Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
baik yang
menyangkut
penentuan
kebijakan, perencanaan,
daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang
baik (good governance).
Pemberian dan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut, harus diimbangi dengan pembagian sumber-sumber
pendapatan yang memadai yang mampu dan mendukung pelaksanaan wewenang
dan tanggung jawab yang diberikan.
Di era otonomi saat ini,upaya untuk tetap mengandalkan sumbangan dan
bantuan dari Pemerintah Pusat atau tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi
sudah tidak bias dipertahankan lagi. Otonomi menuntut kemandirian daerah di
berbagai bidang, termasuk kemandirian di dalam mendanai dan pelaksanaan
pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, daerah dituntut agar berupaya untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), guna mengurangi ketergantungan
terhadap Pemerintah Pusat.
Pemberlakuan Undang-Undang tersebut menambah kewenangan yang
dimiliki daerah, maka tanggung jawab yang diemban oleh Pemerintah Daerah
juga akan bertambah banyak. Mahfud MD (2000: 49) mengemukakan implikasi
dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan
kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi
daerah, namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus
juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya,
karena semakin bertambahnya urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah. Untuk itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan, yaitu:
Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Keuangan, sarana, dan prasarana.
Dalam tulisan ini bermaksud menganalisis bagaimana penanganan yang
telah dilakukukan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam melaksanakan
program-program guna terwujudnya desentralisasi dan otonomi daerah yang
diharapkan. William N. Dunn (1981: 111-112) menyebutkan bahwa model analisis
kebijakan
yang
dapat
dilakukan
dengan
cara
diperbandingkan
dan
ada dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah : (1) model deskriptif, dan (2)
model normatif.
Hessel Nogi S. (2000: 1-3) Kebijakan publik sebagai suatu disiplin ilu
tersendiri memperlihatkan tiga tampilan dalam cakupan studinya yaitu
menentukan arah umum yang harus ditempuh untuk mengelola isu-isu yang ada di
tengah masyarakat, menentukan ruang lingkup masalah yang dihadapi
pemerintah, dan mengetahui betapa luas dan besarnya organisasi birokrasi publik
ini. Kemampuan analisis kebijakan publik amat bergantung pada objektivitas dan
keakuratan informasi, serta kepekaan seorang analisis untuk menempatkan
masalah publik secara proporsional dengan memperhatikan semua stakeholders
yang terlibat. Kepekaan ini perlu diasah melalui pendalaman kasus-kasus kebikan
publik yang terjadi pada masyarakat sekitar dengan memperhatikan faktor
rasionalitas serta wacana publik secara kontekstual.
Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat dilihat
dari dua aspek, yaitu: aspek output dan aspek outcomes kebijakan. Kedua aspek
tersebut memiliki ukuran atau indikator yang berbeda dalam penilaian
keberhasilan.
1. Output Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Output kebijakan secara konsepsi harus diukur berdasarkan substansi
kebijakan, yang item-itemnya menggambarkan tujuan yang ingin dicapai dari
kebijakan tersebut. Namun demikian, tidak semua item tujuan kebijakan dapat
dilakukan pengukuran keberhasilan, sebab ada beberapa kebijakan public yang
tujuan akhirmya (output-nya) baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian.
Output kebijakan desentralisasi dapat dilihat dari beberapa aspek antara
lain:
a. Pertumbuhan ekonomi masyarakat
Untuk mengetahui apakah program Pemerintah Daerah dalam rangka
pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah dari sejauh mana
3
koordinasi
atas
ketergantungan
sekuensial
(sequential
dan
outcomes
kebijakan,
kesimpulan
menunjukkan
bahwa
kinerja
implementasi
desentralisasi
dan
otonomi
daerah
di
oleh karyawan yang memiliki eselon, dan hanya mengharapkan staf atau
karyawan bawahan. Budaya kerja dan perilaku seperti ini jelas secara tidak
langsung ikut mempengaruhi kinerja organisasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, bahwa andaikan saja para karyawan mau
melakukan pekerjaan apa saja demi berjalannya aktivitas organisasi, tanpa
terbelenggu dengan berbagai titel dan jabatan, maka kegiatan organisasi akan
berjalan secara lancar, dan pada akhirnya berdampak pada meningkatnya kinerja
organisasi dinas. Sebab, dalam realitas keseharian, banyak karyawan yang hanya
bersantai-santai pada jam kantor dan pada saat yang sama banyak pekerjaan
kantor yang bersifat rutin terabaikan. Dengan demikian, maka sedikitnya jumlah
karyawan dinas daerah serta masih terpeliharanya budaya kerja santai dari para
karyawan menyebabkan banyak bidang pekerjaan terbengkalai. Implikasi lebih
lanjut adalah gagalnya dinas daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
berdasarkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
b. Kesesuaian Kualifikasi Pendidikan Karyawan
Dengan bidang tugas yang diemban SDM yang berkualitas merupakan
salah satu faktor penentu keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan
misinya. Untuk mendapatkan SDM yang berkualitas, ada dua jalur yang biasanya
ditempuh, yaitu: pertama melalui sistem seleksi ketat dengan persyaratan tertentu
untuk suatu bidang pekerjaan; dan kedua melalui pendidikan/pelatihan tambahan
setelah menjadi karyawan atau melalui model magang (learning by doing).
