Você está na página 1de 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang1
Rinosinusitis adalah penyakit multifaktorial. Banyak faktor yang berperan
dalam patogenesisnya, yaitu faktor lokal (variasi anatomi), faktor individu dan faktor
non individu. Prevalensi rinosinusitis mencapai 14 % dari populasi secara global.
Variasi anatomi dan proses patologi dalam hidung dan sinus paranasal telah banyak
diteliti oleh para ahli. Banyak variasi anatomi meyebabkan penyakit sinus kronis
dengan

menimbulkan

obstruksi

pada

kompleks

osteomeatal

(KOM)

dan

mempengaruhi pola transport mukosilier. Messerklinger, seperti yang dikutip oleh


Chao telah mengidentifikasi perubahan pada dinding lateral hidung dan konka media
yang merangsang perubahan pada mukosa dan penurunan aerasi sinus paranasal dan
secara signifikan meningkatkan potensi penyakit sinus. Deviasi septum merupakan
variasi anatomi yang sering ditemukan sedangkan doubel concha merupakan variasi
anatomi yang jarang ditemukan. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os. etmoid, vomer, krista nasalis os.
maksila dan krista nasalis os. palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Bentuk septum normal adalah lurus di tengah
rongga hidung, tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna
di garis tengah, dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan
komplikasi. Bila kejadian ini tidak menimbulakn gangguan respirasi, maka tidak
dikategorikan sebagai keadaan yang patologis. Deviasi septum dapat merupakan
predisposisi obstruksi KOM yang dapat menimbulkan komplikasi rinosinusitis
kronis.4 Chalabi 5 menemukan 31 % kasus rinosinusitis dari 100 orang pasien dengan
deviasi septum. Insiden septum deviasi dengan rinosinusitis kronis 1 tahun terakhir di
bagian THT-KL RS. M.Djamil Padang, Oktober 2010-September 2011 adalah 12
kasus 35.3% dari 34 pasien dengan septum deviasi yang menjalani operasi.

2
1.2.

Tujuan
Tujuan umum dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk lebih mendalami
dan memahami kasus kasus tentang rinosinusitis. Tujuan khususnya adalah sebagai
pemenuhan tugas laporan kasus kepaniteraan stase THT.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama
:
Jenis kelamin
:
Umur
:
Alamat
:
No. RM
:
Tanggal berobat :

Ny. N
Perempuan
24 tahun
Nagrak, Cipanas
749***
21 Juni 2016

2.2. Anamnesis
2.2.1.Keluhan utama:
Hidung mampet 2 tahun.
2.2.2.Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan hidung mampet yang dirasakan selama 2 tahun,
selain itu pasien merasa telinga sebelah kiri kurang mendengar. Saat hidung sedang
sangat mampet pasien merasakan sakit kepala berdenyut di seluruh bagian kepala,
pasien pernah merasakan ada cairan menetes di belakang lidahnya dan merasakan rasa
cairan tersebut sangat tidak enak.
2.2.3.Riwayat penyakit dahulu:
Pasien sering mengalami hal yang sama sebelumnya selama 2 tahun, pasien

pernah berobat sebelumnya namun keluhan tidak banyak berkurang.


Riwayat Hipertensi dan Diabetes mellitus disangkal.

2.2.4.Riwayat penyakit keluarga:


Ibu pasien memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
2.2.5.Riwayat alergi:
Ada riwayat alergi debu dan dingin.
Riwayat alergi obat disangkal.
2.2.6.Riwayat pengobatan:
Pasien pernah berobat ke dokter umum 1 tahun yang lalu, dan dilakukan sebanyak 4
kali dalam satu tahun , namun tidak mengalami perubahan yang berarti
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Keadaan umum : Baik
2.3.2. Kesadaran

: Compos Mentis

2.3.3. Berat badan

: 52Kg

2.3.4. Tanda Vital


Tekanan darah

: 100/80 mmHg

Penafasan

: 22 x/menit, teratur

Nadi

: 86 x/menit, teratur, kuat angkat

Suhu

: 36.3C

2.4. Status Generalis


2.4.1. Kepala
2.4.2. Mata
2.4.3.
2.4.4.
2.4.5.
2.4.6.
2.4.7.

Telinga
Hidung
Mulut
Tenggorok
Leher

2.4.8. Thorax
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.9. Jantung
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.10. Abdomen
a. Inspeksi
b. Palpasi

