Você está na página 1de 19

Kuliah Gelar Sarjana (S1) Maksimal 5

Tahun Permendikbud No 49 Tahun 2014,


Pengangguran Intelektual Semakin
Bertambah
REP | 17 September 2014 | 13:46

Dibaca: 1158

Komentar: 1

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 49


Tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi membuat para
mahasiswa baru ketakutan dan khawatir.Dalam pasal 17 ayat 3 butir d
disebutkan bahwa masa studi terpakai bagi mahasiswa untuk
program sarjana (S1) dan diploma 4 (D4) maksimal 5 tahun.
Menanggapi keputusan ini maka mau tidak mau semua universitas di
indonesia wajib memberlakukan aturan tersebut dengan
memberikan bataswaktu paling lama 5 tahun bagi mahasiswanya
untuk menyelesaikan Kulianya S1 (sarjananya) dikampus tersebut
dan kalau tidak mereka akan di drop out (DO).
Memang tak bisa dipungkiri untuk masuk kuliah di universitas Negeri
sangat sulit dan kendala ini memaksa para calon mahasiswa baru
untuk bisa lulus ujian SNMPTN dengan menempuh berbagai cara
termasuk mengikuti kegiatan bimbingan belejar serta kadang ada
diantara mereka yang menyewa joki.
Namun setelah diterima dikampus/universitas dan lulus serta berhasil
mendapatkan gelar mahasiswa mereka akhirnya berada
dalam zona nyaman mereka aktif diberbagai kegiatan organisasi yang
mengakibatkan kuliahnya mulai ditelantarkan dan lebih memilih
menjadi aktifis kampus.
Akhirnya mereka terbuai dan tak bisa lagi menyisakan langkah untuk
berusaha keluar dari kampus tersebut dengan menyelesaikan
pendidikannya dan meraih gelar sarjana.
Inilah pola pikir yang kebanyakan dianut mahasiswa sekarang hanya
berusaha masuk namun tidak berusaha untuk keluar , namun dengan
keluarnya pembatasan penyelesaian studi sarjana harus maksimal 5
tahun maka mau tidak mau. Para mahasiswa harus menyelesaikan
studinya secepatya jika tidak mau DO. Dan mereka harus memilih
antara Demontstrasi atau DO

Namun masalah akan muncul jika gelar sarjana maksimal waktu


kuliahnya 5 tahun maka dapat dipastikan jumlah alumni sarjana setiap
tahun akan semakin bertambah yang berdampak pada pengangguran
intelektual semakin meningkat karen akurangnya lapangan pekerjaan
dan hanya mengandalkan lowongan CPNS pada tahun 2013 saja Hal
itu,menurut Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi (Menakertrans)
Muhaimin Iskandar. Ia mengungkapkan, 610 ribu dari total
7,17 juta pengangguran terbuka di Indonesia, adalah pengangguran
intelektual atau dari kalangan lulusan universitas.
Dan dapat dipastikan jumjlah pengangguran ini akan semakin
bertambah dengan adanya pembatasan waktu kuliah maksimal 5
tahun di universitas.maka universitas diindonesia seakan makin
dituntut untuk menelorkan para sarjananya dan berlomba-lomba.
Sumber : http://metro.kompasiana.com/2014/09/17/kuliah-gelar-sarjana-s1maksimal-5-tahun-permendikbud-no-49-tahun-2014-pengangguran-intelektualsemakin-bertambah-688537.html

Pro Kontra Masa Studi 5 Tahun bagi


Sarjana
print send pdf
Oleh: Sri Gusmurdiah dan Wahida Nia Elfiza
Sabtu, 08 November 2014 | 09:22:00 WIB Share

Ormawa: Dengan dikeluarkannya Permendikbud nomor 49 tahun 2014 tentang waktu perkuliahan maksimal lima
tahun, peraturanini dirasa tidak adil bagi mahasiswa yang mengikuti organisasi kampus, sebab ketika di bangku
kuliahlah mahasiswa secara maksimal mengembangkan potensi dirinya salah satunya melalui organisasi mahasiswa,
Jumat (25/4). f/doc.

Kuliah maksimal lima tahun lahirkan mahasiswa sukses kuliah dan organisasi?
Tertanggal 9 Juni 2014, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Mohammad Nuh menetapkan sebuah
peraturan dalam dunia pendidikan. Peraturan tersebut lebih lanjut disebut dengan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permendikbud RI) nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional
Perguruan Tinggi. Menindaklanjuti hal tersebut, maka pada tanggal 11 juni 2014 ketetapan tersebut telah
diundangkan bertempat di wilayah ibukota negara, yaitu Jakarta. Peraturan ini pun ditandatangani oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin. Setelah momen pengesahan Permendikbud ini, maka
munculah Salinan Permendikbud nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi yang telah
dijamin kesesuaiannya dengan peraturan asli oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Ani Nurdiani Azizah.
Dari salinan Permendikbud RI nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi pada situs
www.its.ac.id, ada sebanyak 6 BAB dan 65 pasal yang membangun peraturan tersebut. Lalu, menilik lebih lanjut
pada BAB II, bagian keempat, pasal 17 ayat ketiga dan lebih spesifik pada bagian d tertuang sebuah peraturan,
yaitu bagi mahasiswa diploma empat dan sarjana, memiliki masa studi selama empat sampai lima tahun.
Lahirnya peraturan menteri yang mengacu kepada masa studi yang terpakai oleh mahasiswa diploma empat
dengan Sarjana, ternyata belum disambut dengan serta merta oleh sebagian mahasiswa yang tengah menimba
ilmu di Universitas Negeri Padang. Sikap tersebut dintunjukkan oleh salah satu Mahasiswa Jurusan Geografi TM
2010, Dandi Arianto Pelly. Menurut Dandi, masa kuliah yang diperpendek menjadi 5 tahun hanya akan
menghambat kreativitas mahasiswa, sementara bobot Satuan Kredit Semester (SKS) yang harus diselesaikan

