Você está na página 1de 33

ANALISIS STRATEGI KETAHANAN

PANGAN INDONESIA DAN RENCANA


STRATEGI SWASEMBADA BERAS

Diajukan untuk memenuhi:


Tugas Mata Kuliah Manajemen Strategi

Disusun oleh:
Farisa Noviyanti (134060018172)
Kelas 7A Akuntansi Khusus

Program Diploma IV Sekolah Tinggi


Akuntansi Negara

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah Swt. Berkat karunia-Nya saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan baik dan efektif tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun secara khusus untuk menyelesaikan penugasan dalam rangka Ujian Akhir Semester 7
Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus mata kuliah MANAJEMEN STRATEGI serta memperluas
wawasan para mahasiswa untuk memahami kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Tema makalah ini juga
mendorong mahasiswa untuk mampu mengevaluasi strategi ketahanan pangan Indonesia dari berbagai sudut
pandang dan merekomendasikan rencana strategis swasembada pangan sebagai subtema yang saya pilih
sebagi salah satu isu sentral saat ini. Terkait dengan hal itu, makalah ini disusun dengan judul ANALISIS
STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA DAN RENCANA STRATEGIS SWASEMBADA BERAS .
Makalah ini hanya dapat terselesaikan dengan baik berkat bantuan berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada
kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1.

Bapak Marmah Hadi: sebagai inspirator, pengajar, dan dosen Manajemen Strategi yang telah mendidik dan
membagi ilmunya selama satu semester di Kelas 7 A Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus.

2.

Orang tua yang selalu menghadiahkan doa, kasih sayang, dan dukungan secara moral dan materiil yang
luar biasa berarti dan berharga.

3.

Teman-teman Kelas 7 A Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus yang selalu menjadi tempat
bertanya, memberikan saran dan kritik yang positif serta persahabatan yang tulus dan bermakna.

4.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif. Saya juga menyadari bahwa hasil dari makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca. Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Tangerang Selatan, 26 September 2013

Farisa Noviyanti

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................... ii
BAB I KONSEP KETAHANAN PANGAN ........................................................................................................... 1
A.
B.
C.

Definisi Ketahanan Pangan........................................................................................................................ 1


Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia ....................................................................................................... 2
Kondisi Kerawanan Pangan Indonesia ...................................................................................................... 3

BAB II ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA .................................................................. 5


A.
B.
C.
D.

Penilaian Eksternal ..................................................................................................................................... 5


Penilaian Internal......................................................................................................................................... 14
Matriks SWOT.............................................................................................................................................. 19
Analisis Strategi........................................................................................................................................... 19

BAB III RENCANA STRATEGIS SWASEMBADA BERAS INDONESIA............................................................. 22


A.
B.
C.
D.
E.

Urgensi Swasembada Beras...................................................................................................................... 22


Refleksi Swasembada Beras: Revolusi Hijau............................................................................................. 23
Rencana Strategis Swasembada Beras..................................................................................................... 24
Kontroversi Swasembada Beras................................................................................................................. 26
Kesimpulan................................................................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................................. 28
LAMPIRAN: SUSUNAN POLA KONSUMSI PANGAN TAHUN 2014.................................................................. 30

ii

BAB I
KONSEP KETAHANAN PANGAN
A. Definisi Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan yang dicetuskan pada World Food Summit (1996) oleh World Food Programme
didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial,
dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi, dan aman, yang memenuhi
kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Berikut adalah kerangka
konsep ketahanan pangan internasional tersebut:

Gambar I. A.1 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi


Ketahanan pangan di Indonesia didefinisikan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP
No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Pengertian pangan dalam UU dan PP tersebut adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Ketahanan pangan merupakan isu strategis yang dicanangkan secara nasional dan merupakan kewajiban
negara untuk mewujudkannya. Ketahanan pangan termasuk dalam prioritas nasional pada RPJMN untuk tahun
2010-2014. Ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut:
1.

Ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak asasi atas pangan setiap penduduk;

2.

Konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas; dan

3.

Ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional.
Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat
1

melaksanakan pembangunan dengan baik sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih
dahulu.
Ketahanan pangan di setiap negara dibangun di atas tiga pilar utama yaitu:
1.

Ketersediaan Pangan, adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil
produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari
produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan
pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan
pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.

2.

Akses Pangan, adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan baik yang berasal
dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasi di
antara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua
rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui
mekanisme tersebut di atas.

3.

Pemanfaatan Pangan, merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu
untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi.

B.

Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia


Berdasarkan data yang dihimpun dari World Food Programme1, diperoleh informasi sebagai berikut:
1. Ketersediaan Pangan
a.

Hasil pertanian meningkat (laju peningkatan sekitar 3,5% per tahun selama 2004-2007) dan
mencapai 4,8% pada tahun 2008. Produksi padi dan jagung meningkat, sedangkan produksi ubi
kayu dan ubi jalar relatif stabil.

Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI, dan World Food Programme. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Indonesia.

b. Namun demikian, beberapa kabupaten di provinsi Papua dan provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jambi,
Kalimantan Tengah, sebagian provinsi Maluku dan Maluku Utara mengalami kekurangan serealia.
2. Akses terhadap Pangan
a.

Akses terhadap pangan untuk penduduk miskin merupakan gabungan dari kemiskinan, kurangnya
pekerjaan tetap, pendapatan tunai yang rendah dan tidak tetap serta terbatasnya daya beli. Pada
tahun 2008, terdapat 34,96 juta orang (15,42%) hidup di bawah garis kemiskinan nasional (US
$1,55 PPP). Hampir 64% penduduk miskin tinggal di pedesaan, dan lebih dari 57% total pendudk
miskin tinggal di Pulau Jawa.

b.

Sejak tahun 2003, 26 provinsi telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya. Akan tetapi,
terdapat 5 provinsi yang tingkat kemiskinannya tetap yaitu provinsi Sulawesi Utara, Papua, DKI
Jakarta, Sumatera Barat, dan Jawa Barat. Pada tahun 2007, penduduk miskin terkosentrasi di 6
provinsi (Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, Gorontalo, dan NAD).

c.

Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada tahun 2007 mengalami penurunan hampir 2%
dibandingkan tahun 2003. Namun penurunan TPT tersebut tidak sebanding dengan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia dan bervariasi antar wilayah.

d.

Lebih dari 12% dari semua desa di Indonesia tidak memiliki akses jalan yang dapat dilalui oleh
kendaraan roda empat.

e.

Hampir 10% rumah tangga di Indonesia tidak memiliki akses listrik. Akses listrik yang terbatas
(>30%) terdapat di empat provinsi (NTT, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat).

3. Pemanfaatan Pangan dan Gizi

C.

a.

Pada tahun 2007, rata-rata asupan energi harian adalah 2.050 kkal dan asupan protein sebesar
5.625 gram, keduanya sudah melampaui Angka Kecukupan Gizi (AKG) nasional. Angka ini
meningkat 3.3% dibandingkan tahun 2002. Namun demikian, untuk tiga golongan pengeluaran
terendah hanya memiliki asupan 1.817 kkal/kapita/hari atau kurang, dan proporsi makanan
mereka kurang serta tidak seimbang secara kuantitatif dan kualitatif.

b.

Secara nasional, 94% rumah tangga memiliki akses ke fasilitas kesehatan terdekat kurang dari 5
km, dan angka ini meningkat secara signifikan jika dibandingkan 5 tahun terakhir.

c.

Secara nasional, 21,08% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak.

d.

Pada tahun 2007, angka perempuan buta huruf nasional adalah 12,89%. Angka underweight pada
balita adalah 18,4%, angka tersebut telah mencapai target MDGs namun masalah kesehatan
masyarakat masih berada pada tingkat yang kurang. Prevalensi nasional untuk kurang gizi kronis
adalah 36,8%, angka ini tergolong tinggi untuk tingkatan kesehatan masyarakat.

e.

Angka rata-rata harapan hidup di Indonesia pada tahun 2007 adalah 68 tahun.

Kondisi Kerawanan Pangan Indonesia

Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah
ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum.
Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor struktural yang tidak dapat berubah dengan cepat seperti iklim
setempat, jenis tanah, sistem pemerintahan daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat
pendidikan, dll. Kerawanan pangan sementara adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk
memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah
dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya
3

utang, perpindahan penduduk (migrasi), dan sebagainya. Berikut adalah peta kerentanan terhadap kerawanan
pangan Indonesia dimana warna merah tua merupakan daerah dengan prioritas rawan utama, yakni didominasi
oleh Wilayah Indonesia Timur.
Gambar I. C.1 Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan
Pangan Indonesia

Dunia internasional melalui lembaga pangan dunia (Food And Agricultue Organization/FAO) mengakui
ketahanan pangan Indonesia dengan memberikan penghargaan sebagai negara yang tidak memiliki kasus
kelaparan di tahun 2013. Hal ini berbanding terbalik dengan data FAO pada tahun 2006-2008, presentase
kelaparan Indonesia adalah 13% dari total populasi yaitu sekitar 29,7 juta jiwa masih mengalami kelaparan. Di
masa depan Indonesia diprediksi akan terjadi kelangkaan pangan yang diakibatkan oleh beberapa hal seperti
kerusakan lingkungan, konversi lahan, tingginya harga bahan bakar fosil, pemanasan iklim dan lainlain. Pertumbuhan penduduk bergerak seperti deret geometri, sementara ketersediaan pangan bergerak
mengikuti deret aritmatika hal ini membuktikan bahwa selalu akan terjadi kelangkaan pangan. Apabila
kebutuhan pangan tidak dapat terpenuhi maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor pangan.
Dari sisi cadangan pangan, Indonesia sebetulnya sangat kuat. Sesuai perhitungan Badan Ketahanan
Pangan, cadangan pangan Indonesia dari segi energi mencapai 3.500 kilo kalori per kapita per hari. Sementara
dari segi kalori, sebesar 85 gram per kapita per hari. Untuk konsumsi riil, kebutuhan nasional energi hanya 2.200
kilo kalori per kapita per hari, dan asupan kalori hanya 57 gram per kapita. Persoalannya terletak pada distribusi
konsumsi yang tidak merata. Bagi kalangan miskin yang mencapai 11 %, atau sekitar 28 juta jiwa di seluruh
Indonesia, asupan energi dan kalori jauh lebih rendah dari rata-rata nasional. Kebutuhan beras pada tahun 2014
sebesar 33.013.214 ton, maka apabila harus ada surplus 10 juta ton sebagai cadangan, berarti harus ada
produksi beras minimal 43 juta ton. Bila produksi beras tidak memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka
pemerintah harus melakukan impor.

BAB II
4

ANALISIS STRATEGI KETAHANAN PANGAN INDONESIA


A.

Penilaian Eksternal

1.

