Você está na página 1de 53

LAND REFORM

Agraria 11

Kepemilikan dan penguasaan lahan


pertanian yang sempit dan timpang bagi
petani khususnya di pedesaan merupakan
salah satu bentuk masalah pertanian di
Indonesia
Hasil sensus BPS 2003, jumlah petani
gurem meningkat dari 52,7 % (th 1993),
menjadi 56,5 % (tahun 2003)
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
memperbaiki masalah (ketimpangan)
walaupun masih belum membuahkan
hasil, salah satunya adalah bentuk
reforma agraria
Reforma Agraria adalah suatu usaha yang

Poor people are fighting over


charity
of $US 3 before Idul Fitri

21 people died in the distribution of


Zakat before Idul Fitri in East Java
province

People queued for cash


transfers of Rp 100,000 /
family/month

palm desert in
Kalimantan

Newmont is the richest gold mining company


in the world

Queuing to get fuel

Violence against civilians


in Papua, at Freeport's
mining site

Eviction of small traders and street


vendors to be replaced by malls and
modern shopping centers

Protest against beef


import (2009)

Colonialism

large-scale land ownership by big


capitalists, especially foreign capital
exploitation of natural resources
intensively for export purposes

Distribution of mining
concessions

Control of land by
investment
No.

The effectiveness

Total area
(million ha)

1.

Oil and gas contract

95.45

2.

Work contract (minerals)

6.47

Minerals contract

7.67

Coal exploitation (coal right by Local Government)

24.77

Coal contract (KKB/ PKP2B by Central Government)

Rights to control forest (HPH) natural

5.2
27.72

Forest for Industrial Cultivation

3.4

National Plantation *

3.3

Private Plantation*

1.08

Sources

Total

175.06

Total of Land area

192,26

: the data process from all sources, 2005


* Data year 2003

Agricultural Production Land for


Peasants
Year

Supporting Land for Agricultural Production Rice


area

Growth

(millions of
hectare)

(thousands of ton)

1996

11,6

1,1

51.101

2,7

1997

11,1

-3,7

49.377

-3,4

1998

11,7

5,3

51.490

4,3

1999

12

50.866

-1,2

2000

11,6

-3

51.899

2001

11,5

-0,9

50.461

-2,8

2002

11,5

0,2

51.490

2003

11,5

-0,3

52.137

1,3

2004

11,9

3,8

54.089

3,7

2005

11,8

-0,9

54.056

-0,1

source : Statistic 2007

Production

Growth

Gross Domestic Product of


Indonesia
Year
Annual Amount
1999

1.009,732,00

2000

1.389.769,59

2001

1.684.280,49

2002

1.897.799,96

2003

2.045.853,49

2004

2.273.141,50

2005

2.784.960,40

2006

2.967.303,10

2007

3.540.950,10

2008

4.426.385,00

Solution

Agrarian Reform ; Indonesian society needs real agrarian


reform in the form of land distribution, agriculture
production tools, capital, technology and access to the
price and market in order to increase their income.
National Industrialization ; In the last 20 years,
Indonesian economy entered de-industrialization phase
where more than 70 percent component of Indonesian
industry came from import. National industry grew in a
form of footloose industry. Indonesia has experienced
deindustrialization before reaching the phase of
industrialization. Thus, to build strong economic structure,
it needs good industrial policy.
Protection dan Subsidy ; at production level and
productivity in which farmers need subsidy from the state,
WTO and FTA cause farmer s access to market and
natural resources to decline. Protection and subsidy
should be provided by the government.

Pelaksanaan Landreform di
Indonesia :
Masa Feodalisme:
1.

2.

3.

Kehidupan petani yang seolah-olah tidak


memiliki hak apapun atas tanah yang
mereka olah
Petani hanya diperalat oleh kekuasaan
kerajaan yang menyebabkan adanya
kesenjangan tajam antara kaum bangsawan
dan rakyat.
Adanya stratifikasi lapisan masyarakat
dengan dasar kurang tepat menyebabkan
semakin parahnya ketidakadilan yang
terjadi.

Masa Kemerdekaan
1.

Masa orde lama


Lahir UUPA) No. 5 tahun 1960.
Masih lemah secara hukum, banyak
ketentuan-ketentuan yang belum
aplikatif meskipun didalamnya sudah
terjadi proses permodernan dengan
menggabungkan dualisme hukum
sebelumnya, yaitu hukum Belanda dan
hukum adat.

