Você está na página 1de 22

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Atresia ani adalah ketiadaan, penutupan, atau konstriksi rektum atau anus.

Kondisi ini merupakan salah satu cacat yang lebih umum dari saluran
pencernaan.1 Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2%
atresia ani adalah atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
4:0. Kejadian yang tinggi terjadi pada daerah India Selatan.2 Atresia ani terdapat
pada satu dari 5000 kelahiran hidup. Atresia ani terjadi dengan perbandingan lakilaki dan perempuan 7:3.3
Menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi dua
golongan yang dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.4 Pada lakilaki,
golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum,
perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara >1 cm dari kulit.
Golongan II pada lakilaki dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada dan pada invertogram:
udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6
kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum,
fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada
perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel
tidak ada.dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit.4
Dikarenakan adanya perbedaan gambaran klinis maupun gambaran
radiologi pada setiap jenis atresia ani, maka peneliti lebih lanjut ingin mengetahui
gambaran jenis atresia ani yang didapati pada penderita atresia ani.

1.2.

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan

memahami tentang Atresia Ani.


1.3.

Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan

pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara
umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai atresia
ani.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak

sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL
(Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).5
2.2.

Embriologi
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut, dan

hindgut yang disebut sebagai usus primitif (primitive gut). Saluran gastrointestinal
ini mulai terbentuk pada minggu keempat kehamilan. Foregut akan membentuk
faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum,
hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon
transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana
ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm atau analpit.
Hindgut berkembang menjadi colon transversum distal, colon descendens,
sigmoid, rectum, dan anus bagian proksimal. Endoderm hindgut ini juga
membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra.6
Bagian distal hindgut bermuara ke dalam kloaka, suatu rongga yang
dilapisi endoderm yang berhubungan langsung dengan ektoderm permukaan.
Daerah pertemuan antara endoderm dan ektoderm membentuk membran kloaka.6
Pada perkembangan selanjutnya, selama minggu keenam kehamilan,
timbul suatu rigi melintang, yaitu septum urorektal, pada sudut antara allantois
dan hindgut. Sekat ini tumbuh kearah kaudal, karena itu membagi kloaka menjadi
bagian depan, yaitu sinus urogenitalis primitif, dan bagian posterior, yaitu kanalis
anorektalis. Ketika mudigah berumur 7 minggu, septum urorektal mencapai
membran kloaka, dan di daeraah ini terbentuklah korpus parienalis. Membran

kloakalis kemudian terbagi menjadi membran analis di belakang, dan membran


urogenitalis di depan.6
Sementara itu, membran analis dikelilingi oleh tonjol-tonjol mesenkim,
yang dikenal sebagai celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9, membran
analis koyak, dan terbukalah jalan antara rektum dan dunia luar. Bagian atas
kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh arteri mesentrika
inferior. Akan tetapi, sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ektoderm
dan ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna
analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis
gepeng.6
Kegagalan

perkembangan

yang

lengkap

dari

septum

urorektalis

menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak
rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan
genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak
normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau
rudimenter.5
2.3.

Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1

dalam 5000 kelahiran.7


Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui
pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan,
jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal.8
Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa
atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi.9

2.4.

Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum diketahui pasti, tetapi ada

sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh:


1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur. Hal ini disebabkan oleh gangguan organogenesis dalam
kandungan, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan
berusia 12 minggu atau 3 bulan.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan. Kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi, atau
pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
3. Berkaitan dengan Sindroma Down. Atresia ani memiliki etiologi yang
multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an,
didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki
saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran,
dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan
pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat
multigenik.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian, pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli, masih jarang
terjadi gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua
tidak diketahui apakah mempunyai gen carrier penyakit ini. Janin yang
diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carrier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai sindrom
genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani.10

2.5.

Patofisiologi

Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada


kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah
dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum,
maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya
feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika
urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada
letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis).5
2.6.

Klasifikasi
Klasifikasi anorectal malformation dapat dibagi menjadi empat, yaitu

sebagai berikut.
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak
dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan
anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Secara fungsional, atresia ani dapat dibedakan sebagai berikut.
a. Tanpa anus tetapi bisa dibantu dengan dekompresi adekuat traktus
gastrointestinalis yang dicapai melalui saluran fistula eksterna. Kelompok ini
terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula recto-vagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi,
maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat sementara waktu.
b. Tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar
tinja. Pada kzelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah
segera.

Berdasarkan letaknya, atresia ani dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis,


yaitu sebagai berikut.
1. Anomali rendah/infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal
dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan
sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih dari 1 cm.
Pada wanita, 90% dengan fistula ke vagina/perineum. Pada laki-laki
umumnya letak tinggi, bila ada fistula sering ke traktus urinarius.
Berdasarkan klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi menjadi dua
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.4

Jenis Kelamin Laki-laki

Golongan I
a. Kelainan fistel urin
Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium uretra eksternum,
mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis
menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter
terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak di uretra karena fistel tertutup
kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika
urinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi
segera.

b. Atresia rektum
Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan. Pada atresia rektum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat
masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
c. Perineum datar
Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk
sempurna.
d. Tanpa fistel
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.
Golongan II
a. Kelainan fistel perineum
Fistel perineum sama dengan pada perempuan, lubangnya terletak lebih anterior
dari letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan
obstipasi.
b. Membran anal
Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput.
Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat
mungkin.
c. Stenosis anus
Pada stenosis anus, sama dengan perempuan. Pada stenosis anus, lubang anus
terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak
lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.
d. Bucket handle
Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember.
evakuasi feses tidak ada maka perlu secepatnya dilakukan terapi definitive.
e. Tanpa fistel

Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.

