Você está na página 1de 45

R. L.

Stine:
Horror di Camp Jellyjam
(Goosebumps # 33)
INI BUKAN SOAL KALAH ATAU MENANG - INI SOAL HIDUP ATAU MATI
Semua sarana olahraga tersedia d Camp Jellyjam. Renang, basket, pingpong. Sayang
sekali Wendy tidak getol olahraga seperti Elliot, adiknya, sehingga dia belum b
erhasil memenangkan King Coin satu pun. Tapi, seberapa besar sih kesenangan yang
diperoleh dari pertandingan-pertandingan olahraga itu? Itu toh cuma pertandinga
n biasa, kan?
Salah besar!
Karena Camp Jellyjam bukan camp olahraga biasa. Wendy tahu, ada yang tak beres d
i camp ini. Para pembina terlalu terobsesi agar anak-anak yang datang ke camp it
u menjadi juara. Mereka selalu menegur yang kalah. Dan setiap anak yang berhasil
memenangkan enam King Coin lalu menghilang...
Goosebumps
Ya! Dijamin kalian pasti ber-goosebumps-ria alias merinding ketakutan kalau memb
aca seri ini. Soalnya, seri Goosebumps memang menyajikan kisah-kisah horor yang
super seram dan mengerikan! Tidak percaya? Baca saja sendiri... kalau berani!!!

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

1
PENUH semangat Mom menunjuk melalui jendela mobil. "Lihat itu! Ada sapi!"
Adikku, Elliot, dan aku sama-sama mengerang. Sudah empat jam kami melintasi daer
ah pertanian, dan Mom menunjuk setiap sapi dan kuda yang kami lewati.
"Coba lihat ke sebelah sana, Wendy!" Mom berseru dari kursi depan. "Ada domba!"
Aku menoleh dan melihat sekitar selusin domba kelabu?semuanya gemuk dan berbulu
tebal?yang sedang merumput di bukit yang hijau.
"Dombanya bagus, Mom," ujarku sambil memutar-mutar bola mata.
"Hei, ada sapi lagi!" seru Elliot.
Sekarang dia juga ikut-ikutan!
Langsung saja kusodok rusuknya keras-keras. "Mom, biasa tidak orang meledak kare
na bosan?" aku berkeluh kesah.
"DOOOR!" seru Elliot.
Konyol sekali, ya?
"Apa kubilang," Dad bergumam pada Mom. "Anak umur dua belas sudah terlalu besar
untuk diajak bepergian naik mobil."
"Anak umur sebelas juga!" Elliot memprotes. Aku dua belas. Elliot sebelas.
"Bagaimana mungkin kalian bosan?" tanya Mom. "Lihat?ada kuda!"
Dad menambah kecepatan untuk menyusul truk besar berwarna kuning. Jalanan yang k
ami lewati berkelok-kelok di antara bukit-bukit yang tinggi. Di kejauhan aku mel
ihat gunung-gunung terselubung kabut tebal.

"Begitu banyak pemandangan indah yang bisa kita kagumi," komentar Mom takjub.
"Tapi lama-lama semuanya jadi mirip sekumpulan foto di kalender," aku menggerutu
.
Elliot menunjuk ke luar jendela. "Lihat, tuh. Tidak ada kuda!"
Ia ketawa sampai terbungkuk-bungkuk, seakan-akan itu lelucon paling lucu yang pe
rnah dilontarkan orang.
Mom menoleh ke belakang, menatap adikku sambil memicingkan mata. "Kau mengolok-o
lok Mom, ya?"
"Ya!" sahut Elliot.
"Tentu saja tidak," aku menimpali. "Mana ada yang berani mengolok-olok Mom?"
"Kenapa sih kalian tidak bisa serius sedikit?" kata Mom jengkel.
"Kita sudah hampir meninggalkan Idaho," Dad mengumumkan. "Di depan sana sudah Wy
oming. Sebentar lagi kita sampai di gunung-gunung itu."
"Siapa tahu ada sapi gunung di situ," seruku. Elliot ketawa.
Mom menghela napas. "Silakan. Silakan rusak liburan keluarga kita. Liburan perta
ma dalam tiga tahun."
Mobil kami terguncang karena melewati lubang di jalan. Karavan di belakang terde
ngar melonjak-lonjak. Karavan tua model kuno itu sudah kami tarik melintasi selu
ruh daerah Barat.
Sebenarnya sih, karavan itu cukup asyik. Di dalamnya ada tempat tidur tingkat ya
ng terpasang berhadapan di dua dinding. Selain itu juga ada meja untuk makan ata
u bermain kartu. Malahan ada dapur kecil segala.
Setiap malam kami mampir di tempat pemberhentian karavan. Dad lalu menyambungkan
karavan kami ke saluran air dan listrik, dan kami bermalam di dalamnya, di dala
m rumah kecil yang bisa dibawa ke mana-mana.
Kami kembali terguncang. Karavan di belakang juga melonjak-lonjak lagi. Jalanan
mulai menanjak ketika kami memasuki daerah pegunungan.
"Mom, bagaimana aku bisa tahu apakah aku mabuk darat atau tidak?" tanya Elliot.
Mom membalik dan menatapnya sambil mengerutkan kening. "Elliot, kau tidak pernah
mabuk darat," katanya. pelan-pelan. "Kau lupa, ya?"
"Oh, benar juga," sahut Elliot. "Habis, aku pikir lumayan untuk isi waktu."
"Elliot!" Mom menghardiknya. "Kalau kau memang begitu bosan, kenapa tidak tidur
saja?"
"Huh, bosan," adikku menggerutu.
Wajah Mom merah padam. Tampang Mom tidak seperti Dad, Elliot, dan aku. Ia beramb
ut pirang dan bermata biru, dan kulitnya yang putih gampang sekali jadi merah. I
a juga agak gendut.
Dad, adikku, dan aku sama-sama kurus dan berkulit kecokelatan. Kami bertiga bera
mbut dan bermata cokelat.
"Kalian tidak sadar betapa beruntungnya kalian," Dad berkata pada Elliot dan aku
. "Kalian bisa melihat pemandangan yang menakjubkan."
"Bobby Harrison pergi ke camp baseball," Elliot mengomel. "Dan Jay Thurman pergi
ke camp sleep-away selama delapan minggu!"
"Padahal aku juga mau ke sana!" aku memprotes.
"Musim panas nanti kau bisa ke sana," balas Mom ketus.
"Kesempatan seperti ini hanya ada satu kali seumur hidup!"
"Tapi aku bosan!" keluh Elliot.
"Wendy, ajak adikmu bermain," Dad menyuruhku.
"Hah?" seruku. "Main apa?"
"Main Geografi Mobil, misalnya," Mom mengusulkan.
"Aduh, kok itu lagi?" Elliot menggerung.
"Ayo, Mom yang mulai," ujar Mom. "Atlanta."
Huruf terakhir Atlanta adalah A. Jadi aku harus mencari nama kota yang dimulai d
engan A.
"Albany," kataku. "Giliran kau, Elliot."
"Hmm, kota yang dimulai dengan Y..." Adikku berpikir sejenak. Lalu ia mengerutka
n kening. "Ah, aku tidak mau ikut main!"
Adikku memang payah. Setiap permainan dianggapnya serius, dan ia benar-benar kes
al kalau sampai kalah. Kadang-kadang ia begitu ngotot kalau main bola atau softb
all, hingga aku cemas melihatnya .

Kadang-kadang kalau merasa tidak bisa menang, ia langsung berhenti.


Seperti sekarang.
"Bagaimana dengan Youngstown?" tanya Mom.
"Ada apa dengan Youngstown?" Elliot menggerutu.
"Aku punya ide!" seruku. "Bagaimana kalau Elliot dan aku pindah ke karavan?"
"Yeah! Itu Baru asyik!" Elliot menimpali.
"Lebih baik jangan," ujar Mom. Ia berpaling pada Dad. "Menumpang karavan yang se
dang ditarik melanggar hukum, bukan?"
"Entahlah," kata Dad sambil mengurangi kecepatan. Kami sedang melewati hutan cem
ara yang lebat. Udara terasa begitu segar dan harum.
"Boleh, dong!" Elliot merengek. "Boleh, dong!"
"Kurasa tak ada salahnya kalau kita biarkan mereka di sana sebentar," Dad berkat
a pada Mom. "Asal mereka hati-hati."
"Kami akan berhati-hati sekali!" Elliot cepat-cepat berjanji.
"Kau yakin tidak apa-apa?" tanya Mom.
Dad mengangguk. "Apa yang perlu dikuatirkan?"
Dad menepikan mobil. Elliot dan aku buru-buru turun. Kami berlari ke karavan, me
mbuka pintu, dan berebut masuk.
Beberapa detik kemudian kami berangkat lagi. Aku dan adikku terguncang-guncang d
i dalam karavan yang besar.
"Wah, ini baru asyik!" seru Elliot, berjalan menuju ke jendela belakang.
"Ide siapa dulu, dong!" tanyaku sambil mengikutinya. Ia langsung mengajakku berhigh five. (tos-editor)
Kami memandang ke luar jendela belakang. Jalanan seakan-akan menukik ke bawah ke
tika kami menanjak ke pegunungan
Karavannya terguncang-guncang dan terayun-ayun.
Jalanan semakin menanjak. Semakin terjal. Dan itulah awal dari kesulitan kami.

2
"AKU menang!" teriak Elliot. Ia langsung berdiri dan mengacungkan kedua kepalan
tinjunya.
"Tiga dari lima!" aku menuntut sambil mengurut-urut pergelangan. "Ayo?tiga dari
lima. Kecuali kalau kau tidak berani."
Aku tahu Elliot tak bakal bisa menolak kalau ditantang begitu. Ia paling sebal d
ituduh takut. Langsung saja ia duduk lagi di kursinya.
Kami sama-sama mengambil posisi di meja dan saling mencengkeram tangan. Sudah se
kitar sepuluh menit kami adu panco. Asyik juga, lho, sebab mejanya ikut tergunca
ng setiap kali karavannya melewati lubang di jalan.
Aku dan Elliot sama kuat. Tapi ia lebih ngotot. Jauh lebih ngotot.
Belum pernah aku melihat orang yang begitu ngotot kalau adu panco!
Bagiku, permainan ya cuma permainan. Tapi bagi Elliot setiap permainan adalah ur
usan hidup atau mati.
Sudah sekitar lima kali ia memenangkan dua dari tiga pertandingan.
Pergelanganku pegal dan jemariku nyeri. Tapi aku benar-benar ingin mengalahkanny
a dalam pertandingan yang terakhir ini.
Aku membungkuk sedikit dan meremas tangannya. Sambil mengertakkan gigi, kutatap
matanya yang cokelat tanpa berkedip.
"Ayo!" serunya.
Kami sama-sama mengerahkan segenap tenaga.
Aku mendorong keras-keras. Tangan Elliot mulai terdesak mundur.
Kudorong tangannya lebih keras lagi. Sedikit lagi aku akan menang.

Sedikit lagi.
Ia mengerang dan memejamkan mata. Wajahnya jadi merah padam.
Urat-urat di sisi lehernya menegang.
Adikku paling tidak tahan kalau kalah.
GUBRAK!
Punggung tanganku menghantam permukaan meja.
Elliot menang lagi.
Sebenarnya sih, aku sengaja membiarkannya menang. Aku tidak mau kepalanya sampai
meledak cuma gara-gara adu panco ini.
Ia berdiri dan mengacung-acungkan tangan merayakan kemenangannya.
"Hei?!" tiba-tiba Elliot berseru karena karavan berayun keras, lalu tubuhnya ter
empas ke dinding samping.
Karavan berayun sekali lagi. Aku berpegangan pada tepi meja agar tidak terlempar
dari kursi. "Ada apa ini?"
"Kita berubah arah. Sekarang kita menuju ke bawah," jawab Elliot.
Dengan hati-hati ia kembali ke meja.
Tapi kami kembali terguncang keras, dan kali ini Elliot terempas ke lantai. "Hei
?kita mundur!"
"Pasti Mom yang nyetir," ujarku sambil berpegangan pada tepi meja dengan kedua t
angan.
Mom selalu menyetir seperti orang gila. Kalau kami memperingatkan bahwa kecepata
nnya sudah delapan puluh, ia selalu bilang, "Masa, sih? Rasanya seperti tiga lim
a!"
Karavan melonjak-lonjak dan terguncang-guncang menggelinding ke bawah. Elliot da
n aku ikut terguncang-guncang di dalam.
"Ada apa sih dengan Mom dan Dad?" Elliot berseru. Ia berpegangan pada salah satu
tempat tidur sambil berusaha menjaga keseimbangan. "Mau ke mana kita? Kenapa ki
ta mundur?"
Karavan itu meluncur ke bawah. Dengan susah payah aku berdiri dan maju terhuyung
-huyung untuk melihat mobil. Aku menyingkirkan tirai merah bermotif kotak-kotak
dan mengintip lewat jendela yang kecil.
"Oh... Elliot..." aku berkata dengan suara parau. "Kita punya masalah."
"Hah? Masalah? Masalah apa?" tanyanya, sementara karavan kami melaju semakin ken
cang.
"Kita tidak lagi ditarik Mom dan Dad," aku memberitahunya. "Mobil kita sudah tak
ada."

3
ELLIOT langsung bengong. Sepertinya ia tidak mengerti apa yang kukatakan. Atau m
ungkin juga tidak percaya!
"Karavannya lepas!" aku menjerit sambil memandang ke luar jendela. "Kita menggel
inding ke bawah!"
"A-a-a-aduh!" pekik Elliot. Ia bukannya tergagap-gagap. Ia terguncang begitu ker
as sehingga nyaris tidak bisa bicara. Sepintas lalu ia kelihatan seperti sedang
menari.
"ADUH!" aku memekik ketika kepalaku membentur langit-langit.
Kami berdua terhuyung-huyung ke belakang. Sambil berpegangan pada ambang jendela
, aku memandang ke luar untuk melihat ke mana kami meluncur.
Jalanan menurun curam, melewati hutan cemara yang lebat di kedua sisi.
Kami meluncur semakin kencang.
Semakin kencang.
Semakin kencang.

Roda-roda bergemuruh. Karavan melonjak-lonjak dan meluncur miring.


Aku kehilangan keseimbangan hingga tubuhku membentur lantai dengan keras. Kuulur
kan tangan untuk menarikku ke atas, tapi karavannya terayun, dan aku malah jatuh
telentang.
Setengah mati aku berusaha berlutut. Kumelihat Elliot menggelinding ke sana kema
ri bagaikan bola sepak. Aku melompat ke jendela belakang dan kembali memandang k
e luar.
Karavan terguncang keras. Jalanan menikung tajam?tapi kami tidak ikut membelok!
Kami tetap melaju lurus, keluar dari jalan. Meluncur ke arah pepohonan.
"Elliot!" aku memekik. "Karavan kita bakal nabrak!"

4
KARAVAN kembali terguncang keras. Kudengar bunyi berderak.
Aduh, karavan ini bakal terbelah dua! pikirku.
Kutempelkan kedua tanganku ke dinding depan dan memandang ke luar jendela. Pohon
-pohon gelap seakan-akan melesat melewati kami.
Guncangan yang keras membuatku terempas ke lantai.
Kudengar Elliot memanggil-manggil namaku. "Wendy! Wendy! Wendy!"
Kupejamkan mata dan kuregang setiap otot. Dan menunggu tabrakan yang tak terelak
kan. Menunggu...
Menunggu...
Hening.
Kubuka mataku. Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa kami tak lagi berger
ak. Kutarik napas dalam-dalam. Lalu aku berdiri.
"Wendy?" kudengar Elliot memanggil lemah dari bagian belakang karavan.
Kakiku gemetaran ketika berpaling. Seluruh badanku terasa aneh. Seakan-akan masi
h terguncang-guncang. "Elliot?kau tidak apa-apa?"
Ia terlempar ke salah satu tempat tidur. "Kayaknya sih aku tidak apa-apa," sahut
nya. Ia menurunkan kakinya ke lantai dan menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi aku
agak pusing."
"Aku juga," ujarku. "Wah, rasanya seperti naik roller coaster."
"Lebih seru dari Space Mountain!" seru Elliot. Ia berdiri. "Ayo, kita keluar dar
i sini!"
Kami menuju pintu di depan. Tapi untuk mencapainya, kami terpaksa mendaki. Karav
annya miring ke belakang.
Aku yang lebih dulu sampai di pintu. Kuraih gagangnya.
Tahu-tahu pintunya diketok dari luar, dan aku langsung melompat mundur.
"Hei?!" seruku.
Pintu diketuk tiga kali lagi.
"Itu Mom dan Dad!" seru Elliot. "Mereka sudah menemukan kita! Cepat, buka pintun
ya!"
Ia tidak perlu menyuruhku untuk bergegas. Jantungku berdegup-degup. Aku begitu l
ega bisa melihat mereka.
Aku menekan gagang pintu, mendorong pintu karavan sampai membuka dan memekik ter
tahan.

5
Aku menatap wajah pria berambut pirang. Matanya yang biru bersinar-sinar dalam c
ahaya matahari yang cerah.
Pakaiannya serba putih. Ia mengenakan t-shirt putih yang disetrika rapi dan cela
na putih gombrong. Pada t-shirt-nya tersemat lencana kecil bundar bertulisan HAN
YA YANG TERBAIK dengan huruf-huruf besar berwarna hitam.
"Ehm...hai," aku akhimya berkata.
Ia menampilkan senyum berkilau. Sepertinya ia punya sekitar dua ribu gigi.
"Hei?kalian tidak apa-apa?" tanyanya. Matanya yang biru semakin cerah.
"Yeah, kami baik-baik saja," sahutku. "Agak kaget, tapi?"
"Kau siapa?" seru Elliot sambil menyembulkan kepala dari pintu.
Senyum orang itu tidak memudar sedikit pun. "Namaku Buddy."
"Aku Wendy Ini Elliot. Kami pikir kau orangtua kami," aku menjelaskan, lalu melo
mpat turun dari karavan.
Elliot menyusul. "Mana Mom dan Dad?" ia bertanya sambil mengerutkan kening.
"Sejak tadi aku tidak melihat siapa-siapa," jawab Buddy. Ia mengamati karavan ka
mi. "Apa yang terjadi? Karavan kalian terlepas?"
Aku mengangguk sambil menepis rambutku yang gelap dari wajahku.
"Sungguh berbahaya," Buddy bergumam. "Kalian pasti ketakutan sekali tadi."
"Aku tidak!" ujar Elliot.
Huh, dasar. Tadi ia gemetar ketakutan dan memanggil-manggil namaku. Sekarang men
dadak ia jadi Mister Macho.
"Seumur hidup aku belum pernah setakut tadi," kataku terus terang.
Aku berjalan beberapa langkah dari karavan, mengamati hutan di sekitar kami. Poh
on-pohon berayun pelan karena tiupan angin yang lembut. Matahari bersinar cerah.
Aku memandang berkeliling sambil melindungi mata dengan sebelah tangan.
Mom dan Dad tidak kelihatan. Jalan raya pun tidak tampak karena tertutup pepohon
an yang lebat.
Aku cuma melihat jejak ban yang ditinggalkan karavan kami di tanah.
Entah bagaimana caranya, tapi rupanya karavan kami melewati jalur terbuka di ant
ara pohon-pohon, lalu berhenti di kaki bukit yang terjal.
"Wow. Kami beruntung," aku bergumam.
"Kalian beruntung sekali," Buddy menegaskan dengan riang. Ia menghampiriku, mele
takkan kedua tangannya pada pundakku, lalu membalikkan tubuhku. "Coba lihat itu.
Lihat, di mana kalian sekarang!"
Aku memandang ke puncak bukit dan melihat lapangan terbuka di antara pohon-pohon
. Dan kemudian kulihat spanduk besar berwarna merah-putih, terentang di antara d
ua tiang. Aku harus memicingkan mata agar bisa membaca kata-kata yang tertulis p
ada spanduk itu.
Elliot membaca keras-keras: "Camp olahraga King Jellyjam."
"Lokasinya di balik bukit ini," Buddy memberitahu kami sambil tersenyum ramah. "
Ayo, ikut aku!"
"Tapi?tapi?" adikku tergagap-gagap. "Kami harus mencari orangtua kami!"
"Hei?tenang saja. Kalian bisa menunggu mereka di camp," Buddy mencoba meyakinkan
dia.
"Tapi, bagaimana mereka tahu kami ada di sana?" protesku. "Mungkin ada baiknya k
ami tinggalkan pesan untuk mereka."
Buddy kembali tersenyum. "Tidak perlu. Biar aku yang urus," katanya. "Pokoknya,
jangan kuatir, deh."
Ia melewati karavan dan mulai menaiki bukit. T-shirt dan celananya yang putih ta
mpak menyilaukan dalam cahaya matahari. Kulihat kaus kaki dan sepatu ketsnya jug
a berwarna sama.
Itu seragamnya. Dia pasti bekerja di camp itu, ujarku dalam hati.
Buddy menoleh. "Kalian jadi ikut, tidak?" tanyanya sambil melambaikan tangan. "A
yo, kalian pasti suka."
Elliot dan aku bergegas mengikutinya. Kakiku gemetaran. Rasanya seperti masih be
rada di dalam karavan yang terguncang-guncang.
Semakin tinggi kami menaiki bukit berumput itu, spanduk berwarna merah-putih tad

