Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Sri Agustini
Abstract
A case study of risk analysis and identification of critical control point in the medium and small scale drinking
water industries had been done. The objective was to identify critical control point in the drinking water production
and to study the implementation of regulation of Ministry of Industrial and trade number 705/MPP/Kep/2003
regards to technical requirements for drinking water industry. The study was subjected to 20’s drinking water
producer in South Sumatera and Bangka province.The scope were observation the process and on site visit
evaluation. The observation consist of two stages, they were Risk analysis and identification of critical control
point a long the process, while on the spot visit evaluation stage was assessment existing condition and
implementation of technical requirements for drinking water industry and compare to CCP’ identified. There are 5
critical control points identified along the process, they are pH of Raw water, turbidity out put filtration, ozone
concentration in ozone mixing tank, sanitation of filling room and temperature of ware house. The evaluation on
implementation of technical requirement for Drinking Water Industry showed that all industries those fall to small
scale industry involved could not to do microbiological test by themselves. While those medium industry do the
microbiological test once a week. All manufacture involved did not send the product to be tested by accredited
laboratory. While Minister Decree requires drinking water industry have to do microbiological test for each product
at least once for every production. All industries which observed conduct testing for pH, TDS and visual test such
as color, taste and odor. Nevertheless laboratory test on the product showed that all product which taken along
observation comply with SNI requirement.
Keywords: AMDK, HACCP, SK 705/MPP/Kep/2003
pengendalian pH. Cemaran fisika dan sinar lampu ultraviolet yang memiliki panjang
mikrobiologi pada air baku tidak digolongkan gelombang 254 nm atau 2537 Ao dengan
sebagai titik kendali kritis karena cemaran fisika intensitas minimum 10.000 mw detik per cm2 .
akan diserap pada proses penyaringan Penyinaran dengan lampu ultraviolet ini dapat
sedangkan cemaran mikroba akan dapat dilakukan sebelum pengemasan.
dieliminasi pada proses desinfeksi menggunakan Dalam Proses desinfeksi pengendalian
ozon dan sinar ultraviolet. terhadap kadar ozon merupakan titik kendali
Pengendalian terhadap pH ditetapkan kritis, karena jika proses desinfeksi yang
sebagai titik kendali kritis karena pengendalian dilakukan tidak memadai maka produk yang
pH pada proses produksi AMDK hanya terjadi dihasilkan akan mengandung cemaran mikroba.
pada proses penyiapan air baku, sedangkan Kadar ozon pada tangki pencampur ozon
proses penyaringan dan proses desinfeksi tidak minimum 0,6 ppm, sedangkan kadar ozon
akan mempengaruhi pH air yang diproses. sesaat setelah pengisian minimum 0,1 ppm.
Pemantauan terhadap pH air baku harus Pemantauan kadar ozon pada tangki
dilakukan setiap hari minimal 2 kali, yaitu pada pencampur ozon dan sesaat setelah pengisian
pagi hari/awal proses dan setelah istirahat. Hasil dilakukan minimum 2 kali yaitu yaitu pada pagi
pengamatan pH ini harus dicatat. Untuk hari/awal proses dan setelah istirahat. Hasil
memastikan akurasi atau ketepatan hasil pengamatan ini harus dicatat sebagai bukti
pengukuran pH, maka pH meter yang dipakai pelaksanaan pengendalian mutu yang efektif.
harus dikontrol menggunakan larutan buffer yang Jika kadar ozon pada tangki pencampur
sesuai. ozon kurang dari 0,6 ppm maka harus dilakukan
tindakan koreksi untuk mencapai kadar ozon
2. Filtrasi/Penyaringan yang sesuai (0,6 ppm), misalnya dengan
menurunkan debit air atau menaikkan setting
Filtrasi/penyaringan dalam proses produksi
kadar ozon sehingga didapatkan kadar ozon
AMDK bertujuan untuk menghilangkan kotoran,
yang sesuai.
bau, rasa dan warna. Penghilangan kotoran,
bau, rasa dan warna pada proses produksi
AMDK terjadi pada penyaringan. Setelah proses 4. Pengisian
filtrasi atau penyaringan tidak ada lagi proses Resiko bahaya terkait proses pengisian air ke
yang dimaksudkan untuk menghilangkan dalam kemasan adalah resiko bahaya biologi,
kotoran, bau, rasa dan warna. Oleh sebab itu kimia dan fisika. Resiko bahaya biologi timbul
pengendalian terhadap kotoran, bau, rasa dan dari resiko terkontaminasinya air oleh mikroba
warna pada proses ini merupakan titik kendali yang terdapat pada ruang pengisian dan
kritis. peralatan pengisian maupun dari personil.