: Normocephal (+), rambut berwarna hitam (+), distribusi rata (+)


: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
isokor 3mm
: Lihat status lokalis
: Lihat status lokalis
: Mukosa bibir lembab, sianosis (-), stomatitis (-)
: Lihat status lokalis
: Lihat status lokalis
: Kedua hemithoraks tampak simetris, retraksi sela iga (-)
: Vocal Fremitus teraba sama di kedua lapang paru
: Sonor pada semua lapang paru
: Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
: Ictus cordis tidak terlihat
: Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
: Tidak dilakukan
: Bunyi jantung I dan II regular
: Simetris, cembung
: Nyeri tekan epigastrium (-)

c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.11. Ekstremitas

: Timpani pada seluruh kuadran abdomen


: Bising usus (+) normal

a. Superior

: Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)

b. Inferior

: Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)

2.5. Status lokalis THT


2.5.1. Telinga
Tabel 1. Pemeriksaan Telinga

AD
Normotia, hematoma (-),

AS
Aurikula

Normotia, hematoma (-),

perikondritis (-), helix sign (-),

perikondritis (-), helix sign (-)

edema (-)

edema (-)
Preaurikula

Peradangan (-), pus (-), nyeri

Peradangan (-), pus (-), nyeri

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

Retroaurikula
Peradangan (-), pus (-), nyeri

Peradangan (-), pus (-), nyeri

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

Hiperemis (-), udem(-),

tekan (-), Pembesaran KGB (-)

MAE

Hiperemis (-), udem(-),

serumen(-), sekret (-),

serumen(-), sekret (-),

massa(-)

massa(-)

Hiperemis (-), udem(-),

Hiperemis (-), udem(-),

serumen(-) kering, sekret (-),

KAE

massa(-)
Intak, refleks cahaya (+) di jam

serumen(+) kering, sekret (-),


massa(-)

Membran timpani

5, hiperemis (-), retraksi (-)

Tidak dapat terlihat karena ada


serumen

Uji Rinne

Lateralisasi (-)

Uji Weber

Lateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksa

Uji Schwabach

Sama dengan pemeriksa

Interpretasi : Telinga dalam batas normal

2.5.2. Hidung
2.5.2.1. Rinoskopi Anterior
Tabel 2. Pemeriksaan Hidung
Dextra

Rhinoskopi anterior

Sinistra

Hiperemis (+)

Mukosa

Hiperemis (+)

Sekret

Hipertrofi (+)

Konka inferior

Hipertrofi (+)

Deviasi (-)

Septum

Deviasi (-)

(-)

Massa

(-)

Sumbatan minimal (+)

Passase udara

Sumbatan minimal (+)

2.5.2.2. Sinus paranasal


Inspeksi : Pembengkakan kedua pipi (-), kemerahan kelopak mata bawah mata (-),
Palpasi

pembengkakan kelopak mata atas (-)


: Nyeri tekan pipi (+), nyeri ketuk pipi (+), nyeri tekan medial atap orbita
(-), nyeri tekan kantus medius (-)

2.5.2.3. Tes penciuman


- Kanan
: 9 cm, hiposmia dengan kopi dan teh
- Kiri
: 8 cm, normal dengan kopi dan teh
- Kesan
: NDS hiposmia
2.5.2.4. Transiluminasi
- Sinus maksilaris
Tidak dilakukan
- Sinus frontalis
Tidak dilakukan
- Kesan : 2.5.3.Tenggorok
Tabel 3. Pemeriksaan Nasofaring
Naofaring (Rhinoskopi posterior)
Konka superior

tidak dilakukan

Torus tubarius

tidak dilakukan

Fossa Rossenmuller

tidak dilakukan

Plika salfingofaringeal

tidak dilakukan

Tabel 4. Pemeriksaan Orofaring


Dextra

Pemeriksaan Orofaring

Sinistra

Tenang
Simetris (normal) kotor
Simetris (normal) bersih
Lubang (-)
Simetris (normal) bersih
Tonsil
Hiperemis

Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Gigi geligi
Uvula

Tenang
Simetris (normal) kotor
Simetris (normal) bersih
Lubang (-)
Simetris (normal) bersih

Mukosa

Hiperemis

T1

Besar

T1

Melebar (-)

Kripta

Melebar (-)

Detritus

Perlengketan

Tenang
-

Mukosa
Granula
Post nasal drip

Tenang
-

Mulut

Faring

2.5.3.1.