i pun semakin jelas terlihat di hadapan kami. "Camp Olah-raga King Jellyjam," ak
u membacanya sekali lagi.
Di samping kata-kata tersebut terdapat gambar tokoh kartun yang lucu berwarna un
gu. Dia mirip gumpalan permen karet rasa anggur.
Wajahnya dihiasi senyum lebar, dan kepalanya bermahkota emas.
"Siapa itu?" aku bertanya pada Buddy.
Buddy melirik ke spanduk. "Itu King Jellyjam," sahutnya. "Maskot kami."
"Rasanya kurang cocok untuk maskot camp olah-raga," komentarku sambil mengamati
raja bertubuh bulat ungu itu.
Buddy diam saja.
"Kau bekerja di camp?" tanya Elliot.
Buddy mengangguk. "Aku senang sekali bekerja di situ. Aku pembina kepala. Jadi?s
elamat datang!"
"Tapi kami tidak bisa ikut," protesku. "Elliot dan aku harus mencari orangtua ka
mi. Kami harus..."
Buddy menaruh tangan di bahuku dan bahu Elliot. Ia menggiring kami ke atas bukit
. "Kalian hampir saja celaka. Jadi tak ada salahnya kalian mampir sebentar dan b
ersenang-senang. Nikmatilah suasana di camp. Sampai aku bisa menghubungi orangtu
a kalian."
Kami sudah hampir tiba di puncak bukit ketika aku mendengar suara-suara. Suara a
nak-anak. Mereka sedang bersorak-sorai dan tertawa-tawa.
"Camp olahraga apa ini?" Elliot bertanya pada Buddy.
"Segala macam olahraga ada di sini," sahut Buddy. "Dari pingpong sampai football
. Dari croquet sampai sepak bola. Ada renang, tenis, panahan. Malah ada turnamen
gundu!"
"Kedengarannya asyik juga!" komentar adikku. Ia menatapku sambil nyengir.
"Hanya yang terbaik!" Buddy berseru sambil menepuk pundak Elliot.
Aku yang pertama tiba di puncak. Begitu sampai di atas, aku langsung memandang k
e arah camp yang tampak di balik pohon-pohon.
Sepertinya camp itu membentang sampai bermil-mil!
Aku melihat gedung putih bertingkat dua yang memanjang di kedua sisi. Di antara
kedua gedung itu ada beberapa lapangan bermain, lapangan baseball, sederetan lap
angan tenis, dan dua kolam renang yang besar sekali.
"Gedung-gedung putih yang panjang itu gedung asrama," Buddy menjelaskan sambil m
enunjuk. "Itu asrama anak perempuan, dan itu asrama anak laki-laki. Kalian bisa
tidur di situ selama kalian tinggal di sini."
"Wow, keren!" Elliot berseru penuh semangat. "Dua kolam renang."
"Ukuran olimpiade," Buddy memberitahunya. "Kami juga punya kompetisi loncat inda
h. Kalian suka loncat indah?"
"Hanya di tempat tidur," aku berkelakar.
"Wendy suka berenang," Elliot berkata kepada Buddy.
"Kalau tidak salah, nanti sore ada pertandingan renang empat lap," Buddy memberi
tahuku. "Nanti akan kulihat jadwalnya."
Matahari bersinar cerah ketika kami menuruni jalan setapak di lereng bukit. Teng
kukku mulai gatal-gatal. Rasanya asyik juga kalau aku bisa terjun ke kolam renan
g itu.
"Apakah aku bisa mendaftar untuk ikut baseball?" Elliot bertanya kepada Buddy. "
Atau aku harus ikut tim dulu?"
"Kau bebas memilih olahraga yang kau suka," jawab Buddy. "Satu-satunya peraturan
di camp ini adalah berusaha dengan sekuat tenaga." Buddy menunjuk lencana di tshirt-nya.
"Hanya yang terbaik," katanya.
Embusan angin meniupkan rambut ke wajahku. Huh, seharusnya kupotong dulu sebelum
kami berangkat berlibur. Aku memutuskan mencari sesuatu untuk mengikatnya begit
u aku sampai di asrama.
Di lapangan yang terdekat sedang berlangsung pertandingan sepak bola. Bunyi pelu
it terdengar nyaring. Para pemain bersorak-sorak. Di ujung lapangan bola ada der
etan sasaran untuk panahan.
Buddy mulai berlari kecil menuju ke lapangan. Elliot menghampiriku.
"Hei?kita memang ingin berlibur di camp seperti ini, kan?" ujarnya sambil nyengi

r lebar. "Nah, ternyata berhasil juga."


Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah menyusul Buddy.
Kusibakkan rambutku sekali lagi, lalu mengikuti mereka. Tapi kemudian aku berhen
ti karena melihat gadis cilik menyembulkan kepala dari balik batang pohon besar.
Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun. Rambutnya merah, dan wajahnya penuh binti
k-bintik. Dia memakai t-shirt biru pucat dan celana ketat hitam.
"Hei?" panggilnya setengah berbisik. "Hei?!"
Aku segera menoleh.
"Jangan ke sini!" serunya dengan suara tertahan. "Cepat lari! Jangan ke sini!"

6
BUDDY langsung menoleh ke belakang. "Ada apa, Wendy?" serunya padaku.
Ketika aku memandang kembali ke pohon, gadis cilik berambut merah itu sudah leny
ap. Aku mengedip-ngedipkan mata. Tapi ia menghilang tanpa jejak.
Kenapa anak itu ada di sini? tanyaku dalam hati. Apakah ia sengaja bersembunyi d
i balik pohon untuk menakut-nakuti orang yang lewat?
"Ehm... tidak ada apa-apa," seruku kepada Buddy. Kuikuti dia dan Elliot ke camp.
Aku sudah melupakan gadis cilik tadi ketika kami berjalan mengitari lapangan bol
a lalu melewati deretan lapangan tenis yang dibatasi pagar kawat. Bunyi bola ten
is dipukul terus mengikuti ketika kami membelok ke jalan setapak utama yang memb
elah camp itu.
Begitu banyak olahraga! Begitu banyak kegiatan!
Kami berpapasan dengan anak-anak dari segala umur yang bergegas ke kolam renang,
ke lapangan baseball, atau ke lintasan boling!
"Keren!" Elliot terus mengulangi. "Benar-benar keren!"
Kali ini ia benar.
Kami bertemu beberapa pembina lain. Semuanya, pria atau wanita muda, berpakaian
serba putih. Tampang mereka ramah dan selalu tersenyum cerah.
Kami juga melewati lusinan tanda berbentuk segitiga yang menampilkan wajah King
Jellyjam yang bulat berwarna ungu. Ia pun tersenyum di bawah mahkota emasnya yan
g berkilauan. Dan di bawah setiap wajah tertulis slogan camp: Hanya Yang Terbaik
.
Sebenarnya ia lucu juga, kataku dalam hati. Aku sadar aku mulai menyukai segala
sesuatu di camp yang luar biasa ini.
Dan terus terang, dalam hati aku berharap Mom dan Dad membutuhkan waktu paling t
idak satu atau dua hari untuk menemukan Elliot dan aku.
Keterlaluan, ya?
Aku benar-benar merasa bersalah. Tapi bagaimana lagi? Suasana di sini begitu mer
iah, begitu semarak. Terutama bagi seseorang yang sudah berhari-hari duduk di ba
ngku jok mobil sambil memandang sapi-sapi!
Pertama-tama Elliot kami antar ke asrama cowok. Pembina lain, anak muda yang jan
gkung dan berambut gelap bernama Scooter, menyambut adikku dan segera mengajakny
a mencari kamar di asrama.
Kemudian giliranku diantar Buddy ke asrama cewek di seberang camp. Kami melewati
pertandingan senam yang diadakan di arena terbuka.
Di balik arena itu, salah satu kolam renang dipenuhi anak-anak yang menonton per
tandingan loncat indah.
Buddy dan aku mengobrol sambil berjalan. Aku bercerita tentang sekolahku dan bah
wa olahraga kegemaranku adalah berenang dan bersepeda.
Kami berhenti di depan pintu asrama yang dicat putih. "Kau berasal dari mana?" t

anyaku pada Buddy.


Ia membalas tatapanku. Wajahnya kelihatan bingung sekali. Sekilas aku menyangka
ia tidak mengerti pertanyaanku.
"Kau dari sekitar sini?" tanyaku sekali lagi.
Ia menelan ludah dan memicingkan matanya yang biru.
"Aneh...," akhirnya ia bergumam.
"Apanya yang aneh?" tanyaku.
"Aku... aku tidak ingat," ia tergagap-gagap. "Aku tidak ingat dari mana aku bera
sal. Aneh, bukan?" Ia menempelkan tangan ke mulut dan menggigit-gigit kuku telun
juknya.
"Hei, aku juga sering lupa," ujarku, karena melihat betapa gelisahnya ia.
Aku tidak sempat berkata apa-apa lagi. Pembina cewek berambut lurus, hitam, dan
sangat pendek, dengan lipstik ungu di bibir menghampiri kami. "Halo, aku Holly.
Sudah siap berolahraga?"
"Ehm, ya," jawabku ragu-ragu.
"Ini Wendy," Buddy memperkenalkanku. Roman mukanya masih berkerut-kerut. "Dia pe
rlu kamar."
"Itu sih gampang!" balas Holly dengan ceria. "Hanya Yang Terbaik!"
"Hanya Yang Terbaik," Buddy menyahut pelan-pelan. Senyumnya mengembang. Tapi aku
tahu ia masih berusaha mengingat-ingat di mana rumahnya. Aneh, ya?
Holly mengajakku memasuki asrama. Aku mengikutinya dan kami melewati koridor pan
jang berubin putih. Beberapa cewek berpapasan dengan kami. Mereka akan mengikuti
olahraga yang berbeda-beda.
Semua gembira dan tertawa riang.
Aku mengintip ke beberapa kamar yang kami lewati. Wow! pikirku.
Tempat ini begitu modern dan mewah! Ini bukan seperti camp yang pernah kulihat.
"Di sini kita jarang mendekam di dalam kamar," kata Holly. "Semua orang selalu b
erada di luar, saling bersaing."
Ia membuka sebuah pintu putih dan mengajakku masuk. Sinar matahari menerangi rua
ngan itu dari jendela lebar di seberang pintu.
Aku melihat dua tempat tidur tingkat berwarna biru cerah di kiri-kanan. Di antar
a keduanya ada meja rias berwarna putih. Selain itu
masih ada dua kursi kuli
t berlengan.
Semua dinding dicat putih. Tak ada hiasan apa pun selain gambar King Jellyjam di
atas meja rias.
"Kamarnya bagus sekali!" seruku sambil memicingkan mata agar tidak silau.
Holly tersenyum. Bibirnya yang ungu menarik segenap perhatianku, sehingga bagian
-bagian wajahnya yang lain seakan-akan tidak ada.
"Syukurlah kalau kau suka, Wendy. Kau bisa menempati tempat tidur sebelah bawah
di sana," tunjuknya. Ternyata cat kukunya sewarna dengan lipstiknya.
"Apa ada orang lain yang tidur di sini selain aku?" tanyaku.
Holly mengangguk. "Sebentar lagi kau akan ketemu mereka. Mereka yang akan mengaj
akmu melakukan berbagai kegiatan. Sekarang mereka mungkin sedang bermain sepak b
ola di lapangan bawah. Aku tak tahu pasti."
Ia sudah hendak meninggalkan ruangan, tapi berbalik ketika sampai di ambang pint
u. "Kau pasti suka Dierdre. Kalau tidak salah, kalian berdua sebaya.
"Thanks," ujarku sambil memandang berkeliling.
"Sampai nanti," sahut Holly. Ia keluar ke koridor.
Aku berdiri di tengah-tengah kamar yang terang benderang sambil memeras otak. Da
ri mana aku dapat baju? tanyaku dalam hati.
Bagaimana dengan baju renang? Dan baju olahraga?
Pakaianku hanya celana pendek jeans dan t-shirt bergaris-garis pink dan biru yan
g sedang kukenakan.
Dan kenapa Holly tidak bilang apa yang harus kulakukan setelah ini? aku bertanya
-tanya.
Kenapa dia meninggalkanku begitu saja di kamar kosong ini?
Aku tidak sempat bingung lama-lama.
Aku hendak menghampiri ke jendela ketika aku mendengar sesuatu.
Suara-suara yang berbisik-bisik di koridor.
Aku berpaling ke pintu. Barangkali itu teman-teman sekamarku yang baru kembali.

Aku mendengarkan mereka berbisik-bisik.


Kemudian ada satu anak yang memberi perintah kepada yang lainnya.
"Ayo. Dia terperangkap di sini. Kita serang dia!"

7
AKU menahan napas. Kalang-kabut aku mencari tempat bersembunyi.
Tak ada waktu.
Tiga cewek menyerbu masuk. Ketiga-tiganya menyeringai sambil memicingkan mata. M
ereka membentuk barisan dan langsung menghampiriku.
"Hei! Tunggu dulu!" seruku. Kuangkat kedua tanganku seakan hendak melindungi dir
i dari serangan mereka.
Gadis jangkung berambut pirang yang pertama ketawa. Lalu disusul kedua temannya.
"Kena kau!" cewek pirang itu berseru sambil menyibakkan rambutnya yang panjang.
Aku menatapnya sambil melongo.
"Kaupikir kami benar-benar mau menyerangmu?" tanya salah satu temannya. Ia kurus
. Rambutnya yang hitam dipotong sangat pendek.
Ia memakai celana training abu-abu dan t-shirt berwarna sama.
"Ehm...," aku bergumam. Wajahku mendadak terasa panas. Aku benar-benar tertipu o
leh lelucon mereka. Aku malu sekali.
"Bukan aku, kok," gadis yang satu lagi berkata sambil menggelengkan kepala. Ramb
utnya yang pirang menyembul dari balik topi Chicago Cubs yang berwarna merah-bir
u. "Ini ide Dierdre." Ia menunjuk temannya yang berambut panjang.
"Kau tak perlu malu," ujar Dierdre sambil nyengir lebar. "Kau korban ketiga ming
gu ini."
Kedua temannya cekikikan.
"Dan yang lain juga menyangka mau diserang?" tanyaku.
Dierdre mengangguk. Ia tampak puas sekali. "Memang agak jahat, tapi lucu.".
Kali ini aku ikut ketawa.
"Aku punya adik laki-laki. Jadi ku sudah biasa dengan lelucon-lelucon konyol," k
ataku pada Dierdre.
Ia kembali menyibakkan rambut. Lalu membongkar laci paling atas dan mengambil ka
ret untuk mengikat rambutnya. "Ini Jan, dan ini Ivy," ia memperkenalkan kedua te
mannya.
Jan yang berambut hitam pendek. Ia menjatuhkan diri ke tempat tidur.
"Huh, aku capek sekali," keluhnya. "Latihan tadi benar-benar berat. Lihat, nih.
Sampai sekarang aku masih keringatan."
"Ya, dan baunya ke mana-mana," Ivy menimpali sambil ketawa.
Jan langsung menjulurkan lidah.
"Kalian ganti baju dulu," Dierdre menyuruh mereka. "Waktu kita cuma sepuluh meni
t."
"Memangnya ada apa, sih?" tanya Jan. Ia membungkuk, mengurut-urut betisnya.
"Kau lupa, ya?" sahut Dierdre. "Kan ada pertandingan renang empat lap."
"Oh, ya ampun!" Jan berseru sambil berdiri. "Aku benar-benar lupa."
Ia bergegas ke lemari pakaian. "Mana baju renangku?"
Ivy mengikutinya. Kedua-duanya sibuk menggeledah laci.
Dierdre berpaling padaku. "Kau mau ikut bertanding?" tanyanya.
"A-Aku tidak bawa baju renang," ujarku.
Ia angkat bahu. "Itu sih gampang. Aku punya sekitar selusin." Ia mengamatiku. "U
kuran baju kita kira-kira sama. Cuma aku sedikit lebih tinggi."
"Ehm, kebetulan aku memang lagi kepingin berenang," kataku. "Barangkali aku ikut
ke kolam renang dan main-main sebentar."

"Hah? Kau tidak ikut bertanding?" tanya Dierdre heran.


Ketiga teman baruku itu berpaling ke arahku, dan ketiga-tiganya tampak heran.
"Kapan-kapan saja," jawabku. "Sekarang ini aku cuma mau nyebur dan berenang sebe
ntar. Supaya segar."
"Tapi?tidak bisa, dong!" seru Jan. Ia menatapku seakan-akan kepalaku mendadak ad
a dua.
"Kau harus ikut bertanding," Dierdre menambahkan. "Kau tidak boleh bersantai."
"Hanya Yang Terbaik," Ivy berkomentar,
"Yeah. Hanya Yang Terbaik," Jan menimpali.
Sekarang giliran aku yang kebingungan.
"Apa sih maksud kalian?" tanyaku. "Kenapa kalian terus bilang begitu."
Dierdre menyerahkan baju renang berwarna biru. "Nih, kau pakai yang ini saja. Ce
pat, nanti kita terlambat."
"Tapi... tapi..." aku tergagap-gagap.
Mereka cepat-cepat memakai baju renang.
Kelihatannya aku tidak punya pilihan. Aku masuk ke kamar mandi dan berganti baju
.
Tapi pertanyaan-pertanyaan tadi masih saja berkecamuk dalam benakku. Dan aku ing
in memperoleh jawaban.
Kenapa aku harus ikut bertanding? Kenapa aku tidak boleh berenang santai saja?
Dan kenapa semua orang terus bilang "Hanya Yang Terbaik?"
Apa maksud mereka?

8
KOLAM renang yang besar itu tampak berkilauan. Matahari bersinar cerah. Lantai s
emen di sekeliling kolam seakan membakar telapak kakiku. Aku benar-benar sudah t
ak sabar ingin menyebur.
Sambil melindungi mata dengan sebelah tangan, aku memandang berkeliling untuk me
ncari Elliot. Tapi aku tidak berhasil menemukannya di tengah kerumunan anak-anak
yang sudah menunggu untuk menonton pertandingan.
Elliot pasti sudah ikut tiga macam olahraga, kataku dalam hati. Camp ini memang
cocok sekali untuknya!
Diam-diam aku mengamati para peserta yang telah berbaris. Kami semua berdiri di
tepi kolam renang, menunggu pertandingan dimulai.
Aku berhitung dalam hati. Paling tidak ada dua lusin peserta. Dan kolamnya cukup
lebar, sehingga semua memperoleh lintasan sendiri.
"Hei, kau pantas sekali memakai baju renangku," ujar Dierdre. Ia menatapku denga
n matanya yang hijau. "Mestinya rambutmu diikat saja, Wendy. Kau bisa berenang l
ebih cepat kalau rambutmu diikat."
Wow, pikirku. Dierdre tidak main-main soal pertandingan ini.
"Kau jago renang, ya?" tanyaku padanya.
Ia menepuk lalat yang hinggap di betisnya. "Aku yang terbaik," jawabnya sambil n
yengir. "Kau bagaimana?"
"Aku belum pernah ikut pertandingan."
Para pembina yang bertugas di kolam renang semuanya wanita muda. Dan semuanya me
ngenakan baju renang berwarna putih. Di seberang kolam, aku melihat Holly duduk
di pinggir papan loncat indah. Ia sedang bicara dengan pembina lain.
Seorang pembina jangkung berambut merah menghampiri tepi kolam dan meniup peluit
. "Semuanya siap?" ia berseru.
Kami semua menyahut "Ya!" secara serempak. Kemudian suasana jadi hening. Kami be
rpaling ke kolam renang, membungkuk, dan bersiap-siap melakukan start.
Permukaan air tampak berkilauan. Matahari membakar punggung dan pundakku. Rasany

a aku sudah mau meleleh. Aku sudah tak sabar ingin terjun.
Peluit kembali berbunyi. Aku melompat ke depan lalu nyebur ke air.
Air yang dingin sempat membuatku terkejut ketika mengenai kulitku yang panas. Le
nganku berayun kencang ketika aku mulai melesat maju.
Suara tangan dan kaki yang membelah air menyerupai gemuruh air terjun. Kubenamka
n wajah dalam air, merasakan dinginnya air yang menyegarkan.
Ketika menoleh, kulihat Dierdre beberapa meter di belakangku. Ia berenang dengan
irama yang mantap. Tangan dan kakinya bergerak anggun.
Aku paling depan, aku menyadari sambil melirik para peserta lain.
Aku bakal menang!
Dengan satu tendangan kuat aku sampai di ujung kolam. Cepat-cepat aku berbalik d
an kembali mengayunkan tangan. Para peserta lain belum sampai di ujung, dan aku
berpapasan dengan mereka.
Kepalaku mulai berdenyut-denyut.
Aku yakin lap pertama bakal kumenangkan dengan mudah. Tapi setelah itu masih ada
tiga lap lagi.
Tiga lap...
Tiba-tiba aku sadar betapa bodohnya aku. Para peserta yang lain sengaja berenang
agak pelan. Mereka sengaja menyimpan tenaga karena tahu pertandingan ini menemp
uh jarak empat lap.
Kalau aku terus berenang sekencang ini, dua lap pun aku takkan sanggup!
Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuembuskan pelan-pelan.
Pelan-pelan... pelan-pelan...
Itu kata kuncinya.
Kuperlambat tendangan kakiku. Kuperlambat ayunan tanganku. Dan aku menarik napas
dalam-dalam. Dalam-dalam dan pelan-pelan.
Ketika aku membalik dan mulai menempuh lap kedua, beberapa perenang lain sudah b
erada di sampingku. Aku sempat bertatapan dengan Dierdre ketika ia berenang mele
watiku.
Ia terus mengayunkan tangan dan kaki dengan irama yang mantap.
Ayun. Ayun. Napas. Ayun.
Di sebelah Dierdre, kulihat Jan meluncur dengan ringan, seakan-akan tanpa menger
ahkan tenaga. Jan begitu kecil dan enteng. Ia seperti mengambang di atas air.
Memasuki lap ketiga, aku tertinggal beberapa meter di belakang Dierdre. Aku berk
onsentrasi penuh untuk mengatur kecepatan. Aku berlagak jadi robot yang sudah di
program untuk berenang pelan-pelan.
Memasuki lap keempat, Dierdre berada beberapa detik di depanku.
Kulihat roman mukanya berubah ketika ia berbalik. Ia memicingkan mata. Wajahnya
kelihatan kencang dan tegang.
Dierdre benar-benar kepingin menang, aku menyadari.
Sanggupkah aku mengejarnya? Hmm, aku jadi penasaran. Siapa tahu aku malah mampu
mengalahkan dia.
Aku berbalik dan menambah kecepatan.
Rasa pegal di kedua lenganku tak kugubris. Kaki kiriku yang kram tak kuhiraukan.
Aku melaju dengan kencang sambil menendang-nendang dengan sekuat tenaga. Lengank
u membelah-belah air.
Semakin kencang.
Aku mulai mengejar Jan. Aku melihat kekecewaan di wajahnya ketika ia kususul.
Aku melesat bagaikan ikan hiu yang mengejar mangsa. Tangan dan kakiku menimbulka
n bunyi gemuruh yang mengalahkan sorak-sorai para penonton di sekeliling kolam.
Jantungku berdegup begitu keras sampai aku takut dadaku bakal meledak.
Tanganku terasa berat sekali, seakan-akan membawa beban lima ratus kilo.
Tambah kencang...
Kini aku sudah hampir sejajar dengan Dierdre. Sedikit lagi. Aku begitu dekat seh
ingga bisa mendengar suara napasnya.
Aku melirik wajahnya yang tampak tegang karena berkonsentrasi.
Persis seperti Elliot, kataku dalam hati. Ia benar-benar ngotot.
Sering kali aku membiarkan Elliot memenangkan suatu permainan.
Soalnya ia jauh lebih kepingin menang daripada aku. Sama seperti Dierdre.