Secara konsepsi, organisasi yang memiliki SDM yang terbatas tetapi
berkualitas akan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan organisasi yang
memiliki jumlah karyawan banyak tetapi kualitas SDMnya rendah. Dan yang
lebih parah lagi adalah SDM yang terbatas dengan kualitas yang rendah.
Persoalan kualitas SDM akan terasa pengaruhnya ketika organisasi mulai
menghadapi pekerjaan-pekerjaan yang spesifik yang membutuhkan kualifikasi
pendidikan atau skill tertentu.
Tidak berjalannya sistem seleksi dan rekrutmen dalam proses pemenuhan
kebutuhan pegawai pada sejumlah dinas daerah merupakan faktor utama yang
menyebabkan kurangnya jumlah karyawan yang memiliki kualifikasi pendidikan
9
yang cocok dengan bidang tugasnya yang diemban. Prinsip the right men on the
right place kurang diperhatikan dalam sistem rekrutmen pada jabatan-jabatan
yang ada di dinas daerah.
Dari uraian di atas, bahwa minimnya karyawan dinas daerah yang
memiliki kualifikasi pendidikan yang cocok dengan tugas bidang pekerjaannya,
telah ikut memberi kontribusi terhadap rendahnya kinerja implementasi kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah, yang terefleksi dari kinerja dinas daerah
menjalankan tugasnya.
3. Aspek Budaya Birokrasi
Secara nasional birokrasi pemerintah yang ada di Indonesia memiliki ciriciri yang hampir sama, di mana unsur paternalisme amat kental dalam pola
hubungan yang bersifat internal organisasi maupun pada tataran eksternal
organisasi. Hubungan antara bawahan dan pimpinan berada pada posisi di mana
bawahan cenderung berusaha melayani dan memuaskan atasan. Kondisi ini secara
otomatis akan mengurangi kualitas layanan yang diberikan birokrasi kepada
masyarakat sebagai pengguna jasa.
Pada sisi lain budaya lokal juga memberikan warna tersendiri terhadap
budaya birokrasi pemerintah, terutama pemerintah daerah setempat. Akan berbeda
tampilan birokrasi pemerintah di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Bali maupun Papua. Hal ini terutama berkaitan dengan pola pengambilan
keputusan , dimana kebanyakan birokrasi di pulau Jawa terutama Jawa Tengah
dan Yogyakarta, akan sangat berhati-hati untuk membuat keputusan terutama
berhubungan dengan keputusan diskresi. Kehati-hatian ini akan berakibat pada
lambannya pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat sebagai pengguna
jasa.
Secara umum tampilan birokrasi pemerintah di Indonesia, baik di tingkat
pusat maupun daerah masih diwarnai dan dilingkupi oleh sifat feodalisme yang
tinggi, sebagai himbasan dari pola kerja birokrasi selama orde baru yang
memerintah selama lebih dari 32 tahun. Pola kerja yang kental dengan unsur
10
pengguna jasa
bahwa kinerja birokrasi tidak optimal, karena faktor koordinasi yang lemah, etos
kerja yang tidak mendukung, serta disiplin kerja yang kurang, sehingga banyak
tugas pelayanan kepada para pengguna jasa menjadi terbengkalai dan
membutuhkan waktu yang berlarut-larut untuk menyelesaikannya.
