Você está na página 1de 57

ENSIKLOPEDIA ISLAM

“ INDAHNYA SHALAT “
METRO TV

RAMADHAN 1429 H
Bersama
USTADZ ABU SANGKAN

2008
Allahu Akbar

Setiap mukmin tentu menyadari, bahwa kita adalah makhluk yang lemah, makhluk tidak
berdaya, yang tidak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali bila kita diberi pertolongan dari-Nya.
Dialah Allah Yang Maha Besar, Dialah Allah Yang Menguasai alam semesta beserta seluruh
isinya. Sikap hamba yang pasrah, dengan menyerahkan dan menyandarkan segala urusan kepada
Allah adalah sikap utama dalam Islam.

Dalam Islam, sikap pasrah, yang dibarengi kesadaran akan keagungan dan kebesaran Allah,
disebut dengan takbir; Dan simbol takbir disampaikan dengan mengucapkan kalimat ALLAHU
AKBAR; yang artinya Allah Maha Besar. Kalimat Takbir terdiri dari dua kata, yaitu kata Allah
dan kata Akbar. Lafadz Allah merupakan salah satu dari nama-nama Tuhan. Asma Allah adalah
lafadz yang disebut sebagai ismul’jami’, yang berarti nama yang mengumpulkan; artinya kalimat
ini berfungsi mengumpulkan atau memuat seluruh asma-asma Allah yang lain. Sedangkan lafadz
Akbar, yang merupakan salah satu dari Asmaul Husna adalah kata yang berbentuk Tafdil atau
Superlative yang berarti Maha Besar.

Dengan mengatakan bahwa hanya Allah semata yang Maha Besar, maka secara langsung,
ungkapan ini meniadakan setiap perasaan atau kesadaran diri yang merasa besar, hebat, atau apa
pun. Dari Takbir pula menegaskan bahwa kita sama sekali diharamkan untuk sombong, angkuh
atau membanggakan diri. Karena takbir berasal dari kata kabbara-yukabbiru-takbiran, sedangkan
kata takabbur berasal dari kata takabbara-yatakabbaru-takabbaruran, artinya merasa paling besar
atau sombong. Dan sifat ini tidak boleh dimiliki oleh manusia kecuali hanya Allah saja yang
berhak untuk membanggakan dirinya atas seluruh kekuasaa Nya yang Dia ciptakan. Maka dari
itu Allah menuntun kita untuk menyadari akan hal ini dengan melakukan takbir dalam shalat.
Agar kita menjadi orang yang selalu merendahkan hati terhadap Allah maupun terhadap sesama.

Karena Takbir adalah sikap pasrah, tunduk, sekaligus kepatuhan, maka pantas bila dalam ibadah
sholat, sikap pertama yang harus dilakukan adalah Takbir. Dalam ibadah sholat, Takbir
dilakukan bukan hanya dengan mengucapkan kalimat Allahu Akbar, tapi dipertegas dengan
mengangkat kedua tangan kita sebagai penyerahan total kepadaNya. Dan ucapan takbir apabila
dilakukan dengan penuh kesadaran dan menyadari apa yang diucapkan. Adalah ungkapan
penafian atau meniadaan atas sifat diri dari sifar takabbur. Ucapan takbir ini dilafaadzkan pada
saat berdiri takbiratul ihram, pada saat ruku’, menuju sujud, menuju duduk iftirasy, dan menuju
duduk tahiyyat, setidaknya 94 kali dalam sehari semalam. Mustahil jika seseorang shalat namun
tidak ada perubahan yang lebih baik dari sifat takabbur yang ada dalam hatinya, sesungguhnya
pada hakikatnya ia belum bertakbir.
Rasulullah bersabda: “ya’tii ‘alannaasinzamanun yushalluna wala yushalluun”. Artinya: Akan
datang satu masa atas manusia mereka melakukan shalat namun pada hakikatnya mereka tidak
shalat ( HR. Ahmad). Shalat yang demikian terjadi tehadap orang-orang munafiq, yaitu apabila
dia berdiri shalat sesungguhnya hanya mempermainkan Allah. Sebagaimana Al qur’an telah
menggambarkan shalatnya orang-orang munafiq, bahwa apabila ia berdiri shalat hanyalah
menipu Allah. Orang-orang munafiq tersebut apabila berkata dihadapan Allah tetapi hatinya
tidak mengikuti apa yang diucapkan.

Innal munafiqiina yukhadi’unallah wa hua khadi’ihum, idza qaamuu ilash shalati qaamuu
kusalaa, yuraauuna annasa wala yadzkurunallaha illa qaliila (QS. An Nisaa' [4] : 142)
Hal inilah penyebab utama mengapa banyak orang shalat namun tidak ada perubahan dari sifat-
sifat buruknya, bahkan makin tidak berakhlak. Mereka melakukan shalat akan tetapi tidak
dilakukan dengan sepenuh hati. Karena didalam shalat harus melibatkan seluruh aspek gerak,
hati dan pikiran tertuju kepada Allah, yang disebut lillahita’ala. Sebagaimana diucapkan dalam
bacaan doa iftitah, inna shalati wanusuki, wamahyaya, wamamati lillahirabbil’alamin.

Dan mengapa Allah melarang orang-orang shalat secara tegas bagi yang tidak menyadari apa
yang diucapkan. Laa taqrabuush shalata wa antum sukara hatta ta’lamu ma taquuluun. Artinya:
janganlah kamu mendekati shalat, sedangkan kamu dalam keadaan tidak sadar (mabuk),
sehingga mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS. An Nisaa’ [4] : 43).
Hal ini mudah difahami, alangkah naifnya seseorang jika berbicara namun tidak mengerti dan
tidak menyadari apa yang diucapkan. Barangkali orang akan disebut “gila” jika berbicara kepada
seseorang yang dihormati namun tidak menyadari apa yang diucapkan. Apakah kita tetap akan
mengatakan bahwa shalat kita benar-benar telah sadar atau hanya mempermainkan Allah.
Sesungguhnya kita berkata dan bermunajat kepada Tuhan Yang merajai seluruh makhluk.
Masihkah kita akan berbicara “mengigau” setiap berdiri shalat ? Dan hal ini kita lakukan setiap
saat melaksanakan shalat.

Mari kita kembali mengevaluasi shalat kita selama ini. Dan menyadari mengapa shalat kita tidak
memberikan efek yang lebih baik dari kehidupan kita. Shalat bukanlah berkonsentrasi kepada
suatu benda sebagaimana pengertian umum selama ini. Akan tetapi merupakan jalan berdialog
dengan Allah yang Maha Mendengar dan Maha Dekat. Dan Tuhan akan merespons apa saja
yang diucapkan dalam setiap doa-doa kita. Tidak ada alasan untuk mengatakan tidak bisa
khusyu’ dalam berdialog dengan Rabb seru sekalian alam. Karena sesungguhnya dialog atau
berbicara bisa dilakukan oleh siapapun yang sadar. Dialog dalam shalat berarti doa, yaitu
mengungkapkan perasaan seperti memohon kemudahan rejeki, memohon ampunan, memohon
petunjuk dan yang lainnya.

Bismillahirrahmarirrahim

Bagi setiap muslim, tentu sangat akrab dengan satu lafadz yang senantiasa dibaca dalam berbagai
aktivitas keseharian; lafadz tersebut adalah: BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM yang artinya
"Dengan Menyebut Asma Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang" . Mengucapkan
"Basmallah" sangat dianjurkan ketika hendak memulai suatu urusan yang baik seperti makan,
hendak minum, naik kendaraan, membaca Al Qur'an dan sebagainya. Rasulullah bersabda: setiap
perkara yang baik tidak dimulai dengan bismillahirrahmanirrahim, maka dia terputus. (HR. Al
Khatib) (lihat Aqimusshalah hal 215), As siraj al lMunir, jilid 3, hal 86)

Pada lafaz Rahman dan Rahim, meski keduanya berasal dari Asmaul Husna; namun masing-
masing memiliki titik tekan yang berbeda; Rahman adalah cinta kasih Tuhan untuk menjadikan
sesuatu kepada hamba-hambaNya; sedangkan Rahim adalah cinta kasih Tuhan untuk
menyempurnakan segala apa yang diberikan kepada hamba-hambaNya.

Terlepas apakah Bismillah menjadi bagian dari surat Al Fatihah dalam Alquran atau tidak;
kalimat Bismillahirrahmanirrahim memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ibadah shalat.
Perbedaan ekspresi dalam mengucapkan Bismillah hanya pada masalah diucapkan
(diartikulasikan) atau cukup di hati saja. Ada dua pendapat mengenai bacaan
"bismillahirrahmanirrahim" di saat membaca surat Al Fatihah dalam shalat. Dibaca dengan suara
jahar (keras) atau dibaca dengan suara sirr (pelan).

Pendapat yang membaca Basmalah dengan dijaharkan berasal dari riwayat Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah senantiasa menjaharkan Basmallah pada dua surat sampai dia wafat (HR Daruqutni);
Lihat Sunan Daaruqutni, jilid 1, juz 1 hal 304).
Diriwayatkan dari Nu'man Al munir. Aku pernah Shalat dibelakang Abu Hurairah ra. Maka ia
membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian dibacanya ummul Al qur'an (surat Alfatihah) dan
didalam hadist tersebut tatkala mengucapkan salam dia berkata. Demi Tuhan yang diriku berada
dalam genggaman kekuasaan-Nya. Sesungguhnya shalatkulah yang paling mirip dengan
Rasulullah (HR. An Nasai) - Sunan An Nasai, jiid 1, juz 2, hal 134.

Pendapat kedua, membaca Basmalah dengan pelan (sirr).


Dari Anas ra. Berkata: aku dengan Rasulullah saw dengan Abu bakar, Umar dan Usman, tetapi
aku tidak pernah mendengar mereka membaca "bismillahirrahmanirrahim" (HR. Imam Muslim)

Dari Anas ra bin Malik. berkata: Aku biasa Shalat dibelakang nabi saw. Di belakang Abu Bakar,
Umar dan Usman. Mereka hanya memulai bacaaan dengan "alhamdulillahi rabbil 'alamin" dan
tidak pernah kudengar mereka membaca bismillahirrahmanirrahim pada awal bacaan (alfatihah)
dan tidak pula pengahabisannya.( HR, imam Muslim).
Didalam ensiklopedi Nurcholis Majid hal. 362 menyebutkan, bahwa dalam shalat membaca Al
Fatihah bukanlah suatu persoalan, sedangkan bismillahirrahmanirrahim termasuk di dalam surat
Al Fatihah atau tidak, masih diperselisihkan. Kalau mengambil berbagai pendapat mengenai
surat Al Fatihah, maka yang wajib betul dibaca dalam shalat adalah dimulai dengan
"Alhamdulillah" sampai "wa la al dhallin", sedang membaca "bismillah"-nya tidak wajib.

Pemahaman ini tidak berarti mengatakan bahwa bismillah bukan dari Al Qur'an. Bahwa
bismillah bagian dari Al qur'an memang betul, yaitu terdapat dalam surat Al Naml, yang
menceritakan tentang surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis dari Sulaiman dan dimulai dengan
kalimat sebagai berikut, "Dengan nama Allah Maha Pemurah, Maha Pengasih” (QS,27:30).
Sebelum surat ini turun, ketika hendak membaca Al Qur'an, Nabi membaca "bismikallahumma".
Jadi bismillah pada awal surat yang turun sebelum Al Naml merupakan tambahan dari Nabi. Ini
sekedar untuk menjelaskan kenapa ada orang yang membaca bismillah dengan keras dan ada
yang tidak dalam shalat. Persoalan ini saya kira sudah selesai masalahnya, tidak perlu kita
perdebatkan.

Kita akan mengambil makna dari surat Al Fatihah yang dibaca pada awal berdiri dalam shalat.
Yaitu diawali kalimat "bismillahirrahmanirrahim", Dengan Nama Allah Yang Maha pengasih
dan Maha Penyayang . Sebenarnya mengandung bentuk kesadaran yang dalam bagi asal usul
penciptaan manusia. Yaitu tentang tujuan Allah menciptakan “manusia” untuk dijadikan
"khalifah" dimuka bumi ini. Suatu penghormatan tertinggi atas manusia yang diberi kelebihan
kedudukan diatas malaikat dan iblis. Maka dari itu, manusia memiliki kekuasaan untuk mengatur
dan memelihara kelangsungan hidupnya maupun alam sekitarnya.

Hal inilah yang dikatakan oleh Nabi, bahwa barang siapa yang tidak membaca
"bismillahirrahmanirrahim" dalam setiap pekerjaannya sesungguhnya mereka telah terputus.
Artinya manusia telah mengkhianati akan tugas yang diberikan kepadanya, bahwa setiap
kebaikan yang dilakukan seharusnya mengatasnamakan Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang, bukan mengatasnamakan dirinya atau keluarganya. Dan didalam menjalankan tugas
mulia ini, Allah mengingatkan bahwa sesungguhnya manusia adalah "Duta Besar" Allah yang
diutus untuk mengurus bumi dan seisinya. Karena sebagai duta besar Allah, maka setiap urusan
harus dimulai mengucapkan "bi ismillah" (Atas Nama Allah) bukan "bi ismii" (Atas nama diri
sendiri).

Itulah mengapa didalam shalat dimulai dengan membaca surat Al Fatihah. Didalamnya
terkandung pujian dan doa untuk memohon petunjuk dalam menjalankan tugas sebagai khalifah.
Agar tidak menyimpang dari ketentuan Allah, yaitu jalan yang lurus dan bukan jalan orang-orang
yang sesat, iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin, ihdina as shiratal mustaqiim, shirata alladzina
an'amta 'alaihim, ghairil maghdhubi 'alaihim wa la adhaliin ..... Dengan memaknai pujian dan
doa dalam surat Al Fatihah ini, sebenarnya seorang yang menyadari atas bacaan Al Fatihah, akan
dibentuk kesadarannya sebagai hamba Allah yang sangat akrab dengan Tuhannya. Disaat
mengucapkan makna "kepada-Mu aku menghamba (ibadah) dan kepada-Mu aku memohon
pertolongan", serta "memohon petunjuk atas jalan terang (hidayah) dari kegelapan pikiran
maupun hati". Apabila seseorang membaca dan memaknai dengan benar atas dialog yang
disampaikan, pastilah orang-orang yang shalat selalu mendapatkan tuntunan dalam hidupnya dari
Allah Swt.

Cahaya Ilahy

Islam adalah agama wahyu yang diturunkan Allah untuk umat manusia. Berbagai ayat atau tanda
bertebaran bukan hanya pada teks-teks Alquran tapi juga pada seluruh ciptaanNya. Allah dalam
memberikan ayat-ayat Nya selalu menyajikan dengan kemasan yang sangat indah, simbolik,
namun sarat makna. Dan semua itu hanya bisa dimengerti oleh hamba-hambaNya yang
dibersihkan hatinya.

Di antara perlambang yang seringkali digunakan Allah adalah cahaya. Dalam Surat An-Nur ayat
35, Allah berfirman:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti
sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Biasanya simbol cahaya (nur) digunakan untuk merefleksikan makna hidayah atau petunjuk.
Sebagaimana sinar matahari yang menerangi bumi sehingga manusia dapat melakukan banyak
hal di muka bumi. Cahaya atau petunjuk dalam Islam disebut dengan Hidayah. Oleh Allah,
setiap hamba sangat dianjurkan untuk selalu meminta hidayah kepadaNya, karena hanya Allah
yang memiliki dan memberikan hidayah kepada kita. Dan cara terbaik memohon hidayah
kepadaNya adalah melalui ibadah shalat.
Pada dasarnya shalat adalah satu upaya bagi hamba untuk selalu memperoleh petunjuk dan
bimbingan dariNya. Karena tugas manusia sebagai khalifah adalah menjaga semesta ini, maka
sesungguhnya setiap manusia selalu membutuhkan bimbingan tentang bagaimana mengolah
semesta dan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, agar memberikan kemaslahatan bagi semua
pihak.
Hidayah Allah yang diberikan ketika shalat bermakna sangat luas. Hidayah atau cahaya Ilahy ini
dapat berupa apa saja, menyesuaikan dengan peran kekhalifahan yang diemban setiap hamba.
Terkadang, hidayah itu berupa inspirasi, gagasan, imajinasi, pemikiran-pemikiran atau
kreativitas yang kemudian dapat memberikan kebahagiaan kepada sesama manusia. Akhirnya,
bila setiap hamba mau merenungkan lebih jauh, apa pun profesi atau bidang yang digeluti, maka
shalat dapat menjadi media efektif kita untuk mempertajam daya pikir, daya juang, daya kreatif,
hingga emosi kita dalam menapaki roda kehidupan ini.
Allah adalah cahaya diatas cahaya, Dia-lah yang mengeluarkan manusia dari kegelapan
(dhulumat) menuju terang (An Nur).

Ada dua jalan terang (An Nur) yang diturunkan Allah kepada manusia, yaitu berupa kitab suci
yang tertulis (Al Qur'an) dan berupa ilham yang diturunkan kedalam hati tidak berbentuk tulisan.
Namun keduanya tidak bisa dipisahkan, karena masing-masing saling membenarkan petunjuk
tersebut. Wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai landasan
kebenaran yang akan dialami bagi orang-orang beriman berupa ilham yang diturunkan kedalam
hatinya. Apabila hati orang-orang mukmin merasakan ketenangan ketika menyebut nama Allah,
maka sesungguhnya pengalaman ini telah selaras dengan keterangan dalam Al qur'an. Berarti
wahyu yang tertulis dengan petunjuk Allah yang dirasakan oleh orang-orang beriman adalah
sama . Kebanyakan orang hanya mampu memahami Al qur'an sampai batasan ilmu pengetahuan.
Sedangkan orang-orang beriman dalam memahami Al Qur'an, disamping memahami secara
tertulis juga memahami berupa cahaya ilahi yang diturunkan kedalam hatinya.

Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam
lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang-orang yang membatu hatinya)?
Maka celakalah yang membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka dalam kesesatan yang
nyata. (QS. AZ Zumar [39]:22)
Kenyataan ini telah dirasakan oleh hampir semua orang-orang Islam, bahwa ilmu agama sudah
dalam genggaman otaknya. Namun kemampuan untuk melaksanakan agama dan merasakan
amatlah sulit. Seperti rasa iman dan taqwa, secara umum orang bisa memahami dengan
pengetahuannya, namun hatinya belum tentu mampu merasakan iman yang apabila disebut nama
Allah bergetar hatinya. Innamal mukminuna alladzina idza dzukira allahu wajilat
quluubuhum.....(QS Al Anfaal [8]:2). Banyak orang shalat namun belum tentu merasakan
kenikmatan shalat, banyak orang berdzikir belum tentu mereka merasakan ketenangan hatinya.
Dan Allah telah menegaskan bahwa semua petunjuk Allah dalam Al qur'an mengarahkan kita
untuk memohon pertolongan kepada Allah dalam beribadah, karena tidak seorangpun yang
mampu beribadah tanpa pertolongan Allah melalui cahaya-Nya (iyyaka na'budu wa iyyaka
nasta'in) Baik membersihkan hati dari kekejian dan kemungkaran, kesabaran, dan ketaqwaan.
Semuanya harus melalui tuntunan ilahy dengan cahaya yang menyinari. Sebab tanpa tuntunan-
Nya mustahil kita mampu berbuat baik.

Wa nafsin wama sawwaha fa alhamaha fujuraha wataqwa. Demi jiwa dan penciptaannya,kepada
jiwa itu diilhamkan jalan keburukan dan jalan ketaqwaan.(QS Asy Syams [91]:7-8).

....wash bir wa ma shabruka illa billa. Bersabarlah kamu, akan tetapi kamu tidak akan bisa sabar
kecuali dengan pertolongan Allah ( QS An Nahl [16]:127).

Kalaulah tidak ada kekuatan dan rahmat Allah, tidak ada diantara kalian yang mampu bersih hati
selamanya, kecuali Allah yang akan membersihkan hati siapa saja yang dikehendaki. ( QS.
Annur [24]: 21)

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS. Yusuf
[12]:53)

Al Qur'an telah menyadarkan kita, bahwa tidak ada satupun orang mampu berbuat baik, kecuali
melalui tuntunan hidayah-Nya. Inilah spiritualitas yang hadir sejak menusia diturunkan kemuka
bumi. Spiritual adalah relasi sejarah yang pernah terjadi pada saat manusia mengambil saksi atas
adanya Allah dan sanggup menerima tugas kekhalifahan dimuka bumi.

Alastu birabbikum ? Qaaluu balaa syahidna.... Bukankah Aku ini Tuhanmu, tentu ya Allah kami
bersaksi atas keberadaan-Mu....(QS. Araaf [7]:172)

Kesadaran spiritual ini menunjukkan, bahwa didalam menjalankan kehidupan dimuka bumi,
memerlukan petunjuk langsung dari Allah melalui shalat untuk mendapatkan informasi berupa
intuisi atau melalui ayat-ayat Allah yang tertulis. Hal ini yang dilakukan oleh Nabi Muhamad
pada saat mengalami problem, beliau melakukan shalat untuk mendapatkan petunjuk dan
bimbingan dalam menyelesaikan masalahnya.

Fai dza hazabahu amrun faza'a ilash shalati .

Do'a

"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang


menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina
dina". (QS. Al Mu'min [40]: 60).

"Doa adalah senjata orang yang beriman dan tiangnya agama serta cahaya langit dan bumi".
(HR. Hakim);

Doa adalah bentuk permohonan seorang hamba kepada Allah SWT. Doa juga menjadi salah satu
cara manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan Sang khalik. Doa merupakan inti ibadah
sekaligus menjadi senjata bagi orang-orang beriman. Doa juga menjadi kunci bagi terbukanya
pertolongan Allah SWT.

"Shalat adalah do'a", demikian menurut sebuah hadis. Ibadah shalat, yang dimulai dari takbir dan
ditutup dengan salam, di dalamnya banyak memuat ungkapan-ungkapan yang mengandung
pujian dan doa. Karena prinsipnya, shalat menjadi cara hamba untuk menunjukkan kebaktian dan
permohonan kepada Sang Khalik. Hakikat doa adalah penuntun bagi seseorang untuk mengubah
dirinya agar menjadi lebih baik. Allah SWT berfirman dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat
186,
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya
Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran".
Al Baqarah ayat 201,
"Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".

Dalam Al Quran surat Al A'raaf ayat 55 Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk berdoa
dengan sikap merendahkan diri dan suara yang lembut,

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".
Namun, selain keharusan berdoa dengan merendahkan diri dengan suara yang lembut, kita juga
harus memiliki adab dan tata cara berdoa yang benar. Yakni memelihara keyakinan di dalam
hati, bahwa doa kita akan dikabulkan, bersungguh-sungguh dalam berdoa, berbaik sangka
kepada-Nya, dan mengulang-ulang doa sebanyak mungkin.
Sikap doa ini telah diajarkan nabi pada waktu duduk iftirasy dalam shalat, diawali memohon
ampunan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan (rabbighfirli) , memohon dikasihani
(warhamni),memohon ditutup aib kesalahan diri (wajburni),memohon diangkat derajat hidup
didunia dan diakhirat (warfa'ni), memohon dilimpahkan rejeki (warzuqni), memohon diberi
petunjuk dan tuntunan (wahdini),memohon diberikan kesehatan lahir dan bathin (wa afini) dan
memohon ampunan atas segala kehilafan (wa'fuanni).

Doa-doa ini diucapkan secara berulang-ulang memberikan dampak kepada mental dan spiritual
seseorang apabila dilakukan dengan serius, bukan sekedar membaca. Mengapa demikian?
Karena doa yang diucapkan dengan jelas dan diulang-ulang akan tersimpan dalam memori otak
si pendoa. Apabila diniatkan oleh hatinya, akan mempengaruhi respons otak yang
menghantarkan impuls listrik keseluruh syaraf otak dan seluruh tubuhnya. Kalau sudah tertanam
dalam pikiran bawah sadarnya, akan bekerja secara otomatis mempengaruhi gerakan otot, tulang
dan organ tubuh yang lainnya. Karena otak telah diprogram secara terus menerus berupa kata-
kata positif. Dan program inilah yang menggetarkan seluruh syaraf yang mendorong sekujur
tubuh dan pikirannya untuk berbuat seperti yang telah ditanamkan berulang-ulang. Karena otak
merupakan motor penggerak yang memiliki jaringan listrik yang amat rumit ke seluruh anggota
tubuh manusia. Motor menggerak ini bekerja atas informasi yang ditanamkan melalui data yang
tersimpan dalam memori otaknya. Data ini menghasilkan gerak reflek tanpa harus dikendalikan
pikiran sadarnya. Maka dari itu, mengapa shalat harus dilakukan dengan sadar dan mengerti apa
yang diucapkan. Karena akan mempengaruhi gerakan perilakunya sesuai data yang ditanamkan
secara berulang-ulang tersebut. Apabila didalam menjalankan shalatnya tidak dilakukan dengan
serius dan tidak diinginkan oleh hatinya, maka gerakan bawah sadarnya juga akan terjadi sesuai
data yang kita masukkan dalam pikiran kita, yang disebut Neuro Linguistic Programing (NLP).

