Você está na página 1de 36

BAB I

PENDAHULUAN
Pneumonia masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak
diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia (Afrika dan Asia Tenggara). Di Indonesia sendiri terjadi kematian bayi
sebesar 27,6% dan kematian balita sebesar 22,8% karena pneumonia.
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi
vitamin A, tingginya prevalens kolonisasibakteri patogen di nasofaring, dan
tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, yang sebagian
besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh
karena hal lain (aspirasi). Pneuomonia oleh karena bakteri biasanya awitannya
cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Bakteri yang paling sering sebagai penyebab
pneumonia

di

negara

berkembang

adalah

Streptococcus

pneumoniae,

Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus.


Berdasarkan tempat infeksi, dikenal 2 bentuk pneumonia, yaitu:
pneumonia masyarakat (community acquaired pneumonia) infeksi yang terjadi
di

masyarakat,

pneumonia

rumah

sakit/nosokomial

pneumonia) infeksi yang terjadi di rumah sakit.

BAB II

(hospital

acquaired

STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi Pasien
a. Nama
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Alamat
e. Dikirim oleh
f. MRS tanggal,
g. Nomor RM

: Reishya binti Ogi Indra


: 1 Bulan
: Perempuan
: Jl. Dusun II, Indralaya
: Puskesmas
: 27 Agustus 2014
: 0000841273

2.2 Anamnesis
Tanggal
Diberikan oleh

: 28 Agustus 2014
: Ibu Kandung

a. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan utama
: Sesak nafas
2. Keluhan tambahan : batuk dan demam
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 4 hari SMRS ibu mengeluh anaknya menderita batuk berdahak
berwarna putih, pilek, sesak nafas tidak dipengaruhi posisi, aktivitas dan
cuaca. Anak tampak mulai malas menyusu. Anak tidak tampak biru. Ibu
kemudian membawa anak berobat ke bidan lalu disarankan ke RS Bari.
Anak kemudian dibawa ke RS BARI, diberi obat sirup amoxicillin, sirup
ambroxol, dan di nebulisasi. Hasil tes laboratorium di RS BARI normal.
Anak mulai tampak ada perbaikan. Setelah di rawat inap, 1 hari anak
pulang.
Sejak 1 hari SMRS, anak mengalami sesak nafas dan semakin
memberat, sesak nafas tidak dipengaruhi oleh posisi, aktivitas dan cuaca.
Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas yang berbunyi atau
mengorok. Anak juga mengalami batuk dan demam. Anak tidak mau
menyusu, mual, muntah (+) tidak menyemprot dengan frekuensi 5 kali.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian anak dibawa ke puskesmas
dan diberi obat sirup kuning serta di nebulisasi. Anak kemudian dirujuk ke
RSMH.
b. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit
1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

Masa kehamilan
Partus
Ditolong oleh
BB
PB

: cukup bulan
: spontan per vaginam
: bidan
: 2400 gram
: 42 cm

2. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Parotitis
: tidak ada
Difteri
: tidak ada
Tetanus
: tidak ada
Campak
: tidak ada
Varisela
: tidak ada
Typhoid
: tidak ada
Demam lama : tidak ada
Radang paru : tidak ada
TBC
: tidak ada
Lumpuh
: tidak ada
Otitis media : tidak ada
Muntah berak : tidak ada
Batuk/pilek : tidak ada
Kejang
Asma

Kecacingan : tidak ada


Patah tulang : tidak ada
Jantung
: tidak ada
Sendi bengkak: tidak ada
Kecelakaan : tidak ada
Operasi
: tidak ada
Keracunan
: tidak ada
Sakit kencing : tidak ada
Sakit ginjal : tidak ada
Alergi
: tidak ada
Perut kembung: tidak ada
Malaria
: tidak ada
DBD
: tidak ada

: tidak ada
: tidak ada

3. Riwayat Makanan
ASI
Susu Formula
Bubur nasi
Nasi biasa
Kesan

: lahir sampai sekarang, >5x/hari


: lahir sampai sekarang (saat ASI terasa kurang)
::: asupan makan baik

4. Riwayat Imunisasi
BCG
:Hepatitis
: 1x, hepatitis B 0
Polio
:DPT
:Campak
:Kesan
: Imunisasi dasar belum lengkap
5. Riwayat Perkembangan Fisik
Menggenggam

Mengoceh

: (+)

: (+)
Kesan

: perkembangan fisik dalam batas normal sesuai usia

6. Riwayat Perkembangan Mental


Isap jempol
: tidak ada
Ngompol
: tidak ada
Aktivitas
: aktif
Membangkang
: tidak ada
Ketakutan
: tidak ada
Kesan
: perkembangan mental dalam batas normal
7. Riwayat Keluarga
Menikah
Jumlah saudara
Riwayat penyakit

: 4 tahun
: tidak ada
: Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama
dengan pasien dalam keluarga tidak ada.