masih tetap sama. Hal ini hanya akan membuat mahasiswa fokus dengan perkuliahan dan melupakan
kehidupan berorganisasi. Saya kurang setuju dengan peraturan ini, ujarnya, Selasa (7/10).
Senada dengan Dandi, Andika Putra juga merasakan hal yang sama terkait peraturan kuliah batas lima tahun.
Mahasiswa Teknik Pertambangan TM 2011 ini mengaku terkejut dan masih mempertanyakan tentang peraturan
tersebut. Menurutnya, hal-hal yang membedakan antara masa studi selama lima tahun atau lebih, belum begitu
jelas. Selain itu, mahasiswa yang terlambat menyelesaikan masa studinya belum tentu disebabkan oleh nilai
akademik yang rendah. Pemerintah seharusnya mengkaji hal ini terlebih dahulu, ujar Ketua Umum Pusat
Pengembangan Ilmiah dan Penelitian Mahasiswa, Jumat (3/10).
Namun, berbeda halnya dengan Heru Setiawan, Mahasiswa Jurusan Teknik Elektronika TM 2011. Heru setuju
jika peraturan ini diterapkan di UNP. Menurutnya, idealnya peraturan tersebut memang harus demikian, karena
dengan adanya peraturan yang seperti itu, mahasiswa akan terpacu dan lebih bersemangat lagi untuk kuliah.
Selain itu, kurangnya minat mahasiswa untuk mengikuti organisasi menurutnya tidak ada hubungannya dengan
batas kuliah lima tahun. Jika memang mahasiswa memiliki niat yang benar, organisasi tidak akan mengganggu
kuliahnya, ungkapnya, Rabu (1/10).
Selaras dengan Heru, Januar Sahri juga mengaku tidak keberatan jika peraturan tersebut diterapkan di UNP.
Menurutnya, peraturan ini memiliki sisi positif dan sisi negatif, tergantung kepada diri pribadi mahasiswa yang
menjalaninya. Jika mahasiswa memang bersungguh-sungguh untuk kuliah, organisasi tidak akan jadi
penghalang untuk bisa wisuda tepat pada waktunya. Karena, mahasiswa harus bisa membagi waktu dengan
baik, ujar Mahasiswa Prodi Ilmu Keolahragaan TM 2014 ini, Jumat (3/10).
Dukungan terhadap peraturan menteri mengenai kuliah batas lima tahun, juga terlihat dari kalangan Staf
Pengajar UNP, salah satunya Dr. Azwir Anhar, M.Si., Dosen Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA), mengatakan setuju dengan peraturan tersebut. Menurutnya, lamanya waktu kuliah
mahasiswa hanya akan merugikan pihak universitas. Karena semakin lama waktu kuliah yang diberikan, maka
mahasiswa akan santai untuk melakukan perkuliahan. Hal ini akan menyebabkan akreditasi universitas menjadi
rendah, ujarnya, Jumat (3/10).
Selain itu, Azwir juga mengatakan bahwa diperpendeknya masa kuliah tidak akan berpengaruh terhadap
keaktifan mahasiswa dalam berorganisasi. Malahan dengan waktu yang diperpendek, mahasiswa akan lebih
semangat untuk berkuliah. Mahasiswa itu harus sukses kuliah dan organisasi, tutupnya. Laporan Kru SKK
Ganto

Sumber : http://www.ganto.or.id/artikel/564/pro-kontra-masa-studi-5-tahun-bagisarjana.html

Ketika Kuliah S1 Maksimal Lima Tahun


Posted on 17 September 2014by rinaldimunir

Masa kuliah tingkat sarjana semakin pendek saja. PERMENDIKBUD No 49 tahun


2014 yang terbaru menyebutkan batas maksimal waktu studi kuliah tingkat sarjana
(S1) adalah lima tahun. Itu artinya mahasiswa tidak boleh berlama-lama di kampus.
Lewat lima tahun artinya D.O alias drop out.