Pola pikiryang mengungkapkan peraturan secara kaku melalui penerapan
dan penafsiran juklak (petunjuk pelkasanaan) dan juknis (petunjuk teknis),
membuat birokrasi pemerintah menjadi kaku dan tidak luwes dalam pemberian
pelayanan publik. Struktur hierarkis birokrasi publik menjadikan aparatur
pemerintah menjadi tunduk secara tidak proporsional kepada pimpinan dan
melupakan tugasnya sebagai agen perubahan melalui pemberian pelayanan
kepada masyarakat.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya birokrasi
pemerintah yang ada di Indonesia masih jauh dari harapan untuk memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat pengguna jasa, akibat pengaruh budaya
birokrasi yang mengadopsi budaya masyarakat lokal, yang justru cenderung
mengagungkan posisi birokrasi dan menganggap masyarakat lebih rendah
daripadanya. Unsur feodalisme, paternalisme dan penggunaan asas sentralisme
yang berkolaborasi dengan budaya birokrasi yang mengagungkan otoritas
pimpinan sebagai titik sentral jelas semakin memperlemah posisi birokrasi untuk
memberikan pelayanan yang berkualitas dan mampu melakukan perubahan sosial
ekonomi melalui pelaksanaan pembangunan.
4. Aspek Politik Lokal
Perpanjangan
proses
politik
pemerintah
pusat
yang
berupaya
tengah masyarakat. Kondisi ini jelas menjadikan pelayanan ublik tidak akan
berfungsi otimal, karena kaum birokrat cenderung ingin dilayani secara internal
maupun eksternal, ketika terjadi transaksi sosial berupa pelayanan publik. Indikasi
yang terlihat dari kondisi di atas adalah penyebutan yang istimewa kepada para
pejabat birokrat yang memiliki status sosial istimewa itu.
Keangkuhan yang terkondisi di kalangan birokrat ini menjadikan birokrasi
pemerintah menjadi jauh dengan masyarakat, karena persepsi birokrat merasa
lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan yang menjadi pengguna jasa pelayanan
publik. Budaya seperti ini jelas menjadi penghambat bagi birokrat untuk berfungsi
optimal dengan kinerja yang memadai dalam pemberian pelayanan publik.
Perkembangan politik lokal yang terjadi pada masyarakat di daerah
menciptakan iklim bagi perluasan partisipasi politik masyarakat lokal yang
berdampak pada proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalanpersoalan publik. Kebijakan publik yang lahir akan terlihat apakah masyarakat
lokal ikut dilibatkan atau tidak dan seberapa jauh pelibatan itu terjadi yang
mampu mengadopsi aspirasi dan kebutuhan kelompok-kelompok yang ada dalam
masyarakat. Keseimbangan akan terjadi, jika proses pembuatan kebijakan publik
mengikutsertakan kelompok kepentingan yang ada di tengah masyarakat lokal.
Penerapan asas desentralisasi dan otonomi luas pasca reformasi
memberikan angin segar dalam perubahan hubungan antara pihak pemerintah
daerah (aparatur) dengan masyarakat luas yang merupakan mitra dalam
pelaksanaan pembangunan. Pada era ini berbagai perubahan telah terjadi,
sehingga masyarakat pengguna jasa memiliki akses terhadap proses pembuatan
kebijakan publik.
Kondisi dan perubahan ini jelas memberikan nuansa baru yang
sebelumnya tidak terjadi, di mana elemen-elemen yang ada dalam masyarakat
memiliki kesempatan untuk melakukan pengawasan dan memantau kinerja
birokrasi secara transparan, terutama dalam hal pengalokasian sumberdaya secara
lebih adil sesuai dengan proporsi kelompok-kelompok yang eksis di masyarakat
lokal tersebut. Hal ini secara otomatis akan mengurangi penyimpangan dan
13
mempengaruhi
proses implementasi
kebijakan
17
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud, MD. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang
Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta.
N. Dunn, William. Public Policy Analisys: An Introduction. London: Prentice-Hall
Inc.
Nogi, S. Hessel. 2000. Analisis Kebijakan Publik Kontemporer. Yogyakarta:
Lukman Offset.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Salusu. 1998. Pengambilan Keputusan Strategik: Untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.
