Você está na página 1de 11

ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF

A. Kognitivisme
Kognitivisme merupakan suatu bentuk materi yang sering disebut sebagai model kognitif atau perceptual. Di
dalam model ini tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Belajar disini dipandang sebagai perubahan persepsi dan
pemahaman,yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini juga menekankan pada gagasan
bahwa bagian-bagian situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut.
Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi dan faktorfaktor lain. Proses belajar yang meliputi pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan
struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman- pengalaman sebelumnya.
B. Teori belajar kognitif
a. Teori belajar dari Peaget
Pendapat Peaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut:
1.

Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang
dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan
untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.

2.

Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan bagi semua anak.

3.

Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka
waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.

4.

Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: kemasakan, pengalaman, interaksi
sosial dan equilibration (proses dari ketiga faktor diatas bersama-sama untuk membangun dan
memperbaiki struktur mental).

Ada empat tahap perkembangan yaitu:

Tahap Sensori Motor (0-2 tahun) Anak yang berada pada tahap ini pengalaman diperoleh melalui
perubahan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indera). Pada mulanya
pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada penglihatannya.
Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian
menghilang dari pandangannnya, atau perpindahan terlihat. Contoh : Anak mulai bisa berbicara meniru
suara kendaraan.

Tahap Pra Operasi(2- 6 tahun) Pada tahap ini adalah tahap pengorganisasian operasi konkrit. Istilah
operasi yang digunakan disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan
sekelompok objek, menata benda-benda menurut urutan tertentu dan membilang. Pada tahap ini
pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pengalaman konkrit dari pada pemikiran logis, sehingga jika
ia melihat objek-objek yang kelihatan berbeda maka, ia mengatakan berbeda pula. Contoh : Jika ada 5
kelereng yang masa besar di atas meja lalu kelereng itu diubah letaknya menjadi agak berjauhan maka
anak pada tahap ini akan mengatakan letak kelereng yang berjauhan jumlahnya lebih banyak.

Tahap Operasi Konkrit (6- 12 tahun) Anak anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah
berada di sekolah dasar. Ditahap ini anak telah memahami operasi logis dengan bantuan benda- benda
konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk
mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secar
objektif dan berfikir reversibel. Contoh : seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya
berwarna merah. Apabila ditanyakan masalah yang lebih banyak bola kayu atau bola berwarna merah?
Anak pada tahap pra operasional menjawab bawa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada
operasi konkrit menjawab bola kayu lebih banyak dari pada bola merah.

Tahap Operasi Formal (12 tahun ke atas) Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan
kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu mengadakan penalaran dengan
menggunakan hal-hal abstrak. Penalaran yang terjadi dalma struktur kognitifnya telah mampu
menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-

kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubunganhubungan, memahami konsep promosi. Contoh : Anak dihadapkan pada dua gambar yaitu gambar
pak pendek dan pak tinggi lalu ank disuruh mengukur tinggi kedua gambar tersebut dengan
menggunakan batang korek api dan dengan klip. Di sini anak diminta untuk membandingkan hasil dari
pengukuran tersebut.
b. Teori Kognitif dari Brunner
Jeromi Brunner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang
diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur. Brunner
mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi bendabenda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan
dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian
oleh anak dihubungkan dengan keteraturan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Menurut Brunner, belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan yakni:
1.

Memperoleh informasi baru, dapat merupakan penghaluasan dari informasi sebelumnya yang dimiliki
seseorang.

2.

Transformasi informasi , menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara
ekstrapolasi atau dengan mengubah kebentuk lain.

3.

Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan, dilakukan dengan menilai apakah cara kita
memperlakukan pengetahuan tersebut cocok atau sesuai dengan produk yang ada.

Proses belajar melalui tiga tahap yaitu;

Tahap enaktif, Pada tahap ini anak-anak dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi objekobjek secara langsung.

Tahap ikonik, Pada tahap ini anak tidak memanipulasi objek-objek secara langsung, tetapi sudah dapat
memanipulasi dengan memggunakan gambaran dari objek.

Tahap simbolik, Pada tahap ini anak memiliki gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh
bahasa dan logika,dimana pada tahap ini memanipulasi symbol-simbol secara langsung dan tidak lagi
menggunakan objek-objek dan gambaran objek.

Dalil dalil hasil pengamatan Brunner ke sekolah-sekolah:


1.