Kendala Pelaksanaan Landreform:


1.

Lemahnya keinginan elit politik


dan kapasitas pemerintah lokal

2.

Ketiadaan organisasi masyarakat


tani yang kuat dan terintegrasi

3.

Miskinnya ketersediaan data


pertahanan dan keagrariaan

4.

Ketersediaan dan alokasi

Landreform berasal dari kata


land yang artinya tanah, dan
reform yang artinya perubahan,
perombakan atau penataan kembali.
Jadi
landreform
itu
berarti
merombak kembali struktur hukum
pertanahan lama dan membangun
struktur pertanahan baru.

Pengertian landreform dalam UUPA dan UU


No.
56/Prp/1960
adalah
pengertian
landreform dalam arti luas, yaitu :
1. Pelaksanaan pembaharuan hukum agraria, yaitu
dengan
mengadakan
perombakan terhadap
sendi-sendi hukum agraria yang lama yang
sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan
situasi zaman modern dan menggantinya dengan
ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan
perkembangan masyarakat modern.
2. Penghapusan terhadap segala macam hak-hak
asing dan konsepsi kolonial.
3. Diakhirinya kekuasaan para tuan tanah dan
para feodal atas tanah yang telah banyak
melakukan pemerasan terhadap rakyat melalui
penguasaan atas tanah.
4. Perombakan
mengenai
pemilikan
dan
penguasaan
atas
tanah
serta
berbagai
hubungan-hubungan yang berkenaan dengan
pengusahaan atas tanah.

Tujuan landreform di Indonesia adalah :


1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber
penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan
maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan
mengubah struktur pertanahan secara revolusioner, guna
merealisasi keadilan sosial.
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar
tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek spekulasi dan alat
pemerasan.
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas
tanah bagi warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun
wanita, yang berfungsi sosial.
Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit,
yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat bersifat
perseorangan dan turun temurun, tetapi berfungsi sosial.
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus
pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran
dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas
maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga.
Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki atau
wanita. Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme
dan kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan
terhadap golongan ekonomi lemah.
5.
Untuk
mempertinggi
produksi
nasional
dan

LANDASAN HUKUM
PELAKSANAAN LANDREFORM DI
INDONESIA
Landasan Ideal : Pancasila
Landasan Konstitusional : Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
TAP MPR No. IX/MPR/2001
Landasan Operasional :
- Pasal 7, 10, dan 53 UUPA;
- UU No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian;
- UU No. 2/1960 jo Inpres No. 13/1980 tentang Perjanjian Bagi
Hasil;
- PP No. 224/1961 jo PP No. 41/1964 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pembayaran Ganti Rugi;
- PP No. 4/1977 tentang Pemilikan Secara Absentee oleh Para
Pensiunan Pegawai Negeri;
- UU No. 1/1958 jo PP No. 18/1958 tentang Penghapusan
Tanah Partikelir dan Eigendom;
- Peraturan Kepala BPN No. 3/1991 tentang Pengaturan
Penguasaan Tanah Obyek Landreform secara Swadaya, dan
lain-lain.

PROGRAM-PROGRAM
LANDREFORM
1.
2.
3.

4.
5.
6.

Larangan menguasai tanah pertanian melampaui


batas (pasal 1 - 6 UU No. 56/Prp/1960).
Larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai
(pasal 3 UU No. 56/Prp/1960).
Redistribusi tanah-tanah selebihnya dari batas
maksimum, tanah absentee, tanah bekas
swapraja, tanah-tanah Negara lainnya (tanah-tanah
obyek landreform) diatur dalam PP No. 224/1961
dan PP No. 41/1964
Pengaturan soal pengembalian dan penebusan
tanah pertanian yang digadaikan (pasal UU No.
56/Prp/1960).
Pengaturan kembali tentang perjanjian bagi hasil
(UU no. 2/1960).
Penetapan batas minimum pemilikan tanah
pertanian serta larangan melakukan perbuatanperbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian

Program I :
Larangan menguasai tanah pertanian
melebihi batas

Pasal 7 UUPA :
Untuk tidak merugikan kepentingan
umum, maka pemilikan dan penguasaan
atas tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan. Pasal ini dimaksudkan
untuk mencegah bertumpuknya tanah di
tangan golongan orang tertentu saja.
Oleh karena itu setiap orang atau
keluarga hanya diperbolehkan menguasai
tanah pertanian, baik miliknya sendiri,
kepunyaan orang lain ataupun miliknya
sendiri bersama kepunyaan orang lain,
yang jumlahnya tidak melebihi batas
maksimum,
sebagaimana
ditetapkan

