Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
c
c
Bangsa menurut benedict Andreson adalah sebuah komunitas yang terbayangkan (imagine
communities), dengan wilayah hidup yang tidak terbatas. Disebut ³yang terbayangkan´,
karena walau masing-masing anggota suatu bangsa (yang paling sedikit anggotanya pun)
tidak pernah saling bertemu, saling mengenal dan saling berbicara,toh di dalam pikiran
masing-masing warga bangsa itu hidup keyakinan bahwa mereka adalah satu bangsa.
Satuan itu terbatas, karena ada wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
hidupnya bangsa itu. Tidak ada satu bangsa pun yang membayangkan bahwa anggota bangsa
itu mencangkup semua manusia di dunia. Oleh karena itu setiap bangsa punya hidup yang
tertentu batas-batasnya.
Dengan pengertian seperti itu dapat kita pahami bahwa tumbuh, berkembang, atau
hancur sebuah bangsa sangat tergantung pada kuat atau lemahnya kesadaran kolektif bangsa
tersebut. Dalam konteks seperti inilah bangsa bernegara selalu ditumbuh-kembangkan oleh
setiap bangsa di dunia.
Kesadaran semacam ini bias dipelihara agar tetap kuat melalui (2) jalur yaitu jalur
mental/spiritual dan jalur structural. Secara spiritual / mental kesadaran suatu bangsa dapat
dipelihara apabila selalu dipupuk melalui proses pendidikan. Namun pendidikan semacam itu
agak kurang berpengaruh bila realitas kehidupan yang dialami warga bangsa brtolak belakang
dengan kesadaran yang ditanamkan. Oleh karena itu struktur kehidupan masyarakat harus
ditat sedemikian, aga menopang kesadaran berbangsa tersebut.
³Oleh karena itu kita semua ialah menyatakan bangsa Indonesia seluruhnya supaya dalam
masa genting ini kita mewujudkan persatuan yang bulat maka pasal-pasal yang bertentangan
dikeluarkan dari Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu maka dapat disetujui, misalnya
pasal 6 ayat 1 menjadi ³Presiden ialah orang asli Indonesia. Yang beragama Islam,
dicoret«.dst´
!
!
Persatuan bukan berarti penyeragaman. Dengan prinsip persatuan ,keanekaragaman yang ada
tidak hendaknya dihilangkan atau diseragamkan, melainkan tetap dibiarkan hidup dan
berkembang. Namun demikian perbedaan-perbedaan tidak pelu ditonjolkan atau bahkan
menjadi ukuran utama dalam bertindak. Perbedaan itu dipahami dan dibiarkan adanya dalam
rangka mewujudkan persatuan kesatuan bangsa. Dengan perkataan lain keanekaragaman
bangsa dihormati dalam wadah kesatuan bangsa Indonesia. Semboyang yang dipakai yang
mengambarkan secara jelas prinsip penghormatan keaneka-ragaman dalam wadah persatuan
adalah ³Bhineka Tunggal Ika´.
Oleh karena itu di dalam UUD 1945 memuat pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang
menopang upaya memelihara persatuan-kesatuan bangsa. Ketentuan-ketentuan itu
menyangkut (a) bentuk Negara kesatuan pasal 1 ayat 1 (b) pemerintah daerah pasal 18 (c)
bendera nasional pasal 35 dan (d) bahasa nasional pasal 36. Bentuk Negara kesatuan dengan
system desentralisasi dan pemberian otonomi kepada pemerintah daerah merupakan struktur
yang menopang gagasa Negara persatuan. Sementara lambing Negara, lagu kebangsaan,
bendera dan bahasa adalah symbol-simbol yang menggugah semangat persatuan bangsa
Indonesia.
#
Pasal 14
(1)| Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung.
(2)| Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian
rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a.| daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat
sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (3);
b.| dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa;
c.| rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
d.| rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3)| Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi
sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Jakarta (GP-Ansor): Rantai birokrasi panjang yang bakal ditempuh untuk mendirikan rumah
ibadah membuat sejumlah tokoh agama pusing tujuh keliling. SKB dinilai menghambat
pendirian rumah ibadah. ³Saya menyatakan kekecewaan. SKB baru menurut saya
menghambat rumah ibadah. Saya menyesalkan SKB tahun 1967, dan sekarang tidak
berbeda,´ kata Ketua Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKJJ) Theophilus Bela.