Dalil penyusunan (konstruksi) Dalil ini menyatakan bahwa jika anak mempunyai kemampuan untuk
menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya, anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan
representasinya. Untuk melekatkan idea tau definisi tertentu dalam pikiran, anak- anak harus
menguasai konsep dengan mencoba dan melakukan sendiri. Sehingga jika anak aktif dan terlibat dalam
kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep
tersebut, maka anak akan jadi memahaminya. Anak yang mempunyai konsep perkalian yang
didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang, akan lebih memahami konsep tersebut. Jika anak
tersebut mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan proses perkalian tersebut.
Sebagai contoh untuk memperlihatkan perkalian, kita ambil , ini berarti bahwa dalam garis bilangan
meloncat 3 kali,dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut kita periksa, ternyata hasinya
15. Dengan mengulangi hasil percobaan seperti ini akan benar-benar memahami dengan pengertian
yang dalam bahwa perkalian pada dasarnya merupakan penjumlahan berulang.

2.

Dalil notasi Dalil ini mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan
penting, dimana notasi tersebut harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental anak. Contoh:
notasi Bagi anak yang mempelajari konsep fungsi lebih lanjut , diberikan notasi fungsi

3.

Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman Pada dalil ini diperlukan contoh-contoh yang banyak
sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Anak perlu diberi contoh yang
memenuhi rumusan dan teorema yang diberikan. Selain itu mereka perlu juga diberi contoh-contoh
yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau teorema sehingga anak diharaapkan tidak mengalami salah
pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari. Contohnya untuk menjelaskan segitiga siku-siku
,perlu diberi contoh yang gambar- gambarnya tidak selalu tegak dengan sisi miringnya dalam keadaan
miring, tapi perlu juga diberikan gambar dengan keadaan sisi miring mendatar atau membujur. Dengan

cara ini anak terlatih dalam memeriksa apakah segitiga yang diberikan kepadanya tergolong segitiga
siku-siku atau tidak.
4.

Dalil pengaitan (konektipitas) Dalam dalil ini dinyatakan bahwa dalam matematika antara satu
konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi , namun juga dari
segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya,
atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Misalnya konsep dalil
phytagoras diperlukan untuk menentukan tripel phytagoras. Guru perlu menjelaskan bagaimana
hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu
dalam kesamaan rumus yang digunakan sama-sama dapat digunakn dalam bidang aplikasi atau dalam
hal-hal lainnya.

c. Teori Gestalt
Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan
oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
1.

Pengajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian

2.

Pelaksanaan pembelajaran harus memprhatikan kesiapan intelektual siswa

3.

Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar

Dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberikan konsp yang harus dierima begitu saja, melainkan harus
lebih mementingkan pemahaman terhadap konsep tersebut dari pada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak
sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan induktif.
Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan intelektual siswa.
Siswa SMP masih berada pada tahap operasi konkret, artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika
harus dibantu dengan menggunakan benda konkret.. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajaran mulailah
dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka ragam kemudian mengarah pada konsep abstrak
tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan pembelajaran menjadi bermakna.
Faktor eksternalpun bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama,
dan sesudah mengajar guru harus pandai- pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk
belajar dengan perasaan senang tidak merasa terpaksa.
d. Teori Brownell
W . Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar
pengertian. Dia menegaskan bahwa belajr pada hakikatnya merupakan proses yang bermakna. Bila kita
perhatikan , teori yang dikemukakan Brownell ini sesuai dengan teori Gestalt, yang muncul dipertengahan tahun
1930. Menurut teori pembelajran Gestalt, latihan hafal atau yang lebih dikenal dengan drill adalah sangat
penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritnetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitik beratkan hafalan dna mengasah
otak. Aplikasi dari bahna yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit
sekali di kupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil dalam mengikuti pelajaran pada waktu itu memiliki
kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak
dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin
disiplin normal.
Terdapat perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang lebih mendasar.
Dari penelitian yang dilaksanakan pada abad ke 19 terdapat hasil yang menunjukan bahwa belajar tidak melalui
latihan hafalan dan mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir,
memperoleh persepsi dan lain-lain.

