Você está na página 1de 15

Al Qur’an

Pendahuluan
Al-Qur`an sebagai kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan perantara melalui Malaikat Jibril. Al Qur’an sebagai penuntun dan pedoman dalam
rangka pembinaan umatnya juga sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya banyak
terkandung nilai-nilai yang unik, pelik dan rumit sekaligus luar biasa. Hal ini lebih disebabkan
karena eksistensinya yang tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran
kehidupan yang mencakup semua tata nilai semenjak awal peradaban umat manusia hingga
pada akhir peradabannya.

Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat


ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan
keluar biasanya maka tidak diragukan lagi selalu menjadi objek kajian dari berbagai macam
sudutnya, yang darinya melahirkan ketakjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang
ingkar.

Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelekstualitas manusia yang
diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai
tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan
dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai firman Allah SWT yang berfungsi
sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW.

Definisi Dan Turunnya Al Qur’an


Definisi Al Qur’an

Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Bagi muslim, Al-Quran merupakan firman
Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril dengan
lafadz dan maknanya dan juga mempercayai bahwasanya Al-Qur'an merupakan puncak dan
penutup wahyu Allah SWT yang diperuntukkan bagi manusia. Al-Qur'an merupakan mukjizat
Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya
terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup
baik di dunia maupun akhirat.

Ditinjau dari segi kebahasaan ( etimologi) Al Qur’an berasal dari bahas Arab yang
berarti “bacaan “ atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al Qur’an adalah bentuk
kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata

1
ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18
surat Al Qiyamah:

        



Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.(QS. Al
Qiyaamah 17-18)

Dr. Subhi Ali Salih Mendefinisikan Al Qur’an Sebagai Berikut :

“Kalam Allah SWT Merupakan Mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir dimana membacanya termasuk
ibadah”

Adapun Muhammad Ali Ash-Shabuni Mendefinisikan al Qur’an sebagai berikut:

“Al Qur’an adalah firman Allah SWT yang tiada tandingannya diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul dengan perantara Malaikat Jibril dan ditulis
pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir serta
mambaca dan mempelajarinya merupakan ibadah yang dimulai dengan Surat Al Fatihah dan
ditutup dengan Surat An Nas”

Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai oleh kaum muslimin, firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an
seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang
diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah seperti Hadits
Qudsi tidak termasuk Al-Qur’an.

Sejarah Turunnya Al Qur’an

Allah SWT menurunkan Al-Qur'an dengan perantaraan Malaikat Jibril sebagai


pengantar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hiro pada tanggal
17 Ramadhan ketika Nabi Muhammad SAW berusia / berumur 41 tahun yaitu surat Al Alaq
ayat 1 sampai ayat 5 :

           
           


Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam ,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS.Al Al-Alaq 1-5)

2
Ayat-ayat permulaan turun ini menunjukkan bahwa Al Qur’an mengajak manusia
untuk menguasai ilmu pengetahuan. Tema pembahasannya pun ilmu pengetahuan
Sedangkan terakhir Al Qur'an turun yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah yaitu
surah Al Maidah ayat 3:

        


            
  

Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
( QS. Al Maidah 3)

Al Qur’an diturunkan tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik
beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Lama Al Qur’an
diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan dan 22 hari atau selama 23
tahun, yaitu masa di mana kerislahan Nabi Muhammad SAW berlangsung. Sebagian
diantarannya turun di Makkah atau kita sebut Makkiyyah dan sebagian yang lain turun di
Madinah atau kita sebut Madaniyyah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara berangsur-
angsur yaitu:

1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan
suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus
banyak.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan
permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an
diturunkan sekaligus.
3. Turunnya suatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih
mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan dalam penghafalan.
5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau
penolakan suatu pendapat atau perbuatan.

Ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan di Makkah dan Madinah juga mempunyai


beberapa perbedaan baik dari bentuk ayatnya atau teksturnya maupun dari kandungan ayat
itu sendiri. Perbedaan antara ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah adalah sebagai berikut:

1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah


panjang-panjang. Surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-
ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al
Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.

3
2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan ( ‫ ) َايَأهُّي َا اذَّل ِ ْي َن َا َمنُ ْوا‬dan sedikit sekali
terdapat perkataan ( ‫)اَي َأهُّي َا النَّ ُاس‬, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.
3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan
dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang
mengandung pengajaran dan budi pekerti. Sedangkan Madaniyyah mengandung
hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum
duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang,
hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.

