Você está na página 1de 14

FUNGSI DPR DALAM RANGKA PELAKSANAAN

PENGAWASAN LEGISLATIF
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Oleh:
Oppie Dara Kusuma (1301413029)
Rika Ardiyanti

(1301413030)

Yuliani Safareka

(1301413031)

Elsa Gita P.M

(1301413054)

Putri Limaran Sari

(1301413060)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
MATA KULIAH UMUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 .LatarBelakang
Kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan
issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa
ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan
dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi
pergeseran paradigma pemerintahan dari rulling government yang terus
bergerak menuju good governance dipahami sebagai suatu fenomena
berdemokrasi secara adil. Untuk itu perlu memperkuat peran dan fungsi
DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnyadengan baik.DPRD yang
seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai dengan
aspirasi masyarakat, bukan sebaliknya merusak dan mengkondisikan
Eksekutif untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap aturan
aturan yang berlaku, melakukan kolusi dalam pembuatan anggaran agar
menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan
untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan
untuk memeras eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih
terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat
keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu
yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai Kota/Kabupaten ataupun
provinsi banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus
yang diindikasikan korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak,
perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar
aturan-aturan hukum yang berlaku.

Walaupun maraknya korupsi di DPRD ini secara kasat mata banyak


diketahui masyarakat namun yang diadili dan ditindak lanjuti oleh aparat
penegak hukum, sangatlah sedikit. Faktor ini dapat memicu ketidakpuasan
masyarakat terhadap supremasi hukum di Negara kita. Elite politik yang
seharusnya memberikan contoh dan teladan kepada masyarakat justru
melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, memperkaya diri sendiri, dan
bahkan melakukan pelanggaran hukum secara kolektif. Lemahnya penegakan
hukum ini dapat memicu terjadinya korupsi secara kolektif oleh elite politik
terutama anggota DPRD ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Menjelaskan Implementasi Peran dan Fungsi DPRD?
2. Apa Peran dan Fungsi DPRD?
3. Bagaimana cara Mewujudkan Good Governance?
1.3 Tujuan
1. Untuk megetahui implementasi peran dan fungsi DPRD
2. Untuk mengetahui peran dan fungsi DPRD
3. Untuk mengetahui cara mewujudkan good governance
1.4 Manfaat
Manfaat penyusunan makalah ini bagi mahasiswa, yaitu agar mahasiswa dapat
mengetahui implementasi peran dan fungsi DPRD serta menngetahui cara
mewujudkan good governance

BAB II
3

PEMBAHASAN
2.1

System Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah


Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan negara

persatuan dalam arti sebagai negara yang warga negaranya erat bersatu, yang
mengatasi segala paham perseorangan ataupun golongan yang menjamin
segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan
pemerintahan dengan tanpa kecuali. 19 Negara persatuan mengakui
keberadaan masyarakat warga Negara karena kewargaanya (civility).
Pluralitas budaya, nilai, dan struktur masyarakatnya dalam bingkai negara
kesatuan juga diakui sebagai bagian penting corak kemajemukan bangsa
sebagai sesuatu yang harus tetap dipertahankan. Sedemikian pentingnya
kemajemukan tersebut, hingga ditegaskan dalam pasal 37 ayat (5) UUD45
Amandemen yang menyatakan bahwa, khusus mengenai bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan. Hal ini
menandakan bahwa sampai kapan pun bentuk negara Republik Indonesia akan
tetap sebagai negara kesatuan bagaimanapun sistem pemerintahan dan
parlemen

yang

dianut.