e. Teori Dienes

Zoltan P. Dienes adalah seornag matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran
terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorentasikan kepada
anak-anak, sehinnga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak-anak yang mempelajarinya.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang srtuktur,
memisahkan hubungan-hubungan tentang struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau
prinsip dalam matematika disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik.Ini
mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan.dalam
tahap ini anak membentuk struktur mental dan struktur sikap untuk mempersiapkan diri di dalam pemahaman
konsep. Penggunaan alat peraga matematika anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang
membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak
Dalam permainan yang disertai aturan anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam
konsep tertentu. Melalui permainan anak anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana
struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk yang diberikan akan makin jelas konsep yang dipahami
anak karena anak memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak
menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat
dari situasi yang dihadapinya. Representasi bersifat abstrak sehingga anak-anak telah mengarah pada struktur
matematika yang sifatnya abstrak.
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan representasi dari setiap konsep
dengan menggunakan konsep matematika atau perumusan verbal. Tahap belajar konsep yang terakhir yaitu
formalisasi. Pada tahap ini anak dituntut untuk mengurutkan sifat- sifat konsep dan kemudian merumuskan sifatsifat baru konsep tersebut.Sebagai contoh anak-anak telah mengenal dasar-dasar dalam sruktur matematika
seperti aksioma,harus mampu merumuskan atau membuktikan teorema.
f. Teorema Van Hiele
Dalam pengajran geometri terdapat teori belajr yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang mnguraikan
tahap-tahap mental anak dalam pengajaran geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang
mengadakan penelitian dalam geometri. Hasil penelitiannya itu dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari
kegiatan tanya jawab dan pengamatan. Menurut Van hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu
waktu,materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan.
Tahap belajar anak dalam belajar geometri menurut Van hiele sebagai berikut:
1.

Tahap pengenalan (visualisasi) Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geomerti
secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang
dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum
mengetahui sifat-sifat kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang
merupakan bujur sangkar, sisinya ada 6 buah dan rusuknya ada 12 dan lain-lain.

2.

Tahap analisis Pada tahap inianak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang
diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat benda geometri itu. Misalnaya
disaat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang
berhadapan sama panjang dan sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang
terkait antara suatu benda geometri satu dengan yang lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa
bujur sangkar adalah persegi.

3.

Tahap pengurutan (deduksi informal) Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan
penarikan kesimpulan yang dikenal dengan berfikir deduktif. Namun, belum secara keseluruhan.
Anakpun sudah mulai bisa mengurutkan, misalnya bahwa bujur sangkar adalah persegi. Demikian juga
dengan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus juga adalah balok dengan sisi
berbentuk bujur sangkar. Tetapi pola pikirnya belum mampu menerangakan mengapa diagonal suatu
persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat
dibentuk dari dua buah benda yang kongruen.

4.

Tahap deduksi Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke khusus. Dia telah mengerti betapa
pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan di samping yang didefinisikan. Misalnya anak
sudah mulai mampu mengenal dalil, aksioma atau postulat dalam pembuktian. Postulat dalam

pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau
sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun belum mengerti mengapa postulat itu benar dan mrngapa
dapat dijadikan postulat dalam pembuktian segiga kongruen.
5.

Tahap akurasi Dalam tahap ini sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan prinsip-prinsip
dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma atau postulat dari
geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, dan kompleks. Oleh karena itu
tidak mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas ,
masih belum sampai pada tahap berfikir ini.

Teori Belajar Menurut Aliran Kognitivisme


Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah
adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif
atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar
sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan
belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar
juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut
aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan
pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan
proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Wahyuni, 2007:
88).
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berarti
psikologi kognitif anti terhadap aliran behaviorisme. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran
behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang
berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran
behaviorisme juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Menurut perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa
behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam
hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis,
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata
dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan
anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting
karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Pandangan kognitivisme ini membawa kepada sebuah pemahaman bahwa pengetahuan tidak diperoleh
secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan, yakni belajar. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu,
proses pembelajaran juga sangat berkaitan erat dengan pembentukan dan penggunaan kemampuan berpikir.
Peserta didik akan lebih mudah mencerna konsep dan ilmu pengetahuan apabila di dalam dirinya sudah ada
struktur dan strata intelektual, sehingga ketika ia berhadapan dengan bahan atau materi pembelajaran, ia mudah
menempatkan, merangkai dan menyusun alur logis, menguraikan dan mengobjeksinya.
Beberapa teori belajar berdasarkan aliran kognitif ini antara lain teori gestalt, teori medan, teori
perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel, teori penemuan Bruner dan teori kognitif Bandura.
1)