Faktor-faktor Eksternal Utama


Penilaian eksternal sangat penting untuk mengevaluasi peluang dan ancaman terhadap ketahanan pangan
Indonesia yang dilihat dari faktor-faktor sebagai berikut:
a. Ekonomi
1) Sistem Perdagangan Pangan Dunia/Pasar Bebas
Sistem perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga
produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi
pasar bebas tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga
komoditas pangan, terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang
merah menjadi berfluktuasi.
2) Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Indonesia adalah negara yang mampu mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi di tingkat 6% saat
negara-negara Eropa dan/atau Asia lainnya menderita krisis ekonomi global di tahun 2008.
Perekonomian Indonesia saat ini 20 kali lebih besar dari tahun 1994. Indonesia memiliki laju perputaran
keuangan tercepat dibandingkan negara-negara anggota ASEAN. Pertumbuhan Indonesia adalah yang
terbaik kedua di forum G20. Citra perekonomian Indonesia cukup baik di mata internasional. Namun,
yang patut menjadi kekhawatiran adalah laju pertumbuhan tersebut didominasi oleh konsumsi rumah
tangga dibandingkan produksi, terutama apabila dikaitkan dengan produksi pangan dalam negeri.
3) Peningkatan Harga Pangan Global
Dalam publikasi terbaru yang diterbitkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) PBB mengenai
indeks harga makanan, indeks yang mengukur perubahan harga sekeranjang komoditas pangan
dunia secara bulanan, secara jelas menunjukkan bahwa harga komoditas tersebut mengalami kenaikan
terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir di berbagai belahan dunia. Harga pangan dianggap
sebagai tsunami bisu yang akan mempengaruhi kehidupan jutaan orang, karena tampaknya era
makanan murah telah berakhir dan beban dari harga-harga baru ini akan semakin membuat dunia
tenggelam seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia.
4) Inflasi pada Hari-hari Besar Keagamaan
Masalah kelangkaan bahan pokok selalu mengancam masyarakat mendekati hari-hari besar
keagamaan yang mengakibatkan kenaikan harga pangan di atas rata-rata, seperti yang terjadi pada
hari raya Idul Fitri tahun 2013 yakni inflasi mencapai 1,12 % (Data BPS, Agustus 2013). Sumbangan
inflasi tertinggi masih pada bahan makanan dengan andil sebesar 0,45 %, dan berefek domino karena
mengakibatkan kenaikan hampir seluruh produk, baik pangan (seperti bawang, daging, dan kedelai)
maupun non pangan. Inflasi ini dapat disebabkan baik oleh sistem ekonomi yang wajar (demand >
suppy), ataupun spekulasi pihak-pihak tertentu.

4) Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak

Kenaikan harga bahan bakar minyak adalah sumber utama dari kenaikan harga bahan pangan akibat
bertambahnya harga pokok produksi yang secara otomatis memberikan multiplier effects pada rantai
distribusi, asupan pangan warga miskin pun bisa semakin melorot per harinya. Hal ini menyangkut
kebijakan pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak melalui penetapan APBN-P tahun 2013. Oleh
karena itu, untuk mencegah adanya dampak negatif kenaikan BBM, pemerintah menyalurkan BLSM.
5) Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang
Berkurangnya aliran dana dari The Fed kepada sistem pasar uang dunia untuk mendorong kemandirian
dari bergantungnya sistem pasar Amerika pada insentif fiskal adalah salah satu sebab terjadinya
kenaikan nilai US Dollar terhadap Rupiah. Melemahnya nilai Rupiah disebabkan oleh ditariknya danadana segar berupa investasi asing di Indonesia yang menyebabkan jumlah US Dollar yang beredar
menipis. Melemahnya nilai Rupiah ini memberikan gejala baik secara langsung ataupun tidak langsung
pada kenaikan harga barang pangan, terutama yang bersumber dari impor.
6) Berkembangnya Berbagai Bentuk Pasar
Berbagai bentuk pasar di Indonesia yang berkembang selain pasar tradisional, pasar swalayan, dan
pasar modern lainnya membuka berbagai jaringan pemasaran terhadap produk-produk pertanian lokal
dan menghindari monopoli produsen-produsen tertentu. Sistem ini juga mampu meningkatkan kompetisi
dan kualitas bahan pangan.
b. Sosial, Budaya, Demografis, dan Lingkungan
1) Jumlah Penduduk yang Besar
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar nomor 4 di dunia (pada tahun 2010
berjumlah 239,871 juta jiwa) dengan laju pertumbuhan penduduk di kisaran 1,2 atau 1,3%.
Indonesia dianalogikan sebagai negara yang tidak pernah tua dan dikaruniai kekayaan demografis.
Penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 246,5 juta jiwa pada tahun 2015 dan berjumlah 337 juta
jiwa di tahun 2050, sehingga upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan merupakan tantangan
yang harus mendapatkan prioritas untuk kesejahteraan bangsa. Produksi pangan nasional perlu
secara signifikan ditingkatkan agar kebutuhan domestik dapat dipenuhi.
2)

Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan


Pada dekade yang lalu, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya yang berarti untuk mengurangi
tingkat kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan garis kemiskinan dunia (US$1 PPP), sejak tahun 2000
Indonesia telah mencapai target yang ditetapkan dalam MDGs untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015 yaitu sebesar 10,3% dari penduduk nasional. Namun,
ada 34,96 juta orang (15,42%) yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional (US$1,55 PPP) pada
tahun 2008 yang kurang lebih setara dengan angka sebelum krisis pada tahun 1996 (34,01 juta orang).
Hampir 64% dari penduduk miskin tinggal di daerah pedesaan. Dan dari seluruh masyarakat miskin
tersebut lebih dari 57% tinggal di pulau Jawa. Ketahanan pangan merupakan hal yang harus
diperhatikan pemerintah agar kebutuhan masyarakat penduduk di golongan ini dapat tetap terpenuhi.

3) Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia


Tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat Indonesia yang semakin membaik mempengaruhi
perubahan pola konsumsinya. Kecenderungan tersebut menjadi gaya hidup dimana masyarakat kelas
menengah ke atas sudah tidak bergantung pada nasi sebagai pangan, dan lebih memilih untuk
melakukan diversifikasi terhadap kualitas dan kuantitas pangan. Berikut adalah proyeksi pola konsumsi
pangan untuk tahun 2014 yang ditampilkan dalam lampiran 1.
6

3) Letak Geografis Indonesia


Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan ribuan pulau dan luas daratan sekitar
1.922.570 km persegi memiliki potensi pengembangan lahan pangan yang sangat besar dan sangat
banyak wilayah yang belum dieksplorasi dengan baik yang dapat dijadikan potensi sumber keamanan
pangan di masa depan. Potensi sumber pangan yang beragam dan letak geografis Indonesia di jalur
khatulistiwa menyebabkan Indonesia relatif aman dari dampak global climate change, merupakan
opportunity yang tidak boleh dilewatkan.
4) Citra Indonesia Sebagai Negara Agraris
Citra Indonesia sebagai negara agraris dapat mengembalikan semangat dan ingatan bangsa Indonesia
bahwa bangsa ini dikaruniai oleh negeri yang makmur gemah ripah loh jinawi dan pernah
dibesarkan dari hasil-hasil pertanian sendiri. Hal itu yang memicu Indonesia untuk optimis melakukan
swasembada pangan di tahun 2014, dan berusaha mengikis cap sebagai negara agraris yang aktif
mengimpor pangan, bahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
5) Tingkat Kesehatan dan Kesadaran Gizi
Secara nasional, sebanyak 21,08 % rumah tangga masih tidak mempunyai akses terhadap air bersih
(data tahun 2007) dan 13% perempuan dinyatakan buta huruf. Perbaikan di tingkat kesehatan dan
kesadaran gizi terutama untuk perempuan baik dalam memberdayakan sumber pangan maupun gizi
keluarga sangat penting untuk membangun kesadaran ketahanan pangan Indonesia.
6) Menurunnya Tren Profesi di Bidang Pertanian
Meningkatnya lulusan perguruan tinggi Indonesia terutama dari fakultas pertanian tidak sebanding
dengan profesi di bidang pertanian yang digeluti. Masyarakat cenderung menilai profesi petani
sebagai profesi yang tidak bernilai dan tidak menjanjikan. Oleh karena itu, sektor pertanian semakin
ditinggalkan dan inovasi di bidang pertanian juga tertinggal. Sektor pertanian Indonesia masih
didominasi oleh masyarakat pedesaan, yang mewariskan lahannya secara turun temurun dan pada
suatu kondisi akan tetap berbenturan pada pilihan apakah generasinya akan melanjutkan atau beralih
ke jalur lain.
7) Lemahnya Infrastruktur Pertanian
Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan kemiskinan lokal, dimana masyarakat yang
tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar
yang buruk, sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai, serta
harus menanggung harga yang lebih besar untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Lemahnya
infrastruktur pertanian pasca era otonomi daerah karena pertanian saat ini menjadi kewenangan dari
pemerintah daerah. Kajian kebijakan pertanian Indonesia (Review of Agricultural Policies: Indonesia)
menyatakan bahwa mendorong penanaman modal swasta berkelanjutan pada sektor pertanian
merupakan hal penting untuk mendukung infrastruktur daerah.
8) Bencana Alam
Bencana alam merupakan salah satu sebab utama kerawanan pangan sementara. Indonesia adalah
salah satu negara yang paling rawan terhadap bencana alam di dunia, berdasarkan pada kejadian
besar yang didominasikan oleh Center for Research on the Epidemology of Disasters (CRED), Brussel,
Belgia. Berdasarkan data dari BNPB terjadi lebih dari 4.500 kejadian bencana alam selama periode
tahun 2000-2007 yang telah menyebabkan lebih dari 141.000 orang meninggal dunia. Data bencana
alam nasional tersebut memiliki lebih banyak jenis kejadian bencana daripada database CRED dan
termasuk kejadian tingkat besar kecilnya bencana yang meliputi angin topan, banjir, kekeringan, letusan
7

