Tema: Entrepreneurship are not only born but al so made
Berbicara tentang entrepreneurship, terdapat pertanyaan penting
yang tidak dapat lepas dari dasar entrepreneurship itu sendiri yaitu apakah entreprenurship sudah merupakan bakat sejak lahir atau merupakan hasil dari pembelajaran. Entrepreneursip berasal dari bahasa Perancis entreprendre yang berarti memulai atau melaksanakan yang kemudian oleh bahasa indonesia diartikan sebagai kewirausahaan. Orang yang terjun dalam bidang kewirausahaan disebut wirausahawan, berbeda dengan wiraswasta. Perbedaan terletak pada teknik yang mereka gunakan dalam menjalankan usaha. Wirausahawan cenderung bermain dengan resiko dan tantangan, mereka memanfaatkan pada setiap peluang yang ada, sementara wiraswasta biasanya memanfaatkan modal yang telah ia miliki untuk membuka usaha tertentu. Kembali ke pertanyaan awal, apakah kewirausahaan merupakan bakat sejak lahir atau dibentuk dari adanya pembelajaran? Menurut Bolton dan Thompson (2000:3) berdasarkan analisis mereka secara bertahun-tahun sebagai dosen salah satu universitas di United Kingdom bahwa seorang entrepreneurs atau wirausahawan adalah orang-orang biasa dengan latar belakang yang biasa pula: Para entrepreneurs berbeda baik dalam bentuk dan ukuran. Tidak ada dua entrepreneurs yang terlihat sama, jadi sangat sulit untuk menentukan secara tepat bagaimana entrepreneur. Beberapa bersifat ekstrovert dan beberapa introvert, beberapa memiliki sejarah keluarga entrepreneur dan beberapa tidak, beberapa memulai dari miskin tapi beberapa ada juga yang sudah kaya dari awalnya, beberapa masih muda dan ada juga yang tua. Ketidak jelasan ini ditemukan dibanyak penelitian tentang entrepreneur dan perilaku mereka. Kemudian, berdasarkan ungkapan yang disebutkan Bussines Town (2001:1) bahwa Banyak orang percaya bahwa entrepreneurs memiliki sesuatu sejak awal, faktor genetik/bakat lahir. Namun, beberapa ahli umumnya setuju bahwa banyak entrepreneur bukan dari bakat lahir, mereka belajar bagaimana menjadi entrepreneurs. Akhir-akhir ini banyak universitas dan perguruan tinggi mengajarkan tentang kewirausahaan. Entrepreneurship sekarang ini sukses diajarkan. Dua artikel lainnya (Bussines Week, 2000:1; Financial Mail, 2002:40) menjelaskan bahwa entrepreneur adalah mereka yang baik dilahirkan dengan beberapa kualifikasi dan lalu mereka belajar bagaimana mengaplikasikan entrepreneurship. Dua artikel ini menunjukkan bahwa anda tidak dapat mengajarkan seseorang tentang entrepreneurship dan anda juga tidak dapat mengajarkannya untuk mengambil resiko. Apa yang seharusnya anda ajarkan adalah bagaimana caranya untuk menemukan peluang. Dari sumber-sumber diatas, semuanya memiliki pandangan berbeda tentang asal usul entrepreneurship. Mereka yang mengatakan bahwa entrepreneurship merupakan bakat alami sejak lahir cenderung tidak memprioritaskan pendidikan atau pembelajaran entrepreneurship karena pada akhirnya akan kembali lagi pada alasan genetik atau bakat.
Tapi, mereka yang memahami bahwa entrepreneurship didapat melalui
pengajararan baik secara formal ataupun non-formal dan bahkan informal akan mengedepankan pengajaran tersebut untuk membentuk para entrepreneur. Terakhir adalah mereka yang mengatakan entrepreneurship didapat dari keduanya, yaitu bakat sejak lahir dan pengajaran. Entrepreneur bukan seorang astronot atau ilmuwan. Setiap orang dapat membuat usaha kecil tentu dengan menaruh minat besar terhadap usahanya. Tapi hal yang harus diperhatikan adalah pentingnya kualifikasi. Seperti yang kita tahu, sekolah-sekolah masih mengajarkan para murid bahwa segala hal harus secara terjadwal dan spesifik, kemudian kepatuhan dan tindakan aktif akan diberi hadiah. Dari situ kita dapat mengetahui bahwa yang menyebabkan para murid tidak sesuai standar kurikulum adalah karena hal tersebut. Paradigma tentang pendidikan bahwa kerja keras dan peringkat yang baik kedepannya akan mendapatkan pekerjaan tetap yang bagus, bekerja senin sampai jumat hingga berpuluh-puluh tahun hingga akhirnya pensiun. Paradigma tersebut menurut saya tidak non-entrepreneurs. Sistem pembelajaran yang ada sekarang ini tidak menggambarkan budaya entrepreneurship tapi lebih seperti zona nyaman mereka untuk mencari pekerjaan. Hanya beberapa lulusan universitas yang memberanikan diri untuk menjadi wirausahawan. Mereka yang merancang sistem pendidikan seharusnya memperkenalkan entrepreneurship dari sekolah menengah pertama hingga universitas sehingga mereka dapat memahami tentang entrepreneurship lebih dulu. Mereka membutuhkan ruang untuk berkreasi, yang bisa menunjang pola pikir mereka agar tidak hanya diam ditempat, diam ditempat ini dalam artian hanya mengikuti alur yang ada seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Yang paling penting, mereka membutuhkan pengajaran agar jiwa entrepreneurship mereka dapat terasah. Kemudian tidak semua orang memiliki sifat entrepreneurship. Contohnya, para pengangguran mungkin bisa menjadi entrepreneurs karena kebutuhan agar dapat terhindar dari kelaparan dan kemiskinan lalu kemudian mengambil pekerjaan formal bila ia mendapat tawaran. Sebaliknya, entrepreneurs yang sesungguhnya memiliki mimpi dan akan terus berusaha agar mimpinya terwujud. Jadi, baik entrepreneurship itu didapat sejak lahir atau lewat pembelajaran menurut saya adalah keduanya. Dengan pembelajaran yang baik dan benar maka akan dihasilkan calon-calon entrepreneur yang baik. Selain itu, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa naluri entrepreneurial pada orang-orang adalah hasil dari tekad saja, tapi pada saat entrepreneur dianugerahi kualitas dari lahir seperti tekun atau terampil, hal itu yang membedakannya dengan mereka yang tidak memiliki kulitas tersebut. Kualitas itulah yang seharusnya diidentikkan dan diharapkan ada pada setiap entrepreneur sesungguhnya.