Você está na página 1de 10

ADA APA DIJALAN RAYA KITA?

Oleh: Rahardi Ramelan 


Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember/ITS,
Surabaya

Kejadian kecelakaan lalulintas yang terjadi pada tanggal 17 Nopember 2004 di Jalan
Tol Jagorawi telah menjadi polemik. Polemik ini terjadi kerena peristiwa ini
melibatkan perangkat pengamanan kepresidenan dan kepolisian. Dan sampai
sekarang masih dijadikan analisa dari berbagai aspek. Tanpa menguraikan lebih rinci
peristiwa tersebut, kita semua mengetahui dan melihat dengan kasat mata apa
sebenarnya yang terjadi dijalan raya kita sehari-hari. Tidak semuanya terungkap
dalam media. Perilaku dari kebanyakan pengendara, pengatur dan pengawas lalu
lintas jauh dari yang diharapkan sebagai pelaku dan petugas, dan etika yang
seharusnya menjadi pegangan semua yang terlibat dalam penggunaan jalan, sudah
jauh ditinggalkan. DISIPLIN.
Kemacetan lalulintas setiap hari dihadapi oleh hampir semua pengguna jalan raya,
terutama pemakai kendaraan. Beberapa pemancar radio yang khusus menyiarkan
keadaan lalulintas selalu memberikan laporan langsung kemacetan. Atau juga
dibacakan SMS yang dikirim oleh masyarakat yang kesal menghadapi kemacetan.
Kenyataan menunjukan dari waktu ke waktu hampir tidak ada perubahan.
Kemacetan rasanya sudah tidak terbatas lagi pada waktu-waktu tertentu yang
disebut dengan peak hour atau rush hour. Kemacetan juga tidak hanya terjadi pada
jalur-jalur tertentu, kelihatannya sudah meluas kemana-mana. Bukan hanya didalam
kota-kota besar saja. Kalau kita melaju keluar dari kota besar, kemacetanpun terjadi
baik di jalan bebas hambatan maupun dijalan antar kota. Kemacetan jalan yang
harus dihadapi setiap hari sudah bikin kesal. Kemacetan sudah seperti penyakit yang
kronis. Tetapi didiamkan saja. Sebetulnya apa yang terjadi? Siapa yang harus
mengatasi?

Keheranan muncul sewaktu penerapan ketentuan keharusan pemakaian sabuk


pengaman bagi mereka yang duduk dideretan pengemudi didalam kendaraan.
Kepolisian kemudian mengadakan operasi ketaatan pemakaian sabuk pengaman
tersebut. Sabuk pengaman memang sangat menolong pemakainya kalau terjadi
kecelakaan. Banyak yang menyadari hal itu. Tapi lebih banyak lagi yang
menganggapnya hanya sebagai peraturan atau perintah penguasa yang harus ditaati
atau nampak seperti ditaati. Kita melihat sabuk pengaman bohong bohongan,
sekedar diikatkan dikursi, untuk mengelabui petugas kepolisian atau dinas lalu lintas.
Dijalan-jalan antar kota dan daerah, serta pedesaan, pelaksanaan peraturan ini jauh
dari kenyataan. Mirip dengan kejadian sewaktu keharusan pemakaian helm untuk
pengendara sepedamotor diterapkan. Disisi lain hampir setiap hari dijalan tol kita
masih terus melihat kendaraan dengan bak terbuka dipadati oleh penumpang.
Contohnya diruas Cibubur Semanggi, jalan tol Jagorawi, setiap sore, malam dan
dinihari kita melihat pick-up dengan bak terbuka, pengangkut sayuran dari Pasar
Induk Kramatjati, dipenuhi sejumlah karung berisi sayuran, dan diatasnya duduk atau
berbaring ibu-ibu pedagang sayur dalam kantuk atau tertidur lelap. Mereka dibiarkan
lewat dijalan tol dengan bebas. Bukankah itu lebih berbahaya dibandingan dengan
tidak memakai sabuk pengaman? 
Kita menyadari bahwa semuanya itu penting, tetapi ada hal tertentu yang lebih
mendesak.

