Você está na página 1de 23

IDENTIFIKASI SERANGGA DAN PERANANNYA

PADA TANAMAN KUBIS (Brassica oleracea L. )

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pengendalian Hayati
yang dibina oleh Dra. Hawa Tuarita, M.S. dan Dr. Fatchur Rohman, M.Si

Oleh :
Kelompok 2 / Offering GHL
Khilyatun Nafis

130342603476

Putri Devian N

130342603483

Muhammad Haidar Amrullah

130342615319

Silmy Kaffah

130342603323

Wiladatus Sakdiyah

130342615315

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Maret 2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman kubis (Brassica oleracea L. ) sangat penting bagi kehidupan manusia, karena
bisa menyediakan 25% vitamin yang dperlukantubuh. Pada tanaman kubis, bagian yang
mengandung vitamin diantaranya adalah daun sebanyak 100 gram terkandung vitamin A
sejumlah 80 mg, vitamin B sejumlah 0,06 mg, Vitamin C sejumlah 50 mg, protein sejumlah
1,4 gr, lemak sumlah 0,2 gr, karbohidrat sejmlah 5,3 gr, Ca sejumlah 46 gr dan phsopor
sejumlah 31 mg. Disamping itu tanamankubis juga membantu pencernaan, menetralkan zat
asam dan mengandung banyak serat serta dapat mencegah penyakit sariawan (Pracaya,
1993).
Sampai saat ini tingkat produksi kubis tanaman kubis secara kuantitas maupun kualitas
masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan antara lain tanah sudah miskin unsur hara,
pemupukan yang tidak berimbang, organisme pengganggu tanaman, cuaca dan iklim
(Setiawati, 1996). Sebelum dibudidayakan kubis merupakan tumbuhan liar disepanjang
Pantai Laut Tengah, Inggris, Denmark, dan pantai barat Perancis sebelah utara. Kubis yang
tumbuh liar ini sering disebut gulma. Kubis telah dikenal manusia sejak tahun 2.500-2.000
sebelum Masehi. Oleh orang Mesir dan Yunani Kuno, tanaman kubis sangat dipuja dan
dimuliakan. Dalam perkembangan selanjutnya, kubis dibudidayakan di Eropa sekitar abad
ke-9 Masehi. Di Amerika, kubis mulai ditanam ketika para imigran Eropa menetap di benua
itu. Pada abad ke-16 atau ke-17, kubis mulai ditanam di Indonesia. Pada abad tersebut orang
Eropa mulai berdagang dan menetap di Indonesia. Sekarang, penanaman kubis sebagai
komoditas sayuran telah tersebar luas di seluruh Indonesia (Pracaya,2001).
Kubis menghendaki cukup air akan tetapi tidak menghendaki adanya hujan lebat yang
terus-menerus. Curah hujan yang baik antara 100-1500 mm/th dengan kelembaban optimal
antara 60-100% (Sunarjono, 1980). Penanaman kubis pada musim hujan lebih
menguntungkan karena adanya air yang cukup mengingat tanaman ini memerlukan air cukup
banyak uantuk pertumbuhannya. Untuk kubis muda membutuhkan 300 cc air/hari, sedangkan
setelah dewasa memerlukan 400-500 cc/hari. Produksi hasil-hasil pertanian mengalami
kereugian yang sangat besar akibat serangan serangga pada tanaman budidaya. Hal ini
disebabkan adanya kemampuan adaptasi dan daya persaingan yang tinggi yang dimiliki oleh
serangga. Salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya tanaman kubis yakni adanya
serangan hama. Kehilangan hasil tanaman kubis akibat serangan hama P. xylostella dan C.
binotalis dapat mencapai 100% (Santosa dan Sartono, 2007).
Tanaman kubis merupakan salah satu komoditi hortikultura yang penting bagi masyarakat
khususnya konsumen dan petani kubis. Upaya untuk meningkatkan produksi kubis sampai
saat ini masih mengalami kendala akibat serangan hama utama kubis yaitu Plutella xylostella
Linn dan Crocidolomia binotalis Zell. Kedua hama tersebut dapat menyerang secara
bersama-sama dan saling bergantian (Ashari,1995). Sampai saat ini upaya pengendalian
secara konvensional sering di lakukan oleh kebanyakan petani Indonesia yang lebih
menekankan penggunaan insektisida kimiawi dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi
(Setiawati,1996). Penggunaan insektisida kimiawi jika tidak bijaksana akan menimbulkan
dampak negatif baik secara ekonomi, kesehatan maupun ekologi. Selain mempunyai

