Você está na página 1de 19

ANALISIS ARTIKEL

PRAKTIK SUNAT PEREMPUAN DI KAWASAN AFRIKA


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kesehatan Reproduksi

Oleh

Syahvira S.
072110101039

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2009
Artikel Kesehatan Reproduksi
SUNAT Perempuan? Jangan Deh...
Kamis, 04 Maret 2004, 11:44 WIB
Kompas Cyber Media, ZRP
Praktik sunat perempuan sudah begitu berurat berakar pada sekelompok
masyarakat tertentu. Tujuan utamanya mengontrol dorongan seksual perempuan.
Ada anggapan, kotoran yang menempel pada klitoris dapat membuat libido seks
perempuan tak terkendali. Padahal, praktik tersebut tidak hanya membahayakan
kesehatan perempuan tetapi juga merupakan "penyiksaan" secara fisik dan psikis
seksual pada mereka.
Di kawasan Afrika, sunat pada perempuan dilakukan dengan benar-benar
memotong bagian genital perempuan, sehingga sering membuat mereka kehabisan
darah, infeksi, infertil, terkena penyakit pembengkakan, sakit saat melahirkan,
tidak bisa mengontrol kencingnya, dan tidak bisa menikmati hubungan seksual.
Bahkan, di beberapa negara, tak sedikit yang mempraktikkan infibulasi, yaitu
praktik memotong klitoris serta menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan sedikit
lubang untuk buang air dan haid.
Sakitkah rasanya? Sudah pasti.
Seorang perempuan asal Togo, Afrika, Fauziya Kasinga (17), beberapa tahun
lalu, bahkan nekad lari dari negaranya, karena tidak mau disunat. Ia minta suaka
di Amerika Serikat. Kasinga lari karena suaminya --yang lebih tua dua kali
usianya-- dengan dua istri terdahulunya, akan melakukan upacara sunat untuk
dirinya sebagai pengantin baru.
Menurut perkiraan PBB, sekitar 28 juta perempuan Nigeria, 24 juta perempuan
Mesir, 23 juta perempuan Ethiopia, dan 12 juta perempuan Sudan, dengan sangat
terpaksa telah menjalani sunat ini.
Di Indonesia, pelaksanaan sunat untuk perempuan, dilakukan secara simbolis
tanpa menyakiti fisik perempuan bersangkutan. Misalnya, sepotong kunyit
diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak. Namun, tak sedikit yang
melukai alat kelamin bagian dalam memakai pisau, gunting, dan jarum jahit.
Bahkan, di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata
yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak.
Kalau awal Januari 2003, PBB meluncurkan kampanye zero tolerance atas praktik
sunat perempuan, Indonesia adem-ayem saja. Padahal, Indonesia termasuk negara
yang masih mempraktikkan sunat perempuan, disamping negara-negara seperti
Somalia, Etiopia, Yaman dan Malaysia.
Alangkah baiknya kita berkaca pada Inggris yang mengeluarkan peraturan
"Female Genital Mutilation Act". Isinya antara lain, melarang orangtua membawa
anak perempuannya ke luar negeri untuk menjalani sunat. Apabila ketentuan ini
dilanggar ancaman hukumannya bisa mencapai 14 tahun. Wow!
Peraturan ini dikeluarkan karena sekelompok etnik tertentu di Inggris berusaha
menghindari larangan sunat perempuan dengan membawa anak perempuannya ke
luar negeri untuk disunat.
"Secara medis, maupun kultural, tidak ada alasan yang dapat membenarkan
praktik sunat perempuan. Itu tindakan yang menimbulkan kesakitan dan
penderitaan luar biasa," kata Menteri Dalam Negeri Inggris David Blunkett.
"Tindakan mutilasi terhadap alat kelamin perempuan sangat berbahaya, dan sudah
dinyatakan ilegal di negara ini."
"Apapun latar belakang budaya Anda, praktik ini tidak dapat diterima dan
dinyatakan melanggar hukum dimana pun Anda melakukannya," lanjut
Blunkett.
Menurut perkiraan para ahli, setidaknya 74.000 wanita dari generasi pertama
imigran Afrika di Inggris telah menjalani sunat. Biasanya dilakukan pada saat
anak perempuan berusia 13 tahun. Tetapi, kadang dilakukan pada bayi yang baru
lahir atau perempuan muda sebelum menikah dan hamil.
Selain alasan tradisi, dan agama, ada juga alasan kebersihan dan mencegah
perempuan mengumbar nafsu seksualnya. Sejauh ini, tidak ada bukti medis yang
membenarkan libido seks perempuan bisa tak terkendali lantaran tak disunat.
Disamping itu, seolah ada kecurigaan atas seksualitas perempuan yang bahkan
sejak bayi pun telah dituduh memiliki kecenderungan seks tak terkendali.
Dalam tulisannya di Kompas beberapa waktu lalu, Lies Marcoes Natsir --
