Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
by rjparinduri
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi yang sangat pesat menjadikan dunia seolah tanpa batas (borderless).
Manusia kini dapat terhubung satu sama lain dengan jangkauan dan daya jelajah yang luas
(wide spread) dengan kecepatan tinggi (high speed) dan tanpa membutuhkan media
komunikasi konvensional, seperti, kertas (paperless).
Teknologi menurut Mansfred[1] is the societys pool of knowledge used regarding the
principles of physical and social phenomena ..knowledge regarding the application of
production. Bifani[2] menyatakan Technology is a system in order of knowledge that refers
to a complete set of methods, know how, instruments and machines as well as organization
and managerial principles designed to use them in productive activity. Technology a
synonym for experiment[3]
Teknologi menjadi paradigma baru untuk menentukan kualitas suatu bangsa. Ungkapan
bahwa siapa yang menguasai teknologi akan menggenggam dunia ditangannya, karenanya
tidak dapat diragukan lagi walau harus disikapi secara bijaksana. Teknologi terkait dengan
industrialisasi telah menjadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan
keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Namun kenyataannya ada kesenjangan penguasaan
teknologi antara negara maju dengan negara berkembang, seperti Indonesia. Oleh karana itu
masalah alih teknologi antara neghara maju dan negara berkembang menjadi isu sentral
dalam beberapa dasawarsa, lebih-lebih setelah tercapainya kesepakatan masyarakat
internasional dalam World Trade Organization (WTO)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, menarik untuk ditelaah permasalahan sebagai berikut:
II. PEMBAHASAN
A. Peranan Hukum Dalam Alih Teknologi
Teknologi jika dikaitkan dengan ilmu pengetahuan mencakup :[4] (a)Produk ; (b)Proses dan
(c) Paradigma Etika. Teknologi sebagai The application of science berinduk pada ilmu
pengetahuan (science) yang merupakan the enlarging international pool of knowledge
equally valid every where[5] Ilmu pengetahuan semula berawal dari pengetahuan
(knowledge) yang lambat laun menjadi disiplin ilmu yang mandiri manakala cabang-cabang
ilmu melepaskan diri dari batang filsafatnya dan berkembang sesuai metodologinya.
Hukum adalah bagian dari teknologi karena teknologi terkait dengan masalah konstitusi[6]
dan fungsinya sebagai legal structure yang fundamental. Didalam konstitusi suatu negara
tercakup berbagai pertimbangan dan keputusan manusia yang berposisi sebagai teknokat,
birokrat dan politikus[7]. Hukum menentukan teknologi canggih, teknologi menengah atau
teknologi merakyat[8]
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 diletakkan dasar dan arah pembangunan ekonomi yang
tentu didalamnya tercakup masalah alih teknologi. Dalam Pasal 33 ditetapkan bahwa :
Perekonomian Indonesia di susun oleh Cabang-cabang produksi Bumi, air dan
kekayaan alamdipergunakan sebesar-sebesar kemakmuran rakyat. Pembangunan ekonomi
dimaksudkan untuk mencapai Tujuan Nasional, disadari bahwa bangsa Indonesia memiliki
kekurangan dari segi modal, keahlian dan teknologi. Untuk itu diperlukan serangkaian
kebijakan dan aturan yang dapat memenuhi kebutuhan itu, antara lain, melalui kebijakan alih
teknologi.
Kebijakan alih teknologi diletakkan oleh UU No. 1/1967 Tentang Penanaman Modal Asing.
[9] Dalam Pasal 2 UU No. 1/1976 dinyatakan bahwa modal asing meliputi penemuanpenemuan milik orang asing . Lebih lanjut dalam Pasal 12 UU No. 1/1976 ditetapkan :
Perusahaan-perusahaan modal asing wajib menyediakan fasilitas dan pendidikan bagi
warga negara Indonesia. Tujuan ketentuan ini agar berangsur-angsur tenaga kerja asing
dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia.