spektrum luas yang tidak hanya membunuh hama sasaran, insektisida kimiawi juga dapat
membunuh parasitoid, predator danhama bukan sasaran yang berarti dapat meng ganggu
keseimbangan alami serta dapat menyebabkan timbulnya strain-strain Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) yang tahan (Untung, 1996).
Konsep perlindungan tanaman ditujukan kepada Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang
bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia sehingga dapat
menghasilkan produk pertanian yang bebas bahan kimia seperti pestisida dan pupuk kimia.
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada hakekatnya dititik beratkan pada pengendalian
secara biologi dan cara lain yang tidak atau sedikit mengganggu keseimbangan alami yaitu
pada ekosistem pertanian terjaga keseimbangan antara populasi hama dan populasi musuh
alaminya (Permadi, 1993).
1.2 Tujuan
Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui serangga dan peranannya yang terdapat pada
tanaman kubis.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karateristik Tanaman Kubis
Tanaman ubis (Brassica oleraca L.) merupakan tanaman semusim yang mempunyai
akar tunggang. Makin tua umurnya percabangan akar makin banyak, sehingga akr tunggang
sulit dibedakan dengan akar lainnya. Garis tengah akar serabut umumnya kurang ari 0,5 mm,
tetapi ada beberapa yang mencapai 1 cm, sesudah berumur 1-3 bulan akar serabut membelok
ke bawah, apabila tanah gembur beberapa akar dapat mencai kedalaman 1,5 sampai 2 m.
Pada umurnya 70-80% akar tumbuhdi bagian atas tanah sedalam 20-30 cm. (Pracaya, 1993).
Kubis yang baru tumbuh mempunyai hipokotil yang berwarna agak kemerahan,
panjangnya beberapa centimeter dengan dua kotiledon dan berakar tunggang dan beberapa
akar serabut. Daun-daun pertamanya mempunyai tangkai daun (petiole) yang agak panjang
dan kemudian daun-daun berikutnya tangkai daun memendek, akhirnya menjadi daun duduk
(sessilis). Jarak antara daun pertama dengan daun berikutnya semakin memendek dan
menjelang pembentukkan krop antara duduk daun-daun sudah dapat rapat sekali (roset).
Pebentukan premodial daun terus berlangsung sementara duduk daun sebelumnya mulai
melengkung ke dalam sehingga mencegah daun-daun berikutnya untuk membuka, demikian
seterusnya sehingga akhirnya terbentuk krop (Permadi, 1993).
Krop kubis digambarkan sebagai tunas akhir tunggal yang besar, yang terdiri atas
duan yang saling bertumpang tindih secara ketat, yang menempel dan melingkupi bang
pendek tidak bercabang. Tinggi tanaman pada umumnya berkisar antara 40 dan 60 cm. Pada
sebagian besar kultivar, pertumbuhan dan awal menunjang dantiarap. Daun berikutnya secara
progresif lebih pendek, lebih lebar dan tegak dan mulai bertindih daun yang lebih muda.
Pembentukkan daun yang terus berlangsung dan pertumbuhan daun yang saling bertumpang
tindih meningkatkan kepadatan kepala yang berkembang. Bersamaan dengan pertumbuhan
daun, batang juga lambat laun memanjang dan melebar. Pertumbuhan kepala bagian dalam
yang terus berlangsung hingga melewati fase matang (keras) dapat menyebabkan pecahnya
kepala. Variabel komoditas yang penting adalah ukuran krop, kerapatan, bentuk, warna,
tekstur daun dan periode kematangan. Bentuk kepala berkisar dari elips meruncing hingga
gepeng (lirdrum), dengan bentuk yang paling disukai adalah bundar atau hampir bundar.
Warna daun dengan atau tanpa lapisan lilin, beragam dari hijau muda hingga hijau biru tua,
dan juga ungu kemerahan. Tekstur daun licin atau kusut (Matsumura, 1995).
Kekerasan krop berwariasi dari lunak sampai keras tergantung pada varietasnya.
Kadang-kadang karena tekanan daun-daun muda yang terbentuk didalam sedemikian
besarnya dan tidak diimbangi dengan mengembangnya daun disebelah luar, krop akan retak
dibagian atas. Hal ini juga terjadi jika tanaman akan berbunga. Bentuk krop bermacammacam mulai dari bulat, pipih, sampai bulat lonjong dan mencirikan varietasnya (Pracaya,
1993). Tanaman kubis diperbanyak dengan biji yang ditanam langsung ke lapang atau
dipindah tanam sebagai bibit. Ukuran biji beragam, mulai dari 220 hingga 350 butir per gram.
Biji biasanya ditanam sedalam 1-2 cm, dengan perkecambahan berlangsung cepat pada suhu
tanah 15-20C (Rukmana,1997).

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh jarak tanam. Jarak tanam
digunakan untuk mengatur ukuran produk yang di inginkan. Untuk memenuhi perubahan
kesukaan pasar, kubis konsumsi segar ditanam pada populasi tanaman tinggi untuk
memperoleh kepala kecil yang lebih disukai pasar, sedangkan kubis untuk sauerkraut
(cacahan kubis yang digarami dan dibiarkan terfermentasi hingga masam) ditanam dengan
jarak tanam lebar untuk memperoleh kepala berukuran besar. Suhu pertumbuhan optimum
pertumbuhan optimum sebagian besar tanaman kubis adalah antara 15C dan 20C, dan
kwalitas produk terbaik tercapai ketika tanaman matang selama suhu dingin hingga sedang.
Suhu yang lebih tinggi dari 30C umumnya menekan pertumbuhan, dan untuk tanaman
tertentu, suhu 25C sudah dapat membatasi pertumbuhan. Pada suhu 10C, pertumbuhan
tanaman berlangsung lambat, sekalipun pada suhu 5C pertumbuhan masih dapat terjadi
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Kubis biasanya dipanen ketika kekerasan kepala yang diinginkan telah tercapai.
Panen yang tertunda berakibat pada pemanjangan batang yang berlebihan, kemerosotan
kwalitas tekstur, dan kemungkinan pecahnya kepala daun terluar yang kasar dibuang.
Berbagai pasar segar di Eropa dan Amerika Serikat cenderung menyukai kepala yang
berbobot 1-2 kg. Penurunan kepala ini dicapai dengan pemilihan kultivar dan penggunaan
jarak tanam yang rapat (Ashari, 1995).
Di Indonesia tanaman kubis tumbuh baik di daerah-daerah yang terletak antara 6002000 dpl. Ada beberapa jenis yang hidup di dataran rendah tetapi jumlahnya tidak begitu
banyak (Anonim,2003). Hasil-hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Horti kultura
Lembang, mengungkapkan bahwa beberapa varietas kubis dapat di tanam di dataran rendah
sampai ketinggian beberapa meter (4m dpl). Dalam upaya meningkatkan produksi kubis,
pemerintah telah melakukan program intensifikasi. Namun demikian pada kenyataannya
tidak berjalan sesuai yang diharapkan antara lain disebabkan kurangnya penyediaan dan
kwalitas benih unggul, teknologi bercocok tanam yang belum dikuasai oleh petani dan
terutama adanya serangan hama dan penyakit (Pracaya, 1993).
Kehilangan hasil kubis karena serangan hama ditentukan oleh beberapa factor antara
lain tinggi rendahnya populasi, bagian tanaman yang rusak, intensitas serangan, tanggap
tanaman terhadap gangguan kerusakan, fase pertumbuhan tanaman, jenis hama yang hadir
dan menyerang fase pertumbuhan tertentu sangat penting diketahui untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaan pengendalian (Ashari, 1995).
2.2 Peran Serangga
2.2.1 Hama
Hama (pest) didefinisikan sebagai segala sumber organisme yang mengurangi
ketersediaan, kualitas, atau nilai sumber daya yang dimiliki manusia (Flint & van De Bosch,
1981). Definisi hama semakin berkembang seiring keragaman cara hama memengaruhi
manusia. Sumber daya yang dimiliki manusia itupun bisa berupa tanaman atau binatang
ternak yang dibudidayakan untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kenyamanan manusia.
Ada 4 faktor yang menyebabkan sebuah spesies dapat menjadi hama, yaitu 1) spesies
hama itu harus berada pada tingkat perkembangan yang tepat 2) lingkungan mendukung 3)
tanaman harus berada pada stadia perkembangan dan pertumbuhan yang rentan dan 4) ketiga
faktor tersebut harus terjadi dalam waktu yang bersamaan.

