Você está na página 1de 49

REFERAT

ILMU ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK

Pembimbing:
dr. Nicolaas P. Simamora, Sp.An

Penyusun:
Enrico J Hartono

2015.04.2.0049

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2014

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
ILMU ANESTESI
RJPO

Judul Referat RJPO telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu
tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di
bagian Ilmu Anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya

Mengetahui:
Pembimbing

dr. Nicolaas P.S, Sp.An

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya akhirnya referat yang berjudul Resusitasi Jantung Paru
Otak ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penyusunan referat ini merupakan salah satu tugas yang harus
dilaksanakan sebagai bagian dari kepaniteraan Ilmu Anestesi di RSAL Surabaya.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kami ucapkan pada semua pihak yang telah
membantu penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Nicolaas P S, Sp.An yang
membimbing penyusunan referat ini.
Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami menyadari
referat ini masih jauh dari nilai kesempurnaan, oleh karena itu kritik maupun
saran yang membangun selalu diharapkan.

Surabaya, 29 Januari, 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...................................................................................

Kata Pengantar...........................................................................................

ii

Daftar isi....................................................................................................

iii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................

1.1 Umum...................................................................................

BAB 2 PEMBASAHAN..........................................................................

2.1 Definisi.................................................................................

2.2 Indikasi.................................................................................

2.3 Resusitasi Jantung Paru........................................................

2.4 Basic Life Support................................................................

2.5 Panduan RJP 2015................................................................

13

2.6. Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi..................

19

2.7 Komplikasi...........................................................................

19

BAB 3 KESIMPULAN...........................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA................................................................................

22

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Umum
Cardiac arrest atau henti jantung merupakan kasus yang sering terjadi di
masyarakat. Setiap menit terdapat 3 orang di seluruh dunia meninggal dunia
akibat cardiac arrest yang tidak teresusitasi dengan baik, di Amerika dan Kanada
diasosiasikan sekitar 0.55 per 1000 populasi. Pada pasien cardiac arrest
dibutuhkan penanganan bantuan hidup dasar untuk tetap menjaga kelangsungan
hidup sebelum mendapat penanganan medis.
Kasus penyebab terjadinya cardiac arrest dapat terjadi kapan saja, di mana
saja, dan pada siapa saja. Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan
jantung terjadi di rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan
resusitasi jantung paru otak (RJPO) atau cardiopulmonary cerebral resuscitation
(CPCR).
Menurut American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru
mempunyai hubungan erat dengan rantai kehidupan (chain of survival), karena
bagi penderita yang terkena serangan jantung, dengan dilakukannya RJPO maka
akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali.
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan
kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Penyelamatan ini
akan sangat bermanfaat jika dilakukan sesegera mungkin dan sebaik mungkin.
Keadaan ini bisa disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart
attact), tenggelam, tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain lain. Pada
kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi
oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ organ tubuh terutama organ
vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan
mengalami kerusakan. Oleh karena itu, pengenalan yang dini terhadap henti
jantung dan tindakan segera oleh penolong terus menjadi prioritas untuk AHA
Guidelines for CPR and ECC 2015.

Bantuan hidup dasar bukan merupakan suatu tindakan tunggal melainkan


terdiri dari evaluasi dan intervensi. Evaluasi cardiac arrest, pernafasan, dan
resusitasi jantung paru. Pada konsensus American Heart Association 2005
membahas mengenai semua aspek deteksi dan penangan cardiac arrest.
Konsesnsus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar dengan prinsip ABC airway
breathing dan circulation, namun kembali dilakukan konsensus pada tahun 2010,
dan terjadi perubahan prinsip menjadi CAB circulation, airway dan breathing.
Perbedaan

tersebut

berpengaruh

terhadap

keberhasilan

resusitasi

dan

kelangsungan hidup seseorang.


hasil konsensus 2010 hingga saat ini masih menjadi panduan utama hingga
pada konsensus 2015 dilakukan beberapa tambahan dan sedikit perubahan
mengikuti perkembangan teknologi dan semakin memudahkan untuk dipelajari.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan kembali,
dimaksudkan usaha usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung Paru (RJP)
atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah prosedur kegawat daruratan
medis yang diajukan untuk serangan jantung pada henti nafas. Resusitasi Jantung
Paru adalah kombinasi antara bantuan pernafasan dan kompresi jantung yang
dilakukan pada korban serangan jantung.
2.2. Indikasi RJP

RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernafas
atau hanya tergagap (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti
jantung.
A. Henti napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap / uap / gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung.
Untuk orang awam, jika tidak ada gerakan dada dan nafas tidak normal
(gasping), segera lakukan Resusitasi Jantung Paru.

