Você está na página 1de 20

Analisis Masalah

Abi Rafdi
04011281320013
1. Bagaimana penyebab dan mekanisme:
kesulitan saat menaiki anak tangga
Hal ini disebabkan karena pada penderita NPH terjadi gangguan
gait/gaya berjalan. Gangguan gaya berjalan adalah ciri khas
pertama yang muncul pada NPH, dan digambarkan secara
bervariasi seperti apraxic, bradykinetic, glue-footed, magnetic,
parkinsonian dan shuffling. Pasien sering datang dengan riwayat
terjatuh. Gaya berjalan yang menyimpang ini dicirikan pada
INPH seperti lambat, berdiri dengan kedua tungkai dibuka lebar,
melangkah dengan langkah pendek dan terseok-seok, dan sulit
menyusun atau melangkah dengan kedua kaki bergantian secara
berurutan. Selain itu juga tidak didapatkan adanya kelemahan
gerak yang signifikan. Gangguan gaya berjalan adalah gaya
berjalan apraxia yaitu sebagai gambaran kombinasi defisit
motorik, kegagalan reflek meluruskan tubuh dan ganguaan
sensibilitas benda halus. Gaya berjalan ini dapat digambarkan
sebagai''magnet'' karena sikap berdiri dengan kedua tungkai
dibuka lebar dan berjalan lambat, langkah kecil dengan kaki
menyeret lantai. Selain itu gejala ini juga disertai terdapatnya
peningkatan tonus dan reflek tendon tungkai bawah dan
timbulnya kelemahan serta inkoordinasi. Gangguan input dari
kortex sensorimotor, korteks frontal superior, dan gyrus gyrus
anterior

cingulate

menuju

formation

reticular

di

dalam

tegmentum pada batang otak juga dapat berkontribusi untuk


gangguan gaya berjalan dan sikap berdiri. Karena serat-serat
traktus serebrospinal menyuplai fungsi kaki melewati ventrikel
lateral dalam corona radiate
2. Apa saja jenis-jenis obat Parkinson?
Jenis obat-obatan:
a. Dopamine precursor
Levodopa, carbidopa, atau benserazide
b. Dopamine agonists
Bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirole, apomorphine,
cabergoline, pribedil
c. Cathecolamine-O-methyltransferase inhibitor
Tolcapone dan entacapone

d. Dopamine releaser, NMDA receptor antagonists


Amantadine
e. Monoamine oxidase type B inhibitor
Selegiline, rasagiline
f. Anticholinergics
Trihexyphenidyl, benztropine, biperidene
g. Antihistaminics
Diphenhydramine, orphenadrine, phenindamine
3. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?
Pemeriksaan peninjang yang dapat digunakan untuk diagnosis normal
preasure hydrocephalus dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Laboratorium
Hiponatermi dilaporkan pada pasien NPH karena tekanan pada hipotalamus
yang menggambarkan sindroma ketidaksesuaian sekresi hormon anti
diuretik.

Ini bukanlah

penemuan

yang konsisten. Umumnya,

uji

laboratorium tidak banyak membantu.


b. Radiologi
Pemeriksaan esensial untuk evaluasi pasien yang dicurigai NPH adalah
neuroimaging dengan CT atau MRI untuk menilai ukuran ventrikel. (gambar 1).
Walaupun tidak didapatkan tanda yang sesuai untuk diagnosis NPH pada
pemeriksaan neuroimaging, pelebaran ventrikel perlu untuk menegakkan
diagnosis INPH pada pasien yang mengalami gejala yang sesuai. Rasio frontal
horn (Evans' index), didefinisikan sebagai lebar ventrikel dari frontal horn
maximal dibagi diameter transversal tulang tengkorak diukur dari bagian dalam,
dikatakan ventrikulomegali jika nilainya 0,3 atau lebih. Gambaran radiologis
lain yang dapat ditemukan pada NPH termasuk: periventricular hyperintensities,
yang berhubungan karena terjadinya iskemia mikrovaskuler subkortikal (disebut
juga small-vessel disease), tetapi tidak mengeluarkan kemungkinan NPH,
peningkatan aliran cairan serebrospinal (CSF) secara cepat ke dalam
aquaduktus; akan menipiskan dan meninggikan atau elevasi corpus callosum
pada gambaran foto sagittal; dan tidak ada bukti adanya obstruksi aliran CSF.