gunung berapi, gempa bumi, Tsunami, tanah longsor, abrasi pantai, epidemik, hama tanaman,
kebakaran hutan dan pemukiman. Kejadian bencana Tsunami di Aceh pada 2004 telah menyebabkan
lebih dari 128.000 orang meninggal serta menyebabkan kerugian yang sangat besar pada sektor
ekonomi. Kejadian bencana alam paling sering terjadi di Jawa Tengah, kemudian diikuti oleh Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
9) Fluktuasi Curah Hujan
Variasi curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik global, regional maupun
lokal. Faktor global antara lain adalah fenomena El Nino, La Nina, dan Dipole Mode, sedangkan faktor
regional antara lain Sirkulasi Monsun, Madden Julian Oscillation (MJO), dan suhu muka laut perairan
Indonesia. Sementara itu faktor lokal yang berpengaruh adalah ketinggian tempat, posisi bentangan
suatu pulau, sirkulasi angin darat dan angin laut, serta tutupan lahan suatu wilayah. Pengaruh dari iklim
yang ekstrim pada musim hujan menyebabkan banjir dan pada musim kemarau menyebabkan
kekeringan. Iklim juga dapat menyebabkan perkembangan organisasi pengganggu tanaman secara
eksplisit (OPT). Dengan adanya banjir, kekeringan dan OPT dapat menyebabkan pertumbuhan
tanaman tidak sempurna dan mungkin menyebabkan gagal panen. Daerah puso didefinisikan sebagai
suatu daerah produksi pangan yang rusak karena disebabkan oleh bencana alam (banjir, kekeringan,
longsor) dan penularan hama oleh OPT. Secara nasional kerusakan tanaman padi akibat banjir sebesar
1,17% di tahun 2006 dan 0,82% di tahun 2007. Pada periode yang sama secara nasional kerusakan
tanaman padi akibat kekeringan sebesar 0,68% di tahun 2006 dan 0,48% di tahun 2007. Selama
periode dua tahun tersebut, Jawa Barat merupakan daerah yang paling banyak mengalami kerusakan.
10) Deforestasi Hutan
Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversiti yang terletak dalam lintasan distribusi
keanekaragaman hayati benua Asia dan Australia serta daratan Wallacea. Indonesia memiliki hutan
tropis ketiga terluas di dunia sehingga sangat penting peranannya sebagai bagian dari paru-paru bumi
serta menstabilisasi iklim global. Luas kawasan hutan Indonesia termasuk perairan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna
Kesepakatan (TGHK) adalah sebesar 137,09 juta ha. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan
masih cukup tinggi terutama masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan untuk memenuhi
kebutuhan akan lahan pertanian dan sumber penghidupan lainnya. Perkembangan pembangunan
meningkatkan laju deforestasi hutan dimana hutan mulai beralih fungsi akibat adanya isu pembalakan
liar dan pembukaan lahan kelapa sawit yang semakin luas sebagai salah satu ancaman dalam
keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan.
c. Politik, Pemerintahan, dan Hukum
1) Praktek Kartel (Game Theory Bisnis Pangan)
Praktek kartel menguasai komoditas pangan nasional sudah berlangsung lama dan sangat merugikan
produksi pangan nasional. Praktek kartel dianggap sebagai salah satu game dalam bisnis pangan di
Indonesia. Kartel yang merupakan persekongkolan segelintir perusahaan sudah terjadi meluas di sektor
pangan dalam negeri. Seperti contohnya kartel terjadi dalam impor pangan yaitu impor daging yang
mayoritas dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina. Hal ini
mengindikasikan dominasi impor yang sangat besar dan hanya dalam satu negara saja. Ada enam
komoditas yang telah dikuasai kartel antara lain daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan
beras. Bila dirinci, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel pada kebutuhan
daging sapi diperkirakan mencapai 340.000 ton nilai atau sekitar Rp 340 miliar, daging ayam 1,4 juta
ton sekitar Rp 1,4 triliun. Selanjutnya gula sebanyak 4,6 juta ton mencapai Rp 4,6 triliun, kedelai 1,6 juta
8

ton Rp 1,6 triliun, jagung 2,2 juta ton Rp 2,2 triliun, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan
mencapai Rp1,2 triliun. Gambaran seperti itu diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional
yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangannya. Terbongkarnya praktik suap
impor daging sapi membuktikan permasalahan yang terjadi di Kementerian Pertanian sudah sangat
serius. Tingginya harga bawang putih dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia, merupakan puncak
masalah akibat dari hancurnya sistem bernegara dan berpindahnya kekuasaan negara ke tangan kartel,
mafia, dan sindikat pangan. Akibatnya, negara tidak lagi dapat mengontrol harga. Pasokan bawang
putih sepenuhnya dikuasai sindikat yang bekerjasama dengan oknum pemerintahan. Hal inilah yang
mendorong melangitnya harga bawang putih hingga mencapai Rp 70.500 per kilogramnya pada
pertengahan tahun 2013. Kebijakan pemerintah melalui peraturan kebijakan impor yang
menguntungkan importir akan dimanfaarkan oleh importir nakal untuk menahan pasokan dan
memainkan harga pangan.
2) Policy Partnership on Food Security (PPFS)
Policy Partnership on Food Security (PPFS) atau Kemitraan Kebijakan Ketahanan Pangan, yang
diresmikan 2012 di Kazan Rusia merupakan kemitraan antara sektor swasta dan pemerintah dengan
tugas membahas kebijakan ketahanan pangan di kawasan APEC. Sesuai dengan acuan kerja PPFS,
sebagai tuan rumah APEC tahun 2013, Indonesia otomatis menjadi Ketua PPFS. Sebagai ketua,
Indonesia mengusung tema PPFS 2013 dan disepakati seluruh anggota PPFS, Aligning Farmers Into
the Achievement of Global Food Security, atau Menyelaraskan Peran petani dalam Pencapaian
Ketahanan Pangan Global. Dengan tema ini, Indonesia ingin menempatkan petani, terutama petani
kecil, sebagai sentral dari pembangunan ketahanan pangan. Oleh karena itu, APEC PPFS mendukung
perdagangan internasional pangan yang dapat meningkatkan pendapatan dengan pembagian manfaat
yang lebih berkeadilan bagi para pelaku usaha kecil.
3) Washington Consensus
Selama Indonesia masih berkiblat pada Konsensus Washington, selama itu juga Indonesia tidak bisa
mandiri secara pangan. Konsensus Washington membuat Rakyat Indonesia tak leluasa bergerak dalam
menentukan nasib produktivitas pertaniannya. Maka, tak heran jika ketahanan pangan Indonesia lemah.
Tidak heran jika rakyat yang miskin di Indonesia malah semakin miskin dan akan ada banyak yang
kehilangan pekerjaan. Akibat Konsensus Washington, liberalisasi pasar akan menguasai cara pasar
Indonesia. Akibat Konsensus Washington, privatisasi beberapa perusahaan negara diberlakukan
sebagai jalan untuk mengatasi krisis negara. Ironis. Menurut situs web resmi Serikat Petani Indonesia,
kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari ketahanan pangan (food security). Mustahil tercipta
ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi
dan konsumsi pangannya.
d. Teknologi
1) Dominasi Pertanian Konvensional
Sebagian besar pertanian Indonesia masih dikelola oleh sistem konvensional yang sangat besar
mengalami risiko gagal panen akibat pengaruh iklim, banjir, atau kekeringan. Risiko ini dapat
diminimalkan dengan pengimplementasian teknologi pertanian yang dapat mengurangi risiko alam dan
juga mempercepat masa waktu panen. Modernisasi pertanian baik untuk menghasilkan bahan pangan
organik, efisiensi biaya dan waktu, dan diversifikasi pangan sangat penting untuk meningkatkan
ketahanan pangan dan nilai produk pertanian, tetapi masih sering diabaikan.
2) Pemanfaatan Teknologi Nuklir
9

Upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, satu di antaranya dengan
memperhitungkan pemanfaatan teknologi nuklir, seperti yang dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN). Teknik yang digunakan adalah melakukan pemuliaan tanaman dengan teknologi mutasi
radiasi. Inovasi teknologi nuklir di bidang pertanian telah terbukti mampu membantu pemerintah dalam
penyediaan benih berkualitas. Benih tersebut antara lain padi, kedelai, sorgum, kacang hijau, dan
gandum. Benih berkualitas harus memiliki keunggulan, antara lain daya hasil yang tinggi atau
berlimpah, berumur pendek, tahan terhadap hama penyakit dan kekeringan. Pemanfaatan teknologi
nuklir di bidang kesehatan dan reproduksi ternak juga berperan untuk meningkatkan produksi daging
dan susu.
3) Peran Media
Peran media di Indonesia yang cukup bebas dalam menyebarkan informasi sejak era reformasi besar
pengaruhnya dalam fluktuasi harga pangan di pasar. Isu-isu yang disampaikan oleh media dapat
menjadi stimulus baik positif maupun negatif terhadap pasar. Pasar menjadi lebih sensitif terhadap
informasi dibandingkan kondisi supply dan demand itu sendiri. Sebagai contoh, saat media
mengabarkan bahwa terjadi kelangkaan kedelai maka harga kedelai menjadi naik di pasaran dan
perlahan-lahan menjadi langka, baik secara disengaja ataupun tidak. Media juga menjadi alat kontrol
pemerintah untuk melihat apakah kebijakan pemerintah berjalan dengan baik atau tidak melalui
pengamatan langsung pada masyarakat.
4) Peran Teknologi Informasi
Teknologi informasi diharapkan dapat memberikan perbaikan dalam pengawasan ketahanan pangan di
Indonesia. Dengan bantuan pencitraan dari satelit, pemerintah dapat menemukan titik-titik kritis
kerawanan pangan secara lebih efektif dan mengumpulkan data-data yang akurat sebagai bahan
pengambilan kebijakan.
e. Kompetitif
1) Pertanian Indonesia yang Cenderung Konvensional
Modernisasi pertanian yang telah digalakkan oleh negara-negara maju seperti Jepang, Thailang, dan
Amerika Serikat memberikan efek positif terhadap pengelolaan bibit unggul, berskala besar, dengan
efisiensi waktu panen, dan pencegahan risiko gagal panen. Sistem pertanian Indonesia yang cenderung
konvensional tertinggal dari kompetisi penyediaan pangan ini, terutama kaitannya dengan perdagangan
internasional.
2) Persaingan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Dari sisi penyediaan (supply), adanya persaingan pemanfaatan sumber daya alam (lahan, air, perairan)
yang lebih ketat lagi pada tahun-tahun mendatang dapat menurunkan kapasitas penimgkatan produksi
pangan global. Luas pengusahaan lahan per petani di negara berkembang kawasan APEC yang sempit
(sekitar 0,22 ha pada tahun 2012) akan menyulitkan upaya peningkatan produksi pangan dan
kesejahteraan petani. Selain itu, perubahan iklim ekstrem juga dapat menurunkan produksi pangan
utama, seperti beras, gandum dan ikan.
3) Indonesia sebagai Negara Agraris Pengimpor Pangan
Meski dikenal sebagai negara agraris dengan lahannya yang subur, Indonesia ternyata masih belum
sanggup memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Pasokan pangan masyarakat di tanah air masih
dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain seperti Thailand, Vietnam bahkan Madagaskar. Sebut saja
ubi kayu, pemerintah lewat para petani lokalnya ternyata belum bisa memenuhi kebutuhan pangan
10