Kasus lain adalah kesiapan pengguna jalan raya dan kendaraannya dijalan raya.
Terutama masalah yang membahayakan pengguna jalan lainnya. Sepeda motor yang
melaju tanpa lampu dimalam hari sudah menjadi pemandangan yang biasa. Apalagi
dijalan-jalan yang agak jauh dari pengawasan polisi. Angkutan umum bis dan minibis
dijalan tol pun kita temui meluncur tanpa lampu. Mereka melalui tol-gate dengan
leluasa tanpa teguran. Pengguna jalan raya juga dibingungkan dengan lampu
belakang kendaraan yang dirubah warnanya, sehingga sukar bagi pengendara
dibelakangnya untuk mengetahui kemana arah kendaraan didepannya. Lampu rem
yang dirubah dengan lampu halogen yang menyilaukan. Begitulah keadaan jalan raya
dimalam hari. Mirip karnaval jalan dengan beraneka ragam warna lampu. Tanpa
aturan?
Kita pernah membaca dan mendengar berita disurat kabar, sebuah bis yang
diseruduk truk, kemudian terbakar dan penumpangnya hangus didalam bis tersebut.
Kemudian diterbitkan peraturan yang mengharuskan setiap kendaraan bis umum
mempunyai palu pemecah kaca jendela dan alat pemadam kebakaran. Apakah
pernah diadakan percobaan sejauh mana sebuah alat pemadam kebakaran yang ada
didalam bis dapat memadamkan api kebakaran? Apa betul itu solusinya? Satu
keputusan yang reaktif saja.
Hal serupa terjadi kembali dengan kecelakaan tanggal 17 Nopember 2004 dijalan tol
Jagorawi. Kita lihat sekarang ada rambu lalulintas baru terpasang dijalan tersebut
dan jalan tol lingkar kota. Jalan ditutup smentara. Ada perjalanan VIP. Dimana lagi
akan dipasang rambu serupa? Siapa VIP itu? Apa disemua ruas jalan mereka akan
lewat akan ada rambu serupa? Kembali dipertanyakan apa itu solusinya?

Lain halnya yang ini. Kita amati berbagai jenis kendaraan mengadakan modifikasi
bumper depannya untuk menyelamatkan dirinya kalau terjadi tabrakan. Bumper
adalah bagian kendaraan yang diperuntukan untuk meredam energi kalau terjadi
tabrakan, agar kerusakan akibat tabrakan tersebut bagi kendaraan dan
penumpangnya dapat diminimalisir. Tapi apa kenyataannya yang kita lihat dijalan
raya kita. Banyak truk besar telah memasang bumper depan dengan struktur besi
baja yang sangat kekar, solid dan rigid. Menyerupai bagian depan dari alat berat
(bulldozer) atau tank. Sangat mengerikan kalau berkendaraan disebelahnya, pasti
semua yang tertubruk akan hancur. Akibatnya kendaraan yang ditubruk beserta
isinya harus meredam energi yang terjadi karena benturan. Semacam senjata yang
berkeliaran dijalan raya. Sungguh mengerikan. Ini adalah salah satu faktor yang
banyak menyebabkan fatalnya suatu tabrakan. Tanpa aturan?

Kasus lain yang mengganggu pengguna jalan raya adalah keadaan macet atau
tersendatnya arus atau laju lalu lintas ditempat-tempat tertentu. Penyebabnya
sangat beragam. Pasar tumpah, pedagang kaki lima, pangkalan ojeg atau angkot,
terminal bayangan, angkutan umum yang ngetem, dan macam-macam lagi. Rambu
lalu lintas tanda dilarang berhenti (S) dan dilarang parkir (P), sudah tidak dihiraukan.
Petugas kepolisian dan dinas lalu lintas yang berada didekatnya dianggap tidak ada.
Pernah saya bertanya kepada beberapa orang pengemudi angkot, mengapa senang
mangkal diluar terminal. Jawabnya sangat lugas, diluar terminal hanya bayar sekali
kepada preman, didalam terminal bayar dua kali, kepada preman dan kepada
petugas terminal. Terminal bayangan terjadi selain karena hal tersebut diatas, juga
disebabkan karena penumpang lebih nyaman atau praktis menunggu kedatangan
kendaraan angkutan umum ditempat tersebut. Pelanggan adalah raja, jadi dituruti
saja oleh para pengemudi angkutan umum. Petugas kepolisian dan dinas lalu lintas
sibuk meniup peluit dan melambaikan tangan mengatur yang jalan. Mungkin ini
kekeliruannya, sebab yang sedang meluncur tidak perlu terlalu diatur, karena mereka
juga ingin cepat. Seharusnya yang diatur adalah kendaraan yang berhenti seenaknya,
dengan menegakkan peraturan. DISIPLIN. Sering kita lihat bahwa petugas kalah galak
dengan tukang parkir dan preman. Siapa yang mempunyai kewenangan (kekuasaan)?