Tes Pengecapan

Manis

Tidak
dilakukan

Asin

Tidak
dilakukan

Asam

Tidak
dilakukan

Pahit

Tidak
dilakukan

10

2.5.3.2.

Laringofaring
Tabel 5. Pemeriksaan Laringofaring

Laringofaring (Laringoskopi indirect)


Epiglotis

tidak dilakukan

Plika ariepiglotika

tidak dilakukan

Plika ventrikularis

tidak dilakukan

Plika vokalis

tidak dilakukan

Rima glotis

tidak dilakukan

11

2.5.4. Pemeriksaan Maksilofasial

Tabel 6. Pemeriksaan Maksilofasial


Dextra

Nervus
I.

Olfaktorius

II.

Penciuman
Optikus

Hiposmia
(+)

Daya penglihatan

(+)

Refleks pupil

Sinistra

Hiposmia
(+)
(+)

III. Okulomotorius
(+)

Membuka kelopak mata

(+)

(+)

Gerakan bola mata ke superior

(+)

(+)

Gerakan bola mata ke inferior

Gerakan bola mata ke medial

Gerakan bola mata ke

(+)
(+)

(+)
(+)
(+)

laterosuperior
IV. Troklearis
(+)
V.

Gerakan bola mata ke lateroinferior


Trigeminal

(+)

Tes sensoris

(+)

Cabang oftalmikus (V1)

(+)

(+)

Cabang maksila (V2)

(+)

(+)

Cabang mandibula (V3)


VI. Abdusen

(+)

Gerakan bola mata ke lateral


VII. Fasial

(+)
(+)

(+)

Mengangkat alis

(+)

(+)

Kerutan dahi

(+)

(+)

Menunjukkan gigi

Daya kecap lidah 2/3 anterior

(+)

(+)
(+)

12

VIII. Akustikus
Normal

Tes garpu tala


IX. Glossofaringeal

(+)
(+)
X.

Refleks muntah
Daya kecap lidah 1/3 posterior

Refleks muntah dan menelan

(-)

Deviasi uvula

(+)
(+)

(+)
(+)

Vagus

(+)
Simetris

Normal

(+)
(-)
Simetris

Pergerakan palatum
XI. Assesorius

Memalingkan kepala

Kekuatan bahu
XII. Hipoglossus

(+)
(+)

(-)

Tremor lidah

(-)

(-)

Deviasi lidah

(-)

2.5.5. Leher
Tabel 7. Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan Kelenjar Getah Bening (KGB)
Dextra

Pemeriksaan

Sinistra

Pembesaran (-)

Tiroid

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submental

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar submandibula

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis superior

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis media

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar jugularis inferior

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar suprasternal

Pembesaran (-)

Pembesaran (-)

Kelenjar supraklavikularis

Pembesaran (-)

2.6. Resume

13

Perempuan berusia 24 tahun, datang dengan keluhan hidung mampet sejak 2 tahun
yang lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga merasakan telinga kiri
kurang mendengar dan saat keluhan ini dirasakan pasien akan merasakan pusing
berdenyut selain itu pasien pernah merasakan ada suatu cairan yang jatuh dibelakang
lidahnya dan dirasakan sangat tidak enak . Pasien pernah berobat ke dokter umum 1
tahun yang lalu sebanyak 4 kali namun pasien tidak merasakan adanya perubahan. Pasien
memiliki alergi terhadap debu dan dingin.
Pada pemeriksaan fisik status generalis dalam batas normal. Status THT hasil
pemeriksaan hidung menunjukkan mukosa hidung kanan dan kiri tampak hiperemis,
terdapat sekret (+/+) dan konka inferior hipertrofi (+/+), selain itu terdapat nyeri tekan
pada kedua pipi.
2.7. Diagnosis Banding
2.7.1. Sinusitis maksilaris
2.7.2.Rhinitis alergi
2.8. Diagnosa Kerja
Rinosinusitis Maksilaris
2.9. Pemeriksaan Penunjang

Foto rontgen SPN

Laboratorium darah rutin

Nasoendoskopi
2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Nonmedikamentosa

