Você está na página 1de 20

Judul : anastesi spinal pada Vesicolithiasis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cystolithiasis adalah pembentukan batu di kandung kemih atau buli-buli
(Dorland). Penyakit ini merupakah salah satu dari kelompok baru saluran kemih. Batu
saluran kemih dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk
di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di
negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli (cystolithiasis)
sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian
atas, hal ini karena pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari. di seluruh
dunia rata-rata terdapat 1-12 % penduduk yang menderita batu saluran kemih.1
Ada beberapa opsi yang tersedia menatalaksana batu buli. Apapun intervensi
yang akan dilakukan seharusnya juga dapat memperbaiki penyakit yang mendasari
pembentukan batu tersebut, dan mencegah pembentukan batu berulang. Beberapa
opsi yang tersedia adalah manajemen Nonperatif , open and percutaneous
Cystolithotomy, transurethral cystolitholapaxy and lithotripsy dan shock wave
lithotripsy.2 Beberapa tindakan diatas membutuhkan tindakan bedah dalam
tatalaksananya sehingga membutuhkan bius untuk menjalankan prosesnya.
Ansetesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai analgesi
karena menghilangkan nyeri dan pasien dapat tetap sadar. Oleh sebab itu, teknik ini
tidak memenuhi trias anastesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja.
Hanya region yang diblok saja yang tidak merasakan sensasi nyeri.

1.2 Batasan Masalah

Tulisan ini dibatasi pada definisi dan klasifikasi, etilogi, patofisiologi,


manifestasi klinis, diagnosis, Tatalaksana, komplikasi, prognosis cystolithiasis, jenisjenis anestesi regional,indikasi, dan komplikasi anestesi regional.
1.3 Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan
penulis khususnya mengenai anestesi regional pada cystolithiasis
1.4 Metode Penulisan
Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai
literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Vesicolithiasis


Batu buli-buli atau Vesicolitihiasis adalah salah satu manifestasi dari penyakit
batu saluran kemih (Urolithiasis). Batu saluran kemih adalah adanya batu di dalam
saluran kemih, mulai dari ginjal hingga uretra. Beberapa manifestasi dari batu saluran
kemih adalah batu ginjal (nephrolithiasis), batu ureter (ureterolithiasis), dan batu
uretra (uretrolitiasis).3
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat atau
kalsium fosfat, asam urat, magnesium ammonium fosfat (MAP), xanthyn, dan sistin,
silikat, dan senyawa lainnya. Batu kalsium merupakan batu yang paling banyak
dijumpai yaitu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. kandungan batu
jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran dari kedua unsur
itu.1
Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Suasana basa yang diciptakan oleh
kuman penghasil enzim urease memudahkan garam-garam magnesium, ammonium,
fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium fosfat (MAP) atau karbonat apatit.
Batu asam urat merupakan 5-10 % dari seluruh batu saluran kemih.1
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Vesicolithiasis
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urine, gangguan merabolik, infeksi , dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang
masih belum terungkap (idiopatik)( dasar urologi). Faktor risiko urolithiasis pada
umunya dalah riwayat batu di usis muda, riwayat batu di keluarga, asam urat atau
infeksi, jenis kelamin (laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan wanita) , pola
makan, lokasi geografis, kondisi medis lokal dan sistemik, predisposisi genetik, dan
komposisi urin. Komposisi urin menetukan pembentukan batu dari tiga faktor,

