Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Novel ini bertutur mengenai perjalanan hidup seorang anak minang yang tidak
pernah besar di minang, masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, lalu masa remaja
di habiskan 6 tahun di Muallimin, selebihnya antara Jakarta-Jogja- Samarinda,
yang terakhir dia mengahabiskan lebih dari 20 tahun di Samarinda. Syafril Teha
Noer (STN) berada di sebuah keluarga Minang yang tinggal di jakarta, layaknya
orang Minang pada waktu itu, tradisi persaudaraannya masih kental, tolong
menolong antar keluarga merupakan hal biasa, ada keluarga yang sukses
membantu keluarga yang kurang beruntung. STN termasuk dalam keluarga yang
kurang beruntung itu, keputusannya untuk sekolah di Madrasah Muallimin ini
berdasarkan keputusan kakenya seorang aktivis Muhammadiyah.
Novel ini menurutku sangat menarik karena dibuat secara faktual. Novel ini
beredar pada tanggal 2 Juli 2010, padahal didalam cerita sudah diceritakan apa
yang terjadi pada tanggal 2 Juli 2010. STN mencoba berimajinasi dengan
memori-memori yang masih tersimpan tentang kegiatan yang sangat fenomenal
baginya yakni “Reuni Akbar”. Belum lagi ulasan yang disampaikan Cak Nun
begitu menggoda untuk direnungkan, pertanyaan Cak Nun untuk STN “Mana
Rimbamu mana Rumahmu?” seolah menegaskan perjalanan pencarian yang
dilakukan oleh STN dan barangkali sekaligus menjawab pertanyaan yang sempat
diutarakan STN kepada cak nun “Cak Keinginanku sekarang hanya satu: bisa
shalat dengan rutin. Bisa chatting dengan Allah” yang pada waktu itu tidak
dijawab Cak Nun.
Inilah salah satu sosok alumni yang masih bangga denga keMualliminannya
serta masih mengingat apa yang telah diberikan di Muallimin. Meskipun STN
sendiri mengakui bahwa Muallimin adalah Sekolah Kader Muhammadiyah, dia
sangat paham dengan tujuan dari sekolah ini. Namun, jiwanya berkata lain,
dirinya sangat ingin menjadi aktivis Muhammadiyah, menjadi Guru dan
mengabdi namun dalam bentuk lain, yaitu sebagai seniman. Baginya “Tak
semua ikan berenang di semua jenis air. Tak Semua burung terbang di semua
lapis langit”, bukankah memang begitu..?. Jadi kader Muallimin tidak harus aktif
di organisasi Muhammadiyah, namun kemanapun perginya tetap membawa
spirit perjuangan hidup, keberanian dan tanggungjawab. Dan kemanapun
perginya kembali juga ke Muhammadiyah (ini ditunjukan oleh STN dengan masih
berhubungan dengan persyarikatan meskipun tidak aktif). Selain itu STN juga
telah berkiprah menunjukan pertanggungjawabannya atas pilihan sebagai
seniman, yaitu memberikan kiprahnya secara maksimal di bidang teater.
Semoga Sukses selalu Kak Syafril,,,salam dari adinda jauhmu ini……