B. Henti jantung
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk
memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan
dapat kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak
tepat. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak
termasuk dalam henti jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot
jantung (decomensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti,
aliran darah koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada
sternum, dan sumbatan koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu
hipoksia berat, hipovolemia berat, hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama

ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi
asistol. Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.

2.3. RESUSITASI JANTUNG PARU


Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of
Survival, yang meliputi :

Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency


response system

RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada

Defibrilasi yang cepat

Advanced life support yang efektif

Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi

sedangkan berdasarkan AHA 2015 hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu


OHCA (Outside Hospital Cardiac Arrest) dan IHCA (Intra Hospital Cardiac
Arrest) sebagai berikut :
IHCA :
a.
b.
c.
d.
e.

Surveilans dan pencegahan


Pengenalan dan aktivasi keadaan darurat
CPR berkualitas yang cepat
defibrilasi yang cepat
penatalaksanaan life support dan postarrest yang baik

OHCA :
a.
b.
c.
d.
e.

pengenalan dan segera menghubungi tim tanggap gawat darurat


CPR cepat dan berkualitas
defibrilasi cepat
penatalaksanaan medis dasar dan lanjutan
penatalaksanaan life support dan post arrest lanjutan

Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan rangkaian


tersebut diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup pada penderita
henti jantung sebesar 50%. Pada sebagian besar sistem kegawatdaruratan,
meskipun

demikian,

rata-rata

kelangsungan

hidupnya

rendah,

yang

mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan untuk meningkatkan rata-rata


kelangsungan hidup dengan pemeriksaan setiap mata rantai secara cermat dan
memperkuat mata rantai yang lemah. Mata rantai yang satu tergantung dengan
mata rantai yang lainnya, dan kesuksesan dari setiap mata rantai tergantung dari
keefektifan mata rantai sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan
kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga
bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini
seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari
komponen RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap

penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.

Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anakanak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun
kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada
henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
2.4. AIRWAY & BREATHING MANAGEMENT
Airway Manajement ialah memastikan jalan napas terbuka. tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran
pernapasan. Dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh.
Menurut The Commite on Trauma: American College of Surgeon (Yayasan
Essentia Medica, 1983: 20; Hendrotomo, 1986: 497) tindakan paling penting
untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran pernapasan,
yaitu dengan cara:
a. Triple manuver

Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:

Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher,


sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu tangan

dan kepala ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang lain


Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah obtruksi
hipofarings oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan jaringan

antara larings dan rahang bawah.


Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx posterior.

b. Manuver Heimlich
Manuever Heimlich (The Committee on Trauma: American College of
Surgeon (Yayasan Essentia Medica, 1983: 22) ini merupakan metode yang paling
efektif untuk mengatasi obstruksi saluran pernapasan atas akibat makanan atau
benda asing yang terperangkap dalam pharynx posterior atau glottis.
Berikut gambaran anatominya

Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah hipofaring,


terjadi pada pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat
mengangkat dasar lidah dari dinding belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada
posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh karena itu ekstensi kepala merupakan
langkah pertama yang terpenting dalam resusitasi, karena gerakan ini akan
meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan terangkat dari
dinding belakang faring. Kadang-kadang sebagai tambahan diperlukan
pendorongan mandibula kedepan untuk meregangkan leher anterior, lebih-lebih
jika sumbatan hidung memerlukan pembukaan mulut. Hal ini akan mengurangi
regangan struktur leher tadi. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula
kedepan dan pembukaan mulut merupakan gerak jalan napas tripel. Pada kirakira 1/3 pasien yang tidak sadar rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena
palatum molle bertindak sebagai katup. Selain itu rongga hidung dapat tersumbat

oleh kongesti, darah atau lendir Jika dagu terjatuh, maka usaha inspirasi dapat
menghisap dasar lidah ke posisi yang menyumbat jalan napas. Sumbatan jalan
napas oleh dasar lidah bergantung kepada posisi kepala dan mandibula serta dapat
saja terjadi lateral, terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi dapat menolong
drainase benda asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan sumbatan jaringan
lunak hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar lidah seperti diterangkan
diatas tetap diperlukan.
Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan
atau daah dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh
pasien yang tidak sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan
nafas atas pada pasien stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah
dapat disebabkan oleh bronkospasme, sekresi bronkus, sembeb mukosa, inhalasi
isi lambung atau benda asing.
Sumbatan jalan nafas dapat total atau partial.
Tanda-tanda obstruksi partial:
1. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur
atau melengking.
2. Retraksi otot dada kedalam didaerah supraclavicular, suprasternal, sela iga
dan epigastrium selama inspirasi
3. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi dinding dada menjadi cekung/datar
bukannya mengembang/ membesar).
4. Balon cadangan pada mesin anestesi kembang kempisnya melemah.
5. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot nafas meningkat).
6. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang
lebih
berat.
Tanda-tanda obstruksi total:
Serupa dengan obstruksi partial, akan tetapi gejalanya lebih hebat dan stridor
justru menghilang
1. Retarksi lebih jelas
2. gerak paradoksal lebih jelas

3. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas.