Shalat telah membentuk pikiran positif yang ditanamkan berulang-ulang dalam otak , sehingga
membentuk program bawah sadar menjadi karakter tubuh dan gerakan. Apabila shalat dilakukan
dengan perasaan malas, maka akan tercipta secara otomatis tubuhnya menjadi malas untuk
melaksanakan shalat ketika mendengarkan suara adzan dikumandangkan. Demikian pula dengan
doa yang diulang-ulang. Seluruh tubuhnya akan merespons apa yang telah tertanam dalam
pikiran bawah sadarnya dan mempengaruhi perilakunya. Sehingga setiap saat dorongan dalam
bawah sadarnya akan berbuat seperti apa yang diinginkan dalam pikirannya. Misalnya, ketika
seseorang dalam doanya ingin mempunyai rumah atau mobil. Jika niatnya ditanamkam benar-
benar dari hatinya, maka otak akan merespons niat kita tersebut sehingga disimpan dalam
memori.
Dari memori terjadi pemrograman yang akan menggerakkan seluruh syaraf pada otak. Dan
syaraf akan mengendalikan tubuh untuk berbuat secara otomatis untuk meraih apa yang dicita-
citakan. Disamping itu, gelombang pikiran otak akan selalu bergetar yang dihantarkan oleh
gelombang elektromanetik yang akan memancarkan energi keseluruh alam. Getaran pikiran ini
akan selalu memancar tanpa henti menembus tanpa halangan. Sehingga dengan mudah pikiran
kita ditangkap oleh pikiran yang memancar pula dari pihak yang lain tanpa disadarinya. Dan
terjadilah proses hukum alam saling bertemu dalam gelombang yang sama. Pikiran positif akan
bertemu dengan pikiran positif, dan pikiran negatif akan bertemu dengan pikiran negatif. Inilah
yang dimaksudkan dengan The Law Of Atraction.
Di dalam berdoa, disamping pengaruhnya terhadap mental dan tubuh, juga terjadi hubungan
khusus dengan Sang Maha Pencipta. Ketika sesesorang memanjatkan doanya, ruhaninya
menembus tertuju kepada pusat energi yang paling tinggi, yaitu Allah Swt. Dengan melakukan
doa secara khusus dan penuh keyakinan, sesungguhnya ia sedang meraih energi Tuhan yang
selalu terpancar kepada jiwa orang yang mendekati-Nya. Energi Tuhan,hanya bisa turun kepada
hati yang pasrah dan merendahkan diri. Kekuatan pasrah akan menghasilkan intuisi dan
kecerdasan spiritual yang luar bisa.

Esa

Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dialah Tuhan seluruh makhluk, dan tiada sekutu bagiNya.
Dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 18 disebutkan:

"Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana ".

Pengakuan hamba terhadap keesaan Allah SWT tertuang dalam kalimat tauhid Laa ilaaha ilallah,
yang berarti tidak ada sesuatu (tuhan) yang berhak disembah kecuali Allah.

Dikisahkan dalam Hadis Riwayat Bukhari, dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda
kepada Mu'adz bin Jabal ra,

"Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah
".

Satu sikap penting dalam ibadah shalat adalah pengesaan seorang hamba akan Allah sebagai
satu-satunya Tuhan yang disembah. Ungkapan ini dirangkum dalam dua kalimat syahadat yang
selalu dibaca ketika dalam posisi tasyahud; baik tasyahud awal atau pun pada tasyahud akhir.

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan
langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui ". (QS. Al Baqarah [2]: 21-22).

Definisi ESA (tauhid) menurut bahasa adalah mengetahui bahwa sesuatu (Tuhan) itu satu.
Sedangkan secara umum, tauhid dipahami sebagai pengesaan Allah SWT. Agar dalam mengabdi
kepada-Nya tidak menduakan-Nya.

"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan satu jua pun dalam beribadat kepada Tuhannya. ".
(QS. Al Kahfi [18]: 110).

Pengesaan yang diungkapkan dengan kalimat Laa ilaaha ilallah (Tidak ada sesuatu yang kita
cintai atau kita sembah selain Allah); dalam hal ini bisa saja berupa anak kita, pasangan hidup
kita, ataupun pangkat, jabatan, materi berlimpah, maupun hobi, dan lain sebagainya, yang
kemudian menghantui dan menguasai pikiran kita.
Rasulullah diutus Allah, untuk memperbaiki kembali tatanan kehidupan manusia dalam
berketuhanan dan menyempurnakan syariat sebelumnya. Karena sepeninggal para nabi
sebelumnya, masyarakat telah banyak merubah konsep ketuhanan yang murni (hanif) menjadi
menuhankan para pendeta, rahib-rahib, bahkan menuhankan para nabi sang pembawa risalah.
Masalah ini telah terungkap dalam Al qur'an:

"Mereka itu menjadikan rahib-rahib dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah ..." [QS. At
Taubah [9]:31)
"Manusia menjadikan sesembahan selain Allah, dan mereka mencitai Tuhan seolah seperti
mencitai Allah. Sedangkan orang-orang mukmin mencitai Allah lebih dahsyat lagi ...." [QS. Al
Baqarah [2]:165)

Kemudian Al qur'an meluruskan kembali dengan menurunkan surat Al Ikhlas, qul huwa Allahu
ahad, Allahu ash shamad,.......

Keberhasilan Rasulullah untuk menciptakan kondisi kemurnian spiritual masyarakat Arab,


ditandai dengan pembersihan berhala-berhala yang disimpan di dalam Ka'bah. Langkah ini
menandakan agama tauhid telah tegak kembali. Sehingga didalam shalat, seorang hamba
menyerahkan dirinya dengan tertuju langsung kepada Allah tanpa perantara. Sebagaimana
didalam sebuah doa iftitah diungkapkan,
"Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatharassamawati wal ardh, hanifan musliman wama ana minal
musyrikin, inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbail 'alamin".
"Aku hadapkan wajahku kepada Wajah Tuhan Yang Menciptakan Langit dan Bumi dengan lurus
sebagai orang yang berserah diri dan tidak menyekutukan-Nya. Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Tuhan Sekalian Alam".
Konsep ini telah menjadi baku didalam ajaran Islam sampai sekarang. Oleh karenanya, Allah
sangat keras ancamannya bagi orang yang melakukan dosa syirik (menyekutukan Allah). Hal ini
untuk menegaskan bahwa Tuhan Sang Pencipta Alam semesta hanyalah satu adanya
(monoteisme). Islam tidak mengakui dan menolak adanya perantara didalam beribadah shalat
maupun berdzikir kepada Allah. Sehingga shalat merupakan ibadah yang sangat individual,
walaupun dilaksanakan secara berjamaah.

Ketauhidan ini (mengesakan Allah) sangat penting dipelajari. Sebab jika tidak, arah spiritual
seseorang akan terjebak kedalam spiritual yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga
tersesat. Ketika ruhani seseorang mencari Tuhan, kemudian menemukan pendapat bahwa Tuhan
adalah seorang laki-laki atau berwujud manusia, maka ruhani sang pencari Tuhan tersebut akan
mengarah kepada persepsi apa yang dipikirkan. Apabila arah pikirannya berkonsentrasi kepada
benda-benda seperti lilin, suara musik, patung dan lain-lain, maka jiwanya berhenti kepada
benda-benda yang dipikirkan dalam samadinya. Sebagaimana seseorang yang sedang mencintai
sebuah benda, misalnya mobil. Pikiran dan jiwanya pasti akan selalu teringat mobil tersebut, dan
jiwanya tidak bisa keluar dari apa yang dipikirkan. Akan tetapi apabila seseorang yang
mengarahkan jiwanya kepada yang bukan benda, yaitu Zat Mutlak Penguasa Alam Semesta,
maka jiwa akan menembus dan meluas tak terbatas melampaui ruang dan waktu.
Pikiran manusia tidak mampu menghayalkan wujud Tuhan, karena mata tidak pernah
melihatnya, telinga tidak pernah mendengarkan suaranya. Sehingga otak kita tidak pernah
menerima informasi melalui reseptor indria kita. Ketika indria manusia tidak memberikan
informasi tentang keadaan Wujud Tuhan, maka otak tidak akan bergetar memberikan persepsi
tentang Tuhan. Akan tetapi kalau kita bertuhan dengan perantara benda-benda, indria kita akan
memberikan informasi kepada otak melalui neurotransmiter dan disimpan dalam memori otak.
Sehingga setiap kali mengingat Tuhan, pasti yang bergetar adalah impuls listrik pada temporal
lobes.

Inilah yang diyakini oleh Michael Persinger sebagai Titik Tuhan (God Spot). Dalam
penelitiannya, seseorang yang sedang membicarakan Tuhan atau mendengarkan tentang
ketuhanan maka temporal lobes-nya akan bergetar. Persinger lalu tertarik untuk menciptakan
ruangan laboratorium spiritual untuk membantu orang yang ingin menggetarkan titik tuhan
dalam otaknya. Caranya dengan membuat alat ukur elektromagnetik scranial yang ditempelkan
pada otaknya agar ia bisa berjumpa Tuhan. Penelitian ini telah menghebohkan dunia spiritual
klasik yang dilakukan para sufi dan ahli ketuhanan murni. Karena pendapat Persinger ini justru
mengaburkan nilai ketuhanan Islam yang tidak bisa dipersepsikan oleh otaknya. Menurutnya,
siapapun bisa berspiritual tanpa harus beragama formal. Karena itu spiritual yang dikembangkan
oleh Persinger adalah spiritual digital, yang berasal dari getaran otak yang berspiritual dengan
perantara benda-benda. Sehingga benda-benda (berhala) itulah yang menggetarkan impuls listrik
pada temporal lobes si penyembah berhala yang dikirim melalui reseptor mata dan telinga.
Berbeda dengan penyembah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan yang tidak bisa ditangkap oleh
reseptor mata, telinga, penciuman sehingga temporal lobes pada otak tidak bergetar.

Kerancuan ini menjadi masalah baru didalam berketuhanan, dan merusak tatanan agama formal
sehingga semua agama sama, atau berspiritual tidak harus berketuhanan. Maka semakin jelaslah,
bahwa “keesaan” Allah menjadi kabur akibat pemahaman persepsi yang salah, karena konsep
spiritual yang dikembangkan adalah spiritual digital.

Fikih

Satu hal penting dalam pembahasan shalat adalah fikih. Karena fikih sebagai kompilasi hukum
Islam di dalamnya memuat aturan-aturan, tata cara dan prosedur penyelenggraan ibadah,
termasuk penyelenggaraan ibadah shalat. Sholat dalam fiqih adalah rangkaian gerak gerik yang
kita mulai dengan niyat, talbiratul ihram, dan lalu diahiri dengan salam, diawali dengan “Allahu
akbar” yang diahiri dengan ucapan “assalamu alaikum”. Artinya kita tidak akan dapat melakukan
sholat tanpa melakukan tahap serta syarat dalam fiqihiyah tersebut. Akan tetapi rutinitas sholat
fiqiyah tersebut hanya menonjolkan sisi fisik dari penyembahan terhadap Tuhan, serta
kecendrungan yang muncul adalah shalat hanya dimaknai sebagai sebuah kewajiban hamba
terhadap Tuhannya, sehingga sholat hanya rutinitas yang menjemukan bagi umat manusia.
Kalau diperhatikan dari maknanya “fiqh” berasal dari bahasa Arab “fiqhun”, berarti pemahaman
yang mendalam atas tujuan gerakan (perbuatan) dan perkataan. Makna ini diambil dari
pengertian kata Fiqh dalam Al qur’an.
Famali haa ulaai al qaumi yakaduna yafqahuna hadiitsa ......
.....maka mengapa orang-orang itu (kaum munafiq) hampir-hampir tidak memahami (yafqahuna)
pembicaraan sedikitpun ( QS, An Nisa, ’: 78)
.....mereka memilki hati, akan tetapi tidak dapat memahami (QS, Al A’raf [7] : 179 )
waman yuridillahu bihi khairan yufaqqihu fi addin .....
.....barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Allah pahamkan dalam beragama.
Fiqh shalat secara khusus memiliki kelengkapan makna dan pemahaman yang terkandung dalam
setiap gerakan dan ucapan yang disyariatkan oleh Allah Swt. Sehingga setiap gerakan seperti
takbir, rukuk, sujud, iftirasy, tahiyyat dan salam tidak hanya sekedar bergerak. Akan tetapi
merupakan sebuah simbol-simbol gerak rasa kepatuhan dan kecintaan hati seorang hamba
kepada tuhannya. Itu sebabnya mengapa Rasulullah menyuruh umatnya shalat dengan gerakan
yang tumakninah, dan tidak dilakukan dengan terburu-buru. Karena setiap gerakan dalam setiap
rakaat mempunyai faidah yang berpengaruh terhadap tubuhnya. Pada saat berdiri tumakninah
maupun rukuk dan sujud dengan tumakninah, tulang-tulang maupun otot akan merasakan
istirahat. Demikian juga setiap bacaan yang diucapkan akan memberikan pengaruh kepada
perubahan jiwa bagi yang shalat dengan merendahkan hatinya. Karena setiap berdoa, berarti
berhubungan dengan Yang Maha Menciptakan.
Rasulullah menuntun tata cara shalat secara khusus dan bersifat mahdhah. Yaitu suatu syariat
yang bersifat baku dan tidak boleh ada seorangpun yang merubah tatanan shalat ini. Dasar ini
mengacu kepada sabda Rasulullah “shallu kama raitumuni ushalli, shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat Aku shalat".
Tuntunan praktis yang diajarkan rasulullah kepada para sahabat ini, disampaikan turun-temurun
sampai kepada umat Islam sekarang. Walaupun ada perbedaan sedikit masalah furu’ (cabang-
cabang) tetapi tidak merubah rukun ketetapan prinsip syar’i. Hal ini hanya disebabkan karena
perbedaan dalam memahami peristiwa yang dilakukan Nabi dalam menjalankan ibadah shalat
yang memang menyesuaikan kondisi jamaah pada waktu itu.

Banyak hadist Rasulullah yang menceritakan bahwa beliau selalu mengkontrol gerakan shalat
dan kekhusyu’an para sahabat ketika melakukan shalat. Ketika diantara ada jamaah yang salah
melakukan ruku’ atau sujud. Beliau langsung menegur dan membetulkan shalatnya, lalu jamaah
yang lainnya mengikutinya. Namun berita-berita pengajaran Nabi kepada jamaah tidak selalu
lengkap yang kita peroleh dari ahli fiqh. Karena dalam setiap pengajaran dan praktek yang
dilakukan oleh nabi kepada para sahabat berbeda-beda. Terkadang nabi shalat gerakannya agak
dipercepat ketika menghadapi jamaah yang sepuh.
Dan terkadang pula Nabi shalat membutuhkan waktu yang lama, sehingga pernah dikeluhkan
oleh sahabat yang mengikuti berjamaah dengan Beliau. Dengan adanya perbedaan kondisi dan
situasi yang dibawakan oleh Nabi, menyebabkan seolah-olah shalat yang dilakukan diberbagai
negara Islam itu berbeda-beda. Karena kebanyakan umat mengira shalat nabi hanya melakukan
satu gaya
saja. Sehingga ketika ada seorang dari mazhab yang lainnya melaksanakan shalat yang berbeda,
dianggap bid’ah dan sesat. Hal inilah yang menyebabkan perdebatan pada kalangan masyarakat,
karena ketidaktahuan proses sejarah rilwayah dan dirayah hadist maupun mustahul hadist.
Sahabat Nabi memperoleh kedudukan sangat penting dalam fikih.
Pertama, sebagai ahli hadits karena mereka adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw
dan meninggal dunia sebagai orang Islam. Karena itu, dari mereka pula kita mewarisi ikhtilaf
(perbedaan) di kalangan kaum Muslim.
Kedua, era sahabat juga dikenal sebagai masa berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh
yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau
mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, maka pada zaman sahabat
rujukan itu adalah diri mereka sendiri. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi
antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru. Dan para
sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka.
Ketika menceritakan ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: Di antara sahabat ada
yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang
berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang
berijtihad dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode
mashlahat, bila tidak ada nash.
Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip umum dalam mengambil
keputusan hukum (istinbath; al-hukm); yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul
fiqh.
Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi
sunnah yang diikuti. Al-Syathibi menulis, "Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah yang harus
diamalkan dan dijadikan rujukan". Dalam perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat - sebagai
ucapan dan perilaku yang keluar dari para sahabat - akhirnya menjadi salah satu sumber hukum
Islam di samping istihsan, qiyas, mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun
menjadi hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggapnya sebagai
hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya
hanya menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja, berdasarkan hadits
"berpeganglah pada dua orang sesudahku, yakni Abu Bakar dan Umar"; dan sebagian yang lain,
berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan khulafa' al-Rasyidin.
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat menjadi
rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut
kesepakatan ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting adalah khulafa al-
rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh;
bila mereka ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit diatasi.
Fiqh para sahabat (khulafa rasyidun) adalah fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam
sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang
kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para sahabat, selain
mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga - seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz -
menyumbangkan khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran.
Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam
urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka, dan mereka
pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin
karena ketidaktahuan, kehati hatian, atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak
sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya
memungkinkan untuk itu.
Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali
memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar
537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya
berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah
meriwayatkan 5374 hadits).
Itu karena para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-
Khulafa al-Rasyidin.

Ghaib

Surat Al Baqarah diawali dengan kalimat mutasyabihat “alim lam miim”, kemudian menjelaskan
bahwa Al Qur’an adalah kitab penuh kebenaran dan tidak ada keraguan didalamnya bagi orang-
orang yang beriman kepada Allah dan yang gaib, sebagaimana firman Allah:
Alif lam miim. Kitab (Al qur’an) tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang
bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang GAIB, melaksanakan SHALAT, dan
menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan mereka yang beriman
kepada (Al qur’an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab yang diturunkan
sebelum engkau,dan mereka yakin akan adanya akhirat. (QS, Al Baqarah [2]:1-4)
Istilah “GAIB”, oleh masyarakat sering dikaitkan dengan makhluk gaib atau ilmu gaib (mistik)
dunia lain yang menyeramkan. Karena memang kata gaib mempunyai arti tidak kasat mata,
maya, tidak terlihat, seperti jin, malaikat, syurga, neraka, dan hari kiamat. Sebagian masyarakat
ada yang menolak ketika membicarakan persolan gaib karena alasan tidak masuk akal. Hal ini
berawal para ahli ilmu modern, mendasari setiap peneliatian harus bersifat empiris. Sehingga
sesuatu yang tidak bisa difahami oleh indrianya akan ditolak dan dikatakan tidak termasuk kajian
ilmiah. Dasar ilmu empirisme ini berakibat kepada masyatakat modern menjadi alergi terhadap
dunia gaib, dalam hal ini berujung ketidakpercayaan terhadap adanya Allah, syurga, neraka yang
bersifat gaib. Karena dianggap keberadaan Allah dan seluruh ciptaan Allah yang gaib dianggap
tidak ilmiah dan tidak masuk akal. Itu sebabnya mengapa akhirnya banyak orang meninggalkan
agama, dan bahkan menetapkan diri
sebagai golongan atheis (tidak percaya adanya Tuhan). Padahal agama banyak menceritakan
persoalan yang tidak kasat mata (gaib), baik yang bersifat materi maupun immateri seperti
perasaan dan cinta.
Kepercayaan kepada yang gaib justru dalam Islam sangat ditekankan, karena membicarakan
kesadaran tentang asal usul kejadian manusia maupun alam semesta. Disamping itu, memberikan
kesadaran akan tujuan hidup manusia didunia maupun diakhirat kelak. Kesadaran ini tidak
mungkin bisa difahami, apabila hanya mendasari pengetahuannya dengan mazhab empirisme
yang serba materi. Mengapa konsep keimanan sangat penting untuk memulai kesadaran
berketuhanan. Sehingga Islam menempatkan Iman sebagai landasan kepercayan atau kesadaran
awal dari kehidupan beragama. Maka dari itu pembahasan masalah ketuhanan tidak terlepas dari
iman kepada yang gaib, seperti iman kepada Allah (Yang Maha gaib), iman kepada Malaikat,
iman kepada kitab-kitab suci, iman kepada hari akhir, iman kepada para nabi, iman kepada
ketetapan baik dan buruk dari Allah swt.
Keimanan ini termasuk sebuah kesadaran yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang hidup.
Karena kesadaran merupakan sebuah ruangan tersendiri dari aspek kejiwaan manusia. Karena
dengan kesadaran, manusia akan mengerti akan diri yang sejati atas keberadaannya.
Kesadaran bagi orang-orang materialisme, merupakan bentuk kesadaran pada taraf kesadaran
seperti orang bangun tidur atau dari pingsan. Akan tetapi ada tingkat kesadaran pada tatanan
mental, yaitu kesadaran yang berkaitan dengan tingkat intelektualitas dan kualitas kesadaran.
Ada perbedaan yang sangat tajam antara kedua tingkat kesadaran tersebut. Kesadaran bagi yang
sudah sadar dari tidur dan tidak pingsan belum tentu memiliki kualitas kesadaran. Orang gila
misalnya, ia memiliki tingkat kesadaran pertama. Akan tetapi ia tidak menyadari akan dirinya,
terkadang ia mengaku raja Jawa dan berperilaku layaknya seorang raja, padahal dia hanyalah
seorang tukang batu. Mungkin sebagian manusia berada pada tingkat kesadaran primitip, tidak
menyadari bahwa bumi yang ditempati sedang berputar dengan kecepatan tinggi, bahkan
melebihi kecepatan peluru yang ditembakkan. Kesadaran yang dirasakan tidaklah demikian.
Seolah bumi hanya diam dan mataharilah yang bergerak dari
arah timur ke barat.
Seandainya ilmu pengetahuan tidak pernah kita dapatkan masalah asal usul kejadian manusia.
Mungkinkan kita percaya, bahwa kita pernah hidup didalam perut seorang ibu?. Disana kita
makan tanpa menggunakan mulut dan tidak perlu bekerja untuk mencarinya. Sebelumnya kita
berasal dari sel seperma yang sangat kecil bentuknya. Dan mungkin kita tidak akan percaya
bahwa bahan untuk menciptakan manusia adalah berasal dari sari pati tanah.
Padahal kita hidup, sadar dan tidak pingsan. Apakah untuk menyadari sesuatu harus dengan
penglihatan mata dan pendengaran telinga? Perlukan kita menyadari dengan melihat dan
merasakan bumi sedang berputar cepat. Tentu tidak. Kita hanya memerlukan kesadaran
intelektual untuk membangun kesadaran ini.
Demikian pula kesadaran tentang “Tuhan”, kita tidak harus melihat secara langsung akan
keberadaan Sang Pencipta untuk menyadari dan mengimani-Nya. Cukup memahami bahwa
seluruh benda yang tergelar pastilah ada yang merancang. Justru bagi yang tidak percaya adanya
yang merencanakan alam semesta, Al qur’an menyebutnya sebagai orang sangat primitip dan
rendah ilmu pegetahuannya. Oleh sebab itu, bagi orang-orang percaya dan sadar atas keberadaan
dan kebenaran adanya Allah disebut ulul albab, yaitu orang yang memiliki kesadaran tinggi.
Sebagaimana Firman Allah:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dasn siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang menginat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka meikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi(seraya berkata): Ya Tuhan kami,tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha suci Engkau,maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran
[3]:190-191)
Dasar inilah yang dikatakan kesadaran keimanan terhadap adanya Tuhan Yang Maha
Menciptakan. Setelah memahami kesadaran ini, maka wajiblah kita mengakui dan menyerahkan
diri dan jiwa kita untuk berbakti kepada-Nya.
Iman bukanlah semata-mata percaya bahwa Tuhan itu ada. Jika persoalannya Tuhan itu ada,
maka iblis adalah makhluk yang tidak saja percaya bahwa Tuhan itu ada, dia bahkan berhadapan
langsung dengan Tuhan dalam suatu dialog yang sengit dalam drama kosmis sekitar
pengangkatan Adam sebagai khalifah. Tetapi, iblis yang demikian itupun dikutuk sebagai kafir.
“Ia menolak dan menyombongkan diri,dan ia termasuk diantara mereka yang tidak beriman (QS.
Al Baqarah [2]:34).
Kalau iblis dijadikan contoh, maka beriman itu tidak cukup hanya dengan penegasan diri bahwa
Tuhan itu ada. Beriman ialah mempercayai Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan.
Apapun yang dianugerahkan Allah kepada kita, itu harus diterima dengan ridha.itulah yang
disebut radhiyatan mardhiyah. Dengan demikian,Allah akan mengatakan :
Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku! Masuklah engkau ke dalam syurga-Ku
(QS,Al Fajr,89:29-30).
Shalat merupakan jalan meletakkan kepercayaan kepada Allah, sehingga dibuka dalam doa
iftitah:
inna shalati wa nusuki,wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin.
Sesungguhnya shalatku, pengabdianku, hidup dan matiku hanya mengikuti keputusan Allah
Tuhan Penguasa Alam.

Namun jika didalam kesadarannya kita tidak memiliki keimanan, maka shalat yang demikian
tidak memberikan dampak apa-apa terhadap jiwa pelakukanya.
Iman kepada Yang Gaib, bukan berarti mempercayai sesuatu yang tidak ada. Sesungguhnya yang
gaib itu adalah nyata adanya. Sebagaimana ruh yang dikandung dalam badan kita. Secara kasat
mata ruh tidak kelihatan oleh mata, akan tetapi “NYATA” adanya. Kenyataan ini yang tidak bisa
diukur dengan konsep emperis materialisme. Karena yang bukan materi juga sebenarnya
“empiris”. Mengapa kita mengingkari adanya perasaan “cinta” dalam dada. Padahal perasaan itu
bukanlah berada dalam lempengan hati berupa daging. Ia ada pada dimensi ruhani yang juga
bersifat gaib. Sama halnya dengan adanya Allah, secara fisik tidak ada alat ukur untuk
menangkap keberadaan Allah maupun fiman Allah, karena alat ukur seperti indria hanyalah
menangkap sesuatu yang bersifat terbatas. Telinga tidak mampu menangkap suara gerakan
kuman atau semut yang sedang berjalan, mata telanjang tidak mampu melihat ruang angkasa
yang sangat luas. Akan tetapi keberadaan Allah hanya bisa
dirasakan oleh hati orang yang beriman. Sehingga respons-Nya menggetarkan hati yang
menyebut Nama Allah (dzikrullah).
Hati

Setiap manusia memiliki hati dan perasaan, baik rasa marah, rasa benci, rasa memiliki, rasa
rindu, rasa cinta maupun rasa percaya (iman) dan rasa mengingkari (kufur) keberadaan Allah.
Kalau kita menyadari, setiap apa yang kita lakukan dan kita ucapkan muncul dari sebuah
perasaan. Dan dari perasaan (afeksi) inilah muncul sebuah tindakan (konasi). Namun selama ini
hal yang menyangkut perasaan (hati) masih disangkut pautkan hanya pada persoalan agama dan
Tuhan. Padahal segala bentuk tindakan pasti berasal dari apa yang dirasakan, apakah peasaan
baik maupun perasaan buruk.