Hindari mengorek-mengorek hidung dan memaksa untuk mengeluarkan sekret


hidung dengan paksa

Berobat/ kontrol kembali bila gejala tidak dirasakan membaik

2.10.2. Medikamentosa
Antibiotik : cefixim
Mukolitik : Ambroxol
Analgetik : Asam mefenamat

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Epidemiologi
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan
kesehatan tersering di dunia.2 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peningkat utama
atau sekitar 102.8 17 penderita rawat jalan di rumah sakit.2 Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan
PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. 2 Data
dan Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah
pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis.2
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari.2
3.2 Definisi
Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal
yang dapat berupa sinusitis maksilanis, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis
sfenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus
terkena disebut pansinusitis.2 Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,
sedangkan sinus frontal lebih jarang dari sinus sphenoid lebih jarang lagi.2
3.3 Anatomi
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
Terdapat empat pasang sinus paranasal menurut letaknya yaitu sinus maksilanis, sinus
frontalis, sinus ethmoidhalis, sinus sfenoidalis. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung
melalui ostium masing-masing. Menurut muaranya sinus dibagi menjadi dua yaitu anterior
dan posterior dimana sinus anterior adalah sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, sinus
maksilaris sedangkan sinus posterior terdiri dari sinus ethmoidalis posterior dan sinus
sfenoidalis.2
14

15

Secara embrologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dan sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sphenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar pada usia antara 15-18 tahun.2
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior
rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dan sinus
maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.2
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.2
Fungsi sinus paranasal adalah :2
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Membantu keseimbangan kepala
Membantu resonansi suara
Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Membantu produksi mucus
3.3.1 Sinus Maksilaris2
Merupakan sinus oaranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ujuran maksimal,
yaitu 15 ml saat dewasa.
Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dan prosesus maksilaris arcus I.
Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada
para zygomaticus maxillae.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial Os maksila yang disebut fossa kanina,
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dan anatomi sinus maksila adalah
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akan gigi rahang atas, yaitu

16

premolan (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita;
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dan dasar sinus, sehingga drenase hanya
tergantung dan gerak silia, lagi pula drenase juga harus melalui infundibulum yang
sempit.
3.3.2 Sinus Ethmoidalis 2
Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dan 7-15
cellulae, dindingnya tipis.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dan anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5
cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, yang terdapat di dalam massa
bagian lateral Os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial
orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan
lempeng yang menghubungkan dengan posterior konkan media dengan dinding
lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih
besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Berhubungan dengan :
Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi
infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefahitis
dsb).
Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada
sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga
terjadi Brill Hematoma.
Nervus Optikus

17

Nervus, anteri dan vena ethmoidatis anterior dan pasterior.

3.3.3 Sinus Frontalis 2


Terletak di Os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasah dan sel-sel
resesus frohtat atau dan sel-sel infundibutum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mutai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia
20 tahun.
Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
Tidak simetri kanan dan kiri, tertetak di Os frontalis.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.
Volume pada orang dewasa 7 cc.
Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
Berhubungan dengan :
Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
Orbita, dibatasi oleh tutang compacta.
Dibatasi oleh Peniosteum, kulit, tulang diploic.
3.3.4 Sinus Sfenoidalis
Terbentuk pada fetus usia bulan III.
Tertetak pada corpus, alas dan Processus Os sfenoidalis.
Volume pada orang dewasa 7 cc.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fossa
serebri posterior di daerah pons.
Berhubungan dengan :
Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
Glanduta pituitari, chiasma n.opticum.
Tranctus olfactorius.
Arteri basillaris brain stem (batang otak)
3.3.5 Kompleks Osteo-Meatal

18

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu de meatus medius ada muara saluran
sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus ethmoidalis anterior. Daerah ini rumit dan sempit
dan dinamakan kompleks osteo-meatal terdiri dan infundibulum ethmoid yang terdapat di
belakang prosessus uncinatus, resesus frontalis, bula ethmoidalis dan sel-sel ethmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.2
3.3.6 Septum Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan patut
lender di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lender
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tentu polanya. 3
Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus anterior bergabung di infundibulum ethmoid dialirkan ke
nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung dengan resessus sfenoidalis dialirkan ke nasofaring di postero-superior
tuba. Inilah sebabnya sinusitis didapati sekret pasca-nasal tetapi belum tentu ada pada rongga
hidung.3
3.3.7 Mukosa Hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum
nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus
paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fngsional dibagi atas dua
tipe yaitu mukosa penghidup (mukosa olfaktorius), dan sebagian besar mukosa pernafasan
(mukosa respiratori). Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan
dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,
membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani RS, 2007)
Permukaan

kavum

nasi

dan

sinus

paranasal

dilapisi

oleh

mukosa

yang

berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung
dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak
bersilia, sel basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe
olfaktorius dan sebagian besar tipe respiratorius. Mukosa olfaktorius terdapat pada
permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan
mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia (Ballenger, 1994;

