Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ensefalitis toksoplasma, merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 30%50%, sedangkan di Eropa mencapai 50% - 70%. Berdasarkan penelitian di bagian
neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan
pencitraan, baik dengan tomografi komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan
histopatologi dari biopsy dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma
ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang
dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multiperl yang menyangat bagian tepi
menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus,
periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan
berdiameter 1 sampai 3 cm.
Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara
dramatis meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta orang terinfeksi HIV,
dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6 juta. Sembilan puluh persen individu yang
terinfeksi ini tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi HIV tahun
2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar tersangka HIV ini
merupakan pengguna obat narkotika suntik (Intravenous drug users ).
Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi kelainan
neurologis.3 Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi HIV
adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis criptococcal, CMV ensefalitis dan
progressive multifocal leukoencephalopathy.
Infeksi oportunistik SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah ensefalitis
toxoplasma.5 Dari penelitian Terazawa dkk6, didapatkan seroprevalens IgG antibody
Toxoplasma yang tinggi (70%) pada penduduk kota Jakarta.
1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui,memahami,
dan menjelaskan tentang :
1. Definisi Toksoplasmosis
2. Klasifikasi Toksoplasmosis
3. Etiologi Toksoplasmosis
4. Cara Penularan Toksoplasmosis
5. Patologi dan Gambaran klinik
6. Diagnosis
7. Pencegahan Toksoplasmosis
8. Pengobatan Toksoplasmosis
9. Ensefalitis Toksoplasma
10. Etiologi
11. Tanda dan Gejala Ensefalitis Toksoplasmosis
12. Patofisiologi Ensefalitis Toksoplasmosis
13. Diagnosa Ensefalitis Toksoplasmosis
14. Penatalaksanaan Ensefalitis Tokso plasmosis
1.3 Manfaat
Meningkatkan
pengetahuan
dan
kemampuan
dalam
mempelajari,
mengenai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TOKSOPLASMOSIS
2.1.1 Definisi
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi oleh parasit yang disebabkan
oleh Toxoplasma gondii yang dapat menimbulkan radang pada kulit, kelenjar
getah bening, jantung, paru, ,mata, otak, dan selaput otak.
2.1.2 Klasifikasi
Terdapat 2 macam bentuk dari Toxoplasma yaitu bentuk intraseluler
dan bentuk ekstraseluler bulat atau lonjong, sedang bentuk ekstraseluler
seperti bulan sabit yang langsing, dengan ujung yang satu runcing sedang
lainnya tumpul. Ukuran parasit micron 4-6 mikron, dengan inti terletak di
ujung
yang
tumpul.
akan
pneumonia,
menyebabkan
terserangnya
terjadinya
seluruh
jaringan
Cerebritis,
otot,
Chorioretinitis,
myocarditis,
ruam
hidrosefalus,
mikrosefalus,
demam,
ikterus,
ruam,
2.1.3
Etiologi
Toxoplasmosis.
genus
termasuk
famili
babesiidae.
endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat
atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam
jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum
tulang, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.
1. Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis.
Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, clan
Ookista.
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah
ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi aan paling
banyak terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf
pusat.
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um.
Ookista terbentuk di sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan
bersamaan dengan feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung
siklus aseksual atau schizogoni dan siklus atau gametogeni dan
sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan clikeluarkan bersama feces
kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii dalam sekali
exkresi akan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista ini tertelan oleh
hospes perantara seperti manusia, sapi, kambing atau kucing maka
pada berbagai jaringan hospes perantara akan dibentuk kelompokkelompok trofozoit yang membelah secara aktif. Pada hospes perantara
tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk stadium istirahat yaitu
kista. Bila kucing makan tikus yang mengandung kista maka terbentuk
kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.
toxoplasma
gondii.
Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk terkena infeksi
toxoplamosis gondii melalui makanan daging yang mengandung ookista dan yang dimasak
kurang matang. Kemungkinan ke dua adalah melalui hewan peliharaan. Hal ini terbutki
bahwa di negara Eropa yang banyak memelihara hewan peliharaan yang suka makan daging
mentah mempunyai frekuensi toxoplasmosis lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain.
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga
tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak
diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi pada jaringan
retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan
antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase
kronik, terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya
menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
2.1.5
Patologi
dan
Gambaran
klinik
Pada manusia dewasa dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya memberikan
gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala. Apabila menimbulkan gejala,
maka gejalanya tidak khas seperti : demam, nyeri otot, sakit tenggorokan,kadang-kadang
nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput.
Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit kepala, muntah, depresi, nyeri otot,
pnemonia,
hepatitis,
miokarditis,
ensefalitis,
delirium
dan
dapat
terjadi
kejang.