Keganjilan-keganjilan dijalan raya ini kalau ditulis bisa menjadi buku kumpulan cerita
pendek atau dijadikan sinetron. Berbagai peraturan telah kita miliki. Tapi bagaimana
penerapannya. Banyak masalah lalu lintas yang penting untuk diselesaikan, tapi tidak
mungkin diselesaikan semuanya sekaligus. Penguasa harus pandai melihat apa yang
paling mendesak. Bicaralah dengan stakeholders pemakai jalan raya. Jangan dilihat
hanya dari sisi pengaturan. Sebuah peristiwa jangan hanya dilihat dari akibatnya, tapi
yang lebih penting adalah apa penyebabnya untuk menghindarkan agar kejadian
serupa tidak terjadi lagi. Jangan cari kambing hitam, tapi carilah kebenaran. Perlu
penyelesaian yang komprehensif. Tapi dasarnya adalah DISIPLIN.

Jakarta, Desember 2004.


Puncak Macet Berjam-jam
Minggu, 19 September 2010 - 16:09 WIB
|More

BOGOR (Pos Kota) – Setelah menghabiskan libur panjang Lebaran, ribuan wisatawan domestik meninggalkan
kawasan wisata Puncak. Sedangkan ribuan lainya menyerbu kawasan ini sehingga dua jalur di sepanjang Jl. Raya
Puncak terjadi antrean panjang kendaraan.
Sejak pagi ribuan kendaraan dari luar kota memdatai jalur ini. Sebalik dari arah Puncak ribuan kendraan lainya
meninggalkan kawasan. Alhasil kepadatan arus lalulintas di dua lajur, baik dari arah Puncak maupun sebaliknya dari
arah Gadog.
Arus kendaraan dari dua arah itu padat merayap dari Gadog sampai simpang Taman Safari Indonesia di Cibeureum,
Kecamatan Cisarua. Demikian pula sebaliknya. Sedangkan titik kemacetan terdapat di Pasar Cisarua, simpang Jalan
Hankam, Cimory, Taman Wisata Matahari, simpang Megamendung, tanjakan Selarong, simpang Pasir Angin,
simpang Pasir Muncang.
Pengendara yang terjebak kemacetan berjam-jam banyak keluar dari mobil sekedar mengusir kepenatan.
“Kemacetan di kawasan Puncak kini juga bagian dari wisata, sebab tujuan ke kawasan ini untuk menghabiskan
waktu libur, sementara kita sudah tahu Puncak pasti macet,” ucap Farhan Dhila yang bersama keluarga hendak
meninggalkan kawasan Puncak setelah tiga hari menghabiskan waktu liburnya.
Kapolres Bogor AKBP Tomex Kurniawan mengatakan kemacetan di kawasan ini terjadi karena ruas jalan dan
volume kendaraan tak seimbang. Sejak pk.07:00 hingga Minggu siang sekitar 13 ribu kendaraan yang melintasi jalur
Puncak. Dengan ruas jalan enam sampai delapan meter dengan panjang 22 Km mulai Gadog hingga Riung Gunung
jelas menimbulkan kemacetan. “Sebab ruas tersebut hanya mampu menampung 5 ribu kendaraan,” katanya.
Untuk mengurai kemcetan, pihaknya menyiapkan jalur alternatif dari Jakarta menuju Puncak, lewat Gerbang Tol
Sentul Selatan-Rainbow Golf-Pasir Angin,di Kecamatn Cisarua. “Tujuannya, mengurangi antrean kendaraan di
simpang Gadog,” paparnya. Kedua menyiapkan lokasi pengantongan di Relax Factory Outlet untuk arus naik.
Setelah dikantongkan, dilepas setiap sepuluh menit menuju pengalihan Cilember-Ciburial. Untuk arus turun,
pengantongan di Pasar Buah Kampung Arab menuju pengalihan Jatiwangi-Bendungan. Terakhir menyiapkan Unit
Pengurai Kemacetan (UPK) yang terdiri dari 42 motoris untuk menjalankan sistem buka-tutup satu arah dan
menjalankan patroli beat. (iwan/B)

Titik Kemacetan di Jalur Selatan Bergeser


Bandung, CyberNews. Simpul kemacetan di jalur utama bagian selatan
Jabar selama masa arus lalu lintas Lebaran 2010 seperti mengalami
pergeseran. Titik kemacetan tidak lagi di kawasan Nagreg, Kabupaten
Bandung yang setelah dibuka jalur lingkar di kawasan itu menjadi relatif lancar
dibanding musim sebelumnya.
Kepadatan kendaraan justru beralih ke lintas antara Limbangan-Malangbong-
Tanjakan Gentong-Rajapolah, Tasikmalaya. "Masih ada hambatan terutama selepas Nagreg, ke arah Limbangan
dan Malangbong," ujar Kadishub Pemprov Jabar, Dicky Saromi di Bandung, Rabu (15/9).