Dengan demikian, selain fungsi dan kedudukan sebagaimana dijelaskan di


atas, DPD juga sebenarnya mempunyai fungsi yang sangat strategis yaitu
sebagai penjaga sistem negara kesatuan. Sebagai representasi dari wilyah
propinsi secara langsung DPD diharapkan akan lebih memperkuat integrasi
nasional serta semakin menguatnya perasaan kebersamaan sebagai sebuah
bangsa yang terdiri dari daerah-daerah. Apabila fungsi ini dimaksimalkan,
maka dapat dipastikan peran dan kedudukan DPD dapat berjalan sesuai
dengan tujuan pembentukannya.
Selain konsep negara kesatuan yang mendasari keberadaan penting
DPD, salah satu alasan lain adalah diterapkannya kebijakan nasional yang
menyangkut penyelenggaraan otonomi daerah yang seluas-luasnya. 20 Trend
tersebut sebenarnya bukan hanya didasarkan kepada kondisi internal

ketatanegaraan Indonesia yang ingin beranjak dari rejim dan sistem otoriter
jaman orde baru, tetapi lebih dari itu, yaitu membawa pemerintah kian dekat
dengan rakyat. Tuntutan kondisi eksternal yang menghendaki perbaikan
sistem dan kinerja pemerintah daerah selama ini mendorong keinginan untuk
dapat bersaing dengan negara-negara sedang berkembang lainnya. Kondisi ini
sebenarnya telah menempatkan DPD sebagai lembaga negara yang sangat
mampu membantu daerah mewujudkan perubahan dan adaptasi tersebut
dengan membawa kepentingan dan kebutuhan daerah (agenda setting) ke
tingkatnasional.
Peran strategis tersebut dapat dilakukan mulai dari tahap pemantauan
kebutuhan dan permasalahan yang ada di daerah masing-masing perwakilan.
Dengan kewenangan yang dimilikinya untuk mengusulkan RUU yang terkait
dengan otonomi daerah, DPD dapat membuka jalan bagi daerah untuk
membagi permasalahan dan kebutuhannya kepada pemerintah pusat dan DPR.
Memang fungsi dan kewenangan tersebut cukup terbatas, mengingat ruang
lingkup kebutuhan dan permasalahan rakyat sebenarnya berada di level
pemerintah daerah, maka DPD membutuhkan kewenangan yang lebih dari
sekedar pengusul saja.
Dalam lingkup pengawasan khusus juga, peran dan fungsi DPD bias
dimaksimalkan. Sebagaimana dituliskan dalam UUD45, bahwa Dewan
Perwakilan

Daerah

dapat

melakukan

pengawasan

atas

pelaksanaan

undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan


penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dengan demikian bisa dipahami, bahwa
sebenarnya DPD mempunyai tugas dan fungsi yang cukup besar dan
signifikan dalam mendorong perubahan kepada daerah yang diwakilinya.
Ruang lingkup tugas yang dapat dilakukan antara lain, melakukan berbagai

kajian, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan otonomi daerah selama


ini. Sehingga isu-isu yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah tidak
hanya seputar pemekaran daerah, ketidaksinkronan antara peraturan daerah
mengenai pajak dan retribusi dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, serta hambatan perkembangan daerah terkait dengan kuatnya
intervensi politik kepala daerah terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah, melainkan isu-isu perbaikan dan perubahan yang signifikan.
Apabila mengikuti pendapat Harold J. Laski dalam Hendarmin
Ranadireksa, yang menyatakan bahwa,... Badan itu (Parlemen, penulis) harus
demikian besarnya, sehingga anggotanya betul-betul dapat selalu mengadakan
hubungan dengan rakyat, dan demikian kecilnya, sehingga betul-betul masih
dapat diadakan pertukaran pikiran ... (maka, penulis) ... Badan perwakilan
rakyat harus dapat memeluk tanggung jawab untk satu program yang luas dan
anggotaanggotanya harus mempunyai cukup waktu untuk mengadakan
penyelidikan yang sedalam-dalamnya tentang program itu ... badan perwakilan
itu tidak putus hubungannya dengan rakyat ...maka sebenarnya, DPD dapat
melakukan hal yang sama sebagai lembaga perwakilan rakyat meskipun bukan
merupakan lembaga legislatif yang sebenarnya. Hal ini juga serupa dengan
yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa, fungsi parlemen sebagai
lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok sebenarnya adalah fungsi
representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga perwakilan tanpa
representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam hubungan itu penting
dibedakan antara pengertian representation in presence dan representation in
ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan dipandang dari
segi kehadiran fisik. Sedangkan pengertian keterwakilan yang kedua bersifat
substantif, yaitu perwakilan atas dasar inspirasi atau ide. Dalam pengertian
yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan
resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Akan tetapi secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat
dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat

yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian


dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang
bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar
diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan
oleh parlemen.
Beranjak dari konsepsi tersebut, maka kedudukan dan peran DPD
dalam sistem kelembagaan legislatif Indonesia merupakan elemen yang sangat
penting. Keterlibatan DPD dalam sistem parlemen Indonesia telah mengubah
wajah hubungan dan struktur kelembagaan legislatif kita, dan bahkan mungkin
memperkenalkan konsep ketatanegaraan baru. Namun yang lebih penting dari
itu adalah efektifitas dan keterlibatan penuh DPD dalam mengusung
kepentingan daerah ke arah yang lebih baik dengan tetap dalam koridor sistem
Negara kesatuan.
Hubungan Kelembagan DPR, DPD dan MPR Pembentukan DPD tentu
saja menghadirkan beberapa macam pandangan akan sistem ketatanegaraan
Indonesia. Pendapat pertama menyatakan bahwa sistem parlemen Indonesia
sudah berubah dari sistem parlemen tunggal (unikameral) menjadi sistem
parlemen dua kamar (bikameral). Pendapat kedua berpendapat bahwa
sebenarnya dengan kehadiran DPD sebagai kamar kedua di parlemen tetap
tidak mengubah sistem parlemen Indonesia yang bersifat unikameral sebab
pada dasarnya DPD bukan merupakan lembaga legislatfi sepenuhnya dan
menjadi satu dengan DPR dalam bingkai kelembagaan MPR. Sedangkan
pendapat ketiga menyatakan bahwa, Indonesia malah telah menganut sistem
parlemen tiga kamar (trikameral), karena kedudukan MPR yang tetap
dipertahankan sebagai bagian dari sistem parlemen Indonesia dengan tetap
mempunyai Sekretariat Jenderal sendiri. Secara historis, tujuan pembentukan
parlemen bikameral memang biasanya dihubungkan dengan bentuk negara
federal yang bertujuan untuk melindungi formula federasi itu sendiri.Dalam
sistem pemerintahan parlementer, ada dua alasan utama digunakannya sistem
bikameral ini, yaitu: (a) adanya kebutuhan untuk menjamin keseimbangan

yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif, dan (b) keinginan untuk
membuat sistem pemerintahan benar-benar berjalan lebih efisien dan lancar
melalui apa yang disebut revising chamber.Oleh karena itu, apabila melihat
konsep di atas, maka perbedaan kedua kamar parlemen Indonesia (DPR dan
DPD) dapat ditentukan, salah satunya melalui pembagian kewenangan di
antara keduanya dalam menjalankan tugas-tugas parlemen.
Secara teori, lembaga legislatif mempunyai tiga jenis fungsi yaitu
fungsi pengaturan (legislasi), fungsi pengawasan (kontrol), dan fungsi
perwakilan (representasi). Dalam fungsi perwakilan, terdapat tiga sistem
perwakilan yang dipraktikkan di berbagai negara demokrasi, yaitu:
1) Sistem perwakilan politik (political representation);
2) Sistem perwakilan teritorial (territorial representation atau regional
representation);
3) Sistem perwakilan fungsional (functional representation).
Sistem perwakilan politik menghasilkan wakil-wakil politik, sistem
perwakilan teritorial menghailkan wakil-wakil daerah, sedangkan sistem
perwakilan fungsional menghasilkan wakil-wakil golongan fungsional. DPD
merupakan perwujudan sistem perwakilan teritorial dan DPR sebagai
perwakilan politik. Dianutnya ketiga sistem perwakilan di atas menentukan
bentuk dan struktur pelembagaan sistem perwakilan tersebut di setiap negara.
Pilihan system perwakilan itu selalu tercermin dalam struktur kelembagaan
parlemen yang dianut suatu negara. Melihat ketiga fungsi tersebut, memang
dapat dinyatakan bahwa kedudukan DPD bukanlah lembaga legislatif
sepenuhnya sebab DPD belum mempunyai fungsi pengaturan (legislasi).
Terlepas dari pandangan tersebut setidaknya dapat disimpulkan bahwa sistem
parlemen Indonesia sudah sangat berbeda dibandingkan dengan format lama
pada UUD45 sebelum amandemen. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
tugas dan fungsi DPD berkisar pada pengawasan dan pengusulan realisasi
hubungan pusat dan daerah berserta kepentingan yang ada di dalamnya ke
dalam produk perundang-undangan. Ruang lingkup tugas dan fungsi tersebut

berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,


hubungan

pusat

dan

daerah,

pembentukan

dan

pemekaran

serta

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya


ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara,
pajak, pendidikan, dan agama. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 22D
UUD45 Amandemen.
1) Secara lebih rinci, UUD45 mengatur kewenangan DPD sebagai berikut:
DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD):
a) ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam, dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan

dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta


b) memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU
yang berkaitan dengan

pajak, RUU yang berkaitan dengan

pendidikan, dan RUU yang berkaitan dengan agama.


3) DPD dapat melakukan pengawasan atas:
a. pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,
pendidikan, dan agama; serta
b. menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan

untuk

ditindaklanjuti.

Dengan

demikian,

harus

dibedakan antara fungsi DPD dalam bidang legislatif dan bidang


pengawasan. Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD
bersifat utama (main constitutional organ) yang sederajat dan sama
penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi, fungsi DPD hanya
9

menunjang tugas konstitutional DPR.15 Atau Dengan kata lain, DPD


hanya memberikan masukan, sedangkan yang memutuskan adalah
DPR, sehingga DPD ini lebih tepat disebut sebagai Dewan
Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan
pertimbangan kepada DPR.
Kondisi di atas dapat dilihat dalam pasal 42 ayat (3) dan 43
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Pasal 42 ayat (3) yang menyatakan bahwa, pembahasan RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan
sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dimaksud pada
ayat (1) dengan pemerintah. Ditambah lagi dalam pasal 43 bahwa,
DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang diajukan baik oleh
DPR maupun oleh pemerintah, namun hanya sampai pada awal
pembicaraan tingkat I di DPR, dan itu pun hanya dalam hal
penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undangundang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing2.2

masing lembaga.
Mewujudkan Good Governance
Secara analogi, governance dalam konteks organisasi secara umum, baik
berupa organisasi perusahaan maupun organisasi publik atau sosial
lainnya, maka dapat diartikan pula sebagai suatu sistem dan struktur yang
baik dan benar yang menciptakan kejelasan mekanisme hubungan
organisasi baik secara internal maupun eksternal. Good governance

10

terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement) dari sistem


dan struktur yang telah tersusun dengan baik. Implementasi dan penegakan
tersebut bertumpu pada, umumnya, lima prinsip yang universal yaitu:
responsibility, accountability, fairness, independency, dan transparency.
Kelima prinsip fundamental tersebut dapat dijelaskan secara singkat
berikut ini:
a. Responsibility: kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap
prinsip
korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku
b.
Accountability: kejelasan fungsi, struktur, sistem dan prosedur
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana
secara efektif
c. Fairness: perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak
stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangan yang
berlaku
d. Independency: pengelolaan secara profesional, menghindari benturan
kepentingan
dan tekanan pihak manapun sesuai peraturan perundangan yang berlaku
e. Transparency: keterbukaan informasi di dalam proses pengambilan
keputusan

dan

di

dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai


perusahaan.
Kelima prinsip tersebut bukanlah harga mati atau one size fits all, artinya
dalam menerapkan dan menegakkan good governance kelima prinsip
tersebut disesuaikan dengan budaya dan problem masing-masing institusi
yang akan menjalankannya. Disamping itu, apabila menilik berbagai code
of conduct ataupun best practice dari berbagai institusi di berbagai negara,
maka kelima prinsip dasar tersebut hampir selalu dapat ditemukan karena
sifatnya yang universal. Fungsi legislasi merupakan suatu proses untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan para pihak (stakeholders), untuk

