Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang1
Rinosinusitis adalah penyakit multifaktorial. Banyak faktor yang berperan
dalam patogenesisnya, yaitu faktor lokal (variasi anatomi), faktor individu dan faktor
non individu. Prevalensi rinosinusitis mencapai 14 % dari populasi secara global.
Variasi anatomi dan proses patologi dalam hidung dan sinus paranasal telah banyak
diteliti oleh para ahli. Banyak variasi anatomi meyebabkan penyakit sinus kronis
dengan
menimbulkan
obstruksi
pada
kompleks
osteomeatal
(KOM)
dan
2
1.2.
Tujuan
Tujuan umum dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk lebih mendalami
dan memahami kasus kasus tentang rinosinusitis. Tujuan khususnya adalah sebagai
pemenuhan tugas laporan kasus kepaniteraan stase THT.
BAB II
LAPORAN KASUS
Ny. N
Perempuan
24 tahun
Nagrak, Cipanas
749***
21 Juni 2016
2.2. Anamnesis
2.2.1.Keluhan utama:
Hidung mampet 2 tahun.
2.2.2.Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan hidung mampet yang dirasakan selama 2 tahun,
selain itu pasien merasa telinga sebelah kiri kurang mendengar. Saat hidung sedang
sangat mampet pasien merasakan sakit kepala berdenyut di seluruh bagian kepala,
pasien pernah merasakan ada cairan menetes di belakang lidahnya dan merasakan rasa
cairan tersebut sangat tidak enak.
2.2.3.Riwayat penyakit dahulu:
Pasien sering mengalami hal yang sama sebelumnya selama 2 tahun, pasien
: Compos Mentis
: 52Kg
: 100/80 mmHg
Penafasan
: 22 x/menit, teratur
Nadi
Suhu
: 36.3C
Telinga
Hidung
Mulut
Tenggorok
Leher
2.4.8. Thorax
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.9. Jantung
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.10. Abdomen
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
d. Auskultasi
2.4.11. Ekstremitas
a. Superior
b. Inferior
AD
Normotia, hematoma (-),
AS
Aurikula
edema (-)
edema (-)
Preaurikula
Retroaurikula
Peradangan (-), pus (-), nyeri
MAE
massa(-)
massa(-)
KAE
massa(-)
Intak, refleks cahaya (+) di jam
Membran timpani
Uji Rinne
Lateralisasi (-)
Uji Weber
Lateralisasi (-)
Uji Schwabach
2.5.2. Hidung
2.5.2.1. Rinoskopi Anterior
Tabel 2. Pemeriksaan Hidung
Dextra
Rhinoskopi anterior
Sinistra
Hiperemis (+)
Mukosa
Hiperemis (+)
Sekret
Hipertrofi (+)
Konka inferior
Hipertrofi (+)
Deviasi (-)
Septum
Deviasi (-)
(-)
Massa
(-)
Passase udara
tidak dilakukan
Torus tubarius
tidak dilakukan
Fossa Rossenmuller
tidak dilakukan
Plika salfingofaringeal
tidak dilakukan
Pemeriksaan Orofaring
Sinistra
Tenang
Simetris (normal) kotor
Simetris (normal) bersih
Lubang (-)
Simetris (normal) bersih
Tonsil
Hiperemis
Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Gigi geligi
Uvula
Tenang
Simetris (normal) kotor
Simetris (normal) bersih
Lubang (-)
Simetris (normal) bersih
Mukosa
Hiperemis
T1
Besar
T1
Melebar (-)
Kripta
Melebar (-)
Detritus
Perlengketan
Tenang
-
Mukosa
Granula
Post nasal drip
Tenang
-
Mulut
Faring
2.5.3.1.
Tes Pengecapan
Manis
Tidak
dilakukan
Asin
Tidak
dilakukan
Asam
Tidak
dilakukan
Pahit
Tidak
dilakukan
10
2.5.3.2.
Laringofaring
Tabel 5. Pemeriksaan Laringofaring
tidak dilakukan
Plika ariepiglotika
tidak dilakukan
Plika ventrikularis
tidak dilakukan
Plika vokalis
tidak dilakukan
Rima glotis
tidak dilakukan
11
Nervus
I.
Olfaktorius
II.