Sampai Rabu, kemacetan akibat tingginya volume kendaraan di sekitar Tanjakan Gentong itu masih dikeluhkan
sejumlah pemudik melalui status di akun jejaring sosial mereka saat melintasinya. Antriannya bisa berjam-jam.

Menurut Dicky, tingginya arus kendaraan selama masa puncak ternyata meluber ke jalur tengah. Selain jalur utama
Bandung-Cadas Pangeran, Sumedang-Cirebon, banyak kendaraan yang melintasi jalur alternatif Sadang-Subang-
Cikamuran-Cijelag-Kadipaten-Cirebon maupun Kadipaten-Jatitujuh-Jatibarang-Cirebon.
Pihaknya memperkirakan, puncak arus balik akan terjadi pada akhir pekan antara Sabtu dan Minggu (18-19/9)
mendatang. Pasalnya, masa libur sekolah dan pegawai di luar PNS telah habis.

Ditambahkan, semua kondisi itu membutuhkan penanganan pada musim berikutnya. Terlebih pemudik roda dua juga
semakin meningkat. Kapasitas angkut KA mesti ditambah terutama guna mengurangi pemudik sepeda motor.
Demikian pula peran bus yang trennya justru makin menurun sebagai sarana transportasi massal.

( Setiady Dwi /CN26 )

ARA MENGATASI KEMACETAN JAKARTA


Sutiyoso: Lanjutkan Program Saya
Minggu, 19 September 2010 | 10:16 WIB

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ilustrasi
JAKARTA, KOMPAS.com — Libur Lebaran telah usai, mulai Senin (20/09/2010) masyarakat
Jakarta kembali seperti rutinitas biasa. Tak ketinggalan masalah kemacetan di Ibu Kota.
 
Bagi mantan Gubernur DKI Sutiyoso yang kini aktif di Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari),
masalah kemacetan di Jakarta harus fokus diatasi.
 
"Caranya mengatasi kemacetan Jakarta adalah melanjutkan apa yg telah saya rancang. Saya sudah
membuat blue print pola transportasi massa, yaitu ada busway, subway, monorel, danwaterway,"
kata Sutiyoso, Ketua Umum Orari, kepada wartawan saat ditemui meninjau Stasiun Senen, Sabtu
petang.
 
Menurut mantan Gubernur DKI itu, selama 10 tahun adalah tugas gubernur selanjutnya untuk
melanjutkan formula TPM. "Secepatnya harus dilanjutkan," kata Sutiyoso.
 
Kalau Gubernur terkendala biaya, Sutiyoso mengatakan untuk meminta pemerintah pusat turun
tangan. "Kalau jaringan sudah ada, tinggal mengeluarkan peraturan lewat perda," ujarnya. Perda
yang dimaksud nantinya mengatur pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. "Yang penting,
harus ada tindakan konkret," katanya.
 
"Yang saya khawatirkan itu karena permasalahan kemacetan terus ingin memindah ibu kota," lanjut
pria yang akrab dipanggil Bang Yos ini. Pindah ibu kota bukan perkara sepele, menurut Sutiyoso.
Butuh biaya besar, tetapi belum tentu menyelesaikan permasalahan Ibu Kota. "Fokus kita jangan
memindah ibu kota, tetapi segera mengatasi kemacetan Jakarta," ujarnya.
Sender ririh
Penulis: Natalia Ririh   |   Editor: Ignatius Sawabi

Pemerintah Pusat Ambil Alih Penanganan Kemacetan  


JUM'AT, 03 SEPTEMBER 2010 | 01:32 WIB
Besar Kecil Normal

ANTARA/Maulana Surya Tri Utama

TEMPO Interaktif, Jakarta -Pemerintah pusat akhirnya mengambil alih penanganan kemacetan lalu lintas di Jakarta.
Wakil Presiden Boediono menginstruksikan 17 langkah untuk menangani kemacetan di Jakarta, yang diprediksi akan
mengalami kemacetan total pada 2012. Boediono menunjuk Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto sebagai koordinator dan mengawasi pelaksanaan 17 langkah itu.
"Penanganannya melibatkan lintas kementerian dan gubernur, jadi harus terkoordinasi," ujar Yopie Hidayat, juru
bicara Wakil Presiden Boediono, seusai rapat Transportasi Massal di kantor Wakil Presiden kemarin.