Ditegaskan oleh ahli agama, terutama yang memperhatikan masalah akhlak kepada Allah,
berpendapat bahwa hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju pengetahuan
tentang Allah (makrifatullah). Hati juga berperan sebagai pintu dan sarana Allah
memperkenalkan kesempurnaann diri-Nya. Sebagaimana sabda Nabi mengatakan:

Tidak dapat memuat zat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali 'hati' hamba-Ku yang mukmin lunak
dan tenang. (HR. Abu Dawud)

Hadist ini menyiratkan bahwa, pengetahuan tentang Allah tidak bisa sekedar difahami oleh
pikiran dan pengetahuan yang berasal dari respons indrawi, akan tetapi hanya bisa dirasakan dan
difahami oleh hatinya. Karena indrawi hanya bisa menangkap sesuatu yang terbatas. Baik
penglihatan, pendengaran dan penciuman, hanya mampu ditangkap oleh indria dengan ukuran
tertentu. Selebihnya dari ukuran tersebut tidak akan tertangkap. Sebaliknya hati mampu
menangkap sesutu yang tersembunyi dibalik materi, seperti perasaan senang, rasa indah terhadap
sebuah benda (art), rasa cinta terhadap sesama maupun kepada Tuhan. Sehingga Allah
memberikan isyarat akan hal ini dalam Firmannya:

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia.
Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami dan mereka mempunuai
mata tetapi tidak dipergunakan untuk melhat dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakan
untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A'raaf [7]:179).

Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan
kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk di dengarkan? Sebenarnya yang buta bukan
mata melainkan 'hati' yang ada dalam dada. (QS. Al Hajj [22]:46).

Demikian juga rasa iman, tidaklah dikatakan orang beriman jika hanya sampai kepada
pemahaman pengetahuan membaca kitab secara tertulis sebagaimana ahli kitab yang terdahulu
yang telah tercabut rasa imannya. Kenyataan ini pernah terjadi pengakuan orang Arab Badui
yang mendatangi Rasulullah, bahwa dirinya telah beriman kepada Allah. Namun pengakuan
orang Badui tersebut dibantah oleh Allah yang disampaikan melalui Rasulullah.

Orang-orang Arab badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakan (kepada mereka) kamu
belum beriman, tetapi kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu (QS, Al
Hujurat,49:14)

Dan Iman itu sesungguhhnya diturunkan oleh secara langsung dan dapat difahami dan dirasakan
oleh yang menerimanya.

....tetapi Allah-lah yang menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu
indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci keada kekafiran dan kedurhakaan. Mereka
itulah yang orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebagaimana karunia dan nikmat
dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi bijaksana. (QS. Al Hujuraat [49]:7-8).

Penggunaan istilah hati dalam Al Qur'an menandakan pentingnya hati sebagai tempat yang
diperhatikan oleh Allah Swt. karena tempat perasaan baik maupun buruk.
Al Qur'an menggunakan istilah Qalb (hati) dan menyebutnya sebanyak 132 kali. Makna dasar
kata qalb ialah membalik, kembali, pergi maju mundur, berubah, naik turun. Diambil dari latar
belakangnya, hati mempunyai sifat yang selalu berubah. Sebab hati adalah tempat dari kebaikan
dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan. Hati adalah tempat dimana Tuhan mengungkapkan diri-
Nya sendiri kepada manusia. Kehadiran-Nya terasa didalam hati, dan wahyu maupun ilham
diturunkan ke dalam hati para nabi maupun wali-Nya. Allah berfirman :

...ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membuat batasan antara manusia dan hatinya dan
sesungguhnya kepada-nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan (QS. Al Anfal [8]:24).

....maka Jibril telah menurunkannya (Al qur'an) kedalam hati nuranimu dengan izin Allah,
membenarkan wahyu sebelumnya, menjadi peunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang yang
beriman (QS. ,Al baqarah [2]:97).

Hati adalah pusat pandangan, pemahaman dan ingatan (dzikir). Penegasan pengertian tersebut
jelas sekali difirmankan Allah dalam Al Qur'an :

Apakah mereka tidak pernah bepergian dimuka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan
kemusnahan itu, atau mengiang ditelinganya untuk didengarkan? Sebenarnya yang buta bukan
mata, melainkan hati yang ada didalam dada (QS. Al Hajj [22]:46).

Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat Kami (zikir),
orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja,dan keadaan rang itu sudah keterlaluan (QS.
Al Kahfi [18]:28).

Memang hati mereka telah kami tutup hingga mereka tidak dapat memahaminya, begitu pula
liang telinganya telah tersumbat.... ( QS. Al Kahfi [18]:57).

Apakah mereka tidak merenungkan isi Al Al Qur'an? atau adakah hati mereka yang terkunci?
(QS. Muhammad [47]:24).

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia.
Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan
mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi,mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al
A'raaf,7:179).

Iman tumbuh dan bersemayam di dalam hati. dan didalam hati pula tumbuhnya kekafiran,
kemungkaran serta penyelewengan dari jalan yang lurus. Oleh sebab itu Allah tetap menegaskan,
bahwa perilaku ibadah seseorang tidak bisa hanya dilihat dari sekedar syarat sah rukun syariat
saja, akan tetapi harus sampai kepada pusat iman, yaitu hati. Karena sering dan banyaknya
ibadah yang kita lakukan, kerap kali kita bahkan peribadatan selalu menuntut pemurnian hati
(keikhlasan). Padahal kemurnian hati inilah yang akan menghasilkan sesuatu yang haq, serta
memberi dampak kepada iman seseorang secara langsung.
Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri dan diakui oleh Al qur'an. Ia tertegun dan terharu
tatkala nama Allah disebut. Sehingga terdorong ingin meluapkan kegembiraan dan kerinduannya
seraya bersujud dan menangis. Hal ini disebabkan adanya kesadaran jiwa yang mampu
menembus sinar ilahy yang selalu memancar kepada jiwa yang mau mendekat kepada Allah.
Dengan hatilah seorang mukmin mampu menangkap petunjuk yang diturunkan oleh Allah Swt.
Dan dengan hati pula Allah menurunkan kesesatan seseorang yang mengingkari Allah.

Allah menilai segala perbuatan manusia ditentukan oleh niat yang ada dalam hati. Rasulullah
menuntun kita untuk bekerja dengan hati. Karena Allah hanya mau menerima segala perbuatan
yang diniatkan dengan sungguh-sungguh, dan menolak perbuatan orang-orang yang hatinya
munafiq. Seperti diungkapkan dalam Al Qur'an :

Innal munafiqiini yukhadi'uunallah,wa hua yakhidi'uhum ..... (QS An Nisaa' [4]:142)


Ikhlas

Niat merupakan pendorong kehendak manusia untuk mewujudkan suatu tujuan yang dituntutnya.
Pendorong ini banyak sekali ragamnya. Ada yang bersifat materiil, dan ada pula yang bersifat
spiritual. Ada yang bersifat individual, dan ada yang bersifat sosial. Ada yang bertujuan duniawi,
dan ada yang bertujuan akhirat. Ada yang berkaitan dengan hawa nafsu, dll.

"Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap
orang memperoleh menurut apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya kepada
dunia yang ingin didapatkannya, atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya kepada
apa yang ditujunya ". (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tarmidzi dan An-Nasa'I)

"Barangsiapa yang menghendaki keuntungan akhirat, akan Kami tambahkan keuntungan itu
baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu kebahagiaan pun di akhirat ". (QS.
Asy-Syuraa: 20)

"Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali jika (pelaku) amal itu ikhlas dan mencari
keridhaan Allah dengannya ". (HR. Nasa'i)

Sebagai seorang mukmin, hendaknya pendorongnya dalam beramal itu adalah semata-mata
menghendaki keridhaan Allah dan demi akhirat, tidak mencampuri suatu amal dengan
kecenderungan dunia, misalnya karena menghendaki harta dunia, menghendaki kedudukan,
mencari sanjungan, tidak ingin dicela, dll, dan inilah yang disebut ikhlas. Ikhlas dengan
pengertian seperti di atas merupakan buah tauhid yang sempurna kepada Allah SWT yaitu
metauhidkan ibadah dan memohon pertolongan hanya kepada Allah SWT, seperti yang sering
kita ungkapkan di dalam sholat ketika membaca Al-Fatihah: 5, "Hanya Engkaulah yang kami
sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. " Dengan ikhlas yang murni
inilah, kita bisa membebaskan diri kita dari segala bentuk perbudakan, melepaskan diri dari
segala penyembahan selain Allah, seperti penyembahan kepada dinar, dirham, perhiasan, wanita,
kedudukan, tahta, kehormatan, nafsu, dll, dan dapat menjadikan kita seperti yang diperintahkan
oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya,

"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Rabb sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan
aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. Al-An'am: 162-
163).

Riya' merupakan lawan dari ikhlas merupakan kedurhakaan yang sangat berbahaya terhadap diri
dan amal, juga termasuk dosa yang merusak, sebagaimana firman Allah SWT,

"... seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka
tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orangorang yang kafir ". (QS. Al Baqarah [2]: 264)

Di ayat lain Allah SWT berfirman,

"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
sholatnya, orang-orang yang beruat riya', dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna
". (QS. Al-Ma'un [107]:5-7)
Tentang riya' ini di dalam hadits, Rasulullah SAW pun bersabda,
"Sesungguhnya orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati
syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka
diapun mengakuinya. Allah bertanya, "Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu?"
Dia menjawab, 'Aku berperang kepada Engkau hingga aku mati syahid.' Allah berfirman,
"Engkau dusta. Tetapi engkau berperang supaya dikatakan, 'Dia adalah orang yang gagah
berani.' Dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) ". Kemudian diperintahkan
agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya yang diadili adalah seseorang yang memperlajari ilmu dan mengajarkan serta
membaca Al-Qur'an. Dia didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat-
nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, "Apa yang engkau perbuat dengan
nikmat-nikmat itu?" Dia menjawab, 'Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku
membaca Al-Qur'an karena-Mu.' Allah berfirman, "Engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari
ilmu agar dikatakan, 'Dia adalah orang yang berilmu,' dan engkau membaca Al-Qur'an agar
dikatakan,'Dia adalah qari' (pandai membaca).' Dan, memang begitulah yang dikatakan
(tentang dirimu) ". Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu
dilemparkan ke dalam neraka.

Berikutnya yang diadili adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga diberi-Nya
berbagai macam harta. Lalu dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-
nikmatnya. Maka diapun mengakuinya. Allah bertanya, "Apa yang engkau perbuat dengan
nikmat-nikmat itu?" Dia menjawab, 'Aku tidak meninggalkan satu jalanpun yang Engkau suka
agar dinafkahkan harta, melainkan aku menafkahkannya karena-Mu.' Allah berfirman, "Engkau
dusta. Tetapi engkau melakukannya agar dikatakan, 'Dia seorang pemurah.' Dan memang
begitulah yang dikatakan (tentang dirimu) ". Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan
muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka ".
(HR. Muslim, An-Nasa'I, At-Tarmidzi dan Ibnu Hiban)

Tatkala Mu'awiyah mendengar hadits ini, maka ia pun menangis hingga pingsan. Setelah siuman
dia berkata, 'Allah dan Rasul-Nya benar. Allah telah berfirman,

"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka itu di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
tidak akan merugi. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka ".' (QS.
Huud [11]: 15-16)

Jama'ah

Ada begitu banyak dalil yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah. Lengkapnya demikian:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh.
Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka
akan mendatanginya meski dengan merangkak.
Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang
membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku
bakar rumah-rumah mereka dengan api ".
(HR Bukhari 644, 657, 2420, 7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).

Hadits ini adalah hadits yang shahih, karena terdapat di dalam dua kitab tershahih di dunia, yaitu
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Sehingga kebenaran riwayat hadits ini tidak perlu diotak-
atik lagi. Seluruh umat Islam sepanjang masa sepakat atas keshahihan kedua kitab shahih ini.

Selain hadits merangkak di atas, Rasulullah SAW juga bersabda tentang keutamaan shalat
jamaah dalam hadits lainnya, seperti: shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari
pada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh kali. (HR Muslim dalam kitab al-masajid wa
mawwadhiusshalah no. 650). Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari jilid 2 halaman 133 dalam
kitab azan telah menyebutkan secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang
shalat berjamaah dengan yang shalat sendirian.
Di antaranya adalah ketika seseorang menjawab azan, bersegera shalat di awal waktu,
berjalannya menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa, menunggu
jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun dari mereka,
kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk beribadah, adanya pelatihan untuk
membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun shalat, keselamatan dari kemunafikan
dan seterusnya. Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat dengan cara sendirian
di rumahnya.

Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan yang cukup tentang mengapa shalat berjamaah
itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan shalat sendirian. Dari Abi Hurairah ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda,

"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada bila shalat sendirian atau
shalat di pasarnya dengan dua puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan
membaguskan wudhu`nya, kemudian mendatangi masjid di mana dia tidak melakukannya
kecuali untuk shalat dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia
melangkah dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan
kesalahannya hingga dia masuk masjid....dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia
berada pada tempat shalatnya seraya berdoa, "Ya Allah berikanlah kasihmu kepadanya, Ya
Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia... ".
(HR Muslim dalam kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda dengan hadits yang lainnya:

Dari Abi Darda` ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu
kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai
mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari
kawanannya ". (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan);

Dari Ibnu Mas`ud ra berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang
meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya
atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan ". (HR Muslim);

Dari Ibni Abbas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang mendengar azan namun tidak
mendatanginya untuk shalat, maka tidak ada shalat baginya. Kecuali bagi orang yang uzur ".
(HR Ibnu Majah 793, Ad-Daruquthuni 1/420, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/245 dan sanadnya
shahih).

Dengan adanya hadits-hadits ini, akhirnya para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat
berjamaah. Ada yang bilang fardhu 'an, ada yang bilang fardhu kifayah, ada yang bilang sunnah
muakkadah dan ada juga yang bilang syarth.

Shalat berjama'ah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin, tidak ada keringanan untuk
meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadits-hadits yang
merupakan dalil tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:

"Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,Telah datang kepada Nabi shallallaahu
alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, 'Wahai Rasulullah, aku tidak punya
orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.' Maka Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau
memanggilnya, seraya berkata, 'Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?', ia
menjawab, 'Ya.' Beliau bersabda, 'Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)' ". (HR. Muslim)

"Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
bersabda, 'Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Subuh.
Seandainya mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan
mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar
didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku
bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang
yang tidak hadir dalam shalat berjama'ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu' ".
(Muttafaq 'alaih)

"Dari Abu Darda' radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam bersabda, 'Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun,
kemudian di sana tidak dilaksanakan shalat berjama'ah, terkecuali syaitan telah menguasai
mereka. Maka hendaklah kamu senantiasa bersama jama'ah (golongan yang banyak), karena
sesungguhnya serigala hanya akan memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya)'
". (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan lainnya, hadits hasan )

"Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa
mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, ter-
kecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)' ". (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan
lainnya, hadits shahih)

"Dari Ibnu Mas'ud radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara
sunnah-sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikuman-dangkan adzan di dalamnya.(HR.
Muslim)

Shalat berjama'ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-
hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:
"Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma , bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
bersabda, 'Shalat berjama'ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian ".
(Muttafaq 'alaih)

"Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,'Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi


wasallam, 'Shalat seseorang dengan berjama'ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27
derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendirian). Hal itu
dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi
ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak
satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan
dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk
masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di
dalam masjid itu, dan malaikat pun mengu-capkan shalawat kepada salah seorang dari kamu
selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, 'Ya Allah, berilah rahmat
kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.' Selama ia tidak berbuat hal yang
mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci' ". (Muttafaq 'alaih)

Shalat berjama'ah bisa dilaksanakan dengan seorang makmum dan seorang imam, sekalipun
salah seorang di antaranya adalah anak kecil atau perempuan. Dan semakin banyak jumlah
jama'ah dalam shalat semakin disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dari Ibnu Abbas radhiallaahu anhuma , ia berkata, 'Aku pernah bermalam di rumah bibiku,
Maimunah (salah satu istri Nabi shallallaahu alaihi wasallam), kemudian Nabi shallallaahu
alaihi wasallam bangun untuk shalat malam, maka aku pun ikut bangun untuk shalat
bersamanya, aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan
menempatkanku di samping kanannya' ". (Muttafaq 'alaih)
"Dari Abu Sa'id Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallaahu anhuma, keduanya berkata,
'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa ba-ngun di waktu malam hari
kemudian dia membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat berjama'ah, maka
mereka berdua akan dicatat sebagai orang yang selalu berdzikir kepada Allah' ". (HR. Abu
Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
"Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiallaahu anhu, 'Bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid
sedangkan Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam sudah shalat bersama para sahabatnya,
maka beliau pun bersabda, 'Siapa yang mau bersedekah untuk orang ini, dan menemaninya
shalat.' Lalu berdirilah salah seorang dari mereka kemudian dia shalat bersamanya' ". (HR. Abu
Daud dan At-Tirmidzi, hadits shahih)

"Dari Ubay bin Ka'ab radhiallaahu anhu, ia berkata, 'Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
bersabda, Shalat seseorang bersama orang lain (berdua) lebih besar pahalanya dan lebih
mensucikan daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang ditemani oleh dua orang lain
(bertiga) lebih besar pahalanya dan lebih menyucikan daripada shalat dengan ditemani satu
orang (berdua), dan semakin banyak (jumlah jama'ah) semakin disukai oleh Allah Ta'ala' ".
(HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, hadits hasan)

Khusyuk

Khusyu Hampir semua umat beragama mencari atau berlomba-lomba mencari kekhusyuan
dalam ibadahnya, bahkan bila mungkin juga khusyu dalam kehidupannya, namun apa dan
dimana serta bagaimanakah khusyu itu sebenarnya, banyak orang berusaha konsentrasi dalam
ibadahnya, ada juga yang berusaha menyatu dengan alam agar mendapatkan apa yang
dinamakan khusyu tersebut, namun kenyataannya apa yang terjadi, mengapa sang khusyu tiada
kunjung tiba, sehingga orang akhirnya ada yang merasa frustasi karena tidak pernah berhasil
mencapainya, tentu saja akibat dari rasa frustasi ini akan sulit diperkirakan akibatnya.

Benarkah hingga sedemikian sulitnya untuk mendapatkan apa yang dinamakan khusyu tersebut?,
Ataukah disebabkan oleh ketidak tahuan bahwa sebenarnya khusyu adalah hadiah, sehingga
tidak akan didapatkan dengan cara memaksakan, melainkan harus ditunggu kedatangannya
dengan sabar, syukur, berserah diri serta tertib. Jika khusyu adalah hadiah, mengapa ada
sebagian orang yang konsentrasi dengan cara-cara shalat panjang ataupun dengan berdzikir
panjang ternyata dapat juga mencapai khusyu, walaupun dengan pengorbanan yang besar baik
itu dari segi waktu maupun tenaga, sekiranya untuk mendapatkan khusyu haruslah sedemikian
besar pengorbanannya, tentu akan sulitlah bagi orang-orang biasa yang mempunyai kesibukan
keseharian yang cukup banyak, sedangkan khusyu itu sendiri adalah hak bagi semua orang.

Bagi mereka yang berkeluangan waktu dan tenaga, mereka dapat melakukan pengkonsentrasian
dengan melakukan shalat taupun dzikir panjang, sehingga dengan terkurasnya tenaga hingga
habis. Maka tanpa terasa, mereka telah bersih diri, sabar serta berserah diri. Dalam hal ini khusyu
bisa didapatkan walaupun mereka hanya mendapatkan khusyu ibadah dan bukan khusyu
kehidupan.

Di sisi lain, ada orang yang berusaha meraih khusyuk dengan cara menyatu dengan alam.
Mereka merasa mendapatkan ketenangan jiwa yang mereka anggap kekhusyuan walaupun
sebenarnya adalah bukan. Semua itu dikarenakan menyatu dengan alam adalah menyatukan jiwa
dengan bumi, ataupun sejauh-jauhnya menyatukan jiwa dengan alam semesta, yang kedua-
duanya masih termasuk hitungan dunia. Sedangkan khusyu kaitannya adalah dengan akhirat.

Kesalahan-kesalahan tersebut memang umum terjadi. Tentu saja penyebabnya adalah kesulitan
dalam membedakan yang mana mata bathin dengan yang mana mata terbuka hijab ghaib. Mata
terbuka hijab ghaib adalah mata yang dapat melihat mahluk ghaib, tentu saja yang terlihat
bukanlah yang Maha Ghaib, ataupun akhirat yang jauh diluar alam semesta. Sedangkan mata
bathin tentu saja tidak melihat melalui kedua matanya itu, karena pada saat mata bathin terbuka,
semua panca indera tetap berfungsi seperti biasanya dan tidaklah seperti orang yang kehilangan
kesadarannya.

Sekarang pertanyaannya adalah, jadi dapatkah dan atau bagaimanakah kita sebagai orang-orang
biasa saja dapat mencapai apa yang dinamakan khusyu beribadah, bahkan khusyu dalam
kehidupan. Jawabannya tentu saja dapat. Masalah bagaimana mendapatkannya, kita harus
menelaah lebih dahulu dasar-dasar pendukung pemberian hadiah khusyu itu sendiri.
Pada dasarnya islam adalah pola hidup yang harus di dukung oleh kesadaran yang setinggi-
tingginya. Oleh karena itulah maka umat islam diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu
sebagai pembentukan pola beribadah, yang harus dilakukan dengan kesadaran sepenuhnya.
Karena itu, sangat tidak disarankan kita shalat sambil menutup mata. Bahkan pergerakannya pun
haruslah dilakukan dengan setertib-tertibnya agar lisan maupun pergerakan shalat itu senantiasa
tetap terjaga niat. Arti serta tujuan shakat, tidak menjadi susut dimakan lalai karena sudah
terbiasa atau begitu rutinnya. Segala sesuatu perbuatan manusia itu, yang pertama-tama di lihat
adalah niatnya.
Seperti yang sudah umum kita lihat dalam keseharian, bagaimana salam yang begitu sering di
ucapkan menjadi berubah fungsi dan artinya menjadi "say halo" saja, padahal saling memberi
salam itu sebenarnya adalah saling mendo'a kan. Niat bersalam itu niat mendo'akan orang,
tujuannya adalah agar orang yang dido'akan tersebut selamat dunia akherat, mendapat rahmat
serta berkah dari Allah. Hukumnya bagi orang yang mendo'akan akan mendapat pahala yang
sama, tanpa mengurangi sedikitpun pahala dari orang yang dido'akannya.

Adapun dalam kehidupan keseharian kita juga diajarkan untuk membaca Basmallah setiap kali
hendak melakukan sesuatu, serta do'a-do'a harian yang dapat menjadi pagar kehidupan kita.
Asalkan semuanya itu dilakukan dengan selalu menyadari sepenuhnya akan niat, maksud serta
tujuan setiap segala sesuatu yang kita lakukan.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan shalat usahakanlah senantiasa melaksanakannya penuh
dengan kesadaran serta ketertiban, tertib dalam setiap gerakan serta lisan. Tidak kehilangan niat,
maksud, tujuan serta melakukannya hanya karena Allah. Demikian pula dalam melaksanakan
kehidupan keseharian kita, lakukanlah semua karena Allah serta jelas niat, maksud, tujuannya.
Jadikanlah segala sesuatu dalam kehidupan kita menjadikan kita mengingat Allah. Mengejar
pahala karena di suruh Allah melalui rosulnya, menghindari dosa karena dilarang Allah melalui
rosulnya, berdo'a meminta kepada Allah yang Maha Kaya serta Maha Pengasih lagi Penyayang.
Kata rosulNya, Basmallah menempatkan Allah menemani serta mengawasi kita. Begitulah yang
disampaikan Rosul Allah tentang keseharian. Ingatlah, bahwa mengingat Allah dan rosulNya
akan senantiasa memperkuat syahadat kita. Sedangkan pola hidup islami akan membuat kita
otomatis berdzikir mengingat Allah pada saat berdiri, duduk dan tidur.

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa dengan melakukan ibadah yang penuh dengan
kesadaran dan ketertiban, ditambah hidup dengan pola islami, tawadhu, sabar serta pandai
bersyukur dan senantiasa berprasangka baik pada Allah, istiqomah dalam menjalankan semua
itu, InsyaAllah hadiah khusyu dalam beribadah maupun khusyu dalam keseharian yang
didambakan akan kita didapatkan.
Ciri-ciri khusyu, bila kita mendapatkannya adalah terbukanya mata bathin kita, yang dapat
dirasakan sebagai rasa haru yang sangat, apabila kita sedang mengingat Allah, akhirat, surga,
Rasulullah, dosa-dosa yang telah lalu serta lain-lain hal yang berkaitan dengan ruhani kita. Rasa
haru tersebut membuat kita merasa hati tergores rindu, menetes airmata, banjir airmata, bahkan
bisa sampai menangis tersedu-sedu. Sebagai catatan tambahan, dalam keseharian kita di jalanan,
baik dalam berkendaraan maupun berjalan kaki, seringkali tanpa disadari kita menghancurkan
pola hidup islami kita dengan menghinakan diri menjadi preman bahkan menjadi perampok,
yang merampas atau merampok hak orang lain dengan memotong, memepet, mengambil jalan
orang lain, menghalangi, menyebrang dengan berlambat-lambat, saling memaki atau mengumpat
serta lain-lain perangai tidak terpuji yang kita lakukan, perlu kita sadari bahwa semua orang
ingin cepat sampai ke tujuan dengan tenang, tentram dan aman di jalan, menjalin dan menjaga
silaturahmi sangatlah di sarankan bagi orang Islam.