tersebut. Terbukti kurun Januari-Juni 2013, pemerintah masih mengimpor sekitar 100.798 ribu kg ubi
kayu. Sementara komoditas pangan yang paling banyak diimpor adalah gula tebu dan jagung dengan
volume impor masing-masing sebesar 1,85 miliar dan 1,29 miliar kg. Mengutip data Badan Pusat
Statistik (BPS) berikut 28 komoditas pangan masyarakat Indonesia yang masih diimpor dari negara lain
untuk periode Januari-Juni 2013:
1. Beras
Nilai impor : US$ 124,36 juta
Volume impor : 239,31 juta kg
Negara asal : Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.
2. Jagung
Nilai impor : US$ 393,18 juta
Volume impor : 1,29 miliar kg
Negara asal : India, Argentina, Brazil, Paraguay, Amerika Serikat dan lainnya.
3. Kedelai
Nilai impor : US$ 509,47 juta
Volume impor : 826,33 juta kg
Negara asal : Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Ethiopia, Ukraina dan lainnya.
4. Biji Gandum dan Meslin
Nilai impor : US$ 1,22 miliar
Volume impor : 3,24 miliar kg
Negara asal : Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura, dan lainnya.
5. Tepung Terigu
Nilai impor : US$ 36,8 juta
volume impor : 82,5 juta kg
Negara asal : Srilanka, India, Ukraina, Turki, Jepang, dan lainnya.
6. Gula Pasir
Nilai impor : US$ 20,06 juta
Volume impor : 32,64 juta kg
Negara asal : Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru, dan lainnya.
7. Gula Tebu
Nilai impor : US$ 980,46 juta
Volume impor : 1,85 miliar kg
Negara asal : Thailand, Brazil, Australia, El Salvador, Guatemala dan lainnya.
8. Daging Sejenis Lembu
Nilai impor : US$ 87,25 juta
Volume impor : 17,86 juta kg
Negara asal : Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan dan lainnya.

11

9. Jenis Lembu
Nilai impor : US$ 123,84 juta
Volume impor : 44,28 juta kg
Negara asal : Australia
10. Daging Ayam
Nilai impor : US$ 509,47 juta
Volume impor : 826,33 juta kg
Negara asal : Malaysia
11. Garam
Nilai impor : US$ 43,12 juta
Volume impor : 923,57 juta kg
Negara asal : Australia, India, Jerman, Selandia Baru, Singapura dan lainnya.
12. Mentega
Nilai impor : US$ 43,85 juta
Volume impor : 10,18 juta kg
Negara asal : Selandia Baru, Belgia, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.
13. Minyak Goreng
Nilai impor : US$ 33,07 juta
Volume impor : 34,88 juta kg
Negara asal : India, Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura dan lainnya.
14. Susu
Nilai impor : US$ 379,3 juta
Volume impor : 103,47 juta kg
Negara asal : Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya.
15. Bawang Merah
Nilai impor : US$ 28,57 juta
Volume impor : 63,17 juta kg
Negara asal : India, Thailand, Vietnam, Filipina, China dan lainnya.
16. Bawang Putih
Nilai impor : US$ 144,43 juta
Volume impor : 187,86 juta kg
Negara asal : China, India dan Vietnam
17. Kelapa
Nilai impor : US$ 441.191
Volume impor : 445.585 kg
Negara asal : Thailand, Singapura, Vietnam dan Filipina
18. Kelapa Sawit
Nilai impor : US$ 1,74 juta
Volume impor : 3,24 juta kg
12

Negara asal : Malaysia, Papua Nugini dan Kepulauan Virginia


19. Lada
Nilai impor : US$ 2,003 juta
Volume impor : 136.277 kg
Negara asal : Vietnam, Malaysia, Belanda, India dan lainnya.
20. Teh
Nilai impor : US$ 15,66 juta
Volume impor : 11,41 juta kg
Negara asal : Vietnam, India, Kenya, Iran, Srilanka dan lainnya.
21. Kopi
Nilai impor : US$ 31,52 juta
Volume impor : 13,48 juta kg
Negara asal : Vietnam, Brazil, Amerika Serikat, Italia, dan lainnya.
22. Cengkeh
Nilai impor : US$ 1,87 juta
Volume impor : 182.861 kg
Negara asal : Madagaskar, Mauritis, Singapura
23. Kakao
Nilai impor : US$ 36,02 juta
Volume impor : 14,37 juta kg
Negara asal : Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun, Ekuador dan lainnya.
24. Cabe (kering tumbuk)
Nilai impor : US$ 11,25 juta
Volume impor : 8,79 juta kg
Negara asal : India, China, Malaysia, Jerman, Thailand, dan lainnya.
25. Cabe (awet sementara)
Nilai impor : US$ 1,09 juta
Volume impor : 1,11 juta kg
Negara asal : Thailand, China dan Malaysia
26. Tembakau
Nilai impor : US$ 274,7 juta
Volume impor : 54,59 juta kg
Negara asal : China, Turki, Brasil, Filipina, Amerika Serikat dan lainnya.
27. Ubi Kayu
Nilai impor : US$ 38.380
Volume impor : 100.798 kg
Negara asal : Thailand

13

28. Kentang
Nilai impor : US$ 14,33 juta
Volume impor : 21,65 juta kg
Negara asal : Australia, Kanada, China dan Inggris.

4) Rendahnya Kualitas Produk Lokal


Masyarakat cenderung untuk menggunakan produk impor dengan alasan kualitasnya yang bagus
maupun harganya yang relatif terjangkau. Namun bukan berarti bahwa pemerintah terus harus
melakukan kegiatan impor. Pemerintah perlu menetapkan setiap produk impor yang masuk ke
Indonesia sehingga diharapkan produk impor yang masuk ke Indonesia dapat berkurang.

2. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal


Audit eksternal lebih lanjut dilakukan melalui Matriks External Factor Evaluation (EFE). Matriks EFE
digunakan untuk melihat seberapa responsif Indonesia menghadapi tantangan dan peluang terhadap ketahanan
pangan. Faktor-faktor yang dipilih dalam EFE adalah peluang dan ancaman yang diperhitungkan paling
signifikan terhadap keberlangsungan ketahanan pangan di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, Matriks EFE
ketahanan pangan di Indonesia disajikan dalam tabel berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Opportunities
Pola Konsumsi Masyarakat Indonesia
Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Berkembangnya Berbagai Bentuk Pasar
Letak Geografis Indonesia
Citra Indonesia Sebagai Negara Agraris
Policy Partnership on Food Security
Peran Media
Tingkat Kesehatan dan Kesadaran Gizi
Peran Teknologi Informasi
Threats
Sistem Perdagangan Pasar Bebas
Indonesia sebagai Negara Agraris Pengimpor Pangan
Dominasi Pertanian Konvensional
Bencana alam
Fluktuasi curah hujan
Jumlah Penduduk yang Besar
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak
Mafia Pangan dan Praktek Kartel (Game Theory)
Fluktuasi Nilai Tukar Mata Uang
TOTAL

Bobot
0,04
0,04
0,04
0,07
0,05
0,04
0,06
0,04
0,06
Bobot
0,07
0,08
0,05
0,04
0,05
0,06
0,06
0,09
0,06
1,00

B.

Penilaian Internal

1.

Kekuatan dan Kelemahan Ketahanan Pangan di Indonesia

Peringkat
2
1
2
2
2
4
3
2
1
Peringkat
2
1
2
3
3
2
3
1
3

Skor Total
0,08
0,04
0,08
0,14
0,10
0,16
0,18
0,08
0,06
Skor Total
0,14
0,08
0,10
0,12
0,15
0,12
0,18
0,09
0,18
2,08

Penilaian internal sangat penting untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan manajemen ketahanan
pangan di Indonesia yang penulis simpulkan sebagai berikut:
a) Kekuatan
Kekuatan ketahanan pangan di Indonesia didominasi oleh aspek regulasi, kelembagaan, dan keuangan
negara.
14

1) Pengaturan Pangan Diatur dalam Undang-Undang


Menurut UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
utama. Pemenuhannya menjadi bagian dari hak asasi setiap individu. Di Indonesia pemenuhan
kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat merupakan kewajiban moral, sosial, maupun hukum, termasuk
hak asasi setiap rakyat Indonesia. UU tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama
masyarakat mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Kelembagaan di Bidang Pangan
Sebagai bagian dari perencanaan pembangunan pertanian yang dikelola oleh Badan Ketahanan
Pangan, Kementerian Pertanian, tujuan dan sasaran pembangunan ketahanan pangan tahun 2010
2014 akan diwujudkan melalui kegiatan prioritas nasional.
3) Kebijakan Perlindungan Produsen dari Pemerintah Indonesia
Demi melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga membatasi atau memberi kuota terhadap
masuknya produk impor ke Indonesia. Perusahaan dalam negeri sendiri juga tidak bisa hanya
mengandalkan perlindungan produk dari pemerintah. Perlindungan produsen dalam negeri hanya perlu
dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan tentunya pemerintah juga harus mempersiapkan mereka untuk
dapat bersaing.
4) Konsumen Domestik yang Besar
Kekuatan lain yang dimiliki oleh Indonesia adalah konsumen domestik yang besar menjadi pasar dalam
negeri yang potensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
5) Kebijakan Anggaran
UU No. 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2013 tentang APBN Tahun Anggaran
2013 dalam Pasal 8 mengamanatkan kenaikan jumlah subsidi pangan, subsidi pupuk, dan subsidi benih
untuk tahun anggaran 2013. Dalam rangka untuk mengurangi beban subsidi pertanian terutama pupuk pada
masa yang akan datang, pemerintah menjamin harga gas untuk memenuhi kebutuhan perusahaan
produsen pupuk dalam negeri dengan harga domestik. Di samping itu, pemerintah juga mengutamakan
kecukupan pasokan gas yang dibutuhkan perusahaan produsen pupuk dalam negeri dalam rangka menjaga
ketahanan pangan, dengan tetap mengoptimalkan penerimaan negara dari penjualan gas. Dalam rangka
pelaksanaan subsidi pupuk tersebut, pemerintah daerah diberi kewenangan mengawasi penyaluran pupuk
bersubsidi melalui mekanisme Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK).
6) Penguatan Peran DPR
DPR yang memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan mempunyai peran penting dalam
pencapaian setiap keputusan nasional yang diambil pemerintah. Komisi IV DPR yang membidangi pertanian
memiliki target menelurkan sejumlah UU untuk mendukung tumbuhnya pertanian nasional antara lain UU
Holtikultra, UU Pangan, UU Perlindungan Pemberdayaan Petani, dan UU lainnya. Namun belum ada
eksekusi dari pemerintah atas produk hukum ini. DPR juga sangat berperan dalam memberikan persetujuan
anggaran terhadap besaran subsidi dan kebijakan ekspor-impor yang akan diambil pemerintah. Namun
sayangnya tidak terdapat koordinasi yang baik antara pemerintah dan DPR, karena langkah-langkah
penyelamatan ketahanan pangan seringkali hanya dilakukan secara represif, bukan preventif.
7) Penguatan Peran BULOG
Pemerintah telah menetapkan Perum BULOG menjalankan fungsinya sebagai penyangga agar harga
pangan tidak berfluktuasi dan cadangan pangan untuk kondisi darurat tetap terjaga. BULOG diharapkan
mampu menjaga harga pangan di pasar lokal sehingga petani menerima harga jual yang tetap memberikan
15

keuntungan bagi usaha taninya dan konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau.
Setidaknya untuk beberapa produk pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi dan
minyak goreng. Di dalam draft Rancangan Undang-Undang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1996
tentang Pangan, BULOG harus lebih diberdayakan. Di dalam undang-undang yang lama, peranannya tidak
spesifik dan terlalu umum.
8) Peran KPPU
Bila terindikasi ada peran kartel atau mafia pangan maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
harus turun mengatasi. KPPU bisa menggunakan UU nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk menjerat para distributor yang melakukan praktik
monopoli dan kartel.
9) Porsi Bantuan / Transfer Ke Daerah
Sesuai amanat UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, pusat menyerahkan bantuan berupa Dana Alokasi Khusus dan/atau hibah daerah
dalam rangka mendanai ketahanan pangan di daerah.

