Você está na página 1de 16

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia. Berdasarkan laporan World
Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan kasus TB secara global disebutkan
bahwa pada tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,59,2 juta kasus per tahun, 1 sedangkan
pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB. Pengendalian TB saat ini diperkirakan
mulai mengalami kendala seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM) di
dunia, yaitu terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah menjadi 438 juta di tahun
2030.2
Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi diabetes terdapat
penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan mempermudah terjadinya infeksi
oleh mikobakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dan kemudian berkembang menjadi
penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-3
kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. 2 Interaksi antara penyakit kronik seperti TB
dengan DM perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut
seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada orang dengan risiko
tinggi menderita TB.3
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta
berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya mortalitas. Peningkatan
reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM. 3 Sebaliknya juga bahwa penyakit
tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol
glikemik pada pasien dengan DM, namun akan mengalami perbaikan dengan pengobatan anti TB
(OAT).4 Upaya pencegahan dan pengendalian dua penyakit mematikan DM dan TB sangat
penting untuk menurunkan mortalitas karena TB, oleh karena itu penting untuk diketahui
bagaimana mekanisme DM dapat menyebabkan TB dan bagaimana TB dapat mempengaruhi
kontrol glikemik pada penderita DM.

HUBUNGAN TUBERKULOSIS DAN DIABETES MELITUS

Risiko tuberkulosis pada diabetes mellitus


Jumlah penyakit tidak menular tercatat sebesar 47% dari seluruh beban penyakit yang ada
di negara berkembang pada tahun 1990 sedangkan penyakit menular masih menempati urutan
pertama sebagai masalah di bidang kesehatan, namun pada tahun 2020 akan terjadi kondisi
sebaliknya yaitu persentase penyakit tidak menular diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar
69%. Meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi menyebabkan meningkatnya angka obesitas
dan diabetes. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 171 juta orang yang menderita diabetes yang
jumlahnya akan terus meningkat menjadi 366 440 juta di tahun 2030, tiga perempat dari
jumlah penderita diabetes tersebut hidup di negara berkembang. Sementara itu TB masih menjadi
penyakit dengan angka kematian yang tinggi, terdapatnya komorbid seperti diabetes
menyebabkan penatalaksanaan dan kontrol penyakit TB menjadi sulit. Beberapa penelitian
menemukan bahwa kombinasi penyakit TB dan DM sering ditemukan baik di negara
berkembang maupun di negara maju.4
Tahun 1934, Root melakukan penelitian tentang TB dan DM menemukan bahwa kejadian
TB pada orang dewasa dengan DM ternyata banyak ditemukan dari yang diperkirakan serta
risiko untuk terkena TB sangat tinggi pada penderita DM anak-anak dan remaja. Penyakit TB ini
lebih sering ditemukan pada penderita DM dengan kontrol glikemik yang buruk. Root juga
menyatakan bahwa pada pertengahan abad ke-19, pasien DM yang bisa lolos dari koma
diabetikum pada akhirnya akan meninggal karena penyakit TB. 4,5 Penelitian yang dilakukan di
Philadelphia pada tahun 1952 mengungkapkan bahwa dari 3.106 penderita DM terdapat sekitar
8,4% yang menderita TB paru dibandingkan dengan 4,3% penderita TB dari 71767 orang tanpa
DM. Tuberkulosis lebih banyak muncul pada penderita DM yang telah memiliki penyakit DM
selama lebih dari 10 tahun yaitu sekitar 17% dibandingkan penderita DM kurang dari 10 tahun
yaitu hanya sekitar 5% saja yang menderita TB. Tuberkulosis ditemukan lebih tinggi
prevalensnya pada penderita DM yang memerlukan insulin lebih dari 40 unit per hari.4,6
Suatu penelitian longitudinal di Korea selama 3 tahun pada 800.000 pegawai negeri sipil
mendapatkan risiko relatif TB pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol tanpa DM adalah
sebesar 3,47. Penelitian di Hongkong selama 5 tahun pada 42.000 geriatri juga mendapatkan
2