pemerhati isu kesehatan reproduksi dan pernah melakukan penelitian praktik
sunat perempuan di Indonesia-- mengatakan pada titik itulah sebenarnya
masyarakat Indonesia wajib menolak praktik sunat perempuan dan karena itu
negara wajib mempertimbangkan kembali adem-ayemnya terhadap praktik sunat
perempuan ini.
Berdasarkan sejumlah penelitian, praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan
sejumlah keluarga Jawa di daerah Madura dan Yogyakarta. Selain itu, praktik ini
dilakukan pula di wilayah Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan Sulawesi
(zrp/BBC/PIK).
Sumber: http://202.146.5.33/kesehatan/news/0403/04/115051.htm
ANALISIS ARTIKEL
Alat reproduksi manusia adalah alat-alat atau organ-organ dalam tubuh
manusia yang berfungsi untuk proses reproduksi atau berkembang biak. Tanda
kematangan alat reproduksi pada pria ditandai dengan keluarnya air mani
(ejakulasi) yang pertama yaitu pada saat mimpi basah. Tanda kematangan alat
reproduksi pada wanita ditandai dengan haid yang pertama (menarche). Kesehatan
reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental maupun sosial yang
berkaitan dengan sistem reproduksi (Anonim, 2008). Oleh karena itu, mulai sejak
dini harus menjaga kesehatan reproduksi masing-masing baik pria maupun
wanita. Salah satu upaya menjaga kesehatan reproduksi bagi pria adalah dengan
melaksanakan ritual khitan yang telah lazim dilakukan oleh masyarakat muslim.
Khitan dalam Islam tidak hanya dilakukan pada laki-laki, tetapi juga kepada
wanita. Salah satunya diketahui pelaksanaannya di Negara Afrika.
Pemotongan klitoris perempuan di Afrika sebuah fenomena yang
dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa perempuan adalah sumber godaan
syahwat bagi kaum laki-laki sehingga ada anggapan jika bagian klitoris wanita
disunat akan menurunkan kadar libido perempuan dengan begitu perempuan tidak
mempunyai nafsu birahi untuk menggoda laki-laki. Di kawasan Afrika, sunat pada
perempuan dilakukan dengan benar-benar memotong bagian genital perempuan,
sehingga sering membuat mereka kehabisan darah, infeksi, infertil, terkena
penyakit pembengkakan, sakit saat melahirkan, tidak bisa mengontrol kencingnya,
dan tidak bisa menikmati hubungan seksual. Bahkan, di beberapa negara, tidak
sedikit yang mempraktikkan infibulasi, yaitu praktik memotong klitoris serta
menjahit tepi-tepinya dengan menyisakan sedikit lubang untuk buang air dan haid
(Chae, 2005).
Permasalahan khitan wanita saat ini menjadi perdebatan di kalangan medis
dan masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra terutama setelah beredarnya
surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas
kesehatan nomor : HK.00.07.1.3.1047a tanggal 20 April 2006. Dimana di dalam
surat tersebut disebutkan bahwa khitan terhadap wanita merupakan praktek
perusakan alat kelamin perempuan, sehingga harus dilarang (Munir, 2007).
1. Sirkumsisi (Khitan atau Sunat)
Sunat atau khitan atau sirkumsisi (Inggris: circumcision) adalah tindakan
memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan penis
atau preputium. Sirkumsisi bertujuan untuk membersihkan dari berbagai kotoran
penyebab penyakit yang mungkin melekat pada ujung penis yang masih ada
preputiumnya. Sirkumsisi atau sunat sudah dilakukan sejak jaman pra sejarah
(Journal of Men’s Studies, Amerika Serikat). Sirkumsisi juga diharuskan dalam
agama, misalnya Islam dan Yahudi. Bahkan pada awalnya para pendeta Kristen
pun juga melakukan sunat (Akbidyo, 2007).
Secara medis, sunat berarti membuang kulit yang menutupi glans penis
(kulit preputium). Saat dilakukan sirkumsisi, kulit preputium dibuang menyisakan
mukosa (lapisan bagian dalam kulit) sebanyak 0,3 - 0,5 cm dari lekukan kepala
penis (sulcus coronarius) ke arah kepala penis . Tujuannya adalah agar saat ereksi
tidak nyeri, karena ada kulit yang bersifat elastis (Anonim, 2001). Sirkumsisi
memiliki riwayat panjang, bahkan sebelum masehi sudah ditemukan catatan
prakteknya di Mesir. Praktek ini berlangsung terus sampai sekarang, namun
menjadi topik kontroversi hangat sejak sekitar 20-an tahun lalu. Sirkumsisi adalah
tindakan medis berupa pembuangan sebagian atau seluruh bagian dari preputium
(prepuce, foreskin, kulup, kulit yang melingkupi glans penis/kepala penis)
(Anonim, 2006).