b) Kelemahan
Kelemahan ketahanan pangan di Indonesia cukup kompleks, sangat banyak yang harus dibenahi, dan
didominasi oleh faktor SDM sebagai subjek dan produk pangan sebagai objek.
1) Deregulasi di Bidang Pangan
Deregulasi, beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian
rakyat. Seperti contoh UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 4 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, Perpres No. 36 dan 65 Tahun 2006, UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Perkebunan,
dan yang termutakhir UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini,
upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah
dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi,
distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini
tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola
produksidistribusikonsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya.
2) Kualitas Penyuluhan Petani yang Belum Memadai
Pada dasarnya petani di Indonesia sangat produktif dan profesional di bidangnya. Banyak dari mereka
bahkan mampu mengidentifikasi jenis hama dan penyakit tanaman hanya dari penampilan fisik dan fisiologi
tanaman. Penurunan kapasitas kelembagaan petani dan kurangnya kepedulian terhadap peningkatan
petani Indonesia menjadi salah satu sebab krisis pangan dan lemahnya produktivitas pangan. Pemerintah
belum menyentuh aspek soft skill petani yang menjadi titik emas dalam ketahanan pangan. Selama periode
2006-2010, dukungan pemerintah kepada sektor pertanian yang diukur dengan Producer Support Estimate
(PSE) rata-rata mencapai 9 % dari total nilai produksi yang diterima petani atau lebih rendah dari rata-rata
negara anggota OECD. Laporan OECD ini mengusulkan reformasi yang dapat memperbaiki efisiensi
dukungan untuk petani maupun konsumen miskin.
3) Bea Masuk Nol Persen
Pemerintah telah membebaskan impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Kebijakan ini
membuat pengaruh yang signifikan terhadap kedelai lokal karena harus bersaing dengan kedelai impor asal
Amerika Serikat.
16

4) Tingkat Pendapatan Petani yang Rendah


Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah rendahnya harga
komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di daerah pedesaan dibandingkan dengan
harga di perkotaan untuk komoditas dengan kualitas yang sama (komoditas belum diubah atau diproses).
Rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya transportasi
pemasaran hasil pertanian dari produsen awal.
5) Menurunnya Preferensi Sektor Pertanian Sebagai Sumber Pendapatan Masyarakat
Dengan produktivitas pertanian yang peningkatannya relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir,
fragmentasi lahan yang relatif tinggi di wilayah padat penduduk dan pengaruh curah hujan yang tak
menentu di wilayah bagian timur kawasan Indonesia, berdampak kurang menguntungkan pada masyarakat
yang bergantung terhadap produksi tanaman pangan (di lahan sendiri ataupun sistem bagi hasil) sebagai
sumber pendapatan utama. Apabila petani sejahtera, maka lahan-lahan pertanian akan dapat dipertahankan
dan tidak lagi beralih fungsi. Selain itu, sebagian besar wilayah Indonesia bagian timur kurang cocok untuk
lahan pertanian pangan.
6) Kendala pada Sistem Pemasaran dan Distribusi
Distribusi ke wilayah timur masih lambat karena keterbelakangan infrastruktur sehingga arus ketersediaan
pangan terhambat dan harga jual pangan menjadi mahal. Ketergantungan impor bahan baku pangan juga
disebabkan mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per kilometer.
Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam yang rata-rata sebesar 22 sen dolar
AS per kilometer. Pasar juga seringkali dikuasai oleh oknum tertentu yang sering menguasai produk petanipetani tertentu dan membebani biaya-biaya di luar yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pengelolaan
kebijakan pangan oleh pemerintah pun dinilai masih sangat sentralistik.
7) Proses Diversifikasi Berjalan Lamban
Kampanye diversifikasi dan konsumsi produk pangan non beras hanya menyentuh masyarakat perkotaan
dan kalangan menegah ke atas. Konsumsi nasi masih menjadi budaya tak terpisahkan dari sebagian besar
masyarakat Indonesia.
8) Luas Lahan Pertanian yang Semakin Sempit
Penyebab impor bahan pangan selanjutnya adalah luas lahan pertanian yang semakin sempit. Terdapat
kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari
tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta ha di Jawa dan 0,62 juta
ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha
di Jawa dan sekitar 2,7 juta ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa
diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia
terhadap beras impor.
9) Mahalnya Harga Produk Lokal
Jika ditelaah kembali ada beberapa hal yang membuat harga produk lokal cukup melambung. Di antaranya
adalah sistem distribusi dalam negeri yang kurang efisien sehingga memerlukan biaya lebih untuk
transportasi. Selain itu, peralatan tradisiona; yang digunakan pada pabrik juga dinilai kurang efisien. Halhal
tersebut menjadi kendala utama bagi rakyat Indonesia sehingga kalah bersaing dari negara lain.
10) Pergeseran Musim
Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani kesulitan dalam menetapkan waktu
yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih beserta pupuk, dan sistem pertanaman yang digunakan.
17

Sehingga penyediaan benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaanya menjadi tidak menentu yang
dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk. Akhirnya hasil produksi
pangan pada waktu itu menurun.
11) Kurangnya Riset dan Pengembangan Teknologi
Kurangnya kepedulian pada riset dan pengembangan teknologi adalah salah satu penyebab tertinggalnya
bangsa ini. Pengembangan teknologi kultur jaringan, teknologi transgenik, dan analisis molekuler sangat
diperlukan untuk masa depan ketahanan pangan yang mandiri. Semua produk hasil litbang BATAN baik di
bidang pertanian, peternakan, dan perikanan juga harus selayaknya dipatenkan.
12) Rendahnya Produktivitas Produk Lokal
Dengan mengambil sample kedelai, rata-rata setiap hektar lahan kedelai di Indonesia saat ini hanya mampu
memproduksi 1,5 ton. Padahal di Amerika Serikat produksi kedelai setiap hektar lahan bisa mencapai 3 ton
hingga 3,5 ton. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kedelai lokal adalah tidak tersedianya subsidi
pupuk dan pemberian benih kedelai varietas unggul ke petani.
13) Buruknya Tata Ruang
Buruknya tata ruang nasional merembet pada tata ruang di tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten,
sehingga perlindungan terhadap kawasan pertanian menjadi tidak optimal. Pengalihan lahan basah menjadi
lahan kering untuk selanjutnya dijadikan lahan perumahan juga telah banyak terjadi. Keadaan ini lamakelamaan akan semakin membuat berkurangnya lahan pertanian. Termasuk juga penggunaan pupuk buatan
sebagai pengganti pupuk organik yang berpotensi mengganggu kesuburan tanah persawahan.

2. Matriks Evaluasi Faktor Internal


Audit internal lebih lanjut dilakukan melalui Matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Matriks IFE digunakan
untuk melihat kualitas manajemen ketahanan pangan Indonesia. Faktor-faktor yang dipilih dalam IFE adalah
kekuatan dan kelemahan baik secara mayor atau minor diperhitungkan paling signifikan terhadap manajemen
ketahanan pangan di Indonesia. Matriks IFE ketahanan pangan di Indonesia disajikan sebagai berikut:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Strengths
Pengaturan Pangan Diatur dalam Undang-Undang
Kelembagaan di Bidang Pangan
Kebijakan Perlindungan Produsen dari Pemerintah
Indonesia
Konsumen Domestik yang Besar
Kebijakan Anggaran
Penguatan Peran DPR
Penguatan Peran BULOG
Peran KPPU
Porsi Bantuan / Transfer Ke Daerah
Weakness
Bea Masuk Nol %
Tingkat Pendapatan Petani yang Rendah
Menurunnya Preferensi Sektor Pertanian Sebagai
Sumber Pendapatan Masyarakat
Kendala pada Sistem Pemasaran dan Distribusi
Luas Lahan Pertanian yang Semakin Sempit
Mahalnya Harga Produk Lokal
Kurangnya Riset dan Pengembangan Teknologi
Rendahnya Produktivitas Produk Lokal
Pergeseran Musim
18

Bobot
0,04
0,04
0,06

Peringkat
3
4
3

Skor Total
0,12
0,16
0,18

0,07
0,09
0,08
0,07
0,04
0,04
Bobot
0,05
0,04

4
3
3
3
3
3
Peringkat
1
1

0,28
0,27
0,24
0,21
0,12
0,12
Skor Total
0,05
0,04

0,04

0,04

0,06
0,07
0,05
0,04
0,07
0,05

1
1
2
2
2
1

0,06
0,07
0,10
0,08
0,14
0,05

TOTAL

C.

1,00

2,33

Matriks SWOT

Dari hasil analisis Matriks EFE dan Matriks IFE, bisa disimpulkan bahwa kekuatan yang paling besar
adalah kebijakan anggaran negara dan kelemahan yang paling lemah terletak pada SDM atau para pelaku tani.
Sementara peluang yang dimiliki Indonesia berupa geografis yang luas dengan potensi besar untuk dapat
diberdayakan dan ancaman yang paling perlu dihindari adalah peran mafia dan kartel pangan yang mask dalam
sistem pasar Indonesia. Strategi yang muncul dari SO, WO, ST dan WT disajikan pada tabel berikut:
Matrix
SWOT

Internal Strength (S)


1. S1
2. S2
3. S3
.....
9. S9

Internal Weakness (W)


1. W1
2. W2
3. W3
.....
9. W9

D.