Demikian disampaikan Theo di sela-sela dialog Rusia and The Moslem World: A strategic
vision for the future di kantor PP Muhammadiyah, Jl Menteng Raya, Jakarta Pusat, Kamis
(23/3/2006).
Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Menteri Dalam Negeri M Ma¶ruf menandatangani
peraturan bersama (dulu surat keputusan bersama) tentang pendirian rumah ibadah pada
Selasa 21 Maret malam. Peraturan bersama No 9/2006 dan No 8/2006 merupakan hasil revisi
dari SKB dua menteri No 1/1969. Dengan ditandatanganinya peraturan itu, dalam waktu
dekat Mendagri akan membentuk tim sosialisasi yang terdiri dari pejabat-pejabat pemerintah
dan tokoh-tokoh agama. ³Yang baru lebih mempersulit. Kalau mau bangun gereja harus izin
lingkungan dari mulai RT, RW hingga bupati. Kalau agama diurus birokrasi jadinya gini,
bikin pusing,´ keluh Theophilus. Jumlah pendukung 60 warga dan 90 penganut untuk
mendirikan tempat ibadah juga membuat masalah. ³Mencari 90 pemeluk saja susah, belum
lagi mencari 60 pendukung warga sekitar. Lagipula cari tanah untuk bangun gereja juga tidak
gampang,´ cetusnya. Menurut dia, SKB pendirian rumah ibadah sebaiknya diselesiakan
dengan dialog antarumat beragama. ³Birokrasi jangan mengaturlah,´ kata Theophilus.
Perwakilan Hindu Gusti Moraus di tempat yang sama menyatakan, tidak semua pihak puas
dengan keluarnya SKB pendirian rumah ibadah. ³Kalau sudah ditandatangani kita hanya bisa
menyesuaikan dengan peraturan itu,´ kata Moraus. Jumlah penganut di satu daerah dengan
daerah lain berbeda dan ini menjadi kendala. ³Itu yang bikin sulit. Tetapi ini peraturan
bersama, mungkin yang terbaik buat semua,´ cetusnya.
----------------------------
Ambon ± Pimpinan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Sharon Hotma Sitompul
mengaku di Indonesia saat ini untuk mendirikan rumah ibadah ternyata lebih sulit
dibandingkan dengan membangun sebuah panti pijat. ³Syarat pendirian rumah ibadah
tersebut tertuang dalam pasal 14 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Disebutkan
bahwa dalam mendirikan rumah ibadah diperlukan sedikitnya 90 orang penganut agama yang
bersangkutan dan disetujui sedikitnya 60 warga setempat,´ ujar Hotma saat tampil sebagai
pembicara pada seminar dalam rangka HUT ke-41 Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku
(AMGPM) Daerah Pulau Ambon yang dipusatkan di Gereja Silo, Selasa (31/10).
Dia mengungkapkan, syarat tersebut sebenarnya sangat ganjil.³Mendirikan rumah ibadah
juga terasa lebih sulit daripada mendirikan panti pijat, yang tidak memerlukan 90 orang calon
langganan untuk dipijat dan 60 orang yang setuju para pelanggan itu menjadi langganan panti
pijat tersebut,´ tambahnya. Menurutnya, dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
yang ditentukan dalam ketetapan MPR Nomor III tahun 2000 tidak dikenal adanya peraturan
perundang-undangan yang bernama ³Peraturan Menteri´, apalagi peraturan bersama yang
diterbitkan oleh lebih dari satu orang menteri. ³Peraturan bersama ini mengatur kebebasan
beragama yang dijamin oleh UUD 1945. Secara hierarkis, pejabaran ketentuan yang
tercantum di dalam UUD seharusnya dicantumkan di dalam undang-undang, bukan di dalam
peraturan menteri atau peraturan bersama yang diterbitkan oleh beberapa menteri,´
tambahnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Perundang-undangan Bab II Pasal 7, disebutkan jenis-jenis hierarki peraturan perundang
undangan tidak ada dicantumkan tentang SKB/Peraturan Bersama sehingga tidak bisa berlaku
umum, tetapi hanya mengatur untuk kedua lembaga pemerintahan tersebut.