Yang dipakai sebagai dasar adalah kepadatan


penduduk seperti dinyatakan dalam tabel
berikut :
(Catatan : Jika sawah dipunyai bersama-sama
dengan tanah kering maka batas-batasnya
adalah paling banyak 20 Ha)

Penetapan batas luas maksimum ini


memakai dasar unit keluarga yang
menentukan maksimum luas tanah bagi
suatu keluarga adalah jumlah luas tanah
yang dikuasai oleh anggota-anggota dari
keluarga tersebut.
Yang termasuk anggota suatu keluarga
ialah yang masih menjadi tanggungan
sepenuhnya dari keluarga itu.
Jumlah anggota keluarga ditetapkan
maksimum 7 (tujuh) orang termasuk
kepala keluarga.
Jika jumlahnya melebihi 7 orang, maka
luas maksimum bagi keluarga tersebut
untuk setiap anggota keluarga
yang
selebihnya ditambah 10% dari batas
maksimum, tetapi tidak boleh melebihi

Luas
maksimum
yang
ditetapkan
tersebut harus memperhatikan keadaan
daerah tingkat II masing-masing dan
faktor-faktor sebagai berkut :
1. Tersedianya tanah-tanah yang masih
dapat dibagi.
2. Kepadatan penduduk.
3. Jenis-jenis
kesuburan
tanahnya
(diadakan
perbedaan antara sawah
dan tanah kering diperhatikan apakah
ada perairan yang teratur atau tidak).
4. Besarnya usaha tani yang sebaikbaiknya
menurut kemampuan satu
keluarga dengan mengerjakan beberapa
buruh tani.

Pengecualian
Penetapan maksimum tidak berlaku terhadap
tanah pertanian yang dikuasai :
a. Dengan Hak Guna Usaha;
b. Dengan hak-hak lainnya yang bersifat
sementara dan terbatas yang didapat dari
pemerintah (Hak Pakai atas tanah negara);
c.
Tanah Bengkok/Jabatan;
d. Oleh badan-badan hukum.

Apabila perorangan atau suatu keluarga yang


memiliki tanah pertanian yang luasnya melebihi
batas maksimum diberi suatu kewajiban berupa :
1. Melapor;
2. Meminta ijin apabila ingin memindahkan hak
atas tanahnya;
3. Usaha penguasaan tidak melebihi batas
maksimum yang telah ditetapkan

Program II :
Larangan pemilikan tanah secara
absentee/guntai

Pasal 10 UUPA menegaskan bahwa setiap


orang/badan hukum yang mempunyai hak
atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan
mengerjakan
atau
mengusahakan sendiri secara aktif dengan
mencegah cara-cara pemerasan.
Untuk melaksanakan asas yang tercantum
dalam
pasal
10
UUPA
tersebut
diadakanlah ketentuan-ketentuan untuk
menghapuskan tanah pertanian yang
dikuasai secara absentee/guntai, dalam
Pasal 3 PP No. 224/1961 jo PP 41/1964 dan

Yang dimaksud tanah absentee


(guntai) adalah tanah yang terletak
di luar kecamatan tempat tinggal
pemilik tanah (Pasal 3 PP 224/1961).

Setiap
pemilik
tanah
dilarang
memiliki tanah pertanian yang
berada
pada
kecamatan
yang
berbeda dengan kecamatan dimana
si pemilik bertempat tinggal

Dalam waktu 6 bulan, pemilik tanah


yang masih tetap memiliki tanah
secara absentee/guntai diberi suatu
kewajiban untuk :
1. Melepaskan dan memindahkan
hak atas tanahnya kepada pihak
yang bertempat tinggal di
kecamatan yang sama dengan tanah
tersebut terletak, atau;
2. Berpindah tempat tinggal pada
satu kecamatan yang sama dengan
tempat dimana tanah itu terletak.
(Pasal 3 ayat (3) PP 224/1961 jo

Pengecualian : pemilik tanah diperbolehkan untuk


tetap memiliki tanah secara absentee/guntai, apabila :
1.
Letak tanah :
Kecamatan dimana letak tanah tersebut berada
berbatasan dengan kecamatan dimana pemilik tanah
bertempat tinggal, asalkan jarak antara tempat tinggal
pemilik dan tanahnya masih memungkinkan
mengerjakan tanah itu secara efisien (pasal 3 (2) PP
224/1961).
2.