risiko untuk terkena TB aktif adalah lebih besar pada pasien dengan DM dibandingkan dengan
pasien tanpa DM, namun peningkatan risiko tersebut hanya didapatkan pada pasien-pasien DM
dengan kadar hemoglobin terglikosilasi (Hb A1c) lebih besar dari 7%. 4 Diabetes mellitus tetap
menjadi salah satu faktor risiko terpenting untuk penyakit TB bersama dengan infeksi,
malnutrisi, alkoholisme dan HIV di negara India. Prevalens TB paru pada penderita DM di India
bervariasi dari 3,3% menjadi 8,3% atau sekitar 4 kali dari populasi umum.6
Gangguan fungsi imun pada diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan penurunan sistem
imunitas selular. Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan netrofil pada pasien DM yang
disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1) dan penurunan produksi mediator inflamasi
seperti TNF , IL-1 serta IL-6. Limfosit Th1 mempunyai peranan penting untuk mengontrol
dan menghambat pertumbuhan basil M.tb, sehingga terdapatnya penurunan pada jumlah maupun
fungsi limfosit T secara primer akan bertanggungjawab terhadap timbulnya kerentanan pasien
DM untuk terkena TB. Fungsi makrofag juga mengalami gangguan yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive oxygen species, fungsi kemotaksis dan fagositik
yang menurun.7 Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada
sitokin, makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8. Keseimbangan antara sel limfosit T
CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam mengatur pertahanan tubuh melawan
mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi pada TB aktif.6
Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida pada
makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan dapat menekan fungsi
penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang kurang terkontrol dengan kadar
hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan
dengan mortalitas yang lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien
DM

juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses pembersihan

sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi non enzimatik pada protein
jaringan menginduksi terjadinya gangguan pada fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati
otonom diabetik sehingga menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang
mengakibatkan menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi. 5,6 Gangguan fungsi imun
dan fisiologi paru pada pasien DM dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Gangguan fungsi imun dan fisiologis paru penderita DM .


Kelainan fungsi imunologi paru pada DM
Disfungsi fisiologis paru pada DM
Gangguan
kemotaksis,
perlengketan,
Reaktifitas bronkial berkurang
fagositosis dan mikrobisida polimorfonuklear
Penurunan monosit perifer dengan gangguan
fagositosis

Penurunan elastic recoil dan volume paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast menjadi


limfosit

Penurunan kapasitas difusi

Cacat fungsi opsonisasi C3.

Sumbatan mukus pada saluran napas


Penurunan respons ventilasi terhadap
hipoksemia
Dikutip dari 8,9

Hiperglikemia akibat tuberkulosis


Pada awal abad ke-19, Root mengatakan bahwa pasien TB tidak akan berkembang
menjadi DM dibandingkan dengan pasien bukan TB, namun pandangan ini kemudian berubah
pada tahun 1957 setelah Nichols menemukan bahwa pada 178 pasien TB ternyata 5%
berkembang menjadi DM dan 22% memperlihatkan kelainan pada uji penapisan. Penelitian
multisenter yang diadakan di India pada tahun 1987 menemukan prevalensi DM yang
sebelumnya tidak terduga pada pasien TB adalah sebesar 9,7% , pada laki-laki usia diatas 40
tahun didapatkan angka prevalensi sebesar 17,8% dibandingkan dengan usia di bawah 40 tahun
yaitu sebesar 5,1%. Sementara pada perempuan masing-masing adalah sebesar 23,5% dan 4,0%.
Secara keseluruhan untuk laki-laki dan perempuan masing-masing menjadi 10% dan 8,7%.6
Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. menemukan 13% pasien
TB ternyata memiliki DM, jumlah ini lebih besar bila dibandingkan kontrol tanpa TB dengan
usia dan jenis kelamin yang sama yaitu hanya sebesar 3,2% yang memiliki DM, dari 13% pasien
tersebut ternyata 60% didiagnosis sebagai pasien DM baru.10 Penelitian di Nigeria juga
mendapatkan hasil bahwa pada pasien TB yang disertai dengan gangguan toleransi glukosa
ternyata setelah 3 bulan diberikan pengobatan TB hasil tes toleransi glukosa kembali normal. 4,6
Penelitian di Tanzania pada 506 pasien TB paru dengan sputum bakteri tahan asam (BTA)
positif, 9 di antaranya diketahui menderita DM. Diabetes mellitus yang didiagnosis melalui tes
4

