Você está na página 1de 14

Asas-Asas dan Teori Pembentukan Perundang-Undangan

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman pada asasasas pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma.
Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik menurut I.C. van
der Vlies dalam bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua
kelompok yaitu:34
Asas-asas formil:
1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan


manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap

jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ


pembentuk peraturan perundagundagan yang berwenang; peraturan
perundangundangan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi
hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak
berwenang;
3) Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
4) Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van uitvoerbaarheid),

yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan


pada perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya
dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan
baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
5) Asas konsensus (het beginsel van de consensus).

Asas-asas materiil:
1) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
2)
3)
4)
5)

terminologie en duidelijke systematiek);


Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van
de individuele rechtsbedeling).

Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan kepada pembentuk
undang-undang agar selalu memperhatikan asas pembentukan peraturan
perundangundangan yang baik dan asas materi muatan. Dalam membentuk
Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1) asas kejelasan tujuan , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;


2)

asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat , bahwa setiap jenis
Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau

3) pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang,


4) Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi

hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang;
5) asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan , bahwa dalam

Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
harus
benarbenar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan;
6) asas dapat dilaksanakan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan


tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
7) asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap Peraturan perundang-

undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat


dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
8) asas kejelasan rumusan, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus

memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan,


sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya;
9) asas keterbukaan,

bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan.


Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
1) asas

pengayoman,
bahwa
setiap
Materi
Perundangundangan harus berfungsi memberikan
menciptakan ketentraman masyarakat;

Muatan
Peraturan
pelindungan untuk

2) asas

kemanusiaan,
bahwa
setiap
Materi
Muatan
Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional;

3) asas kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) asas

kekeluargaan,
bahwa
setiap
Materi
Muatan
Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;

5) asas

kenusantaraan,
bahwa
setiap
Materi
Muatan
Peraturan
Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

6) asas

bhinneka tunggal ika,


bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku
dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

7) asas keadilan , bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara;


8) asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan , bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang


bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial;

9) asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat


melalui jaminan kepastian;
10) asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan
Perundang-undangan
harus
mencerminkan
keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara;
11) asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang

bersangkutan, antara lain:


dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah, dalam
Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan,
kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan perundangundangan dan penentu kebijakan dalam membentuk peraturan perundangundangan. Semua asas di atas, harus terpateri dalam diri penentu kebijakan yang
akan membentuk peraturan perundangundangan yang biasanya diwujudkan dalam
bentuk-bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah
pentingnya membentuk peraturan ini? Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi
kemaslahatan masyarakat? Tidakkah instrumen lain, selain peraturan, sudah cukup?
Dalam menyusun substansi yang diinginkan oleh penentu kebijakan, pembentuk
peraturan perundang-undangan harus selalu bertanya, apakah rumusan tersebut
sudah jelas dan tidak menimbulkan penafsiran?
Di luar asas-asas di atas, dalam ilmu hukum atau ilmu perundangundangan, diakui
adanya beberapa teori atau asas-asas yang selalu mengikuti dan mengawali
pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara umum teori dan asas-asas
terserbut dijadikan acuan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan, ada beberapa teori yang perlu
dipahami oleh perancang yakni teori jenjang norma. Hans Nawiasky, salah satu
murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma
dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine
Rechtslehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen, suatu norma
hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang di bawah
berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan begitu
seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dari
teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis

dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok.


mengelompokkan menjadi 4 kelompok besar yakni :
1)
2)
3)
4)

Nawiasky

Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);


Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);
Formell Gezetz (undang-undang formal);
Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

Kelompok norma di atas hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum di
setiap negara, walaupun istilahnya dan jumlah norma yang berbeda dalam setiap
kelompoknya.
Di Indonesia, norma fundamental negara adalah Pancasila dan norma ini harus
dijadikan bintang pemandu bagi perancang dalam membentuk peraturan perundangundangan. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap
materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sumber tulisan:
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan:Dasar-dasar dan
Pembentukannya
Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-Undangan, Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, 2008.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.