berlebihnya komponen pembentuk batu, jumlah komponen penghambat pembentukan


batu (seperti sitrat, glikosaminoglikan), dan pemicu (seperti natrium, urat). Anatomi
traktus urinarius juga menentukan pembentukan batu karena menjadi faktor risiko
infeksi atau staisis.3
2.3 Patofisiologi Vesicolithiasis
Batu terdiri atas Kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
anorganik yang terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam
keadaan metastable (tetap larut) dalam urine jika tidak ada keadaan keadaan tertentu
yang menyebabkan terjadinya presipitasi Kristal. Kristal-kristal yang saling
mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi) yang kemudian akan
mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain sehingga Kristal menjadi lebih
besar. meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup
mampu membuntu saluran kemih. Untuk itu agrgat Kristal menempel pada epitel
saluran kemih (membentuk retensi Kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan
pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat
saluran kemih(dasar urologi). Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan,
adanya koloid di dialam urin, konsentrasi solut di dalam urine, laju aliran urin
didalam saluran kemih atau adanya korpus alienum didalam saluran kemih yang
bertindak sebagai inti batu.1
Kebanyakan batu buli-buli terbentuk secara De Novo di dalam kandung kemih,
namun beberapa batu awalnya bisa terbentuk diginjal kemudian turun ke keandung
kemih untuk membentuk batu yg lebih besar akibat deposit mineral lebih lanjut.pada
orang dewasa, tipe batu yang paling umum pada batu buli-buli (pada lebih dari 50%
kasus ) adalah batu asam urat. batu buli-buli jarang berupa batu kalsium oxalat,
kalsium fosfat, ammonium urat, sistein atau magnesium ammonium fosfat. Bahkan,
pasien dengan batu asam urat jarang mempunyai riwayat gout atau hiperusesemia.
Pada anak-anak batu buli-buli kebanyakan berasal dari ammonium asam urat, kalsium

oxalat, atau campuran ammonium asam urat dan kalsium oksalat dengan kalsium
fosfat4.
2.4 Manifestasi Klinis Vesicolithiasis
Gejala khas batu buli-buli adalah berupa gejala iritasi antara lain : nyeri
kencing/ disuria hingga stranguri, perasaan tidak enak sewaktu kencing, dan kencing
tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan perubahan posisi tubuh.
Nyeri saat miksi seringkali dirasakan (referred pain) pada ujung penis, skrotum,
perineum, pinggang sampai kaki. Pada anak seringkali mengeluh adanya eneuresis
nokturna, disamping menarik-narik penisnya (pada anak-anak laki-laki) atau
menggosok-gosok vulva(pada anak perempuan)1.
2.5 Diagnosis Vesicolithiasis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan yang telah dituliskan
pada manifestasi klinis. Pada Foto rontgen abdomen dengan dua proyeksi, batu asam
urat murni bersifat radiolusen, sementara batu lainnya rata-rata bersifat radioopak
(kapsel). seringkali komposisi batu buli-buli terdiri atas asam urat atau struvit (jika
penyebabnya adalah infeksi). Sehingga tidak jarang pada pemeriksaan foto polos
abdomen tidak tampak sebagai bayangan opak pada kavum pelvis.1
Untuk batu radiolusen lebih baik melakukan pemeriksaan foto pielogravi
intravena, yaitu melakukan foto dengan bantuan kontras untuk menunjukkan defek
pengisian. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal, pielografi retrograde melalui
sistoskopi, CT urografi, atau USG menjadi pilihan. Pemeriksaan laboratorium seperti
urinalisis, pemeriksaan darah perifer lengkap dan kadar ureum kreatinin serum
dilakukan untuk menunjang diagnosis adanya batu, komposisi dan menentukan fungsi
ginjal.3

2.6 Tatalaksana vesicolithiasis


Talaksana batu buli-buli bisa berupa medikamentosa ataupun dengan
pembedahan. Salah satu terapi medikamentosa yang cukup efektif pada batu buli-buli
adalah urinary Alkalization untuk melarutkan batu asam urat. Pelarutan batu tersebut
dapat terjadi jika pH urin dibuat sama atau lebih besar dari 6.5. potassium citrate 60
Meq per hari merupakan pilihan utama. Renasidin dapat digunakan untuk melarutkan
batu fosfat atau struvit, namun pengobatannya lambat dan invasif karena harus
digunakan bersama pemakaian kateter.4
Cara non bedah lainnya adalah dengan menggunakan gelombang kejut luar
tubuh (extracorporeal shock wave lithotripsy, ESWL) yang dapat memecahkan batu
tanpa perlukaan di tubuh sama sekali. Gelombang kejut dialirkan melalui air ke tubuh
dan dipusatkan di batu yang akan dipecahkan. Batu hancur berkeping-keping dan
keluar bersama kemih.5
Modalitas pembedahan untuk batu vesika berupa transurethral cystolitholapaxy,
percutaneous suprapubic cystolapaxy, dan cystolithotomy (section alba). Pada
transurethral cystolitholapaxy, sistoskopi digunakan untuk melihat batu, kemudian
dihancurkan menjadi fragmen-fragmen kecil dengan sebuah energi, dan fragmen
tersebut dikeluarkan memalui sistoskopi.4
Percutaneous

suprapubic

cystolapaxy

(lebih

sering

untuk

anak-anak)