Dulu waktu saya kuliah di ITB tahun 1985, waktu studi maksimal adalah 7,5 tahun.
Lama ya? Ya jelas, karena jumlah SKS S1 saat itu 160 SKS (9 semester). Tahun 1990an batas waktu studi berubah lagi menjadi 7 tahun karena jumlah SKS berkurang
menjadi 144 (8 semester). Sejak tahun 2004 batas waktu studi di ITB makin
berkurang lagi menjadi maksimal 6 tahun (namun tetap 144 SKS), dan sekarang
dengan Permendikbud yang baru itu ITB masih mengkaji pemberlakuan masa studi
maksimal 5 tahun.
Saya membayangkan, jika batas studi maksimal 5 tahun diberlakukan, akan banyak
konsekuensi yang muncul. Kuliah maksimal 5 tahun itu bagus-bagus saja dari
sisihardskill motivasi mahasiswa, sebab mendorong mahasiswa agar cepat
menyelesaikan studi, fokus selalu kuliah dan belajar, jangan sampai mengulang mata
kuliah karena tidak lulus, cepat menyelesaikan TA, dsb.
Namun sepertinya akan ada hal yang dikorbankan atau hilang yaitu semarak
kehidupan kemahasiswaan. Mahasiswa mungkin enggan untuk ikut berorganisasi
atau berkegiatan ekstrakurikuler di kampus karena dianggap menyita waktu. Unitunit kegiatan mahasiswa yang selama ini membuat kampus ITB tetap hidup siang
dan malam (bahkan pada hari-hari libur sekalipun) mungkin akan kehilangan gairah
karena mahasiswa berpikir panjang untuk menghabiskan waktunya di unit-unit.
Padahal -menurut saya- justru aktivitas kemahasiswaan diluar perkuliahan itulah
yang menjadi sarana pendidikan softskill mahasiswa. Pendidikan tidak hanya di
dalam ruang-ruang kuliah, di lab-lab, atau di ruang perpustakaan, namun
pendidikan juga ada di luar ruang-ruang akademis. Saya meyakini tujuan pendidikan
adalah untuk pembentukan karakter manusia, dan sarana pembentukan karakter itu
lebih banyak diperoleh dari aktivitas berorganisasi dalam kegiatan ekstrakurikuler
maupun aktivitas kemahasiswaan lainnya yang menjalin interaksi dan komunikasi,
baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Jika mahasiswa hanya memikirkan
urusan kuliah saja (karena batas waktu studi yang semakin pendek saja) dan enggan
terlibat atau melibatkan diri dengan kegiatan kemahasiswaan, maka kelak mereka
akan menjadi sarjana tukang yang baik yang tidak boleh salah, yang menurut dan
nunut dengan perintah atasan, serta tidak mencoba mencari jalan yang lebih baik
karena daya kritisnya tumpul. Pengalaman para pendahulu menunjukkan bahwa
kesuksesan dalam karir dan pekerjaan lebih banyak ditentukan dari keaktifan
berorganisasi selama kuliah di kampus.
Baiklah, mungkin pendapat saya di atas mewakili pandangan pesimistis saja
terhadap kebijakan batas waktu studi maksimal lima tahun. Boleh jadi efeknya

terhadap kehidupan kemahasiswaan tidak seburuk yang dibayangkan apabila dunia


kemahasiswaan dapat beradaptasi dengan kebijakan tersebut. Misalnya saja dengan
membuat kegiatan dan kaderisasi yang padat, mangkus dan sangkil. Pada dasarnya
manusia itu cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.
Semoga saja demikian nantinya.
Sumber : https://rinaldimunir.wordpress.com/2014/09/17/ketika-kuliah-s1maksimal-lima-tahun/

Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014


Tidak Membatasi Masa Studi Mahasiswa
SEPTEMBER 30, 2014 ~ HILMANFIRDAUS1410

Belakangan ini kalangan aktivis mahasiswa, baik yang bergerak di


organisasi pergerakan maupun di bidang minat bakat, resah.
Alasannya, mulai tahun ajaran 2014-2015 pemerintah
memberlakukan peraturan yang membatasi masa studi
pendidikan tinggi. Untuk program sarjana, dibatasi maksimal 5
tahun.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa aturan ini diberlakukan.
Alasan pertama, berkaitan dengan kurikulum. Kurikulum
pendidikan tinggi dievaluasi maksimal setiap empat tahun sekali.
Dalam evaluasi tersebut terkadang ada mata kuliah yang
dihapus, terkadang ditambah mata kuliah baru, atau terkadang
satu mata kuliah dengan beban SKS tinggi dalam satu smester
dibagi menjadi dua smester. Dengan demikian, mahasiswa yang
menjalani studi lebih dari 5 tahun akan memiliki peluang untuk
terombang ambing dalam tiga kurikulum yang berbeda. Hal ini
dialami sendiri oleh penulis: kurikulum 2006, kurikulum 2009,
kurikulum 2012.
Alasan kedua berkaitan dengan aliran mahasiswa masuk dan
keluar, yang katanya berimbas pada kuota. Masa studi yang lama

membuat perguruan tinggi cenderung menerima lebih banyak


dan meluluskan sedikit. Dengan demikian, terjadi penumpukkan
mahasiswa di perguruan tinggi sehingga menghambat bagi
mereka yang ingin masuk. Seperti yang sering terjadi di
perguruan tinggi tempat penulis belajarentah terjadi juga di
perguruan tinggi lain atau ini hanya kekacauan manajemen di sini
sajabanyak mahasiswa yang tidak mendapat kelas pada mata
kuliah tertentu karena alasan kuota sudah habis dan tidak
memungkinkan ruangan maupun tenaga pendidik untuk dibuka
kelas baru.
Alasan ketiga, dan ini adalah alasan yang sangat mulia, adalah
untuk meringankan beban orang tua mahasiswa. Dengan
pembatasan masa studi maksimal 5 tahun, orang tua mahasiswa
lebih diuntungkan karena tidak perlu membayar uang kuliah lebih
dari 10 smester.
Di sisi yang bersebrangan, para aktivis mahasiswa dari dari
kalangan organisasi pergerakan maupun bidang minat bakat
menolak, atau setidaknya menyayangkan, permberlakuan
peraturan baru ini. Bagi pihak mahasiswa, sedikitnya ada dua
alasan mengapa mereka menolak peraturan ini.
Alasan pertama berkaitan dengan orientasi mahasiswa. Dengan
masa studi yang singkat dikhawatirkan akan menciptakan budaya
mahasiswa pragmatis. Yang ada di dalam pikiran mahasiswa
adalah lulus dengan cepat lalu mencari kerja. Dengan demikian
mahasiswa didik untuk menjadi pekerja, bukan untuk menjadi
cendekiawan. Masa studi yang singkat juga akan membuat
mahasiswa lebih terkungkung di dalam kelas dan kehilangan
kesempatan untuk berkarya di bidang lain di luar kelas. Padahal
kita tahu, nyaris semua keterampilan kehidupan yang kita
gunakan sehari-hari bukan berasal dari pembelajaran di dalam
kelas.