2. Sirkumsisi dan Kesehatan Reproduksi


Seorang perempuan maupun laki-laki memiliki alat reproduksi yang berperan
dalam melaksanakan fungsi reproduksinya masing-masing. Pelaksanaan
sirkumsisi tidak lepas dalam hal pentingnya mengetahui berbagai organ
reproduksi bagi perempuan maupun laki-laki. Karen tidak hanya laki-laki saja
yang mengalami sirkumsisi, perempuan pun juga mengalami sirkumsisi
meskipun tidak dipelajari sesuai standar yang benar sehingga penerapnnya di
berbagai daerah berbeda-beda termasuk di Negara Afrika.
2.1 Organ reproduksi perempuan yang penting dalam proses reproduksi
adalah :
a. Indung telur (ovarium), fungsi menghasilkan sel telur, hormon-hormon
(estrogen, progresteron dll).
b. Saluran telur (tuba falopii), fungsinya tempat berjalannya sel telur
setelah keluar dari ovarium (proses ovulasi) dan tempat pembuahan
(konsepsi) atau bertemunya sel telur dan sperma.
c. Rahim (uterus) berupa rongga yang terlindungi oleh beberapa lapisan
otot dan selaput lendir, fungsinya tempat berkembangnya janin, dinding
rahim yang menebal dan berisi pembuluh darah akan keluar sebagai
menstruasi.
d. Liang kemaluan (vagina), digunakan untuk sanggama dan jalan lahir
bayi.
e. Bibir kemaluan (vulva) yang melindungi vagina.
(Winastri, 2008).
2.2 Organ reproduksi laki-laki yang penting dalam proses reproduksi
adalah :
a. Buah pelir (testis), ada 2 buah berada di dalam kantung pelir (scrotum),
berfungsi menghasilkan sperma, sperma berbentuk seperti kecebong yang
memiliki kepala, badan dan ekor, bentuk/ morfologi sperma sangat
mempengaruhi proses reproduksi/ kesuburan seseorang.
b. Saluran sperma (vas deferens), sebagai tempat berjalannya sperma dari
testis ke prostat.
c. Prostat dan beberapa kelenjar lainnya berfungsi menghasilkan cairan
mani.
d. Uretra (saluran kemih), sebagai tempat lewatnya cairan mani yang
mengandung sperma.
e. Batang kemaluan (penis), fungsinya sebagai alat kemih (mengeluarkan
air kemih) dan alat reproduksi (sanggama, ejakulasi), ukuran penis
tidak/bukan merupakan faktor kesuburan, tetapi ditentukan oleh fungsinya
yang ditandai dengan ereksi dan ejakulasi.
(Winastri, 2008).
Secara medis dikatakan bahwa sunat sangat menguntungkan bagi kesehatan.
Banyak penelitian kemudian membuktikan (evidence based medicine) bahwa
sunat dapat mengurangi risiko kanker penis, infeksi saluran kemih, dan mencegah
penularan berbagai penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS dan juga
mencegah penularan human papilloma virus. Selain itu sirkumsisi juga dapat
mencegah penyakit seperti phimosis, paraphimosis, candidiasis, tumor ganas dan
praganas pada daerah kelamin pria. Phimosis adalah gangguan atau kelainan pada
kulup, sehingga tidak dapat ditarik ke arah belakang untuk mengeluarkan batang
penis. Kemudian candidiasis merupakan sejenis penyakit infeksi pada kulit yang
disebabkan oleh jamur jenis Candida. Pria yang di sunat lebih higienis, pada masa
tua lebih mudah merawat bagian tersebut dan secara seksualitas lebih
menguntungkan (lebih bersih, tidak mudah lecet/ iritasi, terhindar dari ejakulasi
dini) (Akbidyo, 2007).

3. Sirkumsisi pada Pria


Pada laki-laki sunat dilakukan dengan cara membuang kulit/ preputium.
Dalam beberapa suku bangsa hal ini merupakan bagian dari budaya. Dan menurut
ajaran agama Islam, sirkumsisi bahkan sangat dianjurkan. Dari sisi medis sunat
sangat bermanfaat karena kebersihan penis menjadi lebih terjaga. Preputium dapat
menjadi tempat berkumpulnya sisa-sisa air seni dan kotoran lain yang membentuk
zat berwarna putih disebut smegma, ini sangat potensial sebagai sumber infeksi.
Dengan membuang kulit/preputium maka risiko terkena infeksi dan penyakit lain
menjadi lebih kecil. Walaupun tetap kebersihan penis harus dijaga (Winastri,
2008).

