Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ILMU ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK
Pembimbing:
dr. Nicolaas P. Simamora, Sp.An
Penyusun:
Enrico J Hartono
2015.04.2.0049
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2014
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
ILMU ANESTESI
RJPO
Judul Referat RJPO telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu
tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di
bagian Ilmu Anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya
Mengetahui:
Pembimbing
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya akhirnya referat yang berjudul Resusitasi Jantung Paru
Otak ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penyusunan referat ini merupakan salah satu tugas yang harus
dilaksanakan sebagai bagian dari kepaniteraan Ilmu Anestesi di RSAL Surabaya.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kami ucapkan pada semua pihak yang telah
membantu penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Nicolaas P S, Sp.An yang
membimbing penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami menyadari
referat ini masih jauh dari nilai kesempurnaan, oleh karena itu kritik maupun
saran yang membangun selalu diharapkan.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan...................................................................................
Kata Pengantar...........................................................................................
ii
Daftar isi....................................................................................................
iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................
1.1 Umum...................................................................................
BAB 2 PEMBASAHAN..........................................................................
2.1 Definisi.................................................................................
2.2 Indikasi.................................................................................
13
19
2.7 Komplikasi...........................................................................
19
BAB 3 KESIMPULAN...........................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Umum
Cardiac arrest atau henti jantung merupakan kasus yang sering terjadi di
masyarakat. Setiap menit terdapat 3 orang di seluruh dunia meninggal dunia
akibat cardiac arrest yang tidak teresusitasi dengan baik, di Amerika dan Kanada
diasosiasikan sekitar 0.55 per 1000 populasi. Pada pasien cardiac arrest
dibutuhkan penanganan bantuan hidup dasar untuk tetap menjaga kelangsungan
hidup sebelum mendapat penanganan medis.
Kasus penyebab terjadinya cardiac arrest dapat terjadi kapan saja, di mana
saja, dan pada siapa saja. Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan
jantung terjadi di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan
resusitasi jantung paru otak (RJPO) atau cardiopulmonary cerebral resuscitation
(CPCR).
Menurut American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru
mempunyai hubungan erat dengan rantai kehidupan (chain of survival), karena
bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan dilakukannya RJPO maka
akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali.
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan
kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Penyelamatan ini
akan sangat bermanfaat jika dilakukan sesegera mungkin dan sebaik mungkin.
Keadaan ini bisa disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart
attact), tenggelam, tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain lain. Pada
kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi
oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ organ tubuh terutama organ
vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan
mengalami kerusakan. Oleh karena itu, pengenalan yang dini terhadap henti
jantung dan tindakan segera oleh penolong terus menjadi prioritas untuk AHA
Guidelines for CPR and ECC 2015.
tersebut
berpengaruh
terhadap
keberhasilan
resusitasi
dan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan kembali,
dimaksudkan usaha usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru (RJP)
atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah prosedur kegawat daruratan
medis yang diajukan untuk serangan jantung pada henti nafas. Resusitasi Jantung
Paru adalah kombinasi antara bantuan pernafasan dan kompresi jantung yang
dilakukan pada korban serangan jantung.
2.2. Indikasi RJP
RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernafas
atau hanya tergagap (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti
jantung.
A. Henti napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap / uap / gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung.
Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada dan nafas tidak normal
(gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung Paru.
B. Henti jantung
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak
tepat. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak
termasuk dalam henti jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot
jantung (decomensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti,
aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada
sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu
hipoksia berat, hipovolemia berat, hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama
ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi
asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.
OHCA :
a.
b.
c.
d.
e.
demikian,
rata-rata
kelangsungan
hidupnya
rendah,
yang
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anakanak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun
kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada
henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
2.4. AIRWAY & BREATHING MANAGEMENT
Airway Manajement ialah memastikan jalan napas terbuka. tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran
pernapasan. Dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh.
Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan
Essentia Medica, 1983: 20; Hendrotomo, 1986: 497) tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan,
yaitu dengan cara:
a. Triple manuver
b. Manuver Heimlich
Manuever Heimlich (The Committee on Trauma: American College of
Surgeon (Yayasan Essentia Medica, 1983: 22) ini merupakan metode yang paling
efektif untuk mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau
benda asing yang terperangkap dalam pharynx posterior atau glottis.