Yopie mengungkapkan, data dari Unit Kerja Presiden menyebutkan bahwa kerugian akibat kemacetan di Jakarta
mencapai Rp 12,8 triliun per tahun. Jumlah ini berasal dari penambahan biaya operasional kendaraan, biaya
kesehatan akibat polusi dan depresi, serta penurunan produktivitas.

Survei ini, kata Yopie, juga menyebutkan bahwa kecepatan rata-rata tempuh kendaraan di Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi saat ini tercatat 30,5 kilometer per jam. "Tapi, setelah masuk ke wilayah DKI Jakarta,
kecepatannya menurun menjadi hanya 8,3 kilometer per jam," katanya. Angka ini, kata dia, jauh dari standar
pelayanan minimum (SPM) kecepatan rata-rata kendaraan di dalam kota, yang minimal 20 kilometer per jam.

Untuk penerapan electronic road pricing (ERP), Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan pemerintah DKI
masih menunggu payung hukum dalam penerapan ERP. "Mudah-mudahan ini akan bisa terbit dalam waktu tidak
terlalu lama," katanya.

Menanggapi ERP ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan peraturan akan dibuat dan
segera dilaksanakan setelah rampung dalam tempo satu bulan. "Pemerintah pusat akan bertugas memperbaiki
sejumlah regulasi melalui peraturan pemerintah yang diperlukan dari 17 instruksi Wapres tersebut," ujar Hatta.

Untuk jangka panjang, Fauzi mengatakan, akan dibangun mass rapid transit (MRT), yang terdiri atas revitalisasi
kereta api dan jalur-jalur kereta api ke Serpong, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Ditambah dengan jaring baru, yaitu
subway. "Tapi ini semua harus dilihat sebagai sistem yang terintegrasi. Ini jangka panjang," kata Fauzi.

Adapun perihal jalan tol dalam kota, Fauzi mengatakan, resistensi pembebasan tanah begitu tinggi sehingga
pilihannya adalah jalan susun, baik jalan tol maupun bukan tol, seperti di Jepang. Untuk jalan non-tol sudah
direncanakan pembangunannya akhir tahun ini di Jalan Satrio, dari Mas Mansyur melintas ke Casablanca, Jalur
Antasari. "Sudah ada perencanaan yang matang. Engineering-nya juga sudah ada. Kami sedang selesaikan
perizinan yang secara prinsip sudah diberikan Menteri Pekerjaan Umum," katanya.

Rapat kemarin, selain dihadiri Menteri Hatta, ada Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Kepala Badan
Perencanaan Nasional Armida S. Alisjahbana, Menteri Perhubungan Freddy Numberi, Menteri Pekerjaan Umum
Djoko Kirmanto, Direktur Lalu Lintas Mabes Polri Brigadir Jenderal Djoko Susilo dan Inspektur Pengawasan Umum
Komisaris Jenderal Nanan Soekarna, serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.

EKO ARI WIBOWO | ROSALINA | NUR HARYANTO

alur Selatan Jateng Macet  


Tim Liputan 6 SCTV

 
Artikel Terkait

 Pemudik Kembali Masuk Jakarta


 Pemudik Lanjut Usia Belum Manfaatkan Gerbong Khusus
 Pemudik Diimbau Berhati-hati Melintasi Cileunyi

09/09/2010 14:00

Liputan6.com, Banyumas: Kemacetan sepanjang 15 kilometer terjadi di jalur selatan Jawa Tengah, tepatnya di

ruas Sampang, Cilacap hingga Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (9/9). Kemacetan ditimbulkan genangan

air sisa banjir di ruas Buntu-Sumpiuh.

Para pengamudi terpaksa melambatkan laju kendaraannya, sehingga antrean panjang pun terjadi. Selain itu,

kemacetan juga disebabkan adanya pasar tumpah di Jalan Raya Wijahan, Kecamatan Kemranjen. Setelah melewati

Pasar Wijahan, arus kendaraan menuju arah Yogyakarta lancar.