Penciuman
Optikus
Hiposmia
(+)
Daya penglihatan
(+)
Refleks pupil
Sinistra
Hiposmia
(+)
(+)
III. Okulomotorius
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
laterosuperior
IV. Troklearis
(+)
V.
(+)
Tes sensoris
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Mengangkat alis
(+)
(+)
Kerutan dahi
(+)
(+)
Menunjukkan gigi
(+)
(+)
(+)
12
VIII. Akustikus
Normal
(+)
(+)
X.
Refleks muntah
Daya kecap lidah 1/3 posterior
(-)
Deviasi uvula
(+)
(+)
(+)
(+)
Vagus
(+)
Simetris
Normal
(+)
(-)
Simetris
Pergerakan palatum
XI. Assesorius
Memalingkan kepala
Kekuatan bahu
XII. Hipoglossus
(+)
(+)
(-)
Tremor lidah
(-)
(-)
Deviasi lidah
(-)
2.5.5. Leher
Tabel 7. Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan Kelenjar Getah Bening (KGB)
Dextra
Pemeriksaan
Sinistra
Pembesaran (-)
Tiroid
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Kelenjar submental
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Kelenjar submandibula
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Kelenjar suprasternal
Pembesaran (-)
Pembesaran (-)
Kelenjar supraklavikularis
Pembesaran (-)
2.6. Resume
13
Perempuan berusia 24 tahun, datang dengan keluhan hidung mampet sejak 2 tahun
yang lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga merasakan telinga kiri
kurang mendengar dan saat keluhan ini dirasakan pasien akan merasakan pusing
berdenyut selain itu pasien pernah merasakan ada suatu cairan yang jatuh dibelakang
lidahnya dan dirasakan sangat tidak enak . Pasien pernah berobat ke dokter umum 1
tahun yang lalu sebanyak 4 kali namun pasien tidak merasakan adanya perubahan. Pasien
memiliki alergi terhadap debu dan dingin.
Pada pemeriksaan fisik status generalis dalam batas normal. Status THT hasil
pemeriksaan hidung menunjukkan mukosa hidung kanan dan kiri tampak hiperemis,
terdapat sekret (+/+) dan konka inferior hipertrofi (+/+), selain itu terdapat nyeri tekan
pada kedua pipi.
2.7. Diagnosis Banding
2.7.1. Sinusitis maksilaris
2.7.2.Rhinitis alergi
2.8. Diagnosa Kerja
Rinosinusitis Maksilaris
2.9. Pemeriksaan Penunjang
Nasoendoskopi
2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Nonmedikamentosa
2.10.2. Medikamentosa
Antibiotik : cefixim
Mukolitik : Ambroxol
Analgetik : Asam mefenamat
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Epidemiologi
Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering
juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan
kesehatan tersering di dunia.2 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa
penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peningkat utama
atau sekitar 102.8 17 penderita rawat jalan di rumah sakit.2 Survei Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan
PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. 2 Data
dan Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah
pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% nya adalah sinusitis.2
Penyebab utamanya ialah infeksi virus yang kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksila. Yang
berbahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini
terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tak dapat dihindari.2
3.2 Definisi
Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal
yang dapat berupa sinusitis maksilanis, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis
sfenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus
terkena disebut pansinusitis.2 Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,
sedangkan sinus frontal lebih jarang dari sinus sphenoid lebih jarang lagi.2
3.3 Anatomi
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
Terdapat empat pasang sinus paranasal menurut letaknya yaitu sinus maksilanis, sinus
frontalis, sinus ethmoidhalis, sinus sfenoidalis. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung
melalui ostium masing-masing. Menurut muaranya sinus dibagi menjadi dua yaitu anterior
dan posterior dimana sinus anterior adalah sinus frontalis, sinus ethmoidalis anterior, sinus
maksilaris sedangkan sinus posterior terdiri dari sinus ethmoidalis posterior dan sinus
sfenoidalis.2
14
15
Secara embrologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dan sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sphenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga
hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar pada usia antara 15-18 tahun.2
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior
rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dan sinus
maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.2
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid.2
Fungsi sinus paranasal adalah :2
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Membantu keseimbangan kepala
Membantu resonansi suara
Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Membantu produksi mucus
3.3.1 Sinus Maksilaris2
Merupakan sinus oaranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml,
sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ujuran maksimal,
yaitu 15 ml saat dewasa.
Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dan prosesus maksilaris arcus I.
Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada
para zygomaticus maxillae.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial Os maksila yang disebut fossa kanina,
dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya
ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding
inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dan anatomi sinus maksila adalah
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akan gigi rahang atas, yaitu
16
premolan (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita;
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dan dasar sinus, sehingga drenase hanya
tergantung dan gerak silia, lagi pula drenase juga harus melalui infundibulum yang
sempit.
3.3.2 Sinus Ethmoidalis 2
Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dan 7-15
cellulae, dindingnya tipis.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dan anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5
cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, yang terdapat di dalam massa
bagian lateral Os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial
orbita.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan
lempeng yang menghubungkan dengan posterior konkan media dengan dinding
lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih
besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Berhubungan dengan :
Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika terjadi
infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefahitis
dsb).
Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada
sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga
terjadi Brill Hematoma.
Nervus Optikus
17
18
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu de meatus medius ada muara saluran
sinus maksilaris, sinus frontalis dan sinus ethmoidalis anterior. Daerah ini rumit dan sempit
dan dinamakan kompleks osteo-meatal terdiri dan infundibulum ethmoid yang terdapat di
belakang prosessus uncinatus, resesus frontalis, bula ethmoidalis dan sel-sel ethmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.2
3.3.6 Septum Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan patut
lender di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lender
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tentu polanya. 3
Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus anterior bergabung di infundibulum ethmoid dialirkan ke
nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung dengan resessus sfenoidalis dialirkan ke nasofaring di postero-superior
tuba. Inilah sebabnya sinusitis didapati sekret pasca-nasal tetapi belum tentu ada pada rongga
hidung.3
3.3.7 Mukosa Hidung
Mukosa hidung terletak di dalam rongga hidung (kavum nasi). Luas permukaan kavum
nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml Permukaan kavum nasi dan sinus
paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan.
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fngsional dibagi atas dua
tipe yaitu mukosa penghidup (mukosa olfaktorius), dan sebagian besar mukosa pernafasan
(mukosa respiratori). Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan
dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa respiratorius terdiri atas epitel,
membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D & Wardani RS, 2007)
Permukaan
kavum
nasi
dan
sinus
paranasal
dilapisi
oleh
mukosa
yang
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung
dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak
bersilia, sel basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe
olfaktorius dan sebagian besar tipe respiratorius. Mukosa olfaktorius terdapat pada
permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan
mukosa respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia (Ballenger, 1994;
19
Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi sesuai
dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel. Pertama sel
torak bertapis semu bersilia (pseudostratified columnar epithetium) yang mempunyai 50-200
silia tiap selnya. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang sebagian besar
berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel
yang diperlukan untuk kerja silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat
(yang mempunyai mikrovili).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah
vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel
yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut vibrissae.
Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia
terutama pada ujung anterior konka dan ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah
inspirasi maka epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada
meatus media dan inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan
tersusun rapi.
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang
berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah nasofaring.
Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing pada permukaan sel
yang menghadap ke lumen. Mikrovili ini besarnya 1/3 silia dan mempunyai inti sentral dari
filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya mungkin untuk promosi ion dan
transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel. Disamping itu juga memperluas
permukaan sel.
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak pernah
mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel goblet yang telah
mati.
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena aliran
udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel
skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena
dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan
oleh kelenjar mukosa dari sel-sel goblet.
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya lebih tipis
20
dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir
kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak ditemukan didekat ostium.
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam sel
seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam jaringan
ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf parasimpatis.
3.4 Etiologi
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen), gigi dan
gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga
dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam.2
Bebenapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostiomeatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartagthen, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis-kistik.2
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
serta kebiasaan merokok. Keadaam ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan
menusak silia.2
3.5 Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas : 2
1. Sinusitis akut
2. Sinusitis subakut
3. Sinusitis Kronis
21
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobiat dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan.2
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga
menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal
yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non
bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang
tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiptikasi
bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, potipoid atau pembentukan polip dan kista.2
3.7 Diagnosis
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
3.7.1 SINUSITIS AKUT
A. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh inieksi saluran pernafasan atas (terutama pada
anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.5
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal
yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring
(post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hal, nyeri di daerah
sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.6
1. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi
oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) tetak ostiumnya lebih
tinggi dan dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksita hanya tergantung
dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila
22
terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah
tersumbat.4
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah
yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang
menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan
telinga.6
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya
sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.