Gambar 1. Neuroimaging dari 2 pasien dengan idiopathic normal pressure


hydrocephalus. (A) CT scan kepala menunjukkan ventrikulomegali tanpa
disertai atrofi kortikal yang signifikan. (B) MRI kepala menunjukkan
ventrikulomegali dan adanya perubahan iskemik subkortikal. Kedua pasien

idiopathic normal pressure hydrocephalus tersebut mengalami perbaikan gejala


setelah pemasangan shunt.
Computed tomography (CT) scans dan magnetic resonance imaging
(MRI) dapat digunakan untuk diagnosis NPH, Meskipun, tidak ada kriteria yang
dihandalkan untuk memastikan diagnosis dengan kedua modalitas tersebut.
Beberapa pasien berusia tua yang mengalami pembesaran ventrikel normal tidak
selamanya diakibatkan oleh NPH; jadi, ventrikel bisa saja melebar sebagai
akibat adanya atrofi otak atau penyusutan. Dalam kasus ini, pola dan tekanan
aliran CSS akan normal. Bagaimanapun pemeriksaan radiologis merupakan alur
menegakkan diagnosis NPH dengan memperhatikan Evans ratio (rasio antara
frontal horns berbanding dengan lebar tulang tengkorak yang diukur dari tepi
bagian dalam calvaria). Demensia non-NPH dengan ventrikulomegali biasanya
berhubungan dengan meningkatnya Evans ratio. Ahli radiologi akan
memastikan adanya atrofi hipocampus atau adanya peningkatan volume CSF.
MRI kepala adalah pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk
menegakkan diagnosis NPH, khususnya T2-weighted images. CT scan kepala
dapat digunakan jika MRI tidak tersedia. Kedua teknik radiologis tersebut
disesuaikan dengan kebutuhan klinis.

Axial nonenhanced CT scan kepala pasien NPH pada level fossa cranial tengah.
Pembesaran bagian temporal pada ventrikel lateral yang tidak proporsional
dibandingkan ukuran sulkus normal. Factor progostik negative yang dikenal
adalah adanya penyakit serebrovaskuler.

Axial T2-weighted MRI kepala pasien NPH. Tampak pembesaran system


ventrikel khususnya atrium ventrikel lateral (V) yang keluar dari ukuran sesuai
dengan atrofi sulkus.
Keterbatasan teknik pemeriksaan CT scan dan MRI hanya untuk menilai
hidrosefalus dengan ventrikulosulcal yang tidak seimbang. Pengamatan ini
termasuk penilaian subjektif, dan pada pasien dengan pelebaran beberapa sulkus
hanya terdapat ventrikulomegaly minimal, dan pemeriksaan ini tidak sensitive
atau tidak spesifik.
Terdapat beberapa tes penunjang yang dapat meningkatkan diagnositik
akurat dan dan perlu dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai INPH. Tes
tersebut mencakup CSF tap test, external CSF drainage via spinal drainage,
dan CSF outflow resistance determination. Selain itu, beberapa teknik
pemeriksaan radiologic lain telah dicoba investigasi pada pasien INPH,
termasuk single-photon emission CT, PET, nuclear cisternography, dan CSF
flow velocity. Penilaian diagnostik dengan pemeriksaan tersebut tidak
dianjurkan dan saat ini pemeriksaan penunjang demikian tidak rutin dilakukan
pada pasien INPH.
Cisternography, salah satu tes yang dilakukan untuk diagnosis NPH,
menghandalkan monitoring CT terhadap injeksi radionucleotides kedalam
ruang subarachnoid melalui spinal tap. Adanya refluks radionucleotides
kedalam ventrikel dipantau menggunakan CT secara berskala lebih 4 kali
sehari. Pasien NPH memperlihatkan reabsorbsi CSF yang rendah, kondisi ini
mengakibatkan zat warna radionucleotide tidak akan diabsorbsi sempurna
seperti yang terjadi pada pasien non-NPH. Untuk mereka yang kemungkinan