2.2.2

Musuh Alami
2.2.2.1 Predator
Predator adalah organisme yang memangsa organisme lain. Menurut Jumar
(2000), hampir semua ordo serangga memiliki jenis yang menjadi predator, tetapi
selama ini ada beberapa ordo yang anggotanya merupakan predator yang digunakan
dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah :
1.
Coleoptera, misalnya Colpodes rupitarsis dan C. saphyrinus (famili Carabidae)
sebagai predator ulat penggulung daun Palagium sp. Harmonia octamaculata
(Famili Coccniellidae) sebagai predator kutu Jassidae dan Aphididae.
2.
Orthoptera, misalnya Conocephalus longipennis (famili Tetigonidae) sebagai
predator dari telur dan larva pengerek batang padi dan walang sangit.
3.
Diptera, misalkan Philodicus javanicus dan Ommatius conopsoides ( famili
Asilidae)
sebagai predator serangga lain. Syrphus serrarius (famili
Syrphidae) sebagai predator berbagai jenis aphids.
4.
Ordonata, misalnya Agriocnemis femina femina dan Agriocnemis pygmaea
(famili Coecnagrionidae) sebagai predator wereng coklat dan ngengat hama
putih palsu. Anax junius (famili Aeshnidae) sebagai predator dari beberapa
jenis ngengat.
5.
Hemiptera, misalnya Cyrtorhinus lividipenis ( famili Miridae ) sebagai
predator telur dan nimfa wereng coklat dan wereng hijau.
6.
Neuroptera, misalnya Chrysopa sp. (famili Chrysopidae) sebagai predator
berbagai hama Apids sp.
7.
Hyminoptera, misalnya Oecophylla smaragdina (famili Formasidae) sebagai
predator hama tanman jeruk.
2.2.2.2 Parasitoid
Merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang antropoda
lainnya. Parasitoid bersifat parasit pada fase pradewasa, sedangkan dewasanya
hidup bebas dan tidak terikat pada inangnya. Parasitoid hidup menumpang di
luar atau didalam tubuh inangnya dengan cara menghisap cairan tubuh inangnya
guna memenuhi kebutuhan hidupnya . Umumnya parasitoid menyebabkan
kematian pada inangnya secara perlahan-lahan dan parasitoid dapat menyerang
setiap fase hidup serangga, meskipun serangga dewasa jarang terparasit. Parasitoid
menyedot energi dan memakan selagi inangnya masih hidup dan membunuh atau
melumpuhkan inangnya untuk kepentingan keturunanya. Kebanyakan parasitoid
bersifat monofag (memiliki inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang
tertentu). Selain itu parasitoid memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari
inangnya (Sunarno, 2007).
Contoh-contoh parasitoid untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman
hortikultura antara lain :
Diadegma semiclausum. Merupakan parasitoid larva yang paling penting bagi hama
Plutella xylostella pada tanaman kubis. Serangga betina mempunyai organ peletak
telur (ovipositor) pada ujung abdomen dan dapat meletakkan telur pada semua instar

larva P. xylostella. Siklus hidup D. semiclausum dari telur sampai dewasa lamanya
18-20 hari di dataran tinggi dan 14 hari di dataran rendah. Sedangkan masa telur, larva
dan pupa masing-masing 2 hari, 8 hari dan 8-10 hari
Trichogramma chilonis, merupakan parasitoid telur Helicoperva armigera pada
tanaman jagung dan tomat,. Serangga betina dapat berkembang biak secara
partenogenesis. Seekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 20-50 butir.
Lamanya daur hidup 10-11 hari. Selain itu jenis Trichogramma lain merupakan
parasitoid telur berbagai jenis serangga terutama telur Lepidoptera, dapat
dikembangbiakan dengan inang pengganti yaitu Corcyra sp sehingga banyak
dikembangkan secara intensif pemanfaatannya. Imago ukurannya sangat kecil 1 mm
atau kurang sehingga sulit diamati di lapangan
Eriborus argenteopilosus. E. argenteopilosus, termasuk kedalam ordo Hymenoptera.
Parasitoid ini mampu memarasit keempat instar larva inang H. armigera,
Croccidolomia binotalis dan Spodoptera litura. Namun instar muda (1 dan 2) lebih
disukai dibandingkan dengan instar tua (3 dan 4).
Menurut Untung (2006). Faktor-faktor yang mendukung efektifitas
pengendalian hama oleh parasitoid adalah: (1). Daya kelangsungan hidup
(Survival) baik, (2). Hanya satu atau sedikit individu inang diperlukan untuk
melengkapi daur hidupnya, (3). Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun
pada aras populasi inang rendah, (4). Sebagian parasitoid monofag, atau oligofag
sehingga memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini menyebabkan populasi parasitoid
memiliki respon numerik yang baik terhadap perubahan populasi inangnya.
2.2.2.3 Patogen
Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau
membunuh inangnya karena menyebabkan penyakit pada serangga. Patogen masuk
ke dalam tubuh serangga melalui dua jalan: 1) ketika inang menelan patogen selama
proses makan, dan 2) ketika patogen masuk melalui penetrasi langsung ke kutikula
serangga. Perpindahan patogen serangga dapat terjadi dari serangga yang sakit ke
serangga yang sehat (Yakobus, 2013).
Gejala yang timbul pada serangga terinfeksi jamur patogen adalah adanya
miselia pada serangga. Pada infeksi awal, serangga menunjukkan gejala sakit yaitu
tidak mau makan, lemah dan kurang orientasi. Seringkali serangga tersebut berubah
warna dan pada kutikula terlihat bercak hitam yang menunjukkan tempat penetrasi
jamur. Apabila keadaan lingkungan mendukung maka akan muncul miselia pada
permukaan badan serangga yang terinfeksi (Thomas 1997 dalam Prayogo, 2006).
Agens hayati patogen yang telah diketahui dan dapat dimanfaatkan untuk
mengendalikan serangga antara lain dari kelompok virus, bakteri, cendawan dan
nematoda.
Virus, Virus yang dapat menyerang serangga hama pada tanaman hortikultura adalah
NPV (nuclear polyhedrolis virus) dan GV (Granulosis virus). Contoh virus
entomopatogen yang sudah dimanfaatkan yaitu SeNPV dan PoGV. Cara kerja NPV
dan GV adalah virus (dalam hal ini polihedra) termakan oleh serangga (misalnya ulat
yang memakan daun terkontaminasi virus). Polihedra yang merupakan protein akan