3.1 Definisi
Khitan bagi laki-laki adalah memotong semua kulup (kulit) yang menutupi
ujung zakar (Anonim, 2009). Sirkumsisi dapat dilakukan dengan cara
tradisional dan medis. Dalam dunia kedokteran, ada beberapa langkah yang
dilakukan ketika melakukan sunat, yaitu pertama mengiris kulit di bagian
punggung penis (dorsumsisi). Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan ujung
bagian dalam penis. Kedua, mengiris kulit kulup yang mengelilingi penis
(sirkumsisi). Sehingga, penis menjadi terbuka. Setelah itu dokter akan
menjahit luka irisan agar penyembuhannya berlangsung cepat dan tidak
timbul komplikasi (Akbidyo, 2007).
3.2 Beberapa Cara Dalam Sirkumsisi pada Laki-laki
Selain cara klasik di atas, masih ada banyak cara untuk menyunat. Di
antaranya adalah :
a) Cara kuno dengan menggunakan sebilah bambu tajam. Namun cara ini
mengandung risiko terjadinya perdarahan dan infeksi, bila tidak dilakukan
dengan steril (Akbidyo, 2007).
b) Metode cincin yang dicetuskan oleh oleh dr. Sofin, lulusan Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan sudah dipatenkan
sejak tahun 2001. Pada metode ini, ujung kulup dilebarkan, lalu ditahan
agar tetap meregang dengan cara memasang semacam cincin dari karet.
Biasanya, ujung kulup akan menghitam dan terlepas dengan sendirinya.
Prosesnya cukup singkat sekitar 3-5 menit (Akbidyo, 2007).
c) Metode mangkuk, merupakan metode yang lebih cocok dilakukan untuk
balita atau anak yang memiliki pembuluh darah pada kulup lebih kecil dari
ukuran normal (Akbidyo, 2007).
d) Metode lonceng, metode yang tidak dilakukan adanya pemotongan kulup.
Ujung penis hanya diikat erat sehingga bentuknya mirip lonceng. Setelah
itu, jaringan akan mati dan terlepas dengan sendirinya dari jaringan sehat.
Hanya saja metode ini waktu yang cukup lama, sekitar dua minggu
(Akbidyo, 2007).
e) Metode laser CO2, metode ini merupakan metode sunat paling canggih
yang berhasil dikembangkan hingga saat ini. Setelah disuntik kebal
(anaestesi lokal), preputium ditarik, dan dijepit dengan klem. Laser CO2
digunakan untuk memotong kulit yang berlebih.Setelah klem dilepas,kulit
telah terpotong dan tersambung dengan baik, tanpa setetes darah pun
keluar. Walaupun demikian kulit harus tetap dijahit supaya penyembuhan
sempurna. Dalam 10-15 menit, sunat selesai, perhatikan potongan kulit
yang dibuang. Cara sirkumsisi seperti ini cocok untuk anak pra-pubertal.
Untuk sunat dewasa caranya akan sedikit berbeda (Akbidyo, 2007).
3.3 Beberapa Manfaat Sirkumsisi bagi Pria
Ditinjau dari sudut kesehatan, ada beberapa manfaat sunat atau sirkumsisi,
antara lain:
1. Mencegah kanker penis. Orang yang tidak disunat, di ujung penisnya akan
menumpuk kotoran (smegma). Jika smegma ini tidak atau jarang
dibersihkan, dapat mengiritasi jaringan sekitarnya. Iritasi yang
berlangsung terus menerus (kronis) dapat mengubah sel menjadi sel
kanker (Akbidyo, 2007).
2. Penis yang disunat kulitnya akan memiliki tipe sel yang lebih tahan
terhadap penetrasi virus HIV. Dengan demikian, kesempatan virus HIV
masuk ke tubuh akan berkurang sehingga risiko terkena infeksi HIV/AIDS
juga menurun (Akbidyo, 2007).
Penelitian menunjukkan bahwa sunat tidak hanya melindungi pria dari
terkena HIV/AIDS, tetapi mengurangi penularan dari pria positif HIV/AIDS
ke wanita yang negatif HIV/AIDS (Akbidyo, 2007).

4. Sirkumsisi pada Wanita


Sunat perempuan di Indonesia mengacu pada sunat lak-laki, dikenal juga
dengan istilah sirkumsisi atau khitan perempuan. Sedangkan istilah secara
internasional adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital
Cutting (FGC). Penggunaan istilah sendiri masih seringkali diperdebatkan. Istilah
sirkumsisi yang bermakna cutting around secara spesifik prosedur medis
pemotongan alat kelamin laki-laki yang dilakukan sunat laki-laki. (PdPersi, 2007).