didiagnosis NPH, dapat pula dilakukan lumbal punksi, pertama, dilakukan tes
gaya berjalan yang direkam selama pasien berjalan 50 langkah dan nantinya
rekaman tersebut diputar ulang. Lalu, diaspirasi CSF sekitar 30 ml, dan
kemudian dievaluasi kembali gaya berjalan pasien. Setelah lumbal punksi, akan
menunjukkan perbaikan segera pada pasien yang benar-benar menderita NPH,
meskipun beberapa kasus, dibutuhkan beberapa hari untuk terjadinya
perbaikan. Dengan metode drainase lumbal secara kontineus, diperbolehkan
drainase CSF untuk setiap 2 hingga 3 hari sekali, dan harus dinilai adanya
perbaikan klinis secara periodik. Pemeriksaan ini dipercaya sebagai metode
yang lebih baik untuk memastikan diagnosis NPH.
Tap test CSF disebut juga large volume lumbal punksi, didapatkan
volume saat penarikan 40-50 ml CSF dari rata-rata lumbal punksi. Terjadi
perbaikan gejala setelah pembuangan CSF, kemungkinan menunjukkan respon
yang baik terhadap pemasangan shunt (nilai prediksi positif 73-100%).Tap test
CSF memiliki sensitivitas yang rendah (26-61%), bagaimanapun, dan tes
negative tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis INPH. tekanan
terbuka juga diukur. Range tekanan terbuka INPH adalah 60-240 mmH2O, atau
4,4-17,6 mmHg. Dokumentasi detail pemeriksaan klinis yang didapatkan oleh
dokter atau tenaga kesehatan professional lainnya sebelum dan sesudah
penarikan CSF sangat dianjurkan.
Penilaian respon klinis dari drainase CSF yang lama melalui kateter
spinal memiliki kombinasi sensitivitas yang tinggi (50-100%), spesifitas (60100%) dan nilai prediksi positif (80-100%). Metode ini memerlukan perawatan
di rumah sakit dan staf perawat yang terlatih berkompeten dalam managemen
drainase CSF external. dan memiliki risiko komplikasi tinggi (infeksi, iritasi
serat saraf). Konsekuensinya, cara ini hanya digunakan secara terbatas di centercenter Amerika. Identifikasi peningkatan abnormal resistensi aliran keluar CSF
juga meningkatkan respon yang baik terhadap pemasangan shunt dibandingkan
dengan evaluasi klinis dan radiologis. dan teknik ini lebih umum digunakan di
Eropa daripada di Amerika.

4. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis dari diagnosis pada kasus?

Hambatan saluran sirkulasi LCS biasanya mengakibatkan dilatasi


ventrikel di hulu (hydrocephalus), karena produksi cairan biasanya
berlanjut terus walaupun terjadi obstruksi. Ada 2 jenis hidrocephalus:
tidak

berhubungan

(non

communicating)

