Você está na página 1de 2

Agenda 100 hari Mendikbud baru: Menentukan nasib UN

Issue Ujian Nasional adalah salah satu issue sentral yang membelah segenap pemangku
kepentingan dunia pendidikan di Indonesia. Pada Konvensi UN yang diselenggarakan
pada 26 September 2013, sejumlah aktivis pendidikan menyatakan WO dari pembicaraan
karena merasa Mendikbud saat itu, M. Nuh, sudah mengarahkan bahwa pembicaraan
hanya akan dibatasi untuk mengevaluasi pelaksanaan UN dan tidak ada kesempatan
untuk mendiskusikan mengapa UN ada. Karena itu, saat tim kampanye JokoWi_JK
menyatakan dalam salah satu kalimat visi misinya, "Kami tidak akan memberlakukan
lagi model penyeragaman dalam pendidikan nasional, termasuk di dalamnya Ujian
Akhir Nasional", para aktivis tersebut merasakan angin segar akan dihapuskannya UN
apabila JokoWi-JK menang dalam pilpres. Akan tetapi, angin segar ini menjadi layu
kembali karena dalam sesi debat Cawapres, JK yang selama ini dikenal sebagai
penyokong utama UN justru menyatakan bahwa UN tidak dihapus akan tetapi hanya
dievaluasi. Kesimpangsiuran arah kebijakan ini yang menghadapkan Anies Baswedan,
sebagai mendikbud baru, untuk segera menentukan arah kebijakan yang mau diambil.
Mengapa kebijakan tentang UN ini harus segera diputuskan oleh mendikbud baru?
Mengacu pada kasus Hari Santri Nasional yang dijanjikan oleh JokoWi saat kampanye
dan ternyata tidak begitu gampang dilaksanakan dalam waktu singkat pada tahun ini,
keputusan tentang adanya UN atau tidak juga membutuhkan waktu karena menyangkut
juga nomenklatur dalam APBN dan peraturan setingkat mentri dan turunannya yang
mengatur tentang pelaksanaan UN ini. Sementara itu, jadwal pelaksanaan UN hanya
tinggal dalam hitungan bulan.
Yang perlu menjadi pertimbangan Mendikbud yang baru adalah UN selama ini bukanlah
sekedar masalah pendidikan semata. UN sudah menembus batas-batas internal pemangku
pendidikan dari murid, guru, sekolah dan depdikbud. Mungkin hanya di Indonesia,
naskah ujian harus diinapkan di kantor polisi, kerahasiaan soalnya melihatkan BIN
bahkan sampai Densus anti terror. Hasil UN telah masuk ranah politik dimana hasilnya
mejadi bahan legitimasi para pemimpin daerah, terutama para petahana, bahwa mereka
sudah berhasil mengurus pendidikan di daerah yang mereka pimpin lewat hasil fantastic
di UN. Tak heran, para pemimpin daerah tersebut berlomba-lomba untuk menekan para
kepala dinas pendidikan setempat yang selanjutnya menekan para sekolah agar membuat
tim sukses di sekolah masing-masing untuk mencapai hasil terbaik. Sekolah-sekolah
swastapun juga menjadi paranoid bahwa sekolah mereka bisa tidak mendapatkan siswa
baru apabila hasil UN mereka jeblok. Tak heran, kabar buruk tentang kecurangan selalu
berulang tiap tahun sehingga banyak orang mulai mempertanyakan apa esensi moral dari
pelaksanaan UN. Pihak lain yang juga terlibat secara tidak langsung adalah lembagalembaga kursus persiapan ujian yang sudah menjadi ladang bisnis yang subur karena
keberadaaannya tidak hanya di luar jam sekolah, tetapi sudah memasuki kelas-kelas di
sekolah formal dan menyingkirkan peran para guru yang mengajar mata pelajaran yang
tidak diujikan dalam UN. Penghapusan UN misalnya juga akan menyangkut distribusi
rezeki pada jutaan tenaga kerja yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam bisnis
ini.

Beberapa langkah harus segera dilakukan oleh Mendikbud baru dan segeranap jajarannya
dalam waktu singkat ini. Langkah pertama adalah menyelanggarakan Konvensi UN
kembali dengan memberi kesempatan kedua belah pihak yang berbeda: pro dan kontra
UN untuk berdialog secara terbuka dan bermartabat untuk menentukan kelangsungan UN
ini. Segala alternative yang ada harus dibicarakan secara terbuka bahkan pada hal yang
mungkin terasa ekstrem seperti penghapusan sama sekali UN dan menggantinya menjadi
ujian provinsi atau regional seperti yang dilakukan di Australia. Apapun hasil dari
konvensi ini, harus diterima semua pemangku kepentingan dengan sikap dewasa. Saya
yakin akan didapatkan hasil kompromistis yang bisa mengadopsi kepentingan kedua
belah pihak dengan menempatkan visi pendidikan sebagai pembangunan manusia
seutuhnya menjadi dasar berpikir dalam pembicaraan tadi.
Langkah kedua adalah mengkonsultasikan hasil keputusan Konvensi ini kepada DPR
sebagai pihak yang mengurusi anggaran dan sekaligus sebagai representasi kepentingan
rakyat dalam penentuan kebijakan. Akan sangat elok apabila para politisi di DPR juga
tidak mengubah hasil keputusan secara ekstrem, tetapi menyempurnakan, agar terjadi
kepastian dalam kebijakan.
Langkah selanjutnya sangat berbau teknis dengan melaksanakan hasil Konvensi dan
konsultasi DPR di tiap tahap pelaksanaan evaluasi pendidikan ini. Yang tak kalah
pentingnya dari langkah lanjutan adalah sosialisasi kepada para pelaku utama evaluasi
ini yaitu para siswa dan guru yang selama ini hanya menjadi obyek dari kebijakan.
Sosialisasi ini menjadi sangat mudah apabila pada langkah pertama ada naskah akademik
dan perdebatan yang sehat dalam Konvensi UN. Argumentasi akademis yang kuat dan
didukung oleh pembahasaan yang membumi akan membuat kebijakan yang diambil akan
jauh lebih diterima para murid dan guru.
Akankah Mendikbud baru akan bertindak dan bekerja efektif untuk masalah yang selama
ini masih menggantung ini? Ini akan menjadi ujian pertama yang akan menunjukkan
apakah revolusi mental yang dijanjikan JokoWi-JK benar-benar akan terjadi dalam dunia
pendidikan.
PhD Candidate/The Ohio State University, dosen Unika Widya Mandala
Surabaya

Você também pode gostar