4.1 Definisi dan Klasifikasi


WHO mendefinisikan Female Genital Cutting (FGC) sebagai semua
tindakan/prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari organ
genitalia eksterna perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ
geneti talia perempuan dengan alasan budaya, atau alasan non medis lainnya.
Tindakan bedah transeksual tidak termasuk dalam hal ini. WHO
mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe, yaitu :
1. Tipe I : Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris,
dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris (PdPersi, 2007).
2. Tipe II : Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora,
tipe yang lebih ekstensif dari tipe I. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian
Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula (PdPersi, 2007).
3. Tipe III: Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan Ala Fir?aun, yaitu
eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk
menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya
menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine
tetap bisa keluar. Merupakan tipe terberat dari FGC (PdPersi, 2007).
4. Tipe IV: Tidak terklasifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan
jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan
atau labia; meregankan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi klitoris
dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya
cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau
tumbuh-tumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis dan atau menyempit;
serta berbagai macam tindakan yang sesuai dengan definisi FGC di atas (PdPersi,
2007).
4.2 Pelaksanaan Sunat Perempuan
Pelaksanaan sunat perempuan sangat bervariasi, mulai dari tenaga medis
(baik perawat, bidan, maupun dokter), dukun bayi, maupun dukun/tukang
sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional (pisau, sembilu, bamboo,
jarum, kaca, kuku) hingga alat moderen (gunting, scapula). Pelaksanaan bisa
dengan atau tanpa anestesi. Usia pelaksanaan FGC bervariasi, dari mulai
neonatus, anak usia 6-10 tahun, remaja, hingga dewasa (PdPersi, 2007).
Di Amerika Serikat dan beberapa Negara barat lain, clitoridotomy lebih
banyak dilakukan pada wanita dewasa dibandingkan pada anak-anak. Di
sebagian Negara Afrika di mana FGC tipe infibulasi banyak dilakukan,
tindakan ini dilakukan pada usia antara dua sampai enam tahun. Infibulasi
sebagai tipe terberat dari FGC digambarkan dilaksanakan dengan cara eksisi
vulva dengan dinding musculus dari pubis ke anus. Setelah eksisi, kedua sisi
labia mayora dijahit disatukan, dengan meninggalkan lubang kecil di vulva.
Penyembuhan luka dan pembentukan scar akan menyatukan kedua
permukaan labia. Kedua kaki wanita diikat selama sekitar dua minggu untuk
mempercepat proses penyembuhan. Semua tindakan itu dilakukan tanpa
anastesi (PdPersi, 2007).
Penelitian menunjukkan bahwa sunat perempuan di Indonesia sendiri
dilakukan pada anak usia 0-18 tahun, tergantung dari budaya setempat.
Umumnya sunat perempuan dilakukan pada bayi setelah dilahirkan. Di jawa
dan Madura, sunat perempuan 70% dilaksanakan pada usia kurang dari satu
tahun dan sebagian pada usia 7-9 tahun, menandai masa menjelang dewasa.
Pelaksanaannya juga sangat bervariasi, mulai dari tenaga medis, dukun bayi,
istri kyai (nyai), maupun tukang sunat, dengan menggunakan alat-alat
tradisional ataupun alat modern (PdPersi, 2007).
Praktik sunat perempuan di Indonesia sering diminimalkan hanya pada
tindakan simbolik, tanap pemotongan yang sesungguhnya pada alat kelamin.
Walaupun ada juga dukun bayi di Madura yang berpendapat bahwa walaupun
sedikit, tetap harus ada darah dari klitoris atau labia minora. Di Yogyakarta,
sunat perempuan yang di kenal dengan istilah tetesan sebagian dilakukan oleh
dukun bayi dengan cara menempelkan/menggosokkan kunyit klitoris,
kemudian kunyit tersebut dipotong sedikit ujungnya, dan potongan tersebut
dibuang ke laut atau dipendam di tanah. Kadang juga hanya dengan
mengusap atau membersihkan bagian klitoris dan sekitarnya. Secara umum,
di Jawa dan Madura memotong sedikit ujung klitoris adalah cara yang paling
banyak dilakukan, selain cara simbolik (PdPersi, 2007).
Di Sulawesi Selatan, sunat perempuan pada etnis Bugis, di Soppeng (disebut
katte), dilakukan dengan cara memotong sedikit klitoris. Sang Dukun (sanro)
sebelumnya juga memotong jengger ayam. Kedua potongan tersebut
kemudian dimasukkan ke suatu wadah yang berisi parutan kelapa, gula, kayu
manis, biji pala, dan cengkih. Sedangkan etnis Makasar (disebut katang)
melakukannya dengan cara memotong ujung kelentit menggunakan pisau.
Rata-rata dilakukan pada usia 7-10 tahun, lebih identik dengan ritualisasi akil
balik perempuan, dan diikuti dengan acara adat (PdPersi, 2007).
Hasil penelitian Population Council di Indonesia menyebutkan bahwa
pelaksanaan FGC terbagi menjadi dua bentuk, yaitu simbolik (tanpa
pemotongan/perlukaan sesungguhnya) yang meliputi 28% kasus dan sisanya
72% yang memang dilakukan insisi serta eksisi (PdPersi, 2007).
4.3 Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan
WHO membedakan alasan pelaksanaan FGC menjadi 5 kelompok, yaitu :
1. Psikoseksual
Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan,
mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan
sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual
bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat
perempuan akan meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami.
2. Sosiologi
Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan bawaan, masa
peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat sosial, lebih terhormat.
3. Hygiene dan estetik
Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya, jadi
sunat dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan.
4. Mitos
Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak.
5. Agama
Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadah lebih diterima.
(PdPersi, 2007).
Di Eropa dan Amerika, sunat perempuan pernah dipraktikkan sebagai terapi
pada penyakit jiwa. Sedangkan di Afrika dan Negara-negara Timur Tengah,
FGC dilakukan dengan tujuan untuk menjamin kebersihan dan menambah
kecantikan. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar sunat
perempuan di kaitkan dengan tradisi/adat dan perintah agama, terutama
agama Islam. Dalam agama Islam sendiri, pendapat tentang pelaksanaan
sunat perempuan terbagi menjadi 3, yaitu yang berpendapat sebagai sunah
(dianjurkan), wajib (harus dilaksanakan), dan pendapat bahwa sunat
perempuan adalah murni tradisi, yang tidak terkait dengan agama.
Yayasan Assalam di Bandung secara rutin menyelenggarakan acara sunatan
massal untuk perempuan (juga laki-laki), dengan alasan perintah agama.
Mereka menentang anggapan bahwa sunat perempuan melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM), karena justru sunat perempuan dilakukan dengan lebih
ekstra hati-hati dan dengan luka minimal jika dibandingkan dengan sunat
laki-laki (PdPersi, 2007).
4.4 Dampaknya Terhadap Kesehatan Fisik dan Psikis
Komplikasi yang bisa segera terjadi adalah nyeri berat, syok (kesakitan
karena tanpa anestesi atau perdarahan), perdarahan, tetanus, sepsis, retensi
urine, ulserasi pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya.
Perdarahan massif dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian. Penggunaan
alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat
menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit, seperti HIV
dan hepatitis (PdPersi, 2007).
Komplikasi jangka panjang yang dilaporkan terjadi adalah kista dan abses,
keloid, kerusakan uretra yang mengakibatkan inkontinentia urine, dispareni,
disfungsi seksual, dan cronic morbidity (antara lain fistula vesico vaginal).
Disfungsi seksual dapat diakibatkan oleh dipaureni serta penurunan
sensitivitas permanent akibat klitoridektomi dan infibulasi. Kauterisasi
elektrik klitoris bisa berpengaruh pada psikis yang menghilangkan keinginan
untuk masturbasi (PdPersi, 2007).
Infibulasi bisa mengakibatkan bentuk scar yang berat, kesulitan dan gangguan
miksi, menstruasi, recurrent bladder, infeksi saluran kemih, serta infertilitas.
Infibulasi seringkali menimbulkan kesulitan dalam hubungan seksual
sehingga dibutuhkan pembukaan jaitan untuk melebarkan introitus vagina.
Episotomi yang luas dan dalam diperlukan pada waktu melahirkan
pervaginam. Selama melahirkan, risiko infeksi dan perdarahan meningkat
secara bermakna, dan sebagian besar wanita dengan infibulasi membutuhkan
section Caesaria untuk melahirkan dengan aman (PdPersi, 2007).
WHO telah memperingatkan tentang timbulnya peningkatan risiko kematian
ibu dan bayi pada wanita yang disunat. Hal ini berdasarkan pada penelitian
yang dilakukan pada wanita yang pernah disunat di enam Negara Afrika,
yaitu didapatkan hasil bahwa 30% lebih banyak yang harus section caesaria,
66% lebih banyak bayi lahir yang harus diresusitasi, dan 50% lebih banyak
anak meninggal dalam kandungan maupun lahir mati dibandingkan pada
wanita yang tidak sunat (PdPersi, 2007).
Sunat perempuan mungkin menimbulkan suatu trauma yang akan selalu ada
dalam kehidupan dan pikiran seorang wanita yang mengalaminya, serta
muncul sebagai kilas balik yang sangat mengganggu. Komplikasi psikologis
dapat terpendam pada alam bawah sadar anak yang bisa menimbulkan
gangguan perilaku. Hilangnya kepwecayaan dan rasa percaya diri dilaporkan
sebagai efek serius yang bisa terjadi. Dalam jangka panjang, dapat timbul
perasaan tidak sempurna, ansietas, depresi, iritabilitas kronik, dan frigiditas.
Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan konflik dalam pernikahannya. Banyak
perempuan yang mengalami trauma dengan pengalaman FGM tersebut, tetapi
tidak bisa mengungkapkan ketakutan dan penderitaannya secara terbuka.
Bagi masyarakat Madura, sunat perempuan sudah dianggap tradisi turun
temurun, sehingga efek samping yang terjadi tidak pernah dianggap sebagai
hal yang serius, dianggap tidak perlu dirisaukan dan dibicarakan, sehingga
tidak terungkap dampak negatifsunat perempuan. Tidak didapatkan keluhan
psikologis maupun fisik perempuan yang mengalaminya ataupun anak
perempuannya. Yang berkembang justru sugesti tentang adanya peningkatan
gairah seksual perempuan. Di Sulawesi Selatan juga tidak dijumpai laporan
komplikasi akibat sunat perempuan (PdPersi, 2007).
Penelitian Population Council di Indonesia juga tidak menjumpai dampak
negative sunat perempuan yang dialami oleh perempuan yang disunat, baik
dalam masalah penurunan libido, masalah reproduksi, serta komplikasi
kesehatan pendek maupun panjang. Hanya dapatkan keluhan nyeri saat
pelaksanaan sunat (PdPersi, 2007).