toleransi glukosa oral (TTGO) pada 11 pasien TB tambahan memberikan peningkatan pada
prevalens DM menjadi 4%. Gangguan toleransi glukosa (GTG) terdapat pada 82 pasien (16,2%).
Sebagai perbandingan survei TTGO serupa yang dilakukan Guptan dan Shah pada suatu
komunitas mendapatkan prevalens DM hanya sebesar 0,9% dan GTG sebesar 8,8%.6 Gangguan
toleransi glukosa pada TB jauh lebih tinggi dibandingkan dengan DM. Walaupun GTG dapat
kembali normal pada sejumlah besar kasus TB dengan kemoterapi yang efektif, namun
persentase yang lebih tinggi pada GTG adalah signifikan karena menurut National Diabetes
Data Group dari National Institutes of Health 1-5 persen dari pasien dengan GTG dapat
berkembang menjadi DM setiap tahunnya.6 Data-data yang telah ditemukan di atas menekankan
pentingnya dilakukan uji penapisan DM pada pasien TB.
Intoleransi glukosa pada tuberkulosis
Terdapatnya kondisi seperti stres akut merupakan penyebab penting pada perkembangan
GTG. Demam, inaktifitas yang berlarut-larut dan malnutrisi dapat merangsang hormon stres
seperti: epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon pertumbuhan yang bekerja secara sinergis
meningkatkan kadar gula darah lebih dari 200 mg%. Kadar plasma IL-1 dan TNF juga
meningkat pada penyakit berat yang dapat merangsang sekresi hormon anti-insulin. Usia,
penyakit komorbid dan alkohol juga dapat mempengaruhi respons inang. Kadar serum hormon
adrenokortiko-tropin, kortisol dan T3 ditemukan menurun pada pasien TB, kelainan ini
menyebabkan kemampuan respons inang terhadap stress menjadi terganggu.6
Fungsi endokrin pankreas dapat mengalami gangguan pada kasus TB yang berat dan
ternyata insidens pankreatitis kronis yang disertai dengan kalsifikasi lebih tinggi pada kasus DM
dengan TB, mendorong suatu keadaan defisiensi insulin absolut. 11 Kelompok protein transporter
asam lemak yang terdapat pada basil tuberkel kemungkinan dapat menyebabkan disregulasi
homeostasis energi pada penyakit TB. Gen protein transporter asam lemak dari mikobakterium
yang diekspresikan pada hepatosit mamalia dapat meningkatkan ambilan asam lemak rantai
panjang. Asam lemak rantai panjang merupakan sumber energi penting pada sebagian besar
organisme serta berfungsi pula sebagai hormon darah yang mengatur berbagai fungsi penting
seperti metabolisme glukosa di hepar. Pada pasien TB terdapat gangguan metabolisme lipid
tersebut.6
Kerusakan pankreas akibat tuberkulosis
5