2.3 Pemeriksaan Fisik (28 Agustus 2014)


a. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum
: tampak sakit sedang
Kesadaran
: kompos mentis
Posisi
: supinasi
BB
: 3000 gr
PB
: 50 cm
BB/U
: di antara -2 dan -3 SD
PB/U
: di antara 0 dan -2 SD
BB/PB
: di antara -1 dan -2 SD
Kesan status gizi
: gizi kurang
Edema
: tidak ada
Sianosis
: tidak ada
Dispnea
: ada
Ikterus
: tidak ada
Pucat
: tidak ada
Suhu
: 38,50C
Frekuensi napas
: 72 x/menit
Tipe pernapasan
: abdominothorakal
Nadi
Frekuensi
: 140 x/menit
Isi
Equalitas
Regularitas
Pulsus defisit
Pulsus alternans
Pulsus paradox

: cukup
: equal
: reguler
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Pulsus tardus
Pulsus celler
Pulsus magnus
Pulsus parvus
Pulsus bigeminus
Pulsus trigeminus

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

Kulit
Warna
Hiperpigmentasi
Hipopigmentasi
Eritema
Makula, papula
Vesikel
Pustula
Sikatrik
Edema
Turgor
Hemangioma
Ptekie, purpura

: putih
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: baik, cubitan kulit perut kembali cepat
: tidak ada
: tidak ada

b. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Ubun-ubun

: Belum menutup

Lingkar kepala

: 41 cm

Mata
Palpebra

: edema (-/-)

Konjungtiva

: pucat (-/-)

Sklera

: ikterik (-/-)

Pupil

: bulat, isokor

Diameter

: 3mm/3mm

Refleks cahaya

: +/+

Hidung
Bentuk

: normal

Napas cuping hidung

: ada

Sekret

: tidak ada

Mulut
Bibir
Bentuk

: normal

Warna

: merah muda

Ulkus

: tidak ada

Rhagaden

: tidak ada

Sikatriks

: tidak ada

Cheilosis

: tidak ada

Sianosis

: tidak ada

Labioschizis

: tidak ada

Bengkak

: tidak ada

Vesikel

: tidak ada

Oral trush

: tidak ada

Trismus

: tidak ada

Bercak Koplik

: tidak ada

Palatoschizis

: tidak ada

Gigi
Kebersihan

: cukup

Karies

: tidak ada

Hutchinson

: tidak ada

Gusi

: hipertrofi tidak ada, perdarahan tidak ada

Lidah
Bentuk

: normal

Gerakan

: normal

Tremor

: tidak ada

Warna

: merah muda

Selaput

: tidak ada

Hiperemis

: tidak ada

Atrofi papil

: tidak ada

Makroglosia

: tidak ada

Mikroglosia

: tidak ada

Faring Tonsil
Warna

: merah muda

Edema

: tidak ada

Selaput

: tidak ada

Pembesaran tonsil : tidak ada


Ukuran

: T1-T1

Simetris

: simetris

Bentuk

: normal

Telinga

Aurikula

: normal

Cairan

: tidak ada

Serumen

: dalam batas normal

Leher
Inspeksi
Struma

: tidak ada

Bendungan vena

: tidak ada

Limphadenopati

: tidak ada

Tortikolis

: tidak ada

Bullneck

: tidak ada

Parotitis

: tidak ada

Palpasi
Kaku kuduk

: tidak ada

Pergerakan

: luas

Struma

: tidak ada

Thoraks Depan dan Paru


Inspeksi Statis
Bentuk

: normal

Simetris

: simetris

Vousure cardiac

: tidak terlihat

Clavicula

: normal

Sternum

: normal

Bendungan vena

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

Sela iga

: normal, tidak melebar

Inspeksi Dinamis
Gerakan

: simetris

Bentuk pernapasan : abdominothorakal


Retraksi
Palpasi

: ada, subcostal dan intracostal

Nyeri tekan

: tidak ada

Fraktur iga

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

Krepitasi

: tidak ada

Stem fremitus

: normal, kanan=kiri

Perkusi
Bunyi ketuk

: sonor / sonor

Nyeri ketuk

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

Auskultasi
Bunyi napas pokok : vesikuler (+) meningkat
Bunyi napas tambahan
Ronkhi