Alasan kedua merupakan konsekuensi dari alasan pertama.


Dengan orientasi mahasiswa yang demikian itu, ditambah dengan
banyaknya lulusan jika masa studi dipercepat, maka mau tidak
mau akan terjadi penumpukan sarjana pengangguran. Tujuan
pemerintah untuk menghindari penumpukan mahasiswa di
perguruan tinggi, kemungkinan justru akan menambah
penumpukan di kalangan sarjana pengangguran akibat kurang
tersedianya lapangan pekerjaan. Pada akhirnya, penumpukan
sarjana pengangguran ini akan menjadi beban pemerintah.
Kecuali jika pemerintah sudah mempersiapkan skenario
sedemikian rupa untuk menampung para sarjana yang lulus cepat
tersebut.
Penulis mencoba memaklumi mengapa pemerintah, melalui
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, membuat peraturan
tersebut. Tujuannya memang baik, tetapi mungkin proses dan
jalan menuju peraturan itu yang kurang sesuai. Orang-orang di
Kementrian Pendidikan yang menyusun peraturan tersebut
pastilah staf ahli, dengan kompetensi memadai dan
intelektualitas yang tidak perlu diragukan, dengan deretan gelar
akademik yang panjang, yang bisa jadi dulunya adalah
mahasiswa-mahasiswa pintar yang lulus kuliah dengan pujian
dalam waktu yang singkat. Kemungkinan besar atas dasar
tersebut kemudian para penyusun membuat peraturan, dengan
anggapan bahwa jalan yang mereka lalui di masa lalu itu adalah
jalan terbaik yang bisa mengantarkan mahasiswa Indonesia
menjadi mahasiswa-mahasiswa yang berhasil. Tentu saja itu tidak
sepenuhnya tepat: akademik hanyalah salah satu, bukan satusatunya, jalan untuk menjadi orang yang berhasil.
Penulis berada di pihak yang menolak pembatasan masa studi
program sarjana hanya sampai 5 tahun bukan karena alasan
orientasi, bukan karena alasan penumpukan sarjana
pengangguran, bukan juga karena mempersalahkan pihak

penyusun peraturan yang lebih berorientasi akademik. Keberatan


penulis sangat sederhana: Permendikbud nomor 49 tahun 2014
tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi itu sendiri tidak
membatasi lama studi program sarjana selama 5 tahun.
Permendikbud nomor 49 tahun 49 tahun 2014 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi merupakan peraturan yang diturunkan
dari UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam
peraturan tersebut dirumuskan tiga standar nasional pendidikan
tinggi, yaitu standar nasional pendidikan, standar nasional
penelitian, dan standar nasional pengabdian kepada masyarakat.
Masing-masing standar nasional memiliki poin-poin standar
turunan yang lebih rinci.
Pada standar nasional pendidikan, di poin standar proses
pembelajaran, terdapat pasal yang menjadi dasar bagi
pembatasan masa studi tersebut. Perhatikan pasal 17 ayat (2) di
bawah ini:
Untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan program
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, mahasiswa wajib
menempuh beban belajar paling sedikit:
1.

36 sks untuk program diploma satu;

2.

72 sks untuk program diploma dua;

3.

108 sks untuk program diploma tiga;

4.

144 sks untuk program diploma empat dan program sarjana;

5.

36 sks untuk program profesi;

6.

72 sks untuk program magister, magister terapan, dan


spesialis satu; dan

7.

72 sks untuk program doktor, doktor terapan, dan spesialis


dua.

Lalu Pasal 17 ayat (3) berbunyi:

Masa studi terpakai bagi mahasiswa dengan beban belajar


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:
1.

1 (satu) sampai 2 (dua) tahun untuk program diploma satu;

2.

2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun untuk program diploma dua;

3.

3 (tiga) sampai 4 (empat) tahun untuk program diploma


tiga;

4.

4 (empat) sampai 5 (lima) tahun untuk program diploma


empat dan program sarjana;

5.

1 (satu) sampai 2 (dua) tahun untuk program profesi setelah


menyelesaikan program sarjana atau diploma empat;

6.

1,5 (satu koma lima) sampai 4 (empat) tahun untuk program


magister, program magister terapan, dan program spesialis
satu setelah menyelesaikan program sarjana atau diploma
empat; dan

7.

paling sedikit 3 (tiga) tahun untuk program doktor, program


doktor terapan, dan program spesialis dua.