Komitmen awal Pemerintah mengundang investor asing melalui UU No. 1/1967 bahwa
modal asing tersebut akan dijadikan pelengkap dalam pembiayaan pembangunan, disamping
pajak,tabungan masyarakat (public saving) dan lain-lain. Hal ini tercermin dalam asas-asas
yang terdapat dalam UU tersebut antara lain : (a) asas manfaat yang sebesar-besarnya untuk
kepentingan rakyat, (b) asas ketidak-tergantungan dan (c) asas jaminan dan insentif[10]
Setahun berikutnya diundangkan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN). Pasal 1 UU No. 6/1968 menetapkan : Modal dalam negeri ialah bagian dari
kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak benda-benda, baik yang dimiliki negara
swasta asing Pasal 3
Selanjutnya
dengan
tercapainya
kesepakatan
Persetujuan
Pembentukan
Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization WTO) yang
telah disahkan melalui UU No. 7/1994,[11] maka Indonesia berkewajiban menyempurnakan
seluruh peraturan perundang-undangannya dengan WTO.Di bidang investasi, ketentuan
Trade Related Investment Measures menjadi tolok ukurnya.
Selain UU No. 1/1967 dan UU No. 6/1968, masalah teknologi dan pengalihannya ditetapkan
dalam undang-undang Paten. Pengaturan paten di Indonesia diawali dengan OctrooiWet
1912. Namun sebagai undang-undang produk Belanda, terdapat kebijakan yang tidak
menguntungkan bagi Indonesia bahwa pendaftaran paten di Indonesia (Hindia Belanda) harus
diteruskan ke Negeri Belanda untuk perolehan haknya. Tentu saja pengaturan ini dirasakan
bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Oleh karena itu sambil menunggu undangundang Paten nasional terbentuk, dikeluarkan pengumuman Menteri Kehakiman No. J-S5/41/4 tanggal 12 Agustus 1953 yang dimuat dalam Berita Negara No. 65 tanggal 28 Agustus
1953 dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J-G-1/2/17 tanggal 29 Oktober 1953 yang
dimuat dalam Berita Negara No. 91 tanggal 13 November 1953. Kedua pengumuman
tersebut mengatur penerimaan pendaftaran sementara atas permintaan paten.
Octrooi Wet digantikan dengan UU No. 6/1989 Tentang Paten sebagai undang-undang
produk nasional. Dalam masalah paten terkait ketentuan Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights-IPR, Including Trade in Counterfeit goods(TRIPs) Sejalan dengan
Persetujuan TRIPS dilakukan penyempurnaan UU No. 6/1989 dengan UU No.13/1997. No.
13/1997. Saat ini kedua peraturan tersebut telah dihapus digantikan dengan UU No. 14/2001
tentang Paten.
Istilah alih teknologi harus dipahami dari pihak yang memiliki teknologi kepada pihak lain
yang membutuhkan teknologi tersebut, yang dalam hal ini dapat dilakukan dengan sell; share
ataupun transfer[12] . Di Indonesia alih teknologi lazimnya dipahami dari pihak asing,
sebagaimana ungkapan Pameo Satirikal[13]: Technology was invented in Europe and
developed in USA but produced as made in Japan.
The meaning of transfer of technology is also subject to different interpretation. The process
of acquiring techonological capacity from abroad can be construed to consist of three stages :
economy.
UNCTC[16] mempergunakan istilah teknologi dalam dua pengertian yaitu dalam pengertian
sempit dan dalam pengertian luas. Dalam arti sempit, teknologi adalah technical knowledge
or know-how that is knowledge related to the methods and techniques of production of goods
and services. Sedangkan istilah teknologi diartikan oleh UNCTAD sebagai:[17]
Technology is an essential input of production, and as such it is bought and sold in the world
market as a commodity embodied in one of the following forms (i) in capital goods and
sometimes intermediary goods which are bought and sold in markets, particulary in
connection with investment decision; (ii) in human labour usually qualified and sometimes
highly qualified and specialized manpower, with capacity to make correct use of the
equipments and techniques and to master a problem solving and information producing
Tipe alih teknologi yang berhasil di identifikasi UNCTC nampak dari pernyataannya :[18]
Dalam kaitan ini UNCTC menetapkan ada 9 (sembilan)[19] bentuk perjanjian yang terkait
dengan alih teknologi yakni :
(3) Licensing
(4) Franchising
a) direct investment
PMDN
b)
a.Direct Investment
UU No. 1/1967 mengatur masalah direct investment dimana investor harus menanamkan
modalnya dalam bentuk pendirian perusahaan (Perseroan Terbatas, mengelola dan
melakukan kontrol langsung
atas
investasinya (pasal 1). Umumnya investor berasal dari perusahaan transnasional atau
multinasional dari negara maju.[21] Ada beberapa motivasi mengapa mereka mau
menanamkan modal diluar negaranya :
Adanya kejenuhan pasar dinegaranya, sehingga menimbulkan iklim kompetisi yang ketat
dan cenderung tidak sehat.