Lillahi Ta'ala

Lillahi ta'ala, secara sederhana dapat diartikan dengan "hanya karena Allah yang suci". Kalimat
ini bukan hanya menjadi ungkapan lisan tapi seharusnya menjadi prinsip dalm hidup dan
kehidupan setiap hamba kepada Allah. Kalimat Lillahi ta'ala kerap muncul dalam setiap ibadah
dalam Islam termasuk juga shalat. Dan biasanya kalimat Lillahi ta'ala (karena Allah), selalu
diucapkan pada saat awal-awal melakukan suatu pekerjaan (ibadah); dalam hal ini disebut niat.
(lihat entri Niat)
Allah menjadikan kita pada hakekatnya berfungsi sebagai khalifah-Nya diatas dunia ini. Tugas
kekhalifahan inilah yang apabila dijalankan dengan semestinya dengan dilandasi oleh petunjuk-
petunjuk yang Dia sampaikan dalam bentuk wahyu tekstual maupun pemahaman kita terhadap
ayat-ayat universal-Nya, maka akan menjadi ibadah buat kita.

Sistematika kehidupan kita ini dimulai dari setetes mani yang bercampur untuk kemudian seiring
dengan sunnatullah atau hukum alamnya, terus mengalami perkembangan tahap demi tahap
sehingga menjadi sosok manusia sempurna. Itupun baru pada tahapan bayi kecil tak berdaya.
Kemudin kita tunduk pada kaidah sunnatullah yang berproses sampai menjadi dewasa dan tua.
Demikian seterusnya. Ini hendaknya menjadi bagian dari pembelajaran atas kedewasaan pola
pikir dan pola pemahaman kita terhadap segala sesuatunya. Jika awalnya kita bertindak hanya
karena ikut-ikutan, maka mulailah kita belajar kenapa kita melakukan sesuatu atau kenapa kita
harus mempercayai sesuatu itu sebagai sebuah kebenaran. Demikian pula misalnya dalam hal
ibadah, jika sebelumnya kita beribadah hanya karena mengharap surga atau takut karena neraka,
maka belajarlah untuk mulai menyikapi fenomena surga dan neraka sebagai motivator kita
kepada tingkat ibadah yang lebih tinggi lagi yaitu tingkat ibadah yang hanya berharap ridho-Nya
Allah. Dengan demikian, maka tingkat keikhlasan kita beribadahpun secara berangsur-angsur
tumbuh dengan sendirinya. Karena yang ada dipikiran kita selama ini, ibadah itu untuk
menyenangkan Allah dan bukan untuk menyenangkan diri kita.

Salah atau tidak akhirnya kembali kepada seberapa jauh good-will kita melakukannya. Tidak ada
yang perlu dipermasalahkan dengan surga dan nerakanya, tapi mulailah kita belajar untuk
mencapai maqam lebih tinggi dari sekedar itu. Anggaplah ibadah karena mengharap pahala
tertentu itu adalah ibadahnya anak kecil, dan karena kita sudah tidak lagi kecil, maka kitapun
harus meng-update sasaran ibadah kita. Demikianlah yang seharusnya seperti yang tercantum
dalam surah 6 ayat 162. Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam" - Qs. al-An'am 6:162

Mi'raj

Rasululah SAW menerima perintah Shalat melalui Mi'raj. Dan beliau bersabda "Shalat adalah
Mi'raj-nya orang beriman". Lalu, apa hubungan Khusyu' dengan MI'RAJ? Khusyu' merupakan
kondisi pikiran yang terkendali dan terpusat ke satu arah. Mi'raj berasal dari peristiwa Isra dan
Mi'raj. Isra' Mi'raj adalah dua buah etimologi yang bermakna “perjalanan malam yang
menggunakan tangga", maka dengan demikian secara terminilogi Isra Mi'raj adalah perjalana
spirituil yang senantiasa linier secara bertahap semakin meningkat ke atas. Jika diilustrasikan,
ibarat peringkat yang kian meningkat levelnya hingga mencapai derajat pemahaman secara
komprehensif atas objek selaku subjek.

Perjalanan spiritual yang paripurna oleh Muhammad Saw telah merekomendasikan bentuk
penyembahan manusia terhadap Tuhan Nya dalam koridor syari'ah yang sangat universal bukan
frigid serta kering dari nilai. Apa relasi MI'RAJ dengan shalat? Sholat adalah sebuah wujud
nyata persembahan kemanusiaan yang hakiki, maka Sholat menjadi bentuk persembahyangan
manusia terhadap Tuhan Nya yang senantiasa harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan
keyakinan. Shalat didirikan bukan karena sesuatu apa atau siapa pun, tetapi hanya karena Allah.
Shalat menjadi hubungan (shilatun) antara hamba dan Tuhannya. Inilah mengapa dalam hadis
disebutkan, "Shalat adalah mi'rajnya orang mu'min".

Dalam istilah tasawuf, sholat yang berorientasi pada "pengakuan" Tuhan terhadap penyembahan
Nya, sehingga konsekwensi bagi seorang sufi adalah sholat ku ini diterima atau tidak. Jadi ketika
kita berbicara syah kah sebuah penyembahan maka cukup ikuti perintah fiqih. Akan tetapi bila
kita bertanya diterimakah sholat kita ataukah bermanfaatkah sholat tersebut, sebagaimana yang
diungkapkan diatas bahwa sholat yang didudukan sebagai Mi'raj, maka ada terjadinya prosesi
linier terhadap konsepsi kita tentang Tuhan yang dalam hal ini sholat adalah media komunikasi
Tuhan dengan hamba nya sehingga kerinduan ibnul rabby bertemu dengan Tuhannya selalu
menggunakan media sholat. Begitu pula Juned al Baghdad, yang melakukan sholat 400 raka'at
setiap harinya, adalah sebuah manifestasi sufi terhadap pengakuan kebesaran Allah SWT.
Upaya linier pengakuan terhadap Tuhan segalanya, derajat yang paling tinggi dalam pengakuan
Al Qur'an adalah ketaqwaan kepada Allah oleh hambanya yang termanifestisasikan dalam
pengambilan peran kemanusiaan sebagai hamba yang senantiasa mendedikasikan pengakuannya
dalam sholat. Implikasi dari hal tersebut adalah peningkatan derajat iman yang berwujud taqwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa. Maka konsepsi Al Qur'an tentang "amr Maruf Nahyi Munkar"
akan terwujud dalam "the grand design" kemanusiaan.

Ketika seorang hamba mendedikasikan pengakuan ada zat tunggal yang menguasai alam seisinya
ini, maka ketebalan iman tersebut akan menjadikan tonggak bagi perilaku kemanusiaan sejati.
Dia sadar sholat yang mendekatkan diri kepada Allah akan merefleksikan kembali, bahwa nilai
yang ada didalamnya bermuatan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sholat sebagai kekuatan spiritual, yaitu internalisasi seluruh nilai-nilai serta makna sholat dalam
kerangka kehidupan baik sebagai individu maupun komunitas masyarakat negara. Dengan
demikian, sholat akan bermakna sebagai penekanan serta penyadaran sang hamba yang
manusiawi sebagai mahluk yang memegang mandataris sebagai pemimpin dimuka bumi. Maka
segala implikasi pikiran, amaliyahnya selalu bertumpu pada kerangka kepemimpinan
kemanusiaan yang menebar kedamaian dalam kebersamaan.
Sebagai sebuah kekuatan spirituil sholat adalah tameng bagi kerusakan hati yang sudah
senantiasa dekat dengan Tuhannya, sehingga jikalau saja setiap manusia Indonesia memaknai
sholat serta mampu menjadikan sebagai kekuatan spiritualnya, maka "little bit garansi" bagi
terciptanya kehidupan yang semerbak dengan aroma kekuatan spirituil sholat itu sendiri, yaitu,
tanpa kekerasan, tanpa pengklaiman kebenaran, tanpa ada kerusakan serta sungguh indahnya
agama ini.

Niat

Sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik ummat ini. Mereka terus belajar dari
Rasulullah apa-apa saja yang harus dikerjakan dan apa saja yang mesti mereka tinggalkan. Soal
menjaga lurusnya niat di dalam hidup dan perjuangan mereka, tak bosan-bosan para sahabat itu
berguru kepada Rasulullah. Seperti dikisahkan oleh Umamah radhiyallahu 'anhu.

Ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
Apakah pendapat engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan
popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akhirat?" Rasulullah menjawab, "Dia tidak
mendapatkan apa-apa ".Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi
Rasulullah tetap menjawabnya, "Ia tidak menerima apa-apa!" Kemudian beliau bersabda,
Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang
mengharapkan ridha-Nya. (HR. Abu Daud dan Nasa'i).

Dalam kesempatan lain Abu Said Al-Khudri telah mengambil pelajaran berharga dari Rasulullah
pada saat haji wada'.

"Tiga perkara yang menjadikan seorang mukmin tidak akan menjadi pengkhianat: Ikhlas
beramal karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada para pemimpin kaum Muslimin,
dan senantiasa komitmen terhadap jama'ah ".(HR Ibnu Hibban).
Seni menjaga lurusnya niat tidaklah mudah. Karenanya, seperti dikatakan oleh Fudhail bin
"lyadh "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya', dan beramal karena manusia adalah
syirik. Maka, ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya ".

Urgensi niat sangatlah mendasar bagi kehidupan dan perjuangan setiap mukmin. Dengannya
segala amal akan diukur. Inilah yang didengar dan diamalkan Umar bin Khatab dari Rasulullah,
"Bahwa amal itu tergantung niat-nya". Maka, tak berlebihan kalau Imam Syafi'i menyebut
hadits Rasulullah ini adalah sepertiga dari seluruh ilmu.

Niat yang baik sering mengubah sesuatu yang mubah menjadi ibadah, Wajar bila perhatian para
salafusshalih kepada niat begitu besar. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Yahya bin Katsir,
"Pelajarilah niat dalam beramal, karena niat itu lebih cepat sampai kepada Allah dari pada
amal yang engkau lakukan itu ".

Meski upaya menjaga lurusnya niat telah diupayakan, namun mereka tak merasa puas dan cukup
begitu saja. Iman yang benar telah menjadikan mereka memadukan antara rasa pengharapan dan
kecemasan. Karenanya, mereka masih menambahinya dengan istighfar. Imam Hasan Al-Bashri
berkata: "Perbanyaklah istighfar di rumahmu, di ruang makan, di tengah perjalanan, di pasar,
tempat kerja, di pertemuan-pertemuan dan di mana pun dirimu berda saat itu. Sebab engkau
tidak akan tahu di temapt manakah turunnya maghfirah Rabb-mu". Nah bagaimana dengan kita?

Sebuah masyarakat muslim yang utuh menjadi dambaan setiap sahabat. Tindak tanduk ucapan
mereka bisa menjadi cermin bagi ucapan di atas. Apalagi sebuah jama'ah da’wah. Ibnu Mas'ud,
misalnya, pernah memberi nasehat, "Wahai sekalian manusia, hendaklah kalian selalu taat
dengan jama'ah kaum muslimin. Karena sesungguhnya ia adalah tali Allah yang kokoh yang
diperintahkan untuk dipegang. Sesungguhnya apa yang tidak engkau sukai dalam kebersamaan
di jama'ah itu, adalah lebih baik dari apa yang engkau sukai dalam keadaan terpecah belah ".

Hal serupa juga dilakukan para sahabat lainnya. Para sahabat lebih suka memutuskan masalah
dengan syura, agar barisan masyarakat muslim tetap rapat. Suatu hari Umar ber-pidato,

"Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan untuk Islam ini orang-orang yang layak untuk
memeluknya. Lalu Allah menyatukan hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Seorang
muslim dengan muslim yang lain bagaikan satu tubuh. Bila yang satu terkena sakit yang lain tak
akan tinggal diam. Karenanya, sangat layak bila mereka menjadikan perkara mereka diputuskan
dengan syura bersama para ahli di antara mereka,"

Demikian Imam Ibnu Jarir meriwayatkan. Karenanya, Umar bin Khatab dalam menjalankan
pemerintahannya, menjadikan para sahabat senior, khususnya pengikut perang Badr, untuk
menjadi tim penasihatnya. Mereka bahkan tak boleh tinggal jauh di luar Madinah.
Saat genting setelah wafatnya Rasulullah juga menjadi waktu penting para sabahat untuk
menjaga agar barisan da'wah Islam tetap utuh, seperti yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib,
misalnya. Kisahnya, setelah Abu Bakar di angkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan menemui Ali
seraya berkata, "Engkau dikalahkan dalam urusan kekuasaan ini oleh suku Quraisy yang jumlah
warganya sedikit? Demi Allah, kalau engkau mau, kami akan memenuhi kampungnya dengan
laki-laki dan kuda-kuda (menyerbu), jika engkau mau ". Mendengar itu, Ali bin Abi Thalib
menjawab lantang, "Apakah engkau ini masih menjadi musuh Islam dan kaum muslimin.
Sesungguhnya semua ini (pengangkatan Abu Bakar) tak merugikan Islam dan umatnya
sedikitpun. Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa Abu Bakar memang layak untuk itu ".

Untuk menjaga agar masyarakat mereka selalu rapi, para sahabat itu selalu berusaha untuk dekat
antara yang satu dengan yang lain. Menghindari perselisihan dan mengutamakan persatukan.
Sebagai pengikatnya, mereka menepatkan kerinduan akan ridha Allah untuk mengalahkan
potensi-potensi konflik di antara mereka. Seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas'ud,
"esungguhnya Allah, dengan keadilan dan pengetahuan-Nya menjadikan kebahagian dan suka
cita di dalam sikap yang yakin dan ridha, dan menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap
ragu-ragu dan benci terhadap ketentuan-Nya".

Mereka saling menghibur bila ada yang diuji oleh Allah. Suatu hari Ali bin Abi Thalib menemui
'Adi bin Hatim yang nampak kusut masai. Raut mukanya menggambarkan kesedihan yang berat.
"Mengapa engkau tampak bersedih hati?" Adi menjawab, "span style="font-style:
italic;">Bagaimana aku tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan mataku
tercongkel dalam pertempuran". Ali menyahut, "Barang siapa ridha terhadap takdir Allah, maka
takdir itu tetap berlaku atasnya dan ia mendapatkan pahala-Nya. Dan barangsiapa yang tidak
ridha terhadap takdir-Nya, maka takdir itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapuslah
pahalanya".

Sikap ini juga kemudian diwarisi oleh para tabi'in. Lihatlah apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri,
"Barangsiapa yang ridha terhadap apa yang sudah menjadi suratan hidupnya, maka jiwanya
akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah pun akan memberkahinya. Tetapi, barangsiapa
yang tidak ridha, maka pandangannya menjadi sempit dan Allah juga tidak memberkahinya".

Selain itu, para sahabat itu juga menjauhi berlaku curang. Al-Baihaqi meriwayatkan, bahwa
setiap tahun Abdullah bin Rawahah datang menemui Yahudi Khaibar untuk menetapkan berapa
bagian dari panen kurma yang harus mereka setor kepada Rasulullah. Abdullah bin Rawahah
menetapkan separoh hasil panen yang harus disetorkan. Maka mereka mengeluh. Orang-orang
Yahudi itu juga berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah. Dengan marah Abdullah menolak,
"Wahai musuh-musuh Allah. Kalian akan memberiku makanan kotor? Demi Allah, aku ini
datang dari orang yang paling tercinta di antara seluruh manusia. Dan sesungguhnya kalian
lebih aku benci dari pada kera dan babi. Namun ketahuilah, kebencianku kepada kalian, juga
kecintaanku kepada Rasulullah, tidak akan membuatku berbuat tidak adil dengan menerima
suap itu". Mendengar itu orang-orang Yahudi itu berkata "Dengan sikap seperti itulah langit dan
bumi tegak".

Otak
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan. (QS. Al Baqarah [2]:164).

Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-
ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka ". (QS. Al 'Aqla [96]:15-16).

Ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" dalam ayat di atas sungguh
menarik. Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun belakangan mengungkapkan bahwa bagian
prefrontal, yang bertugas mengatur fungsi-fungsi khusus otak, terletak pada bagian depan tulang
tengkorak. Para ilmuwan hanya mampu menemukan fungsi bagian ini selama kurun waktu 60
tahun terakhir, sedangkan Al Qur'an telah menyebutkannya 1400 tahun lalu. Jika kita lihat
bagian dalam tulang tengkorak, di bagian depan kepala, akan kita temukan daerah frontal
cerebrum (otak besar).

Buku berjudul Essentials of Anatomy and Physiology, yang berisi temuan-temuan terakhir hasil
penelitian tentang fungsi bagian ini, menyatakan: Dorongan dan hasrat untuk merencanakan dan
memulai gerakan terjadi di bagian depan lobi frontal, dan bagian prefrontal. Ini adalah daerah
korteks asosiasi. Berkaitan dengan keterlibatannya dalam membangkitkan dorongan, daerah
prefrontal juga diyakini sebagai pusat fungsional bagi perilaku menyerang.

Jadi, daerah cerebrum ini juga bertugas merencanakan, memberi dorongan, dan memulai
perilaku baik dan buruk, dan bertanggung jawab atas perkataan benar dan dusta. Jelas bahwa
ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" benar-benar merujuk pada
penjelasan di atas. Fakta yang hanya dapat diketahui para ilmuwan selama 60 tahun terakhir ini,
telah dinyatakan Allah dalam Al Qur'an sejak dulu.

Otak manusia dan Shalat

Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa menghadap Allah (meninggal dunia), sedangkan ia


biasa melalaikan shalatnya, maka Allah tidak mempedulikan sedikit-pun perbuatan baiknya
(yang telah ia kerjakan tsb)". Hadist Riwayat Tabrani.

Sholat itu bikin otak kita sehat

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah" (QS. Al Kautsar [108]:2)
Sebuah bukti bahwa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas
rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh ALLAH kepadanya.

Seorang Doktor di Amerika (Dr. Fidelma) telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang
di temuinya di dalam penyelidikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak
dapat diterima oleh akal fikiran. Dia adalah seorang Doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam
dia amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu telah membuka sebuah klinik yang
bernama "Pengobatan melalui Al Qur'an". Kajian pengobatan melalui Al-Quran dengan
menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat didalam Al-Quran. Di antara
berpuasa, madu, biji hitam (jadam) dan sebagainya.

Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam maka Doktor tersebut memberitahu
bahwa sewaktu kajian saraf yang dilakukan, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia
ini tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup
untuk berfungsi secara yang lebih normal. Setelah membuat kajian yang memakan waktu
akhirnya dia menemukan, bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut
melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud. Urat tersebut
memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian
urat tersebut mengikut kadar sembahyang waktu yang diwajibkan oleh Islam. Begitulah
keagungan ciptaan Allah. Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak tidak
dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Oleh karena itu kejadian
manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam "sepenuhnya" karena sifat fitrah
kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agamanya yang indah ini.

Makhluk Allah yang bergelar manusia yang tidak bersembahyang walaupun akal mereka
berfungsi secara normal tetapi sebenarnya di dalam sesuatu keadaan mereka akan hilang
pertimbangan di dalam membuat keputusan secara normal. Justru itu tidak heranlah manusia ini
kadang-kadang tidak segan-segan untuk melakukan hal hal yang bertentangan dengan fitrah
kejadiannya walaupun akal mereka mengetahui perkara yang akan dilakukan tersebut adalah
tidak sesuai dengan kehendak mereka karena otak tidak bisa untuk mempertimbangkan secara
lebih normal.

Pasrah
Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi.
Sebuah Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman
melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat
49:14). Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks firman itu, kaum Arab
Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan
perkataan "Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah ". Tentang hadits yang terkenal yang
menggambarkan pengertian masing-masing Islam, iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan
bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam ketiga unsur itu
terselip makna kejenjangan: orang mulai dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan
memuncak dalam ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman Allah,

"Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada kalangan para hamba Kami yang Kami
pilih, maka dari mereka ada yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat
pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas dengan berbagai kebijakan
dengan izin Allah" (QS. Fathir35:32).

Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan
berpegang pada ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang yang baru ber-
Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa
berkembang menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk mencapai tingkat
yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah (muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari
perbuatan zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja.
Dalam tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja
terbebas dari perbuatan jahat atau dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi
"pelomba" atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan itulah orang yang telah ber-
ihsan, mencapai tingkat seorang muhsin.

Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-
nya, kata Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan orang
yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat ber-Islam sehingga masih sempat
berbuat dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya
itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar al-
Thiba'at al-Muhammadiyah, tt.], hal. 11).

Pada saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi nama sebuah agama, khususnya
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam"
bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Dan ini melibatkan
pengertian tentang istilah itu yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam Kitab
Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada
sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang
disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan:

"Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3:19).

Maka selain dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam, perkataan al-Islam
dalam firman ini bisa diartikan secara lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya,
yaitu "pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua
agama yang benar. Inilah dasar pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar
adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan,
sebagaimana antara lain bisa disimpulkan dari firman Nya.

Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut Kitab Suci (Ahl al-Kitab)
melainkan dengan yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang dzalim. Dan nyatakanlah
kepada mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan kepada kami dan kepada
yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua
pasrah kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).

Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun" dalam firman itu lebih tepat
diartikan menurut makna generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan". Jadi
seperti diisyaratkan dalam firman itu, perkataan muslimun dalam makna asalnya juga menjadi
kualifikasi para pemeluk agama lain, khususnya para penganut Kitab Suci. Ini juga diisyaratkan
dalam firman:

"Apakah mereka mencari (agama) selain agama Tuhan? Padahal telah pasrah (aslama - "ber-
Islam") kepada-Nya mereka yang ada di langit dan di bumi, dengan taat atau pun secara
terpaksa, dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali. Nyatakanlah, "Kami percaya kepada
Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma'il, Ishaq, Ya'qub serta anak turun mereka, dan yang disampaikan kepada Musa dan 'Isa
serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan mereka itu, dan
kita semua pasrah (muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama selain sikap
pasrah (al-Islam) itu, ia tidak akan diterima, dan di akkirat termasuk orang-orang yang merugi.
(QS. Al-'lmran 3:83-85).

Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah (muslimun) itu mengatakan yang
dimaksud ialah "mereka dari kalangan umat ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus, pada
semua Kitab Suci yang diturunkan, mereka tidak mengingkarinya sedikitpun, melainkan
menerima kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi
yang dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), jilid 1,
hal. 380).
Sedangkan al-Zamakhsari memberi makna pada perkataan Muslimun sebagai "mereka yang
bertawhid dan mengikhlaskan diri pada-Nya," dan mengartikan al-Islam sebagai sikap memaha-
esakan (ber-tawhid) dan sikap pasrah diri kepada Tuhan" (taisir al-Kaskshaf [Teheran: Intisharat-
e Aftab, tt.] jilid 1, hal. 442). Dari berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama
tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai "muslim" atau
penganut "Islam", adalah tidak benar dan tidak bakal diterima oleh Tuhan.

Selanjutnya, penjelasan yang sangat penting tentang makna "al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn
Taimiyah. Ia mengatakan bahwa "al-Islam" mengandung dua makna adalah: pertama, ialah sikap
tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan dalam sikap tunduk kepada satu pemilik
atau penguasa, seperti difirmankan Allah, "wa rajul-an salam-an li rajul-in" (Dan seorang lelaki
yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki) (QS. al-Zumar 39:29).

Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik, dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya
kepada Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:

Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya
sendiri. Padahal sungguh Kami telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk
orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya, "Berserah dirilah engkau!', lalu
ia menjawab, "Aku berserah diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam ". Dan dengan
ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. "Wahai anak-anakku,
sesungguhnya Allah telah memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai
kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. Al-
Baqarah [2]:130-132).

"Katakanlah (Hai Muhammad), ",Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku ke
arah jalan yang lurus. Yaitu agama yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanif, dan tidaklah dia
termasuk orang-orang musyrik ". Katakan juga (hai Muhammad), "Sesungguhnya
sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada
serikat bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari kalangan
orang-orang yang pasrah ". (QS. Al-An'am [ 6]:161-163).

Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah dirilah kamu semua (aslimu)
kepada-Nya sebelum tiba kepada kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi. (QS. Al-Zumar
[39]:54).

Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn Taimiyah tentang makna al-Islam
[lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab al-
Jadid, 1976, hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian itu juga harus dipahami penegasan
dalam al-Qur'an bahwa semua agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama
yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah dan berserah diri secara tulus kepada Tuhan
dengan segala qudrat dan iradat-Nya. Maka sebagai misal, mengenai Nabi Ibrahim as. ditegaskan
bahwa dia bukanlah seorang penganut agama komunal seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan
dia adalah seorang yang tulus mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah kepada
Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67).

Demikian agama seluruh Nabi keturunan Ibrahim, khususnya anak-cucu Ya'qub atau Bani Israil,
sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab Suci, demikian:

"Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan ketika ia bertanya kepada
anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu sekalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab,
"Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu, Ibrahim, Isma'il dan Ishaq, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua pasrah (muslim) (QS Al-Baqarah [2]:133).
Qiblat
Kiblat adalah kata Arab yang merujuk arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan sholat,
dan ibadah semisal menyembelih hewan qurban, berdo'a dan sejenisnya. Pada mulanya, kiblat
mengarah ke Yerusalem. Menurut Ibnu Katsir, Rasulullah SAW dan para sahabat shalat dengan
menghadap Baitul Maqdis. Namun, Rasulullah lebih suka shalat menghadap kiblatnya Nabi
Ibrahim, yaitu Ka’bah. Oleh karena itu beliau sering shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga
Ka’bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus
menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis. Setelah hijrah ke Madinah, hal tersebut tidak mungkin
lagi dilakukan. Beliau shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Beliau sering menengadahkan
kepalanya ke langit menanti wahyu turun agar Ka'bah dijadikan kiblat shalat. Allah pun
mengabulkan keinginan beliau dengan menurunkan ayat 144 dari Surat al-Baqarah:

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.
Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-
orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah
dari apa yang mereka kerjakan (Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke
langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap
ke Baitullah).