Ketika kami mendekati ujung kolam, aku membiarkan Dierdre menduluiku.


Habis, ia begitu ngotot untuk menang. Ia begitu ngotot untuk jadi juara.
Ya sudah, pikirku. Juara dua juga lumayan. Sorak-sorai membahana ketika Dierdre
memenangkan pertandingan.
Aku menyentuh dinding kolam lalu menyelam ke bawah permukaan.
Kemudian aku muncul lagi dan meraih tepi kolam. Seluruh badanku terasa pegal. Na
pasku terengah-engah. Kupejamkan mata dan kutarik rambutku ke belakang dengan ke
dua tangan, sekaligus memerasnya.
Saking pegalnya tanganku, aku nyaris tak sanggup memanjat keluar.
Aku salah satu yang terakhir naik dari kolam.
Yang lain sudah berkerumun di sekeliling Dierdre. Aku menerobos kerumunan itu un
tuk melihat ada apa.
Mataku perih sekali, sehingga beberapa kali kuusap. Lalu aku melihat pembina ber
ambut merah tadi menyerahkan sesuatu kepada Dierdre.
Sesuatu yang berwarna emas dan berkilau-kilau.
Semuanya bersorak-sorai. Kemudian mereka bubar dan pergi ke segala arah.
Aku menghampiri Dierdre. "Selamat, ya!" seruku. "Aku sudah hampir menyusulmu. Ta
pi kau melesat kencang sekali."
"Aku ikut tim renang di sekolahku," sahutnya. Ia memamerkan benda emas yang dise
rahkan pembina tadi.
Baru sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas. Ternyata sebuah keping emas yang
mengilap. Pada satu sisinya terukir wajah King Jellyjam yang tersenyum lebar. K
ata-kata di sekeliling tepi keping itu tak terbaca olehku, tapi aku sudah bisa m
embayangkan apa tulisannya.
"Ini King Coin kelima yang berhasil kuraih!" Dierdre berkata dengan bangga.
Kenapa sih ia begitu senang? aku bertanya dalam hati. Keping itu bukan keping su
ngguhan. Dan kurasa emasnya juga bukan emas asli.
"Apa itu King Coin?" tanyaku. Keping itu berkilau-kilau memantulkan sinar mataha
ri.
"Kalau aku dapat satu King Coin lagi, aku bisa ikut Upacara Juara,"
Dierdre menjelaskan.
Sebenarnya aku masih mau bertanya apa itu Upacara Juara, tapi Jan dan Ivy keburu
menghampiri Dierdre untuk memberi selamat padanya. Ketiga-tiganya berbicara ber
barengan.
Tiba-tiba aku teringat adikku. Mana sih Elliot? aku bertanya-tanya.
Apa saja yang dikerjakannya selama ini.
Aku berpaling dari Dierdre dan yang lain, dan berjalan ke arah pintu keluar kola
m renang. Tapi baru beberapa langkah, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh dan melihat Holly berlari kecil ke arahku. Ia merengut, seakan-akan
ada yang membuatnya tidak senang. "Wendy, sebaiknya kau ikut aku sebentar," kata
nya padaku.
Aku langsung deg-degan. "Hah? Ada apa?"
"Kelihatannya ada sedikit masalah," sahut Holly pelan-pelan.

9
PASTI telah terjadi sesuatu atas Mom dan Dad!
Itulah yang pertama terlintas dalam benakku. "Ada apa?" aku berseru. "Orangtuaku
! Mereka tidak apa-apa? Apakah mereka...?"
"Kami belum berhasil menemukan orangtua kalian," ujar Holly. Ia membungkus punda
kku yang gemetaran dengan handuk. Kemudian ia menggiringku ke bangku di sisi kol
am renang.
"Atau ada sesuatu dengan Elliot?" tanyaku lagi sambil duduk di sebelahnya. "Ada
apa sebenarnya?"
Holly terus merangkulku dan menunduk sedikit. Matanya yang cokelat menatap matak
u.

"Wendy, masalahnya adalah kau tidak berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan per
tandingan," katanya.
Aku menelan ludah. "Apa?"
"Aku memperhatikanmu tadi," ia melanjutkan. "Aku tahu kau mengurangi kecepatan p
ada lap terakhir. Rasanya kau tidak berusaha mati-matian."
"Tapi?tapi?aku?" aku tergagap-gagap. Holly menatapku tanpa berkedip.
"Benar, tidak?" ia bertanya pelan-pelan.
"A-aku tidak biasa berenang sejauh itu," aku berdalih. "Ini pertama kali aku iku
t pertandingan. Aku pikir?"
"Aku tahu kau masih baru di sini," Holly memotong sambil mengusir lalat dari kak
iku. "Tapi kau tahu slogan camp ini, bukan?"
"Tentu saja," jawabku. "Slogannya ada di mana-mana. Tapi apa sih artinya? 'Hanya
Yang Terbaik'?"
"Kurasa itu semacam peringatan," Holly berkata dengan serius. "Karena itulah aku
memutuskan untuk mengajakmu bicara, Wendy."
"Peringatan?" aku berseru. Aku semakin bingung saja. "Peringatan untuk apa?"
Holly tidak menjawab. Ia memaksakan senyum, lalu berdiri tanpa berkata apa-apa l
agi. "Sampai nanti, oke?"
Ia berbalik dan bergegas pergi.
***
Kukencangkan handuk pada pundakku dan berjalan menuju asrama untuk berganti baju
. Aku melewati deretan lapangan tenis sambil memikirkan peringatan Holly.
Sebegitu pentingnyakah bahwa aku harus memenangkan pertandingan renang tadi?
Supaya aku bisa mendapat keping emas dengan gambar si raja gendut yang berwarna
ungu?
Apa perlunya aku memenangkan keping-keping itu? Kenapa aku tidak boleh sekadar b
ersantai, mencari teman baru, dan bersenang-senang?
Kenapa Holly bicara soal peringatan segala? Apa maksud dia sebenarnya?
Aku menggelengkan kepala untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan
itu. Aku sudah pernah mendengar cerita mengenai camp olahraga dari teman-teman
di rumah. Menurut mereka beberapa camp benar-benar keras. Anak-anak yang ada di
situ semuanya cuma ingin menang dan menang dan menang.
Kelihatannya camp ini juga seperti itu.
Ya, apa boleh buat, pikirku sambil mendesah. Untung saja aku tidak perlu berlama
-lama di sini. Sebentar lagi Mom dan Dad akan datang untuk menjemput Elliot dan
aku.
Aku menoleh?dan melihat Elliot.
Ia tergeletak di tanah dengan wajah menghadap ke bawah. Tangan dan kakinya teren
tang lebar. Matanya terpejam.
Ia pingsan.

10
"OHHHHHH!" aku memekik ketakutan.
"Elliot! Elliot!" Aku berlutut di sampingnya.
Ia langsung duduk dan menatapku sambil nyengir. "Berapa kali sih kau bisa kutipu
dengan cara ini?" tanyanya. Lalu ia ketawa terbahak-bahak.
Kutonjok pundaknya sekeras mungkin. "Dasar brengsek!"
Tapi ia malah ketawa lebih keras lagi. Ia senang sekali kalau bisa mengecohku se
perti itu.

Kenapa aku selalu ketipu? Aku sudah lupa berapa kali Elliot menggunakan siasat i
tu. Tapi setiap kali aku masih saja percaya bahwa ia pingsan.
"Habis ini aku tidak bakal ketipu lagi. Tidak bakal!" seruku dengan gusar.
Elliot berdiri. "Ayo, kau harus nonton aku main pingpong," katanya sambil menari
k-narik tanganku. "Aku ikut turnamen. Lawanku namanya Jeff. Ia pikir dirinya heb
at, soalnya bisa bikin bola melintir kalau lagi servis. Tapi sebenarnya ia tidak
ada apa-apanya."
"Aku tidak bisa," sahutku. Kutarik tanganku dari genggamannya. "Aku basah kuyup.
Aku harus ganti baju."
"Ayo, dong! Kau harus nonton," desaknya. "Pertandingannya tidak lama. Aku bisa m
engalahkannya dalam sekejap, oke?"
"Elliot?" Ia kelihatan bersemangat sekali. "Kalau aku bisa mengalahkan Jeff, aku
bakal dapat King Coin," ia memberitahuku. "Habis itu aku harus menang lima kali
lagi. Aku harus dapat enam keping, supaya aku bisa ikut Upacara Juara sebelum k
ita dijemput Mom dan Dad."
"Mudah-mudahan berhasil," aku bergumam sambil mengusap-usap rambutku yang basah
dengan handuk.
"Kau ikut pertandingan renang, ya? Menang, tidak?" tanya Elliot. Ia kembali mena
rik-narik tanganku.
"Tidak, aku juara dua," ujarku.
Ia ketawa mengejek. "Kau memang payah. Ayo, coba lihat bagaimana aku menyikat an
ak itu."
Aku geleng-geleng kepala. "Oke, oke."
Elliot mengajakku ke sederetan meja pingpong di luar ruangan.
Supaya terlindung dari matahari, meja-meja itu dinaungi kain terpal putih yang d
ibentangkan di antara empat tiang.
Adikku bergegas ke meja ujung. Jeff sudah menunggu. Ia sedang memantul-mantulkan
bola dengan betnya.
Tadinya kupikir Elliot akan melawan anak kecil kurus yang bisa ia kalahkan denga
n mudah. Tapi Jeff ternyata berbadan besar, dengan wajah merah rambut pirang. Pa
ling tidak ia dua kali lebih besar dari adikku!
Aku duduk di bangku kayu di seberang deretan meja. Elliot tak mungkin menang law
an anak itu, pikirku. Adikku yang malang bakal kalah telak.
Ketika mereka mulai main, Buddy muncul dan d uduk di sampingku.
Seperti biasa, ia tersenyum lebar. "Belum ada kabar dari orangtuamu," katanya. "
Tapi kami masih terus berusaha menghubungi mereka."
Kami menonton pertandingan pingpong. Jeff melancarkan servis dengan bola pelinti
r. Elliot langsung menghajarnya.
Di luar dugaanku, pertandingannya lumayan imbang. Sepertinya Jeff juga terkejut.
Semakin lama pukulan balasannya semakin tidak terarah. Dan sering kali servisny
a yang khusus malah tidak mengenai meja!
Mereka sudah bermain dua game, Buddy memberitahuku. Game pertama dimenangkan Jef
? game kedua oleh Elliot. Ini game ketiga yang menentukan.
Kedudukannya seri enam belas sama, lalu tujuh belas sama, dan delapan belas sama
.
Aku melihat Elliot semakin gelisah. Ia kepingin sekali menang. Ia membungkuk den
gan tegang dan menggenggam betnya begitu erat sehingga tangannya tampak memutih.
Butir-butir keringat membasahi keningnya. Ia mulai melompat-lompat, dan melenguh
setiap kali memukul. Setiap bola hendak dismesnya.
Sementara Elliot semakin gelisah dan tegang, Jeff malah kelihatan semakin tenang
.
Kedudukannya sembilan belas sama.
Bola kembalian Elliot keluar, dan dengan geram ia membanting betnya ke meja.
Aku sudah melihat gelagatnya. Elliot mulai kehilangan kendali diri.
Ini sudah sering terjadi dengan adikku. Ia tidak bakal menang kalau tetap tegang
seperti ini.
Ketika ia mengangkat bola untuk melancarkan servis, aku menempelkan dua jari ke
sudut mulut dan bersuit keras-keras. Elliot langsung menurunkan bet ketika mende
ngarnya.

Itulah isyaratku. Isyarat yang sudah kugunakan berkali-kali sebelumnya. Artinya,


"Tenang, Elliot. Jangan emosi."
Elliot menoleh dan mengacungkan jempol ke arahku.
Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam. Sekali, lalu sekali lagi.
Isyaratku itu selalu mujarab.
Ia melemparkan bola dan melancarkan servis ke arah Jeff. Jeff mengembalikannya d
engan pukulan tanggung. Elliot langsung memanfaatkan kesempatan itu dan menghaja
r bola ke sudut kanan.
Jeff mati langkah. Angka untuk Elliot.
Kemudian giliran Jeff melakukan servis. Elliot mengembalikannya dengan pukulan b
ackhand. Pelan saja.
Bolanya bergulir di net, lalu jatuh ke sisi Jeff, dan memantul beberapa kali.
Elliot menang!
Ia langsung bersorak gembira dan mengangkat kedua tangan untuk merayakan kemenan
gannya.
Jeff kelihatan kesal sekali. Ia mencampakkan bet-nya ke lantai, lalu segera mela
ngkah pergi.
"Adikmu jago juga," Buddy memuji sambil berdiri. "Aku suka gayanya. Ia bersemang
at sekali."
"Soal itu sih pasti," aku bergumam.
Buddy cepat-cepat menghampiri Elliot untuk menyerahkan King Coin yang dimenangka
nnya.
"Hei?tinggal lima lagi," kata Buddy. Mereka ber-high five lalu ber-low five.
"Keciiil," Elliot berkoar. Ia mengangkat kepingnya tinggi-tinggi, supaya aku bis
a melihatnya. Wajah King Jellyjam pada keping itu menatapku sambil tersenyum.
Kenapa camp ini memilih gambar yang begitu konyol sebagai maskot? aku kembali be
rtanya-tanya. Ia kelihatan seperti gumpalan agar-agar yang memakai mahkota.
"Aku ganti baju dulu," ujarku kepada Elliot.
Ia menyelipkan keping emas itu ke saku celana pendeknya. "Aku mau ikut olahraga
lain lagi!" serunya padaku. "Aku harus dapat satu King Coin lagi sebelum gelap!"
Aku melambaikan tangan, kemudian mulai menuju ke gedung asrama cewek.
Tapi aku baru berjalan beberapa langkah ketika mendengar bunyi gemuruh.
Lalu tanah mulai bergetar.
Aku terdiam bagaikan patung. Setiap otot di tubuhku menegang ketika gemuruh itu
bertambah keras.
"Gempa bumi!" teriakku.

11
TANAH di bawah kakiku berguncang keras. Kain terpal di atas deretan meja pingpon
g bergoyang-goyang. Dan semua meja bergetar.
Lututku gemetaran. Dengan susah payah aku berjuang agar tetap berdiri tegak.
"Gempa bumi!" aku memekik sekali lagi.
"Jangan takut! Tidak ada apa-apa," seru Buddy sambil bergegas menghampiriku.
Ia benar. Bunyi gemuruh itu segera mereda. Tanah pun berhenti bergetar.
"Kadang-kadang memang begitu," Buddy menjelaskan. "Tapi kau tak perlu kuatir."
Jantungku masih berdegup-degup. Kakiku terasa lemas, seakan-akan terbuat dari ka
ret. "Tak perlu kuatir? Bagaimana aku tidak kuatir?"
"Lihat saja," Buddy berkata sambil memandang berkeliling. "Yang lain juga tidak
memperhatikannya. Ini cuma berlangsung beberapa detik, kok."
Aku ikut memandang berkeliling. Ternyata Buddy benar. Anak-anak yang sedang ikut
turnamen catur di depan asrama sama sekali tidak menoleh dari papan catur masin

g-masing. Pertandingan sepak bola di lapangan di seberang kolam juga berlanjut t


anpa terhenti.
"Ini biasa terjadi satu atau dua kali sehari," Buddy memberitahuku.
"Tapi apa penyebabnya?" tanyaku.
Ia angkat bahu. "Entahlah."
"Tapi?semuanya ikut bergetar! Bukankah itu berbahaya?" aku bertanya sekali lagi.
Buddy tidak mendengar kata-kataku. Ia sudah berlari kecil ke arah lapangan bola.
Aku berbalik, berjalan menuju asrama. Tubuhku masih agak gemetaran. Bunyi gemuru
h yang aneh tadi masih terngiang-ngiang di telingaku.
Ketika aku membuka pintu masuk, aku ketemu Jan dan Ivy. Mereka sudah memakai baj
u tenis berwarna putih, dan keduanya menyandang raket di pundak.
"Olahraga apa saja yang sudah kau ikuti?"
"Sudah dapat King Coin?"
"Pertandingan renang tadi asyik sekali, ya?"
"Kau senang di sini, Wendy?"
"Kau suka main tenis?"
Mereka bicara berbarengan dan memberondongku dengan setengah lusin pertanyaan. K
eduanya bersemangat sekali dan tidak memberi kesempatan padaku untuk menjawab.
"Kami perlu orang lagi untuk turnamen tenis," ujar Ivy. "Kami sedang mengadakan
turnamen dua hari. Habis makan siang nanti kau menyusul ke lapangan, ya?"
"Oke," sahutku. "Aku tidak terlalu pandai main tenis, tapi?"
"Sampai nanti!" seru Jan. Kemudian mereka bergegas meninggalkanku.
Sebenarnya sih, aku lumayan jago main tenis. Servisku cukup kencang. Dan pukulan
backhand dua tanganku juga tidak bisa dianggap enteng.
Tapi aku tidak hebat.
Kalau di rumah, aku sering main tenis dengan temanku, Allison. Tapi sekadar untu
k bersenang-senang. Kami tak berusaha saling mengalahkan. Kadang-kadang kami mal
ah cuma memukul bola mondar-mandir tanpa menghitung angka.
Akhirnya aku memutuskan ikut turnamen tenis. Dan kalau aku kalah di putaran pert
ama, ya sudah.
Lagi pula, aku menambahkan, sebentar lagi Mom dan Dad pasti sudah datang. Dan El
liot dan aku harus ikut mereka.
Mom dan Dad... wajah mereka terbayang-bayang di depan mataku.
Aku sadar mereka pasti kalang kabut. Dan bingung sekali. Moga-moga mereka tidak
apa-apa. Tiba-tiba aku mendapat ide.
Aduh, kenapa aku tidak telepon ke rumah saja, kataku dalam hati.
Kenapa baru sekarang terpikir olehku? Aku kan bisa menelepon ke rumah dan mening
galkan pesan pada mesin penerima telepon. Dengan cara itu Mom dan Dad bisa tahu
di mana Elliot dan aku berada.
Ke mana pun Dad pergi, satu jam sekali ia memeriksa pesan telepon di rumah. Mom
suka mengolok-oloknya karena dia begitu kuatir ada pesan yang terlewat olehnya.
Tapi kali ini mereka berdua pasti bersyukur atas pesan dariku! kataku dalam hati
.
Ini ide bagus! aku memuji diriku sendiri. Sekarang aku tinggal mencari telepon.
Di asrama pasti ada, pikirku. Aku memandang berkeliling lobi yang kecil. Tapi te
rnyata tidak ada telepon umum.
Di meja resepsionis juga tidak ada orang. Jadi tak ada yang bisa kutanyai.
Aku menyusuri koridor satunya. Di situ pun tidak ada telepon umum.
Karena sudah tak sabar ingin menelepon, aku berbalik dan bergegas keluar lagi. A
ku menarik napas lega ketika menemukan dua telepon umum di sisi gedung asrama.
Dengan jantung berdegup-degup aku berlari ke sana.
Kuangkat gagang telepon yang paling dekat. Lalu kutempelkan gagangnya ke telinga
?tapi tiba-tiba sepasang tangan yang kuat mencengkeramku dari belakang.
"Letakkan gagang itu!" seseorang memerintahkan.