memungkinkan untuk menggunakan peralatan endoskopi yang lebih pendek dan


diameter yang lebih lebar karena jalur yang dilalui adalah melalui kulit langsung ke
vesika, sehingga memungkinkan untuk mengeluarkan batu dengan lebih cepat.4
Cystolithotomy diindikasikan untuk pasien dengan batu yang besar ( lebih besar
dari 6 cm), batu yang keras ( sehingga sulit dihancurkan dengan litotriptor), adanya
abnormalitas anatomi, gagal dengan pendekatan endoskopi, atau operasi bersamaan
prostectomy atau diverticulectomy.2 Pada operasi ini, batu tidak dipecahkan menjadi
fragmen-fragmen yang lebih kecil, namun dikeluarkan secara utuh. Keuntungannya

adalah cepat dalam mengeluarkan batu, hanya dengan sekali percobaan, dapat
mengeluarkan batu yang melekat ke mukosa kandung kemih, ataupun mengeluarkan
batu yang sangat keras sehingga tidak bisa dipecahkan dengan litotripsi.
Kekurangnnya adalah kemungkinan nyeri setelah operasi, perawatan di rumah sakit
yang lebih lama adan lebih lama memakai kateter.4
2.7 Komplikasi Vesicolithiasis
Komplikasi batu saluran kemih biasanya obstruksi, infeksi sekunder, dan iritasi
yang berkepanjangan pada urotelium yang dapat menyebabkan keganasan yang
sering berupa karsinoma epidermoid. Sebagai akibat obstruksi dapat terjadi
hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Bila
terjadi pada kedua ginjal, akan timbul uremia karena gagal ginjal total5.
2.8 Definisi Anastesi Spinal
Teknik anastesi regional terbagi menjadi dua yaitu blokade sentral (blokade
neuroaksial), meliputi blok spinal, epidural dan kaudal, dan blokade perifer (blokade
saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksilaris dan analgesik regional intravena.
Anastesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai analgesik
karena menghilangkan nyeri dan pasien tetap sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak
memenuhi trias anastesi karena hanya menghilangkan persepsi nyeri saja.6
Blokade nyeri pada anastesi spinal akan terjadi sesuai ketinggian blokade
penyuntikan anastetik lokal pada ruang subarakhnoid segmen tertentu. Untuk
mencapai ruang subarakhnoid, jarum suntuk spinal akan menembus kulit kemudian
subkutan, kemudian berturut-turut ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
ruang epidural, duramater, dan ruang subaraknoid. Tanda dicapainya ruang
subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).6

2.9 Indikasi Anastesi Spinal


Anastesi spinal merupakan pilihan alternative yang efektif dan aman dari
anastesi umum. Lokasi operasi untuk anastesi spinal mencakup ekstremitas bawah,
perineum, atau dinding abdomen bawah. Operasi sesar seringkali dilakukan dengan
anastesi spinal, sebagaimana juga total hip arthroplasty dan total knee arthroplasty.7
Abdominal bawah mencakup operasi untuk varikokel, appendiktomi,
tubektomi, batu buli-buli dan batu ureter distal. inguinal mencakup hernia, hidrokel,
reposisi testis pada undecencus testis, torsi testis dan deseksi kelenjar inguinal.
Operasi ekstremitas bawah mencakup rupture tendon, varises, tumor jaringan lunak
dan jaringan granulasi.8 Keuntungan anastesi spinal dapat mengurangi respon stress
metabolik akibat pembedahan, mengurangi kehilangan darah, penurunan insiden
tromboembolus vena, mengurangi risiko pada pasien-pasien dengan penyakit
pernafasan, dan dapat memantau keadaan mental pasien.7
2. 10 Kontraindikasi Anastesi Spinal
Anastesi spinal merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipovolemia
yang tidak terkoreksi. Jika tidak dianastesi, pasien dengan hipovolemia dapat
mempunyai tekanan darah yang relative normal karena vasokontriksi luas, tapi bila
terdapat blokade simpatis pada anastesi spinal, maka vasokontriksi akan hilang dan
menyebabkan kolaps kardiovaskular hebat. Untuk kasus gawat darurat, anastesi
umum lebih aman.9
Pasien dengan anemia berat yang tidak terkoreksi atau pasien yang mempunyai
penyakit jantung, tidak boleh diberi anastesi spinal, karena hipotensi yang terjadi
pada pasien akan semakin berat. Bila ada infeksi lokal pada tempat penyuntikkan dan
pada pasien yang sedang menjalani terapi dengan antikoagulan juga merupakan
kontraindikasi.9