External Opportunities (O)


1. O1
2. O2
.....
9. O9
SO Strategy (maxi-maxi)
1. Pengembangan lahan abadi, lahan sawah
beririgasi, dan lahan kering di wilayahwilayah sumber pangan baru Indonesia
(S2-O5)
2. Diversifikasi Pangan (O1-O2)
3. Subsidi pangan, benih, dan pupuk yang
tepat sasaran (O2-S5 S6)
4. Penguatan ketahanan pangan daerah
sebagai bagian dari kewenangan daerah
(S9-O4)
WO Strategy (mini-max)
1. Mendukung perdagangan internasional
pangan yang dapat meningkatkan
pendapatan dengan pembagian manfaat
yang lebih berkeadilan bagi para pelaku
usaha kecil. (W2-S6)
2. Pengembangan konservasi dan rehabilitasi
lahan, dan infrastruktur pangan (W4 W5-O4)
3. Penyediaan varietas dan bibit unggul (W8O3 O9)
4. Penyusunan database ketersediaan pangan
dan prognosa kebutuhan pangan secara
akurat (W8 O9)

External Threats (T)


1. T1
2. T2
.....
9. T9
ST Strategy (maxi-mini)
1. Kebijakan stabilisasi harga pangan (S3T1)
2. Pemberantasan kartel pangan dan
penyelidikan secara intensif (S7 S8-T8)
3. Swasembada pangan (S2 S4-T2)
4. Pengaturan pasokan gas untuk
memproduksi pupuk (S3-T2)

WT Strategy (mini-mini)
1. Penyediaan insentif di bidang pangan,
mendorong riset, kerjasama dengan
universitas dan BATAN, dan peningkatan
fasilitas kelembagaan dan penyuluhan
bagi petani (W7 W8-T3)
2. Meningkatkan kualitas produk dalam
negeri melalui persaingan yang bebas
dan sehat (W1-T1)
3. Modernisasi pertanian (W5-T7 T9)

Analisis Strategi
Dari analisis tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa:

1. Dari matriks EFE dan dengan total nilai 2,08 dapat disimpulkan bahwa respon pemerintah Indonesia dalam
menghadapi ancaman dan peluang masih kurang baik. Ancaman yang paling signifikan saat ini adalah
ketergantungan impor dan ketidakberdayaan pemerintah memberantas mafia pangan dan praktek kartel
yang memberikan dampak berkelanjutan pada kenaikan harga, kelangkaan pangan, kondisi ekonomi
negara, dan kredibilitas masyarakat terhadap pemerintahnya sendiri. Sebaliknya, peluang Indonesia untuk
memajukan ketahanan pangan terletak pada faktor geografisnya yang sangat luas. Namun, potensi-potensi
untuk menjadi motor penggerak pangan nasional tersebut masih tidak dimaksimalkan karena terbatasnya
akses infrastruktur, distribusi, riset dan pengembangan, dan sumber daya manusia yang mumpuni.

19

2. Dari matriks IFE dan dengan total nilai 2,33 dapat disimpulkan bahwa manajemen ketahanan pangan
pemerintah Indonesia masih kurang baik. Kekuatan yang paling mayor terlihat pada proses pengambilan
keputusan yakni perlunya penganggaran dan kestabilan kebijakan ekonomi untuk memenuhi strategi
penguatan ketahanan pangan. Sementara itu, kelemahan yang paling signifikan terletak pada faktor SDM
atau pelaku tani, yakni tingkat pendapatan petani yang rendah dan menurunnya preferensi sektor pertanian
sebagai sumber pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap pilihan para petani untuk produktif dan
maju karena kurangnya insentif dan pelatihan-pelatihan untuk petani.
3. Indonesia masih membutuhkan proses panjang dan perbaikan yang berkesinambungan untuk memperkuat
ketahanan pangan secara mandiri. Dari hasil pencocokan faktor internal dan faktor eksternal, diperoleh
beberapa rekomendasi strategi yang perlu ditempuh sebagai berikut:
a.
b.
c.

d.

e.

f.
g.

h.
i.
j.

k.
l.

m.
4.

Strategi ekstensifikasi melalui pengembangan lahan abadi, lahan sawah beririgasi, dan lahan kering di
wilayah-wilayah sumber pangan baru Indonesia;
Diversifikasi pangan untuk mencegah ketergantungan konsumsi dari satu jenis bahan pokok;
Subsidi pangan, benih, dan pupuk yang tepat sasaran di setiap tahun anggaran dan penguatan
ketahanan pangan daerah sebagai bagian dari kewenangan daerah melalui optimalisasi dana transfer
pusat ke daerah. Pemerintah juga perlu mengutamakan kecukupan pasokan gas yang dibutuhkan
perusahaan produsen pupuk dalam negeri dalam rangka menjaga ketahanan pangan.
Kebijakan stabilisasi harga pangan untuk melindungi produksi dalam negeri dari pengaruh bebas
sistem ekonomi pasar terbuka, antara lain melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
gabah/beras dan Stabilisasi Harga Kedelai (SHK).
Pemberantasan kartel pangan dan spekulan-spekulan musiman secara tegas dari pasar nasional
melalui kebijakan yang mengandalkan persaingan yang sehat dan melibatkan pengawasan intensif
dari KPPU.
Swasembada pangan untuk menciptakan kemandirian pangan dan menutup keran impor.
Mengoptimalkan peluang kerja sama internasional untuk menciptakan perdagangan internasional
pangan yang dapat meningkatkan pendapatan dengan pembagian manfaat yang lebih berkeadilan
bagi para pelaku usaha kecil.
Pengembangan konservasi, rehabilitasi lahan, dan infrastruktur pangan untuk meningkatkan efisiensi
biaya distribusi.
Strategi intensifikasi melalui penyediaan varietas dan bibit unggul.
Penyediaan insentif di bidang pangan, mendorong riset, kerjasama dengan universitas dan BATAN,
dan peningkatan fasilitas kelembagaan dan penyuluhan bagi petani. Petani adalah mata rantai utama
ketahanan pangan di Indonesia.
Meningkatkan kualitas produk dalam negeri melalui persaingan yang bebas dan sehat.
Indonesia harus maju beberapa langkah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi melalui
modernisasi pertanian sehingga memberikan efek positif terhadap pengelolaan bibit unggul, berskala
besar, dengan efisiensi waktu panen, pencegahan risiko gagal panen, dan meningkatkan daya tawar
kompetisi Indonesia di mata dunia.
Penggunaan teknologi informasi dalam pengadministrasian data-data ketersediaan dan kerawanan
pangan sangat penting untuk melakukan prognosa kebutuhan pangan nasional secara akurat.

Rekomendasi strategi-strategi di atas dapat dijabarkan dalam politik pangan Indonesia yang selayaknya
disandarkan pada fondasi kedaulatan dan kemandirian sebagai berikut:
a.

Regulasi. Harmonisasi implementasi peraturan dan Undang-Undang antar Kementerian


Lembaga/legislatif dan antara pusat/daerah, sinergitas program Kementerian/ Lembaga, fokus pada
sektor pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura,
perkebunan, perikanan, dan kehutanan), alokasi anggaran APBD untuk pembangunan sektor
pertanian yang signifikan, penguatan kelembagaan yang terkait dengan pertanian, Research and
20

Development, perbankan dan penyuluhan, sinergitas Akademisi, Bisnis, Government (ABG) dan LSM
untuk peningkatan inovasi dan produktivitas.
b.

Ketersediaan. Kesungguhan pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi pangan lokal di


wilayah masing-masing, revitalisasi BUMN pangan guna meningkatkan produksi untuk mendapatkan
economy of scale sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan, dan dukungan Pemerintah untuk
pengembangan sistem perbenihan dan perbibitan melalui pemanfaatan hasil riset baik oleh lembaga
pemerintah, perguruan tinggi, swasta, maupun masyarakat.

c.

Keterjangkauan. Melakukan penataan sistem logistik melalui perbaikan infrastruktur jalan,


perhubungan dan pergudangan agar dapat menurunkan biaya logistik untuk meningkatkan daya
saing, memperpendek supply chain pangan melalui peningkatan peran BULOG untuk stabilisasi harga
komoditas pangan strategis dan menekan pasar yang bersifat oligopoli, dan membangun sistem
pengawasan terhadap distribusi pangan dan berbagai subsidi input produksi.

d.

Ketercukupan Gizi. Perbaikan gizi masyarakat melalui peningkatan konsumsi protein dan
menurunkan konsumsi karbohidrat sesuai dengan Pola Pangan Harapan, peningkatan diversifikasi
konsumsi pangan lokal melalui pengembangan dan pemanfaatan sumber pangan di masing-masing
wilayahnya, modernisasi industri pangan lokal mulai dari pengolahan hingga pengemasan sehingga
dapat menjadi kebanggaan dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat daerah, dan peningkatan
keamanan pangan untuk menjamin keselamatan konsumen melalui pemberdayaan Badan POM dan
Laboratorium Universitas di masing-masing daerah.

5.

Era perdagangan bebas yang salah satunya ditandai dengan kemunculan ASEAN Cina Free Trade Area
(ACFTA) sejak tahun 2010 dapat menjadi ancaman untuk basis pangan di Indonesia apabila Indonesia
tidak mampu menciptakan competitive advantage dan kemandirian pangan, yakni sektor pertanian
Indonesia terpuruk akibat kalah bersaing dengan produk pertanian impor. Beberapa tahun lalu kebijakan
nasional Indonesia hanya membolehkan impor berkisar 20 hingga 30 % saja. Tetapi saat ini kebutuhan
produk pertanian kita ternyata 70 %-nya berasal dari produk impor sebagai konsekuensi dari perdagangan
bebas. Pernah ada masa ketika Indonesia bebas dari mafia dan kartel yang merugikan yaitu ketika BULOG
benar-benar menjalankan fungsinya sebagai penyangga harga pangan dan koperasi.

6.

Kebijakan impor produk pertanian yang kurang terkontrol saat ini telah menciptakan konspirasi antara
oknum di pemerintahan dengan mafia kartel pangan. Perlu kelembagaan pangan yang kuat dan kebijakan
yang terintegrasi antara produksi pangan pada Kementerian Pertanian dan impor pada Kementerian
Perdagangan. Prinsip ekonomi pasar sosial atau social market economy harus dijalankan. Artinya pasar
tidak boleh dibiarkan jalan sendiri tanpa kontrol karena bisa menciptakan yang kuat semakin kuat serta
monopoli dan oligopoli, dan pada akhirnya akan membunuh petani tradisional, pengusaha menengah dan
kecil yang umumnya perusahaan dalam negeri. Kualitas dan volume produksi dalam negeri juga harus
dimaksimalkan, termasuk sektor agribisnis dan agroindustri di Indonesia agar bisa tumbuh, berkembang,
dan mandiri.

21

BAB III
RENCANA STRATEGIS SWASEMBADA BERAS INDONESIA
A.