dan

berhubungan

(communicating).
Pada hydrocephalus yang tidak berhubungan (obstruksi), yang
terjadi lebih sering daripada jenis yang lain, cairan cerebrospinal dari
ventrikel tidak dapat mencapai rongga subarachnoid karena terdapat
obstruksi pada salah satu atau kedua foramen interventricular,
aquaductus cerebrum atau pada muara keluar dari ventrikel keempat.
Hambatan pada setiap tempat ini dengan cepat menimbulkan dilatasi
pada satu atau lebih ventrikel. Produksi cairan cerebrospinal terus
berlanjut dan pada tahap obstruksi yang akut, mungkin terdapat aliran
cerebrospinal transependim. Girus-girus memipih pada bagian dalam
tengkorak. Jika tengkorak masih lentur, seperti pada kebanyakan anak di
bawah usia 2 tahun, maka kepala dapat membesar.
Pada hydrocephalus yang berhubungan, obstruksi terjadi pada
rongga subarachnoid dan dapat disebabkan oleh adanya darah atau
nanah yang menghambat saluran-saluran arah balik atau akibat
pembesaran kompartemen supratentorium yang menutup incisura
tentorii. Jika tekanan intrakaranial meningkat akibat dari cairan
cerebrospinal

yang

berlebihan

(lebih

banyak

produksi

cairan

cerebrospinal), maka canalis centralis sumsum tulang belakang


mengalami dilatasi. Pada beberapa penderita, rongga-rongga yang berisi
cairan cerebrospinal dapat membesar secara seragam tanpa disertai
peningkatan tekanan intracranial. Hidrocephalus dengan tekanan normal
ini mungkin disebabkan oleh atrofi dari otak usia lanjut atau mempunyai
sebab yang tidak jelas (suatu lesi atau trauma yang menyebabkan adanya
darah di dalam rongga subarachnoid telah dipertimbangkan).
Secara anatomi di kepala manusia terdapat satu ruangan di
tengah otak yang disebut ventrikel. Ruangan ini terbagi atas 3 ruang
dengan saluran penghubung antar ruangan. Ventrikel secara normal terisi
cairan otak yang diproduksi di ventrikel kemudian mengalir dan diserap
untuk mengatur fisiologis otak. Pada kondisi tertentu, misalkan pada
sumbatan, aliran cairan otak ini terganggu dan menyebabkan
penumpukan

cairan

di

ventrikel.

Pada

anak-anak

kompensasi

penumpukan ini adalah pembesaran kepala karena pelekatan tulang


kepala pada anak masih belum sempurna sehingga kepala dapat
membesar. Pada orang dewasa penyatuan tulang kepala sudah sempurna
sehingga pada akhirnya otak (terutama bagian yang berdekatan dengan
ventrikel) akan terdesak oleh pembesaran ventrikel.
Pada pasien NPH dimulai dengan penekanan oleh cairan otak ke
ventrikel. Penekanan ke ventrikel otak akan diteruskan ke bagian otak
lainnya dan akan menimbulkan gangguan yang beragam dan luas.
Gangguan yang terjadi pada pasien dapat berupa gangguan tingkat
kesadaran, penderita jadi sering tidur, penurunan kecepatan psikomotor,
gangguan perhatian dan konsentrasi, gangguan pemikiran visospasial
dan konstruktif, gangguan memori dan belajar, penurunan kemampuan
berhitung, penurunan kemampuan membaca dan menulis, gangguan
berpikir abstrak dan gangguan fungsi eksekutif lainnya.
5. Bagaimana SKDI dari diagnosis pada kasus beserta aplikasinya?
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut
dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Learning Issue
Fisiologi Berkemih

MIKSI (BERKEMIH)
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Proses ini
terdiri dari dua langkah utama: (1) kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di
dindingnya meningkat di atas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua; (2)
timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (Refleks berkemih) yang berusaha mengosongkan
kandung kemih atau jika ini gagal setidak-tidaknya menimbulkan kesadaran akan keinginan
untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini
bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.
Anatomi Fisiologik dan Hubungan Saraf pada Kandung Kemih
Kandung kemih, yang diperlihatkan pada gambar 31-1, adalah ruangan berdinding otot polos
yang terdiri dari dua bagian besar: (1) badan (korpus), merupakan bagian utama kandung kemih
dimana urin berkumpul, dan (2) leher (kollum), merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk
corong, berjalan secara inferior dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan
berhubungan dengan uretra. Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra
posterior karena hubungannya dengan uretra.
Otot polos kandung kemih disebut otot destrusor. Serat-serat ototnya meluas ke segala arah
dan bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60
mmHg. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk
mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain
sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lain.
Pada dinding posterior kandung kemih, tepat dia atas bagian leher dari kandung kemih,
terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum. Trigonum dapat dikenali dengan melihat
mukosanya, yaitu lapisan dalam dari kandung kemih, yang halus, berbeda dengan mukosa
kandung kemih bagian lainnya, yang berlipat-lipat membentuk rugae. Masing-masing ureter,
pada saat memasuki kandung kemih berjalan secara oblique melalui otot detrusor.