Bukti bukti yang menunjukkan mikobakterium dapat menyebabkan DM meningkat


dengan cepat dari waktu ke waktu. Seorang ahli patologi Dr. Phillip Schwarz membuat hipotesis
bahwa TB dapat menyebabkan DM karena terdapat amiloidosis pada pankreas. Otopsi yang
dilakukan pada 331 kasus amiloid berusia 16-87 tahun, Schwartz menemukan lesi TB yang
berasal dari infeksi TB saat anak-anak dan 224 kasus diantaranya terdapat amiloidosis pankreas.
Sebagian besar pasien yang diotopsi tersebut didiagnosis DM sebelum kematiannya sehingga
diduga amiloidosis pada sel-sel langerhans pankreas tersebut yang menyebabkan DM. Menurut
Schwartz sebagian besar kasus amiloidosis pada pankreas yang menyebabkan DM harus
dianggap sebagai kelainan imunologi yang disebabkan TB. Diabetes mudah ditemukan dengan
uji laboratorium rutin, namun TB tidak mudah untuk ditemukan sehingga proses kerusakan
tersebut berlangsung secara tersembunyi yang memerlukan waktu bertahun-tahun sampai
kelainan tersebut ditemukan.12
Schwartz menjelaskan terdapat dua mekanisme TB dapat menyerang pankreas yaitu
melalui reaksi imunobiologi toksik-alergi sebagai respon terhadap TB sistemik yang disebut
sebagai pankreatitis, mikroba menyerang pankreas melalui toksin M.tb dan produk-produk
inflamasinya dalam peredaran darah sehingga meningkatkan kerentanan inflamasi (reaksi
hipersensitivitas) dan menimbulkan amiloidosis. Schwartz mengakui fakta bahwa mikroba tidak
perlu selalu ditemukan dalam jaringan pankreas akan membingungkan para ilmuwan untuk
generasi mendatang karena mereka akan menduga bahwa amiloidosis ini adalah suatu penyakit
autoimun akibat ketidakmampuan untuk mengenali infeksi TB tersebut.12
Mekanisme yang lain dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya yaitu serangan
mikobakteri secara langsung ke organ pankreas melalui penyebaran tuberkel bakteri dalam darah
maupun melalui penetrasi jaringan perkejuan kelenjar getah bening abdominal yang ada disekitar
pankreas. Sel-sel langhans dan epiteloid, merupakan tanda infeksi pada infeksi TB, biasanya
tidak ditemukan pada jaringan pakreas, namun terjadinya perkejuan dapat mendorong timbulnya
kalsifikasi dan amiloidosis pada pankreas. Lazarus dan Folk melaporkan bahwa ketika pankreas
mengalami kalsifikasi maka terdapat 23-50% insidens DM.

12

Elias dan Markovits melakukan

percobaan pada tikus dan menemukan penyebab diabetes juvenile tergantung insulin ternyata
disebabkan karena terdapat proses reaksi silang antigen, antigen tersebut berhubungan dengan
heat shock protein (HSP) yang ditemukan pada M tb yaitu HSP-65. Pada penelitiannya, mereka
melihat destruksi sel beta pankreas oleh limfosit yang bertujuan untuk menghancurkan elemen
6

dari mikobakteria yaitu HSP-65. Beberapa minggu kemudian mulai terbentuk antibodi terhadap
HSP-65 bersamaan dengan antibodi antiinsulin hingga akhirnya muncullah kondisi DM
tergantung insulin.13

GAMBARAN RADIOLOGI PADA PASIEN TB-DM


7

Gambaran radiologi pasien TB ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya lama sakit
dan status imunologi pasien. Pada tahun 1927, Sosman dan Steidl melaporkan bahwa pada
sebagian besar pasien TB-DM memiliki pola radiologi khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas,
dan lesi berbentuk baji menyebar dari hilus menuju bagian tepi, terutama pada zona bagian
bawah paru, sementara pada pasien TB non DM lesi biasanya berupa infiltrat di lobus atas
paru.4,6 Penelitian yang dilakukan di Pakistan oleh Jabbar, dkk pada 173 pasien TB-DM
mendapatkan gambaran radiologi sebagian besar melibatkan lapang bawah paru yaitu sebanyak
36%, lesi bilateral didapatkan pada 47% pasien, efusi pleura sebanyak 32% pasien. Lesi juga
disertai dengan kavitas yang secara signifikan lebih sering ditemukan pada laki-laki sebanyak
32% dibandingkan dengan perempuan sebanyak 15%.14
Anand dkk. meneliti gambaran radiologi 50 pasien TB paru dengan DM menemukan
bahwa 84% terdapat lesi TB di bagian lapang bawah paru, lebih banyak dibandingkan dengan
lesi yang terdapat di lapang atas paru yang hanya sebesar 16%. Lesi bilateral sebanyak 32%,
20% pasien terdapat kavitas pada paru dengan sebagian besar letak kavitas terdapat di lapang
bawah paru yaitu 80%, lesi nodular ditemukan pada 36% pasien dan lesi eksudatif pada 36%
pasien. Mereka menyimpulkan bahwa gambaran radiologis pasien TB paru dengan DM
cenderung atipikal oleh karena itu bila menemukan pasien DM dengan gambaran lesi di lapang
bawah paru harus dipikirkan kemungkinan infeksi TB sehingga dapat dilakukan diagnosis serta
penanganan yang tepat.15 Pada beberapa penelitian yang lain juga ditemukan gambaran
radiologis yang umum ditemukan pada pasien TB-DM adalah berupa lesi yang mengenai banyak
lobus serta kavitas multipel. Individu usia tua cenderung mengalami lesi di lobus bawah paru,
kemungkinan hal ini disebabkan karena terjadi perubahan tekanan oksigen alveolar di lobus
bawah paru yang disebabkan oleh pengaruh usia atau penyakit DM.4