Urgensi Swasembada Beras

Pertanian yang cerah akan menjadi institusi negara. Hal itulah yang paling berharga dibandingkan dengan
yang lain. Pertanian yang cerah akan membawa kita bersama mendapatkan banyak hal dan sebagai penolong
yang lebih baik dari pada yang lain. (Abraham Lincoln, Presiden USA 1861-1865).
Swasembada pangan adalah salah satu strategi yang perlu diterapkan Indonesia dalam mewujudkan
ketahanan pangan yang mandiri dan lebih kuat. Beras adalah pangan pokok mayoritas masyarakat Indonesia.
Swasembada beras akan memposisikan sektor pertanian sebagai sektor andalan perekonomian nasional yang
pernah dicanangkan dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di Jawa Barat pada tanggal 11
Januari 2005 oleh Presiden RI.
Laju pertumbuhan penduduk yang positif mendorong Indonesia untuk memacu produksi pangannya secara
mandiri dan mengurangi ketergantungan impor. Sebagai negara agraris yang dikaruniai kesuburan tanah dan
kondisi iklim yang kondusif seyogianya hampir semua pangan yang dibutuhkan dapat diproduksi di Indonesia.
Namun, masalah penyediaan beras hingga saat ini masih merupakan persoalan yang cukup rumit dan belum
dapat terselesaikan secara tuntas. Padahal Indonesia pernah tercatat dan dikenang dunia atas pencapaian
swasembada beras sekitar 3 kali periode, yaitu pada tahun 1984, 2004, dan 2008.
Saat ini, Indonesia masuk daftar panjang sebagai salah satu negara yang mengimpor beras, bahkan
dilakukan sejak era reformasi. Selama tahun 1998-2003, Indonesia dan Filipina bergantian menempati negara
pengimpor beras terbesar. Dalam grand strategy pembangunan nasional, pencanangan gerakan swasembada
beras menjadi tidak sederhana. Apalagi, beras juga merupakan komoditas yang bernilai politik. Berikut beberapa
persoalan dan upaya mendasar perberasan nasional:
Pertama: Politik Beras di Masa Lalu
Kampanye menempatkan beras sebagai komoditas superior yang dicitrakan sebagai indikator
kesejahteraan dan kemajuan telah berimplikasi pada tergusurnya pangan-pangan lokal alternatif seperti
singkong, jagung, pisang, sagu dan umbi-umbian yang berakibat pada tingginya laju permintaan dan
ketergantungan terhadap beras.
Kedua: Tingginya Tingkat Konsumsi Beras
Orang Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia, per tahunnya mencapai 139 kg per kapita,
Jepang 60 kg per kapita, China 70 kg per kapita, Malaysia 80 kg per kapita, Thailand 90 kg per kapita. Rata-rata
orang Asia mengkonsumsi beras sebesar 6570 kg per kapita dan konsumsi beras global pada tahun 2007
tercacat sebanyak 64 kg per kapita.
Ketiga: Laju Konversi Areal Persawahan Tinggi
Per tahun lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 100.000 ha, sementara pencetakan areal
persawahan baru hanya sebesar 40.000 ha. Penurunan luas lahan pertanian produktif khususnya di Jawa dan
Bali akibat konversi status lahan bagi peruntukan pembangunan lainnya merupakan ancaman yang sangat
serius terhadap kelestarian produksi pertanian. Fenomena ini sangat mengancam kelestarian ketersediaan

22

beras dan produksi pertanian lainnya, karena sampai saat ini pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh %
dari total luas lahan Indonesia memproduksi beras hampir 60 % dari total produksi beras nasional.

Keempat: Rendahnya Penggunaan Teknologi Pasca Panen


Rendahnya penggunaan teknologi pasca panen telah mengakibatkan tingginya tingkat kehilangan (losses)
saat panen. Besarannya bisa mencapai 10,82% atau setara dengan 11 juta ton gabah. Tingkat kehilangan ini
mulai dapat terjadi dari memanen dengan menggunakan sabit, perontokan, pengangkutan, penjemuran, sampai
penggilingan.
Kelima: Kerusakan Irigasi Teknis
Tingkat kerusakan bangunan irigasi teknis areal persawahan, saat ini telah mencapai hampir 50% baik
primer, sekunder dan tersier. Di era otonomi daerah, laju kerusakan infrastruktur dalam sistem produksi padi
semakin tidak terkendali. Hal ini menjadi persoalan sendiri karena daerah-daerah kerapkali masih berharap dan
bergantung kepada pemerintah pusat baik untuk operasional ataupun pemeliharaannya. Sawah yang semula
beririgasi teknis, kini menjadi tadah hujan dan hanya dapat ditanami padi satu kali setahun. Sawah sejenis ini
sangat rentan terhadap kekeringan dan musim kemarau, sehingga secara perlahan berubah status menjadi
lahan kering, tidak subur, dan bahkan tidak produktif.
Keenam: Impor Beras
Indonesia sebenarnya merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India, jauh
melampaui produksi beras Thailand dan Vietnam. Namun karena tingginya konsumsi serta besarnya jumlah
penduduk, Indonesia menjadi importir terbesar di dunia. Hal ini menjadi rentan karena produksi beras dunia yang
diperdagangkan hanya 67%. Impor selalu menjadi pilihan terakhir dan langkah mudah untuk memenuhi stok
pangan nasional. Selain itu, BULOG sebagai lumbung beras terbesar Indonesia yang memiliki 1.160 gudang
dan ada di lebih 400 kabupaten/kota dengan total kapasitaa simpan gudang 4 juta ton, dalam beberapa tahun
terakhir hanya membeli beras dalam negeri sejumlah 3 juta ton saja. Di tahun 2010 BULOG membeli kurang dari
1,5 juta ton, dan di tahun 2011 BULOG bahkan mengimpor 1,25 juta ton.
B.

Refleksi Swasembada Beras: Revolusi Hijau

Indonesia pernah menerapkan swasembada pangan pada program Pelita sebagai salah satu program
andalan pemerintahan orde baru. Presiden Soeharto pernah menerima penghargaan dari FAO karena berhasil
mewujudkan swasembada beras. Penghargaan diterima pertama kali pada tahun 1985, di Roma Italia.
Penghargaan kedua diberikan pada Mei 1996 di Istana Kepresidenan, Jakarta, karena beliau dianggap telah
memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah pangan dan kemiskinan di dunia.
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental
dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak
negara berkembang, terutama di Asia. Konsep Revolusi Hijau di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas
(bimbingan masyarakat) merupakan program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya
swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau
dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan
teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta
adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada
beras.
Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak
rezim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak
23

mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap,
tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 1989. Di samping itu, Revolusi Hijau
juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau
hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan,
serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan
penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan
Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960-an.
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian
pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan
penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini,
terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam
setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Namun, revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian
lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan
dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak
memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Kritik lain yang muncul adalah bahwa Revolusi Hijau tidak
dapat menjangkau seluruh strata negara berkembang karena ia tidak memberi dampak nyata di Afrika.
1.

Dampak Positif Revolusi Hijau


Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai
contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada dan bisa mengekspor beras ke India.

2.

C.

Permasalahan dan Dampak Negatif


a.

Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak
diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah.

b.

Penurunan keanekaragaman hayati.

c.

Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan tanaman pada pupuk.

d.

Penggunaan pestisida menyebabkan munculnya hama baru yang resisten.

Rencana Strategis Swasembada Beras

Kementerian Pertanian menetapkan rencana swasembada beras pada tahun 2014. Pangan yang dimaksud
bukan hanya beras atau padi, tapi juga gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Kementerian Pertanian pada
tahun 2014 mengalokasikan anggaran sebesar Rp 8,23 triliun untuk program swasembada nasional. Anggaran
terbesar dialokasikan untuk mendukung pencapaian surplus 10 juta ton beras yakni sebesar Rp 4,54 triliun.
Pada tahun 2014, Kementerian Pertanian mendapat alokasi pagu anggaran indikatif sebesar Rp 15,47 triliun.
Sedangkan anggaran subsidi diusulkan sebesar Rp 40,78 triliun. Rinciannya anggaran subsidi pupuk sebesar
Rp 21,05 triliun, seubsidi benih sebesar Rp 1,56 triliun, anggaran kredit program Rp 15,6 triliun dan Dana Alokasi
Khusus sebesar Rp 2,57 triliun.
Beberapa rekomendasi rencana strategis yang perlu diterapkan untuk mencapai swasembada tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Peningkatan Produksi Padi

24

Kebutuhan beras pada tahun 2014 adalah sebesar 33.013.214 ton. Untuk mewujudkan swasembada beras
tersebut, pemerintah menargetkan produksi padi (GKG) pada tahun 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton
produksi sekarang. Pemerintah bahkan optimis pada tahun 2014 mampu mewujudkan surplus beras
hingga 10 juta ton. Untuk dapat merealisasikan pencapaian target surplus 10 juta ton beras tersebut
diperlukan peningkatan produksi gabah kering giling (GKG) rata-rata 6 % per tahun. Target itu ditetapkan
dalam Konferensi Dewan Ketahanan Pangan 2012 yang bertajuk Percepatan Pencapaian Sasaran
Swasembada Lima Komoditas Pangan Pokok.
2.

Program On Farm Alternatif


Untuk mendukung swasembada, Perum BULOG perlu melakukan terobosan yakni salah satunya dengan
program On Farm Alternatif yang bekerja sama dengan Gabungan Kelompok Tani Sampurna Malang.
Dengan program ini BULOG terlibat langsung dalam proses penanaman dan pembelian gabah atau beras
dari kelompok tani sehingga target produksi beras nasional bisa tercapai.

3.

Pencetakan Areal Persawahan Baru.


Untuk dapat mewujudkan surplus 10 juta ton beras mulai 2014 diperlukan minimal pencetakan areal
persawahan baru sebesar 1 juta ha. Langkah ini sangat dimungkinkan mengingat ketersediaan lahan yang
sangat memadai.

4.

Segera Merealisasikan Food Estate


Merealisasikan food estate secepatnya yang dimotori langsung oleh pemerintah melalui BUMN-BUMN
terkait. Langkah ini menjadi wujud nyata turun tangannya negara dalam penguasaan dan pengelolaan
sumber daya dan komoditas yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.

5.

Mengefektifkan Perlindungan Lahan Abadi Untuk Persawahan


Diperlukan efektifitas kegiatan perlindungan lahan abadi areal persawahan. Untuk itu diperlukan komitmen,
keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam melaksanakan sekian peraturan perundangan yang
telah dimiliki. Pada tingkat strategis, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan.
Penjabaran UU No. 41 Tahun 2009 ini pun sebenarnya sudah sangat komprehensif dengan dibuatnya
beberapa Peraturan Pemerintah, yaitu: PP No. 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan serta PP No. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.

6.

Menekan Pengalihfungsian Lahan Potensial dan Produktif


Dalam rangka menekan pembiaran bagi lahan produktif dan juga mengurangi alih fungsi lahan potensial,
dapat dilalukan cara misalnya dengan merumuskan pajak tanah progresif, memberikan sanksi tegas bagi
tanah terlantar yang disengaja, serta mengembangkan efisiensi atau hemat lahan untuk aktivitas industri,
perumahan, dan juga untuk perdagangan.