Teori Gestalt
Psikologi kognitif muncul dipengaruhi oleh psikologi gestalt, dengan tokoh-tokohnya seperti Max
Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Para tokoh gestalt ini belum merasa puas dengan penemuanpenemuan para ahli sebelumnya yang menyatakan bahwa belajar sebagai proses stimulus dan respons serta
manusia bersifat mekanistik. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para tokoh gestalt lebih menekankan
pada persepsi. Menurut mereka, manusia bukanlah sekedar makhluk yang hanya bisa bereaksi jika ada stimulus
yang mempengaruhinya. Tetapi lebih dari itu, manusia adalah makhluk individu yang utuh antara rohani dan
jasmaninya. Pada saat manusia bereaksi dengan lingkungannya, manusia tidak sekedar merespons, tetapi juga
melibatkan unsur subyektivitasnya yang antara masing-masing individu dapat berlainan (Baharuddin &
Wahyuni, 2007: 88).
Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengembangkan
insight (wawasan,
pengertian/pengetahuan). Insight ini adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi
permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yanng menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat
mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari pernanan insight, teori gestalt justru menganggap bahwa
insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku (Sanjaya, 2006: 118). Hal ini sesuai dengan hukum yang
terkenal dari teori gestalt yaitu hukum pragnanz. Pragnanz ini lebih kurang berarti teratur, seimbang, dan
harmonis. Belajar adalah mencari dan mendapatkan pragnanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari
sesuatu. Untuk menemukan pragnanz diperlukan adanya pemahaman (insight).
Menurut Ernest Hilgard, ada enam ciri dari belajar pemahaman (insight), yaitu: (1) pemahaman
dipengaruhi oleh kemampuan dasar, (2) pemahaman dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang lalu, (3)
pemahaman tergantung kepada pengaturan situasi, (4) pemahaman didahului oleh usaha coba-coba, (5) belajar

dengan pemahaman dapat diulangi, dan (6) suatu pemahaman dapat diaplikasikan bagi pemahaman situasi lain
(Sukmadinata, 2007: 171).
2)

a)

b)
3)

a)
b)

c)
d)

Teori Medan (field theory)


Teori medan (field theory) merupakan salah satu teori yang termasuk rumpun kognitif. Teori medan ini
dikembangkan oleh Kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt yang menekankan keseluruhan dan keterpaduan.
Menurut teori medan, individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup (life space), yang
digambarkan oleh Kurt Lewin sebagai berikut:

Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu saja ada barier
atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk
mencapai tujuan tersebut. Apabila individu tersebut telah berhasil mencapai tujuan, maka masuk ke dalam
medan atau lapangan psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan baru
pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke dalam medan psikologis berikutnya
(Sukmadinata, 2007: 171).
Kaitannya dengan proses belajar, dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa teori medan
menganggap belajar sebagai proses pemecahan masalah. Menurut Lewin (Sanjaya, 2006: 120), beberapa hal
yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah dalam belajar adalah:
Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa
mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan contoh adalah sebagai berikut:

Orang yang melihat sembilan buah titik tersebut sebagai sebuah bujur sangkar akan sangat sulit memecahkan
persoalan tersebut. Agar sembilan buah titik dapat dilewati dengan 4 buah tarikan garis, maka harus mengubah
struktur kognitif bahwa kesembilan buah titik itu bukan sebuah bujur sangkar.
Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku.
Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ektern).
Teori Perkembangan Piaget
Kaitannya dengan perkembangan kognitif, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif
dan psikologi anak, Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap yang harus dilalui seorang anak dalam mencapai
tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini tidak hanya diterima secara luas dalam bidang
psikologi tetapi juga sangat besar pengaruhnya di bidang pendidikan (http://www.e-psikologi.com). Keempat
tahapan itu adalah:
Tahap sensori-motor dari lahir hingga 2 tahun. Anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta
mempelajari permanensi obyek. Seorang anak sedikit demi sedikit mengembangkan kemampuannya untuk
membedakan dirinya dengan bena-benda lain.
Tahap pra-operasional dari 2 hingga 7 tahun. Anak mulai memiliki kecakapan motorik. Pada masa ini anak
menjadi pusat tunggal yang mencolok dari suatu obyek. Misalnya seorang anak melihat benda cair yang sama
banyak tetapi yang sat berada dalam gelas panjang dan satu lagi berada di cawan datar, dia akan mengatakan
bahwa air di gelas lebih banyak dari pada air di cawan datar.
Tahap operasional konkret dari 7 hingga 11 tahun. Anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret. Anak sudah dapat membedakan benda yang sama dalam kondisi yang berbeda.
Tahap operasional formal setelah usia 11 tahun. Pada masa ini anak mulai memasuki dunia kemungkinan
dari dunia yang sebenarnya atau anak mengalami perkembangan penalaran abstrak (http://id.wikipedia.org).
Kecepatan perkembangan setiap individu melalui urutan setiap tahap tersebut berbeda dan tidak ada
individu yang melompati salah satu dari tahap tersebut. Tiap tahap ditandai dengan munculnya kemampuankemampuan intelektual baru yang memungkinkan orang memahami dunia dengan cara yang semakin kompleks