Adanya peluang pasar dinegara tujuan investasi atau sekitarnya dan hal itu dilakukan untuk
ekspansi pasar.
Adanya cost of production yang tinggi disebabkan oleh mahalnya faktor-faktor produksi,
misalnya upah tenaga kerja tinggi; sumber daya alam yang terbatasyang menyebabkan harga
bahan baku menjadi mahal, sementara sumber daya alam di negara tujuan investasi sangat
signifikan.
Pendayagunaan kembali mesin-mesin atau teknologi yang dinegaranya sendiri mungkin
sudah usang dan dilarang untuk dipakai, misalnya, karena damapak negatif yang signifikan
ini (ini harus diwaspadai).
Dalam kaitan dengan alih teknologi , Pasal 2 UU No. 1/1967 menetapkan bahwa
alat-alat perusahaan dan penemuan-penemuan (Invention) baru milik orang asing termasuk
kategori modal asing. Dalam arti bahwa alat-alat dan penemuan tersebut dapat dianggap
sebagai inbreng (pemasukan yang bernilai ekonomis dan dikonversi sebagai saham). Untuk
itu perlu diwaspadai agar tidak terjadi mark up harga dan penilaian teknologi secara
berlebihan. Alat-alat dan penemuan-penemuan baru tersebut seyogyanya sudah di nilai
inclusive sebagai inbreng pada perusahaan. Namun di dalam praktek, para investor dengan
kepiawiannya masih dapat menuntut royatly di luar interest selaku pemegang saham, dengan
dalih bahwa keahlian atau know how untuk mengoperasikan alat-alat terebut adalah diluar
kesepakatan yang ada dan oleh karena itu harus dihargai; hal yang sama terjadi manakala
invensi
atau
penemua-penemuan
tersebut
membutuhkan
know-how
untuk
mengaplikasikannya. Satu hal lagi yang penting untuk diwaspadai jangan sampai alat-alat
perusahaan atau penemuan-penemuan baru tersebut sesuatu yang sebenarnya dinegaranya
sendiri (house country) sudah usang (obsolote) atau bahkan dilarang karena mencemarkan
lingkungan, namun dengan perhitungan agar investasinya dalam menhasilkan alat tersebut
dapat kembali , maka alat-alat perusahaan tersebut dibawa serta dalam rangka investasinya di
negara tujuan investasi (host country) yang relatif memiliki bargaining position lebih lemah.
Masih berkenaan dengan alat-alat perusahaan dan penemuan-penemuan, seringkali investor
asing melarang partner lokal untuk melakukan perbaikan yang sifatnya pengembangan. Hal
inilah yang sering dikritisi bahwa sekian tahun perusahaanPMA di Indonesia Bangsa kita
hanya memiliki kemampuan sebatastukang.
Dalam UU No. 1/1967 sebenarnya diatur alih teknologi dalam 3 (tiga) pengertian :
Berkaitan dengan transfer of knowledge, Pasal 12 UU No. 1/1967 mewajibkan investor untuk
mendidik tenaga kerja Indonesia sebagai upaya pengembangan
manusia. Pendidikan inilah yang idealnya, menjadi sarana alih teknologi. Namun harus
diwaspadai manakala mengikuti pendidikan yang diselenggarakan pihak asing, jangan sampai
kita terkecoh, maksud hati memperoleh pengetahuan atau teknologi dari mereka,
kenyataannya justru kita yang dijadikan obyek penelitian guna mengembangkan pengetahuan
atau teknologi mereka agar dapat mempertahankan posisi determinan dan dominannya
terhadap negara berkembang.