: ronkhi basah halus nyaring (+/+)

Wheezing

: tidak ada

Jantung
Inspeksi
Vousure cardiac

: tidak terlihat

Ictus cordis

: tidak terlihat

Pulsasi jantung

: tidak terlihat

Palpasi
Ictus cordis

: teraba di ICS IV linea midclavicula sinistra

Thrill

: tidak teraba

Perkusi
Batas kiri

: ICS IV linea midclavicularis sinistra

Batas kanan

: ICS IV linea parasternalis sinistra

Batas atas

: ICS II linea parasternalis sinistra

Auskultasi
Bunyi jantung I
Mitral

: normal

Trikuspid

: normal

Bunyi jantung II

Mitral

: normal

Trikuspid

: normal

Irama derap

: tidak ada

Opening snap

: tidak ada

Click

: tidak ada

Bising jantung

: tidak ada

Thoraks Belakang
Inspeksi Statis
Bentuk

: normal

Processus spinosus : tidak terlihat


Scapula

: normal

Skoliosis

: tidak ada

Kifosis

: tidak ada

Lordosis

: tidak ada

Gibbus

: tidak ada

Palpasi
Nyeri tekan

: tidak ada

Tumor

: tidak ada

Krepitasi

: tidak ada

Stem fremitus

: normal, kanan = kiri

Perkusi
Bunyi ketuk

: sonor / sonor

Nyeri ketuk

: tidak ada

Auskultasi
Bunyi napas pokok : vesikuler (+) meningkat
Bunyi napas tambahan
Ronkhi

: ronkhi basah halus nyaring (+/+)

Wheezing

: tidak ada

Abdomen
Inspeksi

Bentuk

: datar

Umbilikus

: normal

Ptekie

: tidak ada

Spider nevi

: tidak ada

Bendungan vena

: tidak ada

Gambaran usus

: tidak ada

Palpasi
Nyeri tekan

: tidak ada

Nyeri lepas

: tidak ada

Defans muscular

: tidak ada

Meteorismus

: tidak ada

Perkusi
Nyeri ketuk

: tidak ada

Undulasi

: tidak ada

Shifting dullness

: tidak ada

Auskultasi
Bising usus

: normal

Hepar
Tidak teraba
Lien
Tidak teraba
Ginjal
Tidak teraba
Lipat Paha dan Genital
Kulit

: normal

Kelenjar getah bening : pembesaran tidak ada


Edema

: tidak ada

Sikatriks

: tidak ada

Genitalia

: normal

Anus

: normal

Status Neurologis

Fungsi Motorik
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Refleks fisiologis
Refleks patologis
Fungsi sensorik

Lengan
Kanan
Luas
5
eutoni
+

Kiri
Luas
5
eutoni
+

Tungkai
Kanan
luas
5
eutoni
+
+

(no

(no

(no

(no

rm

rm

rm

rm

al)

al)

al)

al)

Nervi craniales
Gejala
rangsang

: dalam batas normal


: -

meningeal
Refleks primitive

: refleks menghisap
palmar grasp reflex
plantar grasp reflex
moro reflex

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Spesimen Darah (28 Agustus 2014)
Komponen
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
LED
Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Neutrofil batang
Neutrofil segmen
Limfosit
Monosit
CRP kualitatif
CRP kuantitatif
Kalsium (Ca)
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)

Kiri
Luas
5
eutoni
+
+

Hasil Pemeriksaan
12.5
13.5
32*
400.000
45

Nilai Normal
10.7-17.1 g/dl
6.0- 17.5 106/mm3
38-52 %
217-497 106/mm3
<20 mm/jam

0
0
0*
49*
37
14
Positif
41*
8.3*
129*
4.9
104

0-1 %
1-6 %
2-6 %
50-70 %
25-40 %
2-8 %
Negatif
<5
8.4-10.8 mg/dL
135-155 mEq/L
3.6-5.5 mEq/L
96-106 mmol/L