Kemukjizatan Al Qur’an
Definisi Mukjizat

‫ )أجعز‬yang berarti melemahkan atau menjadikan


Mukjizat berasal dari Bahasa Arab (

tidak mampu. Sedangkan adanya (‫ ) ة‬ta marbutah pada kata (‫ )معجزة‬artinya adalah sesuatu
yang lebih atau superlative. Dalam pengertian yang lain bahwasanya mukjizat adalah
kejadian ajaib atau luar biasa yang sukar dijangkau ileh kemampuan manusia. Sedangkan
dalam pengertian yang lainnya pula mukjizat adalah suatu hal atau peristiwa luar biasa yang
terjadi dari seorang Nabi sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada mereka yang
meragukannya untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa akan tetapi mereka tidak
dapat melayani tantangan tersebut.

Dari definisi tersebut di atas dapat diturunkan beberapa pengertian diantaranya:

1. Pertama: Mukjizat adalah kejadian luar biasa yang sukar dijangkau oleh kemampuan
manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana keluar biasaan mukjizat itu?.
Dalam bukunya yang berjudul “Mukjizat Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan
bahwa kejadian luar biasa yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berada diluar
jangkauan manusia yang meliputi sebab dan akibat yang terdapat secara umum pada
hukum-hukum alam (sunatullah) yang diketahui oleh manusia.
2. Kedua: Mukjizat pasti dibawa oleh seorang Nabi. Seandainya peristiwa luar biasa
tersebut terjadi bukan pada Nabi meskipun secara fungsi ada kesamaan dengan
mukjizat, maka akan timbul sebuah pertanyaan, bisakah disebut mukjizat?. Dalam
buku yang sama Quraish Shihab menjelaskan, selain yang membawa Nabi kejadian
luar biasa tersebut bukan dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan kalau terjadi
pada seseorang yang kelak akan menjadi Nabi maka disebut Irhash, adakalanya
terjadi pada hamba Allah yang taat yang disebut karomah, dan apabila terjadi pada
hamba yang durhaka disebut Istidroj (rangsangan untuk lebih durhaka) atau Ihanah
(penghinaan). Sebenarnya semua peristiwa tersebut merupakan tanda-tanda dan

4
bukti atas kebesaran Allah SWT agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui
akal maupun hatinya dapat beriman kepada Allah SWT.
3. Ketiga: Mukjizat adalah sebagai bukti kerasulan. Kata bukti menyangkut percaya dan
tidak percaya, seandainya seseorang telah percaya pada Rasul bahwa Ia adalah
utusan Allah SWT, adakah masih disebut mukjizat?. Dari definisi mukjizat ini, makna
bukti atau tanda inilah yang paling utama karena tujuan risalah (kerasulan) adalah
agar seseorang mampu memahami dan meyakini bahwa risalah tersebut benar-
benar dari Zat yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Adapaun bagi mereka yang sudah
percaya terhadap kerasulan Nabi beserta apa yang disampaikannya yang berupa
wahyu dari Tuhan maka peristiwa luar biasa tersebut tetap disebut mukjizat. Karena
itu fungsinya disini sebagai penjelasan dan pemantapan terhadap keyakinan mereka.

Definisi Kemukjizatan Al Qur’an

Salah satu mukjizat yang masih tersisa sampai sekarang adalah Al Qur’an. Al Qur’an
adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Mukjizat ini sangatlah berbeda dengan
mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada Nabi-Nabi terdahulu. Hal yang membedakannya
adalah karena Nabi-Nabi terdahulu ditugaskan pada masyarakat dan masa tertentu
sehingga mukjizatnya tidak berlaku sepanjang masa. Sedangkan Nabi Muhammad SAW
ditugaskan tidak hanya pada masyarakat dan masa tertentu sehingga berlaku sampai akhir
zaman.