terhidrolisis oleh enzim dalam saluran makanan. Partikel virus yang ada dalam
polihedra akan terbebaskan, virion ini akan menginfeksi sel-sel saluran makanan di
bagian inti sel dan akan memperbanyak diri (replikasi). Selanjutnya virus baru akan
menyerang sel-sel lain, selama beberapa hari semua sel tubuh serangga terserang.
Oleh karena itu gejala serangga yang terserang NPV adalah tubuhnya hancur,
menghasilkan virus-virus baru yang akan menjadi sumber penyakit baru bagi
serangga hama yang memakannya.
Bakteri, Bakteri entomopatogen yang sampai sekarang banyak dimanfaatkan adalah
Bacillus thuringiensis. Salah satu keunggulan B. thuringiensis sebagai agens hayati
adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik misalnya untuk
mengendalikan serangga hama dari golongan Ordo Lepidoptera, namun diketahui
juga mampu menginfeksi ordo yang lain seperti Ordo Diptera dan Coleoptera. Cara
kerja bakteri B. thuringiensis adalah kristal bakteri yang berupa matriks protein
didalam saluran makanan tengah (mesonteron) tubuh serangga yang rentan akan
mengalami hidrolisis. Hasil hidrolisis ini menghasilkan fraksi-fraksi yang lebih kecil
yang menyebabkan toksik tehadap dinding saluran makanan. Kerusakan dinding
saluran makanan mengakibatkan serangga sakit yang dapat menyebabkan kematian
serangga.
Cendawan, Cendawan entomopatogen yang sudah banyak penggunaannya adalah
Beauveria bassiana. Cendawan ini tergolong dalam klas Deuteromycetes, ordo
Monilialis, famili Moniliaceae. Konidia bersel satu, berbentuk bulat sampai oval
berukuran 2-3 mikron. Hifa B. Bassiana hialin, dalam koloni berwarna putih seperti
kapas. B. bassiana masuk ke tubuh serangga melalui kulit di antara ruas-ruas tubuh.
Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa fungi
mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protemase yang mampu menguraikan
komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga hifa berkembang
dan masuk ke dalam pembuluh darah. Selain itu B. bassiana mengeluarkan toksin
seperti beaurerisin, beauverolit, bassianalit, isorolit dan asam oksalat yang
menyebabkan terjadinya kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya peredaran darah
serta merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf dan pernafasan yang pada
akhirnya menyebabkan kematian.
Nematoda, Dibandingkan dengan bakteri, cendawan dan virus, penggunaan nematoda
entomopatogen di Indonesia belum populer, masih dalam skala penelitian. Diharapkan
dengan semakin banyaknya penelitian dan pelatihan, pemanfaatan nematoda ini
semakin meningkat. Contoh nematoda entomopatogen yang sering digunakan adalah
Steinernema spp. Merupakan golongan nematoda dengan siklus hidup sederhana,
yaitu telur, larva (juvenil) dan dewasa. Larva mempunyai 4 stadia yang ditandai
dengan pergantian kulit. Steinernema spp bersimbiosis dengan bakteri Xenorhabdus
spp. Stadia yang infektif adalah juvenil III, masuk kedalam tubuh serangga melalui
integumen, spirakel, anus dan mulut. Setelah masuk tubuh serangga, Steinernema spp
akan melepaskan bakteri Xenorhabdus spp yang dapat membunuh serangga dengan
cepat dan membuat kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi nematoda
di dalam tubuh serangga yang mati. Gejala serangan ditandai dengan warna inang

berubah menjadi coklat kekuningan dan tubuhnya menjadi lembek. Hal ini disebabkan
oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri simbion (Korlina, 2011).