2.5 Resume
Sejak 4 hari SMRS ibu mengeluh anaknya menderita batuk
berdahak berwarna putih, pilek, sesak nafas tidak dipengaruhi posisi,
aktivitas dan cuaca. Anak tampak mulai malas menyusu. Anak tidak
tampak biru. Ibu

kemudian membawa anak berobat ke bidan lalu

disarankan ke RS Bari. Anak kemudian dibawa ke RS BARI, diberi obat


sirup amoxicillin, sirup ambroxol, dan di nebulisasi. Hasil tes laboratorium
di RS BARI normal. Anak mulai tampak ada perbaikan. Setelah di rawat
inap, 1 hari anak pulang.
Sejak 1 hari SMRS, anak mengalami sesak nafas dan semakin
memberat, sesak nafas tidak dipengaruhi oleh posisi, aktivitas dan cuaca.
Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas yang berbunyi atau
mengorok. Anak juga mengalami batuk dan demam. Anak tidak mau
menyusu, mual, muntah (+) tidak menyemprot dengan frekuensi 5 kali.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian anak dibawa ke puskesmas
dan diberi obat sirup kuning serta di nebulisasi. Anak kemudian dirujuk ke
RSMH. Riwayat alergi pada keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum, terjadi peningkatan suhu
tubuh dan laju pernafasan. Pemeriksaan fisik keadaan khusus, tampai
retraksi dinding dada subcostal, intracostal, dan nafas cuping hidung. Saat
dilakukan auskultasi, terdengar suara ronkhi basah halus nyaring pada
lapangan paru dan suara vesikuler yang meningkat.
Pemeriksaan laboratorium menunjukan

terjadi

penurunan

hematokrit, peningkatan LED, penurunan eosinofil, penurunan neutrofil


batang, penurunan neutrofil segmen, peningkatan monosasit, penurunan
natrium, dan peningkatan CRP kuantitatif.
2.6 Diagnosis Banding
a. Bronchopneumonia
b. Broncholitis
c. TB paru
d. Asma
2.7 Diagnosis Kerja
Bronchopneumonia
2.8 Terapi

Bronchopneumonia
Rencana Pemeriksaan: Cek DR, CRP, elektrolit, rontgen thorax AP
Rencana terapi:

O2 nasal 1 Lpm

IVFD D5 NS gtt 12 mikro


Inj. Ampicillin 3x100 mg
Inj. Chloramfenikol 3x100 mg

2.9 Prognosis
Quo ad vitam
Quo ad fungsionam

: bonam
: bonam

FOLLOW UP
Senin, 1 September 2014
S: Demam (-), sesak berkurang
O: Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
HR : 119 x/menit
RR : 46 x/menit
Temp : 36,8 C
Keadaan Khusus
Kepala : NCH (-), CA (-), SI (-)
Thorax : Simetris, retraksi (+) IC
Pulmo : Vesikuler (+) normal, rhonki basah halus nyaring (+/+) minimal,
wheezing (-)
Cor : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2
A: Bronchopneumonia
P: - IVFD D5 NS gtt 12 mikro
- O2 nasal 1 Lpm

Injeksi Ampicillin 3x100 mg


Injeksi Chloramfenikol 3x100 mg
Nebulisasi ventolin + NaCl 0,9% tiap 8 jam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru.
Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paruparu yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim
paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.
2. Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan
utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun
(balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia,
lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut
survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan
22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
respiratori, terutama pneumonia.

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada


anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh
penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia
pada anak 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun,
sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia
menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita
dinegara berkembang.

3. Etiologi
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli,
pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita
pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H.
influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan
infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus(RSV)
yang

mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B,

parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010


melaporkan estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah
33.8 juta episode baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode
pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi
kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99% di
antaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas
kembali peran RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada
pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab tunggal maupun bersama
dengan infeksi lain.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang
bersumber dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel.

