Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Islam
Oleh
Ismahyudi
Syamsinar Saragih
A. Pendahuluan
Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja
tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit,
upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut
pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau
pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan
gaji dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem
pembayarannya (bulanan atau tidak). Meskipun titik berat antara upah dan gaji
terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang
dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh
pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja” (Konvensi ILO nomor
100).2
Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka
Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat.
B. Metodologi
1
Sebagai sebuah metodologi, tafsir ekonomi al-Qur’an mempunyai peluang yang baik
bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam. Model tafsir ini dimodifikasi dari metode tafsir
tematik dengan tahapan kerja sebagai berikut: pertama, menginventarisasi ayat-ayat yang
terkait dengan permasalahn ekonomi yang akan dibahas, baik berdasar pada kata kunci
maupun pada kandungan ayat. Kedua, mengurutkan ayat-ayat tersebut berdasar urutan
turunnya surat yang didukung oleh asbabun nuzul baik secara mikro maupun makro. Ketiga,
menafsirkan ayat-ayat dengan corak adabi al-ijtima’i wal iqtishadiyyah. Keempat,
melakukan konstektualisasi dalam realitas perekonomian.
C. Ayat-ayat Upah
Dalam Al-Qur’an, diantara ayat-ayat yang mengandung nilai ajaran tentang upah
berdasar kata kunci dan kandungan makna perniagaan adalah sebagai berikut: (a) al-Baqarah
ayat 103, 282; (b) an-Nisa ayat 40; (c) al-Maidah ayat 1, 8; (d) at-Taubah ayat 105; (e) an-
Nahl ayat 97; (f) al-Kahfi ayat 30; (g) al-Qashas ayat 77; (h) Yusuf ayat 72; (i) al-Ahqaf
ayat 19; (j) Yaasin ayat 54; (k) An-Najm ayat 39; (l) as-Syu’araa ayat 183.
Sebagaimana diurai di atas tentang tahapan metode tafsir, ayat-ayat tersebut dipilah
menjadi kelompok surat Makkiyah dan Madaniyyah sebagai berikut:
Tabel 1
Klasifikasi Makkiyah dan Madaniyah
3. Al-Qashas: 77 3. An-Nisa: 40
4. Yusuf: 72 4. Al-Maidah: 1, 8
5. Al-Ahqaf: 19
6. Yaasin: 54
7. An-Najm: 39
8. As-Syua’ra: 183
Tabel 2
2
Kronologis ayat-ayat perniagaan
28. Al-Qashas: 77
36. Yaasin: 54
46. Al-Ahqaf: 19
53. An-Najm: 39
ب َعامِلِ إِىَل َو َسُتَر ُّدو َن َوالْ ُم ْؤِمنُو َن َو َر ُسولُهُ َع َملَ ُك ْم اللَّهُ فَ َسَيَرى ْاع َملُوا َوقُ ِل
ِ َّه َاد ِة الْغَْي مِب
َ َت ْع َملُو َن َا َفُينَبِّئُ ُك ْم َوالش
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah
Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang
kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
3
lalu semua dikembalikan kepada Allah pada hari kemudian dan ketika itu kamu mengetahui
hakikat amal kamu.1
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam
kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan
bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan
melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”.2
Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran
terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau
compensation.
صاحِلًا َع ِم َل َم ْن ِ ِ
َ َّه ْم طَيِّبَةً َحيَا ًة َفلَنُ ْحيَِينَّهُ ُم ْؤم ٌن َو ُه َو أُْنثَى أ َْو ذَ َك ٍر م ْن
ُ َجَر ُه ْم َولَنَ ْج ِز َين ْ َي ْع َملُو َن َكانُوا َما بِأ
ْ َح َس ِن أ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).
Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sbb :
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-
laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir
atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan
kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami
berikan balasan kepada mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala yang lebih
baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan“.
Tafsir dari balasan dalam keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat.
Ayat ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah
1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 2009, lentera hati,
ciputat hal 237-238.
2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 5, hal 670.
4
imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh
didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan
manusia secara keseluruhan.6 Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh
adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi
Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas, maka
seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai
amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan
barang-barang yang haram. Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja
dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan Al-Kahfi 30,
maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat.
Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat itu lebih penting
daripada penekanan terhadap dunia (dalam hal ini materi) sebagaimana semangat
dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.
ُّ ِين حُي ِِ
ض يِف ْ ب ال اللَّهَ إِ َّن
ِ األر َ الْ ُم ْفسد
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Dan carilah secara bersungguh-sungguh pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat dengan menginfakkan dan
menggunakannya sesuai petunjuk Allah dan dalam saat yang sama janganlah melupakan
5
yakni mengabaikan bagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semua,
sebagaimana atau disebabkan karena Allah telah berbuat baik kepadamu dengan aneka
nikmatnya. Dan janganlah engkau berbuat kerusakan dalam bentuk apapun di bagian
manapun di bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
Kata ( يماِ
َ )فdipahami oleh Ibnu Asyur mengandung makna terbanyak atau pada
umumnya, sekaligus melukiskan tertancapnya kedalam lubuk hati upaya mencari
kebahagiaan ukhrawi melalui apa yang dianugerahkan Allah dalam kehidupan dunia ini.3
Kemudian dijelaskan lagi dalam Q.S Yusuf ayat 72, kalau imbalan yang diberikan
itu juga harus dijamin.
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya".
يم ِ
Ayat-ayat diatas menggunakan bentuk jamak dan bentuk tunggal. Misalnya kata ( ٌ )زعَ
za’im/penjamin ialah bentuk tunggal, tetapi sebelumnya, misalnya kata ( )قَ الُواatau mereka
mengawali bentuk jamak. Ini mengisyaratkan bahwa yang berbicara hanya seorang, yaitu
pemimpin rombongan pengejar itu, sedang sisanya menyetujui dan mengiyayakannya.
Kata (‘ ) ِع ٍريir pada mulanya berarti unta atau keledai liar. Lalu maknanya
berkembang sehingga mencakup juga pengendara dan barang yang dipikul oleh kedua
binatang itu.4
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja,
dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat
ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal 64-65
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 2009, lentera hati,
ciputat hal 133-151
6
kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab.
Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan
balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Lalu surat Al-Baqarah 103 menjelaskan bahwa jika tetap beriman dan bertakwa
dalam mengerjakan apapun maka akan mendapatkan pahala.
َي ْعلَ ُمو َن َكانُوا لَ ْو َخْيٌر اللَّ ِه ِعْن ِد ِم ْن لَ َمثُوبَةٌ َو َّات َق ْوا َآمنُوا أَن َُّه ْم َولَ ْو
Tafsirnya:
Sesungguhnya seandainya mereka beriman sesuai dengan apa yang diajarkan al-
Qur’an serta percaya bahwa sesuatu dapat terjadi hanya atas izin Allah bukan penyihir dan
bertakwa, yakni kepercayaan mereka itu melaksanakan amal sholeh. Niscaya mereka
mendapat ganjaran sesungguhnya ganjaran yang besar dan mantap akan mereka peroleh
dari segala sesuatu baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Kalau mereka mengetahui
betapa banyak ganjaran yang dapat mereka peroleh bila beriman dan bertakwa serta
mengetahui betapa buruk dampak negative sihir, niscaya mereka tidak melakukan
keburukan-keburukan itu.
Kemudian dalam surat an-Nisa 40 dijelaskan lagi mengenai takaran imbalan yang
diperoleh manusia.
5
Mudjab Mahal, asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-qur’an,2002, PT Raja Grafindo, Jakarta hal 27
7
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan
jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”.
Tafsirnya: Pembalasan terhadap amal kebajikan 10 kali lipat bahkan lebih. Sedangkan
pembalasan amal kejahatannya 1 kali. Tahap amal kebajikan selain daripada mendapat
pembalasan pahala 10 kali lipat lebih, juga mendapat karunia karunia besar sebagai
tambahan. Katakanlah “ karunia besar” ini sebagai hadits istimewa sebab ia diluar
pembalasan amal yang sudah ditetapkan.6
Ada yang memahami ( ) َذ َّر ٍةdalam arti semut merah yang kecil, ada juga yang
memahami dalam arti telur semut, ada juga yang berkata bahwa ia adalah debu berterbangan
yang hanya terlihat antara lain melalui kaca yang ditembus oleh sinar matahari.
