Você está na página 1de 7

Ringkasan

Telah dilakukan penelitian


Pendahuluan
Kemajuan teknologi pangan memberikan dampak baru terhadap perkembangan pola
hidup sehari-hari. Beranjak dari slowfood menjadi fastfood. Tak heran banyak makanan dan
minuman cepat saji yang terlihat pada supermarket , pasar tradisional bahkan warung kecil.
Hal ini memang memberi kemudahan bagi konsumen yang memiliki mobilitas tinggi, akan
tetapi dampak negatif yang ditimbulkan selalu ada, salah satunya adalah sampah dari
kemasan tersebut. Satu dari banyak kemasan makanan dan minuman terbuat dari polimer
polietilen tereftalat (PET).
Polietilen tereftalat atau yang biasa dikenal dengan PET merupakan polimer yang
termasuk golongan poliester tersusun atas monomer asam tereftalat dan etilen glikol.
Memiliki struktur yang kuat dan sulit didegredasikan oleh mikroorganisme. Konon sampah
PET mampu terdegradasi selama 10 tahun (Sleight,2011).

Gambar 1. Struk molekul polietilen tereftalat (PET)


Menindaklanjuti sampah PET mengandung polimer, maka sampah PET sangat
berpotensi sebagai bahan baku pembuatan membran. Polimer merupakan salah satu dari tiga
komponen dasar pembentukan membran. Ketiga komponen tersebut yaitu, polimer, solvent
dan non-solvent (Mulder, 1996).
Transformasi dari PET ke membran dilakukan dengan cara non-solvent induced
separation (NIPS). Proses secara NIPS dibedakan lagi dalam tiga teknik, yaitu precipitation
from the vapor phase, air-casting of polymer solution dan immersion precipitation. Dari
ketiga teknik tersebut, immersion precipitation merupakan teknik yang paling mudah
dilakukan dan sangat efisien. Konsep dasar dari metode immersion precipitation yaitu dengan
melarutkan polimer pada pelarut tertentu pada suhu kamar, setelah membentuk larutan
homogen lalu dicetak pada media support. Membran yang telah siap dicetak kemudian
dimasukkan kedalam suatu media yang berisikan non-solvent. Proses pembentukan membran
dan perubahan fasa dari cair ke padat terjadi pada media non-solvent. Perubahan fasa ini
terjadi karena polimer tidak larut dalam non-solvent sehingga terjadilah proses solidifikasi.
Padatan yang terbentuk dalam non-solvent disebut dengan membran (Arahman, 2012).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik dan kinerja dari membran PET
serta kompabilitas polimer PET sebagai bahan penyusun membran. Selain itu diharapkan
sampah plastik/botol PET dapat meningkat nilai pakai nya dengan dijadikan membran.
Sehingga, nantinya menjadi salah satu alternatif recycle sampah PET dengan nilai jual tinggi.

Metodologi
1. Bahan
Polietilen tereftalat (PET) diperoleh dari botol minuman plastik PET berwarna
transparan. Pelarut fenol (Merck Millipore) dan non-solvent adalah akuades yang
diperoleh dari Balai Riset dan Standarisasi Industri Banda Aceh (Baristand). Sebagai
aditiv digunakan polietersulfon (PES) dengan berat molekul rata-rata 65000 diperoleh
dari BASF Co. (Ludwigshafen, German) dan polivinilpirolidon (PVP) diperoloh dari
Sigma Aldrich.
2. Preparasi membran
Botol plastik PET dipotong kecil kecil menyerupai bulir beras. Kemudian
ditimbang bersama aditiv pada komposisi tertentu lalu ditambahkan pelarut fenol
dengan komposisi tertentu. Campuran tersebut diaduk pada suhu 100oC menggunakan
oil bath hingga diperoleh larutan homogen. Diamkan sejenak hingga gelembung gas
hilang. Kemudian, dilakukan pencetakan menggunakan aplikator di media support
kaca berukuran 30x20x0,5 cm. Terakhir, celupkan media support bersama larutan
cetak ke dalam sebuah wadah berisikan non-solvent akuades.
Tabel 1. Komposisi Larutan Polimer
Polimer (%berat)

Aditif (%berat)

Pelarut (%berat)

Polietilentereftalat (20%)

Fenol (80%)

Polietilentereftalat (20%)

Polietersulfon (3%)

Fenol (77%)

Polietilensulfon (20%)

Polietilentereftalat (3%)

Fenol (77%)

Polietilen tereftalat (20%)

Polivinilpirolidon (3%)

Fenol (77%)

Hasil dan Diskusi


1. Analisis Fourier transform Infrared (FTIR)
Hasil analisis FTIR pada membran dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Spektra FTIR untuk berbagai sampel membrane PET


Terlihat pada Gambar 2, terdapat peak tinggi pada bilangan gelombang 1708 cm-1,
1260 cm-1 dan sebuah doublet pada 1130 dan 1090 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi
ester. Terdapat serapan cincin aromatik pada 1580, 1507, 1025, dan 730 cm -1. Gugus etilen
(CH2) pada bagian O (CH2CH2) O terdapat di 840 cm-1. Ikatan substitusi para terdapat
peak lemah di 1180, 704, dan 633 cm-1. Uluran gugus karbonil terdapat di bilangan
gelombang 1735 cm-1 dan menyatu dengan uluran ester C-O-C pada 1290 dan 1120 cm -1.
Hasil analisis menunjukkan bahwa gugus yang terbaca pada membran merupakan gugus
yang terdapat pada polietilentereftalat. Sehingga, membran pada sampel terbukti
mengandung polietilentereftalat.
2. Scanning electron microscopy (SEM)
Pencitraan cross section morfologi membran dapat dilihat pada gambar
Gambar 4. Pembesaran diambil pada magnitude 5000.