Jenis Kelamin Perempuan

Golongan I
a. Kelainan kloaka
Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genitalis dan traktus digestivus. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna
sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.
b. Fistel vagina
Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces bisa
tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.
c. Fistel rekto vestibular
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva di bawah vagina.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi
mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.
d. Atresia rektum
Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur
jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
e. Tanpa fistel
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.
Golongan II
a. Kelainan fistel perineum
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus
normal. Dapat berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi
marka anus yang rapat ada di posteriornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.
b. Stenosis ani

10

Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi
sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar sehingga biasanya harus secepat
mungkin dilakukan terapi definitif.
c. Tanpa fistel
Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.
2.7.

Manifestasi Klinis
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48

jam. Gejala itu dapat berupa :


1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan.11
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana
rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi
tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari
rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama
sekali tidak ada.12
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% 60%.Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih
sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi
beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler.7
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah sebagai berikut.

1. Kelainan kardiovaskuler.

11

Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,
diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum.
Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele,
meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia
ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan
atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak
rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal
and

Renal

abnormality)

dan

VACTERL

(Vertebrae,

Anorectal,

Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).8


2.8.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.

Pada anamnesis dapat ditemukan :


a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).5
Menurut Pena dalam Faradilla, untuk mendiagnosis atresia ani dapat
menggunakan cara berikut.
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :

12

a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi .
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi
terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila
akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran
rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi.Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran <
1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1
cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium
didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah
letak rendah .Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi
atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus
terisis\ udara, dengan caraWangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan
vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan
agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi.5
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala
obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan
klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan
memasukkan termometer melalui anus.10
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui

13

fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal
rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk
menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu
selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan
apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.10
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum,
ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa
pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan
dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy.10
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak
rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang
terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya
mekonium).10
2.9.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani

letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,
tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus
yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh Faradillah
memperkenalkan

metode

operasi

dengan

pendekatan

postero

sagital

anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan


muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel.5
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan
ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain
dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca
operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi,

14

persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta


ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari
berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian
akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.5
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.5
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi.Operasi definitif setelah 4 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak
dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full
postero sagital anorektoplasti.5
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%).Golongan I Pada fistel vagina,
mekonium tampak keluar dari vagina.Evakuasi feces menjadi tidak lancar
sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.Pada fistel vestibulum, muara fistel
terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum
susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan
padat.Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.Bila
terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genetalis dan jalan cerna.Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu
cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rektum, anus tampak normal tetapi pada
pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada
evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.Bila tidak ada
fistel, dibuat invertogram.Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan

15

kolostomi. Golongan II. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva
dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di
posteriornya.Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi.Pada stenosis anus,
lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif.Bila
tidak ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit.Dapat segera
dilakukan pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi.4
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine.Dari kedua hal tadi pada anak
laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum.Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria.Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter
urin.Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel
tertutup kateter.Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke
vesikaurinaria.Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi
segera. Pada atresia rektum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat
kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram,
maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama
dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada
membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput.Bila
evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada
stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan definitif harus dilakukan. Bila tidak
ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera
dilakukan pertolongan bedah.4

2.10.

Prognosis

16

Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai


pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam, sensibilitas rektum dan
kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur.4
Fungsi kontinesia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau
ensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan
mental penderita.4
Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya
metode PSARP.10

17

BAB 3
LAPORAN KASUS
1.1. IdentitasPribadi
Nama

: S.G.S

Umur

: 7 Bulan

JenisKelamin : Perempuan
Alamat

: Medan

Tanggal masuk : 8 juni 2014


1.2. Anamnesis
KeluhanUtama

: Tidak ada lubang anus

Telaah

: Hal ini dialami pasien sejak umur 1 hari, pasien lahir di


rumah sakit swasta di Kota Medan dengan berat badan lahir
1700 gram dan panjang badan 47 cm, cukup bulan, segera
menangis, tidak tampak biru. Pasien lahir spontan ditolong
oleh dokter Sp.OG pada November 2013. Riwayat keluar
mekonium pada 24 jam pertama tidak dijumpai. Riwayat
muntah tidak dijumpai. Ketika pasien lahir, kedua orang tua
pasien diberitahu oleh dokter bahwa pasien tidak memiliki
lubang anus kemudian pasien dirujuk ke RSUP HAM pada
hari yang sama (November 2013). Saat di rawat di RSUP
HAM, pasien dilakukan tindakan colostomy. Saat ini pasien
dating untuk dilakukan tindakan pembuatan lubang anus.
Riwayat kehamilan : riwayat ibu demam selama kehamilan
tidak dijumpai. Ibu pasien tidak menderita penyakit kencing
manis dan darah tinggi. Riwayat ibu mengkonsumsi obatobatan dan jamu-jamuan selama hamil tidak dijumpai.