Transfer of share atau Indonesianisasi saham (divestasi) tujuannya adalah untuk percepatan
penguasaan kendali perusahaan (berikut perangkat lunaknya, informasi dan
teknologi).
Dalam upaya pencapaian tujuan tersebut sebelum berlakunya PP No. 20/1994 Tentang
Kepemilikan Saham Asing Pada Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman
modal, kebijakan Pemerintah menetapkan bahwa dalam tempo 15 (lima belas) atau 20 (dua
puluh) tahun sejak produksi komersil posisi partner Indonesia harus menjadi mayoritas
51% : 49% dalam kepemilikan saham pada suatu perusahaan PMA. Kenyataannya meski
partner Indonesia sudah dalam posisi mayoritas yang asumsinya akan mengendalikan
perusahaan, toh kita harus tetap mengakui keunggulan partner asing yang sangat piawai
dalam bermain di celah-celah hukum, misalnya, kendali tetap mereka pegang melalui
berbagai perjanjian seperti technical assistant agreement, management agreement[22] dan
lain-lain. Adanya
kenyataan itu
sebenarnya
bertentangan
Treatment dan Most Favoured Nation yang menjadi prinsip dasar WTO.
Transfer of employee ditetapkan dasar pada Pasal 11 yang menetapkan bahwa Tenaga kerja
asing dapat dipakai di perusahaan, PMA, sepanjang jabatan tersebut belum dapat diisi oleh
pengusaha Indonesia. Ada catatan disini dalam praktek tenaga kerja asing untuk jabatan
yang sama dapat memperoleh upah 10 (sepuluh)
Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut nampak bahwa yang terjadi adalah sell bukan
share apalagi transfer of technology yang dapat digunakan sebagai sarana alih teknologi.
Memang dalam asal 11 dimungkinkan memperkerjakan tenaga kerja asing, tetapi keahliannya
harus ditransfer kepada tenaga kerja Indonesia.
Secara psikologis UU No. 1/1967 tentang PMA dengan UU No. 6/1968 memiliki keterkaitan
yakni mengatur suatu badan usaha (berbentuk Perseroan Terbatas) dengan fasilitas tertentu.
Perbedaannya, jika UU No. 1/1967 dimaksudkan untuk mengundang investor asing ke
Indonesia, sedangkan UU No. 6/196 8untuk melindungi investor dalam negeri. Dalam
pengalamannya ada sedikit kontradiksi. Hal ini dapat dilihat UU No. 1/1967 dalam Pasal 18
menetapkan perusahaan PMA dibatasi jangka waktu berusahanya selama 30 tahun,
sedangkan Pasal 6 UU No. 1/1968 membatasi jangka waktu perusahaan asing,
UU No. 14/2001 menetapkann bahwa : Paten adalah hak eklusif yang diberikan oleh negara
kepada investor (penemu) atas hasil invensi (penemuannya) dibidang teknologi, yang untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (Pasal 1 Angka 1). Invensi
(penemuan) adalah ide inventor (penemu) yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi dapat berupa produk atau proses atau
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 Angka 2).
Berdasarkan ketentuan tersebut, hakekat paten adalah suatu hak monopoli yang diberikan
negara kepada investor sebagai reward atau incentive baginya atas pengungkapan invensi
tersebut kepada masyarakat (pada saat pengumuman) melalui patent description /
spesification. Tujuannya adalah agar masyarakat memperoleh pengetahuan baru dalam
mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan. Sebaliknya
bagi bagi inventor, paten memberikan hak ekonomis untuk mengeksploitasi penemuannya,
antara lain, melalui perjanjian lisensi dengan imbalan royalty. Disamping itu inventor
memiliki hak moral agar namanya selaku inventor tetap di cantumkan dalam sertifikat paten,
meski patennya telah dialihkan kepada pihak lain, misalnya perusahaan sebagai pemegang
paten. Dan kondisi ini askan memacu proses industrialisasi suatu negara.
