Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sindroma Koroner Akut
II.1.1. Definisi
Organisasi
kesehatan
dunia
memprediksi
bahwa
penyakit
tetapi
tanpa gambaran ST elevasi disebut IMA non STE dan jika troponin negatif
disebut APTS seperti yang ditunjukkan pada gambar 1. (Hamm dkk,2004;
PERKI,2012)
II.1.2. Epidemiologi
Angka mortalitas dalam rawatan di rumah sakit pada IMA-STE
dibanding IMA non STE adalah 7% dibandingkan 4%, tetapi pada jangka
panjang (4 tahun), angka kematian pasien IMA non STE ternyata 2 kali lebih
tinggi dibanding pasien IMA-STE (Rationale and design of GRACE, 2001).
II.1.3. Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah yang normal akan mengalami kerusakan
oleh adanya faktor risiko antara lain, faktor hemodinamik seperti hipertensi,
zat-zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap rokok, peningkatan
gula darah dan oksidasi oleh Low Density Lipoprotein-C (LDL-C) (Libby,1995;
Hamm dkk,2004). Kerusakan ini akan menyebabkan sel endotel menghasilkan
cell molecule adhesion seperti sitokin (interleukin-1), tumor nekrosis faktor
(TNF-), kemokin (monocyte chemoatractant factor-I), dan platelet derived
growth factor. Sel inflamasi seperti monosit dan T-limfosit masuk ke permukaan
endotel dan bermigrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit kemudian
berproliferasi menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat
lebih aterogenik. Makrofag ini terus membentuk sel busa (Braunwald, 1989;
Libby,1995). LDL yang teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respon inflamasi. Sebagai tambahan terjadi respon dari angiotensin
II yang menyebabkan gangguan vasodilatasi dan mengaktifkan efek protrombin
dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi. Akibat kerusakan endotel terjadi
respon protektif yang dipicu oleh inflamasi dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous. Plak yang stabil bisa menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami
rupture (Libby, 1995).
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis seperti kolagen,
adenosin diphosphate (ADP), epinefrin dan serotonin memicu aktivasi trombosit,
yang
selanjutnya
akan
memproduksi
dan
melepaskan
tromboksan-A2
(vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu reseptor
glikoprotein II/IIIa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino
pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen. Dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi (Deckelbaum,1990; Foo dkk,2000).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombus dan fibrin (Findlay dkk, 2005; Braunwald, 1989).
IMA STE umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu IMA STE karena timbulnya banyak kolateral sepanjang
waktu. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerotik
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi ruptur lokal akan
menyebabkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologi menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan
inti kaya lipid. Pada IMA STE gambaran klasik terdiri dari fibrin rich red trombus
yang dipercaya menjadi dasar sehingga IMA STE memberikan respon terhadap
terapi trombolitik (Gambar 3) ( Hamm dkk,2004)
Tabel 2 . Kadar lekosit berperan dalam risiko kematian jangka panjang pada
IMA non STE (A) dan IMA STE (B). (Nunez J, 2005)
II.2.2.
Faktor Risiko
Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya serangan
II.2.3.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis awal sangat prediktif untuk prognosis awal.
buruk
dan
memerlukan
diagnosis
serta
tatalaksana
Scirica dkk (2002) melaporkan bahwa pasien dengan IMA non STE / APTS
yang mengalami serangan angina yang memberat akan memiliki risiko
kematian yang meningkat dalam 1 tahun.
II.2.4. Penanda Enzim Jantung
GRACE (2001) dan WHO (Tunstall dkk,1994) menggunakan kriteria
diagnostik dengan penanda enzim jantung untuk IMA dan APTS . Angka
kematian dalam 30 hari dan 6 bulan pada pasien SKA dijumpai signifikan
cukup tinggi dengan peningkatan kadar troponin yang tinggi pada pasien
dengan IMA non STE/APTS, seperti yang ditunjukkan pada tabel 5
(SIGN,2007). Troponin I atau T merupakan penanda biologis terpilih untuk
memprediksi hasil akhir klinis jangka pendek (30 hari) terkait IMA dan
kematian (PERKI,2012). Peningkatan kadar troponin merupakan prediktor
independen terhadap kematian 30 hari dan selama pengamatan jangka
panjang (1 tahun dan lebih). Nilai prognostik dari cTnT dan cTnI ternyata
sama (Ohman,1996; Luciano,2005). Peningkatan troponin dikaitkan dengan
prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan IMA non STE jika disertai dengan
peningkatan kadar enzim jantung troponin dalam 12 jam, maka memiliki
risiko tinggi kejadian kematian (dalam 30 hari dengan angka kematian sampai
dengan 4 5 %) (Christenson RH,1998)
II.2.5. Elektrokardiografi
Gambaran EKG awal sangat berguna untuk menduga kejadian SKA.
