Você está na página 1de 4

Nama : Arimbi Shita Pramesty

NIM : 15308051

1. IJMA’
Ijma` menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal,
seperti perkataan seseorang. Obyek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak
ada dasarnya dalarn al-Qur`an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan
dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah
SWT) bidang mu`amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan
dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur`an dan al-Hadits 

Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara'
dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh
ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu
itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula
diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada
yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum
muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.

Dasar hukum ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.

2. QIYAS
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam
Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Dengan kata lain, adalah menyamakan sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan
illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu merupakan penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu
yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan
termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak
terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah
hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.

3. ISTIHSAN
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum
lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong
tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya
pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum
ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini
adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

Kaum yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-
Imam As-Syafi’i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya
berdasarkan keinginan hawa nafsu.

Imam Syafi’i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan
sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak
menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah
karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah
seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut
istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat
syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
4. ISTISHAB
Definisinya adalah, menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yang memang tidak ada sampai ada yang mengubah kedudukanya atau
menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau yang sudah kekal menurut
keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.
Menurut Ibn Qayyim Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa atau menyatakan belum ada nya hukum suatu peristiwa yang belum
penah ditetapkan hukumnya.Sedangkan definisi Asy-Syatibi adalah segala ketetapan yang
telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.

Istishab dibagi menjadi lima macam,yaitu :

1. Istishab hukm al-ibahah al-ashliyah, yaitu menetapkan hukum sesuatu yang


bermanfaat bagi manusia adalah boleh,selama belum ada dalil yang menunjukkan
keharamannya.

2. Istishab yang menurut akal dan Syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus

3. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang
mengkhususkannya dan Isatishab dengan Nash selama tidak ada dalil yang Naskh
(yang membatalkannya).

4. Istishab hukum akal sampai datangnya hukum Syar’i.

5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan Ijma’ ,tetapi keberadaan Ijma’


diperselisihkan.

5. Mashalihul mursalah

Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat
sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki
dua terma yaitu adanya manfaat dan menjauhkan madharat . Terkadang maslahat ini
ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti
pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan
maslahat” .

maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia
untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).

Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak, yaitu maslahat yang secara
khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu
hukum.

Você também pode gostar