DERAJAT KEPARAHAN PENYAKIT TB-DM DAN HASIL PENGOBATAN


8

Diabetes mellitus mengganggu sistem kekebalan terhadap TB sehingga menyebabkan


beban awal jumlah mikobakteri yang lebih tinggi dan waktu konversi sputum yang lebih lama
sehingga menyebabkan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi. Tiga penelitian retrospektif
menunjukkan bahwa beban awal mikobakteri lebih tinggi pada pasien DM dibanding kontrol.
Namun dari beberapa hasil penelitian yang menilai konversi sputum-kultur menunjukkan hasil
yang beragam tergantung pada variabel yang digunakan. Pada salah satu studi yang menilai
konversi sputum setelah minimal 2 bulan pengobatan mendapatkan hasil proporsi konversi
pasien DM ternyata adalah sama dengan kontrol.4
Penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. mendapatkan hasil bahwa DM bukan
faktor risiko kepositifan pada apus sputum maupun kultur sputum pada bulan ke-2 pengobatan.16
Penelitian di Arab Saudi yang dilakukan pada 692 pasien TB BTA-positif didapatkan 98,9%
pasien DM dan 94,7% kontrol mengalami konversi sputum TB BTA menjadi negatif pada bulan
ke-3. Bagaimanapun juga pada beberapa penelitian yang menilai waktu yang dibutuhkan untuk
konversi apus sputum dan kultur sputum pada pasien DM ternyata didapatkan hasil bahwa pada
pasien DM dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kultur negatif. Seperti penelitian yang
dilakukan di Turki pada pasien DM yang mendapatkan pengobatan TB, membutuhkan waktu
konversi kultur sputum lebih lama dibandingkan pasien non-DM (67 vs 55 hari, p = 0,02).4
Penelitian analisis masa tahan hidup yang digunakan untuk mengukur waktu konversi
kultur, secara bermakna didapatkan waktu tengah negatifitas kultur pada pasien DM lebih lama
dibanding kontrol (42 vs 37 hari, p = 0,03). Penelitian lain juga menemukan kecenderungan
peningkatan waktu rata-rata konversi kultur pada pasien DM (49 vs 39 hari, p = 0,09). Data-data
tersebut menunjukkan bahwa beban awal jumlah mikobakteri pada pasien DM mungkin lebih
tinggi sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk konversi kultur sputum, namun kecepatan
konversi kultur sputum pada pasien DM secara umum tidak jauh berbeda dengan pasien non DM
yaitu antara 2-3 bulan setelah pengobatan. Apakah peningkatan waktu konversi kultur pada
pasien DM dapat menyebabkan risiko kambuh lebih tinggi masih belum cukup diteliti.4
Pasien TB yang kemudian berkembang menjadi DM mempunyai derajat keparahan
penyakit yang lebih tinggi saat onset TB, mempunyai lesi paru yang lebih banyak dan perubahan
paru yang lebih besar saat penyembuhan dan sebaliknya pasien DM yang terinfeksi TB memiliki
kadar gula darah yang lebih tinggi dan kemungkinan yang lebih besar untuk terjadi koma serta
9

mikroangiopati.6 Diabetes mellitus juga diduga sebagai predisposisi untuk terjadi gagal
pengobatan dan meningkatan mortalitas pasien TB. Penelitian di Mesir yang membandingkan
119 pasien dengan gagal pengobatan dan 119 kontrol didapatkan peningkatan risiko gagal
pengobatan TB pada pasien DM adalah 3,9 kali. Penelitian yang dilakukan di Indonesia
didapatkan kultur sputum setelah pengobatan selama 6 bulan dengan kepatuhan berobat yang
tinggi ternyata masih positif pada 22,2% pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol sebesar
6,9%.