Gambar 4. Pencitraan SEM cross section membran : (A) PET 20% , (B) PES 20%
PET 3%, (C) PET 20% PES 3%, (D) PET 20% PVP 3%.
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa membran memiliki strukur asimetrik. Pencitraan
cross section dari membran PET berbeda tergantung dengan aditif yang ditambahkan.
Membran dengan komposisi PET 20% memiliki struktur tanpa makrovoid. Hal ini
dikarenakan terjadi delay demixing pada saat dicelupkan pada bak koagulasi berisikan
non-solvent air. Terjadinya delay demixing menyebabkan struktur membran menjadi
lebih dense/rapat (Shieh,1997).
Penambahan aditiv memberikan struktur morfologi baru terhadap pori
membran. Pada Gambar 4(B) dan 4(D) terlihat makrovoid kecil yang sangat seragam
dan tersebar. Gambar 4(C) menunjukkan perubahan struktur yang signifikan. Lapisan
cross section didominasikan oleh makrovoid yang besar. Pengaruh aditiv PES
memberikan peran penting dalam pembentukan makrovoid pada membran PET. Ini
dikarenakan polimer PES memiliki perbedaan solubilitas parameter yang jauh
terhadap air. Sehingga memberikan dampak instan demixing penyebab terbentuknya
makrovoid (Hilal, 2015).
3. Permeabilitas air murni
Untuk menentukan nilai-nilai koefisien permeabilitas membran (Lp)
digunakan air murni sebagai umpan pada tekanan operasi yang ditentukan. Hasil
permeabilitas air pada masing masing membrane dapat dilihat pada Gambar 5.

85.61

49.94

27.52

PET 20%

PET 20% PES 3%

PET 20% PVP 3%

Gambar 5. Permeabilitas (L /m2 jam bar) membran untuk berbagai sampel


Semakin tinggi nilai koefisien permeabilitas akan menunjukkan semakin mudah
pelarut untuk melewati membran, sehingga akan menghasilkan nilai fluks yang tinggi.
Pada membran PES 20% PET 3% tidak dilakukan uji permeabilitas dikarenakan
membran sangat rentan bocor. Membran PET 20% tanpa aditiv memiliki nilai
permeabilitas yang sangat rendah yaitu 27,52 L /m 2 jam bar. Sedangkan dengan
adanya aditiv, nilai koefisien permeabilitas meningkat menjadi 49,94 dan 85,61 L /m 2
jam bar. Peningkatan ini disebabkan oleh penambahan aditiv. PES memberikan efek
makrovoid yang besar sehingga peluang pelarut air yang lolos dari membran sangat
besar. Walaupun demikian, PES memiliki sifat hidrophobik sehingga nilai
permeabiliats nya lebih rendah dibandingkan membran dengan penambahan PVP
yang bersifat hidrophilik (Guo, 2014). Selain meningkatkan nilai permeabilitas
membran, penambahan PVP juga memberikan struktur fleksibel yang lebih tinggi
dan elastis dibandingkan membran PET lainnya.
4. Kesimpulan
Telah dilakukan proses pembuatan membran menggunakan sampah botol PET.
Penelitian ini menjelaskan potensi polietilentereftalat sebagai new polymer agent
dalam proses pembuatan membran. Kehadiran aditiv mengubah struktrur morfologi
dan meningkatkan permeabilitas membran. Penambahan PVP pada membran PET
membuatnya menjadi lebih fleksibel dan elastis. Hasil ini dapat dijadikan sebagai batu
loncatan untuk pengembangan sampah botol PET sebagai polimer baru dalam
pembuatan membran. Ketersediannya melimpah dan mudah ditemukan. Dengan ini,

kerusakan lingkungan yang disebabkan sampah botol PET dapat dikurangi dengan
mengubahnya menjadi material yang memiliki nilai pakai tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Arahman. N., (2012), Konsep Dasar Proses Pembuatan Membran Berpori dengan
Metode Non-Solvent Induced Phase Separation Penentuan Cloud Point dan
diagram tiga phasa, Jurnal Rekayasa & Lingkungan, 2 (9) : 68-73
Guo. Y, Cui. W, Xu. W, Jiang. Y, Liu. H, Xu. J, Gao. Z, Liu. L, Effect of PVP
Hydrophilic Additive on the Morphology and Properties of PVDF Porous
Membranes, Advanced Materials Research, (981) : 891-894
Hilal. N., Ismail. A.F., Wright. C.J, (2015), Membrane Fabrication , CRC Press :
London
Mulder. M., (1996), Basic Principle of Membrane Technology, 2nd edition, Kluwer
Academic Publisher : London
Shieh. J-J., Chung, T.S, (1997), Effect of liquid-liquid demixing on the membrane
morphology, gas permeation, thermal and mechanical properties of cellulose
acetate hollow fibers, Journal of Membrane Science, 140 : 67-79
Sleight, K. (2011) : How Quickly Does Plastic Breakdown? The New Biodegradable
Plastic Option, Diakses di : http://www.brighthub.com/environment/greenliving/articles/107380.aspx

Você também pode gostar