19

Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai
dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel
torak bertapis semu bersilia (pseudostratified columnar epithetium) yang mempunyai 50-200
silia tiap selnya. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel
yang diperlukan untuk kerja silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat
(yang mempunyai mikrovili).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah
vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel
yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae.
Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia
terutama pada ujung anterior konka dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah
inspirasi maka epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada
meatus media dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan
tersusun rapi.
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang
berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah nasofaring.
Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing pada permukaan sel
yang menghadap ke lumen. Mikrovili ini besarnya 1/3 silia dan mempunyai inti sentral dari
filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan
transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas
permukaan sel.
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak pernah
mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah
mati.
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena aliran
udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel
skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena
dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan
oleh kelenjar mukosa dari sel-sel goblet.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya lebih tipis

20

dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir
kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak ditemukan didekat ostium.
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel
seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan
ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf parasimpatis.
3.4 Etiologi
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan
gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga
dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam.2
Bebenapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostiomeatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartagthen, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis-kistik.2
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
serta kebiasaan merokok. Keadaam ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan
menusak silia.2
3.5 Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas : 2
1. Sinusitis akut
2. Sinusitis subakut
3. Sinusitis Kronis

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis2


A. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
B. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)
3.6 Patofisiologi

21

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobiat dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan.2
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal
yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non
bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang
tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiptikasi
bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, potipoid atau pembentukan polip dan kista.2
3.7 Diagnosis
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
3.7.1 SINUSITIS AKUT
A. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh inieksi saluran pernafasan atas (terutama pada
anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.5
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal
yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring
(post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hal, nyeri di daerah
sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.6
1. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi
oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) tetak ostiumnya lebih
tinggi dan dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksita hanya tergantung
dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila

22

terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah
tersumbat.4
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah
yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang
menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan
telinga.6
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya
sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.
Batuk initatif non produktif seringkahi ada.7 Nyeri meningkat pada waktu sore hari
minimal pada waktu pagi hari. Hal ini disebabkan karena ostium sinus berada pada
atap sinus, sehingga pada malam hari dimana penderita kebanyakan dalam posisi
berbaring, isi sinus dapat keluar tetapi pada siang hari dimana penderita kebanyakan
pada posisi berdiri akan menyebabkan sekret sulit keluar, sehingga menumpuk dalam
sinus.

2. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi
sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidahis (lamina papirasea)
seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis
orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap
sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadangkadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih
di pe1ipis posi nasal drip dan sumbatan hidung.7
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidatis
anterior.6
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan membunuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-

23

lahan mereda hingga menjelang malam.6


Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin
terdapat pembengkakan supra orbita.6
4. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola
mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari
parsinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus
lainnya.4
B. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior)
terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat
periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti
meraba beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada
sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang
timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis
maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di
meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah
tampak keluar dan meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip, tumor
maupun komplikasi sinusitis. Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan
yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip). Pada
posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang tebih 5 menit dan
provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung
pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika
positif sinusitis maksilanis maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga
tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiotogik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak

24

perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus
yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau
meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora
normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus,
staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau
jamur.4
3.7.2 SINUSITIS SUBAKUT
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam,
sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.4
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus
yang sakit, suram atau gelap.4

3.7.3 SINUSITIS KRONIS


Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar
disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan
faktor predisposisinya.6
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi pembahan mukosa
hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik,
sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan
sinusitis akut tidak sempurna.6

A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post
nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.

25

Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
Ada nyeri atau sakit kepala.
Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
B. Gejala Obyektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan
pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dan meatus
medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis
yang hampir selalu menyertai sinusitis frontatis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini
dapat menyertai poliposis hidung kronis.
C. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.
aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso
bakterium.

D. Diagnosis Sinusitis Kronis


Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :5

Anamnesis yang cermat

Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah
sinus yang terinfeksi terhihat suram atau gelap. Transiluminasi menggunakan angka

26

sebagai parameternya. Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila


terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan)5

Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan
Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang
petrosus supaya tertetak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan
kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini
terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroantenor untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus
frontal, sphenoid dan etmoid.