Dua penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di Maryland, Amerika Serikat

menunjukkan peningkatan risiko kematian sebesar 6,5-6,7 kali pada pasien DM dibandingkan
dengan non-DM. Diantara 416 kematian pada pasien TB di Sao Paulo, Brazil ternyata DM
merupakan komorbid yang paling sering didapatkan yaitu sebesar 16%. Penelitian-penelitian
tersebut mengindikasikan bahwa gagal pengobatan dan kematian pada TB lebih sering
didapatkan pada pasien DM.2,4

PENATALAKSANAAN TB-DM

Interaksi obat anti tuberkulosis (OAT) dengan obat hipoglikemi oral (OHO)
Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu toksisitas obat juga harus
dipertimbangkan ketika memberikan terapi secara bersamaan pada TB-DM. Pasien TB-DM juga
memperlihatkan respon terapi yang lebih lambat terhadap OAT bila dibandingkan dengan pasien
non DM.2,4 Rifampisin merupakan suatu zat yang bersifat inducer kuat terhadap enzim
mikrosomal hepar yang terlibat dalam metabolisme suatu zat termasuk enzim sitokrom P450 dan
enzim fase II. Induksi pada enzim-enzim tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme obatobatan lain yang diberikan bersamaan dengan rifampisin sehingga mengurangi efek pengobatan
yang diharapkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar OHO dalam darah pada golongan
sulfonilurea (gliklazid, gliburide, glpizide dan glimepirid) dan biguanid.4,5,6

10

Penurunan kadar OHO dalam darah yang disebabkan oleh rifampisin besarnya bervariasi
antara 20-70%.5 Takayasu dkk. mengamati bahwa rifampisin menginduksi hiperglikemia fase
awal yang dihubungkan dengan peningkatan penyerapan di usus, namun tidak ada kasus diabetes
yang nyata dan dia berpendapat bahwa rifampisin tidak diabetogenik. 6 Efek rifampisin secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kontrol glikemik menyebabkan perlunya monitoring
kadar gula disertai dengan penyesuaian dosis OHO terutama pada pasien TB-DM. 4 Rifabutin
sebuah rifamicin baru juga menginduksi enzim metabolisme hepar namun efeknya tidak sekuat
rifampisin. Isoniasid (INH) dapat menyebabkan toksisitas berupa neuropati perifer yang dapat
memperburuk atau menyerupai neuropati diabetik, sehingga harus diberikan suplemen vitamin
B6 atau piridoksin selama pengobatan TB pada pasien DM. 4,5 Obat anti TB lain sangat jarang
mengganggu kadar gula darah. Dosis tinggi INH mungkin dapat menyebabkan hiperglikemia dan
pada kasus yang jarang DM mungkin menjadi sulit untuk dikontrol pada pasien yang
menggunakan Pirazinamid. Ethionamide juga dapat menyebabkan hipoglikemia namun hal ini
jarang terjadi.5,6
Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada farmakokinetik
OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal pengobatan pada pasien TB-DM. Diabetes
mellitus mempunyai efek negatif terhadap pengobatan TB terutama pada pasien-pasien DM
dengan kontrol glikemik yang buruk sehingga angka kegagalan dan kekambuhan TB lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien TB non DM. Konsentrasi OAT plasma yang rendah berhubungan
dengan gagal pengobatan dan resistensi obat pada TB. Terdapatnya DM, berat badan yang lebih
besar dan kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan rendahnya konsentrasi rifampin
plasma.2,4,5 Penelitian Nijland dkk. mendapatkan kadar rifampisin plasma 53% lebih rendah pada
pasien TB-DM dibandingkan dengan pasien TB non DM.16 Hal ini menunjukkan bahwa pada
pasien TB-DM yang lebih berat memerlukan dosis rifampin yang lebih besar dan kontrol
glikemik yang lebih baik untuk meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma. 2 Diabetes melitus
juga dapat menyebabkan perubahan penyerapan obat oral, penurunan ikatan protein dengan obat,
insufisiensi ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan obat.4
Prinsip pengobatan TB-DM
Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan TB paru secara
bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan pasien TB-DM, yaitu :6
11