Al Qur’an juga merupakan kitab samawi yang dengan jelas dan tegas menyatakan
bahwa tidak seorangpun yang mampu mendatangkan kitab sepertinya, meskipun seluruh
manusia dan jin berkumpul untuk melakukan hal itu. Bahkan, mereka tidak akan mampu
sekalipun untuk menyusunnya, misalnya sepuluh surat saja atau malah satu surat pendek
sekalipun yang hanya mencakup satu baris saja. Allah SWT Berfirman dalam Surat Al
Baqarah 23:

          
         
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS.Al Baqarah 23)

Sesungguhnya ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan hal yang sama dan


memenuhi tantangan tersebut merupakan bukti atas kebenaran kitab suci itu dan risalah
Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa
Al Qur’an telah membuktikan pengakuannya sebagai mukjizat. Sebagaimana Rasullullah
SAW yang membawa kitab suci Al Qur’an telah menyampaikannya kepada umat manusia
sebagai mukjizat yang abadi dan bukti yang kuat atas kenabiannya hingga akhir masa.

5
Kemukjizatan Al Qur’an dari Aspek Bahasa dan Sastra

Dari segi kebahasaan dan kesastraannya, Al Qur’an mempunyai gaya bahasa yang
khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf
ataupun kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usman Bin Jinni seorang
pakar bahasa Arab mengatakan bahwa pemilihan kosa kata didalam Al Qur’an bukanlah
suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi. Kalimat-kalimat
dalam Al Qur’an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang konkrit
sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam
suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkan. Kehalusan bahasa dan
ketata bahasaan Al Qur’an yang menakjubkan terlihat dari balaghoh dan fasohahnya, baik
yang konkrit maupun Abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi arti yang dituju
sehingga dapat komunikatif antara Allah SWT dan umatnya.

Dalam pemilihan huruf Al Qur’an dan penggabungannya antara konsonan dan vokal
sangat serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Keserasian tersebut adalah
tata bunyi antara harakah, sukun, mad, dan ghunnah. Dari panduan ini bacaan Al Qur’an
akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan dari
satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun
beragam. Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al Qur’an
mempunyai purwakarti beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam Surat Al Kahfi
ayat 9-16 yang diakhiri dengan Vocal “a” dan diiring dengan konsonana yang bervaraiasi.
Sehingga tak aneh kalau mereka Masyarakat Arab mengira Nabi Muhammad SAW sedang
berpuisi, bersyair atau bahkan sedang membaca sihir karena Keindahan Al Qur’an. Terkait
dengan gaya dan ragam bahasa ini, Al Qur’an mempunyai simponi yang tidak ada taranya
dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan hati manusia untuk menangis dan bersuka
cita. Misalnya dalam Surat An Nazi’at 1-5. Kemudian dilanjutkan dengan bentuk yang
berbeda pada ayat 6-14,yang ternyata keanekaragaman ini mempengaruhi psikologi
seseorang.

Selain irama dalam Al Qur’an, penempatan huruf-huruf Al Qur’an menimbulkan


perbedaan terhadap maknanya. Kita ketahui bahwasanya di dalam Al Qur’an terdapat
beberapa kata yang mempunyai arti yang hampir sama. Akan tetapi semua kata-kata
tersebut mempunyai porsi dan efek makna masing-masing. Dan pemilihan lafadz-lafadz
tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing atau lafadz-lafadz yang tepat maknanya.

Selain irama dan penempatan huruf di dalam Al Qur’an, keseimbangan Al Qur’an


telah membuat takjub para pakar bahasa, baik keseimbangan dalam jumlah bilangan kata
dengan antonimnya, jumlah bilangan kata dengan sinonimnya, jumlah kata dengan
penyebabnya, jumlah kata dengan akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan yang
lain( khusus ).

6
Secara umum kita dapat merangkum keistimewaan Al Qur’an sebagai berikut:

1. Kelembutan Al Qur’an secara lafdziyah yang terdapat dalam susunan suara dan
keindahan bahasa.
2. Keserasian Al Qur’an baik untuk orang awam maupun cendekiawan.
3. Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni Al Qur’an member doktrin pada akal dan
hati, serta merangkum kebenaran dan keindahan sekaligus.
4. Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau
akal dam memusatkan tanggapan dan perhatian.
5. Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam
bentuknya.
6. Mencakup dan memenuhi persyaratan global dan terperinci.
7. Mudah dipahami hanya dengan melihat secara tersurat dan tersirat.