Juga diceritakan dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari: Dari al-Bara bin Azib, bahwasanya
ketika Nabi SAW pertama tiba di Madinah, Beliau turun di rumah kakek-kakek atau paman-
paman dari Anshar. Dan bahwasanya Beliau shalat menghadap Baitul Maqdis enam belas atau
tujuh belas bulan. Dan Beliau senang kiblatnya dijadikan menghadap Baitullah. Dan shalat
pertama Beliau dengan menghadap Baitullah adalah shalat Ashar dimana orang-orang turut
shalat (bermakmum) bersama Beliau. Seusai shalat, seorang lelaki yang ikut shalat bersama
Beliau pergi kemudian melewati orang-orang di suatu masjid sedang ruku. Lantas dia berkata:
"Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku telah shalat bersama Rasulullah SAW dengan
menghadap Makkah". Merek pun dalam keadaan demikian (ruku) merubah kiblat menghadap
Baitullah. Dan orang-orang Yahudi dan ahli kitab senang Beliau shalat menghadap Baitul
Maqdis. Setelah beliau memalingkan wajahnya ke Baitullah, mereka mengingkari hal itu.
Sesungguhnya sementara orang meninggal dan terbunuh sebelum berpindahnya kiblat, sehingga
kami tidak tahu apa yang akan kami katakan tentang mereka. Kemudian Allah yang Maha Tinggi
menurunkan ayat "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu" (al-Baqarah, 2:143).

Hal itu terjadi pada tahun 624. Dengan turunnya ayat tersebut, kiblat diganti menjadi mengarah
ke Ka’bah di Mekkah. Selain arah shalat, kiblat juga merupakan arah kepala hewan yang
disembelih, juga arah kepala jenazah yang dimakamkan.

Ruh
Al Qur'an telah membahas tentang hakekat asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian
manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan
sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72). Dari
ayat-ayat ini menjadi jelas bahwa hakekat manusia terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan
tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan satunya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat di sebut manusia. Dalam
perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas nafs manusia ketika hidup di
muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.

Ruh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat
diketahui dengan pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana
menyelusupnya air ke dalam bunga, tidak larut dan tidak terpecah-pecah. Untuk memberi
kehidupan pada tubuh selama tubuh mampu menerimanya.
Sudah lama "kemisteriusan" ruh menjadi perdebatan di kalangan ulama Islam (teolog, filosof dan
ahli sufi) yang berusaha menyingkap dan menelanjangi keberadaannya. Mereka mencoba
mengupas dan mengulitinya guna mendapatkan kepastian tentang hakekat ruh.

Dalam bahasa Arab, kata ruh mempunyai banyak arti. Kata ruh untuk ruh; Kata rih yang berarti
angin; Kata rawh yang berarti rahmat. Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut
jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat. Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia
digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab digunakan
untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin.

Dalam al-Qur'an, ruh juga digunakan bukan hanya satu arti. Term-term yang digunakan al-
Qur'an dalam penyebutan ruh, bermacam-macam. Diantaranya ruh di sebut sebagai sesuatu:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)

Hanya saja, ruh manusia diyakini sebagai zat yang menjadikan seseorang masih tetap hidup.
Jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh
akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.

Selanjutnya al-Qur'an juga banyak menggunakan kata ruh untuk menyebut hal lain, seperti:

a. Malaikat Jibril, atau malaikat lain dalam QS. Al-Syu'ara' 193, al-Baqarah 87, al-Ma'arij 4, al-
Naba' 38 dan al-Qadr 4.
b. Rahmad Allah kepada kaum mukminin dalam QS. al-Mujadalah 22:
c. Kitab suci al-Qur'an dalam QS. Al-Shura 52.

Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat
mengenainya. Ibn Manzur mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan, bahwa
bagi orang Arab, ruh dan nafs merupakan dua nama untuk satu hal yang sama, yang satu
dipandang mu'anath dan lainnya mudhakkar.

Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M).

Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan
awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata.
Jiwa (ruh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama
yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya,
jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi
definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku
dari berbagai perilaku dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai
anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis. Ibnu Sina membagi daya jiwa
(ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu:

1. Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan
mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.

2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia
mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat
mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.

3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan
fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal
bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai
perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia
mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.
Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)

Sebagaimana Ibn Sina, Imam Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup
dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.

2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang
hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).

3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidup dari segi
melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran, serta dari segi mengetahui hal-hal yang
bersifat umum. Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain
menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan
tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai
daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan
dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al
mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan
bisa mengetahui.

Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar
yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan,
gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya
yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia
mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan
jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini al-Ghazali mengemukakan
hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran
Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi
ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yang dinamakan
manusia.

Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)

Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh
hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta
seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh
anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan. Ruh
berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja
dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya
adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus
yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat
zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat.

Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah,
bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi
yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain. Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan
tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang. Ia menyatakan bahwa kata al-ruh
juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan
setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang
meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat
tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia
disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata
ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.

Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:
1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah
menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih,
"Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang
mengalir".
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.

Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat
khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir
di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad,
maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia
berpisah dengan nyawa”.

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu,
sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat
dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah,
jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung
kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan
yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa,
tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang
mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.

Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)

Ibn Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs
(jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang
mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini
menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di
dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang
melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan
bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan
keinginan.

Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs
mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs
mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah. Mereka berargumen dengan firman
Allah:

Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ... (QS. Al-Fajr: 27).

Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan
jiwa lawwamah (QS. al-Qiyamah: 1-2)

Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah) (QS. Yusuf:
53)

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan
dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang
tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta
keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena
tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-
ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs
lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah
adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.
Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah
yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara
pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini. Ibn Qayyim juga
menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide
Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:

1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah 'alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu
pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan
usaha menjauhi kehinaan.
2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah) dan cintanya tertuju
pada pemaksaan, tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia
dengan cara yang batil.
3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya
tertuju pada makanan, minuman dan seks. Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat
dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang
yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.

Filosof Lain
1. Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya. Ia
masuk dan bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang dan
mempersempit ruang lingkupnya. Keberadaannya dalam badan adalah untuk menghadapi
kebinasaan badan dan menjadi pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas
dari badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa.
2. Al-Jubba'i berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan.
Sebab kehidupan adalah a'rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak bisa ditempati a'rad.
3. Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan
ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a'rad. Ia
menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya
masih ada.
4. Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin,
basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian
berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari.

Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-
qalb dan al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang
dengan kulit arinya. Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa pengertian ruh adalah sama
dengan nafs (kecuali Abu Hudhail). Hanya saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam
lagi tentang peran, macam-macam, fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia
terkesan berbeda. Meskipun perbedaan tersebut amat tipis sekali karena kesemuaan pembahasan
diatas saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang terkadang pada proses dan fase tertentu
mereka mendefinisikannya sama.

Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai ruh dan hal-hal yang terkait
dengannya, satu hal yang pasti, bahwa kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap
menjadi rahasia Allah semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk
mencoba membuka dan menyingkapnya secara utuh.

Materi manusia merupakan saripati tanah liat yang merupakan cikal bakal Nabi Adam dan
keturunannya. Materi atau sel benih (nutfah) ini, yang semula adalah tanah liat, setelah melewati
berbagai proses, akhirnya menjadi manusia. Tanah liat berubah menjadi makanan (melalui
tanaman dan hewan). Makanan menjadi darah, darah menjadi sperma dan indung telur. Sperma
kemudian bersatu dengan indung telur dalam suatu wadah (QS. 23:14) hasil dari persatuan yang
terjadi di dalam rahim, setelah melalui proses transformasi yang panjang sehingga menjadi resam
tubuh yang harmonis (jibillah) dan menjadi cocok untuk menerima ruh. Adapun penerimaan ruh
ini semuanya langsung dari Allah, dan ini diberikan tatkala embrio sudah siap dan cocok untuk
menerimanya. Lihat Ali Issa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, cet. II (Bandung: Pustaka,
1987), 115.
Shalat Merupakan Perjalanan Ruhani menuju Allah SWT; Shalat adalah proses perjalanan
spiritual yang penuh makna yang dilakukan oleh seorang hamba untuk dapat menemui Sang
Penciptanya. Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat pelaksana shalat untuk dapat
mencapai taraf kesadaran yang lebih tinggi dan menggapai pengalaman puncak spiritual. Shalat
memiliki kemampuan untuk dapat mengurangi kecemasan, karenaterdapat lima unsur
didalamnya, yaitu :

1. Meditasi atau doa yang teratur, minimal lima kali dalam satu hari.
2. Relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat.
3. Hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat.
4. Group therapy dalam shalat berjama’ah
5. Hydro therapy dalam mandi junub atau wudhu’ sebelum shalat Shalat adalah salah satu
ibadah yang berkaitan dengan meditasi transcendental, yaitu mengarahkan jiwa kepada satu
obyek dalam waktu beberapa saat, seperti halnya dalam melakukan hubungan langsung antara
hamba dengan Tuhannya.

Ketika shalat ruhani bergerak menuju Dzat Yang Maha Mutlak, pikiran terlepas dari keadaan riil
dan panca indera melepaskan diri dari segala macam keruwetan dan kebisingan peristiwa di
sekitarnya, termasuk juga keterikatan terhadap rasa sedih, gelisah, gembira dan sebagainya.
Shalat adalah satu cara untuk mengembalikan kesadaran diri yang tertinggi dengan perjalanan
mi’raj yaitu menuju kepada ketinggian Ilahi yang luas sehingga kesadaran ruhani kembali
kapada kedudukannya sebagi duta Ilahi (khalifatullah) yang membawa pesan-pesan ilahiyah.

Sujud
Ketika seseorang sedang melaksanakan sholat baik itu sunat maupun wajib, ada gerakan dimana
mengisyaratkan penghambaan diri kepada Pencipta Alam Semesta, Alloh SWT yaitu melakukan
sujud. Sujud dilakukan selain sebagai tanda penghambaan juga biasanya dilakukan ketika
mendapatkan nikmat, ini yang dinamakan sujud syukur, dan ini dilakukan diluar sholat namun
jika dilakukan ketika sholat, maka di sujud di rakaat terakhir karena di saat inilah permohonan
ampunan dan doa , insya Alloh terkabul. Anggota badan yang termasuk dalam melakukan sujud
ada tujuh yaitu dua telapak tangan, dua telapak kaki, dua lutut ( kanan dan kiri) dan wajah (
kening dan hidung)

Ketika melakukan sujud, kening tidak boleh terhalang oleh apapun baik itu rambut maupun
kopiah yang dipergunakan. Oleh karena inilah di Asia Selatan ada kopiah yang digunting bagian
keningnya sehingga keningnya tidak terhalang kopiah dan posisi kopiah tetap tegak tidak
dimiringkan. Mengapa begitu pentingnya kening ? Karena kening adalah bagian dari kepala dan
didalam kepala ada akal, pikiran, otak dan anggota lainnya.

Takbiratul Ihram
Postur: berdiri tegak, mengangkat kedua tangan sejajar telinga, lalu melipatnya di depan perut
atau dada bagian bawah. Manfaat: Gerakan ini melancarkan aliran darah, getah bening (limfe)
dan kekuatan otot lengan. Posisi jantung di bawah otak memungkinkan darah mengalir lancar ke
seluruh tubuh. Saat mengangkat kedua tangan, otot bahu meregang sehingga aliran darah kaya
oksigen menjadi lancar. Kemudian kedua tangan didekapkan di depan perut atau dada bagian
bawah. Sikap ini menghindarkan dari berbagai gangguan persendian, khususnya pada tubuh
bagian atas.

Rukuk
Postur: Rukuk yang sempurna ditandai tulang belakang yang lurus sehingga bila diletakkan
segelas air di atas punggung tersebut tak akan tumpah. Posisi kepala lurus dengan tulang
belakang. Manfaat: Postur ini menjaga kesempurnaan posisi dan fungsi tulang belakang (corpus
vertebrae) sebagai penyangga tubuh dan pusat syaraf. Posisi jantung sejajar dengan otak, maka
aliran darah maksimal pada tubuh bagian tengah. Tangan yang bertumpu di lutut berfungsi
relaksasi bagi otot-otot bahu hingga ke bawah. Selain itu, rukuk adalah latihan kemih untuk
mencegah gangguan prostat.
I’tidal
Postur: Bangun dari rukuk, tubuh kembali tegak setelah, mengangkat kedua tangan setinggi
telinga. Manfaat: I’tidal adalah variasi postur setelah rukuk dan sebelum sujud. Gerak berdiri
bungkuk berdiri sujud merupakan latihan pencernaan yang baik. Organ organ pencernaan di
dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian. Efeknya, pencernaan
menjadi lebih lancar.

Sujud
Postur: Menungging dengan meletakkan kedua tangan, lutut, ujung kaki, dan dahi pada lantai.
Manfaat: Aliran getah bening dipompa ke bagian leher dan ketiak. Posisi jantung di atas otak
menyebabkan darah kaya oksigen bisa mengalir maksimal ke otak. Aliran ini berpengaruh pada
daya pikir seseorang. Karena itu, lakukan sujud dengan tuma’ninah, jangan tergesa gesa agar
darah mencukupi kapasitasnya di otak. Postur ini juga menghindarkan gangguan wasir. Khusus
bagi wanita, baik rukuk maupun sujud memiliki manfaat luar biasa bagi kesuburan dan kesehatan
organ kewanitaan.

Duduk
Postur: Duduk ada dua macam, yaitu iftirosy (tahiyyat awal) dan tawarruk (tahiyyat akhir).
Perbedaan terletak pada posisi telapak kaki. Manfaat: Saat iftirosy, kita bertumpu pada pangkal
paha yang terhubung dengan syaraf nervus Ischiadius. Posisi ini menghindarkan nyeri pada
pangkal paha yang sering menyebabkan penderitanya tak mampu berjalan. Duduk tawarruk
sangat baik bagi pria sebab tumit menekan aliran kandung kemih (urethra), kelenjar kelamin pria
(prostata) dan saluran vas deferens. Jika dilakukan. dengan benar, postur irfi mencegah
impotensi. Variasi posisi telapak kaki pada iffirosy dan tawarruk menyebabkan seluruh otot
tungkai turut meregang dan kemudian relaks kembali. Gerak dan tekanan harmonis inilah yang
menjaga. kelenturan dan kekuatan organ-organ gerak kita.

Salam
Gerakan: Memutar kepala ke kanan dan ke kiri secara maksimal. Manfaat: Relaksasi otot sekitar
leher dan kepala menyempurnakan aliran darah di kepala. Gerakan ini mencegah sakit kepala
dan menjaga kekencangan kulit wajah. BERIBADAH secara, kontinyu bukan saja menyuburkan
iman, tetapi mempercantik diri wanita luar dalam.

Pacu Kecerdasan
Gerakan sujud dalam salat tergolong unik. Falsafahnya adalah manusia menundukkan diri
serendah rendahnya, bahkan lebih rendah dari pantatnya sendiri. Dari sudut pandang ilmu
psikoneuroimunologi (ilmu mengenai kekebalan tubuh dari sudut pandang psikologis) yang
didalami Prof Sholeh, gerakan ini mengantar manusia pada derajat setinggi tingginya. Mengapa?
Dengan melakukan gerakan sujud secara rutin, pembuluh darah di otak terlatih untuk menerima
banyak pasokan darah. Pada saat sujud, posisi jantung berada di atas kepala yamg
memungkinkan darah mengalir maksimal ke otak. Itu artinya, otak mendapatkan pasokan darah
kaya oksigen yang memacu kerja sel-selnya. Dengan kata lain, sujud yang tumakninah dan
kontinyu dapat memacu kecerdasan. Risetnya telah mendapat pengakuan dari Harvard
Universitry, AS. Bahkan seorang dokter berkebangsaan Amerika yang tak dikenalnya
menyatakan masuk Islam setelah diam diam melakukan riset pengembangan khusus mengenai
gerakan sujud.

Perindah Postur
Gerakan gerakan dalam salat mirip yoga atau peregangan (stretching). Intinya untuk melenturkan
tubuh dan melancarkan peredaran darah. Keunggulan salat dibandingkan gerakan lainnya adalah
salat menggerakan anggota tubuh lebih banyak, termasuk jari kaki dan tangan. Sujud adalah
latihan kekuatan untuk otot tertentu, termasuk otot dada. Saat sujud, beban tubuh bagian atas
ditumpukan pada lengan hingga telapak tangan. Saat inilah kontraksi terjadi pada otot dada,
bagian tubuh yang menjadi kebanggaan wanita. Payudara tak hanya menjadi lebih indah
bentuknya tetapi juga memperbaiki fungsi kelenjar air susu di dalamnya.
Mudahkan Persalinan
Masih dalam pose sujud, manfaat lain bisa dinikmati kaum hawa. Saat pinggul dan pinggang
terangkat melampaui kepala dan dada, otot otot perut (rectus abdominis dan obliquus abdominis
externuus) berkontraksi penuh. Kondisi ini melatih organ di sekitar perut untuk mengejan lebih
dalam dan lama. Ini menguntungkan wanita karena dalam persalinan dibutuhkan pernapasan
yang baik dan kemampuan mengejan yang mencukupi. Bila, otot perut telah berkembang
menjadi lebih besar dan kuat, maka secara alami ia justru lebih elastis. Kebiasaan sujud
menyebabkan tubuh dapat mengembalikan serta mempertahankan organ organ perut pada
tempatnya kembali (fiksasi).

Perbaiki Kesuburan
Setelah sujud adalah gerakan duduk. Dalam salat ada dua macam sikap duduk, yaitu duduk
iftirosy (tahiyyat awal) dan duduk tawarruk (tahiyyat akhir). Yang terpenting adalah turut
berkontraksinya otot otot daerah perineum. Bagi wanita, inilah daerah paling terlindung karena
terdapat tiga lubang, yaitu liang persenggamaan, dubur untuk melepas kotoran, dan saluran
kemih. Saat duduk tawarruk, tumit kaki kiri harus menekan daerah perineum. Punggung kaki
harus diletakkan di atas telapak kaki kiri dan tumit kaki kanan harus menekan pangkal paha
kanan. Pada posisi ini tumit kaki kiri akan memijit dan menekan daerah perineum. Tekanan
lembut inilah yang memperbaiki organ reproduksi di daerah perineum.

Awet Muda
Pada dasarnya, seluruh gerakan salat bertujuan meremajakan tubuh. Jika tubuh lentur, kerusakan
sel dan kulit sedikit terjadi. Apalagi jika dilakukan secara rutin, maka sel sel yang rusak dapat
segera tergantikan. Regenerasi pun berlangsung lancar. Alhasil, tubuh senantiasa bugar. Gerakan
terakhir, yaitu salam dan menengok ke kiri dan kanan punya pengaruh besar pada ke¬kencangan.
kulit wajah. Gerakan ini tak ubahnya relaksasi wajah dan leher. Yang tak kalah pen¬tingnya,
gerakan ini menghin¬darkan wanita dari serangan migrain dan sakit kepala lainnya

Kalimat sujud di dalam al-Qur'an


Ayat-ayat al-Qur'an yang mengandungi perkataan "sujud" adalah:

2:34. Dan apabila Kami berkata kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam", lalu
mereka sujud kecuali Iblis. Ia enggan, dan ia sombong, dan ia menjadi antara orang-orang yang
tidak percaya (kafir).

2:58. Dan apabila Kami berkata, "Masuklah bandar raya ini, dan makanlah dengan senang
daripadanya di mana sahaja kamu mengkehendaki, dan masuklah pada pintu gerbang dengan
bersujud, dan katakanlah, 'Tidak membebankan'; Kami akan mengampuni kamu atas
pelanggaran-pelanggaran kamu, dan menambahkan kepada orang-orang yang berbuat baik ".

2:125. Dan apabila Kami membuatkan Rumah untuk menjadi tempat berkunjung bagi manusia,
dan tempat aman, dan, "Ambillah bagi kamu medan Ibrahim untuk tempat solat ". Dan Kami
membuat perjanjian dengan Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah Rumah-Ku untuk orang-orang
yang mengelilinginya, dan orang-orang yang bertekun (iktikaf), dan orang-orang yang tunduk,
orang-orang yang sujud ".

3:43. Wahai Mariam, patuhlah kepada Pemelihara kamu, sujudlah, dan tunduklah, bersama
orang-orang yang tunduk ".

3:113. Tidaklah mereka semua sama; sebahagian daripada ahli Kitab adalah satu umat yang
tegak, yang membaca ayat-ayat Allah pada tengah malam, dan bersujud.

4:102. Apabila kamu di kalangan mereka, dan melakukan solat bagi mereka, maka hendaklah
segolongan daripada mereka berdiri bersama kamu, dan hendaklah mereka mengambil senjata-
senjata mereka. Apabila mereka sujud, hendaklah mereka berada di belakang kamu, dan
hendaklah segolongan lain yang belum menyembah datang, dan menyembah bersama kamu,
dengan mengambil kewaspadaan mereka dan senjata-senjata mereka.
Orang-orang yang tidak percaya beringinkan kamu lengah daripada senjata-senjata kamu, dan
barang-barang kamu, lalu mereka akan menyerbu kamu dengan serbuan sekali gus. Dan
tidaklah bersalah ke atas kamu jika kamu dalam gangguan daripada hujan, atau kamu sakit,
untuk meletakkan senjata-senjata kamu, tetapi ambillah kewaspadaan kamu. Allah menyediakan
bagi orang-orang yang tidak percaya, azab yang hina.

4:154. Dan Kami menaikkan di atas mereka Gunung, dengan mengambil perjanjian mereka dan
Kami mengatakan kepada mereka, "Masuklah pintu gerbang dengan bersujud", dan Kami
mengatakan kepada mereka, "Janganlah mencabuli Sabat"; dan Kami mengambil daripada
mereka satu perjanjian yang kukuh.

7:11. Kami mencipta kamu, kemudian Kami membentuk kamu, kemudian Kami berkata kepada
para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam"; maka mereka sujud, kecuali Iblis; ia bukanlah
daripada orang-orang yang sujud.

7:12. Berkatalah Dia, "Apakah yang menghalangi kamu daripada bersujud ketika Aku
memerintahkan kamu?" Berkata, "Aku lebih baik daripada dia. Engkau cipta aku daripada api,
dan dia Engkau cipta daripada tanah liat ".

7:120. Dan ahli-ahli sihir melemparkan diri, bersujud.

7:161. Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Tinggallah di bandar raya ini, dan makanlah
daripadanya di mana sahaja kamu mengkehendaki; dan katakanlah, 'Tidak membebankan'; dan
masuklah pada pintu gerbang, dengan bersujud. Kami akan mengampuni kamu atas
pelanggaran-pelanggaran kamu, dan menambahkan kepada orang-orang yang berbuat baik ".

7:206. Sesungguhnya orang-orang yang di sisi Pemelihara kamu tidak menyombongkan diri
untuk menyembah-Nya; mereka melafazkan sanjungan-Nya, dan kepada-Nya mereka sujud.

9:112. Orang-orang yang bertaubat, orang-orang yang menyembah, orang-orang yang memuji,
orang-orang yang berpergian, orang-orang yang tunduk, orang-orang yang sujud, orang-orang
yang menyuruh pada yang baik dan melarang daripada kemungkaran, dan orang-orang yang
menjaga had-had Allah - dan berilah kamu berita gembira kepada orang-orang mukmin.

12:4. Apabila Yusuf berkata kepada bapanya, "Ayah, saya melihat sebelas bintang, dan
matahari, dan bulan; saya melihat mereka sujud kepada saya ".

12:100. Dan dia menaikkan ibu dan bapanya ke atas arasy (singgahsana); dan yang lain, jatuh
bersujud kepadanya. Berkata, "Ayah, inilah interpretasi mimpi saya yang dahulu; Pemelihara
saya telah membuatnya benar. Dia telah berbudi baik kepada saya apabila Dia mengeluarkan
saya dari penjara, dan Dia mendatangkan kamu dari gurun setelah syaitan menyelisihkan
antara saya dan saudara saya. Pemelihara saya halus terhadap apa yang Dia mengkehendaki;
sesungguhnya Dialah Yang Mengetahui, Yang Bijaksana.

13:15. Kepada Allah sujud segala yang di langit dan bumi, dengan rela atau membenci, seperti
juga bayang-bayang mereka pada waktu pagi dan petang.

15:29. Apabila Aku telah membentukkannya, dan menghembuskan Roh-Ku ke dalamnya,


jatuhlah kamu dengan bersujud kepadanya.

15:30. Kemudian para malaikat sujud, kesemuanya.

15:31. Kecuali Iblis; ia enggan untuk menjadi antara orang-orang yang sujud.

15:32. Berkatalah Dia, "Wahai Iblis, apakah sebabnya kamu tidak bersama orang-orang yang
sujud?"
15:33. Berkata, "Aku tidak akan sujud kepada makhluk yang Engkau cipta daripada tanah liat
yang kering, daripada lumpur yang dibentuk ".

15:98. Dan menyanjunglah kamu dengan memuji Pemelihara kamu, dan jadilah antara orang-
orang yang sujud,

16:48. Tidakkah mereka merenungkan segala sesuatu yang Allah menciptakan yang menebarkan
bayangnya ke kanan dan ke kiri, bersujud kepada Allah dengan merendah diri?

16:49. Kepada Allah sujud segala yang di langit, dan tiap-tiap makhluk yang merayap di bumi,
dan para malaikat. Mereka tidak menyombongkan diri.

17:61. Dan apabila Kami berkata kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam"; maka
mereka sujud, kecuali Iblis. Ia berkata, "Adakah aku akan sujud kepada apa yang Engkau cipta
daripada tanah liat?"