Pendapat al-Biqa’i tentang makna kata ini adalah pendapat yang paling tepat dan
baik tata bahasa menggunakannya untuk menggambarkan sesuatu yang terkecil, bahkan
dapat berarti sesuatu yang tidak berwujud.
Ketika atom ditambah, para pakar bahasa Arab menamainya dengan dzarrah Karena
ketika itu ia dinilai sebagai unsur kimia yang terkecil (setelah nuklir) yang dapat berdiri
sendiri atau bersenyawa dengan yang terkecil.
Kata ( ) لَ ُدنْ هُ ِم ْنdari sisinya mengandung makna bahwa anugerah itu bersumber
langsung dari-Nya sehingga ia tidapat dijangkau atau diketahui kadarnya oleh manusia. Ini
salah satu perbedaan kandungan maknanya dengan kata min ‘indihi yang sering
diterjemahkan dengan dari sisinya.7
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender
dalam menerima upah / balasan dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada
diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang
menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki
yang halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).
6
Bahtiar Sunin, Alkanz Terjemah & Tafsir Al-qur’an, 1993, Penerbit Titian Imu, Bandung, hal 285-286
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, hal 537-538
8
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan
yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim
dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang
sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan
oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia)
mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan :
“harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti
apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin
makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w
bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri
(untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya
untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan
tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad
Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang
keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).
Sehingga dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat
didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya
dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala
di akherat (imbalan yang lebih baik).
Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan
Islam: pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral,
sementara Barat tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan
atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut
dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat
dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan
(kecukupan).
ADIL
“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
11
ِ َّ ِ ِ َّالصي ِد حُمِ لِّي َغير علَي ُكم يْتلَى ما إِال األ ْنع ِام ِيمةُ لَ ُكم أ ُِحل
ين أَيُّ َها
َ ت بالْعُ ُقود أ َْوفُوا َآمنُوا الذ
ْ ْ َ َ هَب َ ُ ْ ْ َ َْ ْ َّ يد َما حَيْ ُك ُم اللَّهَ إِ َّن ُحُر ٌم َوأَْنتُ ْم
ُ يُِر
يَا
Tafsirnya:
Salah satu akad yang perlu kamu ingat adalah bahwa telah dihalakan bagi kamu apa
yang sebelum ini diharamkan atas ahl al-kitab, yaitu binatang ternak setelah disembelih
secara sah yakni dihalalkan bagi kamu memakannya, memanfaatkan kulit, bulu, tulang, dan
lain-lain. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum halal atau haram, boleh atau tidak
menurut yang ia kehendaki.
Nabi bersabda :
Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa
prinsip utama keadilan terletak pada Kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen
10
As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Ahaadits, Bandung: PT. Ma’arif, 1996, hal 552
12
melakukannya. Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan
pengusaha. Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang
akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran
upah. Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang
upahan sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai
dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan
pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat
dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau
sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan
atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia
mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal
ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing hak
dan kewajiban kedua belah pihak.11
Dari penjelasan Syeikh Qardhawi diatas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji
merupakan hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja
tersebut tidak benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos
tanpa alasan yang jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan
kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah atas apa yang diusahakannya,
juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik. Bahkan
Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan
atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban
perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa kini,
maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian
yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran
upah ini adalah :
11
Yusuf Qardhawi, Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, hal 405
13
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau
bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh
mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan
memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya.
Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya.
Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh,
tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan
agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang
mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf : 19).
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas,
melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
Maka pada hari itu seseorang yang taat maupun yang durhaka tidak akan dirugikan
sedikitpun dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan jika
kamu peroleh merupakan anugerah Allah yang berlipat ganda dari nilai amal kamu.