Kemukjizatan Al Qur’an dari Aspek Isyarat Ilmiyah

Selain keistimewaan pada kebahasaannya, Al Qur’an juga mempunyai isyarat-isyarat


ilmiyah yang sebagian ulama menganggap sebagai bentuk kemukjizatan Al Qur’an. Diantara
isyarat-isyarat itu adalah bagaimana Al Qur’an berbicara tentang reproduksi manusia.
Misalnya pada Surat Al Qiyamah 36-39 dan Surat An Najm 45-46 :

           
          
 
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?.
Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),. kemudian mani itu menjadi
segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan
daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.(QS. Al Qiyaamah 36-39)

          
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. Dari air mani,
apabila dipancarkan.(QS. An Najm 45-46)

Ayat-ayat di atas pada zaman modern sesuai dengan penemuan para ahli genetika.
Padahal ayat-ayat ini turun 14 abad silam sebelum para ahli menemukannya. Ini
membuktikan bahwasanya salah satu kemukjizatan Al Qur’an adalah dari Aspek Isyarat
Ilmiyah.

Selain itu, Al-Qur`an juga mengisyaratkan tentang kejadian alam semesta, bahwa
langit dan bumi tadinya merupakan satu gumpalan seperti digambarkan dalam Surat Al-
Anbiya 30:

7
        
           
Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?(QS. Al Anbiyaa 30)

Peryataan ini baru diketahui kebenarannya pada awal abad ke 20 padahal Al Qur’an
telah memberitahukannya 14 abad silam. Tetapi masih banyak orang-orang yang
menyanggah tentang kebenaran Al Qur’an, karena mereka menyanggah kebenaran yang
jelas-jelas terbukti di depan wajah mereka oleh karena itu Allah SWT benar-benar menutup
hati mereka dari kebenaran. Allah SWT Berfirman dalam Surat Al Baqarah 18:

      


Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar),(QS. Al
Baqarah 18 )

Masih banyak lagi isyarat-isyarat ilmiyah yang disinggung oleh Al Qur’an misalnya
tentang kejadian awan, sistem kehidupan lebah, tumbuh-tumbuhan yang berklorofil dan
seterusnya, yang semua itu merangsang terhadap adanya pembuktian-pembuktian secara
empiris dan rasionalis. Dan semakin bukti-bukti itu terkuak maka semakin nyatalah
kebenaran Al Qur’an bahwa ia bukanlah buatan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana mungkin
seorang Muhammad yang 14 abad silam tidak mengenal pendidikan, tidak bisa baca tulis,
mampu menjelaskan hal itu semua.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana posisi kebenaran ilmiyah terhadap


isyarat-isyarat ilmiyah Al Qur’an?. Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa Al Qur’an
bukanlah buku kumpulan teori ilmiyah, ia lebih merupakan suatu petunjuk untuk menuju
pada suatu tujuan yang benar. Apabila kita menganalisa sedikit ayat-ayat diatas bahwa Al
Qur’an tidak hanya berhenti pada isyarat ilmiyah saja tetapi lebih pada bagaimana setelah
manusia itu memahami dan mengerti terhadap isyarat-isyarat ilmiyah tersebut.

Kemukjizatan Al Qur’an dari Aspek Kisah-Kisah Umat Terdahulu

Diantara hal-hal yang menarik yang terdapat di dalam Al Qur’an adalah Al Qur’an
memuat cerita kaum-kaum terdahulu, hingga jauh ke asal sejarah peradaban manusia yang
tak mungkin buku sejarah manapun mampu memuat semuanya secara akurat. Memang Al
Qur’an tidak memaparkan secara terperinci tentang sejarah itu, karena Al Qur’an bukanlah
buku sejarah. Al Qur’an menggunakan sejarah tersebut untuk tujuan dan maksud tertentu.
Karena sesungguhnya melalui kisah kaum-kaum terdahulu, merupakan metode Allah SWT
dalam rangka menyampaikan ajaran yang terkandung di dalamnya.

8
Bahkan Al Qur’an juga memberitahukan tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi
di masa yang akan datang. Misalnya saja berita tentang kemenangan bangsa romawi atas
bangsa Persia sekitar sembilan tahun sebelum peristiwa itu terjadi. Juga cerita tentang
datangnya seekor binatang yang dapat berbicara menjelang hari kiamat. Allah SWT
berfirman:

         


       
Dan apabila Perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi
yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada
ayat-ayat Kami.(QS. An Naml 82)

Kita dapat menyebutkan macan-macam kisah yang terdapat dalam Al Qur’an.


