Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Pasal 1
Ketentuan Umum
Butir 1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang
sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau
keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.
Butir 6. Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul
karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju ke tempat
kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
Butir 8. Sakit adalah gangguan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/ atau perawatan.
Butir 9. Jaminan Kesehatan upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan
pemeriksaan,pengobatan, dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan.
Pasal 3
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(1) Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja dengan
mekanisme asuransi.
(2) Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 6
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Ruang Lingkup program jaminan sosial tenaga kerja meliputi :
(1) Jaminan Kecelakaan kerja.
(2) Jaminan Kematian
(3) Jaminan Hari Tua
(4) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Pasal 8
Jaminan Kecelakaan Kerja
(1) Tenaga Kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja.
(2) Termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah :
a. Magang dan Murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak.
b. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan.
c. Narapidana yang dipekerjakan diperusahaan.
Pasal 9
Jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) meliputi :
a. Biaya pengangkutan;
b. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan;
c. Biaya rehabilitasi;
d. Santunan berupa uang meliputi :
1. Santunan sementara tidak mampu bekerja;
2. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya;
3. Santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental;
4. Santunan kematian.
Pasal 12
Jaminan Kematian
(1) Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas jaminan kematian.
(2) Jaminan kematian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Biaya pemakaman.
b. Santunan berupa uang.
Pasal 13
Urutan penerima yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan jaminan kematian sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 huruf d butir 4 dan pasal 12 ialah :
a. Janda/ duda
b. Anak
c. Orang tua
d. Cucu
e. Kakek dan nenek
f. Saudara kandung
g. Mertua
Pasal 14
Jaminan Hari Tua
(1) Jaminan hari tua dibayarkan sekaligus, atau berkala atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena :
a. Telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau
b. Cacat total tetap setelah ditetapkan dokter.
(2) Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu.
Pasal 15
Jaminan hari tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dapat dibayarkan sebelum tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh
lima) tahun, setelah mencapai masa kepesertaan tertentu, yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 16
Jaminan Pemeliharaan kesehatan
(1) Tenaga kerja, suami atau isteri, dan anak berhak memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.
(2) Jaminan pemeliharaan kesehatan meliputi :
a. Rawat jalan tingkat pertama;
b. Rawat jalan tingkat lanjutan;
c. Rawat inap;
d. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e. Penunjang diagnosis;
f. Pelayanan khusus;
g. Pelayanan khusus;
h. Pelayanan gawat darurat.
Pasal 17
Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
Mogok Kerja
Pasal 137
Mogok Kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja buruh dilakukan secara sah,tertib, dan damai sebagai akibat
perundingan.
Pasal 138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok
kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja sebagaimana diatur dalam ayat (1) dapat memenuhi atau tidak ajakan
tersebut.
Pasal 139
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan atau/
perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak
menggangu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal 140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh
sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh,
maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk
sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat kan alat produksi
dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara :
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pasal 141
(1) Instansi pemerintah dan perusahaan yang menerima pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam
pasal 140 wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan wajib
menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkannya
dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan
perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagai mana dimaksud dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari
instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan
terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) maka atas dasar
perundingan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab mogok kerja, mogok
kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali.
Pasal 142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 dan pasal 140
adalah mogok kerja tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan keputusan
menteri.
Pasal 146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau
seluruhnya untuk menjalankan perusahaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan
dengan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industtrial Meliputi :
1. Perselisihan hak
2. Perselisihan kepentingan
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja.
4. Perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal 3
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit
secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagamana dimaksud dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama
30(tiga puluh) hari sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak
untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit
dianggap gagal.
Pasal 4
(1) Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua
belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pengembalian berkas.
(3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu pihak, instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan
setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian perselisihan secara
konsiliasi atau secara arbitrase.
(4) Dalam hal pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7(tujuh) hari
kerja, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelaian kepada mediator.
(5) Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, perseliihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.
(6) Penyelesaian melalui arbitrasu dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.