Você está na página 1de 2

Tanggapan terhadap Berita di Harian ”Analisa” Medan

Anjuran Pembuatan Perda AIDS yang Tidak Melihat Realitas Epidemi HIV

Oleh Syaiful W. Harahap*

Berita ”Brilian Moktar: DPRDSU Wacanakan Perda Ibu dan Anak Serta Penanggulangan
HIV/AIDS” di Harian ANALISA edisi 15 Maret 2010 lagi-lagi menunjukkan banyak
yang tidak berpijak pada pengalaman empiris.

Sampai sekrang sudah ada 33 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota
yang menelurkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Hasilnya? Nol besar!

Mengapa perda-perda AIDS itu tidak berhasil? Salah satu penyebabnya adalah pasal-
pasal pencegahan dan penanggulangan HIV dalam perda-perda itu hanya mengedepankan
moral dan agama sehingga tidak menyentuh akar persoalan. HIV dan AIDS adalah fakta
medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara
penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis.

Anjuran Ketua Komisi E DPRD Sumut, Brilian Moktar, itu bertolak dari hasil kunjungan
kerja mereka ke Nusa Tenggara Barat (NTB). Memang NTB sudah membuat Perda
penanggulangan AIDS yaitu Perda No. 11/2008. Perda ini merupakan yang ke-27 dari 33
perda yang ada di Indonesia.

Dalam Perda Pananggulangan AIDS Prov NTB pun tidak ada cara-cara pencegahan yang
realistis. Yang ada justru menyuburkan mitos. Pada pasal 4 ayat a disebutkan: ”Upaya
pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan promosi yang meliputi
komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup
bersih dan sehat.” Ini mengesankan kehidupan orang-orang yang tertular HIV tidak
bersih dan sehat. Akibatnya, pasal ini mendorong stigmatiasi (pemberian cap buruk) dan
diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Sedangkan pada pasal 11 ayat 1 disebutkan: ”Masyarakat bertanggungjawab untuk


berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta
perlindungan terhadap ODHA dan OHIDA dengan cara (a) berperilaku hidup sehat, (b)
meningkatkan ketahanan keluarga. Ini pun mendorong stigmatisasi dan diskriminasi
terhadap Odha. Di pasal 13 ayat 2 a disebutkan: ”meningkatkan kesehatan masyarakat
sehingga mampu mencegah dan menanggulangi penularan HIV dan AIDS.”

Ditilik dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara ’hidup bersih dan sehat’ dengan
penularan HIV. Yang perlu diatur dalam perda adalah perilaku (seks) yaitu mencegah
agar penduduk tidak melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV. Perilaku berisiko
adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di NTB,
di luar NTB atau di luar negeri dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) melakukan
hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, di NTB, di luar NTB atau di
luar negeri dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Pertanyaannya adalah apakah ketua dan anggota Komisi E DPRD Sumut itu membaca
Perda AIDS NTB dan melihat realitas epidemi HIV di masyarakat NTB? Kalau ini
dilakukan tentulah tidak akan muncul anjuran untuk membuat perda karena hasilnya juga
akan sama dengan NTB dan daerah lain yang sudah mempunyai perda AIDS.

Alasan Komisi E mendesak Pemprov Sumut untuk membuat perda AIDS adalah karena
”Karena angka kematian akibat AIDS di Sumut sudah sangat tinggi.” Bagaimana perda
bisa menurunkan angka kematian terkait AIDS? Kalau mengacu ke perda-perda yang
sudah ada maka sama sekali tidak ada perda yang menawarkan cara-cara pencegahan
HIV yang konkret. Itu artinya angka kematian terkait AIDS akan terus bertambah seiring
dengan jumlah penduduk yang tertular HIV.

Kalau memang DPRD Sumut dan Pemprov Sumut ingin menjadikan perda sebagai
’senjata’ untuk menurunkan insiden penularan HIV maka dalam perda harus ada pasal
yang berbunyi: ”Setiap penduduk wajib memakai kondom jika melakukan hubungan
seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.” Selanjuta ada pula pasal yang memutus
mata rantai penyebaran HIV yaitu: ”Setiap penduduk yang pernah melakukan hubungan
seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti
atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”

Apakah DPRD Sumut dan Pemprov Sumut bernyali untuk memasukkannya ke dalam
perda AIDS? Kita tunggu. ***

* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro”


Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).

Você também pode gostar