12
"OHHH!" Aku memekik kaget dan melepaskan gagang telepon.
Gagang itu berputar-putar pada talinya.
Aku berbalik. "Dierdre! Kau bikin aku kaget setengah mati!" seruku.
Matanya yang hijau tampak berbinar-binar. "Sori Wendy. Tapi aku sudah tidak saba
r untuk menceritakan kabar baik ini! Lihat, nih!"
Ia mengulurkan tangan. Aku melihat setumpuk King Coin berwarna emas.
"Aku baru dapat keping keenam!" Dierdre berkata dengan berapi-api. "Asyik, ya?"
"Ehm?ya," sahutku ragu. Aku tetap tidak mengerti kenapa orang-orang di sini begi
tu ngotot mendapatkan keping-keping itu.
"Nanti malam aku ikut Upacara Juara!" seru Dierdre. "Akhirnya berhasil juga!"
"Wah, selamat ya," ujarku.
"Kau sudah dapat King Coin?"
"Ehm... belum," sahutku.
"Ayo, dong!" Dierdre mendesakku. "Tunjukkan kehebatanmu, Wendy. Hanya Yang Terba
ik!" Ia mengacungkan jempol sambil tersenyum.
"Yeah. Hanya Yang Terbaik," aku mengulangi.
"Nanti malam kita bikin pesta," Dierdre melanjutkan. "Di kamar kita. Sehabis Upa
cara Juara, oke? Kita bikin perayaan."
"Oke," sahutku. "Barangkali kita bisa pesan piza dari kantin."
"Tolong kasih tahu Jan dan Ivy," Dierdre menyuruhku: "Atau biar aku saja. Atau s
iapa yang duluan ketemu mereka, deh! Sampai nanti!"
Ia bergegas pergi sambil menggenggam erat keenam keping emasnya.
Baru sekarang aku sadar bahwa aku sedang tersenyum. Saking berapi-apinya Dierdre
, aku jadi ikut-ikutan bersemangat. Aku jadi begitu bersemangat sampai lupa bahw
a aku sebenarnya mau menelepon ke rumah.
Aku harus mencoba menikmati suasana persaingan di sini, kataku dalam hati. Hanya
Yang Terbaik. Turnamen tenis ini harus kumenangkan!
***
Kami makan malam di meja-meja kayu yang panjang di ruang makan yang luas di gedu
ng utama. Ruangan yang panjang dan berlangit-langit tinggi itu seakan-akan tak b
erujung.
Sorak-sorai dan canda tawa bergema dari dinding-dinding, mengalahkansuara piring
dan sendok yang berdenting-denting. Semua orang asyik bercerita. Semuanya ingin
bercerita tentang pertandingan yang sudah diikuti.
Seusai makan malam, para pembina mengajak kami ke lapangan atletik. Aku mencaricari adikku. aku tidak berhasil menemukannya di tengah kerumunan orang.
Udara senja terasa hangat. Tak ada segumpal awan pun di langit. Bulan sabit seak
an-akan melayang di atas pepohonan yang gelap.
Ketika matahari terbenam, langit berubah warna dari merah muda ke ungu lalu kela
bu.
Kegelapan malam mulai menyelubungi lapangan atletik. Di ujung lapangan aku melih
at dua titik cahaya yang berkerlap-kerlip menuju ke arahku. Sesaat kemudian aku
menyadari kedua titik cahaya itu sebenarnya sepasang obor yang dibawa oleh dua p
embina.
Suara terompet yang nyaring membuat kami terdiam.
Aku merapat pada Jan, yang berdiri di sebelahku. "Rasanya urusan ini terlalu dib
esar-besarkan, ya?" aku berbisik padanya.
"Acara ini memang penting!" balas Jan. Pandangannya lurus ke depan ketika kedua
obor itu mendekat.

"Kita sudah punya makanan untuk pesta nanti?" aku berbisik lagi.
Jan menempelkan telunjuk ke bibir. "Ssst!" Beberapa obor lain dinyalakan. Bola-b
ola cahaya itu bersinar bagaikan matahari kecil.
Aku mendengar suara genderang. Kemudian lagu mars membahana dari semua pengeras
suara.
Kami berdiri sambil membisu ketika iring-iringan obor itu lewat di hadapan kami.
Lalu, dalam cahaya kuning yang berkerlap-kerlip, aku melihat wajah-wajah. Wajah
-wajah penuh senyum dari anak-anak yang memperoleh King Coin keenam hari itu.
Semuanya ada delapan orang. Lima cowok dan tiga cewek.
Keping-keping emas mereka dikalungkan bagaikan medali pada leher masing-masing.
Keping-keping itu memantulkan cahaya obor dan membuat wajah para peserta seakanakan bersinar.
Dierdre berada di urutan kedua dari depan. Ia kelihatan begitu gembira dan berse
mangat! Keping-kepingnya tergantung di leher. Ia terus mengembangkan senyum.
Jan dan aku melambaikan tangan dan memanggil-manggilnya, tapi ia lewat begitu sa
ja.
Tiba-tiba suara seorang pembina berkumandang dari pengeras suara, "Berikan tepuk
tangan yang meriah untuk para juara yang mengikuti Upacara Juara malam ini!"
Sorak-sorai anak-anak yang menonton upacara terasa memekakkan telinga. Kami bert
epuk tangan, berseru-seru, dan bersuit-suit sampai semua juara melewati kami dan
obor terakhir menghilang dari pandangan.
"Hanya Yang Terbaik!" suara tadi berkata melalui pengeras suara.
"Hanya Yang Terbaik!" kami semua menyahut. "Hanya Yang Terbaik!"
Itulah akhir dari Upacara Juara. Lampu-lampu dinyalakan kembali.
Kami semua bergegas ke asrama. Anak-anak cowok berlari ke kanan, anak-anak cewek
ke kiri.
"Iring-iringan obor tadi keren juga, ya?" ujarku kepada Jan ketika kami mengikut
i kerumunan anak cewek yang menyusuri jalan setapak ke asrama.
"Aku cuma membutuhkan dua King Coin lagi," balas Jan. "Barangkali bisa kudapat b
esok. Kau juga ikut tumamen softball?"
"Tidak. Aku ikut turnamen tenis," kataku.
"Di sini terlalu banyak pemain tenis yang jago," ujar Jan. "Pasti sulit sekali u
ntuk memenangkan King Coin di situ. Lebih baik kau ikut softball saja."
"Ehm... lihat besok, deh," sahutku.
Ivy sudah menunggu di kamar. "Mana Dierdre?" tanyanya ketika Jan dan aku masuk.
"Kami juga tidak melihat dia," jawab Jan. "Kemungkinan sih dia masih berkumpul d
engan para juara lainnya," aku menambahkan.
"Aku menemukan dua kantong tortilla chips, tapi salsa-nya tidak ada,"
Ivy melaporkan sambil memperlihatkan kedua kantong itu.
"Terus, minumannya apa?" tanyaku.
Ivy mengangkat dua kaleng Diet Coke.
"Wah, ini bakal jadi pesta yang asyik!" seru Jan tertawa.
"Bagaimana kalau kita undang beberapa anak dari kamar-kamar lain?" aku mengusulk
an.
"Jangan! Nanti Coke-nya harus kita bagi-bagi dengan mereka," Jan memprotes.
Kami langsung ketawa.
Kami bercanda dan tertawa sekitar setengah jam sambil menunggu Dierdre. Kami dud
uk di lantai dan membuka satu kantong tortilla chips.
Kami mengobrol ke sana kemari, dan tahu-tahu, tanpa terasa, isi kantong itu suda
h kami sikat habis. Lalu kami membuka satu kaleng Coke.
"Aduh, mana sih dia?" tanya Jan, sambil melirik jam tangannya.
"Sudah hampir waktunya lampu dimatikan," ujar Ivy sambil menghela napas dengan k
ecewa. "Waktu kita tinggal sedikit untuk berpesta."
"Barangkali Dierdre lupa bahwa kita mau bikin pesta," aku menduga-duga. Kuremasremas kantong tortilla chips yang sudah kosong itu, lalu kulempar ke arah keranj
ang sampah.
Lemparanku meleset. Aku memang kurang berbakat main bola basket.
"Tapi kan dia sendiri yang punya ide untuk bikin pesta!" balas Ivy. Ia berdiri d
an mulai berjalan mondar-mandir. "Ke mana ya dia? Jam segini semua orang seharus
nya sudah di kamar masing-masing."

"Ayo, kita cari dia," ujarku. Kata-kataku itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Kadang-kadang aku memang begitu. Kadang-kadang aku dapat ide cemerlang sebelum
aku sadar apa yang kukatakan.
"Ya! Kita cari dia!" Ivy mendukungku.
"Hei, tunggu dulu," ujar Jan. Ia melangkah ke depan kami dan menghalangi jalan k
e pintu. "Ini tidak boleh. Kau kan tahu peraturannya, Ivy. Kita tidak boleh kelu
ar asrama sesudah jam sepuluh."
"Kita keluar diam-diam, mencari Dierdre, lalu menyusup masuk lagi," balas Ivy. "
Ayo, Jan. Kenapa sih harus takut?"
"Yeah, kenapa harus takut?" aku menimpali.
Jan kalah suara. "Oke, oke. Mudah-mudahan saja kita tidak kepergok," gumamnya. I
a mengikuti Ivy dan aku ke pintu.
"Kenapa harus takut?" aku bertanya pada diriku sendiri ketika aku keluar ke kori
dor yang sepi.
"Kenapa harus takut?" aku mengulangi ketika kami menyelinap keluar dari asrama d
an memasuki kegelapan malam.
"Kenapa harus takut?"
Aku tidak tahu. Tapi sebenarnya jawaban terhadap pertanyaan itu adalah: KARENA M
EMANG ADA YANG MENAKUTKAN!

13
UDARA malam terasa lebih panas daripada waktu Upacara Juara tadi. Dan lebih lemb
ap. Ketika melangkah keluar dari asrama, rasanya seperti memasuki ruang mandi ua
p.
Seekor nyamuk berdengung-dengung di sekitar kepalaku. Aku mencoba menepuknya den
gan kedua tangan, tapi gagal.
Jan, Ivy, dan aku mengendap-endap menyusuri sisi gedung asrama.
Sepatuku tergelincir terus pada rumput yang basah karena embun.
Lampu-lampu yang terang menyorot dari pohon-pohon, menerangi jalan setapak.
Kami menyelinap di tempat-tempat gelap.
"Dari mana kita harus mulai mencari?" bisik Ivy.
"Dari gedung utama saja," sahutku. "Barangkali para juara masih berpesta di sana
."
"Aku tidak mendengar suara pesta," bisik Jan. "Di sini sepi sekali!"
Ia benar. Bunyi yang terdengar di sekitar kami hanyalah suara jangkrik dan bunyi
daun-daun berdesir karena tertiup angin malam yang hangat.
Kami menyusuri jalan setapak ke arah gedung utama.
Kami melewati kolam renang, yang kini kosong dan sunyi. Airnya mengilap bagaikan
perak di bawah lampu-lampu sorot yang terang-benderang.
Saking panas dan lembapnya, aku membayangkan diriku mencebur ke kolam dengan pak
aian lengkap.
Tapi kami sedang melaksanakan misi: mencari Dierdre. Tak ada waktu untuk memikir
kan soal nikmatnya berenang malam-malam.
Kami melewati deretan meja pingpong sambil bergerombol rapat-rapat. Aku jadi ter
ingat Elliot. Dalam hati aku bertanya sedang apa dia sekarang? Kemungkinan besar
sih, ia sudah tertidur pulas. Dan seharusnya begitu.
Kami sedang menghampiri lapangan tenis pertama ketika Ivy tiba-tiba berseru, "Aw
as!" Serta-merta dia menarikku dan mendorongku ke pagar.
Aku mendengar suara langkah di jalan setapak. Seseorang sedang bersenandung.
Kami bertiga menahan napas ketika seorang pembina melewati persembunyian kami. I
a berambut hitam ikal dan mengenakan kacamata hitam, walaupun hari sudah malam.
Ia memakai seragam para pembina di camp ini t-shirt putih dan celana pendek puti
h.

Kami merapatkan punggung ke pagar lapangan tenis.


"Itu Billy," bisik Jan. "Dia keren juga, lho. Dan selalu ceria."
"Tapi dia takkan senang kalau memergoki kita di sini," sahut Ivy, juga berbisik.
"Kita bakal dapat kesulitan besar."
Sambil bersenandung dan menjentik-jentikkan jari, Billy berjalan melewati kami,
menyusuri jalan setapak mengelilingi lapangan tenis.
Aku memperhatikannya sampai ia menghilang dari pandangan.
Kutarik napas dalam-dalam. Rupanya sejak tadi aku terus menahan napas!
"Mau ke mana dia?" tanya Ivy dengan heran.
"Ehm, barangkali dia mau ke pesta di gedung utama," aku menebak.
"Kenapa kita tidak tanya dia saja?" Jan berkelakar.
"Boleh, tapi kau saja yang tanya," jawabku.
Kami menoleh ke kiri-kanan. Setelah yakin keadaan sudah aman, kami kembali berge
rak.
Kami melewati deretan lapangan tenis. Lampu-lampu sorot di pepohonan menghasilka
n bayang-bayang panjang. Bayangan-bayangan itu bergerak-gerak karena dahan-dahan
pohon tertiup angin.
Sepintas lalu mirip makhluk-makhluk gelap yang menggeliat-geliut di tanah.
Aku merinding, padahal udaranya gerah sekali.
Rasanya aneh juga berjalan melintasi bayang-bayang yang bergerak-gerak itu. Aku
agak waswas, takut salah satunya tiba-tiba meraih ke atas, mencengkeram kakiku,
lalu menarikku ke bawah.
Ada-ada saja, ya?
Aku berbalik dan melihat jendela-jendela di asrama menjadi gelap.
Rupanya sudah waktunya lampu-lampu dimatikan.
Kutepuk pundak Jan. Ia berpaling ikut memandangi gedung asrama.
Ketika lampu-lampu padam satu per satu, gedung itu seakan-akan menghilang di dep
an mata kami. Bangunannya seperti ditelanMkegelapan malam.
"B-barangkali lebih baik kita kembali saja," aku berbisik.
Ivy tidak menyahut. Ia menggigit bibir. Dengan mata terbelalak ia memandang kege
lapan yang menyelubungi kami.
Jan ketawa. "Huh, dasar penakut semua!" ejeknya. "Ayo, dong! Sudah tanggung, nih
. Kita sudah hampir sampai di gedung utama."
Kami mengambil jalan pintas lewat lapangan sepak bola. Gedung utama berada di at
as bukit rendah yang landai, tersembunyi di balik pohon-pohon tua.
Dari kaki bukit pun sudah kelihatan bahwa gedung utama sama gelapnya dengan gedu
ng asrama.
"Tak ada pesta di situ," bisikku.
Ivy mendengus karena kecewa. "Huh, kalau begitu, dimana dong Diedre?"
"Coba kita cari di asrama cowok!" aku bergurau. Jan dan Ivy ketawa.
Tapi kami segera terdiam karena mendengar bunyi kepak-kepak, dekat sekali.
"Iiih, apa itu?" tanya Ivy
"Ohhh!" aku memekik tertahan ketika mendongak dan melihat sumber suara itu.
Langit tertutup kelelawar. Lusinan kelelawar hitam.
Kawanan kelelawar itu terbang di atas lampu-lampu sorot di pepohonan. Lalu?menuk
ik untuk menyambar kami!
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
14
AKU tak sanggup mengendalikan diri. Serta-merta aku menjerit. Lalu aku melindung
i wajahku dengan kedua tangan.
Aku mendengar Jan dan Ivy memekik tertahan. Suara kepak-kepak itu semakin keras.
Semakin dekat.
Aku bisa merasakan embusan napas kelelawar pada tengkukku.
Kemudian aku merasakan binatang-binatang itu menarik-narik rambutku dan mencakar
-cakar wajahku.
Daya khayalku langsung bekerja keras kalau di sekitarku ada kelelawar.

"Tenang, Wendy, tenang," bisik Jan. Ia menarik tanganku dari wajahku. Lalu menun
juk. "Lihat, tuh."
Aku menoleh ke arah sayap-sayap hitam yang berkepak-kepak.
Kelelawar-kelelawar itu memang terbang menukik. Tapi bukan kami yang jadi sasara
n. Mereka menukik dan mengarah ke kolam renang di kaki bukit.
Dalam cahaya lampu sorot yang terang-benderang, aku melihat kawanan kelelawar ny
emplung ke dalam air?kurang dari sedetik. Setelah itu mereka segera kembali terb
ang tinggi.
"A-aku tidak suka kelelawar," bisikku.
"Aku juga tidak suka," Ivy mengakui. "Kata orang sih, kelelawar tidak berbahaya.
Makanannya serangga dan sebagainya. Tapi aku tetap merinding kalau melihat kele
lawar."
"Hmm, mereka takkan mengganggu kita," ujar Jan. "Mereka cuma mau minum." Ia mend
orong Ivy dan aku agar kami menuruni bukit.
Kami beruntung. Tak ada yang mendengar jeritanku. Tapi baru berjalan beberapa la
ngkah, kami melihat pembina lain menuju ke arah kami di jalan setapak. Aku seger
a mengenalinya. Wanita muda itu berambut pirang menjurus putih, dan ia memakai t
opi baseball berwama biru.
Tanpa bersuara kami bertiga menyelinap ke balik semak-semak dan jongkok di situ.
Apakah ia melihat kami?
Aku kembali menahan napas.
Ia tidak berhenti.
"Mau ke mana sih dia?" bisik Ivy. "Kenapa para pembina berkeliaran di luar malam
-malam begini?"
"Ayo, kita ikuti," aku mengajak.
"Tapi jaga jarak," Jan mewanti-wanti. Perlahan-lahan kami berdiri lagi. Dan mela
ngkah keluar dari balik semak.
Lalu berhenti seketika ketika kami mendengar bunyi gemuruh itu.
Bunyi itu bertambah keras, dan tanah tempat kami berpijak pun mulai bergetar.
Kedua temanku tampak ketakutan. Ternyata Ivy dan Jan sama ngerinya seperti aku.
Guncangannya bertambah keras, begitu keras sehingga kami jatuh berlutut. Aku sam
pai harus merangkak sambil mencengkeram rumput.
Tanah berguncang dan bergetar. Gemuruh yang menyelubungi kami terasa memekakkan
telinga.
Aku memejamkan mata.
Perlahan-lahan bunyi itu mereda.
Tanah di bawah kami bergetar sekali lagi, lalu kembali diam seakan-akan tak terj
adi apa-apa. Aku membuka mata dan berpaling kepada Ivy dan Jan. Mereka mulai ban
gkit. Pelan-pelan sekali.
"Aku selalu panik kalau ada kejadian seperti ini!" Jan bergumam.
"Kenapa sih bisa begini?" bisikku. Lututku masih gemetaran ketika aku mencoba be
rdiri.
"Tak ada yang tahu," jawab Jan, sambil menepis rumput yang menempel di lututnya.
"Tapi kadang-kadang guncangan seperti tadi bisa terjadi beberapa kali dalam seh
ari."
"Sebaiknya kita berhenti mencari Dierdre," ujar Ivy pelan-pelan. "Aku mau balik
saja. Kembali ke asrama."
"Yeah. Aku juga," kataku lesu. "Besok saja kita bikin pesta bersama Dierdre."
"Sekalian dia bisa cerita ke mana dia malam ini, dan apa saja yang dikerjakannya
," Jan menimpali.
"Ini memang rencana gila," aku bergumam.
"Hei, ini kan rencanamu!" seru Jan.
"Kebanyakan rencanaku memang tidak masuk akal!" sahutku.
Sambil berlindung dalam bayang-bayang pepohonan, kami kembali menyusuri jalan se
tapak. Aku melirik ke arah kolam renang. Kawanan kelelawar tadi sudah tidak keli
hatan. Barangkali mereka kabur gara-gara bunyi gemuruh tadi.
Jangkrik-jangkrik pun tak terdengar lagi. Udara masih panas, tapi suasananya sun
yi dan hening.
Bunyi yang terdengar cuma bunyi sepatu kets kami.
Tiba-tiba?sebelum sempat atau bersembunyi?kami mendengar suara langkah orang lai

n. Langkahnya cepat sekali. Seseorang sedang berlari. Berlari ke arah kami.


Aku langsung berhenti ketika mendengar jeritan anak cewek.
"Tolong! Tolong aku! Tolong!"