2.2.3

Polinator

Serangga sebagai pollinator yang artinya penyerbukan contohnya adalah pada lebah
dan kupu-kupu. Lebah bukan satu-satunya serangga yang bertugas memperlancar
penyerbukan bunga. Namun ia merupakan serangga satu-satunya, yang dalam menjalankan
tugasnya, tidak menimbulkan akibat samping yang merugikan tanaman. Berbeda dengan
kupu-kupu misalnya, tak ada yang menyangkal bahwa kupu-kupu yang mengisap madu itu
mampu membantu menempelkan serbuk sari pada kepala putik sebuah bunga, dan itu akan
mempermudah proses pembentukan buah. Tapi kupu-kupu menuntut balas jasa yang kadang
kelewat mahal. Ratusan butir telurnya yang menempel pada daun, akan menetas menjadi ulat
yang rakus mengunyah daun tanaman. Tanaman bukannya untung tapi malah buntung dalam
arti sebenarnya. Lebah merupakan serangga penyerbuk (polinator) tanaman yang paling
penting di alam dibandingkan angin, air, dan serangga lainnya. Banyak peneliti
mengungkapkan bahwa terdapat kenaikan produksi jika sejumlah koloni lebah diletakkan di
sekitar lokasi tanaman. Lebah memiliki organ khusus untuk mengambil nektar, yang disebut
probosis. Lebah memiliki probosis, bentuknya seperti belalai pada gajah. Probosis memiliki
kemampuan mengisap cairan nektar pada bunga. Aktivitas terbang lebah mengumpulkan
nektar dan polen berlangsung sejak pagi sampai sore hari. Pollen atau tepung sari bunga
diperoleh dari bunga yang dihasilkan oleh bunga sebagai sel-sel kelamin jantan pada
tumbuhan. Pollen diperlukan oleh lebah madu terutama sebagai sumber protein dan lemak,
dan sedikit karbohidrat dan mineral. Aktivitas lebah tersebut dilakukan secara tidak sengaja
pada saat pencarian nektar dan tepung sari sebagai pakan untuk koloninya.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian melalui program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) mata kuliah
Pengendalian Hayati dilaksanakan di Cangar, Batu, Jawa Timur. Kegiatan ini dilaksanaan
pada tanggal 13 Februari 2016.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini yaitu serangga yang ditemukan di kawasan Kebun Kubis
Cangar, Batu. Sedangkan sampel dari penelitian ini yaitu beberapa individu dari beberapa spesies yang
masuk dalam insect net yang digunakan untuk pencuplikan.
3.3 Alat dan Bahan
Alat
- Insect net
- Botol
- Pinset
- Mikroskop stereo
- Buku Borror
- Kuas kecil
Bahan
- Alkohol 30%
- Kertas label
- Plastik 1 kg
3.4 Prosedur Kerja
a) Persiapan
1. Menyiapkan alat yang di perlukan pada saat praktikum
2. Mendengarkan intruksi dan arahan dari asisten atau dosen pendamping
b) Pengambilan Spesimen
1. Berjalan ke lokasi pengambilan sampel secara berkelompok.
2. Memasuki lokasi pengambilan sampel.
3. Mengambil sampel serangga dengan menggunakan insect net atau plastik bening.
4. Memasukkan sampel yang ditemukan ke dalam kantong plastik atau botol yang
sudah diisi dengan alkohol.
c) Pengidentifikasian

1.
2.
3.
4.

Mengumpulkan semua sampel yang ditemukan,


Membersihkan sampel yang ditemukan,
Mengabadikan sampel tersebut,
Mengidentifikasi sampel yang didapat dan menyusun klasifikasinya.

3.5 Teknis Analisis Data


Analis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis data deskriptif.
Analisis deskriptif kuantitatif merupakan metode yang bertujuan mengubah kumpulan
data mentah menjadi bentuk yang mudah dipahami, dalam bentuk informasi yang
ringkas, dimana hasil penelitian beserta analisanya diuraikan dalam suatu tulisan ilmiah
dan kemudian akan dibentuk suatu kesimpulan.

BAB IV
DATA PENGAMATAN DAN ANALISIS DATA

A. DATA PENGAMATAN

No.

Nama Spesies

Larva Plutella sp.

imago Plutella sp.

Menochillus sp.

Trichogramma sp.

Hyalopeplus sp.

Gambar

Ciri /
Deskripsi
Bagian ujung
tubuh larva
berbentuk
lancip,
biasanya
terdapat di
daun tanaman
kubis,
warnanya
hijau
Warna sayap
coklat, tip
mulut
penghisap
(seperti
belalai),
memiliki
sepasang
antenna, kaki
3 pasang
Corak tubuh
bewarna dasar
orange dan
bitnik hitam,
memiliki 3
pasang kaki,
sungut pendek
Mata merah,
tarsus 3 ruas,
sayap
sepasang,
tubuh
berwarna
coklat
kehitaman
Antenna 3
ruas dengan
ujung
membesar,
kaki 3 pasang

Peran

Hama

Hama

(Predaor)
Pemangsa
berbagai jenis
kutu daun

sebagai agen
hayati yang
mampu
memparasit
hama

Hama

Antena 3 ruas
dengan ujung
runcing

Pachypeltis sp.

Hama

B. ANALISIS DATA
Berdasarkan data pengamatan diatas dapat dijelaskan bahwa diperoleh data
dari praktikum di ladang yang ditanami kubis di daerah Batu, kami menemukan
beberapa spesies serangga yang berada di sekitar tanaman tersebut. Spesies tersebut
yaitu Plutella xylostella Linn. yang memiliki ciri Bagian ujung tubuh larva berbentuk
lancip, biasanya terdapat di daun tanaman kubis, warnanya hijau, yang berperan
sebagai hama pada tanaman kubis.
Famili Miridae (Hyalopeplus sp. yang memiliki ciri Antenna 3 ruas dengan
ujung membesar, kaki 3 pasang, dan Pachypeltis sp yang memiliki ciri Antena 3 ruas
dengan ujung runcing) yang berperan sebagai hama pada tanaman kubis.
Trichogramma sp. yang memiliki ciri Mata merah, tarsus 3 ruas, sayap
sepasang, tubuh berwarna coklat kehitaman yang berperan sebagai agen hayati yang
mampu memparasit hama.
Menochilus sp. yang memiliki ciri Corak tubuh bewarna dasar orange dan
bitnik hitam, memiliki 3 pasang kaki, sungut pendek, yang berperan sebagai
pemangsa berbagai jenis kutu daun (predator).
Dari hasil data pengamatan diatas dapat diketahui bahwa serangga yang
ditemukan di di ladang yang ditanami kubis di daerah Batu ada yang berpean sebagai
hama yang merusak tanaman dan ada yang berperan sebagai predator yang
memparasiti hama dan memangsa hama.
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan di ladang yang ditanami kubis di daerah
Batu, kami menemukan beberapa spesies serangga yang berada di sekitar tanaman tersebut.

