Você está na página 1de 8

ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA

Pemberontakan PKI di Madiun 1948

Peristiwa Madiun (atau Madiun Affairs) adalah sebuah konflik


kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember
1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet
Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh
Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula
oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin. Amir Syarifuddin
mengecam hasil Perjanjian Renville dan menyusun kekuatan dalam
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk pada tanggal 26
Februari 1948 di Surakarta, Front ini menyatukan semua golongan
sosialis kiri dan komunis. Kekuatan PKI makin bertambah besar setelah
kedatangan Muso dari Uni Soviet. Muso menyusun doktrin PKI dengan
nama ”Jalan Baru" dengan dibentuknya Front Nasional, yaitu
penggabungan segala kekuatan sosial, politik, dan perorangan yang
berjiwa antiimperialistis dan untuk menjamin kelangsungan Front
Nasional maka dibentuklah Kabinet Front Nasional yang terdiri dari
PKI, Partai Sosialis, dan Partai Buruh Indonesia. Selain itu,
didukung pula oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI). Insiden di Delanggu menjadi insiden bersenjata di kota
Surakarta antara pendukung Front Demokrasi Rakyat dengan
kelompok Tan Malaka yang bergabung dalam Gerakan Revolusi
Rakyat, maupun dengan pasukan hijrah TNI. Insiden-insiden memang
telah direncanakan oleh PKI yang bertujuan daerah Surakarta dijadikan
daerah kacau ( wild west), sedangkan daerah Madiun dijadikan basis
gerilya. Aksi PKI memuncak pada tanggal 18 September 1948 dengan
ditandai para tokoh PKI mengumumkan berdirinya Soviet Republik
Indonesia. Tindakan itu bertujuan untuk meruntuhkan Republik
Indonesia hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan

1
Pancasila dan menggantinya dengan ajaran komunis. Panglima Besar
Jenderal Soedirman langsung mengeluarkan perintah untuk merebut
Madiun kembali. Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan
Kolonel Gatot Subroto dari Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono dari
Jawa Timur untuk memimpin penumpasan terhadap kaum
pemberontak. Muso akhirnya tertembak mati, dan Amir Syarifuddin
berhasil ditangkap dihutan Ngrambe, Grobogan, Purwodadi dan
kemudian dihukum mati di Yogyakarta. Pemberontakan PKI di Madiun
telah berhasil ditumpas, namun bangsa Indonesia masih harus
menghadapi Belanda yang berusaha menegakkan kembali
Pemerintahannya di Indonesia.

Darul Islam / Tentara Islam Indonesia

Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII)


terjadi di lima daerah, yaitu

DI/TII di Jawa Barat

Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan


tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah
makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara
Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya
dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan
dengan operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan
taktis Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil
ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa
Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.

DI/TII di Jawa Tengah

2
Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi
Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah terjadi pada tanggal 23 Agustus
1949, dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di
daerah Tegal, Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan
Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat sebagai “Komandan
Pertempuran Jawa Tengah” dengan pangkat “Mayor Jenderal Tentara
Islam Indonesia”. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950
dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah
Letkol Sarbini. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh
Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz
Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini
berhasil dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang
disebut Operasi Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro.
Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat karena pemberontakan Batalion
426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro. Didaerah Merapi-
Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh
Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini
juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah
Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders.

DI/TII di Aceh

Adanya berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah,


pertentangan antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah
yang tidak lancar menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII
di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh
yang pada tanggal 20 September 1953 memproklamasikan daerah
Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan
Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan
kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari

3
musyawarah tersebut ialah pulihnya kembali keamanan di daerah
Aceh.