15
EMBUSAN angin panas mengguncangkan pepohonan. Bayangan-bayangan gelap di tanah l
angsung ikut menari-nari.
Aku melompat mundur karena kaget mendengar jeritan itu.
"Tolong! Tolong aku?!"
Ia muncul dari balik lapangan tenis. Ia mengenakan celana pendek biru dan kaus t
anpa lengan berwarna merah muda.
Tangannya melambai-lambai. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar di belakangnya.
Aku langsung mengenalinya.
Ia adalah gadis cilik berambut merah dengan muka penuh bintik-bintik. Gadis cili
k yang bersembunyi di hutan dan memperingatkan aku agar tidak masuk ke camp.
"Tolong aku!"
Ia langsung menabrakku, lalu menangis terisak-isak. Aku merangkul pundaknya dan
memeluknya erat-erat.
"Ssst, jangan menangis," bisikku. "Kau tak perlu takut."
Serta-merta ia meronta dan membebaskan diri dari pelukanku.
"Ada apa sih?" tanya Jan. "Kenapa kau ada di luar sini?"
"Kenapa kau belum tidur?" Ivy menambahkan sambil melangkah ke sampingku.
Gadis cilik itu tidak menyahut. Seluruh badannya gemetar.
Ia meraih tanganku dan menarikku ke balik semak-semak di sisi jalan setapak. Jan
dan Ivy menyusul.
"A-aku takut," katanya sambil mengusap air mata dari pipinya. "A-aku?"
"Siapa namamu?" Jan bertanya pelan-pelan.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ivy lagi.
Kepak sayap kelelawar terdengar lagi di atas kami. Tapi bunyi itu tak kugubris.
Aku terus menatap gadis cilik yang berdiri di hadapan kami.
"Aku?namaku Alicia," sahutnya sambil berusaha menahan tangis. "Kita harus lari.
Cepat!"
"Hah?" aku berseru. "Coba tarik nafas dalam-dalam dulu, Alicia. Kau tidak perlu
takut. Sungguh."
"Kalian tidak tahu, sih," dia memekik sambil menggelengkan kepala.
"Kau sudah aman sekarang. Kau bersama kami," aku berkeras.
"Kita tidak aman," balasnya. "Tak ada yang aman di sini. Aku sudah coba kasih ta
hu semua orang. Aku sudah kasih tahu kalian..."
Suaranya kembali terputus karena dia menangis lagi.
"Sebenarnya ada apa sih?" ujar Ivy.
"Apa yang mau kauberitahukan kepada kami?" Jan bertanya sambil jongkok di depan
gadis cilik itu.
"A-aku melihat sesuatu yang mengerikan," Alicia tergagap-gagap. "Aku?"
"Apa yang kaulihat?" Aku mulai tidak sabar.
"Aku diam-diam mengikuti mereka," jawab Alicia. "Dan aku melihatnya. Mengerikan
sekali. A-aku tidak bisa cerita. Pokoknya kita harus lari. Kita harus kasih tahu
yang lain. Semuanya. Kita harus lari. Kita harus kabur dari sini!"
Ia mengembuskan napas panjang. Seluruh tubuhnya kembali gemetaran.
"Tapi kenapa kita harus lari?" tanyaku. Dengan lembut kupegang kedua pundaknya.
Aku kasihan sekali pada Alicia. Aku ingin menenangkannya. Aku ingin meyakinkan d

ia bahwa tak ada yang perlu ditakuti. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.
Apa yang ia lihat? Apa yang membuatnya begitu ketakutan?
Apakah ia baru saja bermimpi buruk?
"Kita harus kabur! Sekarang!" ia mengulangi dengan nada melengking. Rambutnya ya
ng merah menempel di wajahnya yang basah karena air mata. Ia meraih tanganku dan
menarik-nariknya dengan keras. "Cepat! Kita harus kabur! Aku melihatnya!"
"Melihat apa?" seruku.
Alicia tidak sempat menjawab.
Seorang pembina berambut gelap melangkah ke depan semak-semak.
"Nah, sedang apa kau!" serunya.

16
AKU seperti lumpuh. Seluruh tubuhku dingin.
Mata si pembina tampak berbinar-binar karena memantulkan cahaya lampu sorot. "Se
dang apa kau di sini?" tanyanya dengan nada mendesak.
Aku menarik napas dalam-dalam dan hendak menjawab.
Tapi sebelum sempat buka mulut, terdengar suara lain menduluiku.
"Mau tahu saja.? Ternyata pembina lain. Seorang wanita muda dengan rambut hitam
dipotong pendek.
Sambil berusaha untuk tidak bersuara, aku merunduk di balik semak-semak. Kedua t
emanku langsung berlutut.
"Kau membuntuti aku, ya?" pembina pertama menggoda rekannya.
"Untuk apa aku membuntutimu? Jangan-jangan justru kau yang membuntuti aku!" bala
s wanita muda itu.
Mereka tidak melihat kami, aku menyadari dengan gembira. Padahal tempat persembu
nyian kami hanya berjarak satu meter dari tempat mereka berdiri. Tapi rupanya me
reka tidak bisa melihat kami di balik semak-semak.
Beberapa detik kemudian, kedua pembina itu pergi bersama-sama.
Kami menunggu cukup lama sambil memasang telinga, dan baru berani keluar setelah
suara kedua pembina itu tak terdengar lagi.
"Alicia?" tanyaku. "Kau tidak apa-apa?"
"Alicia?" Ivy dan Jan berseru berbarengan.
Gadis cilik itu telah lenyap.
***
Kami menyelinap masuk ke asrama lewat pintu samping. Untung saja tak ada pembina
yang berpatroli di koridor. Tak seorang pun kelihatan.
"Dierdre?kau sudah di sini?" Jan memanggil ketika kami masuk ke kamar.
Tak ada jawaban.
Aku menyalakan lampu. Tempat tidur Dierdre tetap kosong.
"Sebaiknya lampu dimatikan saja," Ivy mewanti-wanti. "Nanti malah ada yang curig
a karena lampu kita masih menyala."
Kupadamkan lampu. Kemudian aku menuju ke tempat tidurku sambil menunggu mataku t
erbiasa dengan kegelapan yang menyelubungi kami.
"Di mana Dierdre?" tanya Ivy. "Aku jadi agak kuatir. Barangkali ada baiknya kita
melapor bahwa dia belum kembali."
"Lapor kepada siapa?" tanya Jan. Ia menjatuhkan diri di tempat tidurnya. "Tak ad
a siapa-siapa di sini. Para pembina semua sedang keluar."
"Aku yakin dia lagi ikut pesta dan melupakan kita," ujarku sambil menguap. Aku m
embungkuk untuk menyingkap selimut di tempat tidurku.
"Menurut kalian, apa yang dilihat anak kecil tadi?" tanya Ivy sambil memandang k
e luar jendela.

"Alicia? Kurasa dia cuma bermimpi buruk," sahutku.


"Tapi dia begitu ketakutan!" kata Jan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan k
enapa dia ada di luar malam-malam begini?"
"Dan kenapa dia kabur dan meninggalkan kita?" Ivy menambahkan.
"Aneh," aku bergumam.
"Yeah, aneh sekali," Jan menimpali. "Semua kejadian malam ini memang aneh." Ia m
enuju ke lemari pakaian. "Aku mau ganti baju. Besok hari penting. Aku harus meme
nangkan dua King Coin lagi."
"Aku juga," ujar Ivy. Ia menguap lebar.
Jan membuka salah satu laci. "Ya, ampun!" pekiknya. "Ya, ampun!
Ada apa ini?"

17
"JAN?ada apa?" seruku.
Ivy dan aku langsung berlari ke meja rias.
Jan terus menatap laci yang baru dibukanya. "Aku salah buka laci," katanya. "Kar
ena gelap aku menarik lacinya Dierdre. Dan ? dan ?
lacinya kosong!"
"Hah?" Ivy dan aku memekik karena kaget.
Sambil memicingkan mata aku mengamati laci itu. Ternyata memang kosong sama seka
li. "Coba periksa lemari pakaian," aku menyarankan.
Ivy melintasi ruangan dengan tiga atau empat langkah panjang. Cepat-cepat ia mem
buka pintu lemari.
"Barang-barang Dierdre?sudah tidak ada semua!" serunya.
"Aneh," gumamku. Kejadian-kejadian malam ini memang aneh.
"Kenapa dia pergi tanpa memberitahu kita?" tanya Jan.
"Dan ke mana dia?" Ivy menambahkan. Pertanyaan bagus, pikirku sambil menatap lem
ari yang kosong.
Ke mana Dierdre?
***
Sarapan adalah acara makan paling ramai sepanjang hari. Mangkuk-mangkuk sereal b
erdenting-denting terkena sendok. Botol-botol jus jeruk berdebam-debam ketika di
taruh kembali ke meja kayu yang panjang.
Suara-suara terdengar nyaring, seakan-akan ada orang yang memutar tombol volume
sampai habis. Semua orang asyik bercerita mengenai olahraga yang akan diikuti ha
ri ini, dan permainan-permainan yang hendak dimenangkan.
Aku yang terakhir mandi. Jadi Jan dan Ivy sudah mulai sarapan waktu aku masuk ke
ruang makan.
Aku menyusuri gang sempit di antara meja-meja sambil mencari-cari Dierdre. Tapi
ia tidak kelihatan.
Semalam aku tidak bisa tidur, padahal aku sebenarnya capek sekali.
Aku terus memikirkan Dierdre dan Alicia., Dan aku juga heran kenapa Mom dan Dad
belum juga menjemput atau paling tidak menghubungi kami.
Aku melihat Elliot di ujung meja yang ditempati anak-anak laki-laki sebayanya. P
iring di hadapannya berisi setumpuk panekuk, dan ia sedang menuangkan sirop berw
arna gelap.
"Hai, Elliot!" aku memanggil sambil menghampirinya.
Adikku tidak merasa perlu berbasa-basi, meskipun sekadar berkata selamat pagi. "
Habis ini aku mau ikut turnamen one-on-one," katanya dengan semangat berkobar-ko
bar. Barangkali aku bisa memenangkan King Coin yang ketiga!"

"Yeah, kau maunya memang menang melulu," sahutku sambil memutar-mutar bola mata.
"Ngomong-ngomong, sudah ada kabar dari Mom dan Dad?"
Elliot menatapku seakan-akan tidak ingat siapa mereka. Lalu ia menggelengkan kep
ala. "Belum. Camp ini asyik sekali, ya? Kita benar-benar beruntung."
Aku diam saja. Mataku tertuju pada meja satunya. Sepintas lalu aku mengira telah
melihat Dierdre. Tapi ternyata itu anak lain yang juga berambut panjang dan pir
ang.
"Kau sudah dapat King Coin?" tanya Elliot. Ia bicara dengan mulut penuh panekuk.
Siropnya menetes-netes dari dagunya.
"Belum," jawabku.
Ia ketawa mengejek. "Khusus untukmu, slogan camp ini harus diubah, Wendy. Hanya
Yang Terburuk!"
Elliot terbahak-bahak. Teman-temannya di meja itu ikut-ikutan tertawa.
Aku kan sudah bilang, adikku itu memang konyol.
Aku lagi tidak kepingin bercanda. Aku masih sibuk memikirkan Dierdre.
"Sampai nanti," kataku.
Aku berdiri, lalu berjalan menuju ke sisi anak-anak cewek. Sorak-sorai dan tawa
berderai terdengar dari meja di dekat dinding. Rupanya ada perang telur dadar. T
iga pembina segera bergegas ke sana untuk menghentikan keramaian itu.
Meja Jan dan Ivy sudah penuh, jadi aku mengambil tempat di meja sebelahnya yang
masih kosong. Aku menuang segelas jus jeruk dan semangkuk sereal. Tapi sebenarny
a aku tidak terlalu lapar.
"Hei?!" seruku ketika melihat Buddy lewat di depan mejaku. Ia tidak mendengarku
di tengah hiruk-piruk, jadi aku langsung berdiri dan mengejarnya.
"Hai. Ada apa?" Ia menyambutku dengan senyum lebar. Rambutnya yang pirang masih
basah karena ia baru selesai mandi. Aku mencium wangi bunga, mungkin dari afters
have-nya.
"Kau tahu ke mana Dierdre?" tanyaku.
Ia mengerutkan kening karena bingung. "Dierdre?"
"Teman sekamarku," aku menjelaskan. "Dia tidak pulang ke kamar semalam. Dan lema
ri pakaiannya sudah kosong."
"Dierdre," ia mengulangi sambil berpikir keras. la mengangkat clipboard dan meng
amati daftar nama yang terpasang di situ. "Oh, yeah. Ia sudah pergi." Pipinya ja
di agak merah.
"Hah?" Aku menatapnya sambil terbengong-bengong. "Dierdre sudah pergi? Pergi ke
mana? Pulang ke rumahnya?"
Buddy kembali menatap daftar nama itu. "Mungkin. Di sini cuma ditulis bahwa dia
sudah pergi." Pipinya semakin merah.
"Aneh," ujarku. "Kenapa dia tidak pamitan? Ia sama sekali tidak bilang apa-apa."
Buddy angkat bahu, kemudian mengembangkan senyum. "Selamat bersaing hari ini!"
Ia menuju ke meja pembina di bagian depan ruangan yang luas. Tapi cepat-cepat ak
u mengejarnya dan menarik tangannya.
"Buddy, satu pertanyaan lagi," kataku. "Aku sedang mencari gadis cilik bernama A
licia. Kau tahu di mana aku bisa menemukan dia?"
Buddy melambaikan tangan ke arah serombongan anak cowok di seberang ruangan. "Ay
o, tunjukkan kehebatan kalian! Hanya Yang Terbaik!" serunya kepada mereka. Kemud
ian ia berpaling padaku. "Alicia?"
"Aku tidak tahu nama belakangnya. Umurnya sekitar enam atau tujuh tahun," cerita
ku. "Rambutnya panjang berwarna merah, dan mukanya penuh bintik-bintik."
"Alicia..." Buddy menggigit-gigit bibir. Lalu ia kembali melihat clipboardnya.
Aku memperhatikannya menyusuri daftar nama dengan telunjuknya.
Waktu jarinya berhenti, pipinya jadi merah lagi.
"Oh, yeah. Alicia," katanya sambil menurunkan clipboard. Ia menatapku sambil nye
ngir. Tapi senyumnya agak aneh. Agak menakutkan. "Ia juga sudah pergi."
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
18

"JAN! Ivy!" aku langsung mengejar mereka ketika melihat mereka bergegas meningga
lkan ruang makan. "Kita harus bicara!" kataku sambil tersengal-sengal.
"Nanti saja. Sudah telat, nih." Jan merapikan rambutnya dengan sebelah tangan. "
Kalau terlambat sampai di lapangan voli, kita tidak bisa ikut turnamen."
"Tapi ini penting!" teriakku ketika mereka berlari ke pintu.
Sepertinya mereka tidak mendengarku. Mereka pergi tanpa menoleh lagi.
Jantungku berdebar-debar. Tiba-tiba seluruh tubuhku terasa dingin.
Aku kembali menghampiri adikku. Ternyata ia sedang bermain tinju dengan anak lak
i-laki kurus jangkung berambut pirang.
"Elliot?coba ke sini," aku memerintahkan. "Sebentar saja."
"Sori, tidak bisa," sahutnya. "Aku kan mau ikut kontes one-on-one."
Teman adikku itu bergegas ke pintu. Aku cepat-cepat melangkah maju untuk menghal
angi jalan Elliot.
"Jangan macam-macam!" serunya. "Nanti aku telat. Aku akan melawan Jeff. Masih in
gat dia, kan? Aku bisa mengalahkan dia. Tubuhnya memang besar, tapi agak lamban.
"
"Elliot, ada sesuatu yang aneh di sini," ujarku. Aku mendesaknya mundur sampai k
e dinding. Anak-anak yang hendak keluar menatap kami sambil mengerutkan kening.
Tapi aku tidak ambil pusing.
"Kau yang aneh!" balas Elliot. "Cepat, minggir. Aku harus ke lapangan basket."
Ia hendak melewatiku. Tapi aku menahan bahunya dengan kedua tangan.
"Sebentar saja!" aku berkeras. "Ada yang tidak beres di camp ini, Elliot." Aku m
elepaskannya.
"Maksudmu, bunyi gemuruh itu?" ia bertanya sambil mengusap rambutnya yang gelap
dengan sebelah tangan. "Itu cuma gas di bawah tanah atau semacamnya. Aku juga su
dah tanya pada salah satu pembina, dan dia bilang begitu."
"Bukan itu maksudku," kataku. "Ada beberapa anak yang hilang."
Ia ketawa. "Hilang? Maksudmu, hilang tanpa bekas, seperti tipuan sulap?"
"Jangan bercanda, dong!" hardikku. "Ini tidak lucu, Elliot. Memang ada anak-anak
yang hilang. Kau tahu Dierdre, teman sekamarku? Semalam dia ikut Upacara Juara.
Setelah itu dia tidak kembali ke kamar."
Senyum Elliot lenyap.
"Tadi aku diberitahu Buddy bahwa Dierdre sudah pergi," aku melanjutkan. Aku menj
entikkan jari. "Pergi begitu saja. Dan gadis cilik bernama Alicia?dia juga hilan
g."
Elliot menatapku dengan matanya yang cokelat. "Paling-paling mereka pulang ke ru
mah mereka. Masa mereka harus di sini terus?" sahutnya. "Yang benar saja!"
"Dan bagaimana dengan Mom dan Dad?" aku bertanya. "Mana mungkin mereka tidak seg
era tahu bahwa karavannya lepas. Kenapa mereka belum menjemput kita? Kenapa mere
ka belum juga bisa dihubungi?"
Elliot angkat bahu. "Mana kutahu," katanya dengan santai. Ia membungkuk lalu lan
gsung menuju ke pintu. "Wendy, kau tidak betah di sini soalnya kau memang tidak
begitu suka olahraga. Tapi aku senang sekali di camp ini. Jangan ganggu kesenang
anku?oke?"
"Tapi?tapi?Elliot?" aku tergagap-gagap.
Sambil menggelengkan kepala ia membuka pintu dan langsung ke luar.
Aku mengepalkan tangan karena jengkel. Rasanya ingin kugebuk dia.
Kenapa ia tidak mau mendengarkan aku? Masa ia tidak tahu bahwa aku benar-benar c
emas dan takut?
Elliot termasuk anak yang tidak pernah kuatir pada apa pun.
Sepertinya segala sesuatu selalu sesuai keinginannya. Jadi kenapa harus repot?
Tapi paling tidak, seharusnya ia agak mencemaskan Mom dan Dad, ya kan?
Mom dan Dad...
Perasaanku tidak enak ketika aku berjalan meninggalkan ruang makan. Bagaimana ka
lau mereka mengalami kecelakaan? Bagaimana kalau karena itulah mereka belum men
emukan Elliot dan aku?
Jangan. Jangan bikin situasi bertambah buruk, aku memarahi diriku sendiri. Janga
n biarkan daya khayalmu lepas kendali, Wendy.
Tiba-tiba aku teringat rencanaku untuk menelepon ke rumah. Ya, ujarku dalam hati

. Itulah yang akan kulakukan sekarang. Aku akan menelepon ke rumah dan meninggal
kan pesan untuk Mom dan Dad pada mesin penerima telepon.
Aku berhenti di tengah jalan setapak dan mencari-cari telepon umum.
Serombongan anak cewek yang membawa tongkat hoki berpapasan denganku. Suara pelu
it terdengar nyaring dari kolam renang di balik deretan lapangan tenis. Lalu aku
mendengar suara anak-anak terjun ke air.
Semuanya riang gembira, pikirku?kecuali aku.
Aku memutuskan untuk menelepon ke rumah dulu, lalu mengikuti salah satu olahraga
. Aku butuh kesibukan untuk melupakan segala hal yang membuatku kuatir dan bingu
ng.
Aku kembali ke deretan telepon umum berwarna biru-putih di sisi gedung utama. Ak
u berlari sekuat tenaga dan langsung mengangkat gagang telepon terdekat.
Gagangnya kutempelkan ke telinga, lalu kutekan nomor telepon rumah kami.
Kemudian aku memekik tertahan karena kaget.
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
19
"HALO, Teman! sebuah suara berat berkata dengan riang. "Selamat menikmati Camp J
ellyjam. Ini King Jellyjam. Bersainglah dengan sungguh-sungguh. Ikutilah pertand
ingan sebanyak mungkin. Dan menanglah sesering mungkin. Dan ingatlah selalu?Hany
a Yang Terbaik!"
"Aduh!" seruku. "Rekaman konyol?!"
"Halo, Teman! Selamat menikmati?" Pesan itu berulang di telingaku.
Kubanting gagang telepon dan kucoba telepon berikutnya.
"Halo, Teman! Selamat menikmati camp Jelly..." Huh, sama saja.
Aku mencoba setiap telepon di deretan itu. Tapi semuanya memutar rekaman yang sa
ma. Ternyata tak ada satu pun telepon sungguhan.
Mana sih telepon umum di sini? aku bertanya-tanya. Mestinya ada telepon umum yan
g benar-benar bisa dipakai.
Aku berpaling dari gedung utama, menyusuri jalan setapak. Ketika lewat di depan
semak-semak tempat Jan, Ivy, dan aku bersembunyi semalam, aku langsung merinding
. Mau tidak mau aku teringat Alicia.
Sinar matahari yang terang benderang membanjiri bukit landai yang ditumbuhi rump
ut. Aku melindungi mata dari cahaya yang menyilaukan, dan memperhatikan seekor k
upu-kupu berwarna hitam dan emas. Kupu-kupu itu mengepak-ngepakkan sayap dan hin
ggap di bunga geranium merah dan pink.
Aku berjalan tanpa tujuan, mencari-cari telepon umum. Ke mana pun aku memandang
aku melihat anak-anak yang berseru-seru, tertawa-tawa dan bersaing dengan sekuat
tenaga. Tapi aku tidak menghiraukan mereka. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku
yang gelisah.
"Hei! Hei! Hei!"
Suara adikku membuatku berhenti. Aku berkedip-kedip beberapa kali untuk memfokus
kan pandangan.
Rupanya aku sudah sampai di lapangan basket. Elliot dan Jeff sedang bertanding s
atu lawan satu.
Jeff mendribble bola. Bolanya berdebam-debam pada lapangan aspal.
Adikku menggerak-gerakkan tangan di depan hidung Jeff. Lalu berusaha merebut bol
a.
Gagal.
Jeff membungkuk sedikit. Ia mendesak Elliot dengan pundaknya, menggiring bola ke
ring?dan melempar.
"Dua angka!" serunya sambil nyengir.
Elliot merengut dan menggelengkan kepala. "Itu pelanggaran."
Jeff berlagak tidak mendengarnya. Tubuhnya dua kali lebih besar dari Elliot. Kal
au mau, ia bisa menabrak adikku sampai terjengkang.
Aku tidak mengerti kenapa Elliot menyangka dirinya bisa mengalahkan Jeff.
"Berapa skornya?" tanya Jeff sambil menyeka keringat dari keningnya.