Berikut gambaran anatominya
oleh kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh, maka usaha inspirasi dapat
menghisap dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan napas. Sumbatan jalan
napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan mandibula serta dapat
saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi dapat menolong
drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan sumbatan jaringan
lunak hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar lidah seperti diterangkan
diatas tetap diperlukan.
Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan
atau daah dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh
pasien yang tidak sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan
nafas atas pada pasien stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah
dapat disebabkan oleh bronkospasme, sekresi bronkus, sembeb mukosa, inhalasi
isi lambung atau benda asing.
Sumbatan jalan nafas dapat total atau partial.
Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur
atau melengking.
2. Retraksi otot dada kedalam didaerah supraclavicular, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/ membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas meningkat).
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang
lebih
berat.
Tanda-tanda obstruksi total:
Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor
justru menghilang
1. Retarksi lebih jelas
2. gerak paradoksal lebih jelas
10
Head-tilt
Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan manuever triple airway (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda
asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horisontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala
dibawah (head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi.
11
Jangan meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai,
menyebabkan sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi
yang memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau
handuk yang dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi
jangan sekali-kali meletakkan bantal dibawah kepala pasienyang tidak sadar
(dapat menyebabkan leher fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring)
kecuali pada intubasi trakea.
Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban
kesamping, jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk
membersihkan jalan nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu
garis lurus, sementara penolong lain memiringkan korban Posisi mantap
dianjurkan utnuk pasien koma bernafas spontan.
b. Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) dengan Alat
12
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior
faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai
untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan
nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung
untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi
batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks
laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan
spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No
3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada
pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal
airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa
yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi.Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral
airway pada pasien dengan anestesi ringan.
a) Face Mask Design dan Teknik
13
14
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag.
Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask
dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk
ekstensi joint atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan
pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi
jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan
untuk jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi
pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang
asisten untuk memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat
disebabkan karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw
thrust. Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi
palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke
rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan
normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke
lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila
15
face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus
sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata
harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.
b) Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan
pemasangan TT pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu
ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA
memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas
dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang
dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang
memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan
ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi
bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.
LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
16
17
LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal),
atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang
memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara
tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi
jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak
ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian
bronchospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak
sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu
terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi
atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk
jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT
diameter kecil (6,0 mm).
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan
TT yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan
nafas harus bebas seraya pasiennya sadar.
18
19
aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.
Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama.
Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas
area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit
( karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari
kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon,
dan tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan
balon dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari
mukosa tracheal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang
lentur, spiral, wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada
operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis
baja menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan
menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus
lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double
lumen tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak
yang mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.
20
3) Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk
fasilitas intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu
pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung
blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.
21
4) Laringoskop Khusus
Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat,
untuk membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu
22
23
24
25
Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.10
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk
menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat
badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke
dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria
risiko = 2.11 Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi
meliputi :
Lidah besar
Mandibula menonjol
26
Endokrinopati
(Kegemukan,
Acromegali,
Hipotiroid
macroglossia,Gondok)
Nasogastrik tube
27
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis ( hipertensi-takikardi)
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah intubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glotis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
(defibrillation)
dengan
Automated
External
Defibrillator
(AED).
Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan jantung dan stroke juga
termasuk bagian dari BLS.
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung
secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali
bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak
adanya atau berkurangnya respon nafas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan
28
memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang
tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan
menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency
response system semua penolong harus segera memulai RJP.
b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek
nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk
mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis)
dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi
penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif
dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.
29
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
30
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di
bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.
Penyelamatan pernafasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2015
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi.
Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai
RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang
menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah
tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari
kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan nafas dari
mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu.
Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan
penundaan yang lebih singkat.
31
Berikan
volume
tidal
yang
cukup
untuk
menghasilkan
32
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan
emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual
pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan
kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi :
-
Nyalakan AED
Ikuti petunjuk
33
34
35
3. Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira kira minimal 100-120 kali/ menit. Jumlah
kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk
menentukan kembalinya sirkulasi spontan
36
[ROSC]) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan
kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah
serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka
jalan nafas, memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated
Electrical Defibrilator]).
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan
gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat
atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total
kompresi yang diberikan per menit.
4. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1 - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat)
37
38
selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak
bernafas atau sulit bernafas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan
untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau pernafasan yang tidak normal.
Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi
emergency response system.
7. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior
dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat
menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi
selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat
ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan.
Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan
airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah
lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.
Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu
(misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).
8. Aktivasi Emergency Response System.
Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian
respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut
panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan
setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak
merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan
defibrilator elektrik jika tersedia.
9. Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif.
Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan
sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu
ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong
ke-empat mempersiapkan dan defibrilator.
39
Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk
RJP pada neonatus).
Keterangan :
AED, automated external defibrillator;
AP, anterior-posterior;
CPR, cardiopulmonary resuscitation;
HCP, healthcare provider.
*termasuk neonatus dengan kasus henti jantung yang biasanya disebabkan oleh asfiksia.
40
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari
berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif; ada
orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek sehingga
tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah dimulai
resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium
terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan
bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit 1 jam terbukti
tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak,
fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada
pernafasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi.
2.7. Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah edema paru, fraktur iga,
dilatasi lambung, fraktur sternum, vomitus orofaring, vomitus trakea, darah masuk
ke dalam perikard, salah penempatan pipa endotrakeal, ruptur hati, aspirasi, ruptur
lambung atau kontusio miokardial.
BAB III
KESIMPULAN
Resusitasi jantung paru atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) adalah
suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti
nafas tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti
41
nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis.
Indikasi RJP antara lain pada pasien henti nafas dan henti jantung (cardiac
arrest). Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami
henti jantung tiba-tiba, henti jantung menjadi penyebab utama kematian di
beberapa negara. Prosedur ini dapat diterapkan pada pediatri (kecuali bayi baru
lahir) dan dewasa, contohnya pada kasus tenggelam, stroke, obstruksi jalan nafas,
keracunan obat, tercekik, trauma, tersengat listrik, gagal jantung, dan masih
banyak lagi. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Di
perkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di
amerika dan kanada. Perkiran ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan
meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha
untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang
akibat tidak dilakukan resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang
awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa
RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang
awam.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta
melaksanakan banruan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaa RJP yang dipakai
adalah pedoman yang dikeluarkan American Heart Accociation. American Heart
Accociation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada
tahun 2015. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma
bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk masyarakat awam dalam
bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khsus untuk petugas
kesehatan. Perubahan A-B-C ke C-A-B dengan alasan berdasarkan penelitian
sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel ataupun takikardi
ventrikuler, sehingga yang paling dibutuhkan adalah kompresi dada dan defibrilasi
segera, selain itu jika kompresi dada dilakukan pertama kali maka ventilasi hanya
akan tertunda sejenak sampai siklus pertama kompresi dada selesai (30 kompresi
yang diperkirakan menghabiskan waktu sekitar 18 detik).
42
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Zaritsky A. Morley P.2005 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Editorial : The evidence evaluation process for the 2005 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III128-III-130
2. International Liaison Committee on Resuscitation 2005 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiocascular
Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III-1III-136.
3. http: www.kesad.mil.id/content/perubahan-paradigma-resusitasi-jantung-paru%E2%80%90-abc-cab%E2%80%90
4. Field, John M.Hazinski, Mary Fran. Sayre, Michael R. et al. 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency
Cardiovascular
Care.
2010.
Diakses
dari
http://circ.ahajournal.org.cgi/content/full/122/18_suppl_3/S640
5. Andrey. Resusitasi Jantung Paru pada Kegawatan Kardiovaskuler. 2008.
Diakses dari http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantungparu-pada-kegawatan-kardiovaskuler/
6. Cardiopulmonary
Resuscitation.
2009.
Diakses
dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Cardipulmonary_resuscitation
7. Latief, Said A.Suryadi, Kartini A. Dachlan, M Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK UI.2009.
8. Morgan, G Edward, Jr, MD. Mikhail, Maged S, MD. Murray, Michael J,
MD,PhD. et. al. Clinical Anesthesiology. 3rd edition USA : The McGraw-Hill
Companies,Inc.2002.
9. Alena
Lira,
MD.
2011.
Cardio
http://emedicine.medscape.com/article/1344081
44
Pulmonary
Rususcitation.
10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
11. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed.
2000.
12. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
13. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and
ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of
Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007.
45