Perhatikan kalimat yang digunakan. Di sana tertulis masa studi


terpakai, bukannya masa studi maksimal atau masa studi
yang harus ditempuh. Perlu pengkajian lebih cermat terkait
penggunaan frase masa studi terpakai, tetapi untuk sementara
ini penulis menyimpulkan bahwa sebenarnya peraturan tersebut
tidak membatasi mahasiswa program sarjana untuk lulus 5 tahun.
Terlebih lagi di dalam peraturan menteri ini tidak ditemukan pasal
yang menyebutkan ketentuan tentang status mahasiswa apabila
masa studi 5 tahun terlampaui.
Jika merujuk kepada pasal 17 ayat (2), disebutkan bahwa
mahasiswa wajibmenempuh beban belajar paling sedikit Pasal
ini kurang lebih bermakna untuk bisa lulus program sarjana,
mahasiswa wajib menempuh beban belajar minimal sekian SKS.
Orang awam sekalipun akan paham bahwa yang dimaksudkan di
sini adalah syarat minimal, bukan ketentuan maksimal.
Konsekuensi ayat (2) tersebut kepada ayat ketiga adalah bahwa

masa studi terpakai 4-5 tahun itu adalah masa studi minimal
yang diperlukan untuk menempuh beban sekian SKS. Apabila
lebih dari itu tentu saja diperbolehkan.
Memang perlu pengkajian lebih lanjut mengenai penggunaan
frase masa studi terpakai di dalam peraturan tersebut. Yang
jelas, di dalam rentetan pasal tersebut ada keniscayaan: bahwa 45 tahun masa studi hanyalahperhitungan waktu di atas kertas
berdasarkan jumlah SKS minimal yang diperlukan. Kurang lebih
itu sama dengan prediksi sebelum pertandingan sepkabola
dimulai: tim A dengan sederet pemain hebat akan menang lebih
dari tiga gol melawan tim B yang baru saja promosi dari kasta
kedua.
Penulis bisa saja salah menafsirkan kedua ayat dalam pasal
tersebut. Penulis juga bisa saja mengalami disinformasi, dalam
arti penulis bisa saja belum tahu bahwa Menteri Pendidikan
membuat SK yang membatasi masa studi program sarjana
maksimal lima tahun. Yang penulis yakini saat
ini adalah,berdasarkan Permendikbud nomor 49 tahun 2014
tentang Pendidikan Tinggi, tidak ada pembatasan masa studi
program sarjana maksimal lima tahun; yang ada adalah beban
SKS paling sedikit yang wajib ditempuh dan masa studi terpakai
untuk menempuh beban SKS paling sedikit itu. Saat inibermakna
bahwa bisa jadi besok lusa penafsiran penulis bisa berubah atau
ada temuan informasi baru yang belum penulis ketahui saat
menyusun tulisan ini.
Jadi, yang salah siapa: pemerintah yang salah tafsir terhadap
aturan yang mereka buat sendiri, atau kita mahasiswa yang tidak
mampu mencermati isi peraturan tersebut sehingga gagal
menggugatnya?
Sumber : https://hilmanfirdaus1410.wordpress.com/2014/09/30/permendikbudnomor-49-tahun-2014-tidak-membatasi-masa-studi-mahasiswa/

KETIKA STUDI S1 HANYA 5 TAHUN


Masa kuliah semakin pendek saja. Pendidikan Strata 1 sesuai dengan Peraturan PERMENDIKBUD
No 49 tahun 2014 yang terbaru menyebutkan bahwa batas maksimal waktu studi kuliah tingkat
sarjana (S1) adalah lima tahun. Itu artinya mahasiswa hanya memiliki umur hidup dikampus 5 tahun,
tidak bisa berlama-lama. Jika lewat 5 tahun artinya D.O alias drop out.
Ane termasuk dalam angkatan 2012, merupakan generasi penikmat pertama aturan terbaru ini. Untuk
angkatan sebelum-sebelumnya tidak termasuk dalam aturan Permendikbud ini. Saya pernah
mendengar cerita mantan mahasiswa tahun 80an. Saat dia berkuliah waktu studi maksimal adalah
7,5 tahun. Lama banget?jelas. Karena zaman dahulu sks kuliah pun tidak seperti sekarang, 160 sks!
bayangkan dengan ane yang hanya kurang lebih 144 sks. Kemudian semakin lama semakin
berkurang hingga tahun 2004 berubah menjadi 6 tahun masa studi S1 karena jumlah sks yang
dipangkas menjadi 140an.
Bayangkan, jika batas studi benar-benar maksimal hanya 5 tahun. Tentu banyak konsekuensi yang
terjadi. Kuliah 5 tahun tentu bagus secara hardskill, mahasiswa akan termotivasi untuk cepat lulus
kuliah, tidak menunda-nunda mengerjakan Tugas akhir dan fokus pada setiap semester karena tidak
ingin mengulang pada semester berikutnya.
Namun disisi lain, akan ada hal yang dikorbankan dalam kehidupan kemahasiswaannya yakni
kehidupan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa akan kehilangan passion atau semangat untuk
mengikuti unit-unit kemahasiswaan, dikarenakan untuk ingin lebih fokus dengan kuliah dan
mengesampingkan berorganisasi. Penglihatan ane keterlibatan mahasiswa dalam unit-unit inilah yang
menghidupkan kehidupan kampus dari pagi hingga malam, sekalipun hari-hari libur. Namun
mahasiswa tentu akan berpikir panjang setelah dikeluarkan kebijakan ini.
Menurut ane dengan adanya aktivitas kemahasiswaan diluar dari perkuliahan memberikan sarana
tersendiri dalam hal melatih softskill mahasiswa. Kuliah tidak hanya di ruang kelas, di laboratorium
atau hanya mengikuti seminar dan lomba. Ane yakin bahwa tujuan pendidikan di Indonesia ini adalah
untuk membentuk karakter manusia, dan pembentukan karakter itu lebih banyak didapatkan dari
keikutsertaan mahasiswa dalam berbagai macam kegiatan unit kegiatan kampus atau ekstrakulikuler
lainnya. Jika mahasiswa memikirkan urusan kuliah saja (karena masa studi hanya 5 tahun), maka
kelak para sarjana-sarjana yang lulus pun akan berubah pola pikirnya menjadi sarjana yang baik yang
tidak boleh melakukan kesalahan, sarjana yang harus taat dan nurut dengan perintah atasan, dan
daya kreativitas dan kritis pun tumpul akibat kurangnya pengalaman dan softskill yang didapatkan
melalui interaksi social dalam berorganisasi. Sebagaimana perkataan senior-senior yang telah bekerja
bahwa kesuksesan dalam karier dan bekerja lebih banyak ditentukan dari keaktifan berorganisasi
selama kuliah dikampus.