4. Balon cadangan tidak kembang kempis lagi.
5. Sianosis lebih cepat timbul.
Sumbatan total tidak berbunyi dan menyebabkan asfiksia (hipoksemia
ditambah hiperkarbia), henti nafas dan henti jantung (jika tidak dikoreksi) dalam
waktu 5 10 menit. Sumbatan partial berisik dan harus pula dikoreksi segera,
karena dapat menyebabkan kerusakan otak hipoksik, sembab otak atau paru dan
penyulit lain serta dapat menyebabkan kepayahan, henti nafasdan henti jantung
sekunder.
2.4.1. AIRWAY MANAGEMENT
a. Tindakan penguasaan jalan nafas darurat.
Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan
papan kalau pasien diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan
menyumbat faring dan epiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglotis
penyebab utama tersumbatnya jalan nafas pada pasien tidak sadar. Untuk
menghindari hal ini dilakukan beberapa tindakan, yaitu:
1. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift manuever)
Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain
mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap
keatas dan epiglotis terbuka, sniffing position, posisi hitup.
chin lift

10

Head-tilt

2. Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuever)


Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangakat didorong
kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala leher. Karena lidah
melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan nafas
terbuka.

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit, letakkan pasien dalam posisi
terlentang, lakukan manuever triple airway (kepala tengadah, rahang didorong
kedepan, mulut dibuka) dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda
asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan nafas buatan.
Pasien tidak sadar hendaknya diletakan horisontal, tetapi kalau diperlukan
pembersihan jalan nafas maka pasien dapat diletakkan dengan posisi kepala
dibawah (head down tilt) untuk mengeluarkan benda asing cair oleh gravitasi.

11

Jangan meletakkan pasien pada posisi telungkup karena muka sukar dicapai,
menyebabkan sumbatan mekanis dan mengurang kekembungan dada.
Posisi lurus terlentang ditopang dianjurkan utnuk pasien koma diawasi
yang memerlukan resusitasi. Peninggian bahu dengan meletakkan bantal atau
handuk yang dilipat dibawahnya mempermudah ekstensi kepala. Akan tetapi
jangan sekali-kali meletakkan bantal dibawah kepala pasienyang tidak sadar
(dapat menyebabkan leher fleksi sehingga menyebabkan sumbatan hipofaring)
kecuali pada intubasi trakea.
Pada kasus trauma pertahankanlah kepala-leher-dada pada satu garis lurus.
Ekstensikan kepala sedang, jangan maksimum. Jangan memutar kepala korban
kesamping, jangan memfleksikan kepalanya. Jika korban harus dimiringkan untuk
membersihkan jalan nafasnya, pertahankanlah kepala-leher-dada tetap dalam satu
garis lurus, sementara penolong lain memiringkan korban Posisi mantap
dianjurkan utnuk pasien koma bernafas spontan.
b. Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) dengan Alat

12

Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi
menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior
faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai
untuk membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan
nafas buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung

untuk menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi
batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks
laring masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan
spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No
3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada
pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal
airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa
yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi.Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral
airway pada pasien dengan anestesi ringan.
a) Face Mask Design dan Teknik

13

Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas


anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan
rapat (gambar 5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka
pasien. Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui
konektor. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan
muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk
menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai
untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.
Beberapa macam mask untuk pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face
mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit
breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

14

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag.
Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask
dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk
ekstensi joint atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan
pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi
jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan
untuk jaw thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi
pasien.
Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang
asisten untuk memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat
disebabkan karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw
thrust. Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi
palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke
rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan
normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke
lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila

15

face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus
sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata
harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.
b) Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask dan TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan
pemasangan TT pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu
ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA
memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas
dibandingkan combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang
dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang
memiliki lubang untuk memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan
ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi
bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara

16

membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah


ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam
dibandingkan untuk memasukan oral airway. Posisi ideal dari balon adalah dasar
lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian
atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau
regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang
adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya
dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba
dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan
oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka
memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau
bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian
juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa
di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak
terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada
tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai
dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat
dipakai lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia
dalam berbagai ukuran (tabel 5-3).