ASAS-ASAS PERKAWINAN
Pengertian Perkawinan
KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Perkawinan dalam
hukum perdata adalah perkawinan perdata, maksudnya adalah perkawinan hanya
merupakan ikatan lahiriah antara pria dan wanita, unsur agama tidak dilihat. Tujuan
perkawinan tidak untuk memperoleh keturunan oleh karena itu dimungkinkan
perkawinan in extrimis.
Sebaliknya, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan hanya ikatan
lahiriah saja, tapi juga ada ikatan batiniah, dimana ikatan ini didasarkan pada
kepercayaan calon suami isteri. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.
Asas Asas Perkawinan
1. Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata
a. Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
b. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan

pegawai catatan sipil.


c. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan di bidang hukum keluarga.


perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang.
e. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.
f. Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
g. Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu.
d. Supaya

2. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


a. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu

harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.


b. Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974).

c.
d.
e.
f.
g.

Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang
wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3
ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam
Pasal 4-5.
Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undangundang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan
tersebut.
Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.

AZAS DAN PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN


UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
Pendahuluan
Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap
mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasanga, sebagaimana firman Allah
dalam surat Yasin ayat 36. Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan lebuh mulia
dari makhluk yang lainnya sehingga karenanya Allah telah menetapkan adanya
aturan dan tata cara secara khusus sebagai landasan untuk mempertahakan
kelebihan derajat yang namanya makhluk menuasia disbanding dengan jenis
makhluk lainnya.
2. Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
maka teori resepsiseperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus
dengan sendirinya.
Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku di
Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyatanyata diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal tertentu dalam
Undang-Undang Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk menerima dalil
bahwa Hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan
bantuan atau peraturan Hukum Adat. Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga
pendapat yang dikemukakan bahwa sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori
maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisce Staatsregeling telah
terhapus dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 19 ayat 2 yang
memuat ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan
kepercayaannya. Dari ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas. Maka pemerintah
berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan Hukum Islam,
sejauh mana peraturan-peraturan itu diperuntukan bagi warga negara yang
beragama Islam. Jadi berlakunya Hukum Islam bagi warga negara Indonesia yang

beragam Islam tidak usah melihat apakah hukum Islam telah menjadi hukum adat
atau belum
Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun
1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau secara sepintas dapat
dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya peraturan perundangundangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975 hanya ada satu
peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara Indonesia tanpa
melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut dalam pasal 66
Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya Undangundang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk
Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74), Peraturan Ordonantie
Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898 Nopember. 158,
dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak tepat, sebab
menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak berlaku
bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara keseluruhan melainkan
hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam
Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.
Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih tetap berlakunya hukum
Perkawinan Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara tegas disebutkan
dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa
perkawinan adalah sah pabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Dengan demikian maka hal-hal yang belum diatur dan tidak
bertentangan dengan Undang-undang Perkawinan ini. tetap berlaku menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya, maka bagi warga negara Indonesia
yang beragam Islam yang hendak melakukan perkawinan supaya sah harus
dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan Islam. Dengan demikian maka
maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar
hukum berlakuknya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturanperaturan khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang beragama Islam.
3. Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam.
Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat
penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan
9

diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya
tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala
persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan
kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara
untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya
perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan lainlain.
4. Pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khusus bagi orang Islam
adalah sebagai berikut:
a. Dengan melakukan perkawinan yang sah dan dapat terlaksana pergaulan hidup
manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara
terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang
terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
b. Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga dimana
dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram
suami istri.
c. Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam
keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.
d. Dengan terjadimnya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang
merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan
timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana
damai.
e. Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diatur dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah
bagi umat Islam.
5. Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan
Undang-undang Perkawinan.
Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu :
a. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan
perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk
mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan
atau tidak.
b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
c. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan
dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah
tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
e. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana
tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

10

6. Adapaun prinsip-prinsip atau asas-asas perkawinan menurut Undang-undang


Perkawinan, disebtkan didalam penjelasan umumnya sebagai berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk
itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual
dan material.
b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun
hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan
apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan
Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian,
dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena
perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka
untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya
perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas
umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju
kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih
tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta
harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan
Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama suami istri.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan
menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada
perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