14
Firmannya: ()َت ْع َملُ و َن ُكْنتُ ْم َم ا إِال جُتْ َز ْو َن َوال, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa
yang telah kamu kerjakan merupakan penjelasan sekaligus bukti bahwa pada hari itu tidak
akan ada penganiayaan. Betapa tidak demikian, padahal masing-masing menerima apa yang
mereka sendiri kerjakan. Penganiayaan adalah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya
atau memberi kurang dari hak yang semestinya diberikan. Sedangkan disini, yang
bersangkutan diberikan persis sesuai dengan hak dan apa yang dilakukannya.12
س َوأَ ْن ِ ِ ِ
َ َس َعى َما إال لإلنْ َسان لَْي
“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An-Najm : 39).
Tafsirnya:
Dan, disamping seseorang tidak akan memikul dosa dan mudharat yang dilakukan
orang lain, ia pun tidak akan meraih manfaat dari amalan baiknya. Karena itu, disana juga
ada keterangan bahwa seseorang manusia tidak akan memiliki selain apa yang telah
diusahakannya.
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat
pekerjaannya itu. Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi
equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama.
12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 2009, lentera hati,
ciputat hal 171-172
13
M. Quraish Shihab, ibid hal 205-206
15
Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka mesti
sama. Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International Labour Organization (ILO)
nomor 100.15
Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering disebut dengan Hay System,
telah menerapkan konsep ini. Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda,
berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka
akan dibayar dengan upah yang sama.
LAYAK
Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari
berat pekerjaannya, maka Layak berhubungan dengan besaran yang diterima.
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w
bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di
bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka
harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti
apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang
sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah
membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw.
bersabda:
“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda : „Siapa yang menjadi pekerja bagi kita,
hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya,
hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. . Bila ia tidak mempunyai tempat
tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan:Diberitakan
16
kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda : Siapa yang mengambil sikap selain itu,
maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu Daud).
Dari dua hadits diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh
pekerja dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat
tinggal). Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas
majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya. Artinya, hubungan antara
majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan
sudah dianggap merupakan keluarga majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai
keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah dicetuskan.
Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka
(pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya di luar lingkungan
kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis dalam bukunya
yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-kira “walaupun
perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali
memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk
dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah
menurut Barat. Konsep upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari konsep moral.
Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang pegawai di Barat sangat kecil karena
pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service). Tetapi dalam konsep Islam,
meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam
menentukan berapa upah yang akan diberikan.
األر ِ يِف ِِ
َ ض َت ْعَث ْوا َوال أَ ْشيَاءَ ُه ْم الن
َّاس َتْب َخ ُسوا َوال ْ ين َ ُم ْفسد
“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).
Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan
cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya. Dalam pengertian yang lebih jauh,
hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh
dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang
17
upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-. Tetapi di perusahaan tertentu
diberi upah Rp 500.000,-. Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata
lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,-
perbulan. Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak bagi si
pekerja tersebut.
Dari uraian Upah menurut Konsep Islam diatas, maka dapat digambarkan bagaimana
konsep Upah dalam Islam seperti tertera dalam Gambar 2 Dapat dilihat bahwa Upah dalam
konsep Syariah memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. Untuk
menerapkan upah dalam dimensi dunia, maka konsep moral merupakan hal yang
sangat penting agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah tersebut.
Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh karena itulah konsep
moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral diperlukan untuk
menerapkan upah dimensi dunia agar upah dimensi akherat dapat tercapai.
Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu adil dan layak. Adil bermakna
bahwa upah yang diberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna
bahwa upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta
tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada
posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam
mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahan.
E. Kesimpulan
Upah menurut Barat adalah Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap
emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk
uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan
kerja. Sedangkan Upah menurut Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk
imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal :
pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat
tidak. Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan)
tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala,
18
sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam
terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan (kecukupan).
Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil dan layak. Adil bermakna
2 hal ; (1) jelas dan transparan, (2) proporsional. Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1),
cukup pangan, sandang dan papan, (2), sesuai dengan pasaran.
19
Daftar Pustaka
2. Bachtiar Sunin, Alkanz Terjemah & Tafsir Al-qur’an, 1993, Penerbit Titian Imu,
Bandung.
4. Sholeh bin abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim, 2000. Mausuah al-Hadits As
Syarif Al Kutubus Sittah. Darussalam.
7. Qardhawi, Syeikh Yusuf, Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, 1997,
Robbani Press, Jakarta.
20