"Delapan belas sepuluh," balas adikku lesu. Tanpa bertanya dulu pun aku langsung
tahu bahwa Elliot-lah yang kalah.
Lapangan basket dibatasi pagar kawat. Kupegang pagarnya dengan kedua tangan, men
empelkan wajahku, dan menonton mereka bertanding.
Elliot men-dribble bola. Ia bergerak mundur sambil mencari-cari kesempatan menye
rang. Jeff terus mengikutinya. Ia membungkuk ke depan, siap menyambar bola.
Tiba-tiba Elliot melesat maju. Pandangannya tertuju pada ring.
Dengan sigap ia melompat, mengangkat tangan kanan untuk melempar?bolanya direbut
Jeff.
Elliot melayang dengan tangan kosong.
Jeff men-dribble dua kali, lalu menyarangkan bola dengan dua tangan.
Kedudukannya jadi dua puluh lawan sepuluh.
Beberapa detik kemudian pertandingan selesai, dan Jeff keluar sebagai pemenang.
Ia bersorak dengan gembira dan mengajak Elliot ber-high five.
Elliot mengerutkan kening dan menggelengkan kepala. "Kau cuma beruntung," gumamn
ya.
"Yeah. Beruntung," sahut Jeff. Ia memakai bagian depan t-shirt-nya yang berwarna
biru untuk menyeka wajahnya yang penuh keringat. "Hei, kau harus memberi selama
t padaku. Kau korbanku yang keenam!"
"Hah?" Elliot menatapnya sambil membungkuk dan memegang lutut. Napasnya masih te
rengah-engah. "Jadi??"
"Yeah." Jeff nyengir lebar. "King Coin-ku yang keenam. Nanti malam aku ikut Upac
ara Juara!"
"Wah, hebat," balas Elliot lesu. "Aku masih perlu tiga keping lagi."
Tiba-tiba aku merasa ada yang memperhatikanku. Aku melepaskan pagar kawat dan mu
ndur selangkah.
Ternyata Buddy sedang mengamati aku dari jalan setapak. Ia memicingkan mata, ada
kesan tidak senang pada wajahnya.
Sudah berapa lama ia berdiri di situ?
Kenapa ia kelihatan tidak senang? Roman mukanya yang kencang membuatku merinding
.
Ketika aku berbalik, ia segera melangkah menghampiriku. Matanya yang biru menata
pku tanpa berkedip.
"Maaf, Wendy," pembina itu berkata pelan-pelan. "Kau harus pergi."

20
"HAH? Apa?" Aku menatapnya sambil terbengong-bengong.
Apa maksudnya? Ke mana aku harus pergi? Apakah aku harus pergi?seperti Dierdre d
an Alicia?
"Kau harus pergi dari sini kecuali kalau kau ikut bertanding," Buddy menjawab. R
oman mukanya tidak berubah. "Kau tidak bisa cuma menonton terus. King Jellyjam t
akkan setuju."
Rasanya gumpalan jelek itu ingin kuinjak saja! kataku dalam hati.
Namanya pun konyol. King Jellyjam. Idih!
Ucapan Buddy sempat membuatku kaget setengah mati. Jangan-jangan ia memang senga
ja menakut-nakutiku? aku bertanya-tanya.
Tidak mungkin, pertanyaan itu segera kujawab sendiri. Buddy tidak tahu bahwa aku
curiga. Dari mana ia bisa tahu?
Ia bergegas ke lapangan basket. Punggung Jeff ditepuk-tepuknya.
Kemudian ia menyerahkan King Coin emas. "Nah, selamat ya!" serunya sambil mengac
ungkan jempol. "Sampai ketemu nanti malam di Upacara Juara. Hanya Yang Terbaik!"
Buddy juga berbicara sebentar dengan adikku. Elliot cuma angkat bahu. Lalu ia me
ngatakan sesuatu yang membuat Buddy ketawa. Tapi aku tidak tahu apa yang dikatak

annya.
Ketika Elliot pergi untuk mengikuti pertandingan olahraga berikutnya, Buddy kemb
ali menghampiriku. Ia merangkulku dan menggiringku pergi dari lapangan basket.
"Kelihatannya kau ini perlu bimbingan khusus, Wendy," ujarnya.
"Bisa jadi," sahutku. Apalagi yang bisa kukatakan?
"Hmm, aku akan memberikan jadwal untuk hari ini. Coba lihat apakah kau suka," ka
ta Buddy. "Pertama-tama ada pertandingan tenis. Kau bisa main tenis, kan?"
"Bisa sih bisa," jawabku. "Aku tidak seberapa hebat, tapi?"
"Setelah main tenis, datanglah ke lapangan softball, oke?" Buddy melanjutkan. "K
ami akan mencarikan tempat untukmu di salah satu tim."
Ia menampilkan senyum ramah. "Aku yakin kau akan jauh lebih senang kalau kau men
gikuti kegiatan-kegiatan di sini?betul, tidak?"
"Yeah. Kurasa begitu," balasku. Sebenarnya aku ingin lebih bersemangat. Tapi tid
ak bisa.
Buddy mengajakku ke salah satu lapangan tenis. Seorang gadis sebayaku sedang mel
akukan pemanasan dengan memukul-mukul bola tenis ke dinding.
Gadis itu berbalik dan menyapaku ketika kami mendekat. "Hei, mau main?"
"Boleh," kataku. Kami saling memperkenalkan diri.
Namanya Rose. Ia cantik dan jangkung. Ia mengenakan kaus tanpa lengan berwarna u
ngu dan celana pendek hitam. Aku melihat anting perak menggelantung dari telinga
nya.
Buddy menyerahkan raket. "Selamat bertanding," ujarnya. "Dan awas, Wendy. Rose s
udah punya lima King Coin!"
"Kau jago main tenis, ya?" tanyaku sambil memutar-mutar raket di tanganku.
Rose mengangguk. "Yeah. Lumayan. Kau bagaimana?"
"Entahlah," aku berterus terang. "Temanku dan aku selalu bermain sekadar iseng s
aja."
Rose ketawa. Aku suka suara tawanya. Rasanya aku jadi kepingin ikut ketawa. "Aku
tidak pernah main sekadar iseng!" ia memberitahuku.
Dan nyatanya memang begitu.
Kami pukul-pukulan bola selama beberapa menit, sebagai pemanasan.
Rose membungkuk, mengencangkan otot-otot, memicingkan mata?lalu membalas pukulan
ku seakan-akan ini set terakhir dalam suatu kejuaraan.
Pukulannya malah lebih keras lagi setelah kami mulai bertanding.
Dalam waktu singkat aku sadar bahwa aku bukan tandingannya.
Masih untung aku bisa mengembalikan beberapa servis-nya!
Rose tidak sok. Aku sempat melihatnya tersenyum sendiri ketika melihat pukulan b
ackhandku, tapi ia tidak mengejekku. Ia justru memberikan petunjuk-petunjuk berg
una sambil bermain.
Ia menang straight set.
Aku mengucapkan selamat padanya. Ia tampak gembira sekali karena berhasil memena
ngkan King Coin-nya yang keenam.
Seorang pembina yang belum pernah kulihat memasuki lapangan dan menyerahkan kepi
ng itu kepada Rose. "Sampai ketemu di Upacara Juara nanti malam," wanita muda it
u berkata sambil tersenyum lebar.
Kemudian si pembina berpaling padaku. "Lapangan softball ada di sebelah sana, We
ndy," ujarnya sambil menunjuk.
Aku mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan ke arah yang ditunjuknya.
"Jangan jalan?lari!" serunya. "Ayo, semangat sedikit! Hanya Yang Terbaik!"
Aku menggerutu. Tapi sepertinya ia tidak mendengar. Dengan setengah hati kupatuh
i sarannya dan mulai berlari.
Kenapa sih aku selalu diburu-buru di sini? omelku dalam hati. Kenapa aku tidak b
oleh bersantai dan berjemur di sisi kolam renang?
Aku agak terhibur ketika lapangan softball terlihat di hadapanku. Aku memang sen
ang main softball. Aku memang tidak terlalu jago dalam menangkap bola. Tapi untu
k urusan memukul bola, akulah orangnya.
Kedua tim yang sedang bertanding merupakan tim campuran cowok-cewek. Aku mengena
li dua cewek yang kulihat saat waktu sarapan tadi pagi.
Salah satu dari mereka memberiku tongkat pemukul. "Hai. Aku Ronni. Kau bisa ikut
tim kami," katanya. "Kau bisa lempar bola?"

"Lumayan," sahutku. Tongkat pemukulnya kugenggam erat-erat. "Kadang-kadang aku j


adi pitcher kalau pulang sekolah."
Ronni mengangguk. "Oke. Kalau begitu kau jadi pitcher di babak-babak awal."
Ia memanggil anak-anak yang lain untuk berkumpul. Semuanya menyebutkan nama masi
ng-masing dan diberi posisi tertentu.
"Kalau kita menang, kita semua dapat King Coin?" tanya anak laki-laki dengan tat
o elang di pundaknya. Aku langsung tahu itu bukan tato, tapi gambar tempel.
"Ya, semuanya," jawab Ronni.
Para pemain langsung bersorak-sorai.
"Jangan senang dulu. Belum juga mulai main!" seru Ronni.
Kemudian ia menentukan urut-urutan memukul bola. Karena aku jadi pitcher, aku da
pat urutan kesembilan.
Tapi berhubung aku sudah pegang tongkat, aku memutuskan untuk melatih ayunanku d
ulu. Aku menjauhi yang lain dan menuju ke base ketiga.
Sambil melonggarkan genggaman, kuayunkan tongkat pemukul. Pelan saja. Aku biasa
mengambil ancang-ancang tinggi. Aku tidak seberapa kuat, dan dengan cara itu aku
bisa memukul lebih keras.
Tongkat pemukulnya lumayan enak di tanganku. Aku mengayunkannya beberapa kali la
gi.
Lalu aku ambil ancang-ancang tinggi sekali?dan mengayunkan sekeras mungkin.
Aku tidak tahu Buddy berdiri di situ.
Langsung saja pukulanku menghantam dadanya. Aku mendengar bunyi tokkk yang menak
utkan ketika tongkatku membentur rusuknya.
Serta-merta kulepaskan tongkat. Lalu aku melangkah mundur sambil membelalakkan m
ata.

21
SENYUM Buddy langsung lenyap. Ia menatapku sambil memicingkan matanya yang biru.
Lalu ia mengangkat tangan dan menudingku.
"Aku suka caramu mengambil ancang-ancang," katanya. "Tapi mungkin lebih baik kal
au kami carikan tongkat yang lebih ringan untukmu."
"Hah?" Aku terbengong-bengong. Aku tidak bisa bergerak. Aku cuma berdiri dan men
atap Buddy sambil melongo. "Buddy??"
Ia memungut tongkat yang tergeletak di tanah. "Kau suka tongkat ini? Coba kuliha
t ayunanmu lagi, Wendy."
Tongkat itu diserahkannya padaku.
Tanganku gemetaran ketika menerima tongkat itu. Pandanganku terus melekat pada B
uddy. Aku menunggu ia berteriak kesakitan. Aku menunggu ia memegangi dadanya dan
ambruk sambil mengerang-erang.
"Tongkat aluminium ada yang lebih ringan," katanya. Ia mengusap rambutnya yang p
irang dengan sebelah tangan. "Ayo. Coba lagi."
Dengan langkah gemetar aku mundur menjauhinya. Aku tak ingin menghantamnya lagi.
Lalu aku mengambil ancang-ancang dan mengayunkan tongkat.
"Bagaimana?" tanyanya.
"L-lumayan," jawabku.
Ia mengacungkan jempol dan berpaling kepada Ronni.
Wah! pikirku. Ada apa ini?
Pukulanku tadi cukup keras untuk mematahkan tulang rusuknya. Atau paling tidak m
embuatnya meraung-raung kesakitan.
Tapi sepertinya Buddy sama sekali tidak sadar bahwa ia kena hantam!
Ada apa ini?

***
Waktu makan malam kuceritakan kejadian itu kepada Jan dan Ivy.
Jan ketawa. "Barangkali pukulanmu tidak sekeras yang kauduga."
"Tapi bunyinya mengerikan sekali! Seperti bunyi telur pecah!" seruku. "Dan ia cu
ma tersenyum dan berbicara seperti tidak terjadi apa-apa."
"Kurasa dia menunggu sampai kau tidak bisa melihatnya. Habis itu baru dia meraun
g-raung!" Ivy menduga-duga.
Aku memaksakan diri untuk ikut ketawa bersama kedua temanku.
Tapi dalam hati aku pikir ini tidak lucu.
Terlalu banyak kejadian aneh di sini.
Mana mungkin ada orang kena hantam di dadanya seperti itu tapi sama sekali tidak
bereaksi!
Tim kami kalah sepuluh angka. Tapi setelah kejadian itu, aku tidak bisa berkonse
ntrasi.
Aku melirik ke meja pembina di seberang ruangan. Buddy duduk di ujung, ia sedang
bercanda dengan Holly. Sepertinya ia memang tidak apa-apa.
Sepanjang makan malam aku terus melirik ke arahnya. Bunyi tokkk yang dibuat tong
katku ketika menghantam dadanya masih terngiang-ngiang di telingaku. Aku tidak b
isa melupakan kejadian itu.
Aku terus memikirkannya ketika kami berjalan ke lapangan atletik untuk menyaksik
an Upacara Juara. Angin bertiup cukup keras. Obor-obor yang dibawa tampak berker
lap-kerlip dan nyaris padam.
Pohon-pohon di sekeliling lapangan atletik pun bergoyang-goyang dan merunduk. Da
han-dahan pohon seolah-olah hendak menjangkau tanah.
Musik mars kembali terdengar, dan para pemenang berpawai melewati tribun. Rose m
elambaikan tangan ketika melihatku. Jeff berjalan dengan bangga di bagian belaka
ng barisan, enam King Coin menggantung di lehernya.
Seusai upacara aku cepat-cepat kembali ke kamar dan langsung naik ke tempat tidu
r. Terlalu banyak pikiran mencemaskan yang berkecamuk dalam benakku. Aku ingin s
egera tidur untuk melupakan semuanya.
***
Pada waktu sarapan keesokan paginya, Rose dan Jeff sudah menghilang.

22
AKU mencari Rose dan Jeff. Aku juga mencari adikku sepanjang pagi. Ia pasti seda
ng mengikuti salah satu pertandingan olahraga. Aku berjalan dari lapangan sepak
bola di ujung sebelah sini sampai ke tempat berlatih golf di ujung sebelah sana,
tapi aku tidak melihatnya.
Jangan-jangan Elliot ikut menghilang?
Pikiran yang mengerikan itu terus menghantuiku.
Kami harus kabur dari camp ini!
Kata-kata itu terus kuulangi dalam hati sambil menyusuri jalan-jalan setapak yan
g bersilangan.
Ke mana pun aku pergi, King Jellyjam menatapku sambil nyengir.
Gambarnya ada di mana-mana. Dan senyumnya membuatku merinding.
Aku semakin yakin ada yang tidak beres di sini. Dan semakin lama aku berkeliling
untuk mencari adikku, semakin waswas pula perasaanku.
Buddy menemuiku sehabis makan siang. Ia menggiringku kembali ke lapangan softbal
l. "Wendy, kau tidak bisa meninggalkan tim-mu begitu saja," katanya tegas. "Lupa
kan soal kemarin. Kau masih punya kesempatan. Kalau tim-mu menang hari ini, maka

kalian semua akan memenangkan King Coin."


Aku tidak mau memenangkan King Coin. Aku mau bertemu orangtuaku. Aku mau bertemu
adikku. Dan aku mau pergi dari sini!
Hari ini aku tidak jadi pitcher. Aku mengambil posisi di sisi kiri lapangan. Di
situ aku punya cukup waktu untuk berpikir.
Aku merencanakan pelarian kami.
Mestinya tidak terlalu sukar, kataku dalam hati. Elliot dan aku akan menyusup ke
luar sehabis makan malam, saat semua orang sedang asyik menyaksikan Upacara Juar
a. Kami akan menuruni bukit dan kembali ke jalan raya. Dari situ kami akan berja
lan kaki atau menumpang mobil menuju ke kota terdekat yang memiliki kantor polis
i.
Dengan bantuan polisi, aku yakin kami bisa menemukan Mom dan Dad dalam waktu sin
gkat.
Gampang sekali, bukan? Nah, sekarang tinggal menemukan Elliot.
***
Tim-ku kalah tujuh sembilan.
Aku melakukan kesalahan yang sekaligus mengakhiri pertandingan.
Anak-anak yang lain kecewa sekali, tapi aku sama sekali tidak peduli.
Sampai sekarang belum satu King Coin pun yang kumenangkan.
Ketika kami menuju ke asrama, kulihat Buddy memperhatikanku. Ia kelihatan jengke
l.
"Wendy?setelah ini kau ikut olahraga apa?" serunya padaku.
Aku berlagak tidak mendengarnya dan terus saja berjalan.
Olahragaku yang berikut adalah lari, pikirku dengan galau. Lari dari tempat yang
mengerikan ini.
Tanah mulai bergetar dan bergoyang ketika aku melewati gedung utama. Kali ini ak
u tidak ambil pusing dan terus berjalan ke asrama.
Elliot baru kutemukan sehabis makan malam. Aku melihatnya keluar lewat pintu rua
ng makan bersama dua temannya. Mereka asyik mengobrol, tertawa-tawa, dan saling
membenturkan dada sambil berjalan.
"Elliot!" aku memanggil sambil mengejarnya. "Hei, Elliot?tunggu!"
Ia berpaling. "Oh. Hai," katanya. "Bagaimana, beres?"
"Kau lupa ya kalau kau punya kakak?" tanyaku dengan gusar.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Apa sih maumu?"
"Ke mana saja kau?" tanyaku.
Serta-merta ia nyengir lebar. "Aku sibuk memenangkan ini!" sahutnya. Ia mengangk
at kalung di lehernya untuk memamerkan keping-keping emasnya. "Aku sudah dapat l
ima."
"Hebat," ujarku sinis. "Elliot?kita harus pergi dari sini!"
"Hah? Pergi?" Ia mengerutkan kening karena bingung.
"Ya," aku berkeras. "Kita harus keluar dari camp ini?malam ini juga!"
"Tidak bisa," balas Elliot. "Pokoknya tidak bisa."
Beberapa anak melewati kami. Mereka sedang menuju ke tempat Upacara Juara. Aku m
engikuti Elliot keluar lewat pintu ruang makan.
Kemudian aku menariknya dari jalan setapak, ke rumput di sisi bangunan.
"Kau tidak bisa pergi? Kenapa tidak bisa?" tanyaku.
"Soalnya aku harus memenangkan King Coin keenam dulu," jawabnya. Sekali lagi ia
memamerkan keping-keping emas yang telah diperolehnya.
"Elliot?tempat ini berbahaya!" aku berseru. "Dan Mom dan Dad pasti sudah?"
"Ah, kau cuma iri," ia memotong sambil menyodorkan semua King Coin-nya ke depan
hidungku. "Kau belum dapat satu pun?ya, kan?"
Tanganku langsung mengepal. Rasanya aku ingin mencekiknya.
Sungguh.
Ia selalu ingin bersaing. Ia selalu ingin menang dalam segala hal.
Aku menarik napas panjang dan berusaha berbicara dengan tenang.
"Elliot, kau tidak mencemaskan Mom dan Dad?"
Sejenak pandangannya beralih ke rumput. "Sedikit."
"Nah, kita harus pergi dari sini dan mencari mereka!" ujarku berapi-api.