Persarafan Kandung Kemih


Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan medula
spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan medula spinalis segmen S-2 dan
S-3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan serat saraf motorik.
Serat sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan
dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan
refleks yang menyebabkan pengosongan kandung kemih.
Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat ini
berakhir pada sel ganglion yang terletak dalam dinding kandung kemih. Saraf postganglion
pendek kemudian mempersarafi otot destrusor.
Selain nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi kandung
kemih, yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus pudendal menuju
sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang mempersarafi dan
mengontrol otot lurik pada sfingter. Juga, kandung kemih menerima saraf simpatis melalui
nervus hipogastrikus, terutama berhubungan dengan segmen L-2 medula spinalis. Serat simpatis
ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah dan sedikit mempengaruhi kontraksi kandung
kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui saraf simpatis dan mungkin penting
dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan, pada beberapa keadaan, rasa nyeri.
Transpor Urin dari Ginjal melalui Ureter dan Masuk ke dalam Kandung Kemih
Urin mengalir ke kaliks renalis, kemudian meregangkan kaliks renalis dan meningkatkan
aktivitas pacemakernya, yang kemudian mencetuskan kontraksi peristaltik yang menyebar ke
pelvis renalis dan kemudian turun sepanjang ureter. Dinding ureter terdiri dari otot polos dan
dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Seperti halnya otot polos pada organ viscera
yang lain, kontraksi peristaltik pada ureter ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis dan
dihambat oleh simpatis.
Ureter memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah trigonum kandung
kemih. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter,
dengan demikian mencegah aliran balik urin dari kandung kemih waktu tekanan di kandung
kemih meningkat selama berkemih atau sewaktu terjadi kompresi kandung kemih.

Sensasi Rasa Nyeri Pada Ureter dan Refleks Ureterorenal.


Ureter dipersarafi secara sempurna oleh serat saraf nyeri. Bila ureter tersumbat (contoh, oleh
batu ureter), timbul refleks konstriksi yang kuat sehubungan dengan rasa nyeri yang hebat.
Impuls rasa nyeri juga menyebabkan refleks simpatis kembali ke ginjal untuk mengkonstriksi
arteriol-arteriol ginjal, dengan demikian menurunkan pengeluaran urin dari ginjal. Efek ini
disebut refleks ureterorenal and bersifat penting untuk mencegah aliran cairan yang berlebihan
ke dalam pelvis ginjal yang ureternya tersumbat.
Refleks Berkemih
Keinginan berkemih disebabkan oleh refleks peregangan yang dimulai oleh reseptor regang
sensorik pada dinding kandung kemih. Sinyal sensorik dari reseptor regang kandung kemih
dihantarkan ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus dan kemudian secara
refleks kembali lagi ke kandung kemih melalui serat saraf parasimpatis melalui saraf yang sama
ini. Ketika kandugn kemih hanya terisi sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan
berelaksasi setelah beberapa detik, otot detrusor berhenti berkontraksi, dan tekanan turun
kembali. Karena kandung kemih terus terisi, refleks berkemih menjadi bertambah sering dan
menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat.
Mekanisme refleks berkemih

Dimulai dengan kontraksi otot polos dinding vesica urinaria:


Serabut afferent dan efferent n.pelvicus.
Pusat Pons dan Medula oblongata

Pengaliran urine ke dalam uretra:


Serabut afferent : n. pudendus
Serabut efferent n. pelvicus

Peregangan pangkal uretra


Serabut afferent dan efferent : n. hypogastricus

Relaksasi m. sphincter urerethrae externus


Serabut afferent dan efferent : n. pudendus

Relaksasi otot polos bagian 1/3 atas urethra:


Serabut afferent dan efferent: n. pelvicus
Pusat refleks: segmen sacral medulla spinalis.

