Você está na página 1de 2

Alih tata nilai dan kemandirian moral

Leo Sutrisno

Dalam laporan jurnalistiknya, Pontianak Post, 14 Juni 2010, melaporkan hasil suvai
Yayasan Kita dan Buah Hati Jakarta tentang perilaku anak usia SD (2 818 orang) dalam
mengakses Pornografi. Disebutkan bahwa sekitar 67% anak-anak SD kelas 4-6 telah
mengakses informasi pornografi.

Mereka melihat sajian pornografi lewat buku komik, internet, film/tv, telpon genggam
atau majalah. Alasan mereka beragam. Misalnya, ada yang hanya iseng, ada yang
penasaran, ada yang ikut teman, dan ada juga yang takut dianggap kurang pergaualan.

Ada dua pertanyaan besar yang dapat diajukan. Di antaranya adalah: mangapa itu dapat
terjadi? dan bagaimana cara menyelesaikannya?.

Tidak ada alih tata nilai

Indonesia, hingga saat ini, masih dikenal sebagai negara pemakai teknologi. Teknologi
hasil rekayasa berbagai negara dimasukkan ke Indonesia. Teknologi dikembangkan untuk
meningkatkan kamaslahatan manusia. Misalnya, sepuluh tahun yang lalu sebagai
penduduk di Pontianak masih sangat repot untuk menggunakan telpon. Kini, dengan
ponselnya, orang yang sama dapat mempergunakannya tanpa batas. Berkat kemajuan
teknologi komunikasi, hidup manusia menjadi lebih nyaman.

Namun, perlu diingat bahwa setiap hasil teknologi mempunyai potensi kekuasaan dan
merusak. Karena itu, kedua potensi itu harus dikendalikan. Oleh masyarakat penemu
teknologi, cara-cara mengendalikan kedua pontensi ini telah diperlajari dan telah
dirumuskan sejumlah persyaratan dan prilaku dalam mempergunakan hasil teknologi
tersebut. Mereka menciptakan tata nilai tertentu bagi para pemakai tekonologi yang
mereka produksi. Dengan tujuan, jika tata nilai ini dituruti niscaya potensi merusak dan
kekuasaan pada produk teknologi yang dihasilkannya dapat diperkecil dampaknya.

Sayang, pada saat alih teknologi itu tidak disertai alih tata nilai. Akibatnya, orang tidak
tahu bagaimana cara menggunakan teknologi itu yang betul, yang diarahkan demi
kemaslahatan manusia. Orang hanya tahu cara mengoperasikannya. Akibatnya, dapat kita
rasakan dewasa ini. Banyak korban akibat kemajuan teknologi. Anak SD itu sebagian
dari korban ini

Karena itu, para penentu kebijakan dalam alih teknologi sebaiknya, ke depan
menyertainya dengan alih tata nilai yang dihayatai masyarakat penghasil teknologi itu.
Sebagai ilustrasi, pada tahun 1985 saya menginjakkan kaki di Sydney, Australia untuk
studi lanjut. Begitu saya masuk ke tempat kost di hari pertama, induk semang saya
langsung memberitahu bagaimana cara menghidupkan dan mematikan televisi, cara
menggunakan lemari es dan cara menggunakan pesawat telpon. Misalnya, saat menerima
telpon dari luar, saya harus menyebutkan nomor telpon di rumah itu dengan tujuan agar
penelpon segera tahu apakah hubungan itu betul atau tidak (salah sambung).
Sudah saatnya, dikalsnakan alih teknologi yang disertai dengan alih tata nilai, jika kita
ingin hidup kita menjadi lebih nyaman.

Kemandirian moral

Kemandirian moral merupakan salah satu syarat agar kita dapat memiliki kepribadian
yang kuat. Memiliki kemandirian moral berarti kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan
pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita. Kemandirian moral mendorong kita
selalu membuat penilaian dan pendangan sendiri serta bertindak sesuai dengannya.
Kemandirian moral membebaskan kita dari sikap mengikut ara angin bertiup.

Dengan kemandirian moral, kita tidak sekedar mengikuti apa yang biasa dilkukan oleh
banyak orang. Kita tidak menyesuaikan pendirian kita dengan apa yang mudah, yang
enak, atau yang ’aman’ saja karena sama dengan yang dilakukan banyak orang.

Kemandirian moral merupakan kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan
untuk bertindak sesuai dengannya. Dengan kemandirian moral kita menjadi tidak ikut
arus. Tidak ikut kemana angin bertiup. Tidak ikut asal ikut. Kemandirian morah berarti
kita memiliki sauh untuk berlayar sendiri dalam hidup ini.

Sayang, hingga kini kemandirian moral ini tidak banyak ditanamkan oleh para cerdik
pandai, para pemimpin bangsa, para pendidik, para alim ulama, para tokoh agama dan
para panutan di masyarakat. Akibatnya, banyak orang di Indonesia ini hanya ikut arus.
Termasuk, anak-anak kita usia SD dengan pornogrfinya itu.

Karena itu, ada baiknya, para tokoh agama, para orang tua, para cendekiawan mulai
membantu anggota masyarakat yang lain untuk memperkuat kemandirian moral ini,
termasuk para siswa SD ini. Jika ini terjadi, maka kasus pornografi dan yang lain
(korupsi) akan dapat mereka jauhi. Semoga!

Você também pode gostar