Pertama, kisah-kisah para Nabi dan segala hal yang menyangkut perjuangannya. Seperti
kisah Nabi Nuh AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS, Nabi Muhammad SAW dan seterusnya.
Kedua, kisah orang-orang di masa lalu selain kisah-kisah para Nabi. Misalnya kisah Ashabul
Kahfi, kisah Talut dan Jalut, kisah dua orang putra Nabi Adam AS Habil dan Qabil, kisah
Zulkarnain, Kisah Qorun dan lain-lainnya. Ketiga, kisah yang berhunungan dengan peristiwa
yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW. Seperti perang badar, perang uhud, tentang isra’
dan mi’raj dan lain-lain.

Masih banyak kisah-kisah lain yang terdapat dalam Al Qur’an yang semuanya
menunjukkan akan Kebesaran Allah SWT dan membuktikan kebenaran Al Qur’an serta agar
manusia dapat mengambil hikmah atau pelajaran daripadanya. Dan dalam kisah-kisah ini
juga Allah SWT menegur kepada siapa saja yang lalai dalam menjalankan perintah-NYA dan
menjauhi larangan-NYA.

Hukum Yang Terdapat Dalam Al Qur’an


Tidak kalah menakjubkan lagi ketika Al-Qur`an berbicara tentang hukum baik yang
bersifat individu atau perseorangan, social yang meliputi hukum pidana, perdata, ekonomi
serta politik dan hukum yang berkenaan dengan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban,
umat manusia selalu berusaha untuk membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus
sebagai landasan hidup dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut
selalu diperbaiki dan disempurnakan bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan
intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks atau
terperinci. Tapi perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an. Sebab hukum-hukum di dalam Al-
Qur`an selalu dapat diterima oleh masyarakat umum sehingga dapat berlaku sepanjang
hayat, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi
Maha Bijaksana.

9
Dalam menetapkan hukum-hukum Al-Qur`an dapat menggunakan cara-cara sebagai
berikut;

Pertama: Menetapkan hukum-hukum secara mujmal atau garis besarnya saja. Cara ini
digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok
hukum saja. Demikian pula tentang hukum-hukum mu’amalat badaniyah, Al-Qur`an
hanya mengungkapkannya secara kaidah-kaidah dan kuliyah. Sedangkan
perinciannya diserahkan pada As-Sunah dan Ijtihad para mujtahid.

Kedua: Menetapkan hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-
undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan
rampasan perang. Seperti pada Surat At-Taubah 41.

         


      
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
(QS. At Taubah 41)

Ketiga: Menetapkan hukum yang jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah
masalah hutang-piutan dalam Surat Al-Baqarah 282. Tentang makanan yang halal
dan haram dalam Surat An-Nisa’ 29. Tentang sumpah dalam An-Nahl 94. Tentang
perintah memelihara kehormatan wanita dalam Surat Al-Ahzab 33:59. dan
perkawinan dalam Surat An-Nisa`22-32.

        


          
          
            
           
         
        
            
          
          
        
           
             
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau

10
lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.(QS. Al Baqarah 282)

        


             
  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(QS. An
Nisaa’ 29)

Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Allah SWT


mengatur setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani dan
rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya saja shalat yang hukumnya
wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig atau dewasa dan tidak boleh ditinggalkan
atau diganti dengan apapun. Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan
shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan
benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait
dengan saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat yang khusyu merupakan bentuk meditasi
yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan
selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan stres hingga gila.

Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, Allah
SWT Berfiman dalam Surat Al-‘Ankabut 45:

          
           
 
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al Ankabut 45)

11
Dan perbuatan keji dan mungkar tersebut merupakan akar dari penyakit sosial.
Semua bentuk kejahatan sosial seperti politik kotor, korupsi, kriminalitas pelecehan seksual
yang semua itu disebabkan oleh nafsu syaitoniyah maka shalat adalah obat mujarab untuk
itu.