Dalam hal ini daur kondisi tersebut dapat dilihat dari keterkaitan teknologi, ilmu pengetahuan
dan invensi (inovasi) serta lingkungan (skema I). Tambahan pula ada keterkaitan antara
investor (invensi) dengan royalty sebagai reward atau incentive serta pengembangan sumber
daya manusia (skema II).
Skema I.[23]
Skema II :[24]
Dalam hal paten, tidak semua teknologi dapat diberikan paten. Persyaratan substantif /
materiil agar suatu teknologi dapat dipatenkan adalah
novelty (kebaruan)
Inventive step (langkah inventif)
Industrially applicable (dapat diterapkan dalam industri)
Suatu teknologi dianggap baru jika teknologi tersebut tidak sama dengan prior art (teknologi
paling mutakhir saat itu yang menjadi pembanding). Prior art dalam bahasa undang-undang
disebut teknologi yag telah diungkapkan atau diumumkan sebelumnya. Dalam hal ini
pengumuman dimaksudkan dapat berupa suatu tulisan; uraian lisan atau melalui peragaan
atau cara-cara lain yang mengakibatkan seorang ahli (meniru) melaksanakan invensi yang
sama. Ukuran kebaruan juga didasarkan pada jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
setelah adanya invensi harus segera didaftarkan, jika tidak maka nilai noveltynya akan gugur.
Suatu invensi dianggap mengandung langkah infentif. Jika invensi tersebut bagi seseorang
yang memiliki keahlian tertentu di bidang teknik bersifat non obvious (tidak dapat diduga
sebelumnya). Invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi dapat dilaksanakan sesuai
uraian dalam permohoman.
Selain ketiga syarat tersebut diatas yang sifatnya world wide, untuk permintaan paten di
Indonesia harus memperhatikan Pasal 7 UU No. 14/2001 bahwa paten tidak dapat diberikan
untuk invensi tentang :
Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau
kesusialaan.
Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan atau pembedahan yang diterapkan
terhadap terhadap manusia dan atau hewan.
Teori dari metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, atau
Pasal 7 ini terkandung muatan aksiologi[25] yang dalam sebagai pertimbangan kebijakan
pemberian paten. Hukum dalam hal ini tidak hanya sekedar memberikan hak monopoli tanpa
batas, namun ada norma-norma tertentu yang harus ditaati. Sebagai contoh jika tidak ada
ketentuan Pasal 7 butir (a) dapat dibayangkan bagaimana ekses yang ditimbulkan,
perkembangan teknologi akan semakin meningkatkan sifat materialisme manusia; jika
ketentuan dalam huruf (b) tidak ada, maka biaya perolehan teknologi yang sangat besar akan
meningkatkan biaya pelayanan kesehatan selain hal tersebut diatas sebenarnya UU paten ini
juga harus disinkronkan dengan aturan mengenai Bio diversity dan aspek sumber daya
lainnya.
Pada prinsipnya Pemegang paten wajib membuat produk atau menggunakan proses yang
diberi paten di Indonesia, kecuali jika hal itu hanya layak dilakukan secara regional, asalkan
disertai permohonan tertulis kepada yang berwenang (Pasal 17). Ketentuan ini dimaksudkan
agar terjadi alih teknologi (lebih-lebih jika pemegang paten adalah inventor asing).
Perjanjian lisensi merupakan hal yang krusial untuk dikaji. Kata lisensi (Licence) pada
dasarnya meliputi : a) lisensi sukarela (valuntary licensing) dan (b) lisensi wajib (Compulsory
licensing). Lisensi diartikan sebagai : [26] a personal prevelege to do some particular act
and is ordonary receable at the will of lecensor and is not assignable.
Dalam pasal 71 UU No. 14 / 2001 dinyatakan bahwa perjanjian lisensi dilarang (a) memuat
ketentuan yang baik langsung maupun tidak langsung dapat merugikan perekonomian
Indonesia atau (b) memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa
Indonesia menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan
dengan inovasi yang diberi paten pada khususnya. Termasuk dalam perbuatan yang dilarang
oleh Pasal 71 ini antara lain : (a) tie-in restriction (b) restrictive business practices (rbp) dan
(c) grant back provison). Perbuatan yang mewajibkan lisensi untuk membeli bahan baku pada
pihak yang ditunjuk licensor dengan dalih menjaga kualitas produk adalah tie-in restriction.