Inkontinensia

urine

merupakan
ketidakmampuan
menahan kemih dalam
vesika urinaria yang
bisa

terjadi

karena

gangguan neurologis atau mekanis pada sistem yang mengontrol fungsi berkemih normal
(Isselbacher, 1999).
The International Continence Society (ICS) medefinisikan inkontinensia urin adalah
keadaan dimana urin keluar secara involunter yang tampak jelas dan obyektif dan menjadi

masalah sosial dan hygiene. Secara epidemiologi inkotinensia urin adalah adanya
pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol dalam jangka waktu setahun atau lebih dari
episode dalam sebulan (Sinaga, 2011).
Menurut Dmochowsky (2003) dalam Sinaga (2011) Stres inkontinensia urin adalah
pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol, disebabkan oleh tekanan intravesika cenderung
melebihi tekanan penutupan uretra yang berhubungan dengan aktivitas tubuh (batuk, tertawa,
aktivitas fisik) sedangkan kandung kemih tidak berkontraksi.

Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab inkontinensia transien adalah delirium, infeksi (uretritis atau vaginitis),
obat obatan seperti sedatif, hipnotik, diuretik, opiar, penghambat saluran kalsium,
antikolinergik (antidepresan, antihistamin), dekongestan, dan lain-lain. Penyebab lain yang
lebih jarang adalah depresi, pembentukan urin berlebih (diabetes), mobilisasi yang terbatas
(Graber, 2006).
Berikut jenis inkontinensia dan penyebabnya yang spesifik menurut Graber (2006)
a. Inkontinensia dorongan
Pengeluaran urine involunter yang disebabkan oleh dorongan dan keinginan
mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan kontraksi detrusor secara
involunter. Penyebabnya adalah gangguan neurologik (misalnya stroke, sklerosis
multipel) serta infeksi saluran kemih.
b. Ikontinensia tekanan
Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa, atau peningkatan tekanan
intraabdomen lainnya. Paling lazim terjadi pada wanita setelah usia setengah baya
(dengan kehamilan dan pelahiran per vaginam berulang); inkontinensia tekanan
sering disebabkan oleh kelemahan dasar panggul dan kurangnya dukungan unit
sfingter vesikouretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan sfingter uretra intrinsik
seperti akibat mielomeningokel, epispadia, prostatektomi, trauma, radiasi, atau lesi
medula spunalis bagian sakral.
c. Inkontinensia aliran berlebih
Pengeluaran urine involunter akibat distensi kandung kemih yang berlebihan. Bisa
terdapat penetasan urine yang sering atau berupa inkontinensia dorongan atau
tekanan. Dapat disertai dengan kandung kemih yang yang kurang aktif, obstruksijalan