11

Segala peraturan perundang-undangan secara normatifitas pada biasanya


disandarkan kepada kaidah atau asas hukum tertentu. Begitu juga dengan UndangUndang Perkawinan, secara kesuluruhan memiliki asas hukum tersendiri yang tidak
dimiliki oleh undang-undang pada umumnya. Asas hukum dalam suatu norma hukum
mengandaikan adanya suatu tujuan yang akan diciptakan oleh pembuat hukum atau
undang-undang tersebut.
asas hukum Undang-Undang Perkawinan menurut C.S.T. Cansil[15]
1. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang


bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
2. Sahnya Perkawinan

Perkawinan dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum masing-masing


agama dan kepercayaannya, dan selanjutnya dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tata cara pencatatan perkawinan sama
dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting kehidupan seseorang lainnya.
Seperti kelahiran, kematian dan lain-lain.
3. Asas Monogami

Undang-undang perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila


dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang
isteri. Meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, akan
tetapi hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.[24]
4. Prinsip Perkawinan

Menurut C.S.T. Cansil undang-undang perkawinan menganut prinsip, bahwa


calon suami isteri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Oleh karena itu tidak dibenarkan adanya perkawinan antara calon suami isteri
yang masih di bawah umur. Di samping itu menurut Cansil perkawinan
berhubungan dengan kependudukan. Menurutnya perkawinan di bawah umur
bagi seorang wanita akan mengakibatkan laju kelahiran meningkat.[25]

12

5. Mempersukar Terjadinya Perceraian

Berjalan linier dengan tujuan perkawinan, maka undang-undang perkawinan


menganut asas untuk mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian
dibenarkan oleh karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang
serta dilakukan di depan sidang pengadilan.[26]
6. Hak dan Kedudukan Isteri

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian menurut Cansil segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami dan isteri.
Abdul Manan menjelaskan bahwa asas-asas perkawinan yang dimuat dalam
Undang-undang Perkawinan yaitu ada 6 (enam).[16] Keenam asas tersebut
adalah sebagai berikut
1. Asas Sukarela
2. Asas Partisipasi Keluarga
3. Perceraian Dipersulit
4. Poligami Dibatasi dengan Ketat
5. Kematangan Calon Mempelai
6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita

Sedangkan menurut Undang-Undang, No 1 Tahun 1974


Undang-Udang ini mengatur prinsip,[17] bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat
keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara
calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran
yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang
masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan
dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang
Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar
tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan

13

tertentu[18] (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan


di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi
golongan luar Islam.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan
menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada
perbedaan yang prinsipil atau mendasar.
Hal serupa juga dijelaskan oleh musdah muliah[19] yang didasarkan pada ayat-ayat
al-Quran bahwa prinsip perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh
Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa arab yang merupakan
perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tak
memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya. oleh
sebab itu kebebasan memiliki jodoh adalah hak kebebasan bagi laki-laki dan
perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syari`at isalam
b. Prinsip Mawaddah Warahmah
prinsip ini berdasarkan pada firman Allah QS Ar-rum : 21 seperti yang terlah
tersebut diatas, Mawaddah Warahma adalah karakter manusia yang tidak dimiliki
oelh makhluk lainnya karena jika hewan melakukan hubungan seksual sematamata untuk kebutuhan seks dan pekembang bikan saja. sedangkan perkawinan
manusia disamping tujuang yang besifat biologis juga untuk mencapai Ridho
Allah
c. Prisip saling melengkapi dan melindungi Berdasarkan firma allah QS. Al-baqarah
187
d. Prinsip Mu`asarah bi al Ma`ruf Annisa : 19
Prinsip laki-laki untuk memperlakukan isterinya secara baik dan dengan
mengayomi dan mengahargai kedudukan seorang wanita.
Sedangkan menurut Sayuti Thalib sebagai berikut[20]
1. Aspek Sosial, bahwa dalam setiap masyarakat (bangsa), ditemui suatu penil
aian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga
(dianggap) mempunyai kedudukan yang lebih dihargai (terhormat) dari mereka
yang tidak kawin.
2. Aspek Agama, bahwa perkawinan ialah ikatan yang suci dan sacral juga memiliki
nilai
ibadah karenanya tidak mengherankan setiap agama mengakui adanya
intitusi perkawinan.
3. Aspek Hukum bahwa perkawinan merupakan sebuah peristiwa Hukum (rechts
feit).

14

Você também pode gostar