Klausula -klausula rbp ada pada price restriction; teritorial restriction; field of use and
customer restriction; output restriction; packaging licensing. Sedangkan lisensi yang
mengandung grant back provision adalah memuat ketentuan bahwa : setiap perbaikan,
inovasi atau pengembangan terhadap invensi yang dilisensikan oleh licensee memberikan hak
bagi licensor untuk menggunakan invensi tersebut.
Lebih lanjut dalam Pasal 72 ditetapkan: Setiap perjanjian lisensi harus dicatat dan
diumumkan dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensi tidak dicatat di Dirjen HKI,
tidak mempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga. Pencatatan perjanjian lisensi adalah
wujud campur tangan yang diperkenankan dalam Pasal 40 Persetujuan TRIPs guna
melindungi posisi licensee yang umumnya ditengarai memiliki posisi
yang lemah.
Ketentuan ini mencegah penyalahgunaan hak paten oleh licensor ( terlebih foreign licensor)
dan kesemua itu untuk kontribusi perekonomian nasional. Selain itu pencatatan berfungsi
untuk mengetahui jumlah dan bentuk invensi yang telah di lisensikan agar dapat
diproyeksikan oleh teknologi masa depan[27]
Dengan pertimbangan yang sama beberapa negara, seperti Mexico dalam The Law on the
Registation of Technology menetapkan larangan[28] :
Hal terpenting dalam hukum Mexico adalah : Jika perjanjian lisensi tidak didaftarkan, maka
perjanjian tersebut tidak menimbulkan legal effect, tidak diakui oleh public authority dan
pengadilan, serta yang tidak kalah penting royalty atas perjanjian lisensi yang bersangkutan
tidak dapat dipotongkan atas pajak penghasilan[29] . Di Indonesia dalam praktek 80%
perjanjian lisensi tidak didaftarkan dengan dalih bahwa perjanjian adalah privity of
contract[30] yang dibentuk atas dasar freedom of contract[31] alasan sesungguhnya adanya
keengganan dua pihak untuk membayar biaya pendaftaran. Kepentingan pendaftaran muncul
manakala terjadi sengketa.
Selain lisensi sukarela, masalah alih teknologi dapat juga melalui perjanjian lisensi wajib
yang tertuang dalam Pasal 74 sampai dengan 87 UU No. 14 / 2001. Alasan lisensi wajib ada
2 (dua) :
Jika paten atas suatu invensi tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di
Indonesia oleh pemegang paten dalam waktu 36 (tiga puluh enam bulan) terhitung sejak
tanggal pemberian paten (Pasal 75)
Jika sewaktu-waktu ternyata pelaksanaan paten suatu pihak ternyata tidak mungkin dapat
dilakukan tanpa melanggar paten lain yang telah ada.
Alasan (a) terkait dengan ketentuan kewajiban pelaksanaan paten di Indonesia sebagaimana
diatur pada Pasal 17 tersebut diatas. Sedangkan alasan (b) Memungkinkan terjadinya cross
licensing yang saling menguntungkan antara pemilik paten dengan penerima lisensi wajib.
Permohonan lisensi wajib diajukan kepada Dirjen HKI disertai bukti :
i. force majeure
ii. guarantee
iii. assignment of disputes
iv. applicable law and language to be used
v. government approval
III. PENUTUP
Berbicara masalah teknologi adalah berbicara how man work ?[33] Teknologi sebagai
produk ilmu. Pengetahuan memiliki dampak baik posistip maupun negatif. Dampak
positipnya, antara lain, teknologi merupakan competitive advantages bahkan the owner ship
advantages bagi pemilik teknologi yang bersangkutan. Dampak negatifnya tercermin dari
berbagai social effects yang ditimbulkan, diantaranya pembagian developed countries dengan
developing countries[34] sebagai hasil perbedaan yang ditimbulkan dari pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknolohi terhadap kondisi sosial ekonomi, politik, pendidikan dan
kesehatan di antara negara yang ada.