Subyek :
a. Berdasarkan pasal 3 ayat (4) PP 224/1961, yaitu
bagi :
- mereka yang menjalankan tugas negara
(pegawai negeri, pejabatpejabat militer serta
yang dipersamakan dengan mereka);
- mereka yang menunaikan kewajiban agama;
- mereka yang mempunyai alasan khusus lainnya
yang dapat diterima.

b. Pasal 2 ayat (1) PP No. 4/1977, yaitu:

Bagi subyek yang dikecualikan


tersebut di atas, dibatasi memiliki
tanah secara absentee sampai batas
2/5 dari luas maksimum yang
ditetapkan pasal 2 UU No.
56/Prp/1960.

Program III:
Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya
dari batas maksimum, tanah absentee,
tanah bekas swapraja, tanah-tanah negara
lainnya.

Pengaturan
a. PP No. 224/1961;
b. PP No. 41/1964.

Tanah-tanah yang akan


diredistribusikan :
(Pasal 1 PP 224/1961)
(1) Tanah-tanah selebihnya dari batas
maksimum.
Tanah-tanah selebihnya dari batas
maksimum ialah tanah-tanah yang
merupakan kelebihan maksimum
sebagaimana dimaksud dalam UU No.
56/Prp/1960. Tanah-tanah tersebut
diambil oleh Pemerintah dengan ganti
rugi dan selanjutnya dibagikan kepada
petani-petani yang membutuhkan. Dengan
tindakan ini diharapkan produksi akan
bertambah karena penggarap tanah
sekaligus menjadi pemilik tanah akan

(3) Tanah-tanah Swapraja dan bekas


Swapraja.
Yang dimaksud dengan tanah
swapraja dan bekas swapraja ialah
domein swapraja dan tanah bekas
swapraja yang dengan berlakunya
UUPA menjadi hapus dan tanahnya
beralih kepada Negara, begitu pula
tanah yang benar-benar dimiliki oleh
swapraja baik diusahakan dengan
cara persewaan, baik hasil ataupun
yang diperuntukkan sebagai tanah
jabatan dan lain sebagainya.
Tanah swapraja dan bekas swapraja
yang telah beralih kepada Negara
tersebut diberi peruntukan sebagian
untuk kepentingan pemerintah dan

(4) Tanah-tanah yang dikuasai langsung


oleh Negara.
Tanah-tanah lain yang dikuasai oleh
Negara dan
ditegaskan menjadi
obyek landreform adalah :
a. Tanah bekas partikelir;
b. Tanah-tanah bekas hak erfpacht
yang
telah
berakhir jangka
waktunya, dihentikan atau
dibatalkan;
c. Tanah-tanah kehutanan yang
diserahkan
kembali
hak
penguasaannya oleh instansi yang
bersangkutan kepada Negara, dan
lain-lain.

Yang tidak termasuk di dalam ketentuan


ini adalah tanah-tanah wakaf dan tanahtanah untuk peribadatan.

Syarat-syarat penerima redistribusi :


a. Petani penggarap atau buruh tanah
yang berkewarganegaraan Indonesia;
b. Bertempat tinggal di kecamatan letak
tanah yang bersangkutan;
c. Kuat kerja dalam pertanian.

Status hukum tanah yang dibagi adalah Hak


Milik, dengan diberikan syarat-syarat sebagai
berikut (Pasal 14 PP 224/1961) :
a. Penerima redistribusi wajib membayar uang
pemasukan;
b. Tanah yang bersangkutan harus diberi tanda
batas;
c. Haknya harus didaftarkan guna memperoleh
sertipikat sebagai tanda bukti hak;
d. Penerima redistribusi wajib
mengerjakan/mengusahakan tanahnya secara
aktif;
e. Setelah 2 tahun harus dicapai kenaikan hasil
tanaman;
f. Penerima redistribusi wajib menjadi anggota
koperasi tanah pertanian;
g. Dilarang mengalihkan hak kepada pihak lain
selama uang pemasukan belum dibayar;

Pelaksanaan (pasal 6 dan 7 PP 224/1961)


Memberikan ganti rugi kepada bekas pemilik,
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Ganti kerugian itu ditetapkan atas dasar
perhitungan perkalian hasil bersih rata-rata
selama 5 tahun terakhir ditetapkan tiap
hektarnya menurut golongan klas tanahnya.
b. Harga umum sebagai dasar untuk menetapkan
ganti rugi jika harga tanah lebih tinggi dari
harga umum.
c. Ganti rugi (dalam persentase) :
- 10% dalam bentuk uang simpanan di Bank;
- 90% dalam bentuk Surat Hutang Landreform
(SHL);
(diatur oleh Perpu No. 5/1963 yang kemudian
ditetapkan menjadi UU No. 6/1964).