Sesudah terjadi penularan, parasit dengan perantara aliran darah akan dapat mencapai
berbagai macam organ misalnya otak, sumsum tulang belakang, mata, paru-paru, hati, limpa,
sumsum
ulang,
kelenjar
limfe
dan
otot
jantung.
Gejala
klinik
toksoplasmosis
congenital.
Kelainan yang terjadi pada janin pada umumnya sangat berat dan bahkan bias fatal oleh
karena parasi tersebar di berbagai organ-organ terutama pada system susunan sarafnya.
Kelainan yang terjadi sangat jelas terlihat dan yang patognomonik dan indikatif adalah
kalsifikasi serebral, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus dan psikomotor. Kalsifikasi
serebral dan korioretinitis merupakan gejala yang paling penting untuk menentukan diagnosis
toksoplasmosis
2.1.5.2
congenital.
Gejala
klinik
toksoplasmosis
di
dapat.
Pada toksoplasmosis didapat, berbagai kelainan organ dan jaringan dapat terjadi yaitu
pada jaringan serebrospinal yang mengakibatkan ensefalomielopati, hidrosefalus, kalsifikasi
serebral dan korioretinitis, kelainan limfatik berupa limfadenitis disertai dengan demam,
kelainan pada kulit yang berupa ruam kulit makulopapuler yang mirip ruam kulit pada
demam tifus, kelainan pada paru-paru yang berupa pneumonia interstisial, pada jantung
terjadi miokarditid dan terjadi pula pembesaran hati dan limpa. Kelainan-kelainan pada
jaringan serebrospinal umumnya menyerang bayi dan anak-anak sedangkan kelainan limfatik
menyerang anak berumur antara 5-15 tahun.
2.1.6
Diagnosis
Diagnosis
untuk
Toxoplasmosis
sendiri
dibagi
menjadi
yaitu
Diagnosis
Klinik
adenopati,
hepatomegali
atau
splenomegali.
Diagnosis
Spesifik
Pencegahan
Toxoplasmosis
Tindakan yang perlu dilakukan dalam mencegah penyakit toxoplasmosis adalah sebagai
berikut
1. Daging yang akan dikonsumsi hendaknya daging yang sudah diradiasi atau yang sudah
dimasak pada suhu 150F (66C),sedangkan pada daging yang dibekukan mengurangi
infektivitas
parasit
tetapi
tidak
membunuh
parasit.
2. Ibu hamil yang belum diketahui telah mempunya antibodi terhadap toxoplasma gondi,
dianjurkan untuk tidak kontak dengan kucing dan tidak membersihkan tempat sampah.
Pakailah sarung tangan karet dan cucilah tangan selallu setelah bekerja dan sebelum makan.
3. Apabila memelihara kucing, maka sebaiknya kucing diberikan makanan kering, makanan
kaleng atau makanan yang telah dimasak dengan baik dan jangan biarkan memburu makanan
sendiri.
4. Cucilah tangan baik-baik sebelum makan dan sesudah menjamah daging mentah atau
setelah
memegang
tanah
yang
terkontaminasi
kotoran
kucing.
5. Awasi kucing liar, jangan biarkan kucing tersebut membuang kotoran ditempat bermain
anak-anak
2.1.8
Pengobatan
Toxoplasmosis
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi pyrimethamine dengan
trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara sinergis akan menghambat siklus pamino asam benzoat dan siklus asam foist.
Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25-50 mg per hari selama sebulan
dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000-6.000 mg sehari selama sebulan.
efek samping obat tadi ialah leukopenia dan trombositopenia, maka
dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast selama pengobatan.
Trimetoprimn juga temyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi bila
dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan trisulfapyrimidine,
ternyata
trimetoprim
masih
kalah
efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek
sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis
spiramycin yang dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali
pemberian. Beberapa peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester
pertama dengan spiramycin 2-3 gram sehari selama seminggu atau 3 minggu
kemudian disusul 2 minggu tanpa obat. Demikian berselang seling sampai sembuh.
Pengobatan juga ditujukan pada penderita dengan gejala klinis jelas dan terhadap
bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.
dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit. Transmisi pada
manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang
mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi
transmisi lewat transplasental, transfusidarah, dan transplantasi organ. Infeksi akut
pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan
imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan
mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak.
2.2.2.1 Daur Hidup
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir
dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing
merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada
pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau
oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau
sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,
organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit
ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini
dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,
myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat
dirusak dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan sampai 20oC atau oleh iradiasi
gamma. Siklus seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing
yang akan menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst.