Kadar kotoran pada air AMDK diidentifikasi Sedangkan resiko bahaya kimia dapat timbul
sebagai total dissolved solid (TDS) dan turbidity. dari penggunaan bahan kimia untuk sanitasi
SNI 01-3553-2006 mensyaratkan Total dissolved peralatan yang bersentuhan dengan produk.
solid maksimum 500 mg/l dan turbidity Resiko bahaya fisika dapat timbul dari adanya
maksimum 5 NTU. benda asing yang terdapat dalam kemasan atau
Pemantauan terhadap bau, rasa, warna dan peralatan yang bersentuhan dengan produk.
kekeruhan harus dilakukan setiap hari minimal 2 Pengendalian terhadap bahaya biologi
kali, yaitu pada pagi hari/awal proses dan meliputi seluruh aspek yang berpengaruh
setelah istirahat. Hasil pengamatan ini harus terhadap pertumbuhan mikroba yang akan
dicatat. Pengambilan sampel dilakukan pada menyebabkan terjadinya kontaminasi.
tahapan penyaringan akhir sebelum proses Pengendalian dilakukan melalui program sanitasi
desinfeksi. Jika hasil penyaringan belum ruangan pengisian menggunakan bahan
memenuhi persyaratan maka perlu dilakukan desinfektan yang sesuai misalnya pembersihan
penggantian filter. permukaan yang bersentuhan dengan produk
mengguna kan alkohol 70%, air ozon untuk
membersihkan dinding dan lantai setiap awal
3. Proses Desinfeksi
produksi dan akhir produksi. Suhu ruang
Proses desinfeksi bertujuan untuk pengisian harus dekendalikan untuk mencegah
menghilangkan atau membunuh mikroba pertumbuhan mikroba di dalam ruang produksi.
(bakteri) terutama bakteri patogen. Proses Suhu ruang pengisian harus dijaga maksimum
desinfeksi dilakukan menggunakan ozon pada 25°C. Pemantauan suhu ruangan dapat
tangki pencampur dan selama ozon masih ada dilakukan dengan menggunakan termometer
dalam kemasan. Selain itu proses desinfeksi ruangan sedikitnya 2 kali sehari.
juga dapat dilakukan dengan menggunakan
Analisa Resiko Bahaya dan Identifikasi Titik Kendali Kritis (Sri Agustini)
osmosis (RO). Pengendalian terhadap kualitas hasil penyaringan dilakukan dengan melakukan
program perawatan saringan, yaitu dengan melakukan backwahs, pembersihan filter dan
penggantian saringan secara berkala. Umumnya pelaksanaan program pemeliharaan peralatan
dilaksanakan dan didokumentasikan.
Semua pabrik yang diamati melakukan pengawasan terhadap hasil penyaringan meliputi
bau, rasa, warna dan total padatan terlarut . Pengujian dilakukan 2 kali sehari terhadap bau dan
warna secara visual, sedangkan pengujian total padatan terlarut (TDS) dilakukan menggunakan
TDS meter pocket. Namun ketelitian dari TDS meter yang digunakan tidak dicek dengan larutan
kalibrator sebelum dipakai. Hasil pengujian dicatat dan disimpan sebagai catatan mutu
pengendalian proses produksi. Catatan mutu proses produksi disimpan selama 2 tahun. Untuk
tahap ini praktek di lapangan sesuai dengan pengendalian titik kendali kritis yang telah ditentukan
di atas.
3. Desinfeksi
Semua pabrik Air Minum Dalam Kemasan yang diamati melakukan proses desinfeksi air
menggunakan ozon dan penyinaran lampu ultraviolet. Pengamatan di lapangan menunjuk kan
hampir separuh (7 pabrik) Air Minum Dalam Kemasan yang diamati tidak melakukan pengujian
kadar ozon dan tidak mendokumentasikan hasil pengujian kadar ozon.
Pengujian kadar ozon menggunakan alat sederhana yaitu komparotor warna. Uji kadar ozon
di lapangan menunjukkan kadar ozon kurang dari 0,6 ppm (semua pabrik), kurang dari 0,4 ppm
(5 pabrik) dan 0,1 ppm (15 pabrik). Hal ini disebabkan karena kapasitas ozon generator yang
dipakai hanya 0,5 g sehingga tidak mampu menghasilkan air dengan kadar ozon > 0,4 ppm pada
tangki pencampur.