(Trianto, 2007b: 22). Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif seseorang merupakan suatu proses genetik.
Artinya, perkembangan kognitif merupakan proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dari
perkembangan sistem syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, maka semakin kompleks susunan sel
syarafnya dan semakin meningkat pula kemampuannya (Muhaimin, 2002: 199).
Berdasarkan hal tersebut, Jean Piaget berpandangan bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil
sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi
oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya
diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut
hanya untuk diingat sementara, setelah itu dilupakan (Sanjaya, 2006: 122).
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur
kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif
dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi.
Apabila seseorang menerima informasi atau pengalaman baru, informasi tersebut akan dimodifikasi
sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur
kognitif yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi. (Muhaimin,
2002: 199).
Uraian tersebut di atas memberi sebuah pemahaman bahwa inti dari pemikiran Piaget tentang proses
belajar seseorang adalah mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya
(Muhaimin, 2002: 200).
4)

Teori Belajar Bermakna Ausubel


Menurut David P. Ausubel, secara umum kelemahan teori belajar adalah menekankan pada belajar
asosiasi atau menghafal, dimana materi asosiasi dihafal secara arbitrase. Padahal, belajar seharusnya merupakan
asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang
telah dimiliki dalam struktur kognitifnya (Muhaimin, 2002: 201).
Ausubel memisahkan antara belajar bermakna dengan belajar menghafal. Ketika seorang peserta didik
melakukan belajar dengan menghafal, maka ia akan berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan
oleh guru atau yang dibaca tanpa makna. Hal ini berbeda dengan belajar bermakna, dimana dalam belajar
bermakna ini terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari, dan struktur kognitif yang ada pada
individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang
sekarang dikuasai oleh individu.
Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus bermakna: istilah yang mempunyai
makna, konsep-konsep yang bermakna, atau hubungan antara dua hal atau lebih yang mempunyai makna. Selain
itu, bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitifnya secara substansial dan dengan
beraturan. Substansial berarti bahan yang dihubungkan sejenis atau sama substansinya dengan yang ada pada
struktur kognitif. Beraturan berarti mengikuti aturan yang sesuai dengan sifat bahan tersebut (Sukmadinata,
2007: 188)
Selaras dengan uraian tersebut, menurut Reilly dan Lewis, belajar memerlukan persyaratan tertentu,
yaitu (1) isi pembelajaran dipilih berdasarkan potensi yang bermakna dan diatur sesuai dengan tingkat
perkembangan peserta didik serta tingkat pengalaman masa lalu yang pernah dialaminya; dan (2) diciptakan
situasi belajar yang lebih bermakna. Dalam hal ini, faktor motivasi memegang peranan penting karena peserta
didik tidak akan mengasimilasikan isi pembelajaran yang diberikan atau yang diperoleh apabila peserta didik
tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana cara melakukan kegiatan belajar (Muhaimin, 2002:
201).
Lebih lanjut, karakteristik dari teori belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan belajar (advance
organizers). Pengaturan kemajuan belajar ini merupakan kerangka dalam bentuk abstrak dari apa yang harus
dipelajari dan hubungannya dengan apa yang ada pada struktur kognitif yang dimiliki peserta didik. Apabila
dirancang dengan baik, advance organizers akan mempermudah peserta didik mempelajari isi pembelajaran
karena kegiatannya sudah diarahkan. Hubungan dengan apa yang telah dipelajari dan adanya abstrak atau
ringkasan mengenai apa yang dipelajari menyebabkan isi pembelajaran yang baru bukan dipelajari secara
hafalan, melainkan sebagai kelanjutan yang merupakan kesatuan (Muhaimin, 2002: 202).
Singkatnya, inti dari teori David P. Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, yaitu suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang
(Trianto, 2007: 25).