DI/TII di Kalimantan Selatan

Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hadjar,


alias Haderi bin Umar atau Angli, seorang mantan letnan II TNI. Dengan
pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat yang Tertindas
(KRYT), Ibnu Hadjar menyerang pos – pos TNI di Kalimantan Selatan
dan mlakukan gerakan pengacauan pada Oktober 1950. Melalui
bujukan pemerintah, Ibnu Hadjar pernah menyerahkan diri dengan
kekuatan pasukan beberapa peleton. Namun, setelah memperoleh
persenjataan, ia kembali melanjutkan pemberontakannya. Melalui
operasi militer TNI yang dimulai pada 1959, Ibnu Hadjar akhirnya
berhasil ditangkap. Ia diajukan ke pengadilan militer dan kemudian
dijatuhi hukuman mati pada 22 Maret 1965.

DI/TII di Sulawesi Selatan

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya


Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat.
Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade
yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan
itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi
syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan
menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional
(CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan
Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri
ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan
pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi
Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII

4
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965,
Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat di kalangan KNIL timbul


Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Kapten
Westerling. Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara
Federal Pasundan di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara
sendiri pada setiap negara bagian Republik Indonesia Serikat. APRA
mengajukan ultimatum menuntut supaya APRA diakui sebagai
Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara
Federal tersebut. Ultimatum ini tidak ditanggapi oleh pemerintah,
maka pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung APRA melancarkan
teror, APRA berhasil ditumpas. Ternyata dalang gerakan APRA ini
berada di Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana gerakannya di
Jakarta ialah menangkap beberapa menteri Republik Indonesia Serikat
yang sedang menghadiri sidang kabinet dan membunuh Menteri
Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jenderal
Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepada Staf
Angkatan Perang Kolonel T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil
diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga sidang kabinet
ditunda. Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950.
Akan tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri.

Pemberontakan Andi Aziz

Pemberontakan Andi Aziz terjadi pada tanggal 5 April 1950, di


Makassar, Sulawesi Selatan. Pemberontakan yang dipimpin oleh Andi
Aziz ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain :

5
1. Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung
jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur
2. Menentang masuknya pasukan APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat) dari TNI
3. Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.

Karena tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat


bertindak tegas. Pada tanggal 8 April 1950 dikeluarkan ultimatum
bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus melaporkan diri ke
Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasukannya
harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan
harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian
disusul oleh pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E
Kawilarang pada tanggal 26 April 1950 dengan kekuatan dua brigade
dan satu batalion di antaranya adalah Brigade Mataram yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis dihadapkan ke
Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan

Pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan berdirinya


Republik Maluku Selatan (RMS) yang dilakukan oleh Dr. Ch. R. S.
Soumokil mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Soumokil
sebenarnya terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Namun, setelah
gagalnya gerakan itu ia melarikan diri ke Maluku Tengah dengan
Ambon sebagai pusat kegiatannya. Untuk itu pemerintah mengutus Dr.
Leimena untuk mengajak berunding. Misi Leimena tidak berhasil
karena RMS menolak untuk berunding. Pemerintah bertindak tegas,
pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang
dikirimkan ke Ambon. Dalam pertempuran memperebutkan benteng
New Victoria, Letkol Slamet Riyadi tertembak dan gugur. Pada tanggal

6
28 September 1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon dan bagian
utara pulau itu berhasil dikuasai. Tanggal 2 Desember 1963 Dr.
Soumokil berhasil ditangkap selanjutnya tanggal 21 April 1964 diadili
oleh Mahkamah Militer Laut Luar Biasa dan dijatuhi hukuman mati.

Pemerintah Pevolusioner Republik Indonesia /


Perjuangan Rakyat semesta (PRRI/Permesta)

Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan


pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara
lain Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad
Husein (20 Desember 1956) ; Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel
Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan Dewan Manguni di
Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari 1957).
Tanggal 10 Februari 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan
Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang
diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan Husein ini
akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin
Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan
Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung
dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta.
Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel
Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel
D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade. Untuk menumpas
pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang
terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian
operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :

7
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol
Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil
menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin
oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada
tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin
oleh Brigjen Jatikusumo.
4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh
Letkol Dr. Ibnu Sutowo.
5. Sedangkan untuk menumpas pemberontakan Permesta
dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah
pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :

• Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian


Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.
• Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara
bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.
• Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah
Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.
• Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara,
dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat.

Você também pode gostar