Program IV :
Pengaturan soal pengembalian dan
penebusan
tanah pertanian yang digadaikan

Gadai tanah menurut hukum adat


adalah hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah kepunyaan
pihak lain, yang telah menerima uang
gadai dari padanya. Selama utang
tersebut belum dilunasi, tanah tetap
berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang (pemegang gadai)
dan selama itu hasil tanah seluruhnya
menjadi hak pemegang gadai sebagai

Program V :
Pengaturan kembali tentang
perjanjian bagi hasil.
Dasar Hukum : UU No. 2 Tahun 1960
Syarat penggarapan :
a. Petani;
b. Luas tanah yang digarap tidak akan
lebih dari 3 Ha.
c. Tanah garapan, bisa berupa :
- kepunyaan penggarap sendiri;
- diperoleh penggarap secara menyewa,
atau;
- melalui perjanjian bagi hasil; atau
dengan cara lain.

Bentuk perjanjian :
a. Perjanjian dibuat tertulis;
b. Dihadapan Kepala Desa;
c. Disaksikan oleh 2 orang;
d. Memerlukan pengesahan Camat;
e. Jangka waktu :
- untuk sawah adalah 3 tahun;
- untuk tanah kering adalah 5 tahun;
jangka waktu dapat diperpanjang
tidak lebih dari 1 tahun

Besarnya bagian hasil tanah


Ditetapkan oleh Bupati dengan
memperhatikan :
a. Jenis tanaman;
b. Keadaan tanah;
c. Kepadatan penduduk;
d. Zakat yang disisihkan sebelum
dibagi;
e. Faktor-faktor ekonomis;
f. Ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat.

Program VI:
Penetapan batas minimum pemilikan tanah
pertanian serta larangan melakukan perbuatanperbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian
yang terlampau kecil.

Setiap petani sekeluarga memiliki


tanah pertanian minimum 2 Ha, bisa
berupa sawah, tanah kering atau
sawah dan tanah kering
Penetapan luas minimum ini
bertujuan supaya setiap keluarga
petani mempunyai tanah yang cukup
luasnya untuk dapat hidup yang

Untuk mencapai tujuan tersebut


dilaksanakan usaha-usaha untuk
mencapai target supaya setiap
keluarga petani mempunyai tanah
pertanian dengan hak milik seluas
minimum 2 Ha, misalnya dengan
jalan :
- perluasan tanah pertanian
(ekstensifikasi) dengan
pembukaan tanah secara besarbesaran di luar Jawa;
- melaksanakan transmigrasi; dan

Oleh karena berbagai kendala yang


mengakibatkan belum memungkinkan
dicapainya batas minimum itu dalam
waktu
yang
singkat,
maka
pelaksanaannya dilakukan berangsurangsur (tahap demi tahap).
Tahap pertama perlu dicegah pemecahanpemecahan pemilikan tanah pertanian,
dengan jalan diadakan pembatasanpembatasan di dalam pemindahan hak
yang berupa tanah pertanian yang
luasnya kurang dari 2 Ha.
Larangan ini tidak berlaku bagi yang
mempunyai tanah kurang dari 2 Ha, dapat

Jika 2 orang ataui lebih mempunyai


tanah pertanian kurang dari 2 Ha,
harus mengambil alternatif:
a. Menunjuk salah seorang menjadi
pemilik tanah pertanian yang
bersangkutan, atau
b. Memindahkan hak atas tanahnya
kepada pihak lain.

Suatu perbuatan hukum berupa


pembagian warisan tidak dapat
dibatasi
atau
dilarang
untuk
melakukan pemecahan pemilikan
tanah pertanian, karenaitu terjadi
karena hukum.
Mengenai bagian warisan yang
kurang dari 2 Ha akan diatur oleh
Peraturan Pemerintah.

Você também pode gostar