Spesies tersebut yaitu Plutella xylostella Linn., Famili Miridae (Hyalopeplus sp., dan
Pachypeltis sp)., Trichogramma sp., dan Menochilus sp.
1.
Larva Plutella sp.
a. Ciri Morfologi
Larva Plutella sp. terdiri dari empat instar. Instar pertama (yang baru menetas)
berwarna hijau pucat cenderung pasif, makan daun kubis dengan cara membuat lubang
galian ke dalam jaringan permukaan bawah daun dan membuat liang-liang korokan ke
dalam jaringan parenkim sambil makam daun. Larva instar kedua berwarna hijau tua
dengan kepala berbintik-bintik atau garis coklat, kemudian larva ke luar dari liang-liang
korokan yang transparan dan makan jaringan permukaan bawah daun. Instar ketiga dan
keempat makan bagian bawah daun lebih banyak dari instar-instar sebelumnya
(Pracaya,1993).
b. Peran
Spesies Plutella sp.. yang kami temukan yaitu fase larva dan imago. Berdasarkan
referensi, Plutella sp. merupakan hama utama pada tanaman kubis. Plutella sp.
mempunyai siklus hidup yang sempurna sehingga disebut juga holometabola. Plutella sp.
berperan sebagai hama. Hal ini sesuai dengan rujukan yang menyatakan bahwa larva
Plutella sp. dapat merusak tanaman kubis dengan selalu berada di bawah permukaan
daun dan diantara vena daun. Selanjutnya larva memakan jaringan bawah daun dengan
membentuk seperti jendela pada bagian bawah daun, tetapi tidak memakan vena daun.
Larva ini lebih suka memakan daun yang masih muda, dan lebih banyak ditemukan
bergerombol di sekitar titik tumbuh. (Shelton et al ,1993).
2.
Imago Plutella sp.
Selain larva Plutella sp., di sekitar tanaman kubis juga ditemukan fase imago
Plutella sp. yaitu ngengat. Serangga dewasa atau ngengat Plutella sp. memiliki ciri khas
di sayap depan berupa garis bergelombang berwarna kuning. Pada saat ngengat istirahat,
sayap terlipat dan tampak terlihat bintik segiempat seperti berlian kuning. Oleh karena
itu disebut diamondback. Ngengat Plutella sp. aktif pada malam hari atau nocturnal
(Mau & Kessing 2007; Chan et al. 2008). Ratio jumlah jantan dengan betina Plutella
sp. adalah 1:1 (Mau & Kessing 2007). Ngengat tersebut dapat berperan sebagai hama
terutama pada fase larva.
3. Menochillus sp.
a) Ciri morfologi
Badannya berukuran kecil, bulat, warna bervariasi dari merah smapai kuning
tetapi biasanya kuning, panjang badan 3,00-3,50 mm. Kepala kecil, tersembunyi di
bawah pronotum. Pronotum berwarna kuning tua dengan dua pita hitam melintang ke
arah sis lateral. Elitra berwarna kuning, pita median hitam, satu totol hitam pada tiap
elitra, di belakangnya ada pita hitam bengkok, serta sebuah totol hitam kecil di posterior
elitra (Amir, 2002).
b) Peran
Menochilus sp. hidup sebagai pemangsa berbagai jenis kutu daun. Kumbang
betina meletakkan telur pada batang dan daun tumbuhan, misalnya kacang-kacangan,
biasanya yang terdapat pada kutu daun. Telur oval, tertata seperti rokok panjang sekitar
0,3 mm, berwarna kuning pucat. Dalam 4-5 hari larva menetas, larva muda berwarna

hitam, panjang 1,20 mm, tungkai panjang, badan meruncing ke depan dan belakang. Jika
larva menjadi besar akan muncul bercak bercak putih pada abdomen. Sejak menetaas
larva dapat bergerak aktif dan segera mencari mangsa kutu daun. Larva yang telah masak
dapat memangsa B. tabaci 200-400 larva/hari atau memangsa trips sebanyak 17-20
ekor/hari. Aktivitas Menochilus sp. terjadi antara pukul 09.00-13.00. Aktivitas
Menochilus sp. terjadi antara pukul 09.00-13.00, Aktivitas Menochilus sp. selain
dipengaruhi oleh cahaya, ternyata juga oleh keadaan lapar. Menochilus sp. yang diberi
mangsa belebihan lebih aktif daripada yang diberi mangsa terbatas (Wagiman, 1987).
Kebanyakan predator bersifat kanibalistik atau memakan temannya sendiri.
Perilaku ini ada baiknya, karena dapat menjamin bahwa meskipun dalam keadaan tanpa
mangsa di lapangan masih terdapat beberapa predator yang tetap hidup dan melanjutkan
siklusnya. Di Indonesia penyebaran kumbang ini sangat luas meliputi Jawa, Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi, Flores, Halmahera dan Papua (Amir, 2002).
4. Trichogramma sp
a. Ciri morfologi
Trichogramma spp. termasuk famili Trichogrammatidae, ordo Hymenoptera.
(Kalshoven 1981). Diketahui tidak kurang dari 100 spesies parasitoid termasuk famili
Tricogrammatidae. Umumnya berupa serangga dengan ukuran tubuh sangat kecil (0,4 0,69 mm) dan hidup sebagai parasitoid telur khususnya serangga dari ordo Lepidoptera
ada empat jenis Trichogramma.
Ukuran tubuh imago betina lebih besar daripada imago jantan. Imago jantan lebih
dahulu keluar daripada imago betina dan segera berkopulasi dalam beberapa detik. Telur
diletakkan kira-kira 24- 28 jam setelah imago muncul. Daur hidup Trichogramma spp.
antara 7 - 9 hari (Peterson, 1930 dalam Rauf dan Hidayat, 1999), mengemukakan bahwa
larva Trichogramma spp. terdiri dari 3 instar, kemudian larva berkembang menjadi pupa,
setelah 7 - 8 hari pupa akan menjadi imago dan keluar dari telur inang dengan membuat
lubang pada kulit telur.
b. Peran
Trichogramma pada beberapa jenis hama telah diaplikasikan sebagai agen hayati
yang mampu memparasit hama tersebut. Parasitoid telur, Trichogramma spp. telah
banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis serangga hama dari ordo
Lepidoptera, antara lain Helicoverpa armigera (Hbner)(McLaren &Rye, 1983;
Nurindah & Bindra,1989; Herlinda etal. 1999), Etiella zinckenella (Treitschke)
(Herlinda et al. 1997), serta penggerek batang dan pucuk tebu (Alba, 1990).
Namun, penggunaan parasitoid telur untuk mengendalikan hama perusak daun
kubis, Plutella xylostella L. belum banyak dilaporkan.
Trichogramma spp. mengalami metamorfosis lengkap. Trichogramma spp. dewasa
meletakkan telur dalam telur inang baru diletakkan, dan sebagai larva berkembang,
makan embrio tuan rumah, menyebabkan telur berubah menjadi hitam (Peterson, 1930
dalam Rauf dan Hidayat, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian Herlinda (2005) menunjukkan bahwa strain
Trichogramma cojuangcoi yang di eksplorasi dari Jarai mampu memparasitasi 54%
dari100 telur P. Xylostella yang disediakan. Rata-rata parasitisasi telur P. xylostella oleh
T. cojuangcoi asal Jarai adalah 50,67% dari 100 telur P. xylostella yang