Contoh lain dari hukum-hukum Al-Qur`an adalah menanamkan sistem hukum sosial
yang berasaskan musyawarah. Allah SWT Berfirman Pada Surat Ali Imran 159:

            
           
         
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(QS. Ali Imran 159)

Ayat diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan asas
musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Nilai
yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap
diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah adalah
keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga. Ayat selanjutnya
apabila sudah sepakat dan saling bertanggung jawab maka bertawakkal kepada Allah SWT.
Hal ini mengindikasikan harus adanya kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum
dan sistem tata nilai manusia.

Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Allah SWT yang selalu


menjaga keadilan dan keseimbangan baik antara individu, sosial dan ketuhanan yang tak
mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara bijaksana. Oleh karena itu petunjuk
Al-Qur`an dalam bidang akidah, metafisika, akhlak, dan hukum-hukum yang berkaitan
dengan agama, sosial, politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi
nilainya. Dan jarang sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut
kecuali mereka yang memusatkan diri secara penuh dan mempelajarinya bertahun-tahun.
Padahal sebagaimana diketahui Nabi Muhammad SAW sang pembawa hukum tersebut
adalah seorang yang tidak bisa menulis dan membaca atau ummi dan hidup pada kondisi
dimana ilmu pengetahuan pada masa kegelapan.

Kesimpulan
Al Qur’an adalah kitab samawi yang terakhir diturunkan setelah Kitab Zabur, Taurat,
dan Injil melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Al Qur’an sendiri merupakan
salah satu mukjizat Nabi Muhammad yang terbesar dan akan kekal sampai akhir zaman.

12
Sebenarnya Al Qur’an sendiri merupakan penyempurnaan dari kitab-kitab samawi terdahulu
dan ditambah dengan aspek-aspek yang dapat diterima oleh masyarakat umum sehingga
dapat berlaku sepanjang masa, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat
yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.

Kemukjizatan Al Qur’an juga salah satu bukti bahwa Al Qur’an benar-benar Firman
Allah SWT bukan karangan Nabi Muhammad SAW. Karena bagaimana mungkin seorang
Muhammad yang 14 abad silam tidak mengenal pendidikan, tidak bisa baca tulis, mampu
membuat Al Qur’an. Diantara mukjizat Al Qur’an adalah pada aspek kebahasaannya, aspek
isyarat-isyarat ilmiyah, aspek kisah-kisah umat terdahulu dan muatan hukum yang
terkandung didalamnya.

Dilihat dari kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan arti yang luar biasa baik
yang dihasilkan dari pemilihan kosa kata ataupun kalimat serta hubungan antar keduanya.
Dan efek yang dihasilkan dari nada dan irama sangat mempengaruhi terhadap jiwa orang
yang membacanya maupun yang mendengarkannya dikarenakan setiap kalimat sarat akan
makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara jumlah
bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai sebuah
simbol yang sangat komunikatif lagi fenomenal.

Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari aspek ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an
menerangkan tentang reproduksi manusia, tentang proses penciptaan alam semesta
beserta flora dan faunanya, tentang kejadian awan, peredaran matahari dan seterusnya
yang semua itu dapat dibuktikan kebenarannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga
menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan akal manusia.

Adanya kisah-kisah umat terdahulu dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai


ajaran kehidupan yang mencakup semua tata nilai mulai awal peradaban umat manusia
hingga akhir peradabannya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh
Allah SWT agar manusia mampu mengambil hikmah daripadanya atau menjadikannya
sebagai pelajaran kehidupan. Dan ini merupakan sebuah metode yang dipilih Allah SWT
untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.

Keistimewaan Al-Qur`an yang paling besar adalah petunjuk hukum secara kooperatif,
komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan
ekonomi yang secara umum bertolak pada asas keadilan dan keseimbangan, baik secara
jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia sebagai indifidu, sosial masyarakat atau
dengan Tuhannya. Demikianlah yang dapat penulis paparkan dan akhirnya wallahu ‘alam
bish-shawab.

13
Daftar Pustaka

Al Qur’an dan Terjemahannya

Prof. Muhammad Abu Zahra,Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus,cetakan XI Mei 2008

M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Misan Bandung, cetakan V April 1999,

Dekdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 596, Balai Pustaka Jakarta, Cet. Ke II 1989

Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat
Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 33-34

Lihat Shihabuddin Qulyubi, Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Pers yogyakarta cetakan 1
November 1997, hal. 39-41

14
Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat
Press Jakarta, Cetakan ke 2 Agustus 2002

15

Você também pode gostar