Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
produktif
Zakat produktif
Landasan awal pengelolaan zakat produktif ini adalah bagaimana dana zakat tidak habis
dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi lebih bermakna karena digunakan untuk
melancarkan usahanya. Pepatah mengatakan, "Berikanlah kail, bukan ikannya". Modal usaha
yang digulirkan dari dana zakat diharapkan menjadi kail yang mampu menangkap ikan-ikan
yang tersedia di alam.
Kalau di zaman Rasulullah, bantuan usaha dari dana zakat diberikan langsung dari pengelola
kepada mustahiknya melalui Baitul Mal, maka di Indonesia di mana zakat dikelola lembaga
nonpemerintah, optimalisasi dari pengelolaan zakat tersebut menjadi tanggung jawabnya.
Tantangan inilah yang harus diwujudkan lembaga pengelola zakat.
Guna mengoptimalkan pengelolaan zakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ) ataupun Badan Amil
Zakat (BAZ) idealnya mempunyai lembaga keuangan khusus yang memberikan kredit atau
bantuan bagi masyarakat miskin Rumah Zakat Indonesia misalnya. Untuk membantu
memberikan kredit usaha kecil maka dibangunlah Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)
Mozaik. Dengan lembaga tersebut diharapkan fokus pemberian kredit usaha dan pendampingan
bisa dilakukan dengan maksimal.
Ada pendapat menarik yang dikemukakan Syekh Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang
fenomenal, Fiqh Zakat. Pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau
perusahaan-perusahaan dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya untuk
kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa.
Untuk saat ini, peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat ini digantikan oleh BAZ atau LAZ.
Kewajiban lain yang harus dilakukan pengelola zakat adalah melakukan pembinaan dan
pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik.
Pembinaan dan pendampingan tidak hanya diberikan untuk memperkuat sisi rohani mustahik,
tetapi juga sisi manajerial dan kemampuan wirausahanya. Harapannya, dengan kemampuan
tersebut kehidupannya akan lebih sejahtera.
Dengan pola pengelolaan zakat produktif, diharapkan akan muncul lapangan usaha baru bagi
kelompok masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak
menerima zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, diharapkan memiliki
komitmen yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Potensi Zakat di Indonesia ini meskipun sangat besar karena penduduknya yang dua ratusan juta
lebih mayoritas beragama Islam, namun pada kenyataannya hasil penghimpunan zakat secara
nasional masih sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan karena
1. Masih banyak muslim Indonesia yang kurang taat menjalankan syariat agama. Sekitar 80
persen dari 210 juta jiwa penduduk Indonesia memang beragama Islam, namun tidak lebih dari
separuhnya yang konsisten menjalankan syariat Islam, apalagi secara total. Jangankan zakat,
menjalankan ibadah salat pun sebagian besar mereka masih enggan. Padahal salat dan zakat
merupakan bagian tak terpisahkan dari rukun Islam, dan Allah sering memerintahkan kedua hal
itu secara serentak (bersamaan) seperti termaktub dalam beberapa ayat Alquran. Perintah “…
dirikanlah salat dan tunaikan zakat…” tersebut dalam QS 2:43, 58:13, 22:41, dan masih banyak
lagi (ada sekitar 34 ayat) sebagai satu perintah yang tak terpisahkan. Apalagi bagi kaum
materialistis, zakat sering dianggap sebagai bagian dari pengeluaran, bukan sebagai kewajiban
untuk mengeluarkan harta yang memang menjadi hak kaum fakir-miskin dll. (At-Taubah:60)
4. Kurangnya sosialisasi UU Zakat di atas kepada masyarakat, termasuk UU No. 17/2000 tentang
Pajak Penghasilan, yang mengatur bahwa pembayaran zakat kepada BAZ dan LAZ yang diakui
pendiriannya / disahkan oleh pemerintah sebenarnya dapat mengurangi Jumlah Penghasilan Neto
kena pajak. (Lihat SPT Tahunan WP Orang Pribadi Form 1770). Akibatnya, sampai saat
sekarang kewajiban membayar zakat (terutama zakat maal) sebagai perintah Allah hanya
sekedarnya saja, yakni sekedar bayar seadanya kepada Amil Zakat di masjid-masjid, musholla-
musholla atau kantor-kantor yang tidak/belum resmi berpredikat sebagai LAZ (meskipun tentu
tidak dilarang), sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pengurang pajak penghasilan.
Sanggupkah BAZ dan LAZ memanfaatkan kesempatan, sekaligus menjawab tantangan besar,
itu? Jawabannya tergantung pada bagaimana kedua LPZ ini melakukan persiapan matang,
khususnya menyangkut sumber daya manusia (SDM), transparansi dan akuntabilitas. Masing-
masing LPZ harus punya SDM yang memiliki pemahaman memadai mengenai syariah Islam,
khususnya mengenai permasalahan zakat, dan pengetahuan umum sesuai dengan tanggung
jawabnya dalam organisasi.
Pendek kata harus dikelola secara profesional sebagaimana layaknya badan usaha/korporasi
dengan mempekerjakan para managers minimal yang menguasai bidang marketing, SDM,
Syariah dan akuntansi dengan gaji/honorarium yang baik (karena ada 1/8 hak Amil Zakat yang
diperbolehkan Allah). Menurut pengamatan penulis, LAZ yang cukup berhasil adalah DD
Republika dengan “omzet” puluhan milyar/tahun, sehingga mampu mengembangkan
organisasinya secara cukup profesional, transparan & akuntabel. Tidak berlebihan jika BAZ dan
LAZ-pun harus menerapkan prinsip “Good Corporate Governance” (GCG) jika ingin berhasil.