17:107. Katakanlah, "Percayalah kepadanya, atau tidak mempercayai; orang-orang yang diberi
pengetahuan sebelumnya, apabila dibacakan kepada mereka, jatuh di atas dagu-dagu mereka
dengan bersujud,

18:50. Dan apabila Kami berkata kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam"; maka
mereka sujud, kecuali Iblis; ia adalah daripada jin, dan ia melakukan kefasiqan terhadap
perintah Pemeliharanya. Apa, adakah kamu mengambil ia dan keturunannya untuk menjadi
wali-wali (sahabat-sahabat) kamu, selain daripada Aku, sedang mereka adalah musuh bagi
kamu? Betapa buruknya pengganti bagi orang-orang yang zalim!

19:58. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah merahmati ke atas mereka - para Nabi
daripada keturunan Adam, dan daripada orang-orang yang Kami bawa bersama Nuh, dan
daripada keturunan Ibrahim dan Israil, dan daripada orang-orang yang Kami telah memberi
petunjuk dan Kami pilih. Apabila ayat-ayat Yang Pemurah dibacakan kepada mereka, mereka
jatuh bersujud, dan menangis.

20:70. Dan ahli-ahli sihir melemparkan diri-diri mereka, bersujud. Mereka berkata, "Kami
percaya kepada Pemelihara Harun dan Musa ".

20:116. Dan apabila Kami berkata kepada para malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam"; maka
mereka sujud, kecuali Iblis; ia enggan.

22:18. Tidakkah kamu melihat bagaimana kepada Allah sujud segala yang di langit, dan segala
yang di bumi, dan matahari, dan bulan, dan bintang-bintang, dan gunung-gunung, dan pokok-
pokok, dan haiwan-haiwan, dan ramai daripada manusia? Dan ramai, wajarlah azab ke atas
mereka; dan sesiapa yang Allah menghinakan, maka tiadalah yang memuliakannya.
Sesungguhnya Allah buat apa sahaja yang Dia mengkehendaki.

22:26. Dan apabila Kami menempatkan untuk Ibrahim tempat Rumah, "Janganlah kamu
menyekutukan Aku dengan sesuatu. Dan kamu bersihkanlah Rumah-Ku untuk orang-orang yang
mengelilinginya, dan orang-orang yang berdiri, dan orang-orang yang tunduk, orang-orang
yang sujud.

22:77. Wahai orang-orang yang percaya, tunduklah kamu dan sujudlah kamu, dan sembahlah
Pemelihara kamu, dan buatlah kebaikan, agar kamu beruntung.

25:60. Tetapi apabila dikatakan kepada mereka, "Sujudlah kamu kepada Yang Pemurah",
mereka berkata, "Dan apakah ia Yang Pemurah? Adakah kami akan sujud kepada apa yang
kamu memerintahkan kami?" Dan ia menambahkan mereka dalam pelarian.

25:64. Yang melalui malam dengan bersujud kepada Pemelihara mereka, dan berdiri.
26:46. Maka ahli-ahli sihir melemparkan diri, bersujud.

26:219. Dan apabila kamu berbalik-balik antara orang-orang yang sujud.

27:24. Aku mendapati dia dan kaumnya sujud kepada matahari, selain daripada Allah; syaitan
menampakkan indah amalan-amalan mereka bagi mereka, dan ia menghalangi mereka daripada
jalan, maka mereka tidak mendapat petunjuk.

27:25. Supaya mereka tidak sujud kepada Allah, yang mengeluarkan yang tersembunyi di langit
dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu menyembunyikan dan apa yang kamu menyiarkan.
Orang-orang yang mempercayai ayat-ayat Kami hanyalah yang apabila mereka diperingatkan
dengannya jatuh bersujud, dan mereka menyanjung dengan memuji Pemelihara mereka, dan
tidak menyombongkan diri. Apabila Aku telah membentuknya, dan menghembuskan Roh-Ku ke
dalamnya, jatuhlah kamu sujud kepadanya!" Kemudian para malaikat sujud, kesemuanya,
Berkata, "Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu daripada bersujud kepada apa yang Aku
telah cipta dengan tangan-Ku Sendiri? Adakah kamu menyombongkan diri, atau kamu termasuk
orang-orang yang tinggi?" Atau, adakah orang yang patuh pada waktu malam, sujud dan
berdiri, sedang dia takut pada akhirat, dan mengharapkan pengasihan Pemeliharanya?
Katakanlah, "Adakah mereka sama - orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui?" Hanya orang-orang yang mempunyai minda mengingati.

41:37. Dan daripada ayat-ayat-Nya adalah malam dan siang, dan matahari dan bulan.
Janganlah kamu sujud kepada matahari dan bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang mencipta
mereka, jika Dia kamu sembah.

48:29. Muhammad adalah rasul Allah, dan orang-orang yang bersama dia, keras terhadap
orang-orang yang tidak percaya, pengasih sesama mereka. Kamu melihat mereka tunduk, sujud,
mencari pemberian daripada Allah, dan kepuasan hati. Tanda mereka adalah pada muka-muka
(wajah) mereka, bekas sujud. Itulah persamaan mereka di dalam Taurat, dan persamaan mereka
di dalam Injil - seperti sebiji benih yang mengeluarkan tunasnya, dan menguatkannya, dan ia
membesar dengan tegap, dan tegak di atas ganggangnya, menakjubkan penyemai-penyemai,
supaya melaluinya Dia menimbulkan marah orang-orang yang tidak percaya. Allah menjanjikan
orang-orang antara mereka, yang percaya dan membuat kerja-kerja kebaikan, dengan
keampunan dan upah yang besar.

50:40. Lafazlah sanjungan-Nya pada malam hari, dan pada hujung-hujung sujud.

53:62. Maka kamu sujudlah kepada Allah, dan sembahlah!

55:6. Dan bintang-bintang dan pokok-pokok bersujud,

68:42. Pada hari apabila betis disingkap, dan mereka diseru untuk bersujud, tetapi mereka tidak
boleh.

68:43. Pandangan mereka merendah, kehinaan menutupi mereka, kerana mereka telah diseru
untuk bersujud sedang mereka sejahtera.

76:26. Dan sebahagian daripada malam; sujudlah kepada-Nya, dan sanjunglah Dia melintasi
malam yang panjang.

84:21. Dan apabila al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud?

96:19. Tidak sekali-kali! Janganlah kamu mentaatinya, dan sujudlah, dan dekatkanlah
Thuma’ninah
Dalam setiap ibadah yang disyariatkan Allah kepada manusia sungguh mengandung berbagai
hikmah yang luar biasa. Mestinya kita semakin sadar dan bersyukur atas kasih sayang Allah
yang diberikan kepada kita melalui perintah untuk melaksanakan berbagai ibadah ritual. Pantas
bila Rasulullah saw dan para sahabat seolah memiliki energi yang tidak terbatas dalam
berdakwah dan berjuang demi Islam. Kita yakin Rasulullah saw dan para sahabat melakukan
shalat dengan tuma'ninah sehingga memberikan energi positif yang luar biasa pada diri beliau
dan para sahabat. Ketenangan dan jeda dalam melakukan sesuatu adalah salah satu bentuk
pelatihan dalam mengontrol pikiran kita. Jika kita melakukan sesuatu dengan penuh ketenangan,
maka pikiran akan lebih terkonsentrasi. Tindakan kita akan diringi dengan kesadaran tinggi, dan
kita bisa mengendalikan pikiran kita. Inilah makna dasar thuma’ninah yang berarti tenang atau
kondisi dalam ketenangan.

Pikiran yang tenang dan damai adalah pikiran yang penuh dengan energi yang melimpah karena
tidak habis oleh pikiran-pikiran lain. Jika kita damai dan tenang, maka pikiran kita akan terpusat
pada pikiran yang kita pilih dan akan menghasilkan energi yang luar biasa. Seharusnya umat
Islam yang selalu melakukan shalat dengan tumaninah setiap hari sudah melakukan latihan
motivasi yang luar biasa. Seharusnya umat Islam saat ini adalah umat yang memiliki motivasi
tinggi dan menghasilkan pencapaian yang luar biasa dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Tuma'ninah, adalah sebuah syarat mencapai kekhusyu'an dalam shalat. Sebuah riwayat
menerangkan, bahwa sebelum shalat subuh, Rasulullah mempunyai kebiasaan melakukan
istirahat dalam posisi tiduran miring yang disebut qailulah. Kebiasaan ini beliau lakukan pula
menjelang shalat dhuhur. Relaksasi sebagaimana Rasulullah lakukan merupakan hal penting bagi
orang yang hendak melakukan shalat, karena shalat merupakan perjalanan jiwa menuju Allah
sehingga diperlukan persiapan yang serius namun rileks.

Shalat berbeda dengan olahraga, karena shalat sepenuhnya bersifat terapi, baik fisik maupun
jiwa. Gerakan tubuh pada waktu shalat, tidak dilakukan dengan hentakan atau gerakan keras
seperti halnya orang olah raga senam dalam peregangan otot. Gerakan shalat harus dilakukan
dengan rileks dengan pengendoran tubuh secara alamiah, seperti gerakan orang ngulet saat
bangun tidur. Orang tai chi pun melakukan meditasi dengan gerakan ngulet, yaitu gerakan yang
telah di pola mengikuti alur tubuh secara alami.

Di dalam tuma'ninah, aspek meditasi jelas sekali. Saat berdiri, benar-benar berdiri. Bukan berdiri
seperti orang ber-upacara bendera atau berdiri seperti orang latihan karate, tetapi berdirilah yang
tenang dan kendor agar seluruh organ tubuh berada dalam posisinya secara alami. Kita bisa
merasakannya pada saat kita berdiri di tepi pantai melihat pemandangan yang indah, debur
ombak bergulungan menghampiri sampai menyentuh kaki kita. Saat itu tubuh kita sangat rileks.
Seluruh organ tubuh menempati posisnya. Kita berdiri nyaman dan santai, seperti berdirinya
anak kecil usia balita. Berdirinya orang dewasa terlihat kaku dan terpola oleh pikirannya, karena
menganggap jika berdiri seharusnya seperti peraga busana, tegap seperti militer, atau seperti
berdirinya orang sedang memamerkan baju yang baru dibeli. Postur orang dewasa inilah yang
membuat orang gampang merasa jenuh dan stress karena berdiri tidak secara alami. Banyak
dokter terkemuka menyakini bahwa penyakit-penyakit modern dan penuaan dini antara lain
disebabkan oleh ketidakmampuan orang dalam menghadapi stress.

Kebanyakan dari kita telah lupa tentang bagaimana caranya rileks. Padahal kita mengetahuinya
secara naluriah semasa bayi. Namun pelan-pelan kita melupakannya ketika tumbuh menjadi
dewasa. Sementara itu, kecepatan dan tekanan hidup modern mulai membuat kita lelah. Jika
anda mempunyai kecenderungan untuk menjadi terlalu intelek, belajarlah untuk berpindah kesisi
emosional dan intuisi alamiah Anda dengan menjadi lebih terbuka dan menerima apa yang
dikatakan hati nurani anada, yaitu ikhlas. Suatu sikap yang diajarkan islam, yang bermakna rileks
yang paling dalam seperti yang pernah kita lakukan saat masih bayi.
Rasulullah melakukan shalat dengan tuma’ninah (rileks), yaitu sikap tenang atau diam sejenak
sehingga dapat menyempurnakan perbuatannya, dimana posisi tulang dan organ tubuh lainnya
dapat berada pada tempatnya dengan sempurna.

Kebanyakan orang mengira, bahwa jumlah bacaan dalam setiap gerakan shalat dijadikan sebagai
ukuran waktu selesainya sikap berdiri, duduk, rukuk, maupun sujud. Padahal bacaan itu bukanlah
sebuah aba dalam shalat kita. Setiap bacaan yang diulang-ulang merupakan aspek meditasi,
autoterapi, autosugesti, berdo’a, mencari inspirasi, penyembuhan, menunggu intuisi atau
petunjuk, bahkan untuk menemukan sebuah ketenangan yang dalam. Akibatnya, bisa jadi
lamanya berdiri mencapai lima menit, duduknya lima menit, sujudnya sepuluh menit, sehingga
lamanya shalat bisa mencapai lebih dari setengah jam. Apalagi shalat bukan hanya untuk
menterapi mental tetapi juga untuk menterapi fisik agar bias kendor dan rileks. Tentunya tidak
mungkin dilakukan dengan terburu-buru, karena aspek meditatif dalam shalat tidak akan
ditemukan. Jika dilakukan dengan tuma’ninah, selepas dari shalat kita akan mendapatkan apa
yang dikatakan oleh muadzdzin sebagai sebaik-baik amal (hayya ala khoiril amal) atau peak
experience.

Mengacu pada Rasulullah, beliau melakukan i'tidal lama sekali sehingga oleh para jama’ahnya
dikira beliau lupa. Padahal bacaan yang di baca pendek sekali dan bisa dilakukan dengan cepat,
tapi Rasulullah melakukannya dengan berdiri cukup lama. Juga pada saat duduk, beliau
melakukannya lama sekali sehingga juga dikira lupa.
Pada saat duduk (iftirasy) sebenarnya Beliau sedang melakukan dialog untuk menyelesaikan
persoalan yang dirasa rumit untuk dipecahkan. Pada saat itulah Beliau sedang menunggu
jawaban atas kesulitan yang Beliau alami. Mengapa kita tidak mengambil pelajaran dari cara
Beliau dengan menjadikan shalat sebagai alat untuk berkomunikasi dan memohon pertolongan
kepada Allah, serta tempat untuk mengistirahatkan jiwa dan fisik. Apabila kita telah melakukan
shalat dengan benar, dengan cara relaksasi yang dalam dan penyerahan yang total kepada Allah,
mak tidaklah mungkin orang yang sudah melakukan shalat akan berhati kasar atau pikirannya
melonjak-lonjak karena tidak tenang.

Menurut hasil penelitian Alvan Goldstein, ditemukan adanya zat endorphin dalam otak manusia
yaitu zat yang memberikan efek menenangkan yang disebut endogegonius. Drs. Subandi MA
menjelaskan, bahwa kelenjar endorfina dan enkafalina yang dihasilkan kelenjar pituitrin di otak
ternyata mempunyai efek yang mirip dengan opiate (candu) yang memiliki fungsi menimbulkan
kenikmatan (pleasure principle), sehingga disebut opiate endogen. Apabila seseorang dengan
sengaja memasukkan zat morfin ke dalam tubuhnya maka akan terjadi penghentian produksi
endorphin. Pada pengguna narkoba, apabila dilakukan penghentian morfin dari luar secara tiba-
tiba, orang akan mengalami sakau (ketagihan yang menyiksa dan gelisah) karena otak tidak lagi
memproduksi zat tersebut. Untuk mengembalikan produksi endorphin di dalam otak bias
dilakukan dengan meditasi, shalat yang benar atau melakukan dzikir-dzikir yang memang
banyak memberikan dampak ketenangan.

Orang yang melakukan shalat dengan tenang dan rileks akan menghasilkan energi tambahan
dalam tubuhnya, sehingga tubuh merasa fresh. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah begitu yakin
bahwa shalat merupakan jalan yang ampuh untuk mengubah perilaku manusia, yang tidak baik
menjadi berakhlaq mulia. Sebagaimana Allah menegaskan dalam kitab al-Qur’an :
"Sesungguhnya ahalat memiliki kekuatan mengubah perilaku manusia dari perbuatan keji dan
munkar". (al-Ankabuut 29:45)

Bisa dimengerti, mengapa shalat jika dilakukan dengan benar mampu mengubah perilaku
manusia menjadi baik dan bermoral. Rasulullah telah memberikan teknik alamiah yang di
butuhkan fisik dan jiwa secara alamiah. Saat tubuh kita capek dan stress, Rasulullah telah
memberikan terapi fisik berupa hydro-therapy (terapi air), dengan menggunakan air wudhu. Lalu
disunahkan pula menaburi wewangian pada tubuh yang akan memberika efek relaksasi pada
pikiran (aroma therapy). Hal ini juga banyak dilakukan oleh para pelaku meditasi di timur
sebelum mereka melakukan meditasi.
Bahkan dewasa ini, banyak rumah-rumah spa telah menyediakan aroma therapy dengan esensi
bunga-bunga maupun rempah-rempah untuk memberikan ketenangan dan kesegaran bagi tubuh
maupun pikiran. Juga disediakan terapi air, dengan cara mengguyur bagian-bagian tubuh seperti
kaki, tangan, kepala yang akan memberikan rasa segar dan menurunkan suhu badan yng terjadi
akibat terlalu lelah atau penat (stress).

Sebaiknya kita harus sudah merubah paradigma dari teosentris menjadi antroposentris. Kita yang
seharusnya butuh Allah, bukan Allah yang butuh kita, sehingga kita akan merasakan bahwa
beribadah adalah sesuatu yang memang dibutuhkan oleh jiwa, pikiran dan fisik kita. Shalat
menjadi sesuatu yang mengasyikkan dan menyenangkan. Namun terkadang kita masih seperti
anak kecil yang takut kepada orang tuanya. Saat jam makan kita dicari-cari, diwajibkan makan
siang. Pagi-pagi pun kita siap menyiapkan diri, mandi, sarapan, lalu berangkat ke sekolah.
Seolah seluruh aktivitas dilakukan untuk memenuhi kewajiban berbakti kepada keinginan orang
tua kita, sehingga ada rasa takut pada saat jam makan, jam berangkat sekolah, dan waktunya
mandi di sore hari. Akibatnya, kita merasa bersalah kepada orang tua apabila kita tidak sempat
makan siang. Padahal itu merupakan kesalahan yang akan berdampak kepada diri sendiri, yang
dapat menyebabkan kita sakit.

Memang agak sulit untuk mengubah suatu kebiasaan yang sudah mengakar dan mendarah daging
dari budaya kita. Namun kita mencoba mempraktikan latihan-latihan dzikir dan shalat untuk
menemukan rasa yang telah lama hilang. Dengan kesadaran baru yang kita bangkitkan, insya
Allah dari sekarang dan seterusnya shalat akan menjadi tempat kita bercengkerama dengan
Allah, karena Dialah pusat ilmu pengetahuan, sumber kehidupan, dan pusat perencanaan
kehidupan dari seluruh mahkuk.

"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa
mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya". (al-Baqarah :
45-46).

Cara memasuki shalat, menurut ayat tersebut diatas, dalam bentuk praktek adalah seperti di
bawah ini :

1. Heningkan pikiran anda agar rileks. Usahakan tubuh Anda tidak tegang. Tak perlu
mengkonsentrasikan pikiran sampai mengerutkan kening karena Anda akan merasakan pusing
dan capek. Jika terjadi seperti itu, kendorkan tubuh Anda sampai terasa nyaman kembali.

2. Biarkan tubuh meluruh, agak dilemaskan, atau bersikap serileks mungkin.

3. Kemudian rasakan getaran kalbu yang bening dan sambungkan rasa itu kepada Allah.
Biasanya kalau sudah tersambung, suasana sangat hening dan tenang, serta terasa getarannya
menyelimuti jiwa dan fisik. Getaran jiwa inilah yang menyambungkan kepada Zat, yang
menyebabkan pikiran tidak liar kesana kemari.

4. Bangkitkan kesadaran diri, bahwa anda sedang berhadapan dengan Zat Yang Maha Kuasa,
Yang Meliputi Segala sesuatu, Yang Maha Hidup, Yang Maha Suci dan Yang Maha Agung.
Sadari bahwa anda akan memuja dan bersembah sujud kepada-Nya serendah-rendahnya,
menyerahkan segala apa yang ada pada diri anda. Biarkan ruh anda mengalir pergi, dengan suka
rela menyerahkan diri : "Hidup dan matiku hanya untuk Allah semata".

5. Berniatlah dengan sengaja dan sadar sehingga muncul getaran rasa yang sangat halus dan
kuat menarik ruhani meluncur kehadirat-Nya. Pada saat itulah ucapkan takbir “ALLAHU
AKBAR”. Jagalah rasa tadi dengan meluruskan niat, rasakan kelurusan jiwa anda yang terus
bergetar menuju Allah. Setelah itu, menyerahlah secara total, inna shalati wanusuki wamahyaya
wamamati lillahi rabbil ‘alamin (sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya
untuk Allah semata).
6. Rasakan keadaan berserah yang masih menyelimuti getaran jiwa anda, dan mulailah
perlahan-lahan membaca setiap ayat dengan tartil. Pastikan anda masih merasakan getaran
pasrah saat membaca ayat di hadapan-Nya. Kemudian lakukanlah ruku’. Biarkan badan anda
membungkuk dan rasakan. Pastikan bahwa ruh anda perlahan-lahan turut ruku’ dengan perasaan
hormat dan pujilah Allah Yang Maha Agung dengan membaca: "subhaana rabbiyal adhiimi
wabihamdihi". Jika antara ruhani dengan fisik anda telah seirama, maka getaran itu akan
bertambah besar dan kuat, dan bertambah kuat pula kekhusyu’an yang terjadi.

7. Setelah rukuk, anda berdiri kembali perlahan sambil mengucapkan pujian kepada Zat Yang
Maha Mendengar: "samiallahu liman hamidah" (semoga Allah mendengar orang yang memuji-
Nya). Rasakan keadaan ini sampai ruhani anda mengatakan dengan sebenarnya. Jangan sampai
sedikitpun tersisa dalam diri anda rasa untuk ingin dipuji, yang terjadi adalah keadaan nol, tidak
ada beban apa-apa kecuai rasa hening.

8. Kemudian secara perlahan sambil tetap berdzikir: "Allahu Akbar", bersujudlah serendah-
rendahnya. Biarkan tubuh anda bersujud, rasakan sujud anda agak lama. Jangan mengucapkan
pujian kepada Allah Yang Maha Suci, subhaana rabbiyal a’la wabihamdihi, sebelum ruh dan
fisik anda bersatu dalam satu sujudan. Biasanya terasa sekali ruhani ketika memuji Allah dan
akan berpengaruh kepada fisik, menjadi lebih tunduk, ringan dan harmonis.

9. Selanjutnya, lakukanlah shalat seperti di atas dengan pelan-pelan, tuma’ninah pada setiap
gerakan. Jika anda melakukannya dengan benar, getaran jiwa akan bergerak menuntun fifsik
anda. Sempurnakan kesadaran shalat anda sampai salam.

10. Sehabis shalat, duduklah dengan tenang. Rasakan getaran yang masih membekas pada diri
anda. Ruhani anda masih merasakan getaran takbir, sujud, rukuk, dan penyerahan diri secara
total. Kemudian pujilah Allah dengan memberikan pujian itu langsung tertuju kepada Allah, agar
jiwa kita mendapatkan energi Ilahi serta membersihkannya. "Maka apabila kamu telah
menyelesaikan shalatmu, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu
berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasakan tenang, maka dirikanlah shalat
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman". (an-Nisa’: 103)

Ushalli
Niat ketika mau shalat merupakan suatu keharusan. Jika kita akan melakukan aktivitas apapun,
hendaklah berniat terlebih dahulu.

Umar bin Khattab r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw., bersabda,
"Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal, tergantung pada niat… ". (H.R. Bukhari dan
muslim).

Para ulama, meletakkan niat sebagai rukun pertama dalam semua ibadah. Bahkan, yang menjadi
pembeda antara ibadah dengan adat adalah niat. Sesuatu perbuatan biasa, tetapi kalau diniatkan
untuk ibadah, maka ia berubah menjadi ibadah.

USHALLI, sebenarnya adalah melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca "Ushalli
fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta'ala" (Saya berniat melakukan
shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-
mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram. Dalam shalat itu sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan
sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.

Adapun yang tidak memperbolehkan melihat karena usholli tidak berdasarkan dalil. Rasulullah
saw bila memulai shalat langsung menghadap kiblat kemudian takbiratul ihram dan tidak pernah
membaca ushalli terlebih dahulu.
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata: "Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda: Kunci (syarat)
shalat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya salam". (HR.AS.Syafi’i, Ahmad, Abu
Daud, Ibnu Majah Dan Tirmidzi).

Setelah takbiratul ihram, dilanjutkan dengan memaca doa iftitah, membaca a'udzubillah,
membaca Fatihah pada setiap raka'at, membaca amin, membaca surat yang hapal setelah surat Al
Fatihah kemudian ruku, sujud, tahiyyat, dan diakhiri dengan salam.

Jadi, membaca Ushalli ketika mulai shalat tidak ada contoh dari Rasul saw.

Rasulullah saw bersabda, “Shalatlah seperti kalian melihat aku shalat”.

Rasulullah adalah tauladan bagi muslim yang ingin mendapat cinta Allah.

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".
(Q.S. Al Ahzab [33] :21).

Bukti cinta kepada Allah adalah mengisi kehidupan dengan berbagai aktivitas yang didasari niat
yang tulus ikhlas hanya untuk mengabdi kepada Allah dengan mengikuti aturan Rasulullah saw
.
"Katakanlah, 'Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. Ali-
Imran [3]: 31.)

Persoalan niat, apakah harus diucapkan atau cukup di dalam hati? Para ulama berbeda pendapat.
Ada yang mengatakan harus diucapkan dan banyak para ulama yang sepakat bahwa niat itu
tempatnya di hati alias tidak perlu diucapkan.

Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah saw. Bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk
badan dan rupamu, tetapi melihat atau memperhatikan niat dan keikhlasan dalam hatimu".
(H.R. Muslim).

1. Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut
kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi'iy (Syafi'yah) dan pengikut mazhab Imam
Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir
dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’
dalam melaksanakan shalatnya.
2. Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat 'Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah
niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat 'Ashar)
bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi
niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
3. Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan
kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri).
Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi
keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum
melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa
melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan)
melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was. Sebenarnya tentang
melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada
saat melaksanakan ibadah haji.
"Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji". (HR. Muslim).
4. Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah
haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa
diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
5. Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan
empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan
tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang
diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat
diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan
(adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah
di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti
membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
6. Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi
pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat
adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:

• "Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu
(kekhusyu'-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari
perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat". (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
• Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam
melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan
niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa.