Kepmenperindag nomor 705/2003 tentang persyaratan Teknis industri Air Minum Dalam
Kemasan mensyaratkan kadar ozon dalam tanki pencampur minimum 0,6 ppm. Kepmen juga
mensyaratkan pemeriksaan terhadap kadar ozon di dalam tangki pencampur dan residu ozon
sesaat setelah pengisian dilakukan secara periodik dan terdokumentasi.
Pada tahapan ini pengendalian yang dilakukan oleh pabrik belum sesuai dengan
Kepmenperindag nomor 705/MPP/Kep/2003.
Analisa Resiko dan Titik Kendali Kritis mengidentifikasi pengendalian terhadap kadar ozon
sebagai titik kendali kritis bila mana satu satunya proses desinfeksi hanya dilakukan
menggunakan ozon, namun desinfeksi dapat juga dilakukan menggunakan penyinaran dengan
sinar Ultra Violet dengan intensitas minimum 10.000 mw per detik. Jika desinfeksi dilakukan
menggunakan sinar ultraviolet maka intensitas sinar UV yang digunakan merupakan titik kritis.
Observasi lapangan menunjuk kan bahwa semua pabrik yang diamati melakukan desinfeksi
tambahan menggunakan penyinaran lampu ultraviolet yang khusus disediakan untuk desinfeksi
air minum dengan intensitas 30.000 Mw per detik.
4. Pengisian
Proses pengisian air ke dalam kemasan harus dilakukan di ruangan yang bersih (memenuhi
persyaratan sanitasi), tertutup rapat, mempunyai pengatur suhu ruangan, mempunyai saluran air
dan terpisah dari ruang lainya.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa semua pabrik yang diamati melakukan
pengendalian terhadap ruangan pengisian. Ruang pengisian telah terpisah dari ruangan lainya,
pintu ruang pengisian dapat menutup secara otomatis, dinding kedap air (15 pabrik
menggunakan kaca sebagai pemisah dari ruangan lainya), mempunyai saluran air dan
mempunyai UV ruangan. Sanitasi ruang pengisian dilakukan 2 kali sehari yaitu pada awal
produksi dan akhir produksi. Sanitasi permukaan yang kontak dengan air dilakukan
menggunakan alkohol 70 % dan air produk (air ozon/dilakukan oleh 3 pabrik ). Semua pabrik
mewajibkan Operator pengisian untuk mencuci kaki dan tangan dengan sabun sebelum
memasuki ruang pengisian dan wajib menggunakan pakaian kerja, tutup kepala, tutup mulut dan
sarung tangan pada saat melakukan pengisian.
Semua pabrik yang diamati melakukan pengendalian terhadap suhu ruang pengisian dan
temperatur sealer. Pada tahap ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar pabrik yang diamati
telah melakukan pengendalian yang sesuai dengan analisa bahaya dan pengendalian titik kritis,
Analisa Resiko Bahaya dan Identifikasi Titik Kendali Kritis (Sri Agustini)
namun untuk memverifikasi apakah pengendalian tersebut efektif harus dilakukan pemantauan
terhadap mutu produk.
Semua pabrik yang diamati melakukan pemantauan terhadap mutu produk utamanya pH,
TDS dan residu ozon serta pengujian visual terhadap bau, rasa, warna dan benda asing . Hanya
5 pabrik yang melakukan pengujian mikrobiologi disamping pengujian kimia fisika di atas.
Pengujian mikrobiologi terhadap produk akhir tidak dilakukan karena pabrik (15 pabrik) tidak
mempunyai bahan dan peralatan yang diperlukan untuk uji mikrobiologi dan tidak mempunyai
personil yang kompeten untuk melakukan analisa mikrobiologi. Rata rata peralatan uji yang
dimiliki oleh pabrik yang diamati adalah pH meter jenis pocket, TDS meter jenis pocket, ozon
tester jenis komparator warna, peralatan gelas, inkubator, oven dan autoclave. Observasi di
lapangan menunjukkan bahwa peralatan uji seperti inkubator, oven dan autoclave yang ada
belum dapat dimanfaatkan secara semestinya oleh pabrik.
Untuk dapat melakukan uji mikrobiologi perusahaan harus mempunyai fasilitas laboratorium
yang memadai, seperti ruang laboratorium mikrobiologi, penambahan peralatan uji seperti
mikroskop, sengkelit, counter dll. Investasi tambahan yang dibutuhkan untuk penyediaan
peralatan uji mikrobiologi dan bahan reagen yang diperlukan tidak kurang dari Rp.100 juta rupiah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua pabrik air minum dalam kemasan skala kecil
yang diamati tidak mampu untuk melakukan pengujian mikrobiologi
Pengujian mikrobiologi ke laboratorium independen juga tidak dilakukan oleh pabrik karena
biaya uji mikrobiologi tergolong mahal. Untuk satu contoh pengujian angka lempeng total dan
bakteri bentuk coli tarif yang ditetapkan adalah Rp.220.000,-. Jika setiap hari dilakukan pengujian
1 contoh maka akan terjadi tambahan biaya sebesar Rp. 1000,- untuk setiap dus atau gallon
(untuk kapasitas pabrik 200 dus/galon perhari).