Antropolog: Pranata Balas Dendam Penyebab Perang Suku di Papua
Jakarta (ANTARA News) - Perang antar-suku di Timika, Papua, sulit diselesaikan karena
adanya pranata balas dendam dalam kebudayaan masyarakat Papua, kata beberapa
antropolog."Adanya pranata balas dendam dalam masyarakat Papua membuat pranata
rekonsiliasi dari suku-suku bangsa di Irian (Papua) bersifat temporer atau sementara," ujar
J.Emmed, antropolog yang juga ketua program S1 Departemen Antropologi FISIP UI, ketika
ditemui di Depok, Rabu.Menurut Emmed, pranata yang merupakan seperangkat peraturan
nilai dan norma yang berguna untuk memenuhi kebutuhan tertentu dalam masyarakat
bersumber dari kebudayaan mereka dan sulit sekali mengubahnya."Jadi ketika terjadi sebuah
perdamaian, jangan diartikan hal itu akan berlangsung selamanya, karena memang sifatnya
temporer," kata dia.Emmed mengatakan, meski semua dendam terbalaskan ataupun "impas",
konflik semacam itu kemungkinan masih akan terus terjadi. Misalnya, ada satu anak dari
sebuah suku yang diculik, maka keesokan harinya akan ada penculikan balasan dari suku
yang bersangkutan, dan begitu seterusnya.
Sementara itu, M Irwan Hidayana, antropolog yang juga staf pengajar di Departemen
Antropologi FISIP UI, mengatakan negara harus memainkan fungsinya sebagai penengah
dari konflik yang terjadi antar-dua kelompok itu. "Saat ini negara harus memainkan
fungsinya untuk mengintervensi perang antar-suku itu dengan menggunakan hukum nasional
yang ada," kata dia.Tetapi masalahnya, menurut dia, pendekatan secara antropologis dan
personal sampai saat ini belum pernah dilakukan oleh negara. Tampaknya negara belum
benar-benar memahami bagaiamana kondisi psikologis ataupun kultural dari masyarakat
Papua itu sendiri, kata dia. "Pemerintah harus mendengar pendapat dari masing-masing
kelompok yang bertikai, karena mereka pasti memiliki persepsi berbeda tentang konflik dan
perdamaian yang ingin dicapai," ujar dia. Menurut Hidayana, untuk mendengarkan pendapat
dari kelompok yang bertikai itu diperlukan pihak yang netral, seperti pemuka agama,
universitas ataupun LSM.(*)
Teror, Akar Sejarah dan Perkembangannya
Teror dan terorisme adalah dua kata yang hampir sejenis yang dalam hampir satu dekade ini
menjadi sangat populer, atau tepatnya sejak peristiwa 9/11 pada tahun 2001. Jika Anda
memasukan kata terorisme pada mesin pencari di internet, maka Anda akan mendapati ribuan
bahkan jutaan hasilnya, dengan segala latar belakang, pembelaan, tuduhan, perkembangan,
dan lain-lainnya (yang ironisnya, selalu saja menjadi kata sifat dan keterangan dari sebuah
agama bernama Islam). Sebenarnya apa dan bagaimana terorisme itu?
Sejarah Terorisme
Terorisme berkembang sejak berabad lampau. Asalnya, terorisme hanya berupa kejahatan
murni seperti pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian
berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu
kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini
sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme.Meski istilah Teror dan Terorisme
baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut
Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis
muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19.
Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih
diartikan sebagai sistem rezim teror.
Perkembangan Terorisme
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi
hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak
dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara
yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh
orang-orang yang berpengaruh.Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II,
Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk
kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang
mempopulerkan ³serangan yang bersifat acak´ terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa.
Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian
Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk
ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah ³Teroris me Media´,
berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.
Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG
PENETAPAN PERPU 1/2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara
konsisten dan berkesinambungan;
b. bahwa rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia
telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan ketakutan
masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas
terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional;
d. bahwa untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk
memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan
yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada
konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan
terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang;
Mengingat:
(1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME, MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal 1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan
menjadi Undang-undang.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 45
I. UMUM
Rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia telah
menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa serta
kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada
kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indones ia dengan dunia internasional.
Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah menjadi
fenomena umum di beberapa negara. Terorisme merupakan kejahatan lintas negara,
terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan
luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial, berkewajiban untuk
melindungi warganya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional, transnasional,
maupun bersifat internasional. Pemerintah juga berkewajiban untuk mempertahankan
kedaulatan serta memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk ancaman
baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk itu, maka mutlak diperlukan penegakan
hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka dengan mengacu pada konvensi
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme, serta
untuk memberi landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi masalah
yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, Presiden Republik Indonesia
telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
menjadi Undang-undang.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
c $%
|
|