Vena Cava
Vena Cava adalah vena utama dalam tubuh yang membawa darah yang banyak mengandung
karbondioksida dari kepala dan anggota tubuh bawah ke serambi kanan. Darah ini mengandung
CO2 karena darah yang dikandung merupakan darah yang telah melewati sistem oksidasi
(pembakaran). Vena cava terdiri dari 2 bagian yaitu :

1. Vena cava inferior (pembuluh balik besar bawah) adalah pembuluh darah yang menerima
darah dari badan dan kedua kaki. Darah yang dibawa oleh pembuluh darah jenis ini
mengandung banyak CO2.
2. Vena Cava Superior (pembuluh balik besar atas) adalah pembuluh darah yang menerima
darah dari kepala dan kedua tangan. Darah yang dibawa oleh pembuluh darah ini juga
mengandung banyak CO2.

"Shalat adalah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan takbir dan
disudahi dengan salam yang dengannya itu kita dianggap beribadah (kepada Allah) dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan".

Seperti itulah yang kita ketahui. Rutinitas yang setiap hari kita jalankan. Sebuah perintah Allah
yang menjadi cermin ketakwaan kita. Namun ternyata, shalat mengandung manfaat yang lebih
luas dibandingkan perkataan dan perbuatan yang didefinisikan di atas. Shalat juga merupakan
aktivitas fisik ringan yang menghasilkan manfaat luar biasa bagi kesehatan karena sangat sesuai
dengan anatomi dan fungsi tubuh manusia.

Dimulai dengan takbiratul ihram, mengangkat kedua tangan dan mendekapnya di dada bagian
bawah. Ketika mengangkat kedua tangan, rongga dada mengembang dan otot bahu meregang.
Regangan otot ini menyebabkan getah bening mengalir dari tangan ke arah leher. Getah bening
merupakan cairan penting untuk pertahanan tubuh dari penyakit. Sisa getah bening, hasil
perlawanannya dengan antigen, dialirkan ke vena besar di leher untuk selanjutnya didaur ulang.
Gerakan takbiratul ihram menjadi awal pengaliran tersebut. Selain itu, dengan mengembangnya
rongga dada dan paru-paru, aliran darah yang kaya oksigen akan mengalir lancar.
Ruku’ adalah meletakan tangan pada lutut seraya meluruskan tulang belakang dan menahannya
sehingga memperlancar peredaran darah dan getah bening. Peregangan ini juga memelihara
tulang belakang sebagai penyangga tubuh dan pusat syaraf beserta ligamen dan otot-otot
pendukungnya.
Selanjutnya, ketika sujud, posisi otak lebih rendah dari jantung mengakibatkan darah yang kaya
oksigen mengaliri ke 12 daerah bagian yang ada di otak. Oleh karena itu, ketika melakukan
sujud, sebaiknya kita tidak tergesa-gesa (tuma’ninah) agar darah yang mengalir ke otak dapat
maksimal. "Saat yang paling dekat antara Allah dan hamba-Nya adalah di saat sujud, maka
perbanyaklah doa pada waktu itu". (HR. Muslim). Darah dibutuhkan untuk energi, karena otak
merupakan pusat akal dan pengendali tubuh kita.

Gerakan duduk dalam shalat (duduk diantara dua sujud dan tahiyat) mengakibatkan tubuh
bertumpu pada pangkal paha. Posisi telapak kaki yang terlipat menyebabkan otot tungkai
meregang dan mengalami relaksasi. Mengoptimalkan fungsi kaki sebagai penopang tubuh kita.
Terakhir, pada saat salam kepala diputar ke kanan dan kiri secara maksimal mengakibatkan otot
sekitar leher dan kepala meregang sehingga melancarkan aliran darah dan bermanfaat untuk
menjaga kelenturan urat leher.

Gerakan-gerakan di atas, berdiri-ruku’-berdiri dan sujud-duduk-sujud, masing-masing ± 85 kali


sehari adalah latihan alat-alat tubuh dan memperlancar aliran darah dan getah bening. Dengan
demikian, metabolisme dalam tubuh kita akan berjalan dengan baik. Manfaat latihan ini akan
optimal jika hanya kita melakukan setiap gerakan dengan benar. Seperti diriwayatkan dalam
hadits.

"Beliau (Muhammad saw.) mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke
atas (tidak meregangkanhhya dan tidak pula menggemgamnya)", (HR.Abu Dawud),
"dan mengengkatnya sejajar bahu" (HR. Bukhari dan HR.Nasa’i),
"tetapi terkadang sejajar (daun) telinga" (HR.Bukhari dan Abu Dawud)
"Jika kamu ruku’, letakkan kedua tanganmu pada kedua lututmu, kemudian regangkanlah jari-
jarimu, kemudian tenanglah sampai ruas tulang belakangmu mantap di tempatnya". (HR.Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
"Apabila engkau sujud, tekanlah wajahmu dan kedua tanganmu ke tanah sehingga setiap ruas
tulangmu kembali ke tempatnya". (HR.Ibnu Khuzaimah)

Melakukan gerakan shalat shalat sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah adalah wajib.
Tidak boleh menyimpang sedikitpun. Oleh karena itu, mendirikan atau menegakkan shalat
membutuhkan perjuangan dan kesungguhan, bukan sekedar melaksanakan seperti yang selama
ini banyak dilakukan orang.

"Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya,
hanyalah capai dan payah saja". (HR. Ibnu Majah);

Bukan hanya bermanfaat bagi jasmani, shalat juga merupakan aktivitas jiwa yang penuh makna.
Sebuah proses perjalanan spiritual yang mengantarkan seseorang kepada penciptanya.
Mengingatkan manusia akan kedudukannya sebagai khalifatullah, sehingga terciptalah jiwa yang
tercerahkan dan berserah diri pada Allah.

"Berdirilah kamu dengan tenang karena Allah". (QS Al Baqarah [2]:238)

Dengan jiwa yang tenang, kesehatan jiwa pun akan tercipta. Walaupun sangat sulit untuk
mendefinisikan dan mengaplikasikannya dalam setiap shalat kita, kita harus tetap berusaha untuk
menciptakan kekhusyuan dalam diri kita.

Wudhu
Wudhu, secara sederhana dapat diartikan sebagai gerakan syar'i yang terdiri dari membasuh
muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudhu diposisikan sebagai amaliah yang benar-
benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam wudlu segala
masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi hamba-
hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT. Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang
dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa.
Itulah, mengapa para sufi senantiasa memiliki wudhu secara abadi (wudhu daim), menjaga
kesucian dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal wudhu, langsung mengambil
wudhu seketika.

Wudhu adalah juga termasuk hydro-therapy atau terapi air. Dalam satu ayat Allah berfirman
secara khusus mengenai wudhu.

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah
wajahmu dan kedua tanganmu sampai siku-siku, dan usaplah pada kepalamu dan kaki-kakimu
sampai kedua mata kaki¦"

Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudhu
jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan,
bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya. Ia harus
bangkit dan hadir di hadapan Allah, memasuki "sholat" hakikat, dalam munajat demi munajat,
sampai ia berhadapan dan menghadap Allah.

Manfaat wudhu.

"Sungguh ummat-Ku akan diseru pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya karena bekas
wudhunya". (HR Bukhari dan Muslim). Selain memiliki banyak keutamaan, wudhu ternyata
sangat bermanfaat terhadap kesehatan. Dr Ahmad Syauqy Ibrahim, peneliti bidang penderita
penyakit dalam dan penyakit jantung di London mengatakan, "Para Pakar sampai pada
kesimpulan mencelupkan anggota tubuh ke dalam air akan mengembalikan tubuh yang lemah
menjadi kuat, mengurangi kekejangan pada syaraf dan otot, menormalkan detak jantung,
kecemasan, dan insomnia (susah tidur)".

Dalam buku Al-I'jaaz Al-Ilmiy fii Al-Islam wa Al-Sunnah Al-Nabawiyah dijelaskan, setelah
melalui eksperimen panjang, ternyata orang yang selalu berwudhu mayoritas hidung mereka
lebih bersih, tidak terdapat berbagai mikroba. Rongga hidung bisa mengantarkan berbagai
penyakit. Dari hidung, kuman masuk ke tenggorokan dan terjadilah berbagai radang dan
penyakit. Apalagi jika sampai masuk ke dalam aliran darah. Barangkali inilah hikmah
dianjurkannya istinsyaaq (memasukkan air ke dalam hidung) sebanyak tiga kali kemudian
menyemburkannya setiap kali wudhu.

Ada pun berkumur-kumur dimaksudkan untuk menjaga kebersihan mulut dan kerongkongan dari
peradangan dan pembusukan pada gusi. Berkumur menjaga gigi dari sisa-sisa makanan yang
menempel. Sementara membasuh wajah dan kedua tangan sampai siku, serta kedua kaki
memberi manfaat menghilangkan debu-debu dan berbagai bakteri. Apalagi dengan
membersihkan badan dari keringat dan kotoran lainnya yang keluar melalui kulit. Dan juga,
sudah terbukti secara ilmiah penyakit tidak akan menyerang kulit manusia kecuali apabila kadar
kebersihan kulitnya rendah.

Dari segi rohani, wudhu menggugurkan 'daki-daki' yang menutupi pahala. Bersama air wudhu,
dosa-dosa kita dibersihkan, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah RA,

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, tatkala ia
membasuh wajahnya keluarlah dari wajahnya seluruh dosa yang dilakukan matanya bersamaan
dengan air itu atau dengan tetesan terakhirnya. Apabila dia membasuh dua tangannya maka
akan keluar seluruh dosa yang dilakukan tangannya bersamaan dengan air itu atau tetesan air
yang terakhir. Apabila dia membasuh dua kakinya maka keluarlah seluruh dosa yang telah
dilangkahkan oleh kakinya bersama air atau tetesannya yang terakhir sehingga dia selesai
wudhu dalam keadaan bersih dari dosa-dosa ". (HR Muslim)

Maka, berbahagialah orang-orang yang selalu menjaga wudhunya dan menjaga hatinya tetap
suci.
Rahasia di balik Ritual Wudhu; "Sempurnakanlah dalam berwudhu dan gosoklah sela-sela jari
kalian". Hal ini diterangkan dalam hadist riwayat Imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad Hambal). Menurut pandangan medis hal ini sangatlah
rasional. Karena pada bagian tersebut terdapat banyak serabut saraf, arteri, vena, dan pembuluh
limfe. Menggosok pada sela-sela jari sudah semestinya memperlancar aliran darah perifer
(terminal) yang menjamin pasokan makanan dan oksigen. Titik lain yang terkena basuhan air
adalah siku. Selain menyentuh aspek hygiene, pada siku bagian bawah terdapat titik-titik penting
dalam akupuntur. Termasuk juga ujung tungkai (lutut ke bawah) memiliki titik akupuntur yang
penting.

Pada bagian telingga pun memiliki titik akupuntur. Menurut cabang spesifikasi kedokteran di
China, bagian telinga bisa direpresentasikan sebagai tubuh manusia. Bentuk telinga ini serupa
dengan bentuk tubuh saat meringkuk dalam rahim ibu. Kepalanya adalah bagian yang sering
dipasang anting. Dalam lubang adalah rongga tubuh tempat tersimpannya organ-organ dalam.
Melakukan stimulasi seperti wudhu akan berpengaruh baik terhadap fungsi organ dalam. Adapun
lingkaran luar menggambarkan punggung. Pemijatannya juga seolah melakukan stimulasi daerah
punggung dan ruas-ruas tulang belakang.

Lalu adakah rahasia matematis antara hubungan ritual wudhu dengan susunan tulang dan sendi?
Menurut dr Sagiran, jumlah ruas tulang manusia ada 354 yang sama dengan jumlah hari dalam
satu tahun hijriah. Hitungan jumlah ini didapat dari rumus, yakni anggota wudhu di kaki, di
tangan, dan di muka yang dibasuh pada saat wudhu dikalikan dengan kali pembasuhan. Kalau
tangan dan kaki di basuh tiga kali, kepala diusap hanya sekali. Maka ritual berwudhu seperti
halnya sama saja dengan membasuh seluruh tubuh. Selain sebagai ritual bersuci, berwudhu juga
mengandung unsur perawat kesehatan tubuh.

YA
Yaa; adalah salah satu huruf dari huruf-huruf an-nida', yang artinya huruf panggilan yang
digunakan untuk memanggil. Pada mulanya annida' hanya ditujukan untuk memanggil seseorang
saja, namun pada tahapan selanjutnya an- nida' ini ditujukan pula untuk menyeru pada jumlah
yang banyak. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik, An-nida' (seruan) menggunakan beberapa huruf
huruf nida', di antaranya:
a. Ỉ/hamzah/'hai',
b. ‫ﻳﺂ‬/ya/'hai' ,mari,
c. ‫ﺁي‬/ay/'hai,mari,
d. ‫ي‬/ya/‫و‬/wa/ ‫ي׀‬/ayya/‫ﺁي اح‬/hayya/. Semua ini digunakan untuk menyeru orang yang dekat.
e. ‫أ‬/hamzah, digunakan untuk menyeru orang yang dekat
f. ‫ﻳﺄ‬/Ay/menyeru kepada yang dekat dihati dan selalu hadir dalam benaknya.
g. adakalanya diperuntukkan ‫ﻳﺄ‬/ /Ay/ dan ‫أ‬/hamzah/untuk memanggil orang yang tinggi
martabatnya, dengan penuh kesopanan.
h. ‫اي‬/ay/digunakan untuk yang dekat meskipun tidak nampak, atau pada tempat yang jauh.
Contoh: Ya rabbi/'Ya Tuhanku.

Dalam peribadatan Islam, Allah selalu memanggil (mengundang) dengan panggilan yang sangat
mesra. Dalam ilmu balaghoh, panggilan yang ditujukan dengan tujuan tertentu agar ditanggapi
dengan maksimal, biasanya digunakan harf nida yang jamak. Lihat saja ayat-ayat perintah takwa,
puasa, zakat, juga termasuk shalat.

Diantara panggilan yang mesra dalam kehidupan badah kita adalah panggilan adzan. Adzan yang
sistematika kalimat secara utuh dimulai dari takbir (Allahu Akbar), syahadat tauhid (Asyhadu
anal ilaha illallah), syahadat Rasul (Asyhadu anna muhammadar rasulullah), dilanjutkan
panggilan mesra untuk shalat (Hayya ala shalah) kemudian diiringi panggilan untuk mencapai
kebahagiaan atau kemenangan (Hayya alal falah); lalu ditutup dengan takbir kembali.

Menarik untuk disimak bahwa ketika adzan kita disunahkan untuk menjawab panggilan adzan
dengan cara mengulangi kembali setiap kalimat yang diserukan muadzin (orang yang adzan);
tapi khusus untuk kalimat Hayya 'alas shalah dan hayya 'alal falah kita menjawabnya dengan
Laa haula wala quwwata illa billah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah). Secara
simbolik ungkapan ini menyiratkan bahwa ketika kita diseru untuk shalat maka sebenarnya kita
tidak mampu mengerjakannya kecuali mendapat kekuatan dari Allah. Begitu pula dengan ajakan
untuk mencapai kebahagiaan. Ungkapan ini sekaligus menyiratkan bahwa dalam shalat atau
usaha kita semata-mata karena perkenan Allah. Maka tidak ada tempat bagi kita untuk sombong
atau berbangga hati bahwa kita sendiri yang dapat melakukan shalat. Inilah mengapa kita tidak
diperbolehkan untuk 'ujub (berbangga diri akan amal ibadah kita).

Panggilan adzan ini menyiratkan makna yang sangat agung, sehingga terkesan ekstrim. Bahwa
shalat lebih baik daripada tidur. Bagi orang yang tidak mengerti arti spiritual, mereka akan
mengatakan tidak mungkin shalat menyebabkan kebahagiaan dan lebih baik daripada tidur.
Ungkapan mengajak untuk memasuki dimensi kebahagiaan (hayya 'alal falah) terkadang kita
mempertanyakan,dimanakah letak kebahagiaan yang hakiki tersebut? Dua perbandingan antara
tidur dan shalat, sebenarnya sangat jelas gejala yang ditimbulkan oleh masing-masing wilayah.
Yaitu wilayah fisik pada orang tidur, mengistirahatkan pikiran, fisik (tubuh) dari aktivitas sehari-
hari sehingga orang menjadi relaks dan kembali segar. Namun apabila pikiran dan jiwa sedang
gelisah, tidak mampu tidur dengan baik (imsomnia). Sebaliknya shalat, sesungguhnya
melibatkan seluruh dimensi pada manusia, yaitu dimensi fisik atau tubuh dalam rakaat shalat
terjadi peregangan dan penenangan otot dan tulang maupun syaraf pada otak. Dengan proses
yang sangat sederhana namun mampu menenangkan, yaitu dengan terapi air (hydro therapi),
aroma therapi, fisio therapi. Kemudian dilanjutkan menenangkan hati dengan berdzikir kepada
Allah. Konsep shalat ini terjadi secara holistik, menenangkan fisik dan bathin. Jika hal ini
dilakukan dengan benar, maka panggilan adzan akan sangat menggairahkan bagi orang yang
mengerti akan kebutuhan fitrahnya sebagai manusia.

Zikir
Zikir, secara harfiah berarti ingat dan sebut. Ingat adalah gerak hati, sedangkan sebut adalah
gerak lisan. Zikrullah berarti mengingat dan menyebut Allah. Adapun perpaduan keduanya
barulah makna awal dari "khusyuk".

Zikir, terdiri dari empat bagian yang saling terikat, tidak terpisahkan, yaitu: zikir lisan (ucapan),
zikir kalbu (merasakan kehadiran Allah), zikir 'aql (menangkap bahasa Allah di balik setiap
gerak alam), dan zikir amal (taqwa : patuh dan taat terhadap perintah Allah dan meninggalkan
laranga-Nya). Idealnya zikir itu berangkat dari kekuatan hati, ditangkap oleh akal, dan di
buktikan dengan ketaqwaan, amal nyata didunia ini.

Zikir, adalah perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman (QS al-ahzab: 41-42). Maka
orang yang beriman adalah orang yang banyak berzikir. Kurang iman, kurang zikir. Tidak
beriman tidak akan berzikir. Berzikir berarti taat pada perintah Allah. Prakteknya bisa jadi dalam
keadaan berdiri, duduk, atau berbaring (QS Ali Imran: 191), di masjid (QS An-Nur: 36),
mushala, rumah, kantor, atau jalanan sekalipun, dan bisa dilakukan sendiri-sendiri (QS al-A'raf:
205), atau berjamaah (dalam majelis).

Rasulullah SAW bahkan menyebut majelis zikir sebagai taman surga.

Beliau bersabda, "Apabila kalian melewati taman surga, maka bersimpuhlah". Para sahabat
bertanya, "Apa itu taman surga?" Beliau menjawab, "Yaitu majelis zikir ". (HR. Ahmad dan At-
Tirmidzi).

Zikir, adalah pangkal ketenangan dan kedamaian (QS ar-Ra'd: 28). Allah adalah sumber
ketenangan dan kedamaian (as-Salam). Maka untuk mencapai ketenangan dan kedamaian itu
jalannya adalah mendatangi sumbernya dan membersamakan diri dengan-Nya. Zikir itulah jalan
pembersamaan (ma'iyyatullah). Adapun meninggalkan zikir sama dengan membuka keleluasaan
bagi setan untuk menungganginya. (QS Az-Zukhruf: 36), menciptakan kepengapan hidup serta
membutakan mata hati (QS Thaha: 124). Selain sebagai wujud ketaatan, zikir merupakan
identitas utama seorang mukmin (QS al-Anfal: 2).
Sejatinya, zikir membentuk pribadi yang bertaqwa, yaitu amat taat terhadap perintah Allah dan
berjuang maksimal menjauhi larangan Allah. Orang yang berzikir sadar betul bahwa ia
senantiasa berada dibawah tatapan dan perhatian-Nya.

"Jama'ah yang duduk berzikir menyebut nama Allah pasti dikelilingi malaikat. Rahmat akan
tercurah pada mereka, ketentraman diturunkan pada mereka dan Allah menyebut nama mereka
pada sesuatu yang berada disisi-Nya". (HR. Muslim).

Dalam sebuah firmanNya Allah mengingatkan dan menjelaskan, sesungguhnya orang yang
berzikir itu mendapat keuntungan. Allah bukan tidak sengaja memberi penjelasan itu apa lagi
bertujuan untuk menipu karena Dia terpelihara dari sifat-sifat keji begitu. JanjiNya adalah tepat
dan benar. Sudah tentu orang yang mengingati Nya (berzikir) itu akan mendapat keuntungan dan
pahala yang besar, baik di akhirat ataupun di dunia ini. FirmanNya.:

"Sesungguhnya (wajib) beruntung bagi mereka yang membersihkan (hati) dan (dengan) berzikir
menyebut nama Tuhannya (serta) mendirikan Solat". [Al-A'laa [87]:14-15 ]

Bila mengingat pada peringatan itu sudah tentu kita ingin mengetahui apakah keuntungan yang
dijanjikan itu. Menjadi fitrah manusia ia mengharapkan penjelasan terhadap sesuatu yang
dijanjikan itu serta ingin uraian yang memuaskan sebelum ia cenderung untuk menerimanya.
Seperti perihal zikir ini semua manusia ingin mengetahui kedudukan yang sebenarnya. Apakah
yang dikatakan keberuntungan itu? Cuma satu menjadi masalah bila mengetahui keberuntungan
itu, kadang-kadang manusia dengan tiba-tiba menjadi rajin untuk melakukan sesuatu. Apakah
janji itu hanya sebagai pancingan untuk merangsang manusia agar rajin mengingat Allah?

Dalam hal ini perlu diingatkan, jangan pula setelah mengetahui keberuntungan yang bakal
diperoleh itu, menyebabkan kita menjadi rajin dan mengharap-harapkan kepadanya. Kita
menanti-nanti akan keberuntungan itu dengan berzikir. Kalau kita sudah berkelakuan begitu, kita
sudah tidak ikhlas lagi dalam beramal. Keadaan itu telah merusakkan tujuan dan juga visi kita
beramal (berzikir). Firman Allah Ta'ala:

"Dan serulah Ia (Allah) dengan mengikhlaskan agama bagiNya". (QS. Al-A'raaf [7]: 29

Sebenarnya banyak rahasia ataupun keuntungan yang bakal diperoleh oleh seseorang yang kuat
berzikir kepada Allah. Seperti yang telah diterangkan dalam bab yang lalu, keuntungan itu satu
realitas yang tidak boleh dipungkiri. Diantara firmanNya:

"Ingatlah hanya dengan mengingati Allah, hati menjadi tenteram". (QS Ar Ra'd [13]:28)
"Karena itu ingatlah kepadaKu niscaya Aku ingat kepadamu dan bersyukurlah kamu kepadaKu
dan jangan kamu mengingkari nikmatKu". (QS Al-Baqarah [2]: 152)

Zikir lebih jauh juga merupakan penawar untuk mengobati batin, pembersih batin,mensucikan
batin, menggemukan batin dan paling penting membuka "Nur Qalbi" serta menghancurkan
ketulan darah kotor yang bergantung/bergayut di ujung jantung, yang dinamakan "Istana Iblis"
itu. Itu yang lebih penting.Kuasa yang ada kepada zikir ia bisa menerangi seluruh hati kita
dengan Cahaya Allah (Nurrullah). Ini akan terjadi apabila kita sudah memperoleh apa yang
dinamakan "Kenikmatan Zikir".

Apabila seluruh batin kita sudah diselimuti oleh zikrulah, maka seluruh batin kita akan cerah dan
dapat berfungsi dengan baik seperti malam hari diterangi oleh bulan purnama. Orang yang
mencerah pada zikir itu akan memperolehi mata batin (basirun), telinga batin (sami'un) dan
sebagainya lagi.

Apabila hati sudah disuluhi dan diterangi oleh cahaya Allah, maka batinnya akan berfungsi dan
di kala inilah diri kita dapat mema'rifatkan kepada Allah. Proses pemancaran (wujud) cahaya
zikir itu seperti proses pemancaran cahaya matahari yang tertimpa keatas bulan dan
memancarkan (refleksi) cahaya yang nyaman, lembut dan romantik ke bumi.
Apabila sampai ke tahap atau maqom ini, maka seseorang ahli zikir itu dapat mengetahui sesuatu
yang tidak dapat ditangkap oleh anggota zahir. Misalnya apa yang tidak dapat diketahui oleh
mata, dapat ditangkap oleh mata batinnya. Sesuatu yang tidak dapat didengar oleh telinga zahir
tapi bisa didengar oleh telinga batin dan begitulah seterusnya.

Keistimewaan mereka yang sudah dapat menguasai hakikat zikir ini menyebabkan dia dapat
mendengar dan faham segala gerak-gerik alam, hewan, serangga dan juga desiran daun, kayu,
ombak, hembusan angin dan sebagainya. Orang yang menduduki maqom ini juga kadang-kala
bercakap-cakap sendiri (padahal dia bercakap dengan isi alam)! Matanya dapat melihat pada
waktu malam atau di kala alam gelap-gelita. Dirinya dapat mengetahui sesuatu yang terjadi
meskipun dia berada di alam tidur. Dia juga dapat tujuan tepat mengenai apa- apa yang akan
terjadi ke atas dirinya dan dunia dalam sekitar tempo 40 hari, seperti tarikh kematian dirinya.
Pendeknya segala rahasia Allah yang tidak dapat disingkap oleh anggota batin dapat diketahui
oleh diri batin.

Keistimewaan ahli zikir yang sampai ke peringkat itu bukan sekedar itu saja, dia juga dapat
bertahan lapar, haus dan menahan sakit dan penderitaan-penderitaan zahir yang lain. Tubuh
mereka menjadi "kebal" dari rasa sakit dan pedih. Zikir itu sebenarnya menjadi penebal pada
tubuh mereka. Karena itulah kita selalu mendengar para Wali Allah itu adakalanya tidak makan
bertahun-tahun dan tidak sakit bertahun-tahun. Sebagiannya pula sangat merindui pada kesakitan
dan ingin pada kematian.