1. Pengobatan tepat.
2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat untuk menstabilkan kadar
gula darahnya.
3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.
4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan karena terdapat interaksi
Rifampisin dengan OHO.
5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk keberhasilan terapi OAT. Target
yang harus dicapai yaitu kadar gula darah puasa <120 mg% dan HbA1c <7%.
6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan monitoring terhadap efek
samping obat terutama efek samping terhadap hepar dan system saraf. Pertimbangkan
penggunaan piridoksin pada pemberian INH terutama untuk pasien dengan neuropati perifer.
7. Durasi kemoterapi ditentukan oleh kontrol diabetes dan respon pasien terhadap pengobatan.
Pengobatan yang lebih lama mungkin diperlukan.
8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada alkoholisme harus
dilakukan.
9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.

Pemberian insulin pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus


Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol glikemik yang optimal
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Terapi insulin harus segera dimulai dengan
menggunakan regimen basal bolus atau insulin premixed. The American Association of Clinical
Endocrinology merekomendasikan penggunaan insulin analog atau insulin modern karena lebih
sedikit menyebabkan hipoglikemia, penggunaan insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan
insulin pada awal penyakit biasanya tinggi namun akan menurun kemudian seiring dengan
tercapainya koreksi glukotoksisitas dan terkontrolnya infeksi. 7 Rasionalisasi penggunaan insulin
pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif adalah :7
1. Infeksi TB yang berat.
2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB pancreas atau defisiensi endokrin
pankreas.
3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta kebutuhan akan efek anabolic.

12

4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.


5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat penggunaan OHO.

PENAPISAN

Penapisan diabetes mellitus pada pasien tuberkulosis


Penelitian yang dilakukan di Tanzania menyatakan bahwa bila tes toleransi glukosa oral
tidak dilakukan saat terapi TB dimulai maka lebih dari separuh kasus DM tidak akan dapat
terdeteksi. Kesadaran terhadap penyakit DM di negara berkembang umumnya rendah dan pasien
dengan DM tipe 2 mungkin tidak bergejala atau memperlihatkan gejala yang minimal, sehingga
seringkali pasien tidak akan mengeluhkan riwayat penyakit yang mengarah ke DM terutama
pada pasien-pasien TB dengan tingkat pendidikan yang rendah. Penapisan terhadap penyakit DM
merupakan satu-satunya cara untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya komorbid DM pada
TB. Metode penapisan sederhana dan ekonomis yang dapat diterapkan di seluruh klinik TB di
dunia diantaranya adalah anamnesis penyakit DM yang dilakukan pada setiap pasien TB baru

13

dan bila memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan gula darah dengan alat fingerstick
glucometer assay. Pasien dengan hasil pemeriksaan yang tinggi harus mendapatkan perhatian
khusus mengingat besarnya kemungkinan terjadinya kegagalan pengobatan.5
Penapisan tuberkulosis pada pasien diabetes mellitus
Semua penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang teratur dan pemeriksaan foto
toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan lebih ketat pada pasien yang
berusia lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan kurang dari 10% dari berat badan ideal.
Setiap pasien DM dengan keluhan batuk tiba-tiba, kehilangan berat badan, kelainan pada foto
toraks atau peingkatan dosis insulin untuk mengkontrol glukosa darah, harus dilakukan
penapisan untuk penyakit TB. American Thoracic Society tahun 1986 merekomendasikan bahwa
penderita IDDM terutama dengan control glikemik yang buruk harus diberikan kemoprofilaksis
INH. Walaupun kemoprofilaksis primer mungkin berguna pada komunitas tertentu dengan
prevalens tinggi DM dan TB seperti penduduk asli Sioux Oglala Amerika Utara namun tidak ada
alasan untuk pemberian kemoprofilaksis primer pada pasien DM yang terkontrol dengan baik.
Kemoprofilaksis sekunder pada pasien DM dengan tes tuberkulin positif biasanya
direkomendasikan walaupun beberapa peneliti masih mempertanyakan manfaatnya.6