Kemacetan di jalur selatan Jateng itu sempat mengakibatkan arus kendaraan pada ruas Sampang-Buntu macet total.

Hal ini disebabkan ulah pemudik bersepeda motor dan pemudik bermobil yang datang dari arah barat saling

menyerobot jalur. Akhirnya, arus kendaraan dari arah timur pun tersumbat aksi serobot para pemudik pada ruas jalan

nasional yang sempit itu.(ANT/SHA)

SBY: Pindahkan Ibu Kota Solusi Kemacetan


Laporan wartawan KOMPAS.com Hindra Liauw
Jumat, 3 September 2010 | 19:39 WIB

KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN


Ilustrasi kemacetan akibat banyaknya pengunjung ke Pasar Tanahabang
TERKAIT:
 Pusat Dukung DKI Atasi Kemacetan di Jakarta
 17 Langkah Urai Kemacetan di Jakarta
 Jakarta Hujan! Waspada Banjir dan Macet
 DKI Harus Paparkan Skenario Lalu Lintas
 Kemacetan Hebat Terjadi di Jakarta
JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali mewacanakan
pemindahan ibu kota sebagai salah satu solusi memecahkan kepadatan Jakarta yang dinilai tak
tertahankan lagi. Pertambahan volume kendaraan dan jumlah penduduk ditengarai sebagai salah
satu biang keladi kepadatan di Jakarta.

Salah satunya, sama sekali membangun ibu kota yang baru, the
real capital, the real government center, seperti Canberra,
Brasilia, Ankara, dan tempat-tempat yang lain.
-- SB Yudhoyono

"Salah satunya, sama sekali membangun ibu kota yang baru, the real capital, the real government
center. seperti Canberra, Brasilia, Ankara, dan tempat-tempat yang lain," kata Presiden pada acara
berbuka puasa bersama pengurus Kamar Dagang Indonesia di Jakarta, Jumat (3/9/2010).
Selain mengajukan perbaikan infrastruktur Jakarta, Kepala Negara juga mengajukan usul
pemisahan antara pusat pemerintahan dan perdagangan. "Kita bisa membandingkan dengan apa
yang dilakukan Malaysia. Ibu kota Malaysia tetap Kuala Lumpur, tapi pusat pemerintahan di
Putrajaya. Dipisahkan, cut off. Tetapi, tentu ada komunikasi yang baik. Berkembanglah Putrajaya,"
kata Presiden.
Presiden meminta agar ketiga opsi tersebut diputuskan dan dipersiapkan sejak dini. "Kita putuskan
sekarang ini. Misalnya opsi kedua dan ketiga, kita membangun pusat pemerintahan baru, maka 10
tahun dari sekarang baru bisa dilakukan berdirinya pusat pemerintahan yang baru yang sudah
terencana dengan desain yang bagus dan memenuhi syarat-syarat sebagai pemerintahan yang
baik," kata Presiden.
Presiden melanjutkan, "Kalau kita bicara opsi kedua, misalnya, biarkan Jakarta diploklamasikan.
Kita pertahankan sebagai ibu kota, ekonomi, perdagangan, dan semua kita bangun tempat yang
baru sebagai pusat pemerintahan. Nah, kalau kita membangun baru, tentu well-planned, well
-designed, kemudian kita hitung keindahan aspek lingkugan dan lain-lain. Kita barang kali butuh
waktu 5-7 tahun untuk membangunnya. Itu by project. Putrajaya menghabiskan uang sekitar Rp 80
T. Kalau kita ingin bangun seperti itu dengan cakupan yang lebih luas, could be more. (Dana) dari
mana? Mungkin dari APBN sebagian, sebagian partnership, goverment, dengan publik. Sebagian
mungkin bisa melepas aset pemerintah yang ada di Jakarta. Kemudian kita bangun yang baru," kata
Presiden.
Presiden menambahkan, sekiranya pilihan dijatuhkan pada opsi kedua atau ketiga, hal tersebut
membutuhkan kerja sama pemerintah dan pihak swasta atau pengusaha.
"Saya berandai-andai, kalau itu dibangun, tentu 90 persen dilakukan oleh pengusaha dalam negeri.
Barangkali material yang kita impor dibatasi tidak lebih 10 persen. Kita harus think big, kemudian
melakukan sesuatu dengan saksama. Ini yang ingin saya sampaikan di forum mulia ini," katanya.
Editor: R Adhi KSPDibaca : 13085

Sent from Indosat BlackBerry powered by

Você também pode gostar