Ekskresi oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi
infeksius setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung
dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi
infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun. 4,7
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau
kontak langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu
yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh
yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang akan mengakibatkan
timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak. Tissue cyst menjadi ruptur
dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel
dan menyebabkan focus nekrosis. 4,7,8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200
sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik
infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah
pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii, dan CD4 < 50
adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis
primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik
pada CD4 > 200 sel/mL.
2.2.3 Tanda dan gejala
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon
terhadap pengobatan,lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan,pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala
dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan
terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan ini
hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada
penderita-penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini.
Gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
2.2.4 Patofisiologi
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim,
dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus
kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan
meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem
kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat
mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
bagaimana
HIV
menginduksi
infeksi
oportunistik
seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel
dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFNgamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap
T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari perkembangan toxoplasmosis
dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toxoplasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV
dengan CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang
subakut. Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%),
nyeri kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75 %
kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 % kasus,
demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus.5 Defisit neurologis yang
biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga terdapat
abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi
serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.7
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4 < 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat
tinggi.
2.2.5 Diagnosa
2.2.6 Penatalaksanaan
pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total
kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki, suku Minang, berusia 8 bulan, masuk IGD RSUD Solok pada tanggal
2 Januari 2016 dengan keluhan utama kejang sejak 15 menit yang lalu .
Alloanamnesis (dari tante penderita)
Kejang sejak 15 menit yang lalu. Kejang seluruh tubuh. Setelah kejang pasien tidak sadar. Ini
adalah kejang yang pertama. Demam (+) tinggi sejak 3 hari yang lalu. Demam naik turun .
Menggigil (-) . Sakit kepala (+). Tidak mau menyusu (+), nafsu makan menurun , muntah (+)
sebanyak 5x, 1 hari ini . Memuntahkan apa yang dimakan. BAB (+) BAK (+) biasa.
Anamnesis Antenatal dan Perinatal
Selama hamil ibu penderita melakukan pemeriksaan antenatal sebanyak 5 kali namun tidak
teratur dan mendapatkan imunisasi TT tetapi tidak diketahui berapa kali. Selama hamil ibu
tidak menderita sakit. Persalinan normal di rumah, ditolong oleh bidan, dengan berat lahir
2800 gram dan panjang badan yang tidak diketahui.
Riwayat Penyakit Dahulu : diare (+) usia 5 bulan
Riwayat Keluarga
: diluar
3-6 bulan
6-9 bulan
: lahir - sekarang
PASI
: 4 bulan - sekarang
: 7400 gram
Panjang Badan
: 66 cm
Status Gizi
: apatis
Tanda vital
Respirasi
= 40 x/menit
Suhu badan
= 38,80C
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Leher
Toraks
Jantung
Paru-paru
Abdomen
: Bentuk datar, lemas, bising usus normal, hepar dan lien tidak
teraba
Genitalia
Anggota gerak
Laboratotium
Gambaran :darah tepi : limfositosis dan monositosis, leukositosis dan trombositopenia
Diagnosa Kerja : observasi kejang suspec ensefalitis toksoplasma + gizi kurang
Diagnosa Banding : ensefalitis, epilepsi.
Rencana Pemeriksaan Selanjutnya : pemeriksaan Laboratorium : cairan cerebrospinal
Pemeriksaan Serologik di ukur titer zat anti IgM dan
IgG
Terapi
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika anda belum
terinfeksi tokso, anda dapat menghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak
memakan daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika anda
membersihkan kandang kucing. Anda dapat memakai obat anti-HIV yang manjur
untuk menahan jumlah CD4. Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan
diakibatkan tokso. Jika jumlah CD4 anda turun di bawah 100, anda sebaiknya bicara
dengan dokter tentang pemakaian obat untuk mencegah penyakit tokso.
Jika anda mengalami kepala nyeri, disorientasi, kejang-kejang, atau gejala tokso lain,
anda harus langsung menghubungi dokter. Dengan diagnosis dan pengobatan dini,
tokso dapat diobati secara efektif. Jika anda mengalami penyakit tokso, sebaiknya
anda terus memakai obat antitokso untuk mencegah penyakitnya kambuh.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit
infeksi disebabkan oleh virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah terkena
penyakit keganasan.Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit
infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan tubuh dengan menggunakan
immune restoring agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sel limfosit, dan
menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri
dari pengobatan, perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan pada pengidap
HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik,
kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 20062.
2. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired
ImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,20063.
3. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 20064.
4. Profesor.dr.H.Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta:
PerhimpunanDokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.5.
5. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.6.
6. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and
AcquiredImmunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz.
2003:955-89.7.
7. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine.
Januari .2003.8.
8. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
20019.
9.HIV
and
Hepatitis.
2008.
Di
http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html10.
unduh
dari
Perifer.
Diunduh
dari
12/ Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke.
Diunduh darihttp://www.spirita.or.id13.