5)

Teori Penemuan Bruner


Salah satu teori belajar kognitif yang sangat berpengaruh adalah teori Jerome Bruner yang dikenal
dengan belajar penemuan (discovery learning). Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberi hasil yang paling baik.
Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan
pengetahuan yang benar-benar bermakna (Trianto, 2007: 26)
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka memusatkan perhatiannya
untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus
aktif di mana mereka harus mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima

penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang mendorong peserta didik untuk
melakukan kegiatan penemuan (Trianto, 2007b: 33).
Selain ide tentang belajar penemuan (discovery learning), Bruner juga berbicara tentang adanya
pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Bruner menyatakan bahwa perkembangan kognitif
seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan. Pertama, tahap enaktif,
dimana individu melakukan aktifitas dalam upaya memahami lingkungannya. Kedua, tahap ekonit, dimana
individu melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Ketiga, tahap simbolik, dimana individu
mempunyai gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika berpikirnya. Komunikasi dalam hal ini
dilakukan dengan pertolongan sistem simbol (Muhaimin, 2002: 200).
Lebih lanjut, Bruner juga menyatakan bahwa pembelajaran sesuatu tidak perlu menunggu sampai
seseorang mencapai suatu tahap perkembangan tertentu. Apabila bahan pembelajaran yang diberikan diatur
dengan baik, seseorang dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Seseorang dapat belajar apapun
asalkan materi pembelajaran disusun berdasarkan urutan isi dimulai dari yang sederhana dan sesuai dengan
karakteristik perkembangan kognitifnya. Artinya, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan
cara menata strategi pembelajarannya sesuai dengan isi bahan yang akan dipelajari dan tingkat
perkembangannya (Muhaimin, 2002: 201).
6)

Teori Kognitif Bandura


Albert Bandura mengatakan bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan perilaku. Belajar adalah
pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya tersebut (teori kognitif sosial). Prinsip
belajar menurut Bandura adalah usaha menjelaskan belajar dalam situasi alami. Hal ini berbeda dengan situasi
di laboratorium atau pada lingkungan sosial yang banyak memerlukan pengamatan tentang pola perilaku beserta
konsekuensinya pada situasi alami (Djaali, 2007: 93).
Menurut Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat
tingkah laku orang lain. Seorang belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan
itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau
mengulang-ulang kembali. Melalui jalan pengulangan ini akan memberi kesempatan kepada orang tersebut
untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya (Trianto, 2007b: 31).
Bandura juga menyatakan bahwa perilaku seseorang dan lingkungan itu dapat dimodifikasi. Buku tidak
berpengaruh pada seseorang, kecuali ada orang yang menulisnya dan orang yang memilih untuk membaca. Oleh
karena itu, hadiah atau hukuman tidak akan banyak bermakna, kecuali diikuti oleh lahirnya perilaku yang
diharapkan. Diperolehnya perilaku yang kompleks bukan hanya disebabkan oleh hubungan dua arah antara
pribadi dan lingkungan, melainkan hubungan tiga arah antara perilaku lingkungan peristiwa batiniah
(reciprocal determinism/ determinasi timbal balik). Contoh: seorang yang telah berlatih, akan timbul perasaan
percaya diri. Perilakunya menimbulkan reaksi baru, yang pada akhirnya reaksi ini mempengaruhi kepercayaan
dirinya yang kemudian menimbulkan perilaku berikutnya dan dapat melukiskan perilaku yang baru itu,
meskipun dia tidak melakukannya (Djaali, 2007: 94).
TEORI KOGNITIVISME
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang berarti pengertian,pengertian ini berarti mengerti. Lebih luas
lagi, kognitif juga bermakna perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan
selanjutnya itu, kemudian istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia dan
menjadi satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental
yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan
keyakinan. Dalam kaitannya dengan balajar dan pembelajaran, kognitif menjadi salah satu cabang dari teori
belajar yang pernah ada sampai saat ini. Teori kognitif ini berpendapat bahwa belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks. Ilmu pengetahuan ini bisa dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berhubungan
satu sama lain dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah tapi melalui proses yang mengalir ini,
berhubungan, dan menyeluruh
Selain itu, dalam psikologi kognitif, manusia melakukan pengamatan secara keseluruhan lebih, melalui
analissinya, lalu mensintesiskannya kembali. Konsep-konsep terpenting dalam teori kognitif selain
perkembangan kognitif adalah adaptasi intelektual oleh Jean Piaget, discovery learning oleh Jeron Bruner, dan
reception learning oleh Ausubel. (Thobroni, Mustofa. 2011).
Teori belajar kognitif berasal dari pandangan Kurt Lewin (1890-1947), seorang Jerman yang kemudian
beremigrasi ke Amerika Serikat. Intisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan
proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada diri seseorang.
Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk
dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak
sesuai dengan informasi yang baru diperoleh. Agar siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus
melibatkan diri secara aktif didalam kelas, membuat suasana kelas yang aktif. Teori kognitivisme ini memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir,
menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang
telah ada dengan melalukan prinsip-prinsip tertentu.
Karakteristik:

- Belajar adalah proses mental bukan behavioral


- Siswa aktif sebagai penyadur
- Siswa belajar secara individu dengan pola deduktif dan induktif
- Instrinsik motivation, sehingga tidak perlu stimulus
- Siswa sebagai pelaku untuk menuntun penemuan
- Guru memfasilitasi terjadinya proses insight.
Beberapa tokoh dalam aliran kognitivisme:
a) Teori Gesalt dari Wertheimer
Menekankan pada kebermaknaan dan pengertian sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam proses
pembelajaran.
b) Teori Schemata Piaget
Teori ini mengatakan bahwa pengalaman kependidikan harus dibangun di sekitar struktur kognitif siswa.
Struktur kognitif ini bisa dilihat dari usia serta budaya yang dimilik oleh siswa
c) Teori belajar social bandura
Bandura mempercayai bahwa model akan mempunyai pengaruh yangpaling efektif apabila mereka dianggap
atau dilihat sebagai orang yangmempunyai kehormatan, kemampuan, status tinggi, dan juga kekuatan,sehingga
dalam banyak hal seorang guru bisa menjadi model yang paling berpengaruh.
d) Pengolahan Informasi Norman
Norman melihat bahwa materi baru akan dipelajari dengan menghubungkannya dengan sesuatu yang sudah
diketahuinya, yang dalam teorinya di sebut learning by analogy. Pengajaran yang efektif memerlukan guru
yang mengetahui struktur kognitif siswa. Teori Kognitivisme Implikasi teori kognitivisme dalam kegiatan
pembelajaran lebih memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada
hasilnya. Selain itu, peran siswa sangat diharapkan untuk berinisiatif dan terlibat secara aktif dalam kegiatan
belajar. Teori ini juga memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan per- kembangan. Oleh
karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu
individu ke dalam bentuk kelompok kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal. Teori ini
juga mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan gagasan tidak
dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung,
perkembangannya dapat disimulasi. Implikasi dalam konsep evaluasi bahwa evaluasi dilakukan selama proses
belajar bukan hanya semata dinilai dari hasil belajar. Jadi, teori ini menitik beratkan pada proses daripada hasil
yang dicapai oleh siswa. Bagi para penganut aliran kognitifisme, pembelajaran dipandang sebagai upaya
memberikan bantuan kepada siswa untuk memperoleh informasi atau pengetahuan baru melalui proses
discovery dan internalisasi. Agar discovery dan internalisasi dapat berlangsung secara benar maka perlu
diperhatikan beberapa prinsip pembelajaran yang perlu sebagai berikut, Setiap siswa perlu dimotivasi oleh guru
agar merasa bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan, dan bukan sebaliknya sebagai beban Pembelajaran
hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkrit ke hal-hal yang abstrak. Setiap usaha mengkonseptualisasikan
matari pembelajaran hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa belajar.Pembelajaran
hendaknya dirancang sesuai dengan pengalaman belajar siswa dengan memperhatikan tahap-tahap
perkembangannya. Materi pelajaran hendaknya dirancang dengan memperhatikan sequencing penyajian secara
logis.
.Pengertian Kognitivisme Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang
terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk
memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas. 2.Ciri-ciri Aliran Kognitivisme a)Mementingkan apa yang ada dalam diri
manusia b) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian c) Mementingkn peranan kognitif d)
Mementingkan kondisi waktu sekarang e) Mementingkan pembentukan struktur kognitif Belajar kognitif ciri
khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk reppresentatif yang mewakili
obyek-obyek itu di representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau
lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan
pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tampattempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak
hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dan
tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.

1.