keluar kandung kemih (seperti tumor, hipertrofi prostat), obat-obatan (seperti


deuretik), nefropati diabetik, atau defisiensi vitamin B12.
d. Inkontinensia fungsional
Imobilitas, defisist koognitif, paraplegia, atau daya kembang kandung kemih buruk.
Berikut dibawah ini akan dijelaskan jenis inkontinensia dan etiologinya menurut
Baradero dkk,
a. Inkontinensia overflow. Dapat disebabkan oleh overdistensi kandung kemih.. Infeksi
saluran kemih juga mengakibatkan inkontinensia karena bakteri dalam urine
mengiritasi mukosa kandung kemih. Inflamasi akan menstimulasi refleks urethrobladder. Demikian juga dengan kerusakan jaringan pada sfingter kandung kemih
akibat pembedahan, trauma, parut uretra karena infeksi, dan relaksasi perineum dapat
mengakibatkan inkontinensia.
b. Inkontinensia stress. Terlihat terutama pada ibu yang mempunyai otot pelvik yang
relaks. Hal ini dapat juga tampak pada individu yang mengalami prostatektomi.
a. Patofisiologi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih,
kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer
pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya
inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia,
kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.
Teori-teori inkontinensia urin berdasarkan pada pemahaman mengenal fisiologi kontinensia yang
direkomendasikan untuk pengobatan stres inkontinensia urin.
1) Teori Perubahan Sumbu Uretrovesika
Teori awal mengenai stres inkontinensia urin berfokus pada berkurangnya penekanan fisik dan
adanya perubahan posisi uretra. Berdasarkan observasi dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa untuk uretra yang kompeten, uretra harus terletak di atas dasar pelvik sehingga tekanan
yang diteruskan ke kandung kemih diteruskan dalam besar yang sama ke uretra, yang
menyebabkan peningkatan kompensatorik tekanan penutupan (Daneshgari & Moore, 2007).
Gambar 2.3 Perubahan Sumbu Urethrovesika

(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011))


2) Teori Intrinsic Sphincter Deficiency
Teori ini mengenalkan konsep alternatif bahwa stres inkontinensia urin disebabkan bukan hanya
sekedar perubahan posisi uretra melainkan juga peran Intrinsic Sphincter Deficiency (ISD) dalam
patofisiologi stres inkontinensia urin. Teori ini menyatakan bahwa rizotomi nervus sakralis yang
dilakukan pada tiga wanita paraplegi menimbulkan denervasi nervus pudendus sehingga terjadi
denervasi sfingter eksternal. Denervasi komplit nervus sakralis menyebabkan hilangnya aktivitas
otot lurik sfingter ani dan uretra, tetapi tidak demikian dengan tonus istirahat otot polos uretra.
Rizotomi sakral tidak berefek terhadap tekanan uretra istirahat atau fungsi otot polos uretra.
Temuan ini mengonfirmasi pentingnya otot polos uretra dalam mempertahankan kontinensia
(Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011)).
Gambar 2.4 Intrinsic Sphincter Deficiency

(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011))


3) Teori Integral
Teori ini menyatakan bahwa lemasnya dinding anterior vagina menimbulkan aktivasi reseptor
regang pada leher kandung kemih dan uretra proksimal, sehingga memicu refleks mikturisi, dan

menimbulkan aktivitas detrusor. Lemasnya dinding vagina juga menimbulkan stres inkontinensia
urin karena hilangnya tekanan penutupan uretra (Daneshgari & Moore, 2007).
4) Teori Hammock
Teori hammock menjelaskan bahwa uretra berada di atas lapisan penyokong yang terdiri atas
fasia endopelvik dan dinding vagina anterior. Lapisan penyokong ini memperoleh stabilitas
melalui perlekatannya di bagian lateral dengan fasia arkus tendineus dan otot levator ani,
sehingga dapat disimpulkan dalam sebuah teori bahwa tekanan intraabdomen diteruskan ke leher
kandung kemih dan uretra proksimal, menutup lubang keluar karena lubang ini tertekan kearah
penyokong kaku yaitu fasia puboservikal dan dinding anterior vagina (Daneshgari & Moore,
2007).

(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011))

Tanda dan Gejala


Menurut Hariati (2000) dalam Sinaga (2011) tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan
retensi urin yaitu:
a. Ketidaknyamanan daerah pubis
b. Distensi vesika urinaria
c. Ketidak sanggupan untuk berkemih
d. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)

e. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya


f. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
g. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
Komplikasi
a.
b.
c.
d.
e.