4.5 Medikalisasi Sunat Perempuan


Medikalisasi artinya keterlibatan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan sunat
perempuan. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk risiko kesehatan
dibandingkan jika dikerjakan oleh dukun bayi atau tukang suant tanpa
pengetahuan kesehatan yang adekuat. Tetapi, hal ini pun ternyata dianggap
menjadi berbahaya dan bertentangan dengan etika dasar kesehatan (PdPersi,
2007).
WHO secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa FGM dalam bentuk
apapun tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan di manapun, termasuk
rumah sakit dan sarana kesehatana lainnya. WHO berdasar pada etika dasar
kesehatan bahwa mutilasi tubuh yang tidak perlu tidak boleh di lakukan oleh
tenaga kesehatan. FGM membahayakan dan tidak berguna bagi wanita.
Medikasi tidak menghilangkan bahaya yang ditimbulkan. Medikalisasi sunat
perempuan juga cenderung akan mempertahankan tradisi ini. Masyarakat
akan lebih yakin dengan anggapan adanya dukungan dan legalitas oleh
provider kesehatan (PdPersi, 2007).
Menurut WHO, sunat perempuan termasuk bentuk penyiksaan (torture)
sehingga dimasukkan dalam salah satu bentuk kekerasan pada wanita,
walaupun dilakukan oleh tenaga medis. Berbagai pihak juga menganggap
sunat perempuan bertentangan dengan hak asasi manusia terkait dengna tidak
adanya inform consent, tekanan patriakal, dan kekerasan pada wanita
berkaitan dengan penderitaan serta dampak yang timbul.
Berbeda dengan sunat laki-laki, teknik pelaksanaan sunat perempuan tidak
pernah diajarkan dalam pendidikan kesehatan. Tidak ada standard dan
prosedur tetap sunat perempuan secara medis. Jadi, tenaga kesehatan biasanya
berdasar pada warisan seniornya, atau bertanya dan mengamati sunat yang
dilakukan oleh dukun bayi/sunat di daerah setempat, baik simbolik maupun
dengan insisi serta eksisi klitoris. Terdapat juga bidan yang melakukan sunat
perempuan sesuai kemauan orang tau si anak (misalnya harus
ditusuk/dipotong sampai keluar darah) (PdPersi, 2007).