Teori Belajar Kognitivisme


Pengertian Kognitivisme
Teori belajar kognitif berasal dari pandangan Kurt Lewin (1890-1947), seorang Jerman yang kemudian
beremigrasi ke Amerika Serikat. Intisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan
proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada diri seseorang.
Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk
dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak
sesuai dengan informasi yang baru diperoleh. Agar siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus
melibatkan diri secara aktif.

Teori kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran
melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang
baru dengan pengetahuan yang telah ada. Teori ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia. Pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi
dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat
relatif dan berbekas.
2. Ciri-ciri Aliran Kognitivisme
a)
Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b)
Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c)
Mementingkn peranan kognitif
d)
Mementingkan kondisi waktu sekarang
e)
Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk
reppresentatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui
tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang
menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya
sendiri. Tampat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya
sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapantanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang
mendengarkan ceritanya.
3. Tokoh-tokoh
a. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget.
Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh
terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila
disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta
didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari
lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah : Bahasa dan cara berfikir anak
berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan
cara berfikir anak; Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru
harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya; Bahan yang harus dipelajari
anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing; Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.
b. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Bruner.
Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia berkaitan dengan kebudayaan.
Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama
bahasa yang biasanya digunakan.
Menurut Bruner untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan
tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain
perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner yang terkenal
dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari
Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif mereka. Cara
belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses
intuitif kemudian dapat dihasilkan suatu kesimpulan. (discovery learning).
Implikasi Teori Bruner dalam Proses Pembelajaran :
Menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; anak akan berusaha
membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya; dan dengan pengalamannya
anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk
mencapai keseimbangan di dadalam benaknya
c. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel, Proses belajar terjadi jika siswa mampu
mengasimilasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru
Proses belajar terjadi melaui tahap-tahap:
1) Memperhatikan stimulus yang diberikan
2) Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
Menurut Ausubel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya didefinisikan dan kemudian
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (advanced organizer), dengan demikian akan
mempengaruhi pengaturan kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi umum
yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa. Advanced organizer memberikan tiga
manfaat yaitu : Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari. Berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari. Dapat membantu siswa
untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah
4. Aplikasi teori Kognitivisme

10

Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran yaitu guru harus memahami bahwa siswa
bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah
dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi
dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran
yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
5. Kelebihan dan kelemahan teori Kognitivisme
a. Kelebihannya yaitu : menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri; membantu siswa memahami bahan
belajar secara lebih mudah.
b. Kekurangannya yaitu : teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan; sulit di praktikkan
khususnya di tingkat lanjut; beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum
tuntas.
Implikasi Teori Kognitivisme
Implikasi teori kognitivisme dalam kegiatan pembelajaran lebih memusatkan perhatian kepada cara berpikir
atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Selain itu, peran siswa sangat diharapkan untuk
berinisiatif dan terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar. Teori ini juga memaklumi akan adanya perbedaan
individual dalam hal kemajuan per- kembangan. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur
aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu individu ke dalam bentuk kelompok kelompok kecil siswa
daripada aktivitas dalam bentuk klasikal.
Teori ini juga mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan
gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara
langsung, perkembangannya dapat disimulasi.
Implikasi dalam konsep evaluasi bahwa evaluasi dilakukan selama proses belajar bukan hanya semata
dinilai dari hasil belajar. Jadi, teori ini menitikberatkan pada proses daripada hasil yang dicapai oleh siswa.
Bagi para penganut aliran kognitifisme, pembelajaran dipandang sebagai upaya memberikan bantuan
kepada siswa untuk memperoleh informasi atau pengetahuan baru melalui proses discovery dan internalisasi.
Agar discovery dan internalisasi dapat berlangsung secara benar maka perlu diperhatikan beberapa prinsip
pembelajaran yang perlu sebagai berikut:

Setiap siswa perlu dimotivasi oleh guru agar merasa bahwa belajar merupakan suatu kebutuhan, dan
bukan sebaliknya sebagai beban

Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal-hal yang konkrit ke hal-hal yang abstrak.

Setiap usaha mengkonseptualisasikan matari pembelajaran hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga
memudahkan siswa belajar.

Pembelajaran hendaknya dirancang sesuai dengan pengalaman belajar siswa dengan memperhatikan
tahap-tahap perkembangannya.

Materi pelajaran hendaknya dirancang dengan memperhatikan sequencing penyajian secara logis.

11

Você também pode gostar