Syaukani, Affan Gaffar, Ryass Rasyid. 2002. Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tead, Ordway. 1954. The Art of Leadership. New York: Mc. Graw Hill Book
Company.
___________________________________________
)* Penulis adalah Dosen Tetap ASM Ariyanti Bandung
18
BAB
PENDAHULUAN
A.
I
Latar
Belakang
Masalah
BAB
II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Kebijakan
Publik
Menurut Wahab (dalam Bakry 2010) kebijakan publik merupakan ilmu yang
relatif baru muncul pada pertengahan dasawarsa 1960-an sebagai sebuah disiplin
yang menonjol dalam lingkup administrasi publik maupun ilmu politik. Sementara
itu analisis kebijakan publik bisa dibilang telah lama eksis sejak adanya peradaban
manusia. Sejak itu kebijakan publik tidak terpisahkan dari kehidupan manusia
dalam bentuk tataran mikro individual maupun konteks tataran makro dalam
kehidupan
bermasyarakat
dan
bernegara.
Kebijakan publik mengatur, mengarahkan dan mengembangkan interaksi dalam
komunitas dan antara komunitas dengan lingkungannya untuk kepentingan agar
komunitas tersebut dapat memperoleh atau mencapai kebaikan yang
diharapkannya secara efektif. Berbagai ahli memberikan pendapat yang berbedabeda mengenai pengertian kebijakan publik, diantaranya sebagai berikut : menurut
Dye (dalam Eddi, 2004: 45) yang dimaksud dengan kebijakan publik adalah
Segala yang dilakukan pemerintah, sebab-sebab mengapa hal tersebut dilakukan,
dan perbedaan yang ditimbulkan sebagai akibatnya. Sedangkan menurut
20
Lasswell (dalam Eddi, 2004: 45) menjelaskan bahwa Kebijakan publik adalah
serangkaian program terencana yang meliputi tujuan, nilai, dan praktik. Dalam
hal ini kebijakan publik dapat juga diartikan sebagai program.
Berbeda dengan dengan kedua pendapat di atas, Ranney dalam (Eddi,2004: 45)
memberikan sumbangan pemikiran mengenai kebijakan publik sebagai tindakantindakan tertentu yang telah ditentukan atau pernyataan mengenai sebuah
kehendak. Selain itu, menurut Lester dalam (Eddi 2004: 45-46) yang dimaksud
dengan kebijakan publik adalah Proses atau serangkaian keputusan atau aktifitas
pemerintah yang didesain untuk mengatasi masalah publik, apakah hal itu riil
ataukah
masih
direncanakan
(umagined).
Feriedrick (dalam Nugroho, 2011:93) mendefinisikan kebijakan publik sebagai
serangkaian tidakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan
yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus
mengatasi hambatanyang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Beragam definisi tentang konsep kebijakan publik dapat ditarik kesimpulan
menurut Sutapa (2008) bahwa terdapat dua pendapat umum yang mengemuka.
Pertama, pendapat yang memandang bahwa kebijakan publik identik dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Pendapat ini beranggapan bahwa
pada umumnya semua tindakanyang dilakukan pemerintah adalah kebijakan
publik. Kedua, pendapat yang memusatkan perhatian pada implementasi
kebijakan (Policy Implementation). Pandangan yang pertama melihat bahwa
kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai
tujuan atau sasaran tertentu, dan pandangan yang kedua beranggapan bahwa
kebijakan publik mempunyai akibat dan dampak yang dapat diramalkan atau
diantisipasi
sebelumnya.
Dari berbagai pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik merupakan program yang dibuat oleh pemerintah dalam suatu negara yang
ditujukan untuk mengatasi segala persoalan ataupun masalah-masalah yang ada
ditengah-tengah masyarakat, baik yang sudah diterapkan maupun yang masih
direncanakan. Pada dasarnya kebijakan publik dicanangkan pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam setiap pembuatan kebijakan,
pemerintah harus mengacu kepada masyarakat karena objek dari kebijakan publik
adalah
kepentingan
masyarakat.
Definisi kebijakan publik telah dikemukakan pada bagian terdahulu, sementara
pengertian kebijakan pendidikan berangkat dari pemikiran Tilaar dan Nogroho
(dalam Bakry 2010) yang mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan tidak
dapat dilepaskan dengan hakikat pendidikan dalam proses memanusiakan anak
manusia menjadi merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang kreatif yang
terwujud didalam budayanya.