17

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.
Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal),
atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang
memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara
tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi
jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak
ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian
bronchospasme lebih kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak
sebagai penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu
terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi
atau diintubasi) disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka
keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk
jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT
diameter kecil (6,0 mm).
Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan
TT yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan
nafas harus bebas seraya pasiennya sadar.

c) Esophageal Tracheal Combitube (ETC)


1) Teknik & Bentuk Pipa
Pipa kombinasi esophagus tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,
masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang
lebih panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang tranparant berukuran yang lebih
pendek punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini
biasanya dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2
lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2
balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal dan 15 ml untuk balon

18

distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa


yang bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung.
Pilihan lain, jika ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening
akan langsung gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai
pilihan untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced
Cardiac Life Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih
suka memakai LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas
yang sulit.
2) Pipa Tracheal (TT)
TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea
dan mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan
standar TT (American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79).
TT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda
IT atau Z-79 untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun.
Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung
pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita
suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi
resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau
trachea.
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola
dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala
Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa
selalu hasil kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.
Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri
dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon TT
mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan

19

aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama.
Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas
area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit
( karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari
kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon,
dan tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan
balon dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari
mukosa tracheal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang
lentur, spiral, wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada
operasi kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis
baja menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan
menggigit pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus
lainnya termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double
lumen tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak
yang mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.

20

3) Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk
fasilitas intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu
pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung
blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan


diruang MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk
lurus. Pemilihan dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi
pasien. Disebabkan karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi
harus familier dan ahli dengan bentuk blade yang beragam.

21

4) Laringoskop Khusus
Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat,
untuk membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan
nafas yang sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu

22

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung


dengan ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis
pada pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior.
Banyak dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang
memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang
digunakan jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada
pasien normal sebelum digunakan pada saat penting dan memergensi pada pasien
dengan jalan nafas sulit.
5) Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)
Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang
tidak stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan
kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi
langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan
atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibelmemungkin visualisasi tidak
langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana
direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB dibuat dari fiberglass ini
mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya
akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000
fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya
bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan
gambaran resolusi tinggi.

23

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat


yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi
oksigen atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk
dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehatihatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan.

Indikasi dan kontraindikasi Intubasi


Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas,
menyediakan saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka
panjang, meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap
pasien dengan keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan
yang terjadi, ventilasi yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal
pada saat pembedahan, menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak
anestesi dari kepala, memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap,
duduk, lateral, kepala ke bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea
selama operasi saluran napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran
napas yang adekuat, melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk
mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal. Kontraindikasi intubasi

24

endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi


tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.2
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan
menjalani operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa
orotrakeal, diameter maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi
nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi
cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini sudah jarang
dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan
napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi
pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal
secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang
masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk
penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah
mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari
pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada
tulang ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.2
Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit
dilakukan intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan
intubasi), diduga adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan
kompresi, menghindari ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang
tidak stabil), resiko tinggi kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan
intubasi pada keadaan sadar.2
Kesulitan Intubasi
Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum
intubasi seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat
menghalangi akses jalan napas.8 Pemeriksaan jalan napas melibatkan
pemeriksaan keadaan gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi
seri menonjol. Visualisasi dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan
oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada
visualisasi orofaring. Pasien duduk membuka mulutnya dan menjulurkan
lidah.9,10

25

Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.10
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk
menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat
badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke
dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria
risiko = 2.11 Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi
meliputi :

Lidah besar

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Mandibula menonjol

Maksila atau gigi depan menonjol

Mobilitas leher terbatas

Pertumbuhan gigi tidak lengkap

Langit-langit mulut sempit

Pembukaan mulut kecil

Anafilaksis saluran napas

Arthritis dan ankilosis cervical

26

Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre


Robin (micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis),Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)

Endokrinopati

(Kegemukan,

Acromegali,

Hipotiroid

macroglossia,Gondok)

Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,


retropharyngeal abses,epiglottitis)

Massa pada mediastinum

Myopati menunjukkan myotoniaatau trismus

Jaringan parut luka bakar atau radiasi

Trauma dan hematoma

Tumor dan kista

Benda asing pada jalan napas

Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah


dan kepala, Kumis, jenggot

Nasogastrik tube

Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru. 2,11,12,13,14,15

Gambar Kesulitan Intubasi Trakea 16


Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis
dan epiglotis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis
terlihat; Kelas 4: tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai
'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.