Kepmenperindag nomor 705/MPP/Kep/2003 tentang persyarat an Teknis industri Air Minum
Dalam Kemasan mensyaratkan pengujian minimum terhadap produk akhir terdiri dari keadaan air
(bau, rasa, warna), pH, kekeruhan dan cemaran mikroba (angka lempeng total dan bakteri
bentuk coli). Kepmen juga mensyaratkan pabrik Air Minum Dalam Kemasan harus mempunyai
fasilitas peralatan laboratorium yang mampu menganalisa parameter uji mikrobiologi dan uji
fisiko-kimia minimal yang diperlukan antara lain otoklaf, oven, inkubator, pH meter,
konduktivitimeter, peralatan pengujian mikrobiologi dan peralatan gelas..
Pengamatan terhadap pabrik skala menengah menunjukkan bahwa peralatan dan personil
yang diperlukan untuk pengujian mikrobiologi telah tersedia, namun demikian pengujian
mikrobiologi terhadap produk akhir tidak dilakukan setiap hari, karena biaya yang diperlukan
untuk bahan reagen yang digunakan cukup mahal.
Semua pabrik yang diamati hanya melakukan pengujian mutu produk secara lengkap sesuai
SNI jika ada pemeriksaan dari Depkes yang mensyaratkan pengujian contoh setiap 3 bulan atau
jika ada pemeriksaan SNI yang dilaksanakan setahun sekali.
Kepmenperindag nomor 705/MPP/Kep/2003, mensyaratkan uji minimum terhadap produk
akhir yaitu pengujian cemaran mikroba (angka lempeng total dan bakteri bentuk coli), pH,
turbidity, bau, rasa dan warna. Pengujian terhadap produk akhir dilakukan setiap hari pada saat
pengisian yang terdiri dari satu contoh untuk diuji hari itu juga, dan satu contoh untuk diuji pada
hari ke enam.
Untuk mengetahui efektifitas pengendalian mutu yang dilakukan oleh pabrikan maka
dilakukan pengujian produk. Pengamatan terhadap hasil uji mutu produk menunjukkan bahwa
semua pabrik yang diamati memberikan produk dengan mutu sesuai persyaratan Standar
Nasional Indonesia untuk Air Minum dalam Kemasan (SNI 01-3553-1996). Ini dapat diartikan
bahwa pengendalian mutu yang dilakukan oleh semua pabrik yang diamati cukup efektif di dalam
memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia untuk Air Minum Dalam Kemasan.
Pengujian cemaran mikroba terhadap produk akhir sangat penting dilakukan untuk menjamin
keamanan produk bagi konsumen. Disamping itu pengujian cemaran mikroba secara berkala
pada produk akhir merupakan pembuktian terhadap efektifitas peralatan desinfeksi yang
digunakan apakah masih baik atau sudah perlu diganti.
Analisa Resiko Bahaya dan Identifikasi Titik Kendali Kritis (Sri Agustini)
Dari pengamatan di lapangan di atas terlihat bahwa semua pabrik skala kecil yang diamati
tidak mampu menerapkan persyaratan yang ditetapkan di dalam Kepmenperindag No.
705/MPP/Kep/2003, khususnya persyaratan kadar ozon dan pengujian cemaran mikroba. Hanya
pabrik skala menengah dan atas yang mampu memenuhi persyaratan pengujian mikroba.
5. Penyimpanan
Pengamatan terhadap sarana penyimpanan produk akhir menunjukkan bahwa semua pabrik
yang diamati telah melakukan pengendalian terhadap suhu ruangan dan kebersihan ruangan
penyimpanan. Pengendalian suhu ruangan penyimpanan dilakukan dengan menggunakan air
conditioner. Pengamatan di lapangan menunjukkan suhu ruangan penyimpanan pada semua
pabrik yang diamati kurang dari 25°C.
Kebersihan ruangan penyimpan dikendalikan dengan cara melakukan pembersihan ruangan
setiap hari. Produk diletakkan di atas palet kayu dengan maksimum tumpukan tertentu. Tidak
ditemukan bahan kimia atau bahan lain yang dapat mempengaruhi mutu produk di dalam gudang
penyimpanan.
