Você está na página 1de 2

Ada apa di balik hubungan dokter dan perusahaan farmasi?

Seorang dokter dan perusahaan farmasi memiliki peran yang penting di dalam
dunia kesehatan. Seorang dokter sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya akan
berusaha menyembuhkan orang yang sakit, sedangkan perusahaan farmasi
memiliki peran fokus dalam meneliti, mengembangkan, dan mendistribusikan obat
baik dalam bentuk obat generik maupun obat bermerek. Sesuai dengan perannya
masing masing, maka akan timbul suatu kerjasama dengan tujuan untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Sekarang ini muncul opini di
masyarakat bahwa hubungan kerjasama antara dokter dan perusahaan farmasi
sudah dipengaruhi oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari
kedua belah pihak. >>> sebenernya masih banyak opini di paragraph ini.
Coba diawali event gitu, missal (masyarakat dikejutkan dengan
terbongkarnya praktek suap dari perusahaan farmasi dengan dokter di
akhir tahun 2015. Terungkapnya 9 dokter yang dibiayai oleh pihak farmasi
untuk dugem. Menurut pengakuan dari seorang mantan medrep, sebuah
rumah sakit bahkan dapat menerima komisi sebesar setengah dari belanja
obat di perusahaan farmasi tersebut. Suatu rumah sakit di Tangerang
dikatakan bisa mendapat uang hingga 8 miliar. Berarti setidaknya rumah
sakit tersebut belanja sebanyak 16 M. tapi pastikan ya ini fakta)
Tidak sedikit berita yang menyatakan bahwa telah terjadi kolusi antara dokter dan
perusahaan farmasi, dalam hal ini perusahaan farmasi melalui distributor obat yang
memiliki sebutan medical representative atau medrep diduga menggunakan sistem
detailing yaitu melakukan pertemuan tatap muka dengan dokter yang praktek di
rumah sakit atau tempat praktek pribadi, dalam pertemuan tersebut medrep akan
membujuk dokter untuk meresepkan obatnya. Dokter akan mendapat keuntungan
berupa materi baik dalam bentuk barang maupun uang. Keuntungan yang diberikan
kepada dokter akan diperhitungkan sebagai biaya produksi, dengan begitu biaya
produksi akan semakin tinggi dan harga jual obat akan semakin mahal. Sebagai
konsumen, mahalnya harga obat menjadi dampak yang dirasakan oleh masyarakat.
Bahkan disinyalir harga obat di Indonesia 200 kali lipat lebih mahal dari harga obat
di pasaran dunia menurut Badan Penelitian dan Pengembangan (Balibang) Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO)(Liputan 6 SCTV, 23
Juli 2007). >>> banyak opini di paragraph ini. Saya ubah ke pargraf
selanjutnya y.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI serta Badan
Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa harga obat di Indonesia lebih mahal
hingga dua ratus kali lipat dari harga obat di pasaran dunia. Namun Ketua Umum
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Prof Oetama Marsis, menyatakan
mahalnya harga obat bukan diakibatkan oleh gratifikasi dokter. Prof Marsis
mengatakan kejelasan kaitan gratifikasi dengan mahalnya harga obat harusnya
didasari data investigasi yang dilakukan pemangku kebijakan bidang kesehatan.

Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Kosupsi (KPK) Syahruddin Rasul mengatakan,


bahwa korupsi itu terjadi karena otoritas tidak diiringi dengan akuntabilitas.
Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia
(YPKKI), pada studinya di tahun 2002 hingga 2003 menyatakan bahwa biaya
entertaint dokter oleh perusahaan farmasi bisa mencapai 900 miliar. Jumlah
tersebut bahkan jauh dibawah uang pendapatan perusahan farmasi yang mencapai
90 triliun.
Antisipasi terjadinya kolusi antara dokter dan perusahan farmasi sebenarnya telah
tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 3 yang menetapkan bahwa
dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi. Pada tanggal 11 Juni 2007 telah terbentuk Etika
Promosi Obat. Upaya ini sebagai bentuk kesepakatan bersama antara Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dan Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi. Di dalamnya memuat yang
berisi etika kerjasama antara dokter dan perusahaan farmasi. Hal tersebut tentu
saja Diharapkan dapat sejalan dengan harapan masyarakat yaitu perusahaan
farmasi dapat memproduksi obat yang bermutu dengan harga pasaran rendah.
serta dokter dapat memberikan obat secara rasional dan tidak terpengaruh oleh
keuntungan dari perusahaan farmasi. >>> paragraph ini bagus, udah ada
referensinya.
Dalam upayanya mencegah terjadi tindakan tidak etis dalam peresepan, KPK,
Kementerian Kesehatan, dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta gabungan
perusahaan farmasi menyepakati untuk bekerja sama. Direktur Pencegahan KPK
Pahala Nainggolan mengatakan agar tidak dijerat pasal gratifikasi, sponsorship
tersebut kini tidak bisa lagi diberikan langsung kepada dokter atau pribadi.
Sponsorship yang diberikan harus atas nama rumah sakit yang bersangkutan.

Você também pode gostar