5. Kesimpulan dan Saran


Berbeda dengan suat laki-laki, dimana latar belakang pelaksanaan awalnya
adalah agama, ternyata secara medis terbukti memang memiliki nilai manfaat, dan
terdapat teknik pelaksanaannya dalam pendidikan tenaga kesehatan, sunat
perempuan denagn latar belakang budaya dan agama justru dianggap bertentangan
dengan kaidah atau etika medis dan tidak terdapat prosedur tetap teknik
pelaksanaanya (PdPersi, 2007).
Pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia tidak sama dengan gambaran
pelaksanaan di Negara lain, terutama Afrika, Sudan, Mesir, dan sebagainya, yang
banyak didapatkan bentuk berat, yaitu tipe 2 dan 3 FGM yang meliputi sebagian
besar dari organ genitalia eksternal wanita. Di Indonesia, banyak dijumpai bentuk
simbolik sunat perempuan (tanpa pemotongan sesungguhnya) atau dengan
pemotongan tipe 1 atau 4 FGM. Kedua bentuk tersebut dilakukan baik oleh tenaga
tradisional maupun tenaga kesehatan. Fakta bahwa hampir tidak pernah dijumpai
laporan komplikasi akibat sunat perempuan di Indonesia, mempersulit usaha
meyakinkan masyarakat untuk meniadakan sunat perempuan di Indonesia.
Walaupun demikian, sebenarnya ketiadaan laporan bisa disebabkan minimnya
pengetahuan reproduksi wanita, atau budaya malu dan takut untuk
mengungkapkan (PdPersi, 2007).
Yang perlu menjadi pertimbangan adalah bagaimana jika sunat perempuan
di Indonesia diyakini sebagai salah satu bentuk ibadah atau perintah agama, tentu
tidak mudah untuk dihapuskan dan bisa menimbulkan polemik yang kuat.
Perintah agama sering merupakan suatu dogma, terlepas dari pertimbangan
manfaat ataupun kerugiannya berdasarkan akal manusia. Mengingat di Indonesia
terdapat begitu banyak organisasi keagamaan. Hal yang sama juga terhadap
masyarakat yang masih memegang kuat tradisi sunat perempuan sebagai budaya
atau bahkan kombinasi antara agama dan budaya. Jika faktanya tetap ada
masyarakat yang tetap mempunyai keyakinan untuk harus melaksanakan sunat
perempuan dan mereka pergi ke tenaga kesehatan dengan harapan bisa
dilaksanakan dengan lebih higienis dan aman dibandingkan oleh tenaga
tradisional, hal ini akan menjadi dilema bagi tenaga kesehatan yang berhadapan
langsung dengan masyarakat (PdPersi, 2007).
Kebijakan tentang sunat perempuan semestinya dilakukan dengan
pendekatan dua arah, baik ke tenaga kesehatan maupun masyarakat secara luas,
sehingga bisa membatasi perbedaan yang ada secara lebih bijak.Direktur Jenderal
Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI telah mengeluarkan
kebijakan berupa surat edaran bagi organisasi profesi (IDI, IDAI, IBI, POGI,
PPNI, dan PERINASIA) dan instansi terkait di bawah Depkes, yang berisi
larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan, tertanggal 20
April 2006. tembusan juga diberikan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan
RI dan Ketua Komnas Perempuan. Hal ini merupakan salah satu bentuk
konsistensi Indonesia dalam mendukung terlindungnya hak perempuan terhadap
segala bentuk diskriminasi, termasuk kekerasan. Disebutkan bahwa prkatik
perusakan alat kelamin perempuan disebabkan oleh adanya praktik sunat
perempuan, yang ternyata tidak sekadar tindakan simbolis, tetapi dengan
pemotongan yang sesungguhnya, baik oleh dukun maupun tenaga kesehatan,
dianggap sebagai tindakan di luar prosedur medis dan mengganggu kesehatan
reproduksi, sehingga melanggar akidah medis (PdPersi, 2007).
Sedangkan istilah FGM lebih dekat dengan makna damaging. Istilah ini
dianggap lebih bermakna politis dan seringkali digunakan sebagai alat advokasi
aktivis hak-hak perempuan karena menekankan pada sisi negative dari FGM.
Tetapi, World Health Organization (WHO) juga menggunakan istilah FGM.
Genital Cutting merupakan istilah yang dianggap paling netral karena
mengindikasikan prosedur pemotongan genital yang bersifat umum, adil, dan
kondusif, baik secara medis maupun nonmdis, baik bagi laki-laki maupun
perempuan. Subat perempuan ini tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di
berbagai Negara lain. Disebutkan bahwa sunat perempuan dilakukan di 28 negara,
terbanyak dilakukan di sebagian besar Negara Afrika, khususnya di Negara
bagian Afrika Sahara, beberapa Negara Timur Tengah, serta sebagian kecil
Negara di Asia, Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Eropa (PdPersi,
2007).
DAFTAR PUSTAKA

Akbidyo.2007.Sirkumsisi [Serial online] http://pikkr.com/2007/12/13/sirkumsisi/


(13 Desember 2009).

Anonim.2001.Organ Reproduksi Pria dan Masalahnya [Serial online]


http://cyberman.cbn.net.id/cbprtl/common/stofriend.aspx?
x=Mens+Guide&y=Cyberman|0|0|6|927 (13 Desember 2009).

Anonim.2001. Circumsisi, phimosis dan khitan perempuan [Serial online]


http://google.com/2006/04/circumsisi-phimosis-dan-khitan.html (13
Desember 2009).

Anonim.2004.Sunat Perempuan Jangan Deh [Serial online]


http://202.146.5.33/kesehatan/news/0403/04/115051.htm (11 Desember
2009).

Anonim.2007.Kesehatan Reproduksi [Serial online]


http://www.scribd.com/doc/21913162/KESPRO (13 Desember 2009).

Anonim.2009.Sunat [Serial online] http://id.wikipedia.org/wiki/Sunat (13


Desember 2009).

Chae.2005.Info Khitan/Sirkumsisi pada Wanita [Serial online] http://www.mail-


archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups.com/info.html (13 Desember
2009).

PdPersi.2007. Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat


Perempuan [Serial online] http://www.pdpersi.co.id/?
show=detailnews&kode=1002&tbl=biaswanita (13 Desember 2009).

Winastri, Vitrie, dkk. Pendalaman Materi Membantu Remaja Mengenali Dirinya


[Serial online] http://www.scribd.com/doc/20899417/Pendalaman-Materi ( 13
Desember 2009).

Munir, Abdul Akmal.2008.Hukum dan Hikmah Khitan Wanita Menurut Hukum


Islam [Serial online]
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_Akmal%20Munir.pdf (11
Desember 2009).

Você também pode gostar