KESIMPULAN
1. Diabetes mellitus menyebabkan kerusakan pada fungsi imun dan fisiologis paru sehingga
dapat meningkatkan risiko infeksi maupun reaktifasi TB, memperpanjang waktu konversi
sputum dan meningkatkan risiko gagal pengobatan yang mendorong terjadinya TB MDR.
2. Tuberkulosis dapat menginduki hiperglikemi sehingga dapat menyebabkan GTG bahkan
DM. Hal ini diduga selain karena proses infeksi yang menyebabkan peningkatan sekresi
hormon anti-insulin juga disebabkan karena terjadinya kerusakan pankreas seperti
pakreatitis maupun amiloidosis akibat proses inflamasi terhadap toksin M. tb.
3. Gambaran foto toraks pada TB-DM bersifat atipikal, namun beberapa penelitian
menunjukkan kecenderungan infiltrat yang lebih luas, infiltrat pada lobus bawah paru,
kavitas multipel dan efusi pleura.
14

4. Terdapat interaksi antara OAT dengan OHO, sehingga sebaiknya digunakan insulin untuk
mengontrol kadar gula darah pada pasien DM dengan TB.
5. Sebaiknya dilakukan penapisan TB pada pasien DM terutama di negara-negara dengan
insidensi TB yang tinggi agar dapat dilakukan kontrol dan penatalaksanaan yang lebih
baik untuk kedua penyakit tersebut.

Daftar Pustaka
1.
2.

3.
4.
5.

6.

World Health Organization. Global tuberculosis control 2011. Geneva : World Health
Organization; 2011.
Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin NS,
Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed Central Infectious
Diseases. 2011;2(12):1-13.
Palomino JC, Leo SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science to patient care
1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.
Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus : convergence of two
epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
Kapur A, Harries AD, Lonnroth K, Bygbjerg C, Lefebvre P. Diabetes and tuberculosisold associates posing a renewal public health challenge. US Endrocinology.
2009;5(1):12-14.
Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J Tuberc. 2000;47:3-8.
15

7.

Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis : a review of the role of optimal glycemic
control. Journal of diabetes & metabolic disorders. 2012;11(28):1-4.
8. McMahon MM, Bistrian Bruce R. Host defences and susceptibility to infection in
patients with diabetes mellitus. Infect Dis Clin North Am. 1995;9:1-9.
9. Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications of diabetes mellitus. Infect Dis Clin
North Am. 1995;9:65-96.
10. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A, Istriana E, et al.
Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int J Tuberc Lung
Dis. 2006;10:696-700.
11. Mollentzc WF, Pansegrouw DR, Steyn AF. Diabetes mellitus, pulmonary tuberculosis
and chronic calcific pancreatitis revisited. South Afr Med J. 1990;78:235-9.
12. Broxmeyer L. Diabetes mellitus, tuberculosis and the mycobacteria: two millennia of
enigma. Med Hypotheses. 2005;65:4339.
13. Elias D, Markovits D. Induction and therapy of autoimmune diabetes in the non obese
diabetic (NOD)/lt mouse by a 65-kDa heat shock protein. Proc Natl Acad Sci.
1990;87:1576-80.
14. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary tuberculosis in
adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus. Eastern Mediterranean Health
Journal. 2006;12:522-7.
15. Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of pulmonary
tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28:70.
16. Nijland HM, Ruslami R, Stalenhoef JE, Nelwan EJ, Alisjahbana B, Nelwan RHH, et al.
Exposure to rifampicin is strongly reduced in patients with tuberculosis and type 2
diabetes. Clin Infect Dis. 2006;43:848-54.

16

Você também pode gostar