Tabel 1.
Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia dinegara maju
Usia
Lahir - 20 hari

3 miggu 3
bulan

4 bulan 5
tahun

5 tahun
remaja

Etiologi yang sering


Bakteri
E.colli
Streptococcus grup B
Listeria
monocytogenes

Bakteri
Clamydia trachomatis
Streptococcus
pneumoniae
Virus
Adenovirus
Influenza
Parainfluenza 1,2,3
Bakteri
Clamydia pneumonia
Mycoplasma
pneumoniae
Streptococcus
pneumoniae
Virus
Adenovirus
Rinovirus
Influenza
Parainfluenza
Bakteri
Clamydia pneumonia
Mycoplasma
pneumoniae
Streptococcus
pneumoniae

Etiologi yang jarang


Bakteri
Bakteri anaerob
Streptococcus grup D
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophillus influenza
tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Virus
CMV
Bakteri
Haemophillus influenza
tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Neisseria meningitides
Virus
Varisela Zoster

Bakteri
Haemophillus influenza
Legionella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus

Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza
Sumber : opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired
pneumonia in infants and children. Am fam physician 2004;20:899-908

Tabel 2
Etiologi Pneumonia dilihat dari penyakit penyerta
Gejala / penyakit penyerta
Abses kulit / ekstra
pulmoner
Otitis media, sinusitis,
meningitis
Epiglotitis, perkarditis

Kemungkinan etiologi
S. aureus, S. group A
S. pneumoniae, H. influenzae
H. influenzae

4. Klasifikasi
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1. Asal infeksi
a.

Community-acquired pneumonia (CAP)


infeksi parenkim paru yang didapatkan individu yang tidak sedang
dalam perawatan di rumah sakit paling sedikit 14 hari sebelum
timbulnya gejala.

b.

Hospital-acquired pneumonia (HAP)


infeksi parenkim paru yang didapatkan selama perawatan di
rumah sakit yang terjadi setelah 48 jam perawatan (Depkes : 72
jam) atau karena perawatan di rumah sakit sebelumnya, dan bukan
dalam stadium inkubasi.
2. Lokasi lesi di paru

a. Bronkopneumonia
b. Pneumonia lobaris
c. Pneumonia interstitialis
3. Etiologi

Infeksi

Berdasarkan mikroorganisme penyebab :


a.

Pneumonia bakteri

b.

Pneumonia virus

c.

Pneumonia jamur

d.

Pneumonia mikoplasma

Non infeksi

Aspirasi

makanan/asam

lambung/benda

asing/hidro

karbon/substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas, drug- dan


radiation-induced pneumonitis.
4. Karakteristik penyakit
-

Pneumonia Tipikal

Pneumonia Atipikal (mis. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia


pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis).

5. Derajat keparahan penyakit


Untuk mengklasifikasikan beratnya pneumonia perlu diperhatikan
adanya tanda bahaya (danger signs), yaitu : takipnea dan tarikan
dinding dada bagian bawah ke arah dalam (retraksi epigastrik).
Berdasarkan

kedua tanda ini,

maka

klasifikasi

beratnya

pneumonia pada anak bawah lima tahun (balita) ditentukan


berdasarkan usia, sebagai berikut :
Klasifikasi
Pneumonia
sangat
berat

Anak usia < 2 bulan

Hipo/hipernatremi
Kesadaran turun
Kurang mau minum
Kejang
Wheezing

Anak usia 2 bulan 5

tahun
Kesadaran turun
Tidak mau minum
Kejang
Stridor
Sianosis sentral

Pneumonia

Stridor
Tarikan dinding dada dalam

yang tampak jelas


Takipnea

berat

Pneumonia

Bukan

Gizi buruk
Tarikan
dinding

dada dalam
Dapat minum
Sianosis (-)
Takipnue
Tarikan
dinding

dada dalam (-)


Tarikan dinding dada dalam (-), takipnea (-)

pneumonia
5. Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat
melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2.
Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat


melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba
di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan.

Mediator-mediator

tersebut

mencakup

histamin

dan

prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.


Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema
antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan
alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak
akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu
selama 48 jam.

c. Stadium III (3 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisasisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.

Gambar 1 Patofisiologi

Patofisiologi :

Gambar 2 Algoritma Patofisiologi brokhopneomonia

6. Gejala klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar
antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya
sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat

komplikasi

sehingga

memerlukan

perawatan

dirumah

sakit.