11

menetapkan bagaimana pembangunan di daerah akan dilaksanakan. Fungsi

legislasi bermakna penting dalam beberapa hal berikut:


Menentukan arah pembangunan dan pemerintahan di daerah
Dasar perumusan kebijakan publik di daerah
Sebagai kontrak sosial di daerah
Disamping itu, dalam menjalankan fungsi legislasi ini DPRD berperan pula
sebagai policy maker, dan bukan policy implementer di daerah. Artinya,
antara DPRD sebagai pejabat publik dengan masyarakat sebagai
stakeholders, ada kontrak sosial yang dilandasi dengan fiduciary duty.
Peningkatan performa tersebut dapat dilakukan antara lain :
Peningkatan pemahaman tentang perencanaan dalam fungsi legislasi;
Optimalisasi anggota DPRD dalam mengakomodasi aspirasi stakeholders;
Ditumbuhkannya inisiatif DPRD dalam penyusunan RAPERDA;
Ditingkatkannya kemmapuan analisis (kebijakan publik & hukum) dalam
proses

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Optimalisasi peran DPRD merupakan kebutuhan yang harus segera
diupayakan jalan keluarnya, agar dapat melaksanakan tugas, wewenang,
dan hak-haknya secara efektif sebagai lembaga legislatif daerah.
Optimalisasi peran ini oleh karena sangat tergantung dari tingkat
kemampuan anggota DPRD, maka salah satu upaya yang dilakukan dapat
diidentikkan dengan upaya peningkatan kualitas anggota DPRD.
Namun yang juga tidak kalah pentingnya, optimalisasi peran DPRD ini
alangkah lebih baik jika dibarengi dengan peningkatan pemehaman
mengenai etika politik bagi anggota DPRD, agar pelaksanaan fungsifungsi anggaran, legislasi, dan pengawasan dapat berlangsung secara etis
dan proporsional. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai etika

12

politik, setiap anggota DPRD tentu akan mampu menempatkan dirinya


secara proporsional, baik dalam berbicara maupun bersikap atau bertindak,
serta tidak melupakan posisinya sebagai wakil rakyat yang telah
memilihnya. Sebagai salah satu contoh adalah tidak etis jika dalam situasi
krisis yang multidimensional ini, anggota DPRD lebih mementingkan diri
dan golongannya, ketimbang memperjuangkan nasib rakyat yang
diwakilinya. Isue money politics dalam pemilihan Kepala Daerah di
beberapa daerah dan derasnya arus demontrasi yang menyoroti perjuangan
anggota DPRD dalam menaikkan gaji dan kesejahteraannya, harus
ditangkap sebagai pengalaman berharga untuk perbaikan di masa-masa
mendatang.
3.2

Saran
Kita tentu berharap bahwa yang terjadi adalah DPRD benar-benar mampu
berperanan dalam arti mampu menggunakan hak-haknya secara tepat,
melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan
kedudukannya secara proporsional. Hal ini dimungkinkan jika setiap
anggota DPRD bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga
menguasai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis
penyelenggaraan pemerintahan, teknis pengawasan, penyusunan anggaran,
dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
H.A. Kartiwa, Good Local Governance : Membangun Birokrasi
Pemerintah yang Bersih dan Akuntabel, (makalah), 2006.
Indra Perwira, Tinjauan Umum Peran dan Fungsi DPRD, KPK Jakarta,
2006.

13

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.


Materi Lokakarya Peningkatan Peran Anggota DPRD, diselenggarakan
oleh KPK, Jakarta, 7-8 Juni 2006.
Yusuf Anwar, Good Governance dalam Rangka Optimalisasi Fungsi dan
Peran DPRD, KPK, Jakarta 2006.
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Zoelva, Hamdan, Artikel: Paradigma Baru Ketatangeraan Pasca Perubahan
UUD 1945, Sekretariat Negara RI, 2007

14

Você também pode gostar