Menurut Chan (2005:65) pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia yang selalu ingin berkembang dan berubah. Pendidikan
21
mutlak ada dan selalu diperlukan diperlukan selama ada kehidupan. Oleh karena
itu,
dibutuhkan
suatu
kebijakan
pendidikan.
Kebijakan pendidikan berhubungan dengan keputusan-keputusan yang berkaitan
dengan perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan pendidikan (Gaffar, 2007
dalam
Prasojo).
Kebijakan Pendidikan merupakan sebagai kebijakan publik, bukan kebijakan
penidikan bagian dari kebijakan publik. Pendidikan merupakan milik publik dan
tiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh akses
pendidikan yang layak. Maka dari itu kebijakan pendidikan adalah programprogram yang direncanakan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi
permasalahan-permasalahan yang timbul di bidang pendidikan demi memenuhi
kewajiban pemerintah dalam memberikan pendidikan bagi setiap warga
negaranya.
B. Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Menurut Masnuh dalam (Amnur,2007:160) pendidikan merupakan suatu kegiatan,
proses, hasil dan sebagai ilmu yang pada dasarnya merupakan sebagai usaha sadar
yang dilakukan manusia sepanjang hayat guna memenuhi kebutuhan hidup.
Pandangan ini secara umum telah menjadi istilah konvensional di masyarakat dan
sarana manusia memperoleh pengetahuan secara berkesinambungan. Pada
dasarnya, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia 2009-2014 yang memiliki
orientasi basis ekonomi sesuai dengan rancangan strategis pendidikan nasional
2009-2014 yang mengacu pada amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
amandemen ke empat pasal 31 tentang pendidikan,Ketetapan MPR Nomor VII/
MPR/ 2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, Undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, undang-undang nomor 25 tahun
2004 tentang sistem perencanaan pembangun nasional, uu nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintah daerah, uu nomor 33 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah,
uu nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keunganan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan
dosen, PP Nomor 20 tahun 2004 tentang rencana kerja dan anggaran
kementerianaaa/lembaga, PP Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan dan PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan.
Setiap kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan akan berdampak pada
pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan dalam bidang pendidikan,
baik di tingkat nasional maupun daerah dan tingkat satuan pendidikan.
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai sebuah
lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat sebuah kebijakan
paling tinggi di indonesia tentunya sangat mempengaruhi eksitensi dan prosesi
pendidikan yang diharapkan memiliki standar mutu yang layak di dalam
lingkungan masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Kemudian keberadaan
dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan pemerintah pusat yang
dipimpin oleh presiden dan seorang wakil presiden, jajaran kementerian, dan
22
23
BAB
PEMBAHASAN
A.
Arah
III
kebijakan
pendidikan
di
Indonesia
24
Karakteristik
kebijakan
pendidikan
Publik
27
BAB
KESIMPULAN DAN SARAN
IV
A. Kesimpulan
Suatu kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak dan
mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang
telah
ditetapkan.
Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi
telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan
tujuan-tujuan
dan
sasaran-sasaran
tersebut.
Pelaksanaan kebijakan publik dibidang pendidikan meupakan hal yang sangat
penting, sebab pemerintah sudah seharusnya membuat perubahan-perubahan
didalam pendidikan demi tercapainya pelaksanaan pendidikan yang lebih baik.
Selain itu adanya perencanaan-perencanaan dalam bidang pendidikan juga tengah
digalakkan, contohnya saja penempatan guru-guru yang dianggap profesional
untuk
bersedia
ditempatkan
ditempat-tempat
terpencil.
Hal ini merupakan suatu kebijakan yang sangat baik, mengingat banyaknya guru
yang berlomba-lomba kedaerah perkotaan mengakibatkan kurangnya guru
didaerah pedesaan/terpencil.Maka dari itu perlu adanya suatu kebijakan dari
pemerintah khususnya yang mana mampu membuat suatu program-program baru
untuk perubahan pendidikan yang lebih berkualitas.