Ini hanya pendapat ane (pribadi) saja, bisa saja efeknya tidak sedemikian parahnya, apabila
mahasiswa bisa menyesuaikan dan beradaptasi dengan aturan yang baru ini. Pada dasarnya
manusia itu cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Semoga
kedepannya bisa demikian.
Wassalam,

Sumber : http://ibnuseven.com/2014/09/ketika-studi-s1-hanya-5-tahun/

Aturan Kuliah 5 Tahun Batasi


Ruang Gerak Mahasiswa
by Mawan Kurniawan
October 28, 2014

Gerbang Universitas Tadulako Palu. (Foto : panoramio.com)

Palu, Metrosulawesi.com - Aturan baru yang membatasi kuliah S1 dan D4


maksimal 5 tahun menuai reaksi dari mahasiswa Universitas Tadulako (Untad)
Palu, Sulawesi Tengah. Dianggap membatasi ruang gerak mahasiswa khususnya
dalam berorganisasi, baik intra dan eksta kampus.
Diketahui aturan kuliah maksimal lima tahun itu tertuang dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 49 Tahun 2014 Pasal 17
disebutkan bahwa masa studi bagi mahasiswa untuk program sarjana (S1) dan
diploma 4 (D4) maksimal 5 tahun.
Rekrot Universitas Tadulako, Muhammad Basir Cyio pun telah mengeluarkan
keputusan mengenai pembatasan kuliah 5 tahun diberlakukan pada mahasiswa

angkatan 2011 sampai seterusnya. Adapun untuk angkatan sebelumnya 2010 ke


bawah diberikan waktu 1 tahun.
"Saya kurang setuju dengan adanya peraturan kuliah 5 tahun, karena seperti di
Fakultas Teknik ada tugas besar dan laporan yang kadang menyita waktu untuk
menyelesaikannya. Di samping itu tuntutan untuk berorganisasi atau berlembaga
yang sekarang harus dilakukan untuk mengejar kredit poin untuk bisa menjadi
sarjana, apalagi lagi harus menyelesaikan kuliahku, pada tahun 2015," kata
mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, angkatan 2009, Candra, Selasa
(28/10/2014).
Dia pun berharap kepada pengambil kebijakan kampus agar pembangunan dibagi
merata di kampus secara adil, khususnya laboratorium. Agar mahasiswa yang ingin
melakukan penelitian tidak perlu susah payah mencari alat ke luar universitas,
apalagi biaya yang besar.
Sama halnya dengan, Yugo, mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Mesin,
angkatan 2010, mengatakan tidak setuju dengan adanya peraturan kuliah 5 tahun.
Peraturan kuliah 5 tahun ini sedikit bertentangan dengan apa yang dikatakan
pemerintah dalam rangka pembentukan karakter mahasiswa.
"Karena pengalaman yang didapat mahasiswa dalam bidang organisasi bisa
memperkaya wawasan sekaligus membentuk karakter. Tidak semata hanya
mengikuti kegiatan perkuliahan setiap harinya. Dengan adanya pembatasan masa
studi. Menurut saya kalau bisa dilakukan studi banding pada sistem pendidikan di
negara maju seperti apa? Dan batas menyelesaikan studi untuk angkatanku, pada
2016," ujar Yugo.
Lain halnya dengan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA), Jurusan Fisika, Irawati. Ia setuju dengan adanya kebijakan kuliah 5 tahun.
"Dengan adanga keputusan itu, bisa lebih memotivasi mahasiswa untuk lebih cepat
menyelesaikan kuliahnya. Dan yang saya harus lakukan memanfaatkan waktu yang
sisa 2 tahun sampai 2016 untuk menyelesaikan studi," tegas Ira.
Sumber : http://www.metrosulawesi.com/article/aturan-kuliah-5-tahunbatasi-ruang-gerak-mahasiswa

Masa studi 5 tahun.


Rintangan atau
tantangan?
Esai FKIP UR

Tema : Menyikapi program maksimal 5 tahun untuk jenjang kuliah S1

Masa studi 5 tahun. Rintangan atau tantangan?


Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan, kepada rakyat
yang kebingungan dipersimpangan jalan, kepada pewaris peradaban
yang telah menggoreskan, sebuah catatan kebanggaan dilembar
sejarah manusia
Penggalan lirik lagu diatas, menjadi pengiring sekaligus
penyemangat dalam penulisan esai ini. Lirik yang sederhana dengan
makna yang mendalam mampu menembus ruang fikir mahasiswa untuk
menjadi kebanggaan bangsa dan negara. Mahasiswa adalah pelajar
sebagai generasi penerus bangsa yang diharapkan memiliki komitmen
dan kematangan diri baik fisik maupun mental, sehingga mampu
bersaing dalam pembaharuan disegala bidang.
Berdasarkan peraturan pemerintah RI No. 30 Tahun 1990,
mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar secara resmi dan belajar
diperguruan tinggi tertentu. Dalam hal ini yang menjadi fokus
mahasiswa adalah penguasaan terhadap ilmu pengetahuan akademik
serta pengetahuan yang menitikberatkan pada persiapan lulusan untuk
mengaplikasikan skill yang dimiliki.
Berbicara mengenai lulusan tentu tidak terlepas dari masa studi
mahasiswa. Baru-baru ini, masa studi mahasiswa menjadi pembicaraan
yang sedang hangat dibicarakan baik dimedia sosial maupun forumforum resmi. Dari pembicaran tersebut, muncul berbagai persepsi yang
berbeda dari setiap kalangan akademisi. Rentetan pertanyaanpun
kemudian muncul, apakah masa studi mempengaruhi masa depan
mahasiswa? Bagaimana regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah
mampu menjawab cita-cita bangsa? dan lainnya.
Pemerintah bersama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) telah mengeluarkan regulasi tentang masa studi untuk
program studi Strata I (S1) diseluruh perguruan tinggi. Regulasi
tersebut tertuang dalam Permendikbud No. 49 Tahun 2014 Pasal 17
tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Berdasarkan
peraturan tersebut, beban belajar minimal mahasiswa S-1/D-4 adalah
144 SKS (satuan kredit semester). Sehingga untuk menuntaskan seluruh
beban SKS, mahasiswa diberi batas waktu 45 tahun (810 semester).
Jika lewat dari masa studi yang telah ditetapkan 5 tahun, maka
mahasiswa akan terancam di (drop out) DO.
Sebagai mahasiswa Universitas Riau, saya memiliki pandangan
tersendiri mengenai persoalan ini. Untuk menjawab setiap pertanyaan

kita lihat dahulu bagaimana kondisi dilapangannya. Hampir setiap


fakultas diberbagai Universitas memiliki persoalan manejemen dan
pelayanan administrasi yang berbeda. Tidak hanya antara Dosen dan
mahasiswa, namun juga antara mahasiswa dengan staf administrasi.
Dalam lingkungan kampus, dosen selaku tenaga pengajar wajib
memberikan ilmu sesuai bidang konsentrasinya, memberikan pelayanan
konsultasi dan sharing untuk mahasiswa, serta membuka kesempatan
luas bagi mahasiswa untuk menjadi tim dalam penelitian. Begitu juga
dalam bidang pelayanan administrasi, seharusnya lebih
mengefisiensikan waktu pengurusan administrasi dan tidak
mempersulit mahasiswa. Sedangkan Universitas wajib menyediakan
semua sarana dan fasilitas dalam menunjang proses pembelajaran.
Lantas, apakah sudah sepenuhnya terealisasi?
Dari pengalaman saya dan mahasiswa lainnya, jauh berbeda dari
yang kami harapkan. Bahkan untuk bertemu dosen saja susah, harus
menunggu berlama-lama dan kadang kala beliau tidak bisa dihubungi.
Padatnya jadwal dosen diluar tugasnya sebagai pengajar, menjadi
beban bagi kami para mahasiswa yang mau konsultasi atau
sekedar sharing tentang tugas. Terutama yang dirasakan oleh
mahasiswa semester akhir. Padahal jika mengingat majunya teknologi
saat ini, metode pembelajaran dan jadwal akademik dapat diterapkan
dalam beberapa bentuk. Jika sulitnya komunikasi langsung antara
dosen dan mahasiswa, maka solusinya dapat
menggunakan media komunikasi lain seperti, email, skype (audio/visual)
dan jaringan komputer lainnya. Tidak sampai disini, sulitnya birokrasi
dengan staf bagian administrasi juga sering kami rasakan yaitu waktu
pengurusan administrasi yang cukup lama.
Melihat kondisi dilapangan yang demikian, tentu ini sangat
mempengaruhi masa studi mahasiswa. Sebaiknya pemerintah fokus
dahulu terhadap urusan internal kampus, baik itu kualitas pendidik,
pelayanan administrasi hingga kelengkapan fasilitas. Jika komponen
tersebut sudah terpenuhi maka pemangkasan masa studi 5 tahun dapat
memberikan banyak dampak positif, diantaranya mahasiswa lebih
termotivasi untuk serius belajar selama kuliah, mampu mengembangkan
penelitian bersama dosen, memanfaatkan waktu dengan baik dalam
berorganisasi, biaya kuliah menjadi lebih hemat karena masa studi
yang singkat, dan yang paling penting kita mampu bersaing didunia
kerja. Rintangan atau tantangan? Tergantung pada kita.