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia


pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme
penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostic invasive,
etiologi noninfeksi yang relative lebih sering, dan faktor patogenesis.
Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang
menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
-

Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise,


penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual,
muntah atau diare ; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada,


takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

7. Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan
hal-hal sebagai berikut :
-

Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,


dan pernapasan cuping hidung.

Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.


Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang.

Pada perkusi tidak terdapat kelainan

Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.


Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek
dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa
bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya

frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari


amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui
sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Berdasarkan lokasi lesi di paru :
bronkopneumoni
a
- Lobularis
- Ronki selalu
terdengar
- Dullness (-)

Interstitial
-

Interstitial
Pendataran
diafragma dan
hiperinflasi
Ronki ,
wheezing +
Dullness (-)

Pneumonia lobaris
-

Segmental/lobus
Konsolidasi
Ronki (+) saat
kongestif dan
resolusi
Dullness (+) di
lobus yang terkena

8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral
dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit
meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada
hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.
Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium
lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari
paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin
dilakukan.

Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan
foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan

gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk


menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch
dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks
tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

Gambar 2 Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae


Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
-

Infiltrat

interstisial,

ditandai

dengan

peningkatan

corakan

bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi


-

Infiltrat

alveolar,

merupakan

konsolidasi

paru

dengan

air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan


pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
-

Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua


paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan

kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata


dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.

C-Reactive Protein (CRP)


Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis
daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak
tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru.
9. Diagnosis
Dari anamnesa didapatkan gejala

non respiratorik dan gejala

respiratorik. Dasar diagnosis tergantung umur, beratnya penyakit dan


jenis organisme penyebab. Pada bayi/anak kecil (balita) pemeriksaan
auskultasi sering tidak jelas, maka nafas cepat dan retraksi/tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam dipakai sebagai parameter. Kriteria
nafas cepat, yaitu :

Umur < 2 bulan

: 60x/menit

2 bulan-< 12 bulan

: 50x/menit

12 bulan-5 tahun

: 40x/menit

5 tahun

: 30x/menit

Klasifikasi
< 2 bl Pneumonia
berat
Bukan Pneumonia
2 bl-5 th Pneumonia

Nafas cepat
+

retraksi
+

berat
Pneumonia
Bukan Pneumonia

+
-

Dapat juga dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5 gejala/tanda berikut


-

Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan


dinding dada

Panas badan

Ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia atau suara


pernafasan bronkial (pada daerah yang dengan perkusi bernada
pekak) pada pneumonia lobaris

Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercak-bercak


(bronko) difus merata (lober) pada satu atau beberapa lobus

Leukositosis Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3


dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3
neutrofil dominan.
Kadar leukosit berdasarkan umur:
o Anak umur 1 bulan

: 5000 19500

o Anak umur 1-3 tahun

: 6000 17500

o Anak umur 4-7 tahun

: 5500 15500

o Anak umur 8-13 tahun

: 4500 - 13500

Pedoman diagnosis dan tatalaksana yang lebih sederhana menurut


WHO. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan
berdasarkan :
- Bronkopneumonia sangat berat :
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka
anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

- Bronkopneumonia berat :
Bila di jumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan d beri
antibiotik.
10. Diagnosis banding

Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan


atau kesulitan bernafas
Diagnosis
Bronkiolitis

Gejala klinis yang ditemukan


episode pertama wheezing pada

anak umur < 2 tahun


hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang
gejala pada pneumonia juga dapat
dijumpai kurang atau tidak ada

Tuberculosis (TB)

respon dengan bronkodilator


riwayat kontak positif dengan pasien

TB dewasa
uji tuberculin positif (10 mm, pada

keadaan imunosupresi 5 mm)


pertumbuhan buruk/kurus atau berat

badan menurun
demam ( 2 minggu) tanpa sebaba yang

jelas
batuk kronis ( 3 minggu)

pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,


inguinal yang spesifik. Pembengkakan
tulang/sendi punggung, panggul, lutut,
Asma

falang.
riwayat wheezing berulang, kadang
tidak berhubungan dengan batuk dan

pilek
hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang

berespon baik terhadap bronkodilator


11. Penatalaksanaan
Sebagian pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya
toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit
dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien.

Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus


dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan
asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti
efektif.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada
anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
a. Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin
yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah
4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat digunakan
sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia,
dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumonia dan
bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6
jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari dengan dosis
15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (hari
pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta
laktam,

ampisilin

atau

amoksisislin

dikombinasikan

degan

kloramfenikol. Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena


( 25.000 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6
jam ), dan seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya
diberikan selama 10 hari.
Indikasi rawat
Kriteria rawat inap, yaitu :
Pada bayi

saturasi oksigen 92 %, sianosis

frekuensi napas > 60 x/menit

distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting

tidak mau minum / menetek

keluarga tidak bisa merawat dirumah


Pada anak

saturasi oksigen 92 %, sianosis

frekuensi napas 50 x/menit

distress pernapasan

grunting

terdapat tanda dehidrasi

keluarga tidak bisa merawat dirumah


Kriteria pulang:

Gejala dan tanda pneumonia menghilang

Asupan peroral adekuat

Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)

Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol

Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah


12. Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :

Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau


kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk

hilang.
Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam

rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.


Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang

meradang.
Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

13. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih
tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energiprotein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama
diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan
makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh.
Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya
tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka
malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang
lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan
malnutrisi apabila berdiri sendiri
.

14. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko
terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi
DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2,
3, dan 4 bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada
bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi
pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan
anak-anak juga perlu mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan
dan polusi di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas
penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan.

Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat


sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan ternjadinya komplikasi.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pneumonia berat :
Dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
penambahan oksigen.
b. Pneumonia :
Diberikan antibiotik

kotrimoksasol

oral,

parenteral dan

ampisilin,

atau

amoksisilin.
c. Bukan pneumonia :
Perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila
demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan hidung pada anak
yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang
diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan, beri

penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.


Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak
munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk
kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada
pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit
lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan
dapat berupa :
a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri
antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila
keadaan anak memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan
terdekat

agar

penyakit

menimbulkan kematian.

tidak

bertambah

berat

dan

tidak

BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang anak perempuan berusia 1 bulan datang dengan keluhan
utama sesak nafas dan keluhan tambahan batuk dan demam. Dari
anamnesis didapatkan sejak 4 hari SMRS ibu mengeluh anaknya
menderita batuk berdahak berwarna putih, pilek, sesak nafas tidak
dipengaruhi posisi, aktivitas dan cuaca. Anak tampak mulai malas
menyusu. Anak tidak tampak biru. Ibu kemudian membawa anak berobat
ke bidan lalu disarankan ke RS Bari. Anak kemudian dibawa ke RS BARI,
diberi obat sirup amoxicillin, sirup ambroxol, dan di nebulisasi. Hasil tes
laboratorium di RS BARI normal. Anak mulai tampak ada perbaikan.
Setelah di rawat inap, 1 hari anak pulang.
Sejak 1 hari SMRS, anak mengalami sesak nafas dan semakin
memberat, sesak nafas tidak dipengaruhi oleh posisi, aktivitas dan cuaca.
Keluhan sesak nafas tidak disertai adanya suara nafas yang berbunyi atau
mengorok. Anak juga mengalami batuk dan demam. Anak tidak mau
menyusu, mual, muntah (+) tidak menyemprot dengan frekuensi 5 kali.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Kemudian anak dibawa ke puskesmas
dan diberi obat sirup kuning serta di nebulisasi. Anak kemudian dirujuk ke
RSMH.

Dari alloanamnesis yang diperoleh dari ibu pasien ditemukan


adanya sesak nafas yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi. Sesak
nafas yang dialami penderita harus didiagnosis banding dengan kelainan
jantung, kelainan paru, kelainan metabolik maupun kelainan pada sistem
saraf pusat. Sesak nafas yang disebabkan oleh kelainan jantung biasanya
dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi dan didapatkan bunyi tambahan pada
pemeriksaan jantung. Sesak nafas yang disebabkan oleh kelainan
metabolik, seperti asidosis, biasanya disertai dengan penyakit kronis yang
mendahului. Pada penderita, tidak didapati penyakit kronis yang pernah
diderita. Pada kelainan metabolik juga, tipe pernafasan biasanya Kussmaul
atau nafas cepat dan dalam, sedang pada penderita tidak didapatkan. Sesak
nafas yang disebabkan oleh kelainan pada sistem saraf pusat biasanya
disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial. Dapat ditemukan
gejala-gejala