"Besok, deh," sahutnya. "Setelah pertandingan atletik besok pagi. Setelah aku da
pat kepingku yang keenam."
Aku membuka mulut untuk berdebat dengannya. Tapi untuk apa?
Aku tahu kadang-kadang adikku sangat keras kepala. Kalau ia sudah berniat memena
ngkan satu keping lagi, maka ia takkan pergi sebelum berhasil.
Percuma saja berdebat dengannya. Dan aku juga tidak mungkin menyeretnya pergi. "
Begitu pertandingan atletik selesai besok pagi," kataku padanya, "kita pergi dar
i sini! Tidak peduli kau menang atau kalah. Setuju?"
Elliot berpikir sejenak. "Oke. Setuju," akhirnya ia berkata. Kemudian ia pergi b
ersama kedua temannya.
***
Kali ini ada empat anak yang ikut dalam Upacara Juara. Sambil menonton dari trib
un, aku memikirkan anak-anak yang sudah ikut sebelumnya.
Dierdre. Rose. Jeff...
Apakah mereka semua sudah pulang ke rumah masing-masing?
Apakah mereka dijemput orangtua mereka? Apakah mereka sudah
selamat sampai di rumah masing-masing?
Barangkali aku merasa cemas tanpa alasan, kataku dalam hati.
Semua orang di camp ini tampak riang gembira. Kenapa cuma aku yang merasa kuatir
?
Lalu aku teringat bahwa aku bukan satu-satunya orang yang cemas.
Wajah Alicia yang basah karena air mata langsung terbayang.
Apa yang dilihatnya hingga ia begitu ketakutan? Kenapa ia begitu ngotot mewantiwanti kami agar segera pergi?
Kemungkinan besar aku takkan pernah tahu, pikirku.
Setelah Upacara Juara selesai, aku enggan kembali ke asrama. Aku tahu aku pasti
takkan bisa tidur. Terlalu banyak masalah yang membebani pikiranku.
Sementara anak-anak lain menuju ke kamar masing-masing, aku menyelinap ke bayang
-bayang pepohonan. Kemudian aku menyusuri jalan setapak ke bukit landai yang men
uju ke gedung utama.
Sambil bersembunyi di balik semak-semak, aku merebahkan diri di rumput. Hawanya
sejuk dan langit tertutup awan. Udara malam terasa lembap.
Aku memandang ke langit. Bulan dan bintang tertutup awan. Di kejauhan aku meliha
t titik-titik cahaya berwarna merah bergerak melintasi kegelapan. Pesawat terban
g. Dalam hati aku bertanya ke mana pesawat itu pergi.
Jangkrik-jangkrik mulai bersuara. Angin membelai-belai rambutku.
Sekali lagi aku memandang ke langit yang tak berbintang. Aku berusaha mengendurk
an otot-otot dan menenangkan pikiran.
Setelah beberapa menit aku mendengar suara-suara. Bunyi langkah.
Serta-merta aku berlutut dan menunduk di balik semak-semak.
Suara-suara itu bertambah keras. Aku mendengar suara tawa anak cewek.
Dengan hati-hati aku mengintip dari tempat persembunyianku. Aku melihat dua pemb
ina bergegas menyusuri jalan setapak menuju ke puncak bukit.
Di belakang mereka serombongan pembina lain juga berjalan cepat ke arah bukit. S
epertinya mereka semua sedang terburu-buru.
Mereka mau ke gedung utama, kataku dalam hati. Barangkali ada pertemuan pembina
di sana.
Seragam mereka yang serba putih mudah terlihat, biarpun malam begitu gelap. Samb
il berjaga-jaga agar tidak terlihat, aku memperhatikan mereka menaiki bukit.
Di luar dugaanku mereka ternyata tidak masuk ke gedung utama.
Mereka membelok beberapa meter sebelum pintu masuk dan menyusup ke hutan.
Mau ke mana mereka?
Aku melihat dua rombongan pembina lain menyusul ke hutan. Wah, kelihatannya ada
sekitar seratus pembina di camp ini. Dan semuanya malam ini masuk ke hutan.
Setelah yakin semua pembina sudah lewat, aku berdiri pelan-pelan.
Aku memandang ke hutan. Tapi yang terlihat hanya kegelapan.
Bayangan demi bayangan.
Tiba-tiba aku mendengar suara lagi. Cepat-cepat aku kembali bersembunyi.

Aku mengintip dari balik semak-semak, dan melihat Holly dan Buddy. Mereka berjal
an berdampingan, dengan langkah panjang.
Aku menunggu sampai mereka lewat. Kemudian aku langsung berdiri.
Sambil menyelinap dari satu bayangan ke bayangan berikut, aku mengikuti mereka k
e dalam hutan.
Aku sama sekali tidak memikirkan risiko ketahuan. Aku harus mencari tahu pergi k
e mana semua pembina itu.
Buddy dan Holly berjalan dengan cepat menerobos hutan. Mereka membelah ilalang t
inggi dan melangkahi pohon-pohon tumbang.
Tiba-tiba aku melihat bangunan putih di hadapanku. Bangunan itu seakan-akan berc
ahaya dalam kegelapan malam.
Dinding-dindingnya rendah. Bagian atapnya melengkung.
Aku memicingkan mata dari balik pepohonan. Kelihatannya seperti igloo, rumah ora
ng Eskimo, pikirku.
Bangunan apa ini? aku bertanya-tanya. Dan kenapa bangunannya tersembunyi di teng
ah hutan?
Di salah satu sisi terdapat pintu masuk yang menyerupai lubang gelap.
Holly melangkah masuk. Buddy segera mengikutinya.
Aku menunggu hampir satu menit. Kemudian aku pun menyusul mereka.
Jantungku berdegup-degup. Bangunannya aneh sekali. Bulat, dan licin bagaikan es.
Aku berhenti sejenak. Aku mengintip melalui pintu masuk, tapi tidak bisa melihat
apa pun di dalamnya. Tak ada suara yang terdengar.
Apa yang harus kulakukan? aku bertanya pada diriku sendiri.
Haruskah aku masuk?
Ya.
Aku menarik napas panjang, lalu melangkah maju.
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com
23
AKU menuruni tiga anak tangga yang menuju ke ruangan yang remang-remang. Satu-sa
tunya sumber cahaya adalah sebuah lampu berwarna merah yang dipasang di dekat la
ntai.
Aku maju pelan-pelan. Kemudian aku berhenti dan pasang telinga.
Samar-samar aku mendengar suara-suara dari ruang sebelah.
Sambil meraba-raba permukaan dinding beton yang tidak diplester, aku bergerak me
ndekati suara-suara itu. Dalam waktu singkat aku menemukan sebuah pintu terbuka
di sebelah kananku.
Aku kembali berhenti. Kemudian, hati-hati sekali aku memberanikan diri untuk men
gintip.
Aku memandang ke ruangan besar berbentuk bujur sangkar. Empat obor yang terpasan
g pada dinding di bagian depan memancarkan cahaya jingga yang berkerlap-kerlip.
Para pembina menduduki bangku-bangku panjang yang terbuat dari kayu. Semuanya me
nghadap ke panggung rendah di depan. Di atasnya terbentuk spanduk berwarna ungu
dengan tulisan: HANYA YANG TERBAIK
Rupanya ini gedung teater, pikirku. Semacam tempat pertemuan.
Tapi kenapa letaknya di tengah-tengah hutan?
Dan kenapa semua pembina berkumpul di sini malam-malam begini?
Aku tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban pertanyaanku.
Buddy naik ke panggung. Dengan langkah panjang ia berjalan dalam cahaya obor yan
g berkerlap-kerlip, lalu berbalik menghadap rekan-rekannya.
Aku beringsut maju. Di bagian belakang ruangan itu tak ada obor.
Keadaannya gelap gulita.
Sambil berjinjit aku menyusuri dinding belakang.
Aku menemukan semacam lemari yang pintunya terbuka, dan tanpa pikir panjang aku
menyelinap masuk.

Buddy mengangkat kedua tangan. Para pembina langsung berhenti mengobrol. Seketik
a semuanya duduk tegak dan memandang ke arah panggung.
"Sudah waktunya untuk menyegarkan diri," Buddy berseru. Suaranya bergema pada di
nding-dinding beton.
Para pembina duduk dengan kaku. Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun bersua
ra.
Buddy mengeluarkan keping emas dari sakunya. Pasti sebuah King Coin, kataku dala
m hati. Keping itu tergantung pada rantai emas yang panjang.
"Sudah waktunya untuk menyegarkan diri," ujar Buddy. "Sudah waktunya untuk meman
tapkan misi kita."
Keping emas itu diangkatnya tinggi-tinggi. Permukaannya tampak berkilau-kilau da
lam cahaya obor. Buddy mulai mengayun-ayunkannya. Maju-mundur. Pelan-pelan.
"Kosongkan pikiran kalian," katanya kepada rekan-rekannya. Nada suaranya terdeng
ar lembut. "Kosongkan pikiran kalian, seperti aku mengosongkan pikiranku."
Keping emas yang berkilau-kilau itu berayun maju-mundur. Maju-mundur. Perlahan-l
ahan. "Kosongkan... kosongkan... kosongkan pikiran kalian," Buddy berkata, seaka
n-akan membaca mantra. Ia menghipnotis mereka! aku menyadari.
Buddy menghipnotis semua pembina lain. Dan ia sendiri juga sudah dihipnotis!
Aku maju selangkah. Rasanya yang kulihat dan kudengar itu tak bisa kupercaya!
"Kosongkan pikiran kalian untuk mengabdi kepada sang pemimpin!" kata Buddy. "Itu
lah sebabnya kita berada di sini. Untuk mengabdi kepada sang pemimpin dalam sege
nap kemuliaannya!"
"Mengabdi kepada sang pemimpin!" para pembina lain menyahut berbarengan.
Siapa sang pemimpin itu? tanyaku dalam hati. Apa maksud mereka?
Buddy terus berbicara kepada para pembina. Matanya terbuka lebar.
Tak sekali pun ia berkedip. "Kita tidak berpikir!" ia berseru. "Kita tidak meras
a! Kita menyerahkan seluruh diri kita untuk mengabdi kepada sang pemimpin!"
Tiba-tiba aku mendapatkan jawaban terhadap beberapa pertanyaanku.
Sekarang aku tahu kenapa Buddy tidak meraung-raung kesakitan, kenapa ia tidak am
bruk ketika tongkat softball menghantam dadanya.
Ia berada di bawah pengaruh hipnotis.
Ia dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak merasakan hantaman tongkat itu. Ia tidak
merasakan apapun.
"Hanya Yang Terbaik!" teriak Buddy sambil mengacungkan kedua tangannya yang terk
epal.
"Hanya Yang Terbaik!" para pembina mengikutinya. Wajah mereka yang tak berkedip
tampak aneh, seakan-akan beku, dalam cahaya jingga yang menari-nari.
"Hanya Yang Terbaik! Hanya Yang Terbaik!"
Slogan itu mereka serukan berulang-ulang. Suara-suara mereka bergema keras pada
dinding-dinding. Hanya mulut mereka yang bergerak. Seperti boneka.
"Hanya Yang Terbaik yang pantas mengabdi sang pemimpin!" seru Buddy.
"Hanya Yang Terbaik!" rekan-rekannya menyahut sekali lagi.
Sejak awal pertemuan Buddy terus mengayun-ayunkan keping emasnya. Kini ia menyim
pannya kembali ke dalam saku celananya.
Suasana menjadi hening.
Hening dan menyeramkan.
Kemudian, aku pun bersin.

24
CEPAT-CEPAT kututup mulutku dengan sebelah tangan. Terlambat.
Aku bersin lagi.
Saking kagetnya, Buddy sampai melongo. Kemudian ia menuding-nuding ke arahku.
Langsung saja beberapa pembina berdiri dan berbalik.

Aku berpaling ke pintu. Sanggupkah aku meloloskan diri sebelum salah satu dari m
ereka menangkapku?
Tidak.
Aku takkan sempat berlari ke pintu.
Kakiku gemetaran. Tapi aku memaksakan diri untuk melangkah. Aku mundur ke dindin
g belakang.
Kenapa aku nekat masuk begitu jauh? Kenapa aku tidak mengintip dari pintu saja?
"Siapa itu?" aku mendengar Buddy berseru. "Ah, gelap sekali. Siapa itu?"
Bagus! pikirku. Ia tidak tahu kalau aku yang menyusup masuk.
Tapi sebentar lagi aku bakal ditangkap dan diseret ke tempat terang.
Aku kembali mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Kegelapan menyelubungiku.
Aku berbalik. "Ohh!" seruku ketika menyadari aku nyaris jatuh ke tangga yang cur
am sekali.
Tempat persembunyianku ternyata bukan lemari sungguhan.
Tangga batu yang hitam membelok ke bawah. Menuju ke mana tangga itu?
Aku tidak bisa menebaknya. Tapi aku tidak punya pilihan. Tangga itu satu-satunya
jalan bagiku untuk meloloskan diri.
Sambil menempelkan pundak ke dinding aku bergegas menuruni tangga. Sepatuku terg
elincir di tangga batu yang licin.
Hampir saja aku terpeleset dan terjun dengan kepala lebih dulu. Tapi untung saja
aku masih sempat berpegangan dan menjaga keseimbangan.
Tangganya berputar-putar. Turun terus.
Udara mulai panas dan berbau tidak sedap. Aku menahan napas.
Baunya seperti susu basi.
Gemuruh aneh terdengar dari bawah.
Aku berhenti untuk menarik napas.
Dan pasang telinga.
Gemuruh itu terdengar lagi. Embusan udara apak menusuk-nusuk hidungku.
Aku menoleh ke belakang. Apakah ada yang mengejarku? Apakah para pembina sempat
melihatku kabur lewat pintu lemari yang terbuka?
Tidak. Keadaannya terlalu gelap. Aku tidak mendengar suara apa pun dari atas. Me
reka tidak mengikutiku.
Aduh, apa sih yang berbau begitu tajam di bawah sana?
Sebenarnya aku ingin berhenti saja. Aku enggan turun lebih jauh lagi.
Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tahu orang-orang di atas pasti sedang mencaricari.
Sambil berpegangan pada dinding batu, aku kembali menuruni tangga.
Akhirnya aku sampai di sebuah terowongan yang panjang dan sempit.
Udaranya bertambah panas dan lembap. Sepatuku menginjak-injak air yang tergenang
di dasar terowongan.
Kira-kira ke mana arah terowongan ini? aku bertanya dalam hati.
Apakah aku bisa keluar lewat sini?
Aku maju pelan-pelan. Ketika hampir tiba di ujung terowongan, embusan udara apak
menyergapku. Aku terbatuk-batuk dan berusaha keras agar perutku tidak berontak.
Baunya memualkan sekali!
Seperti daging busuk dicampur telur busuk. Seperti sampah yang dibiarkan terjemu
r matahari selama berhari-hari.
Kutempelkan kedua tanganku pada mulutku. Baunya begitu keras sehingga aku bisa m
engecapnya!
Aku hampir muntah. Satu kali. Dua kali.
Jangan pedulikan bau itu! kataku dalam hati. Pikirkan hal lain.
Pikirkan bunga segar. Pikirkan parfum yang harum.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi akhirnya aku berhasil menenangkan perutku
.
Kemudian, sambil menjepit hidung rapat-rapat agar baunya tidak masuk, aku memaks
akan diri melangkah ke ujung terowongan.
Aku berhenti ketika tiba di sebuah ruangan besar yang terang benderang.
Lalu aku membelalakkan mata?sebab di hadapanku tampak pemandangan paling buruk d
an paling mengerikan yang pernah kulihat seumur hidup!

25
SAMBIL memicingkan mata karena silau, aku melihat lusinan anak yang membawa tong
kat pel, ember, dan selang air.
Semula aku menyangka mereka sedang membersihkan balon ungu berukuran raksasa. Le
bih besar dari balon mana pun di pawai Thanksgiving Day!
Tapi ketika disiram air dan digosok-gosok dengan tongkat pel, balon itu mendadak
mengerang keras-keras.
Serta-merta aku sadar bahwa yang kulihat itu bukan balon. Aku sedang melihat mak
hluk. Dan makhluk itu hidup. Aku sedang menatap monster.
Aku sedang menatap King Jellyjam.
Ternyata ia bukan maskot kecil yang lucu, tapi gumpalan lendir berwarna ungu ham
pir sebesar rumah. Gumpalan raksasa bermahkota emas.
Sepasang mata sebesar sapi tampak berputar-putar di kepalanya.
Kedua mata itu berwarna kuning dan berair terus. Ia berkecap-kecap dengan bibir
ungunya yang tebal, lalu mengerang lagi. Gumpalan-gumpalan lendir berwarna putih
menetes-netes dari lubang hidungnya yang besar dan berbulu.
Bau memuakkan yang kucium sejak tadi ternyata berasal dari badan King Jellyjam.
Meskipun aku sudah menjepit hidung rapat-rapat, bau menjijikkan itu tetap terciu
m juga. Baunya seperti ikan mati, sampah busuk, susu basi, dan karet dibakar?sek
aligus!
Mahkota emasnya bergeser-geser di puncak kepalanya yang licin.
Perutnya yang ungu mengembang dan mengempis, seakan-akan ombak samudra sedang be
rgelora di dalamnya. Dan ia bersendawa begitu keras sehingga dinding-dinding ber
getar.
Anak-anak di ruangan itu?aku melihat lusinan-bekerja tanpa henti.
Mereka mengelilingi monster jelek itu. Mereka menyiramnya dengan selang. Menggos
ok-gosok tubuhnya dengan tongkat pel, spons dan sikat.
Dan sambil bekerja, mereka dihujani benda-benda kecil berbentuk bulat. Klik. Kli
k. Klik. Benda-benda berjatuhan ke lantai.
Keong!
Keong-keong muncul dari kulit King Jellyjam. Aku ingin muntah lagi sewaktu menya
dari bahwa keringat makhluk itu berupa keong!
Terhuyung-huyung aku mundur ke terowongan sambil menempelkan tangan ke mulut.
Aku tidak habis pikir bagaimana anak-anak itu bisa tahan menghadapi bau memuakka
n yang menyelubungi mereka.
Kenapa mereka membersihkan makhluk itu? Kenapa mereka bekerja begitu keras?
Aku menahan napas ketika mengenali beberapa dari mereka.
Alicia!
Ia memegang selang dengan kedua tangan dan menyiram perut King Jellyjam yang men
ggembung. Rambutnya yang merah tampak basah kuyup dan melekat di keningnya. Dan
ia terus menangis sambil bekerja.
Aku juga melihat Jeff. Ia sedang menggosok bagian samping monster itu dengan ton
gkat pel.
Aku membuka mulut untuk memanggil Alicia dan Jeff. Tapi suaraku seolah-olah ters
angkut di tenggorokan.
Dan kemudian seseorang berlari ke arahku. Terhuyung-huyung.
Memasuki terowongan. Melangkah keluar dari cahaya yang terang-benderang.
Dierdre!
Dengan sebelah tangan ia memegang spons yang menetes-netes.
Rambutnya yang pirang melekat di kepala. Pakaiannya kusut dan basah kuyup.
"Dierdre!" aku memekik tertahan.
"Pergi dari sini!" ia berseru. "Cepat, Wendy ?lari!"
"Tapi?tapi?" aku tergagap-gagap. "Ada apa ini? Kenapa kau ada di sini?"

Dierdre terisak-isak. "Hanya Yang Terbaik," bisiknya. "Hanya Yang Terbaik yang d
ijadikan budak King Jellyjam!"
"Hah?" Aku menatapnya sambil melongo, sementara dia menggigil kedinginan di hada
panku.
"Coba lihat," seru Dierdre. "Anak-anak yang berada di sini semuanya juara. Semua
nya sudah dapat enam keping. Dia mendapatkan anak-anak yang paling kuat. Yang pa
ling ulet."
"Tapi?kenapa?" tanyaku.
Keong-keong masih terus bermunculan dari kulit makhluk itu, dan berjatuhan ke la
ntai. Embusan berbau busuk menyelubungi kami ketika King Jellyjam kembali bersen
dawa.
"Kenapa kalian semua sibuk membersihkan dia?" aku bertanya pada Dierdre.
"Dia?dia harus dimandikan terus-menerus," jawab Dierdre sambil berusaha menahan
tangis. "Dia harus basah terus. Dan dia tidak tahan baunya sendiri. Jadi dia mem
bawa anak-anak yang paling kuat ke bawah sini. Dan kami dipaksa membersihkannya
siang dan malam."
"Tapi, Dierdre?" aku berusaha menyela.
"Kalau kami berhenti bekerja," ia melanjutkan, "kalau kami nekat mencoba beristi
rahat, kami ?kami bakal dimakan!" Seluruh tubuhnya bergetar hebat. "Dia?dia suda
h makan tiga anak hari ini!"
"Ya ampun!" aku berseru karena ngeri.
"Dia begitu menjijikkan," Dierdre meratap. "Dari badannya terus keluar keong...
dan baunya, minta ampun."
Ia meraih lenganku. Tangannya basah dan dingin.
"Para pembina dihipnotis," bisiknya. "Mereka sepenuhnya di bawah kendali King Je
llyjam."
"A-aku tahu," kataku.
"Pergi dari sini! Cepat!" Dierdre mendesak sambil meremas tanganku. "Cari bantua
n, Wendy. Tolonglah kami?"
Bunyi gemuruh membuat kami tersentak kaget. "Oh, aduh!" Dierdre memekik. "Dia me
lihat kita! Sekarang sudah terlambat!"

