3):247-260
11. Segasothy, M et all (1995). Djenkol bean poisoning (djenkolism): an unusual cause of
acute renal failure. Am-J-Kidney-Dis. 1995 Jan; 25(1): 63-6
12. Sitprija

V,

Eiam-Ong

(1998).

Tropical

plant-associated

nephropathy.

Nephrology Volume 4 Issue 5-6. p 313-319


13. Tambunan T (2002). Keracunan jengkol pada anak. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2.
Balai Penerbit FKUI, Jakarta. p 231-241
14. Vigneaud V, Armstrong DM (1947). A New Synthesis of Djenkolic Acid. The Journal of
Biological Chemistry. p 373- 377
15. Viroj Wiwanitkit (2005). Renal failure due to djenkolism: an appraisal of previously
reported Thai cases. Clin Exp Nephrol 9.p 343

11
16. Wong JS et all (2007). Acute anuric renal failure following jering bean ingestion. Asian J
Surg. Jan;30(1):80-1

-------o0o-------

Você também pode gostar