Semua pabrik yang diamati menggunakan sistim FIFO (First in First Out) dalam pengeluaran
produk sehingga pengiriman produk kepada pelanggan akan mengutamakan produk yang
diproduksi lebih dahulu.
Untuk membuktikan efektivitas pengendalian ruangan pengisian maka dilakukan
pemantauan terhadap cemaran mikroba dan visual untuk bau, rasa dan warna. Observasi di
lapangan menunjukkan bahwa semua pabrik yang diamati tidak melakukan pemantauan
terhadap karakteristik produk di gudang penyimpanan.
4. KESIMPULAN
• Terdapat 5 Titik kendali kritis pada proses produksi AMDK yaitu pH air baku, Kejernihan air
hasil penyaringan, kadar ozon pada proses desinfeksi, cemaran mikroba pada pembotolan
dan cemaran mikroba pada penyimpanan di gudang.
• Kondisi di lapangan menujukkan bahwa sebagian besar pabrik Air Minum Dalam Kemasan
yang diamati telah melakukan pengendalian terhadap titik kendali kritis, terutama untuk pH,
TDS dan Ozon.
• Semua pabrik Air Minum Dalam Kemasan skala kecil yang diamati tidak mempunyai
peralatan untuk melakukan pemantauan terhadap cemaran mikroba, dan tidak melakukan
pengujian mikrobiologi.
• Dari semua pabrik Air Minum Dalam Kemasan yang diamati 15 pabrik tidak menerapkan
Kepmenperindag No 705/MPP/Kep/2003 khususnya mengenai uji mikrobiologi terhadap air
baku dan produk akhir.
• Hasil uji Laboratorium independen terakreditasi terhadap produk dari semua pabrik yang
diamati menunjukkan bahwa semua produk memenuhi persyaratan SNI 01-3553-1996.
• Perlu dilakukan pemantauan secara periodik terhadap mutu Industri Air Minum Dalam
Kemasan yang bererdar di pasar.
• Agar Industri Air Minum Dalam Kemasan diwajibkan untuk melakukan pengujian mikrobilogi
ke laboratorium independen yang terakreditasi secara periodik terutama untuk pabrik yang
tidak mampu melakukan pengujian mikrobilogi.
DAFTAR PUSTAKA
Analisa Resiko Bahaya dan Identifikasi Titik Kendali Kritis (Sri Agustini)
1. Anonymous. 1996. SNI 01-3553-1996 Standar Nasional Indonesia Air Minum Dalam
Kemasan, Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.
2. Codex Alimentarius Commission. 1993. Codex Guidelines for the Application of the Hazard
Analysis Critical Control point (HACCP) System FAO/WHO, Rome.
3. De Man,JM. 1982. Food Chenistry , diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata.Kimia
makanan. IPB Bogor.
4. Anonymous, 1992. Panduan Pengendalian Mutu untuk Pelaksanaan Standar Industri
Indonesia Air Minum dalam Kemasan. Direktorat Jendral Aneka Industri, Departemen
Perindustrian. Jakarta.
5. Anonymous. 2003. Keputusan Menperindag Nomor 705/2003. Departemen Perindustrian
dan Perdagangan. Jakarta.
6. IAMFES. 1991.Procedures to Implement the Hazard Analysis Critical Control point (HACCP)
System, International Association of Milk, Food and Environmental Sanitarians, Inc. Des
Maines.
7. Katsuyama, Allen. 1993. Principles of Food Processing Sanitation. The Food Processors
Institute, Washington DC.
8. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. 1996. Undang Undang RI Nomor 7 tahun 1996
tentang Pangan. Kantor Menpangan, Jakarta.
9. Winarno, F.G. Dan B.Sri Laksmi Jenie, 1982. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara
Pencegahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.
10. Winarno, F.G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia. Jakarta.
BIODATA
Sri Agustini
Dilahirkan di Tanjung Enim, tanggal 10 Agustus 1963. Menamatkan pendidikan Sarjana Teknik
Kimia di Universitas Sriwijaya pada tahun 1987 dan melanjutkan S2 Ilmu Administrasi Kebijakan
Industri Perdagangan Univ Indonesia, lulus tahun 1999. Penulis adalah peneliti muda bidang
industri pangan pada Baristand Industri Palembang. Selain itu, penulis menjabat sebagai Wakil
Manajemen Lembaga Sertifikasi Sistim Mutu BIPQA dan Wakil Manajemen Lembaga Sertifikasi
Produk BIPA