Seseorang wali Allah yang telah sampai ke peringkat zikir yang memecahkan rahasia itu bisa
hidup untuk beribu tahun tanpa makan dan minum. Kisah ataupun hakikat ini bukan dongengan
atau merupakan satu "kampanye/promosi" untuk mendorong kita memiliki ilmu zikir ini, tetapi
merupakan satu kenyataan yang disurat-lipatkan dalam Al-Quran.

Mungkin anda pernah mendengar kisah "Pemuda Ashabul Khafi" di dalam Al-Quran, di mana
tujuh orang pemuda yang semuanya anak raja tidur selama 309 tahun karena beramal kepada
Allah. Mereka adalah Wali Allah, yang merupakan ahli zikir kelas satu (first-class). Kalau
diukur pada logika, mustahil seorang manusia itu dapat tidur selama beratus tahun tanpa makan
dan minum. Seharusnya tentu mereka akan mati. Menurut pendapat pakar pengobatan modern
(medical specialist), manusia hanya dapat bertahan selama delapan hari saja tanpa makan dan
minum, setelah itu dia akan mati. Tetapi tujuh orang pemuda "Ashabul Khafi" itu bukan delapan
hari, tetapi selama 309 tahun mereka berada dalam gua (khafi), yang pintunya ditutup rapat dan
tanpa memakan apa-apa . Apakah rahasia mereka dapat bertahan dan hidup begitu lama. Apakah
yang mereka makan utk meneruskan hayat hidup mereka? Jawabnya tidak lain dan tidak bukan
ialah zikir.

Mereka berzikir (ingat kepada Allah) dan menjadikan zikir sebagai santapan rohani. Dari kisah
itu jelas membuktikan kepada kita, bahwa bila sampai ke satu peringkat tertentu, zikir itu bisa
mengenyangkan kita. Ia bisa melapangkan dada kita. Caranya bila kita asyik dan "zauq" (mabuk
ketuhanan), kita hanya akan ingat Tuhan saja, tanpa yang lain, termasuk melupakan penderitaan
zahir seperti lapar, haus, sakit, takut atau bimbang kepada sesama makhluk. Lagi pun bila kita
sudah tidak putus-putus mengingatNya maka Dia juga begitu. Jadi bila Dia sudah ingat kita tak
heranlah dengan segala perilaku salah adat itu, seperti tak makan, tak mengantuk, tak lapar dan
sebagainya adalah perkara "kacang" saja. FirmanNya..... "Jika engkau ingat Aku, Aku ingat
engkau". "Dan hanya pada Tuhanlah hendaknya kamu berharap".

Demikian juga dengan apa yang terjadi ke atas wali-wali dan para Nabi. Kenapa mereka
memperoleh kelebihan, keistimewaan dan juga kemuliaan, (karamah hidup) karena mereka
benar-benar menguasai "zikir ma'rifat". Nabi Ibrahim a.s. walaupun dicampakkan ke dalam api,
Baginda tidak mengalami apa-apa walaupun seurat bulu roma pun tidak hangus. Apa yg
menyebabkan Baginda kebal ialah tak lain dan tak bukan karena dia berzikir (ingat) kepada
Allah. Nabi Nuh a.s. walaupun seluruh kaumnya mati lemas karena bah (banjir) besar, tetapi dia
selamat.
Apakah rahasia yg menyebabkan dia selamat, jawabnya tidak lain dan tidak bukan ialah karena
dia senantiasa berzikir (ingat)akan Allah. Zikir-zikir Nabi Nuh a.s. menyebabkan air tidak masuk
ke dalam kapalnya.

Demikianlah hikmah dan juga rahasia zikir terlalu besar sekali bisa menjadikan seseorang itu
dikatakan karamah dan punya kelebihan yang jarang dimiliki oleh orang banyak. Kembali
kepada kita apakah kita ingin ataupun tidak memiliki segala rahasia itu, tepuk dada tanya selera.
Walau bagaimanapun harus diingat, dalam hal ini jangan pula karena mengetahui akan rahasia-
rahasia itu maka kita berzikir semata-mata mengharapkan segala kekeramatan itu. Niat begitu
sudah salah.Dan yakinlah kalau kita buat dengan memasang niat begitu segala apa yang kita
hajati tidak menjadi. Konsep dalam beramal itu tidak boleh gairah dan mengharapkan ganjaran
apa-apa.

Lagi pun berzikir dengan mengharapkan sesuatu, jelas amalan itu sudah tidak ikhlas lagi. Amal
yang tidak ikhlas tahu sendirilah natijahnya, ia seperti berusaha untuk memerangkap angin dalam
sebuah wadah yang berlubang. Sia-sia saja. Sebaliknya berzikirlah sebagai satu tanggungjawab
kita terhadap Allah dalam usaha untuk "Kamil-mukamil" denganNya. "Kekeramatan atau
kemuliaan itu datang tanpa disadari. Yang nampak karamah seseorang itu adalah orang lain yang
berada di luar kehidupannya ".

Fitrah
Sejak kecil sebagian dari kita telah memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat dengan sedikit
keimanan kepada Tuhan. Kenapa dikatakan demikian? Sebab ada perbedaan antara kepercayaan
kepada dalil-dalil dengan keimanan yang memungkinkan kita untuk menaruh keyakinan kepada
kebenaran dalil-dalil tersebut. Keyakinan kita tentang keagamaan yang terkesan pada masa
kanak-kanak, lebih banyak merupakan kredo yang menakutkan, sampai terbawa pada masa
dewasa. Cerita neraka dengan segenap malaikat penjaganya yang kejam mampu membangkitkan
di dalam kejiwaan sisi yang menakutkan dari sosok Tuhan.

Di sisi lain, Tuhan merupakan figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual
dari pada imajinasi. Tuhan sebagai figur dibelakang layar (hijab) yang tidak berbuat banyak
karena segala pekerjaan pengaturan alam semesta telah diwakilkan kepada para pembatunya
(malaikat). Ia begitu agung dan suci, sehingga cukup bagi-Nya duduk santai di singgasana-Nya,
seperti imajinasi tentang raja-raja pada gambaran manusia. Akibatnya, banyak orang yang
terjebak kepada imajinasi ini, sebagai batasan manusia untuk tidak membicarakan Tuhan. Dan
bagi manusia biasa tidak layak untuk menyentuh wilayah ketuhanan, kecuali melalui perantara
(afathara) manusia suci. Mereka menganggap tidak layak manusia kotor untuk hadir menemui
Tuhan Yang Maha Suci, sehingga kita tidak boleh memikirkan tentang eksistensi Tuhan yang
sebenarnya.

Agama yang kita tangkap selama ini adalah sebagai seperangkat aturan dan kepercayaan yang
dibebankan secara eksternal. Ia bersifat top down yang diberikan kepada kita untuk memaksa
melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut, tanpa membawa pengertian asasi manusia yang
bersifat fitrah. Karena manusia memiliki kecenderungan kepada yang terbaik dan sempurna
dalam hidupnya. Hanya saja dorongan kebaikan tersebut memerlukan perangkat untuk menuntun
menuju jalan kebaikan tersebut, berupa agama yang secara konkrit berupa kitab suci. Hal ini
sangat berbeda jika keagamaan yang timbul berasal dari jiwa, yang merupakan fitrah internal
bawaan otak dan jiwa manusia, karena keagamaan yang berasal dari potensi fitrah akan sesuai
dengan ajaran agama yang benar dan universal secasra utuh.

Sekelompok Arab Badui datang menghadap Rasulullah serta menyatakan dirinya sudah beriman
kepada dan Allah dan Rasulullah. Akan tetapi konsepsi keimanan itu bukan berasal dari pikiran
dan aturan yang ditekankan dari luar dirinya, akan tetapi iman itu berasal dari potensi jiwanya
sendiri (fitrah).
Orang-orang Arab Badui itu berkata: Kami telah beriman. "Katakanlah (kepada mereka) kamu
belum beriman,tetapi katakanlah kami telah tunduk,karena iman itu belum masuk kedalam
hatimu. (QS. Al Hujuraa [49]:14)

Al Qur'an merupakan ayat kauliyah yang membenarkan kenyataan ayat-ayat yang muncul dari
jiwa manusia itu sendiri. Seperti rasa sayang, cinta terhadap sesamanya, kerinduan, sifat
melindungi diri, kecederungan ingin lebih baik dll. Kecenderungan inilah yang dinamakan fitrah
yang diturunkan oleh Allah kepada setiap manusia secara universal. Rasululah diutus untuk
membangkitkan fitrah dasar ini, yaitu akhlak yang mulia. Sedangkan akhlak yang mulia bisa
terwujud jika dibangkitkan dengan melakukan pendekatan-pendekatan kejujuran didalam dirinya
untuk mengakui adanya fitrah tersebut. Pendekatan yang paling sempurna dengan melakukan
shalat lima waktu, yang berguna membangun akhlak yang berasal dari fitrahnya sendiri. Dengan
demikian kebahagiaan bisa diraih, karena manusia telah menjadi dirinya yang sejati. Kesejatian
inilah yang menghubungkan kembali kecenderungan kembali kepada Allah yang maha
menciptakan manusia.

Spiritual
Perkembangan ilmu psikologi modern pada akhirnya tidak malu-malu lagi membicarakan
masalah spiritual. Yang pada awal perkembangannya mengharamkan dunia spiritual karena
dianggap sesuatu yang tidak bisa dinalar oleh logika. Apalagi pada masa itu dianggap ada
hubungan dengan persoalan agama dan agama dianggap hal yang mustahil dimasukkan kedalam
ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak. Namun demikian, tidak seluruhnya diterima sebagai
kesadaran baru dalam sains modern. Karena sains modern tetap harus mendasari penelitiannya
dengan fakta dan empiris. Walaupun ada sedikit menyinggung masalah jiwa dalam teori
psikologi transendental, tetap saja yang dibahas adalah gejala-gejala psikologisnya saja secara
lahiriah. Sehingga mereka masih menganggap jiwa adalah "otak". Mungkin karena jiwa dan ruh
dianggap sesuatu yang tidak bisa diukur. Namun demikian, ada sedikit perkembangan yang luar
biasa takkala para ahli mengatakan, bahwa manusia memiliki aspek spiritual yang harus
dikembangkan. Karena dengan mengembangkan daya spiritualnya akan memasuki kecerdasan
yang lebih tinggi dibanding hanya mengaktifkan sisi logika yang bersifat kaku.

Ada perbedaan antara spiritual yang dibahas oleh para ahli psikologi barat yang menitik beratkan
pada aspek lahir. Sementara spiritual yang dimaksudkan orang-orang yang beragama adalah
ruhani yang berkaitan dengan kehidupan berketuhanan.

Kehidupan spiritual banyak memperhatikan asek ruhani, yang didalam agama sangat
menentukan nilai kebaikan dan keburukan sebuah perbuatan. Lebih dalam lagi, ruhani
merupakan kesadaran paling dalam ada dimensi "manusia". Oleh Karena itu, ketika orang
membicarakan ruhani berarti membicarakan apa ruhani dan untuk apa harus dipelajari. Dengan
pertanyaan tersebut mengajak kita untuk kkembali membicarakan asal usul kejadian manusia.
Yang pada umumnya sudah diketahui, manusia terdiri dari fisik dan non fisik atau disebut ruh.

Pada aspek fisik, manusia membutuhkan dukungan dan perlindungan secara fisik, yaitu berupa
materi yang menjadi bahan terbentuknya tubuhnya. Sedangkan ruhani, menyadari kehidupan asal
ia berada, yaitu Tuhan Yang Maha Menciptakan.

Memahami kehidupan ruhani, berarti memahami bagaimana sifat dan keadaan alamnya. Seperti
memahami alam Azaly, alam rahim, alam qubur dan alam syurga dan neraka. Semua alam
tersebut selalu dikaitkan dengan kehidupan spiritual agama, sehingga tidak mungkin psikologi
modern membahas persoalan ini karena bersifat immaterial.

Walaupun sain modern membahas dunia spiritual dan ilmu jiwa, akan tetapi mereka tidak
membahas soal eksistensi jiwa dan ruh itu sendiri. Karena mereka tetap pada prinsip keilmuan
yang tidak mendasari hal yang tidak bisa diukur.
Sebuah keyakinan yang digambarkan mengenai kehidupan sebelum kelahiran. Pada dasarnya
kita tidak pernah ingat dan menyadari bahwa kita pernah tinggal dan hidup di dalam perut
seorang ibu. Seandainya hal ini tidak ada informasi yang menyebabkan kita menjadi sadar,
mungkin kita tidak akan pernah percaya bahwa kita pernah tinggal disana. Sebagaimana kita
tidak percaya adanya alam setelah mati.

Kesadaran spiritual ini memperkuat perbedaan bahwa kesadaran yang dimaksudkan oleh
spiritual agama sangat berbeda dengan kesadaran spiritual menurut neurolog.
Menyadari berarti merasakan sesuai tingkat perkembangan pengetahuan seseorang. Semakin
banyak ia memiliki pengetahuan semakin tinggi tingkat kesadarannya. Itulah sebabnya mengapa
Rasulullah memberikan statement, bahwa tidurnya seorang yang memilki ilmu pengerahuan
lebih berpahala daripada ibadahnya orang yang bodoh.

Menurut para pengamat otak, seorang yang sedang tidur kondisi kesadarannya menurun.
Demikian juga orang yang sedang berada dalam kondisi koma. Tingkat kesadaran tergantung
kondisi otak. Jika otaknya sehat maka jiwanya sehat. Jika otaknya rusak maka jiwa sakit.
Makanya dalam kedokteran jiwa (psikiatri), pertama kali yang akan didiagnosa adalah otaknya
untuk mengetahui tingkat kesadarannya. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena memang ilmu
pengetahuan modern mendasarinya dengan ukuran yang bersifat materi. Oleh sebab itu, mengapa
spiritual agama yang membicarakan ruhani dan Tuhan, tidak mungkin masuk kedalam
pembahasan dunia sains. Karena alat ukur mengetahui ruhani dan Tuhan tidak ada. Sedangkan
Alat ukur mengetahui adanya Tuhan dan Ruh adalah dengan keimanan .

Tafakur
Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu pengetahuan, maka semakin mudahlah
bagi kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah meyakini,
bahwa kita akan kembali kepada-Nya sekarang, bukan besok. Mari kita perhatikan firman Allah
berikut ini:

Hai manusia,sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju


Tuhanmu,maka pasti kamu akan menemui-Nya.( QS. Al Insyiqaaq'; [84]:6)

Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan
Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha meliputi segala sesuatu (QS. Al
Fushilat [41]:54)

Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit, kecuali bagi
orang yang khusyu'. Siapakan orang yang khusyu' itu? Ialah orang yang mempunyai keyakinan
bahwa ia sedang berjumpa Allah pada saat berdiri shalat.

Kegiatan berfikir (tafakkur) atau merenungkan segala ciptaan Allah adalah kunci kebaikan
keimanan seseorang. Sebab dengan bertafakkur, kehidupan ruhani akan semakin tajam dan
secara spiritual akan mencerdaskan cara berfikir secara intuitif. Karena tafakkur bukan sekedar
berfikir secara lahir, akan tetapi lebih cenderung berfikir kedalam yaitu memikirkan asal muasal
setiap sesuatu adalah berasal dari Allah. Maka dari itu Al ghazali mengatakan:

Jika ilmu sudah sampai di hati, keadaan hati akan berubah. Jika hati sudah berubah, perilaku
anggota badan akan berubah, perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan mengikuti ilmu dan
ilmu mengikuti pikiran.Oleh karena itu, pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan dan
yang menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih daripada dzikir, karena pikiran adalah
dzikir plus.

Jadi tafakkur memanfaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia dalam proses
berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia ke alam akhirat, dari
ciptaan menunju kepada pencipta. Loncatan inilah yang disebut al ibrah, melihat dengan sarat
pengetahuan.
Berpikir, kadang hanya terbatas pada upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan dunia,
yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan. Sedangkan tafakkur dapat menerobos sempitnya
dunia yang terbatas kepada materi menuju dimensi spiritual yang sangat luas dan tidak terbatas.

Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar seorang
mukmin. Dr. Malik Badri, ahli psikoterapi dari Sudan berpendapat, bahwa perwujudan tafakkur
memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat yang disebut istilah "syuhud".

Diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi empiris yang langsung, melalui alat
pendengaran, alat raba, atau alat indra lainya, atau secara tidak langsung seperti pada fenomena
imajinasi atau pengetahuan rasional yang abstrak. Sebagian besar pengetahuan ini tidak ada
hubungannya dengan emosi atau sentimen.

Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi keindahan, kekuatan atau
keistimewaan lainnya yang dimiliki oleh sesuatu, baik susunannya yang rapih atau
pemandangannya yang indah, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan menuju rasa
kekaguman ciptaan. Fase ini adalah fase kedua, fase tempat bergejolaknya perasaan.
Kalau dengan perasan ini ia berpindah menuju Sang Pencipta dengan penuh kekhusyu'an
sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah
berada pada fase ketiga.

Jika hanya sekedar dapat memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya, maka itu tidak lebih dari
fase awal yang primitif. Pada fase ini, antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak
ada bedanya. Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, yang merupakan pengupasan rasa kekaguman
terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah, dapat dirasakan baik oleh mukmin maupun oleh
orang kafir, tanpa melihat sisi keimanan atau sisi kekufuran. Akan tetapi fase pengetahuan ketiga
yang menghubungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapihan tatanan alam
dengan penciptanya yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Merupakan nikmat besar yang hanya
dapat dirasakan oleh orang-orang mukmin.

WUJUD
Adalah sifat Allah yang berarti "ADA". Keberadaan-Nya menjadi misteri bagi orang-orang yang
tidak memahami asal usul dari suatu benda yang tampak wujud. Sesungguhnya keberadaan Allah
tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang. Bahwa Allah tidak tampak atau tidak
berwujud. Namun ketika manusia menyadari atas keterbatasan penglihatan untuk melihat yang
sangat jauh ataupun yang terkecil,seharusnya manusia mengakui akan keterbatasan ini. Sehingga
mengapa kebanyakan orang shalat akhirnya tidak mampu menjalankan dengan
kekhusyuan,bahkan selalu lalai didalam shalatnya. Hal ini terjadi karena ada kekeliruan yang
telah tertanam sejak pengajaran ketuhanan dengan konsep yang terbatas.

Revolusi ketuhanan yang dilakukan Rasulullah tehadap konsep ketuhanan berhala, sesungguhnya
membuka kembali agama ketuhanan yang dibawakan oleh nabi-nabi sebelumnya. Sebagaimana
proses penemuan spiritual yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Yaitu ketika Beliau mengira
kekuasaan ada pada keberadaan benda-benda langit yang paling tampak oleh indria, seperti
matahari, bulan dan bintang-bintang. Perenungannya tersebut berujung mendapatkan kesadaran
spiritual yang paling tinggi, yaitu keadaran adanya Yang Maha Menciptakan. Oleh sebab itulah
agama yang dibawakan oleh Nabi Ibrahim disebut agama hanif, yaitu agama universal.

Dan Nabi Muhammad sebagai keturunan dan bersilsilah langsung dengan nabi Ibrahim, diutus
Allah untuk meluruskan kembali gejala penyimpangan persepsi ketuhanan. Gejala ini tampak
mulai terjadi secara halus pada generasi setelah Rasulullah sampai kepada masa sekarang.
Bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak terlalu dibahas dengan serius dan bahkan hampir terabaikan.
Sehingga orang lebih menyukai membahas hukum-hukum daripada membahas keberadaan
"Allah". Gejala ini terlihat dari sikap “ihsan” didalam sertiap peribadatannya yang terabaikan.
Padahal didalam setiap peribadatan sangat diutamakan akan kesadaran ini. Terungkap dalam
setiap ayat yang mengatakan bahwa :
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada wajah Tuhan Yang Menciptakan langit dan
bumi dengan cenderung kepada agama yang benar,dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan ( QS. Al An'am [6]:79)

Wujud atau eksistensi Allah menjadi pokok ajaran Rasulullah mengenai ketuhanan. Yang
membedakan dengan agama-agama jahiliyah , yang menganggap tokoh-tokoh pembawa agama
menjadi Tuhan-Tuhan yang berwujud manusia ataupun binatang yang disucikan. Akan tetapi
masalah tauhid ini oleh sebagian ummat Islam justru malah ditabukan untuk dibahas lebih
mendalam,karena alasan sangat berbahaya. Akibatnya banyak ummat menjadi bingung dan takut
untuk mendalami ilmu ketuhanan. Mereka hanya dibolehkan membahas ciptaan Allah bukan
mengenai wujud Allah,bahkan melarang untuk bertanya mengenai keberadaan Tuhan. Hal ini
sangat bertentangan dengan firman Allah sendiri yang membolehkan bertanya mengenai
keberadaan-Nya.

"Apabila hamba-hamba-Ku bertanya mengenai AKU, katakan (wahai Muhammad), bahwa AKU
ini dekat. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah)
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohaon kepada-Ku,maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku,agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS. Al Baqara [2]:186)

Pemahaman mengenai "wujud", sebenarnya kita sudah tahu dengan sendirinya ketika
mengucapkan kalimat yang menyusun kesadaran tersebut. Namun karena kurang penghayatan
apa yang diucapkan, sehingga terjadilah pengabaian secara tidak sadar pula.

Disaat Anda mengucapkan kalimat syahadat, "laa ilah illallah", pada hakikanya adalah
melepaskan kesadaran indria anda, yaitu melepaskan kesadaran bentuk,warna,waktu dan ruang.
Pada hakikatnya, Anda melepaskan yang bukan kenyataan sebenarnya. Karena setiap yang
tampak sesungguhnya hanyalah ilusi indria yang terbatas. Termasuk keberadaan (wujud) diri
hanyalah ilusi pikiran yang terbatas. Padalah segala yang terlihat hanyalah bentuk ciptaan pikiran
sendiri yang berasal dari informasi indria yang sangat terbatas. Ketika para sufi mengucapkan
kalimat laa ilaha illallah....(pengabaian terhadap yang wujud materi) jiwanya membentuk
kesadaran baru, yaitu melampaui materi. Bentuk tubuhnya disadarinya menjadi alam yang saling
mengikat,yaitu kesadaran makrokosmos. Kemudian kesadarannya berkembang menjadi
mengabaikan keberadaan makrokosmos menjadi tiada (fana), karena sesungguhnya yang
menggerakkan segala sesuatu adalah ZAT YANG MAHA ADA dan MAHA HIDUP. Yaitu Zat
Awal dari segala sesuatu,yang bukan materi. Ialah wujud yang tidak bisa dibandingkan dengan
segala sesuatu, karena persepsi penglihatan dan pikiran tidak mampu menangkap wujud mutlak
tersebut. Kita hanya mampu mengatakan ada dan berwujud Zat Hidup yang menjadi Pusat
Hidupnya segala makhluk yang ada. Sebagaimana gambaran ruh yang dikandung dalam badan
manusia. Ruh tidak bisa dibandingkan dengan tubuh manusia,akan tetapi keberadaannya
menguasai gerakan tubuh. Dan kita hanya bisa mengatakan ada dan NYATA.

Zakat
Kerelaan mengeluarkan zakat,baik mal atau fitrah, yang dinyatakan sebagai salah satu ciri orang
beriman, juga dianjurkan untuk terus dilakukan meski dalam kondisi kesusahan. Sepertinya tidak
ada alasan (excuse) untuk tidak bersedekah dalam Islam. Sebagai ciri orang beriman, zakat juga
menjadi sarana untuk mengangkat harkat dan martabat seseorang.

Sesuai dengan ajaran Islam, orang beriman diajarkan untuk menjadi "tangan diatas" sebuah
idiom yang artinya menjadi pemberi dan melarang berbuat meminta-minta yang dipandang
sebagai tindakan merendahkan martabat dan harga diri pada sisi lain. Dalam kasus tersebut,
agama Islam mengajarkan agar setiap pribadi orang Islam dapat berlaku terhormat dan
memelihara serta menjaga harga dirinya dengan bersikap ksatria menjaga kehormatan diri.
Sehingga, mengapa didalam Al Qur'an disandingkan ayat-ayat perintah shalat dengan perintah
zakat, seperti tidak boleh dipisah. Bahkan dengan tegas menyebutkan "agama pendusta" bagi
yang mengaku shalat akan tetapi tidak memperdulikan nasib orang-orang miskin dan yatim
piatu.
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? iitulah yang menghardik anak yatim. Dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat. (yaitu) orang-orang yang dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya'. Dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.( QS. Al Ma'un, 107:1-7)

Dan hal yang terpenting dari ajaran Islam adalah puasa, Ibadah puasa diharapkan akan dapat
memelihara dan meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan dengan pencapaian pengalaman
batin atau ruhaniah berupa tumbuhnya sikap empati (kondisi psikologis dapat menempatkan diri
pada posisi orang lain daslam kesusahan). Ini berkaitan erat dengan erat dengan pelajaran
mengentaskan kemiskinan sebagai upaya pencucian jiwa, menyantuni yatim piatu dan orang
miskin, sehingga kepekaan bathin akan terasah dengan baik.

Zakat mal, zakat kekayaan maupun fitri ada dasarnya juga merupakan simpbolisasi pemadatan
nilai keimanan yang tidak kasat mata. Adapun ide dasar yang terkandung dalam keduanya adalah
menyucian. Sedang sarana penyucian adalah dengan menunjukkan komitmen, kepedulian sosial.

Zakat yang sesungguhnya mengandung pesan-pesan kemanusiaan, juga harus dipahami


semangat dan dinamikanya pada zaman sekarang ini, termasuk didalamnya kelompok orang
yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki). Dan yang paling utama dari zakat ini adalah,
membersihkan jiwa dan pengaruhnya terhadap kesadaran jiwa. Bahwa segala yang diberikan
Allah berupa rejeki adalah sesuatu yang berasal dari Allah dan diperuntukkan untuk
kemaslahatan diri dan orang lain. Dengan demikian manusia akan terbentuk akhlak yang mulia.

Você também pode gostar