2. 11 Komplikasi Anastesi Spinal


Komplikasi anastesi spinal umumnya terkait dengan adanya blokade saraf
simpatis, yaitu hipotensi, bradikardi, mual dan muntah. Peninggian blokade saraf,
baik pada anastesi spinal atau epidural, dapat terjadi. Peninggian blokade ini terkait
dengan pemberian dosis obat yang berlebihan, atau dosis standar yang diberikan pada
pasien tertentu, misalnya orang tua, ibu hamil, obesitas, pasien dengan tinggi badan
yang sangat pendek, sensitivitas yang tidak biasa, atau tersebarnya anastesi lokal.
Pada peninggian blokade ini, pasien sering mengeluh sesak napas dan mati rasa atau
kelemahan pada eksteremitas atas. Pada pasien ini, mungkin diperlukan suplementasi
oksigen. Jika terjadi bradikardi dan hipotensi, harus segera diperbaiki dengan
memberikan larutan efedrin 10 mg intravena dan melakukan loading cairan infus.6
Komplikasi yang lain dapat disebabkan trauma mekanis akibat penususkan
menggunakan jarum spinal dan kateter. Dapat terjadi anastesi yang kurang adekuat,
nyeri punggung akibat robekan jaringan yang dilewati jarum spinal, total spinal,
hematom di tempat penyuntikan, postdural puncture headache (PDHD), meningitis,
dan abses epidural. Anastetik lokal yang masuk pembuluh darah dapat menyebabkan
toksisitas. toksisitas tersebut tergantung dari masing-masing anastetik yang dipakai.
Lidokain dilaporkan kurang toksik dibandingkan bupivikain.6
2.12 Teknik Anastesi Spinal
Alat-alat resisitasi lengkap harus disediakan sebelum melakukan anastesi
spinal. Pasanglah infus intravena dan lakukan preload 500 ml dengan NaCl fisiologis.
Posisi pasien duduk atau miring dengan vertebra lumbal dalam posisi fleksi. Akan
lebih mudah melakukannya jika pasien diminta untuk memfleksikan kepalanya kea
rah dada, sehingga menambah fleksi vertebra dan panggul. Tandailah posisi prosesus
spinosus dengan tinta. Kemudian lakukan asepsis dan antisepsis pada daerah pungsi
dan sekitarnya. Pilihlah jarum spinal No. 23-23 dengan stylet; jarum yang halus
menurunkan insiden sakit kepala pasca anastesi spinal, akan tetapi lebih sulit
digunakan.9

Tariklah garis di antara kedua krista iliaka, yang biasanya melewati vertebra
lumbal IV atau diskus intervertebralis di antara lumbal III dan IV. Buatlah gelembung
anastesi lokal pada kulit di atas garis tengah yang dipilih, kemudian suntikkan jarum
spinal menembus kulit, ligamentum supraspinalis, ligamentum interspinalis, dan
ligamentum flavum. Jarum harus tetap pada garis tengah, tetapi diarahkan ke kepala
selama melewati garis intervertebralis. Jika langsung mengenai tulang, mungkin
vertebra di atasnya, maka mulailah lagi 1 cm ke bawah. Jika setelah penusukan dalam
baru menyentuh tulang, mungkin vertebra dibawahnya, maka gerakkan jarum lebih
keatas. Jika ligamentum mengalami kalsifikasi, gerakkan ke lateral 1 cm dari garis
tengah dan cobalah lagi. Setelah jarum melewati ligamentum flavum, lepaskan stylet,
tusukkan jarum dengan perlahan-lahan sampai dirasakan masuk dalam duramater dan
cairan serebrospinalis keluar. Jika tidak keluar, cobalah putar jarum 90o. setelah cairan
serebrospinalis keluar, hubungkan dengan spuit dan suntikkan anastesi lokal.9
2. 13 Obat-Obat Anastesi Spinal
Obat yang diberikan untuk anastesi berupa anastetik lokal. Contoh anastetik
lokal yang bisa digunakan adalah kokain, prokain, kloroprokain, lidokain dan
bupivikain. Obat anastesi lokal yang paling sering digunakan adalah lidokain dan
bupivikain.6
Lidokain (xylokain) sangat larut dalam air dan sangat stabil, dapat dididihkan
selama 8 jam dalam larutan HCL 30% tanpa risiko dekompisisi.dapat disterilkan
beberapa kali dengan proses autoklaf tanpa kehilangan potensi. Tidak iritatif terhadap
jaringan walaupun diberikan dalam konsentrasi larutan 88%. Toksisitasnya 1,5 kali
prokain. Diperlukan waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat suntikkan.
Apabila larutan ini di tambah adrenalin, maaka waktu yang diperlukan untuk hilang
sama sekali dari tempat sunitkkan 4 jam. Mempunyai afinitas tinggi pada jaringan
lemak. Detoksikasi terjadi oleh hari. daya penetrasinya sangat baik, mulai kerjanya
dua kali lebih cepat dari prokain dan lama kerjanya 2 kali dari prokain.10