27

Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis ( hipertensi-takikardi)
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah intubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glotis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea

2.5. BASIC LIFE SUPPORT (BLS)


Basic Life Support atau Bantuan Hidup Dasar sudah sering diperkenalkan
pada kasus kegawatdaruratan. Dalam perkembangannya, metode BLS selalu
mengalami penyempurnaan. Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas
dikenal adalah suatu konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada
setiap kondisi. Aspek dasar dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara
cepat henti jantung yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system
(activation), resusitasi jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang
cepat

(defibrillation)

dengan

Automated

External

Defibrillator

(AED).

Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan jantung dan stroke juga
termasuk bagian dari BLS.
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung
secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali
bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak
adanya atau berkurangnya respon nafas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan

28

memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang
tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan
menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency
response system semua penolong harus segera memulai RJP.
b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek
nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk
mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis)
dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi
penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif
dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru dini


Kompresi Dada

29

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan


bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan
aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara
langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen
menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk
menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti
jantung harus mendapatkan kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan
cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling
sedikit 100 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm)
menurut 2010 dan dirubah oleh AHA 2015 menjadi minimal 100-120 x/ menit
dengan kedalaman minimal 6 cm. Penolong harus memberi kesempatan agar
daya rekoil paru dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk
memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum
kompresi berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi
frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk
memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap menit.

Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil

30

terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di
bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.

Penyelamatan pernafasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2015
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi.
Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai
RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi yang
menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah
tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari
kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan nafas dari
mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu.
Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan
penundaan yang lebih singkat.

31

Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih


harus memberikan nafas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui
bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
-

Memberikan setiap nafas buatan selama satu detik

Berikan

volume

tidal

yang

cukup

untuk

menghasilkan

pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)


-

Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2

Ketika jalan nafas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu,


atau laryngeal mask airway [LMA]) telah dipasang selama RJP
dengan dua orang penyelamat, berikan nafas setiap 6-8 detik tanpa
menyesuaikan nafas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh
berhenti untuk memberikan ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED


Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrilation) (bila
AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk
memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR
berkualitas tinggi.

32

Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan
emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual
pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan
kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.

Tahapan defibrilasi :
-

Nyalakan AED

Ikuti petunjuk

Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan


gangguan)

33

34

2.5. PANDUAN RJP 2015


1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus
Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang
penting dalam resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan kemungkinan
kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan
paru. Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti
jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber
daya yang tersedia. AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 mengutamakan
kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:

Kecepatan kompresi paling sedikit 120 x/menit (perubahan dari

kurang lebih 100-120 x/menit)


Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan
paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada
penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2
inchi [5cm] pada anak-anak)
Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan
kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi

sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC


Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap

setiap kali selesai kompresi


Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada
Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi


yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang
baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 meneruskan rekomendasi
untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah
dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan
kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi.
Nafas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik
(sekitar 8-10 nafas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.
2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-BreathingCirculation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk

35

menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan


efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu
yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong
yang seorang diri.
Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling
umum adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada
penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi
dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali
tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas buatan,
mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi.
Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu
untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan
perkecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini
berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga komponen ini dihilangkan dari
panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai
sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus
pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar
penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan
pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal
tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang
dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan
memberikan nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

3. Rata-rata kompresi
Sebaiknya dilakukan kira kira minimal 100-120 kali/ menit. Jumlah
kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk
menentukan kembalinya sirkulasi spontan

36

(return of spontaneous circulation

[ROSC]) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan
kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah
serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka
jalan nafas, memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated
Electrical Defibrilator]).
Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan
gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat
atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total
kompresi yang diberikan per menit.
4. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1 - 2 inch
menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan
cepat)

menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada

jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan


meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.
Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk
dialirkan ke jantung dan otak.

37

5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)


Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.
Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh
penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli
melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil
yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.