Jumlah lead yang menunjukkan depresi ST dan magnitudonya, merupakan
indikasi adanya iskemia berat dan luas dan berkorelasi dengan prognosis
terhadap angka kematian dalam 1 tahun seperti yang di tunjukkan pada
tabel 6 (Hamm, 2004). Pemantauan segmen ST secara berkala pada EKG saat
istirahat memberi informasi prognostik tambahan, selain hasil troponin dan
variabel klinis lainnya (Hamm, 2004; PERKI,2012). Pada penelitian GRACE
(2001) juga dijumpai faktor yang berhubungan secara independen terhadap
peningkatan angka kematian yaitu pertambahan usia, klas Killip, peningkatan
denyut jantung, depresi segmen ST, tanda-tanda gagal jantung, tekanan darah
sistolik yang rendah, nyeri dada yang khas dan peningkatan enzim jantung.
Adanya gambaran segmen ST yang deviasi (Kaul dkk, 2003) merupakan
prediktor yang kuat untuk hasil akhir klinis dibandingkan dengan peningkatan
enzim jantung troponin pada pasien SKA (SIGN, 2007).
risiko
berdasarkan
skor
risiko
Thrombolysis
in
Myocardial Infarction (TIMI) untuk IMA STE sebagai berikut (Morrow dkk,
2000) :
Tabel.7. A. Indikator klinis serta skor stratifikasi risiko pada IMA STE dan B. Angka
kematian dalam 30 hari terhadap skor stratifikasi risiko. (Morrow DA, 2000)
A.
B.
Angka
rata-rata
kematian,
IMA
ataupun
pasien
dengan
Tabel 10 . Hubungan antara skor TIMI pada IMA non STE /APTS terhadap angka
kematian dan revaskularisasi dalam 30 hari (Pollack Jr,2006)
II.2.7.
Komplikasi
Pasien dengan irama atrial fibrilasi (AF) yang baru muncul setelah
serangan
IMA
menunjukkan
peningkatan
angka
risiko
kejadian
II.2.8.
dengan menurunnya angka kejadian infark ulangan (0.3% absolute RR) dan
kematian (0.5% absolute RR) (Eikelboom dkk, 2000).
Penelitian secara RCT membandingkan pemberian low molecular
weight heparin (LMWH) dengan UFH pada IMA STE menunjukkan
beberapa manfaat pada penggunaan LMWH, terutama enoxaparin (Wong dkk,
2003). Secara meta analisis memastikan bahwa pasien yang diterapi dengan
trombolitik, LMWH (enoxaparin) memiliki hasil akhir klinis yang jauh lebih
baik pada kasus IMA, (absolute RR 2.3%, relative RR 41%); iskemik
berulang (absolute RR 2.0%, relative RR 30%); kematian ataupun infark
berulang (absolute RR 2.9%, relative RR 26%); dan kematian atau iskemik
berulang (absolute RR 4.8%, relative RR 28%) tapi tidak ada penurunan pada
angka kematian bila dibandingkan dengan penggunaan UFH. (Theroux P,
2003).
Gambar 6 . Membandingkan enoxaparin dengan UFH sebagai terapi tambahan pada pasien dengan
STEMI yang telah mendapatkan fibrinolitik. A. angka rerata hasil akhir klinis primer (kematian
atau non-fatal MI) dalam 30 hari secara bermakna lebih rendah pada kelompok enoxaparin
dibandingkan dengan UFH (9.9% versus 12%; P < 0.001 by the log-rank test). B. Angka rerata
hasil akhir klinis sekunder (kematian, non-fatal MI atau revaskularisasi segera) dalam 30 hari
secara bermakna lebih rendah pada kelompok enoxaparin dibandingkan dengan UFH (11.7%
versus 14.5%; P < 0.001 by the log-rank test). Perbedaannya terlihat bermakna pada 48 jam pertama
(6.1% pada kelompok UFH versus 5.3% pada kelompok enox;
P = 0.02
Fibrinolysis
PCI
14.6
16
14
12
10
8
6
7.3
5.4
5.1
6.7
6.1
4
2
0
< 2 hrs (424/414)
NYERI DADA
EKG
TIPIKAL
ENZIM
JANTUNG
SINDROMA
KORONER AKUT
ANGINA PEKTORIS
IMA STE
TAK STABIL
MORTALITAS
DAN MORBIDITAS
Antman dkk (2008) : usia, jenis kelamin, peningkatan enzim jantung, manifestasi
klinis yang berat, nilai risiko skor stratifikasi yang tinggi, pemberian terapi reperfusi
yang terlambat serta komplikasi perdarahan dapat menyebabkan kejadian mortalitas
dan morbiditas pada pasien IMA STE.
Wright dkk (2007) : usia, jenis kelamin, peningkatan enzim jantung, perubahan ST
deviasi yang luas pada rekaman EKG, nilai risiko skor stratifikasi yang tinggi
komplikasi aritmia serta pemberian terapi yang tidak cepat dan adekuat dapat
menyebabkan kejadian mortalitas dan morbiditas pada pasien IMA non STE/ APTS.
SINDROMA
KORONER
AKUT
Usia
Jenis Kelamin
Faktor risiko
Aritmia
Komplikasi
reperfusi
MORTALITAS DAN
MORBIDITAS