7.

Pengadaan Bibit Padi Varietas Unggul


PT. Sang Hyang Seri sebagai BUMN pangan yang bergerak dalam pengadaan benih padi perlu bekerja
lebih serius dalam mendukung program ketahanan pangan nasional dan terus memproduksi benih padi
varietas tinggi unggulan tahan hama, tahan banjir dan tahan kekeringan. Benih padi yang disiapkan adalah
varietas inpari 13 yang tahan hama wereng, varietas inpago SHS 1, 2 dan 3 untuk daerah kering, dan
varietas inpara untuk daerah banjir.

8.

Revitalisasi Irigasi Teknis serta Pembangunan Bendungan Baru


25

Dikarenakan belanja modal pemerintah yang sangat mahal dan juga terbatas, maka diperlukan upaya
sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Selain itu, perlu mengaktifkan dan
mengefektifkan kembali kelembagaan lain yang berkaitan erat dengan pertanian seperti Perkumpulan
Petani Pemakai Air (P3A) di Jawa Barat.
9.

Pemberian Insentif kepada Petani


Tulang punggung ketahanan pangan adalah petani. Pemerintah perlu memberikan insentif dan fasilitasfasilitas peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan kepada petani karena mereka yang paling terlibat
dalam produksi dan ketahanan pangan nasional dengan memberikan harga yang menguntungkan bagi
petani.

10. Penguatan Kelembagaan


Di tingkat paling dasar pemerintah dan BULOG beserta jajarannya di daerah wajib melaksanakan tugasnya
sebagai penyangga, yaitu melaksanakan pengadaan beras, membeli gabah petani sesuai harga dasar
(HPP), kebijakan tarif, pemberantasan mafia pangan, pembangunan infrastruktur, sistem perbankan, dan
riset. Semangat otonomi daerah juga harus dijadikan modal utama untuk segera melakukan desentralisasi
manajemen stok beras.
11. Arah Kebijakan Zero Impor
Dengan arah kebijakan zero impor akan mendorong optimalisasi dan peningkatan produksi serta
mengefektifkan peran dan fungsi BULOG untuk menyerap hasil produksi petani. Memang sering terjadi
polemik di antara beberapa pemangku kebijakan tentang hasil produksi, namun hakim yang paling objektif
adalah harga. Jika harga beras terlalu tinggi melampaui harga kenaikan yang wajar, merupakan indikasi
kuat adanya kelangkaan barang.
12. Mempromosikan dan Mengampanyekan Diversifikasi Pangan
Kegiatan ini harus dilaksanakan secara masif dan intensif dalam bentuk iklan-iklan atau program-program
yang komunikatif dibarengi pula inovasi-inovasi dalam memproduksi makanan-makanan alternatif yang
berbahan baku komoditas pangan lokal lain.

D.

Kontroversi Swasembada Beras


Selain optimisme, swasembada beras juga memicu beberapa kontroversi dari berbagai pihak, antara lain:

1.

Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD)


OECD menilai perhatian Indonesia pada pencapaian ketahanan pangan melalui swasembada adalah
kebijakan yang salah arah. Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD, Ken Ash, mengatakan Indonesia
lebih baik fokus pada komoditas yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan komparatif sehingga
mampu bersaing di pasar global dalam produk ekspornya Menurut OECD, pemerintah Indonesia sebaiknya
mulai meninggalkan tujuan swasembada karena dinilai justru membutuhkan dana besar jika dipaksakan
pada komoditas yang kurang berdaya saing tinggi. Untuk mencapai swasembada, Indonesia membutuhkan
biaya besar, seperti memberikan subsidi untuk pupuk, perlindungan pasar impor, juga ekspor.

2.

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)


Swasembada beras dianggap telah menjadi arena untuk memuaskan berbagai kepentingan yang berbeda.
Ada pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik, sementara berbagai pihak lainnya
memanfaatkannya untuk mendapatkan rente ekonomi (economic rent). Bagi industri yang membayar
buruhnya dengan upah murah, swasembada beras yang menjamin ketersediaan beras dengan harga
murah jelas sangat penting. Sebab, buruh yang dibayar murah tidak mungkin produktif apabila kebutuhan
26

pangannya tidak cukup. Agar buruh tetap produktif meskipun dibayar murah, maka harga pangan harus
murah. Sementara, bagi negara-negara maju yang mempunyai surplus bahan pangan dalam kuantitas
yang sangat besar adalah penting untuk mendukung Indonesia terus mengejar swasembada beras dengan
memberikan bantuan teknis dan finansial.
Selain itu, ada dugaan bahwa dengan mengutamakan produksi beras, Indonesia akan tertinggal dalam
produksi pangan lainnya, meskipun sesungguhnya permintaan dalam negerinya meningkat, seperti halnya
dengan permintaan beras nasional. Defisit produksi nasional yang terjadi akan menjadi pasar ekspor yang
empuk bagi surplus produksi pangannya. Sejatinya, hal inilah yang merupakan penjelasan mengapa
Indonesia saat ini sangat tergantung pada pasar import pangan non beras, seperti jagung dan kedelai.

E.

Kesimpulan

Di balik kontroversi terkait pencanangan swasembada beras, upaya pemerintah perlu didukung secara
optimis dan diapresiasi. Melihat kondisi Indonesia saat ini, komitmen untuk mewujudkan swasembada beras
menjadi keharusan karena swasembada adalah pilar kedaulatan pangan. Berdaulat pangan tidak hanya berarti
bahwa setiap saat pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan harga
yang terjangkau oleh masyarakat. Namun, lebih jauh dari itu berdaulat pangan juga berarti memiliki kemandirian
dalam memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri serta meningkatnya taraf hidup
dan kualitas hidup petani pangan sebagai penghasil.

27

DAFTAR PUSTAKA
Buku atau Sumber Lain:
Badan Ketahanan Pangan. 2011. Revisi Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010 2014.
Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI, dan World Food Programme. 2009. Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan Indonesia.
Antara

News,
Mentan:
Internasional
Akui
Ketahanan
Pangan
Indonesia.
http://www.antaranews.com/berita/381511/mentan-internasional-akui-ketahanan-pangan-indonesia
(diakses 20 September 2013).

Badan Ketahanan Pangan, Kemitraan Kebijakan Pangan. http://bkp.deptan.go.id/berita-185-kemitraankebijakan-pangan.html (diakses 20 September 2013).
Badan Ketahanan Pangan, Success Story: Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan. http://bkp.deptan.go.id/berita198-succes-story-kebijakan-stabilisasi-harga-pangan-20022012.html (diakses 20 September 2013).
Badan Ketahanan Pangan, Renstra 2010-2014. http://bkp.deptan.go.id/statis-10-renstra2010-2014.html (diakses
20 September 2013).
Bisnis

Keuangan,
Swasembada
Pangan
2014
Sulit
Terealisasi.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/04/06/14563797/Swasembada.Pangan.2014.Sulit.Terealisa
si (diakses 20 September 2013).

Detik News,
Di Tengah Rupiah Melemah RI Masih Harus Impor 600.000 Ton Kedelai.
http://finance.detik.com/read/2013/08/27/112922/2341606/4/di-tengah-rupiah-melemah-ri-masih-harusimpor-600000-ton-kedelai (diakses 20 September 2013).
Dewan Perwakilan Rakyat, Manajemen Pangan Buruk, Harga Sembako Melambung Tak Terkendali.
http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi4/2013/jul/26/6442/manajemen-pangan-buruk,-harga-sembakomelambung-tak-terkendali (diakses 20 September 2013).
Kompas,
Asing
Masih
Punya
Celah
Ekspor
ke
Indonesia.
http://internasional.kompas.com/read/2013/09/07/1054141/Asing.Masih.Punya.Celah.Ekspor.ke.Indonesia
(diakses 20 September 2013).
Kompas, Indonesia Sudah Terjual. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/11/26/indonesia-sudah-terjual511208.html (diakses 20 September 2013).
Kompas, Ketahanan Pangan di Republik Pengimpor. http://birokrasi.kompasiana.com/2013/07/19/ketahananpangan-di-republik-pengimpor-578009.html (diakses 20 September 2013).
Kompas, Ketahanan Pangan Indonesia. http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2013/08/22/ketahanan-panganindonesia-583033.html (diakses 20 September 2013).
Merdeka News, Ketahanan Pangan Indonesia Tidak Merata. http://www.merdeka.com/uang/ketahanan-panganindonesia-tidak-merata.html (diakses 20 September 2013).
28

Pos Kota News, Konspirasi Oknum dan Mafia Kartel. http://www.poskotanews.com/2013/04/27/konspirasioknum-dan-mafia-kartel-pangan/ (diakses 20 September 2013).
Republika,
Kartel
Pangan
di
Indonesia
Sudah
Sangat
Berbahaya.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/09/12/mt0ajo-kartel-pangan-di-indonesia-sudahsangat-berbahaya (diakses 20 September 2013).
Sekretariat Kabinet, Tujuh Langkah Menuju Swasembada Beras. http://www.setkab.go.id/artikel-8227-.html
(diakses 20 September 2013).
Sekretariat Negara, Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6739 (diakses 20 September
2013).
Tempo,
Bioteknologi
Solusi
Hadapi
Krisis
Pangan.
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/27/061432310/Bioteknologi-Solusi-Hadapi-Krisis-Pangan
(diakses 20 September 2013).
Tempo,
Gita:
Perintah
Wapres
Siapapun
Boleh
Impor
Kedelai.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/19/092514636/Gita-Perintah-Wapres-Siapapun-Boleh-ImporKedelai (diakses 20 September 2013).
Tempo, Indonesia Surplus Beras 45 Juta Ton. http://www.tempo.co/read/news/2012/11/03/090439440/IndonesiaSurplus-Beras-45-Juta-Ton (diakses 20 September 2013).
Tempo,
Kebijakan
Pangan
Indonesia
Dinilai
Salah
Arah.
http://www.tempo.co/read/news/2012/10/10/090434888/Kebijakan-Pangan-Indonesia-Dinilai-Salah-Arah
(diakses 20 September 2013).
Tempo,
Swasembada
Kementan
Anggarkan
Rp
823
Triliun.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/07/090511139/Swasembada-Kementan-Anggarkan-Rp-823Triliun (diakses 20 September 2013).
Wikipedia, Ketahanan Pangan. http://id.wikipedia.org/wiki/Ketahanan_pangan (diakses 20 September 2013).
Wikipedia, Revolusi Hijau. http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Hijau (diakses 20 September 2013).
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun
2013 tentang APBN Tahun Anggaran 2013.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

29

LAMPIRAN
SUSUNAN POLA KONSUMSI PANGAN UNTUK TAHUN 2014

30

Você também pode gostar