disediakan atau 50,67 butir telur inang terparasit Trichogramma tersebut


merupakan parasitoid soliter, yaitu dari satu telur inang yang terparasit hanya
berkembang satu ekor larva.
Li et al. (1994) melaporkan bahwa tinggi rendahnya parasitisasi oleh
suatu jenis/strain Trichogramma ditentukan oleh kemampuan parasitoid dalam
mendeteksi Li et al. (1994) melaporkan bahwa tinggi rendahnya parasitisasi
oleh suatu jenis/strain Trichogramma ditentukan oleh kemampuan parasitoid
dalam mendeteksi kairomon yang dikeluarkan oleh telur inangnya.
Selain itu,
penolakan inang dapat terjadi apabila senyawa kimia yang terkandung dalam
telur inang tidak disukainya. Rendahnya parasitisasi telur P. xylostella oleh T.
japanicum dapat disebabkan parasitoid tersebut tidak terbiasa dengan
kairomon
yang dikeluarkan oleh telur P. xylostella dan tidak sesuainya senyawa kimia
yang terkandung pada telur P. xylostella. Hal ini dapat terjadi karena T.
japanicum di lapangan telah beradaptasi dan merupakan parasitoid telur Chilo
sp. Menurut Ruberson & Kring (1993), Trichogramma dapat juga mengenali inang
sasarannya melalui rangsangan visual yang diterimanya,seperti warna dan bentuk telur
inang.
5. Faimili Miridae (Hyalopeplus sp., dan Pachypeltis sp.)
a. Ciri Morfologi
Bartlett (2015) menuturkan karakteristik unik dari mirids adalah setae khusus (
'trichobothria' ) pada femora tengah dan belakang. Fitur berguna lainnya :
Kurangnya kecil , mata sederhana yang disebut ocelli ( NB : ocelli mungkin tidak
ada di bug lainnya , misalnya Cnemodus atau Largidae , namun ada pada beberapa
miridae ( Isometopinae )
Adanya cuneus ( bagian belakang dari bagian anterior menebal dari sayap depan ,
berangkat dari itu dengan lipatan ) - juga hadir di Anthocoridae , Cimicidae , dan
Microphysidae
2 sel tertutup dalam membran kedepan sayap
Antena sebagian besar panjang dan tipis ( biasanya lebih pendek / lebih tebal di
Lygaeoidea dan Coreoidea )
kaki ramping , halus
b. Peran
Famili Miridae berperan sebagai hama. Biasanya ia ditemukan pada komoditas
tanaman teh, kakao, Cinchona, kopi, lada, gambir, Cinnamomum, alpukat, jambu,
manggis, jeruk, rambutan, tanaman Leguminosae, Capsicum, gulma, Araceae,
Dioscoreaceae. Nympha dan imago menyerang dengan cara mengisap cairan
tanaman yang masih muda seperti daun, pucuk muda, tunas, bunga, biji,/gelondong,
dan buah. Air liur serangga ini sangat beracun sehingga pada bagian tanaman yang
terkena tusukan melepuh dan berwarna coklat tua. Serangan pada titik tumbuh dapat
mengakibatkan mati pucuk sehingga pertumbuhan tanaman terhambat. Di
pembibitan, nimfa instar pertama dan kedua pertama-tama menyerang daun muda
kemudian pucuk. Gejala serangan Ditandai dengan adanya bercak-bercak transparan
berbentuk elips di sepanjang tepi tulang daun dan bentuk segi empat pada helai
daun. Bercak tersebut pada hari berikutnya berubah warna menjadi cokelat.

Serangan yang berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Nimfa instar ketiga
menyerang tunas kemudian ke bagian batang.Gejala serangan ditandai dengan
adanya bercak coklat tua berbentuk elips. Serangan nimfa pada bibit yang berumur
2-3 bulan menyebabkan pertumbuhan bibit terhambat (Wiratno et al 1996).

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan dapat dilihat bahwa ada beberapa spesies
yang ditemukan di sekitar tanaman kubis yang ditanam di sawah kubis di Batu. spesies
serangga yang berada di sekitar tanaman tersebut. Spesies tersebut yaitu Plutella sp.,
Hyalopeplus sp., Pachypeltis sp., Trichogramma sp., dan Menochilus sp.
Masing-masing serangga yang ditemukan memiliki peran yang berbeda-beda. Untuk
Plutella sp., baik dalam fase larva maupun imago merupakan hama pada tanaman kubis. Hal
ini dikarenakan Plutella sp., terutama pada fase larva dapat merusak tanaman kubis dengan
memakan daunnya. Selain spesies Plutella sp., serangga yang ditemukan dari family Miridae
yaitu Hyalopeplus sp., dan Pachypeltis sp. Famili Miridae berperan sebagai hama. Nympha
dan imago menyerang dengan cara mengisap cairan tanaman yang masih muda seperti daun,
pucuk muda, tunas, bunga, biji,/gelondong, dan buah.
Menochilus sp. yang kami temukan merupakan predator. Kumbang tersebut hidup
sebagai pemangsa berbagai jenis kutu daun. Trichogramma pada beberapa jenis hama telah
diaplikasikan sebagai agen hayati yang mampu memparasit hama tersebut. Parasitoid telur,
Trichogramma spp. telah banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis
serangga hama dari ordo Lepidoptera, antara lain Helicoverpa armigera (Hbner),
Etiella zinckenella (Treitschke), serta penggerek batang dan pucuk tebu. Namun,
penggunaan parasitoid telur untuk mengendalikan hama perusak daun kubis, Plutella
xylostella L. belum banyak dilaporkan.

DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2003. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Ramah Lingkungan. Report of
Practical Stage in Garden of Lembaga Penelitian Hortikultura. Pasar Minggu Jakarta
49p.
Alba, M. C. 1990. Use of Natural Enemies to Control Sugarcane Pests in the
Philippines. BookSeries40:124-134
Amir, M. 2002. Kumbang Lembing Pemangsa Coccinellidae (Coccinellidae) di Indonesia.
JICA. Biodiversity Conservation Project. 47 hal
Ashari, S. 1995. Hortikultura aspek Budidaya Universitas Indonesia. Jakarta. 485p.
Bartlett, Troy. 2016. Family Miridae-Plant Bug. (Online), (http://bugguide.net/node/view/94)
diakses pada 15 Maret 2016
Flint, M.L and R. van den Bosch. 1981. Introduction to Intergrated Pest. Management.
Plenum Press. New York.
Herlinda, S., A. Rauf, U. Kartosuwondo & Budihardjo.
1997.
Biologi dan
Potensi Parasitoid
Telur, Trichogrammatoidea
bactrae
bactrae Nagaraja
(Hymenoptera; Trichogrammatidae),
untuk
Pengendalian
Penggerek
Polong
Kedelai. Bul. HPT. 9:1925
Herlinda, S., L. Daha., & A. Rauf. 1999. Biologi dan Pemanfaatan Parasitoid
Telur Trichogramma chilonis Ishii (Hymenoptera: Trichogrammatidae) untuk
Pengendalian Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) pada
Pertanaman Kedelai dan Tomat. p. 23-32.
In: Peranan Entomologi dalam
Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis.
Prosiding
Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor Bekerjasama
dengan Program Nasional PHT, Bogor 16 Pebruari 1999.
Herlinda, S. 2005. Variasi Kebugaran Jenis/Strain Trichogramma
Pada Telur
Plutellaxylostella
(L.)
(Lepidoptera:
Plutellidae).
(Online),
(http://eprints.unsri.ac.id/220/1/9.KEBUGARAN%20JENIS%20TRICHOGRAMMA
%20%20PADA%20Plutella.pdf) diakses pada 15 Maret 2016
Kalshoven,L.G .E. 1981. Pest of in Indonesia. Resived and translated by P .A. van der
Laan, University of Amsterdam. PT Ichtiar Baru-van Hoeve: Jakarta.
Li, S. Y., D. E. Henderson, & J. H. Myers.
1994.
Selection of Suitable
Trichogramma Species for Potential Control of the Blackheaded Fireworm
Infesting Cranberries. Biol.Contr. 4:244-248.
Matsumura, F. 1995. Toxycology of Insectisiden. Plehum Press. New York. 503p
Mau, R.F.L. dan J.L.M. kessing. 1992. Plutella xylostella Linn. Dept. Of Entomology.
Honolulu Hawai. (http: //www. Extento Hawai. Edu/base/crop/Type/Plutella Htm.)
Permadi, A.H. 1993. Kubis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian
Hortikultura Lembang. 155 hal.
Peterson, A. 1930. A Biological Study of Trichogramma Minutum Ril. as an Egg Parasite of
The Oriental Fruit Moth. Tech. Bull. 215. p. 1-21.
Pracaya. 1993. Hama dan Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya. Jakarta. 103p.

Ruberson, J. R. & T. J. Kring. 1993. Parasitism of Developing Eggs by Trichogramma


pretiosum (Hymenoptera:
Trichogrammatidae):
Host Age Preference and
Suitability. Biol.Contr. 3:39-46.
Rukmana. R. 1997.Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta :Kanisus.
76-77p.
Santosa, J dan Sartono, S. 2007. Laporan Penelitian Kajian Insektisida Hayati terhadap
Daya Bunuh Ulat Ptutella xylostell dan Crocidolomia binotalis pada Tanaman Kubis
Crop. Balai Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian RI. Jakarta. Diakses
dari http://www.deptan.go.id/ pada tanggal 10 Maret 2016.
Setiawati. W. 1996. Status Resistensi Plutella xylostella Linn Strain Lembang, Pengalengan
dan Garut Terhadap Pestisida Bacillus thuringiensis. Jurnal Hortikultura (3) 367-391.
Sunarno, 2007. Pengendalian Hayati ( Biologi Control ) Sebagai Salah Satu Komponen
Pengendalian Hama Terpadu (Pht. (Online), (journal.uniera.ac.id/pdf.../juniera31uHIhqLaBkzzrDBMOhRadqxY8H) diakses pada 15 Maret 2016
Tang, Z.; H. Gong and Z. P. You. 1988. Present Status and Control Measuring of Insectiside
Resistance in Agricultura Pset in China. Bull Pestic. Sci. 23: 189-198pp.
Untung. K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University.
Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press.
Yakobus, Y. 2013. Patogen Serangga. (Online), (digilib.unila.ac.id/1083/3/BAB%20II.pdf)
diakses pada 15 Maret 2016.
Yoyakarta.Wagiman, F.X., S. Turnipseed, andW. Linser. 1987. An evaluation of soybean
pests, factor affecting heir abundance and recombination for integrated
pestmanagement in Java. Survey report. Department of Entomology and
Phytopathology, Fac. Of Agric. Gadjah madaUniv. Yogyakarta. 21p
Wiratno, E. A. Wikardi, I.M. Trisawa & Siswanto. 1996. Biologi Helopeltis antonii
(Hemiptera;Miridae) Pada Tanaman Jambu Mete. Jurnal Penelitian Tanmanan Industri
II(1):36-42

LAMPIRAN

Menochilus sp.

Plutella sp. (fase imago)

Hyalopeplus sp.

Trichogramma sp.

Plutella sp. (fase larva)

Pachypeltis sp.

Você também pode gostar