Bupivikain (Marcaine, decain) ikatannya dengan HCL larut dalam air. Sangat
stabil dan dapat di autoclave berulang. Potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama
kerjanya 2-5 kali lidokain. Sifat hambatan sensorisnya lebih dominan dibandingkan
dengan hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih banyak
dibandingkan dengan yang bebas dalam tubuh. Dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh dan sebagian besar dalam bentuk
metabolitnya.10

BAB III
LAPORAN KASUS
Nama

: Tn. A

Jenis Kelamin

: Laki-laki

MR

: 942173

Usia

: 53 tahun

Hari Rawatan ke : 7 hari


1. Laporan Pre-Operasi
Anamnesis
Keluhan Utama :
Seorang pasien laki-laki usia 53 tahun datang ke IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang
pada tanggal 2 April 2016 dengan keluhan tidak bisa berkemih sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Keluhan susah berkemih sudah dialami sejak 9 bulan yang lalu. Kadang keluar
sedikit dan setelah itu tidak mau keluar. Dengan perubahan posisi air kemih
bisa keluar.
Nyeri saat berkemih dan disertai keluar darah.
Pasien kurang minum.
Pasien pernah berobat ke praktek dokter umum dan diberi 4 macam obat, tapi
pasien lupa nama obatnya.
mual (-), muntah (-), demam (-), BAB (+)
ada riwayat keluar batu pada air kemih pasien.
Pasien sudah dilakukan sistostomi di IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM dan


Hipertensi.

Riwayat alergi obat (-)

Anamnesis Penyulit Anastesi

Asma (-)
DM (-)
Alergi (-)
Angina Pectoris (-)
Hipertensi (-)
Penyakit Hati (-)
Penyakit Ginjal (-)
Gigi Palsu (-)
Kejang (-)
Batuk (-)
Pilek (-)
Demam (-)
Kelainan Kardiovesikular (-)

Riwayat obat yang sedang/telah digunakan

Anti Hipertensi (-)


Anti Reumatik (-)
Anti Diabetes (-)
Obat Jantung (-)

Riwayat operasi sebelumnya : (-)


Riwayat Anastesi : (-)
Kebiasaan buruk sehari-hari yang mempersulit operasi :

Rokok : (-)
Alkohol : (-)
Obat Penenang : (-)

ASA : II
Pemeriksaan Fisik (8-04-2016) :
Keadaan umum:
Kesadaran

: Composmentis Cooperative

Keadaan umum : Baik


Tekanan Darah

: 130/90 mmHg

Nadi

: 100 x/menit, teratur dan kuat angkat

Nafas

: 21x /menit, reguler

Suhu

: 36.5oC

Mata : konjungtiva tidak anemis


Sklera tidak ikterik
Pupil isokor
Jalan Napas : bebas
Paru : vesikuler +/+, rh -/-, wh -/Jantung

irama teratur, bising (-)

Abdomen : Bising usus (+) Normal, mual (-), muntah (-), distensi abdomen
(-),
Genitalia

terpasang sistostomi (+)

: kateter (-), hematuria (+)

Ekstrimitas : edema -/-, akral teraba hangat, kering, dan merah.