Sumber : http://agusmulyani.blogspot.com/2015/01/masa-studi-5-tahunrintangan-atau.html

Masa Studi 5 Tahun?


cwpel | Kamis, 25 September 2014 | 09:42 WIB | Dibaca: 218 | Komentar: 0

Dr D Wahyu Ariani SE MT

0
inShare
BEBERAPA waktu yang lalu terjadi diskusi yang menarik tentang masa studi 5 tahun untuk
program sarjana. Munculnya diskusi di kalangan pengelola perguruan tinggi tersebut dipicu oleh
Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Dalam
Permendikbud pasal 17 (ayat 1 dan 2) tersebut diyatakan bahwa untuk program sarjana (dan
diploma 4) wajib menempuh beban belajar paling sedikit 144 SKS dan masa studi terpakai bagi
mahasiswa adalah 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun.
Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang
tidak setuju salah satunya adalah Ketua Aptisi DIY, di harian lokal menyatakan permendikbud
tersebut merugikan perguruan tinggi swasta (PTS). Argumentasinya, input mahasiswa PTS
selama ini kualitasnya berbeda dengan input perguruan tinggi negeri (PTN). Intinya kualitas input
mahasiswa PTN secara umum dianggap lebih baik dari PTS.
Koordinator Kopertis Wilayah V DIY adalah salah satu yang mendukung. Pembatasan waktu
kuliah maksimal 5 (lima) tahun untuk mahasiswa program sarjana seharusnya dapat dijadikan
motivasi bagi pengelola perguruan tinggi untuk meningkatkan kualitas (KR, 28/8/14). Kendala
kualitas input PTS seharusnya menjadikan tantangan bagi pengelola PTS, sehingga proses
belajar mengajar dan pelayanan terhadap mahasiswa kulitasnya dapat ditingkatkan.
Masa studi yang dibatasi 5 (lima) tahun itu sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan.
Beban SKS untuk program sarjana sekitar 144 160 SKS telah dirumuskan menjadi bangun
kurikulum. Program sarjana pada umumnya menetapkan beban minimal 144 SKS atau lebih
sedikit. Bangun kurikulum pada umumnya didesain dalam masa studi 8 (delapan) semester atau
4 (empat) tahun. Jika masa studi 5 (lima) tahun dianggap merugikan PTS, kemudian atas dasar
apakah perencanaan bangun kurikulum yang hanya 4 (empat) tahun tersebut disusun?
Dalam bangun kurikulum mestinya terkandung sistem, strategi, bahkan teknik pencapaiannya.
Selain itu, apakah PTS justru tidak merasa khawatir manakala PTS telah mendesain bangun

kurikulum di mana studi akan selesai dalam waktu 8 (delapan) semester ternyata molor lebih
dari 10 (sepuluh) semester? Masyarakat justru akan menilai bahwa PTS tersebut dianggap telah
ingkar janji, dikarenakan tidak dapat meluluskan mahasiswa sesuai masa studi yang telah
direncanakan. Selain itu, apabila sebuah PTS telah menerima mahasiswa baru bagaimanapun
kondisinya, maka PTS tersebut akan menanggung konsekuensi untuk juga meluluskannya
berdasarkan standar (minimal) dan regulasi yang telah ditentukan.
Berbekal pemahaman tersebut, PTS juga tidak semestinya buru-buru menyalahkan input semata
manakala masa studinya melebihi 5 (lima) tahun. Lebih bijak seandainya PTS justru menyusun
strategi dan teknik agar masa studi yang maksimal 5 (lima) tahun tersebut dapat dicapai. Selain
itu, tindakan evaluasi harus selalu dilakukan juga kepada para pengajarnya. Bagaimana cara
mereka mengajar, bagaimana cara mereka memberikan penilaian, dapatkah mereka menjadi
jembatan antara buku teks dan logika berpikir para peserta didik, bagaimana para pengajar
tersebut melakukan riset untuk mengembangkan pembelajarannya, tersediakah mereka pada
saat dibutuhkan oleh mahasiswa atau para peserta didiknya?
Tidak tepat kiranya ketika rekrutmen menurunkan standar nilai (passing grade) tetapi ketika
melakukan penilaian kinerja (performance appraisal) standarnya relatif tinggi. Bukan rahasia lagi,
sebagian (besar) PTS terpaksa menurunkan standar nilai bagi calon mahasiswa baru agar
target jumlah mahasiswa baru terpenuhi. Dengan kondisi tersebut maka kualitas input
mahasiswa menjadi relatif bervariasi. Jika tidak ada penanganan khusus bagi input mahasiswa
yang diterima dengan nilai di bawah standar maka dapat dipastikan mahasiswa tersebut akan
lulus melebihi masa studi 5 (lima) tahun.
Permendikbud No. 49 Tahun 2014 seharusnya memberikan motivasi bagi PTS untuk lebih
meningkatkan kualitas dalam proses penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di sisi lain
Kemendikbud juga harus memberikan masa transisi bagi PTS sebelum regulasi masa studi 5
(lima) tahun benar-benar diterapkan. Dalam masa transisi tersebut, PTS dapat mengacu kembali
kepada Kepmen No. 232/U/2000. Dalam Kepmen tersebut pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa
masa studi program sarjana (144 SKS-160 SKS) dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan
dapat ditempuh dalam waktu kurang dan 8 (delapan) semester dan selama-lamanya 14 (empat
belas) semester setelah pendidikan menengah. Berapa lama masa transisi? Lebih cepat lebih
baik!
(Dr D Wahyu Ariani SE MT. Dosen FE UAJY dan Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta)

Sumber : http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3363/masa-studi-5-tahun.kr

Você também pode gostar