26
SUARA monster itu kembali menggelegar.
Dierdre mengendurkan genggamannya. Sambil gemetaran karena ngeri, kami berdua be
rpaling ke arah King Jellyjam.
Ternyata ia meraung sekadar untuk membuat semua orang ketakutan.
Matanya yang kuning dan berair terpejam rapat. Ia belum melihat Dierdre dan aku.
"Cari bantuan!" Dierdre berbisik padaku. Kemudian ia mengangkat sponsnya dan ber
lari ke sisi King Jellyjam.
Sejenak aku berdiri seperti patung. Aku sampai tidak bisa bergerak saking ngerin
ya.
Raungan monster itu membuatku lari terbirit-birit menyusuri terowongan. Paling t
idak, sekarang aku sudah tahu kenapa tanah di camp begitu sering terguncang-gunc
ang!
Bau memuakkan dari ruang bawah tanah itu terus mengikutiku ketika aku menaiki ta
ngga batu yang berputar-putar. Aku takut bau itu akan terus melekat pada diriku.
Jangan-jangan aku takkan pernah bisa bernapas bebas lagi.
Bagaimana aku bisa menolong anak-anak itu? tanyaku dalam hati.
Apa yang bisa kulakukan?
Aku terlalu takut untuk berpikir dengan tenang.
Ketika aku berlari menerobos kegelapan, aku membayangkan King Jellyjam berkecap-

kecap dengan bibirnya yang ungu. Aku membayangkan bagaimana ia memutar-mutar mat
anya yang kuning.
Sementara keong-keong hitam terus bermunculan dari kulitnya.
Perutku terasa mual ketika aku sampai di puncak tangga. Tapi aku tahu aku tidak
punya waktu untuk memikirkan diriku. Anak-anak yang dipaksa menjadi budak monste
r itu harus kuselamatkan. Begitu juga anak-anak lain di camp?sebelum mereka pun
ikut jadi korban.
Aku menyembulkan kepala lewat pintu lemari. Keempat obor di bagian depan ruang p
ertemuan masih menyala. Tapi ruangannya sudah kosong.
Ke mana para pembina itu? Apakah mereka sedang mencari-cari aku di luar?
Kemungkinan besar sih begitu.
Apa yang harus kulakukan sekarang? aku bertanya dalam hati. Aku tidak mungkin be
rmalam di dalam lemari ini. Aku harus menghirup udara segar. Aku harus mencari t
empat di mana aku bisa berpikir dengan tenang.
Dengan hati-hati aku meninggalkan igloo itu. Melangkah ke malam yang tak berbint
ang. Sambil bersembunyi di balik pohon besar, aku mengamati keadaan sekeliling.
Berkas-berkas sinar berwarna putih berkerlap-kerlip di balik pepohonan. Cahaya s
enter.
Ya, pikirku. Para pembina sedang mencariku.
Aku mundur, menjauhi berkas-berkas sinar yang saling bersilangan.
Sambil berusaha untuk tidak bersuara, aku menyelinap di antara pohon-pohon dan i
lalang, menuju ke jalan setapak yang akan membawaku ke gedung utama.
Barangkali aku bisa kembali ke asrama dan memperingatkan semua anak. Tapi apakah
mereka akan percaya? Dan bagaimana kalau ada pembina yang berjaga-jaga di situ?
Bagaimana kalau mereka sengaja menunggu aku muncul?
Aku mendengar suara-suara di jalan setapak. Cepat-cepat aku bersembunyi di balik
pohon dan membiarkan dua pembina lewat.
Cahaya senter di tangan mereka menyapu seluruh lereng bukit.
Begitu mereka tidak kelihatan, aku keluar dari persembunyianku. Aku berlari menu
runi bukit. Sambil berlindung di kegelapan bayang-bayang, aku bergegas melewati
kolam renang. Melewati deretan lapangan tenis. Semuanya gelap dan sunyi.
Semak-semak tinggi di sisi lapangan atletik akan melindungiku dari segala arah,
pikirku. Cepat-cepat aku menyelinap. Napasku terengah-engah. Aku segera berlutut
dan merangkak ke tempat persembunyianku yang baru.
Aku menduduki lapisan daun cemara di bawah semak-semak. Dan memandang berkelilin
g. Tak ada apa-apa selain kegelapan yang pekat.
Aku menarik napas panjang. Satu kali. Dua kali. Udaranya begitu segar.
Aku harus berpikir, aku berkata dalam hati. Harus berpikir...
***
Aku terbangun karena suara-suara yang berseru-seru.
Rupanya aku sempat ketiduran. Wah, di mana aku?
Aku berkedip beberapa kali. Lalu duduk tegak sambil meregangkan otot-otot. Selur
uh tubuhku terasa kaku. Punggungku pegal sekali.
Aku memandang berkeliling. Ternyata aku masih di tempat persembunyianku di tenga
h semak-semak. Hari sudah terang, tapi langit masih mendung dan kelabu. Matahari
masih berusaha menembus lapisan awan dengan sinarnya.
Dan suara-suara yang kudengar?
Siapa itu yang bersorak-sorai?
Aku berdiri dan mengintip dari balik semak-semak.
Pertandingan atletik! Pertandingannya baru saja dimulai. Aku melihat enam anak c
owok dengan celana pendek dan t-shirt, berlari sekuat tenaga mengelilingi lapang
an. Segerombolan anak dan pembina berseru-seru menyemangati mereka.
Dan siapa yang berada paling depan?
Elliot!
"Aduh!" seruku. Suaraku masih parau karena aku baru bangun.
Aku keluar dari semak-semak. Melintasi rumput, menuju lapangan.
Aku tahu aku harus menghentikan Elliot. Ia tidak boleh memenangkan pertandingan
ini. Jangan sampai ia mendapatkan kepingnya yang keenam. Kalau ia sampai menang,

maka ia juga bakal dijadikan budak!


Elliot berlari dengan kencang. Ia berada jauh di depan kelima pelari lainnya.
Apa yang harus kulakukan? Apa?
Tiba-tiba aku teringat isyaratku.
Suitanku dengan dua jari. Isyaratku agar Elliot jangan terlalu menggebu-gebu.
Ia akan mendengarnya dan mengurangi kecepatan, kataku dalam hati.
Kutempelkan dua jari ke bibir.
Kemudian aku meniup keras-keras.
Tapi tak ada suara apa pun. Mulutku terlalu kering.
Jantungku berdegup-degup. Aku mencoba sekali lagi.
Tetap saja tidak berhasil.
Elliot memasuki putaran terakhir. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah
kemenangannya.

27
AKU tidak bisa berbuat apa-apa?kecuali kalau aku bisa menduluinya.
Sambil memekik keras aku menerjang maju dan mulai berlari ke lintasan.
Langkahku berdebam-debam di rumput. Pandanganku melekat pada Elliot dan garis fi
nis. Tambah kencang. Lebih kencang lagi.
Kalau saja aku bisa terbang.
Sorak-sorai para penonton terdengar membahana ketika Elliot mendekati garis fini
s. Kelima pelari lain tertinggal jauh di belakangnya.
Aku telah sampai di lintasan yang berlapis aspal. Dadaku serasa mau pecah. Setia
p tarikan napas membuatku seperti ditusuk-tusuk.
Napasku tersengal-sengal.
Lebih kencang. Lebih kencang.
Aku mendengar orang-orang berseru kaget ketika aku melesat di lintasan. Aku mend
ekati Elliot, mengangkat kedua tangan?dan menyergapnya dari belakang.
Kami sama-sama jatuh, berguling-guling di lintasan yang keras, lalu di rumput. P
ara pelari yang lain melewati kami dan terus menuju ke garis finis.
"Wendy, apa-apaan sih kau!?" Elliot membentakku sambil berdiri.
"A-aku tidak bisa menjelaskannya sekarang!" balasku. Aku megap-megap dan berusah
a menenangkan diri agar dadaku tidak terlalu nyeri.
Aku bangkit dan menggamit lengan Elliot. Dengan kesal ia menarik tangannya. "Ken
apa kau menjegalku, Wendy? Kenapa?"
Aku melihat tiga pembina bergegas menghampiri kami.
"Cepat?!" kataku. Serta-merta kuseret Elliot. "Pokoknya cepat!"
Aku seolah melihat rasa ngeri terpancar dari matanya. Sepertinya ia menyadari ba
hwa ia kusergap karena memang tidak ada jalan lain.
Kelihatannya ia sadar aku tidak main-main.
Elliot berhenti memprotes dan mulai berlari.
Ia mengikutiku menaiki bukit di samping gedung utama. Memasuki hutan.
"Mau ke mana kita?" tanyanya terengah-engah. "Ada apa sebenarnya?"
"Sebentar lagi kau bakal lihat sendiri!" jawabku. "Bersiap-siaplah menyambut bau
busuk!"
"Hah? Wendy?kau sudah gila, ya?"
Aku tidak menyahut. Aku terus saja berlari. Aku mengajaknya ke tengah hutan. Ke
bangunan yang menyerupai igloo.
Ketika kami sampai di pintu masuk yang rendah, aku menoleh untuk melihat apakah
ada yang mengikuti kami. Tak seorang pun kelihatan.
Elliot mengikutiku ke ruang pertemuan. Obor-obor telah padam.
Suasana gelap gulita.

Sambil meraba-raba aku menyusuri dinding belakang sampai ke pintu lemari. Kemudi
an aku membukanya dan mulai menuruni tangga.
Di tengah jalan kami sudah disambut bau yang membuat perut serasa diaduk-aduk. E
lliot berseru tertahan dan langsung menutup mulut dan hidungnya. "Huh, baunya mi
nta ampun!" Seruan itu teredam di balik kedua tangannya.
"Ini belum seberapa," ujarku. "Jangan pedulikan baunya."
Kami berlari berdampingan menyusuri terowongan yang panjang.
Sebenarnya Elliot ingin kuperingatkan dulu. Aku ingin memberitahukan apa yang ba
kal dilihatnya.
Tapi aku harus menyelamatkan Dierdre Alicia, dan yang lain.
Tanpa menghiraukan bau yang menusuk hidung aku menyerbu ke ruangan yang terang-b
enderang di ujung terowongan. Air dari selusin selang menyiram badan monster ber
warna ungu itu. Belasan anak dari segala umur sibuk menggosok sementara monster
itu mengerang-erang.
Aku melihat Elliot membelalakkan mata. Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirk
annya.
"Tiarap!" teriakku sekencang mungkin, sambil menempelkan tangan di sekeliling mu
lut. "SEMUANYA?TIARAP! CEPAT!"
Aku sudah punya rencana.
Masalahnya?apakah rencanaku akan berhasil?

24
MONSTER itu tampak kaget. Ia membelalakkan matanya yang kuning dan berair. Mulut
nya yang berbibir tebal pun menganga. Di dalamnya aku melihat dua lidah berwarna
pink bergerak maju-mundur.
Beberapa anak langsung melepaskan selang dan tongkat pel yang mereka pegang dan
menjatuhkan diri ke lantai. Tapi ada juga yang berbalik dan memandang ke arahku.
"Jangan mandikan dia lagi!" aku berseru. "Letakkan selang dan sikat kalian! Berh
enti bekerja! Dan cepat tiarap!"
Elliot terbatuk-batuk di sampingku. Aku melirik dan melihat ia sedang berusaha u
ntuk tidak muntah.
King Jellyjam meraung keras ketika anak-anak yang lain mengikuti perintahku. Len
dir kental berwarna putih menetes-netes dari hidungnya. Kedua lidahnya menjulurjulur di antara bibirnya yang ungu.
"Tiarap!" aku berteriak kepada anak-anak. "Diam di lantai!"
Dan kemudian aku melihat monster itu mengangkat tangan ungunya yang gemuk. Ia me
mbungkuk sambil mengerang keras. Kuli tubuhnya yang berlendir pecah dan retak ke
tika ia mengulurkan tangan.
Ia hendak meraih Alicia!
"Tolong! Aku mau dimakan!" Alicia menjerit. Ia hendak berdiri.
"Jangan!" teriakku. "Jangan berdiri! Tetap tiarap!" Sambil memekik ketakutan, Al
icia kembali merebahkan diri ke lantai.
Tangan King Jellyjam berayun ke bawah. Menggapai-gapai di atas tubuh Alicia. Ia
berusaha mengangkat gadis cilik itu. Berkali-kali.
Tapi ternyata dugaanku tepat! Jari-jemari monster itu terlalu gemuk, terlalu kak
u untuk mengangkat orang yang tergeletak di lantai.
King Jellyjam mendongakkan kepala dan meraung-raung dengan kesal.
Bau memuakkan di sekelilingku semakin keras. Aku segera menutup hidung dengan se
belah tangan. Keong-keong hitam terus bermunculan dari kulitnya. Menggelinding d
i tubuhnya yang berlendir. Berjatuhan ke lantai.
Monster itu melambai-lambaikan tangan. Sekali lagi ia membungkuk, berusaha merai

h anak-anak yang lain.


Tapi mereka merapatkan diri ke lantai, sehingga King Jellyjam tidak berhasil men
gangkat mereka. King Jellyjam kembali meraung. Kali ini suaranya sudah lebih lem
ah. Bola matanya berputar-putar tak terkendali di kepalanya yang besar.
Bau yang menyebar membuat mataku serasa terbakar. Bau itu menyelubungiku dari se
gala arah.
King Jellyjam mencoba meraih selang. Tapi gagal. Ia memasukkan tangan ke dalam a
ir, berusaha membasuh badannya.
Aku berdiri sambil gemetaran. Segala gerak-geriknya kuperhatikan tanpa berkedip.
Rencanaku berhasil. Sejak awal aku sudah yakin ini akan berhasil.
Bau yang menyelubungiku bertambah keras lagi. Bau itu seolah-olah menempel di ku
litku. Aku bahkan bisa mengecapnya dengan lidah.
King Jellyjam melambai-lambaikan kedua tangannya. Kalang kabut ia berusaha meman
dikan dirinya sendiri.
Raungannya berubah menjadi erangan. Tubuhnya mulai gemetar.
Aku menahan napas ketika dia menatapku sambil memicingkan mata.
Ia menudingku dengan jarinya yang bengkak!
Ia mencondongkan badan ke depan.
Mengulurkan tangannya yang besar.
Aku tidak sanggup bergerak karena terlalu ngeri. Aku merinding.
Tangannya menggenggam tubuhku. Dan sebelum aku sempat memberontak, ia sudah menc
engkeramku dengan jari-jemarinya yang berlendir dan bau.

29
"OHHH.? Aku mengerang ketakutan.
Jari-jemari yang bengkak dan basah itu mencengkeramku dengan erat.
Bau busuk menyerang dari segala arah.
Aku menahan napas. Tapi bau itu ada di mana-mana.
Cengkeraman monster itu bertambah keras.
Aku mulai terangkat dari lantai. Terangkat ke mulut yang menganga lebar. Kedua l
idahnya tampak bergerak maju-mundur.
Sekonyong-konyong kedua lidah dibalik bibir berwarna yang ungu itu terkulai lema
s.
Cengkeraman jari-jemari pun mengendur.
Aku membebaskan diri ketika King Jellyjam mengerang dan terguling ke depan. Anak
-anak di dekatnya cepat-cepat menghindar. King Jellyjam jatuh berdebam.
Mahkota emasnya terpental. Lendir dari tubuh King Jellyjam bercipratan ke segala
arah ketika monster itu ambruk.
"Yes!" aku berseru dengan gembira. Aku masih gemetaran, masih berusaha melupakan
cengkeraman jari-jemarinya yang berlendir.
"Yes!"
Rencanaku berjalan dengan sempurna.
Anak-anak berhenti memandikannya?dan King Jellyjam tumbang karena baunya sendiri
!
"Ka-kau tidak apa-apa?" Elliot bertanya dengan suara bergetar.
"Aku baik-baik saja," sahutku.
Elliot masih menjepit hidung. "Mulai sekarang aku takkan mengeluh lagi mengenai
bau pupuk yang dipakai Daddy di kebun!" katanya.
Anak-anak yang lain berdiri sambil bersorak-sorai.
"Terima kasih!" seru Alicia. Ia memelukku erat-erat. Yang lain pun bergegas meng
ucapkan terima kasih.
Aku terus dipeluk ketika kami keluar dari ruang pertemuan dan memasuki hutan. Ta
k sedikit anak yang menitikkan air mata.
"Kita berhasil lolos!" aku berseru kepada Elliot. Tapi mendadak kami berhenti ke

tika melihat para pembina di tepi hutan.


Mereka berdiri di hadapan kami. Jumlahnya banyak sekali, dan semuanya berdiri be
rdampingan dengan seragam mereka yang serba putih. Mereka telah membentuk barisa
n di sepanjang jalan setapak.
Melihat roman muka mereka yang kencang, aku langsung tahu kedatangan mereka buka
n untuk menyambut kami.
Buddy melangkah maju ketika aku menatap mereka satu per satu. Ia memberi isyarat
kepada rekan-rekannya. "Jangan biarkan mereka lolos!" serunya.

30
PARA pembina maju serempak. Tampang mereka tetap keras dan menakutkan. Lengan me
reka tidak berayun mengiringi langkah mereka.
Mereka bergerak dengan kaku. Seperti robot. Seakan-akan tidak sadar.
Mereka maju dua langkah lagi.
Lalu bunyi peluit yang melengking memecahkan keheningan.
"Berhenti! Tak ada yang bergerak!" suara seorang pria menggelegar.
Sekali lagi terdengar bunyi peluit.
Aku menoleh dan melihat sejumlah polisi berseragam biru berlari menaiki bukit.
Para pembina menggeleng-gelengkan kepala, berkedip-kedip, dan berseru-seru denga
n bingung. Mereka tidak berusaha melarikan diri.
"Di mana kita?" aku mendengar Holly bergumam.
"Apa yang terjadi?" pembina lainnya bertanya.
Mereka semua kelihatan linglung dan bingung. Rupanya bunyi peluit polisi telah m
embuyarkan pengaruh hipnotis yang semula menguasai mereka.
Semua anak bersorak-sorai dengan gembira ketika semakin banyak polisi menyerbu k
e bukit.
"Dari mana Anda tahu bahwa kami perlu bantuan?" seruku.
"Sebenarnya kami tidak tahu," salah satu petugas menyahut. "Tapi di kota tiba-ti
ba tercium bau yang busuk sekali. Kami ingin tahu apa penyebabnya. Jadi kami mel
acaknya ke sini!"
Aku ketawa. Bau yang membunuh monster itu ternyata sekaligus menyelamatkan kami.
"Tadinya kami tidak tahu bahwa ada masalah di camp ini," ujar seorang petugas. "
Kami akan segera menghubungi orangtua kalian."
Elliot dan aku berjalan menuruni bukit. Kami sudah tak sabar ingin ketemu Mom da
n Dad!
Para pembina saling berbisik dan memandang berkeliling sambil mereka-reka apa ya
ng telah terjadi.
Aku berpaling pada Buddy ketika Elliot dan aku melewatinya.
"Bagaimana rasanya sekarang?" tanyaku.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. Sepertinya ia tak sanggup memfokuskan pand
angan. "Hanya Yang Terbaik," ia bergumam. "Hanya Yang Terbaik."
***
Elliot dan aku bersyukur ketika kami sampai di rumah.
"Kenapa Mom dan Dad tidak segera menemukan kami?" tanya adikku.
Mereka menggelengkan kepala. "Polisi sudah mencari kalian ke mana-mana," jawab D
addy. "Sudah berkali-kali mereka menelepon ke camp itu. Tapi pembina yang meneri
ma telepon memberitahu mereka bahwa kalian tidak di situ."
"Mom dan Dad kuatir sekali," ujar Mom sambil menggigit bibir. "Ketika kami menem
ukan karavan dalam keadaan kosong, kami tidak tahu harus bagaimana."
"Hmm, yang penting Elliot dan aku sudah selamat sampai di rumah," sahutku sambil
nyengir.

"Barangkali musim panas tahun depan kalian mau berlibur di camp sungguhan," Dad
menawarkan.
"Ehm... trims deh!" Elliot dan aku berkata berbarengan.
***
Dua minggu setelah itu kami mendapat kunjungan tamu tak terduga.
Ketika bel berdering, aku membuka pintu. Ternyata Buddy yang berdiri di teras de
pan. Rambutnya yang pirang tersisir rapi. Ia memakai celana katun, kemeja lenga
n pendek bergaris biru-putih, dan dasi biru tua.
"Aku menyesal atas kejadian di camp," ujar Buddy.
Karena kaget, aku sampai tidak bisa berkata apa-apa. Aku cuma memegang pegangan
pintu dan menatapnya sambil terbengong-bengong.
"Elliot ada di rumah?" tanya Buddy.
"Hai." Elliot muncul di sampingku. "Buddy! Ada apa?"
"Aku membawakan ini untukmu," jawab Buddy. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kepi
ng emas.
"Ini King Coin," katanya kepada adikku. "Kau memenangkannya ketika kau ikut perl
ombaan lari."
Elliot hendak meraih keping itu. Tapi tiba-tiba ia terdiam. Tangannya tetap tera
ngkat lurus ke depan.
Aku tahu apa yang dipikirkan adikku. Ini adalah King Coin-nya yang keenam.
Haruskah ia menerimanya?
Akhirnya keping itu diambil juga. "Thanks, Buddy," ujarnya.
Buddy berpamitan dan melambaikan tangan. Elliot dan aku memperhatikannya pergi n
aik mobil. Lalu kami menutup pintu.
"Kau yakin tidak terjadi apa-apa karena kau menerima keping ini?" tanyaku kepada
Elliot.
"Memangnya kenapa?" sahutnya. "Monster ungu itu sudah mati, kan? Jadi apa yang p
erlu ditakuti?"
Lima menit kemudian kami sama-sama mencium bau yang tak sedap.
"Oh!" Elliot mengerang. Ia langsung menelan ludah. "Wendy, b-bau apa itu?" tanya
nya tergagap-gagap.
"A-aku tidak tahu," jawabku dengan suara gemetaran.
Lalu aku mendengar Mom ketawa di belakang kami. Elliot dan aku berbalik dan meli
hat Mom berdiri di ambang pintu dapur. "Ada apa?" tanyanya. "Mom cuma sedang mem
asak brussels sprouts !"
END
(Brussels Sprout =

Sebangsa kubis yang menimbulkan bau khas)

Gudang Download Ebook: www.zheraf.net


http://zheraf.wapamp.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu

Você também pode gostar