Kerusakan kulit
Infeksi saluran kencing,
Infeksi kulit daerah kemaluan
Gangguan tidur
Masalah psiko sosial seperti depresi, mudah marah, dan rasa
terisolasi

Penatalaksanaan
Prinsip dasar penatalaksanaan pada inkontinensia urine adalah terapi perilaku, pasien di
anjurkan untuk segera ke kamar mandi jika ada perasaan berkemih. (Harrison, 1999)
a. Peran perawat dalam hal ini yaitu untuk:
1) Pelatihan kandung kemih.
Menetukan edukasi, berkemih yang terjadwal. Tindakan menghambat berkemih harus
dilakukan sampai suatu waktu tertentu dan jumlah waktu yang ditentukan in harus
ditingkatkan secara progresif. Mulai dengan 2 sampai 3 jam dan tingkatkan. 12% pasien
dapat menjadi kontinen total, dan 75% dapat mengalami penurunan episode inkontinensia
sebesar 50%. Paling baik dilakukan pada inkontinensia dorongan, tetapi juga dapat
dilakukan ada inkontinensia tekanan.
2) Pelatihan kebiasaan
Dorong pasien utnuk berkemih disaat yang normalseperti dipagi hari, sebelum tidur,
setelah makan, dll.
3) Berkemih atas desakan/dorongan
Terutama baik bagi orang dengan gangguan koognitif. Menurunkan episode inkontinensia
sebesaar 50%
4) Latihan dasar panggul (senam kegel)
5) Terutama berguna pada inkontinensia tekanan. Angka kesembuhan 16% dan 54%
membaik.
6) Kateterisasi intermiten juga dapat digunakan
7) Menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter untuk penggunaan obat-obatan
8) Penkes mengenai bagaimana cara untuk mencegah inkontinensia urine:
Berhenti merokok, berolahraga secara rutin, jauhkan diri dari alkohol, menjaga berat
badan yang sehat dan menjaga diet tinggi serat.
b. Managemen Keperawatan Kolaboratif

1) Uji diagnostik
Diagnosis inkontinensia urine dapat ditentukan dengan berbagai pemeriksaan
urodinamik. Sistometrogram dan elektromiogram dilakukan untuk mengevaluasi otot
detrusor, sfingter, dan kegiatan otot perineum. Ultrasonografi kandung kemih,
sistoskopi, dan IVP juga dapat dilakukan untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran
kemih.
2) Medikasi
Obat yang diberikan sesuai dengan etiologi inkontinensia urine. Beberapa obat yang
digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
obat
Estrogen
Primarin
Quinestradiol
Estriol

kerja
Mengurangi
vanigitis
memulihkan

Intervensi keperawatan
atropik - Jelaskan
risiko
uretra
uretra

dan
yang

supel
Antikolinergik
Pro-banthene
Oksibutinin
Bentyl

pembekuan darah
Pantau

tanda

trombofiebitis
Anjurkan untuk

tidak

merokok
Mengurangi

spastisitas

kandung kemih

3) Pembedahan
Pada inkontinensia stres berat, pembedahan yang disebut vesikouretropeksi
(prosedur Marshall-Marchetti) dapat dilaksanakan. Pada vesiko-uretropeksi
fiksasi uretra pada fasia otot rektus abdominis dengan sokongan pada leher
kandung kemih. Dokter melakukan insisi suprapubik. Kateter uretra dipasang dan
dipertahankan selama 5-6 hari paska operasi. Setelah kateter retra dilepas, pasien
dapat mengalami kesulitan untuk berkemih. Pasien tidak boleh melakukan
manuver Valsava sehingga obat laksatif diberikan untuk mencegah konstipasi.
4) Diet
Modifikasi diet terdiri dari penjadwalan asupan cairan. Asupan cairan setelah
makan malam perlu dikurangi. Makanan yang dapat menstimulasi kandung kemih
perlu dihindari, misalnya kopi, teh, alkohol, dan cokelat.

Você também pode gostar