Peranan hukum dalam kebijakan alaih teknologi untuk merubah masyarakat agraris menjadi
masyarakat industrialis. Disini ada keadaan yang dilematis disatu sisi percepatan penguasaan
teknologi termasuk percepatan pembangunan perlu dilakukan dengan cara bersikap terbuka
terhadap pemilik modal dan teknologi (yang umumnya berasal dari negara maju), sedangkan
disisi lain kita tetap harus menjaga kepentingan nasional. Disini terkait kewenangan negara
untuk mengatur proses alih teknologi. Dalam era global ini setelah tercapainya kesepakatan
WTO yang di dalamnya terkait dengan 2 (dua) agenda alih teknologi yakni TRIMS dan
TRIPS.
TRIMS berlaku untuk alih teknologi dalam bentuk direct investment (penanaman modal
secara langsung). Sedangkan TRIPS terkait dengan indirect investment utamanya dalam
bentuk lisensi paten.
Alih teknologi hampir dapat dikatakan tidak mungkin mengingat si pemilik teknologi akan
terus berupaya menyimpan atau terus mengembangkan teknologinya (sehingga kita terus
tertinggal) untuk mempertahankan posisi dominan dan determinannya. Kalaupun mungkin
ada alih teknologi, maka cost yang harus kita bayar sebagai negara berkembang akan sangat
tinggi (belum lagi social costnya). Disinilah kita harus dapat memeilih teknologi secara bijak
dan tepat dengan mempertimbangkan kepentingan generasi yang akan datang dan
keterpeliharaan sumber daya alam.
Dipahami dari konteks keilmuan, maka teknologi yang terkait dengan ilmu pengetahuan
harus dipelalajri dan diaplikasikan dengan tetap memperhatikan values (ilmu). Jangan sampai
teknologi justru mengindustrialisasikan ilmu pengetahuan.
[1] Mansfeed, E. dkk, The Production and Aplication of New Industrial Technology, Norton,
New York, 1979, h. 10.
[2] Bifani. P, System Analysis Approach to Science and Technology Planning, Washington
University, 1982, h. 14
[3] Daniel J. Boorstin, The Republic of Technology, Harper and Row, New York, 1978. h.viii
(foreword)
[4] Abdoel Gani, Kuliah Hukum dan Alih Teknologi, PPS Unair, Surabaya, September 2001.
[5] Ibid.
[6] Hermien Hadiati Koeswadji, Kuliah, Hukum dan Alih Teknologi, PPS Unair, Surabaya,
September 2001
[7] Ibid
[8] Abdoel Gani , Kuliah Hukum dan Alih Teknologi (Transparantsheet),PPS Unair,
September, 2001
[11]Hermien Hediati Koeswadj., Kuliah Hukum dan Alih Teknologi (Transparantsheet), PPS
Unair, Surabaya, Desember 2001.
[12]Ibid.
[16] UNCTC, Transnational Corporations and Technology Transfer : Effects and Policy
Issues, UN, New York, 1987 (UNCTC II), h. 2.
[20] Peter Mahmud, Pengaturan Terhadap Perusahaan Transnasional Dalam Alih Teknologi,
PPS Unair, Surabaya, 1996, h. 2-3.
[21]Ibid.
[22] UNCTC, Arrangement Between Joint Venture Partners in Developing Countries, UN,
New York, 1987 (UNCTC III), Hal. 4
[24]Philip Griffith, Intellectual Property Rights: An Over View, TOT of IPR, UTS, Sydney
Desember 1997.
[26] Henry Cambell Black, Blacks Law Dictionary , West Publicshing St. Blue Minn, 1990.
[27] Rahmi Jened, Perlindungan Hak Cipta Pasca Persetujuan TRIPs Yuridika, 2000 hal : 76
[29] Ibid.
[32] Kun Kumieda, Technology Transfer and Licensing (summary), JIII -AOTS, Jepang
Februari, 1999
[34] J. Archie Bahn, What is Science ? : Axiology the science of values, the World Book,
New Mexico, 1980, h. 32-36