Batuk initatif non produktif seringkahi ada.7 Nyeri meningkat pada waktu sore hari
minimal pada waktu pagi hari. Hal ini disebabkan karena ostium sinus berada pada
atap sinus, sehingga pada malam hari dimana penderita kebanyakan dalam posisi
berbaring, isi sinus dapat keluar tetapi pada siang hari dimana penderita kebanyakan
pada posisi berdiri akan menyebabkan sekret sulit keluar, sehingga menumpuk dalam
sinus.
2. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi
sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidahis (lamina papirasea)
seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis
orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap
sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadangkadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih
di pe1ipis posi nasal drip dan sumbatan hidung.7
3. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidatis
anterior.6
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan membunuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-
23
24
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus
yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau
meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora
normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus,
staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau
jamur.4
3.7.2 SINUSITIS SUBAKUT
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam,
sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.4
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus
yang sakit, suram atau gelap.4
A. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post
nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
25
Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
Ada nyeri atau sakit kepala.
Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
B. Gejala Obyektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan
pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dan meatus
medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis
yang hampir selalu menyertai sinusitis frontatis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini
dapat menyertai poliposis hidung kronis.
C. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.
aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso
bakterium.
Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah
sinus yang terinfeksi terhihat suram atau gelap. Transiluminasi menggunakan angka
26
Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan
Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang
petrosus supaya tertetak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan
kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini
terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroantenor untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus
frontal, sphenoid dan etmoid.
Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus,
apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana
keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat
perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi
terganggu.
27
homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan
sklenotik (pada kasus-kasus kronik).
3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 SINUSITIS AKUT
Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae
dan Haemophilus influenzae.8 Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik
empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik
untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikostenoid topikal. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada
perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanatlampisilin sutbaktari, cephalosponin generasi II, makrotid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan
terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni
evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret
tertahan oleh sumbatan.
3.8.2 SINUSITIS SUBAKUT
Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum tuas atau yang sesuai
dengan resistensi kuman selama 10 - 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis
berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan
mukolitik.
28
Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short
Wave Diathermy) sebanyak 5 - 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan fungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan
pencucian sinus cara Pnoetz.3
3.8.3 SINUSITIS KRONIS
Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai
dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi
10-14 hari.
Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini
II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan
antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik
mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan
naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi
kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
Pada sinusitis maksila dilakukan fungsi dari irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
Pembedahan
Radikal
29
3.9 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat
infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus
rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
1. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilans juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi
sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan lini terutama ditemukan pada anak, karena
lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali
merekah pada kelompok umur ini.
Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan
kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang
makin bertambah.
30
b. Kemosis konjungtiva.
c. Gangguan penglihatan yang berat.
Kelemahan pasien.
2. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus,
kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista
retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan
sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur
sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau
fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista
dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf
didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
3. Komplikasi Intra Kranial
Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intra kranial.
Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
31
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
4. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik
berupa malaise, demam dan menggigil.3
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Rhinosinusitis adalah peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilanis, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sfenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis,
dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis.Yang paling sering terkena ialah
sinus etmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dari sinus sphenoid
lebih jarang lagi.
Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi dari hidung (rinogen),
gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta penyebaran hematogen walaupun jarang.
Sinusitis juga dapat terjadi akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau
menyelam.
Bebenapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostiomeatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagthen, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis-kistik.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin
dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaam ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan menusak silia.
Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di meatus superior. Pada
rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering adanya
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinussinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,
batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
32
33
4.2.
Saran
Rinosinusitis seringkali menyebabkan gangguan penciuman. Sebagai dokter,
maka perlu diberikan penjelasan tentang penyakit, komplikasi, serta pilihan terapi
baik dengan obat maupun tindakan pembedahan. Dokter juga harus memberikan
informasi tentang hal-hal yang dapat menyebabkan kambuhnya penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.entdocton.com.sg/articles/pengobatan-sinusitis-sistem-balon.html
http://kedokteran.spot.com/2008/04/referat-kedokteran.html
34