6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher Identification


of Agonal Gasps)
Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan baik
untuk mengidentifikasi antara pernafasan normal dengan pernafasan agonal,

38

selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak
bernafas atau sulit bernafas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan
untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau pernafasan yang tidak normal.
Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan sebelum aktivasi
emergency response system.
7. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior
dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid dapat
menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi
selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat
ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan.
Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan
airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah
lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.
Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu
(misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).
8. Aktivasi Emergency Response System.
Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah penilaian
respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak ditunda. Menurut
panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem kegawatdaruratan dilakukan
setelah korban yang tidak merespon. Jika penyedia pelayanan kesehatan tidak
merasakan nadi selama 10 detik, RJP harus segera dimulai dan menggunakan
defibrilator elektrik jika tersedia.
9. Tim Resusitasi
Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan efektif.
Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan
sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga membantu
ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernafasan dan penolong
ke-empat mempersiapkan dan defibrilator.

39

Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk
RJP pada neonatus).

Keterangan :
AED, automated external defibrillator;
AP, anterior-posterior;
CPR, cardiopulmonary resuscitation;
HCP, healthcare provider.
*termasuk neonatus dengan kasus henti jantung yang biasanya disebabkan oleh asfiksia.

2.6. KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI

40

Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari
berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif; ada
orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek sehingga
tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah dimulai
resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium
terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan
bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit 1 jam terbukti
tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak,
fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada
pernafasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi.
2.7. Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah edema paru, fraktur iga,
dilatasi lambung, fraktur sternum, vomitus orofaring, vomitus trakea, darah masuk
ke dalam perikard, salah penempatan pipa endotrakeal, ruptur hati, aspirasi, ruptur
lambung atau kontusio miokardial.

BAB III
KESIMPULAN
Resusitasi jantung paru atau cardiopulmonary resuscitation (CPR) adalah
suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti
nafas tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti

41

nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah
kematian biologis.
Indikasi RJP antara lain pada pasien henti nafas dan henti jantung (cardiac
arrest). Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami
henti jantung tiba-tiba, henti jantung menjadi penyebab utama kematian di
beberapa negara. Prosedur ini dapat diterapkan pada pediatri (kecuali bayi baru
lahir) dan dewasa, contohnya pada kasus tenggelam, stroke, obstruksi jalan nafas,
keracunan obat, tercekik, trauma, tersengat listrik, gagal jantung, dan masih
banyak lagi. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Di
perkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di
amerika dan kanada. Perkiran ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan
meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha
untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang
akibat tidak dilakukan resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang
awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa
RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang
awam.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta
melaksanakan banruan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaa RJP yang dipakai
adalah pedoman yang dikeluarkan American Heart Accociation. American Heart
Accociation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan revisi terbaru pada
tahun 2015. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan memberikan 2 algoritma
bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk masyarakat awam dalam
bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma khsus untuk petugas
kesehatan. Perubahan A-B-C ke C-A-B dengan alasan berdasarkan penelitian
sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel ataupun takikardi
ventrikuler, sehingga yang paling dibutuhkan adalah kompresi dada dan defibrilasi
segera, selain itu jika kompresi dada dilakukan pertama kali maka ventilasi hanya
akan tertunda sejenak sampai siklus pertama kompresi dada selesai (30 kompresi
yang diperkirakan menghabiskan waktu sekitar 18 detik).

42

43

DAFTAR PUSTAKA
1. Zaritsky A. Morley P.2005 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Editorial : The evidence evaluation process for the 2005 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III128-III-130
2. International Liaison Committee on Resuscitation 2005 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiocascular
Care Science with Treatment Recommendations. Circulation. 2005; 112: III-1III-136.
3. http: www.kesad.mil.id/content/perubahan-paradigma-resusitasi-jantung-paru%E2%80%90-abc-cab%E2%80%90
4. Field, John M.Hazinski, Mary Fran. Sayre, Michael R. et al. 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency

Cardiovascular

Care.

2010.

Diakses

dari

http://circ.ahajournal.org.cgi/content/full/122/18_suppl_3/S640
5. Andrey. Resusitasi Jantung Paru pada Kegawatan Kardiovaskuler. 2008.
Diakses dari http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantungparu-pada-kegawatan-kardiovaskuler/
6. Cardiopulmonary

Resuscitation.

2009.

Diakses

dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Cardipulmonary_resuscitation
7. Latief, Said A.Suryadi, Kartini A. Dachlan, M Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK UI.2009.
8. Morgan, G Edward, Jr, MD. Mikhail, Maged S, MD. Murray, Michael J,
MD,PhD. et. al. Clinical Anesthesiology. 3rd edition USA : The McGraw-Hill
Companies,Inc.2002.
9. Alena

Lira,

MD.

2011.

Cardio

http://emedicine.medscape.com/article/1344081

44

Pulmonary

Rususcitation.

10. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
11. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed.
2000.
12. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
13. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and
ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of
Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
14. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

45

Você também pode gostar