Neurologis : defisit neurologis (-)

Hasil Laboratorium (4 April 2016)


Hb : 15,1 g/dl
Ht : 45%

Leukosit : 9.600
Trombosit : 246.000
PT : 10,2 s
APTT : 28,9 s
Ureum : 32 mg%
Kreatinin : 1,2 mg%

Hasil Rontgen :
Tampak bayangan batu radioopak sepanjang proyeksi traktus urinarius

Plan
Sistolitotomi

Diagnosa
Vesikolititasis
2. Laporan Intra Operatif
Obat premedikasi :
Midazolam 0.1 % 1 mg
Obat medikasi
Decain 0,1 % 20 mg
Morfin 50 mg
Anestesi Inhalasi :

Oksigen 2liter
N2O 2 liter
Sevofluran 2 liter

Monitoring yang dilakukan :

Jam
09.05
09.20
09.25
09.30
09.40
09.45
09.50
09.55
10.00
10.05
10.10
10.15
10.20
10.25
10.35
10.45

Tekanan Darah (sistole/diastole)


mmHg
118/64
118/65
120/65
120/68
120/70
120/70
120/70
120/70
120/70
118/70
118/68
118/68
120/70
120/70
120/70
120/70

Nadi (kali)
60
60
64
64
60
64
64
64
64
60
60
60
64
64
70
70

Jumlah cairan yang masuk : RL 1000 L


Perdarahan : minimal
Jumlah urine : tidak dapat dinilai, kateter (-)

3. Monitoring Post Operatif


Instruksi dokter yang diberikan :
Ketorolac 30 mg.
Jam
10.45
10.50
10.55
11.00
11.05
11.10
Skor aldrete :

Tekanan Darah (sistole/diastole)


mmHg
120/70
120/78
122/73
122/70
120/70
120/70

Nadi (kali)
70
70
73
71
70
78

Aktivitas

: hanya bisa menggerakkan 2 extremitas (1)

Respirasi

: dapat bernafas dalam (2)

Sirkulasi

: TD 20% dari nilai Pre Op (2)

Kesadaran

: Sadar penuh (2)

Saturasi

: saturasi Oksigen 100% (2)

BAB IV
DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki, umur 53 tahun dirawat di


bangsal bedah laki-laki RSUP Dr.M.Djamil Padang dengan diagnosis vesikolitiasis.
Dari anamnesa didapatkan keluhan tidak bisa berkemih sejak 2 hari yang lalu. Pada
pasien tidak ditemukan penyulit anamnesa,tidak ada riwayat penggunaan obat, tidak
ada riwayat operasi dan anestesi sebelumnya, serta pasien juga tidak memiliki riwayat
kebiasaan yang dapat mempersulit operasi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien dalam
keadaan umum baik, pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan dan dengan
pemeriksaan laboratorium normal. Pada pasien dilakukan tindakan seksio alta dengan
menggunakan anestesi spinal. Obat premedikasi yang diberikan berupa Midazolam
0.1 % 1 mg. Untuk anestesi inhalasi yang diberikan adalah oksigen 2 liter, N2O 2 liter,
Sevofluran 2 liter, sedangkan untuk medikasi yang diberikan Decain 0,1 % 20 mg dan
Morfin 50 mg. Jumlah cairan yang diberikan Ringer Laktat 1000 ml. Kemudian
pasien diberikan Ketorolac 30 mg. Aldrette skor pasien 9 karena pasien dapat
menggerakkan 2 ekstremitas, dapat bernafas dalam, tekanan darah 120/70 mmHg,
kesadaran penuh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo B. 2003. Batu Ginjal dan Ureter Dalam Dasar-Dasar Urologi.
Yogyakarata: Sagung Seto.
2. Benway, BM. Bhayani, SB. 2016. Lower urinary tract calculi. Elsevier inc.
3. Tanto, C. Liwang, F. Hanifati, S. Prapdita, EA. 2014. Kapita selekta
kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
4. Basler,
J.
2014.
Bladder

stone.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/2120102-overview diakses pada 16


april 2016
5. Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC
6. Pramono, A. 2014. Buku kuliah anastesi. Jakarta: EGC
7. Press, CD. 2015. Subarachnoid spinal block.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview - diakses pada 16


april 2016
8. Mangku, G. Senaphati, TGA. 2010. Buku ajar ilmu anastesia dan reanimasi.
Jakarta: Indeks
9. Dobson, MB. 2012. Penuntun praktis anastesi. Jakarta: EGC
10. Soenarto, RF, Chandra, S. 2012. Buku ajar anastesiologi. Jakarta :
Departemen Anastesiologi dan Intensive care Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.

Você também pode gostar