B. Saran
Penulis berharap agar pemerintah mampu membuat suatu kebijakan-kebijakan
yang lebih baik untuk perubahan dibidang pendidikan. Selain itu harus mampu
merangsang masyarakat agar turut serta berpartisipasi dalam sebuah inovasi
dibidang pendidikan agar pendidikan di Indonesia dapat bersaing dengan negara
lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Adriyanto, Mohamad. Kebijakan Publik Bidang Pendidikan di Indonesia.Dalam
http://1ptk.blogspot.com/2012/01/kebijakan-publik-bidang
pendidikan-di.html
(diakses
16
Februari
2014,
pukul
22:
49).
Amnur, Muhdi Ali. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta:
Pustaka
Fahim.
Ariya,
Ilham.
Karakter
Kebijakan
Pendidikan
Nasional.
Dalam
http://ariyailham09.wordpress.com/2010/02/22/karakter-kebijakan-pendidikannasional/
(diakses
24
Februri
2014,
pukul
20:00).
Bakry, Aminuddin. 2010. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik(Dalam
Jurnal MEDTEK, Volume 2, Nomor 1, April 2010).Dalam http://www.medtek
%2FJurnal_Medtek_Vol.2_No.1_April_2010%2FAminuddin
%2520Bakry.pdf(diakses
16
Februari
2014,
pukul
22:45).
Chan, Sam M dkk.2005. Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah.
Jakarta:
PT
Raja
Grapindo
Persada.
Faiz, Pan Mohamad. Menanti Political Will Pemerintah Di Sektor
28
Pendidikan.Dalam
http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/10/political-willpendidikan-indonesia.html
(diakses 24 februari 2014,pukul 21:06).
Halim, Abdul Rahman. Aktualisasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Pada
Madrasah Swasta di Sulawesi Selatan. Dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 11
No.
1
Juni
2008
:
83-100.
Imron, Ali. 2010. Kebijakansanaan Pendidikan di Indonesia, Proses, Produk dan
Masa
Depannya.
Jakarta:
Bumi
Aksara.
Mahfudz, Asep dkk.Analisis Kebijakan dan Kelayakan Mutu Tenaga Pendidik
dalam Rangka Meningkatkan Mutu Penyelenggaraan Pendidikan Dasar di
Provinsi Sulawesi Tengah.Dalam Jurnal Media Litbang Sulteng 2 (2) : 75-85,
Desember
2009.
Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Prasojo, Lantip Diat. Financial Resources Sebagai Faktor Penentu Dalam
Implementasi Kebijakan Pendidikan.Dalam http://www. journal.uny.ac.id(diakses
24
februari
2014,
pukul
20:49).
Runtuwene, Lastiko.Kebijakan Reformasi Pendidikan. Dalamhttp://www.searchdocument.com/pdf/1/4/jurnal-kebijakan-reformasi pendidikan.html(diakses 24
Februari
2014,
pukul
20:45).
Rosyada, Dede, Prof. Dr.MA, 2010.Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikandi
Indonesia.ISPI
Pusat
dan
Dekan
FITK
UIN
Jakarta.Dalam
http://www.artikelbagus.com/2010/06/Arah Kebijakan Pembangunan Pendidikan
di
Indonesia.html#ixzz2uFnQ9w5a
(diakses
24
Februari
2014).
Rifai, Afga Sidiq. Analisis Kebijakan Pendidikan Tentang Penulisan Karya Tulis
dalam Jurnal Ilmiah Sejalan dengan Peningkatan Sumber Daya Manusia
Indonesia.Dalam
http://subliyanto.blogspot.com/2012/03/analisis-kebijakanpendidikan-penulisan.html(diakses 24 Februari 2014, pukul 20: 58).
Risa,
Muhammad.Pendidikan
:
Pendidikan
Indonesia.
Dalam
http://www.artikelbagus.com/2012/04/pendidikan-indonesia.html#ixzz2uF161
WC5
(diakses
24
februari
2014,
pukul
20:05).
SUPARDI U.S.Arah Pendidikan Di Indonesiadalam Tataran Kebijakan Dan
Implementasi.Dalamhttp://www.search-document.com/pdf/1/8/jurnal-kebijakanpendidikan.html(diakses
24
februari
2014,pukul
21:13).
Sutapa, Mada. Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Kebijakan Publik.Dalam
http://www. Staff.uny.ac.id (diakses 11 Februari 2014, pukul 20:30).
Wibowo, Edi. 2004. Kebijakan Publik Pro Civil Society. Yogyakarta: Cipta
Mandiri.
29