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :8


1. Penebalan mukosa,
2. Opasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi)
3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto
waters.

Fungsi sinus maksilaris

Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus,
apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana
keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat
perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi
terganggu.

Pemeriksaan histopatologi dan jaringan yang diambil pada waktu dilakukan


sinoskopi.

Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan rasoendoskopi.

Pemeriksaan CT - Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan


sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan
tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak

27

homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan
sklenotik (pada kasus-kasus kronik).

3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 SINUSITIS AKUT
Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae
dan Haemophilus influenzae.8 Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik
empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik
untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikostenoid topikal. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada
perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanatlampisilin sutbaktari, cephalosponin generasi II, makrotid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan
terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni
evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan.
3.8.2 SINUSITIS SUBAKUT
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum tuas atau yang sesuai
dengan resistensi kuman selama 10 - 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis
berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan
mukolitik.

28

Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short
Wave Diathermy) sebanyak 5 - 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan fungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan
pencucian sinus cara Pnoetz.3
3.8.3 SINUSITIS KRONIS
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai
dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi
10-14 hari.
Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini
II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik
mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan
naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
Pada sinusitis maksila dilakukan fungsi dari irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

Pembedahan
Radikal

a. Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.


b. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
c. Sinus frontal dan sfenoid dengan operasi Killian.

Non Radikal a. bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).

29

Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatat.

3.9 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat
infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus
rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilans juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :

Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi
sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan lini terutama ditemukan pada anak, karena
lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali
merekah pada kelompok umur ini.

Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.

Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.

Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan
kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang
makin bertambah.

Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui


saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis
septik.

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :


a. Oftalmoplegia.

30

b. Kemosis konjungtiva.
c. Gangguan penglihatan yang berat.

Kelemahan pasien.

Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan


dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus,
kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur
sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau
fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista
dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial

Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.

31

Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik
berupa malaise, demam dan menggigil.3

BAB IV
PENUTUP

4.1.

Kesimpulan
Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilanis, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sfenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis,
dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis.Yang paling sering terkena ialah
sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dari sinus sphenoid
lebih jarang lagi.
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen),
gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang.
Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau
menyelam.
Bebenapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostiomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagthen, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis-kistik.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaam ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan menusak silia.
Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di meatus superior. Pada
rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering adanya
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinussinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,
batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.

32

33

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu


menilai anatomi hidung dan sinus. Namun karena biayanya mahal hanya dikerjakan
sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan
atau pra-operasi.
Tujuan utama terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan; 2)
mencegah komplikasi; dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip
pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinussinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis akut bakterial untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus.
Komplikasi dari sinusitis telah menurun seiring ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan
eksaserbasi akut. Komplikasi berupa kelainan orbita berupa edema palpebra, selulitis
orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat mengakibatkan
trombosis sinus kavernous. Selain itu dapat menimbulkan komplikasi berupa kelianan
intrakranial , osteoielitis dan abses subperiostal dan kelainan paru.

4.2.

Saran
Rinosinusitis seringkali menyebabkan gangguan penciuman. Sebagai dokter,
maka perlu diberikan penjelasan tentang penyakit, komplikasi, serta pilihan terapi
baik dengan obat maupun tindakan pembedahan. Dokter juga harus memberikan
informasi tentang hal-hal yang dapat menyebabkan kambuhnya penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiman,BJ. Rinosinusitis Kronis Dengan Variasi Anatomi Kavum Nasi.2011.


Diakses pada:
http://repository.unand.ac.id/18163/1/RINOSINUSITIS%20KRONIS%20DENGAN
%20VARIASI%20ANATOMI%20KAVUM%20NASI.pdf
2. Efiaty dkk. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu
Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 7, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2014.
3. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6.
4. Damayanti dan Endang. Sinusitis. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu
Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 6, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2007, 150-3.
5. Pletcher SD, Goldeng AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no. 9. PP. 495-505.
6. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3,
Penerbit Media Auscutapius FK UI, Jakarta 2001, 102 - 106
7.

http://www.entdocton.com.sg/articles/pengobatan-sinusitis-sistem-balon.html
http://kedokteran.spot.com/2008/04/referat-kedokteran.html

34

Você também pode gostar