18

Riwayat Keluarga

: Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang


sama dengan pasien

Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak ada


Riwayat Pemakaian Obat

: Tidak ada

1.3. Status Presens


Sensorium

: Compos mentis

Keadaan Umum : Baik

Tekanan darah : 140/80 mmHg


Nadi

: 150 x/i

Pernafasan

: 50 x/i

Suhu

: 37.0 C

Keadaan Gizi

: Baik

1.4. Pemeriksaan Fisik


Kepala

: Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-),


sklera ikterik (-/-), pupil isokor, diamater pupil 3mm

Leher

: pembesaran KGB (-), trakea medial

Toraks

: Inspeksi

: simetris fusiformis

Palpasi

: sulit dinilai

Perkusi

: sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi

: suara pernapasan : vesikular


suara tambahan : ronki (-/-), Wheezing (-/-)
suara jantung : S1 (N), S2 (N), murmur (-)

Abdomen

Ekstremitas

: Inspeksi

: Simetris, tampak ada stoma di regio lumbal kanan.

Palpasi

: Soepel

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Peristaltik (+) normal

: Superior : Pols 150 x/i, reguler, t/v kuat/cukup, akral hangat,


CRT < 3, fraktur (-/-), edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : Pols 150 x/i, reguler, t/v kuat/cukup, akral hangat,
CRT < 3, fraktur (-/-), edema (-/-), sianosis (-/-)

Genitalia

: Perempuan, terpasang kateter urin

19

1.5. Laboratorium
Hb
Leukosit
Eritrosit
Ht
Trombsit
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
Na
Cl
K
Neutrofil
Limfosit
Eusinofil
Basofil
1.6. Diagnosis

12 g%
6,80x 103 mm3
4,39 x 106 mm3
35,10 %
486 x 103 mm3
10 g/dl
20 g/dl
23 mg/dl
0,29 mg/dl
126
6,7
108
24,50%
65,60%
6,30%
3,20%
: Atresia Ani

1.7. Penatalaksanaan
:
- IVFD RL 20 gtt/i
- Pemasangan NGT
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Ranitidine

BAB IV
KESIMPULAN
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna. Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak
ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi
perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti

20

fistula rektovestibular dan fistula perineal. Atresia ani dapat disebabkan oleh
putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur, gangguan organogenesis dalam kandungan, atau berkaitan
dengan sindrom down.
Gejala atresia ani muncul dalam waktu 24-48 jam, seperti perut kembung,
muntah, tidak bisa buang air besar, dan pada pemeriksaan radiologis dengan posisi
tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Atresia ani letak
tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6
12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP). Atresia ani letak rendah
dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan
stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus. Bila terdapat
fistula dilakukan cut back incicion. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi
rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan
ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain
dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai
pengendalian defekasi, pencemaran pakaian dalam, sensibilitas rektum dan
kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur.Hasil operasi atresia ani
meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP.
DAFTAR PUSTAKA
1. Forrester M, and Merz R. Descriptive epidemiology of anal atresia in Hawaii,
1986-1999. Teratology 66: S12-S16, 2002.
2. Kisra M, Alkadi H, Zerhoni H, Ettayebi F, Benhammou M. Rectal atresia
Department of Pediatric Surgery, Rabat University Childrens Hospital, Rabat,
Morocco, 2005.

21

3. Saxena A.K, Morcate J. Schleef J, Reich A, Willital G.H. Rectal atresia,


choanal atresia and congenital heart disease: A rare association. Pediatric
Surgical University Clinic, Munster, Germany, 2004
4. Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Bukuajar ilmu bedah. editor, Peter J,. Ed.2. Jakarta : EGC.
5. Faradilla N, Damanik R.R, Mardhiya W.R.2009. Anestesi pada Tindakan
Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas
Riau. Available from: (http://www.Files-of-DrsMed.tk. [diakses 19 April
2014]
6. Sadler, T.W. 1997. Embriologi Kedokteran Langman. alih bahasa, Joko
Suyono; editor, Devi H. Ronardy. Jakarta: EGC.
7. Grosfeld J, ONeill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition.
Philadelphia: Mosby elseivier, 2006; 1566-99.
8. Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of
Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005;
1395-1434
9.

Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and


Associated Anomalies. Archives of Disease in Childhood, 1987, 62, 576-579.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?
artid=1778456&blobtype=pdf [diakses 1April 2010]

10. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare


Diseases 2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 20 April
2014]
11. FK UII. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Unversitas Islam Indonesia, 2006.
http://www.uii.co.id/library/atresia [diakses 20 April 2014]
12. University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery University
of

Michigan

http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/a/anorectalmalfor
mation [diakses 21 April 2014]

22

13. Robertson D. A. R, Samuel E, Macleod W. Radiological assessment of


imperforate anus. Radiodiagnostic Departments, Royal Infirmary and Royal
Hospital for Sick Children, Edinburgh, 1965

Você também pode gostar