peningkatan

tekanan

intrakranial,

seperti

muntah

menyemprot, pupil anisokor, hingga penurunan kesadaran. Pada penderita,


tidak didapati gejala-gejala peningkatan tekanan intrakranial. Sesak nafas
yang disebabkan oleh kelainan paru biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas atas (ISPA). Pada penderita, didapati riwayat demam dan
batuk yang merupakan tanda terjadinya ISPA. Oleh karena itu,
disimpulkan bahwa sesak nafas pada penderita disebabkan oleh kelainan
paru.
Kelainan paru dapat didiagnosis banding dengan bronkiolitis akut,
asma, dan bronkopneumonia. Bronkiolitis akut terjadi pada bayi kecil < 2
tahun dan terjadi secara akut. Bronkiolitis akut disebabkan oleh virus
sehingga didapati demam yang tidak terlalu tinggi, ekspirasi memanjang,
dan wheezing. Pada penderita, usia penderita 1 bulan, penyakit bersifat
kronis, didapati demam yang tidak terlalu tinggi tanpa adanya
pemanjangan ekspirasi dan wheezing, dan terdapat ronkhi basah halus
nyaring. Serangan asma dipicu oleh adanya atopi atau alergen dan pada
pemeriksaan ditemukan wheezing pada saat serangan. Pada penderita,
faktor alergen dan riwayat alergi pada keluarga disangkal serta tidak
ditemukan adanya wheezing. Bronkopneumonia biasanya ditemukan

demam tinggi, adanya penggunaan otot-otot bantu pernapasan, suara


vesikuler yang meningkat dan adanya ronkhi basah halus nyaring, Pada
penderita, demam tidak terlalu tinggi, adanya napas cuping hidung tanpa
disertai retraksi, adanya suara vesikuler yang meningkat tanpa adanya
ronkhi.

Kemungkinan

penyakit

yang

diderita

mengarah

ke

bronkopneumonia.
Dari fisik keadaan umum, didapatkan keadaan umum anak tampak
sakit sedang, peningkatan suhu tubuh, dan peningkatan laju pernapasan.
Pada pemeriksaan fisik keadaan spesifik, tampak adanya nafas cuping
hidung, retraksi dinding dada subcostal dan intercostals, terdengar suara
vesikuler meningkat, dan adanya ronkhi basah halur nyaring pada
auskultasi. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya penurunan
hematokrit, penurunan neutrofil batang dan segmen, peningkatan CRP
kuantitatif, penurunan kadar kalsium, dan penurunan kadar natrium. Hasil
ini memberikan kesan peningkatan fase reaktan akut. Penderita
direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan Rontgen dada anteroposterior.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan Rontgen dada menunjukkan
tanda khas berupa bercak infiltrat (patchy infiltrate).
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan oksigen 1 L/m, cairan D5
NS diberikan intravena gtt 12 mikro, injeksi Ampicillin 3x100 mg,
injeksi Chloramphenicol 3x50 mg. Terapi oksigen melalui nasal kanul
bertujuan untuk mengurangi sesak nafas. Terapi cairan diberikan sebagai
pengganti intake karena penderita mengalami sesak nafas sehingga jalur
pemberian intake melalui oral harus dihentikan terlebih dahulu untuk
menghindari terjadinya aspirasi. Pilihan antibiotik lini pertama pada
bronkopneumonia dapat menggunakan kombinasi golongan betalaktam
dan kloramfenikol. Berbagai RS di Indonesia menggunakan antibiotik
ampisilin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis dan kloramfenikol 2550 mg/kgBB/hari.
Prognosis pada penderita ini adalah bonam, mortalitas kurang dari
1%, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan
keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.

Diharapkan dengan pemeriksaan dan terapi yang diberikan, terjadi


perbaikan pada penderita.

DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta : 1997. Hal 633.
Latief, abdul, dkk. 2009. Pelayanan kesehetan anak di rumah sakit standar
WHO. Jakarta : Depkes
Nelson .2000.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005
Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.
Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh
dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6

Você também pode gostar