Você está na página 1de 215

PROLEGOMENA

TO THE METAPHYSICS OF ISLAM:


AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE
WORLDVIEW OF ISLAM

karya:
Syed Muhammad Naquib Al-Attas

1 Prolegomena
RESUME
PROLEGOMENA

TO THE METAPHYSICS OF ISLAM:

AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE WORLDVIEW OF ISLAM

Profil Buku dan Pengarang

Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, merupakan sebuah buku yang ditulis oleh
seorang filsuf Islam yang bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Buku ini, sebagaimana
dikatakan pada bagian pengantar cetakan pertama pada tahun 1995, merupakan Bab-bab yang
pada aslinya diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah terbatas atas permintaan staf
akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta saya untuk mengelaborasi komentar tiap
monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu
Malam[1].

Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan
Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan pada tahun 1989 (III; 1990
(IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Bab II, merupakan komentar atas penjelasan teori Al-Attas
tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
Penutup, akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna yang tersembunyi dari bagian Qur’an
tentang Penciptaan dalam Enam Hari.

Sekilas tentang Al-Attas, dia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tahun 1931, dan menjalani
pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Lalu, menempuh pendidikan di The Royal
Military Academy, Sandhurst, England, lalu ke University of Malaya, Singapura. Gelar master
diraihnya di McGill University, Montreal, Canada, dan PhD di University of London, London,
Inggris, dengan konsentrasi bidang ‘Islamic philosophy’, ‘theology’ dan ‘metaphysics’. Di McGill inilah
kemudian ia berkenalan dengan beberapa orang sarjana yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb
(Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran).
Kualitas keilmuan yang dimilikinya tersebut sampai membuat Fazlur Rahman menyatakan
bahwa Al-Attas merupakan seorang pemikir ‘jenius’ yang dimiliki dunia Islam.

Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang dialaminya, antara lain: ketua
Department of Malay Language and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama ‘the
Chair of Malay Language and Literature’, dan Direktur pertama The Institute of Malay Language,
Literature and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Ia juga mengetuai The Division of Literature di
Department of Malay Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur. Juga, ia pernah memegang
posisi UNESCO expert on Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and
Ohio University, distinguished Professor of Islamic Studies and the first holder of the Tun Abdul Razak
Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the American University, Washington, Ibn Khaldun
Chair of Islamic Studies (1986), dan Life Holder Distinguished Al-Ghazali Chair of Islamic Thought,
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993.

2 Prolegomena
Professor al-Attas telah memberikan kuliah di berbagai belahan dunia dan menulis lebih
dari 30 buku dan berbagai artikel tentang Islam, menyangkut masalah filsafat Islam, teologi,
metafisika, sejarah, sastra, agama, dan peradaban. Beberapa bukunya yang ditulis dalam bahasa
Melayu dan Inggris telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Jerman, Italia,
Rusia, Bosnia, Albania, Jepang, Korea, India, dan Indonesia. Atas jasanya yang besar dalam
pengembangan bidang comparative philosophy, ‘The Empress of Iran’ mengangkatnya sebagai Fellow
di Imperial Iranian Academy of Philosophy tahun 1975. Presiden Pakistan memberikan
penghargaan ‘Iqbal Medal’ tahun 1979. Sejak tahun 1974, Marquis Who's Who in the World telah
memasukkan Al-Attas ke dalam daftar nama orang-orang yang menunjukkan prestasi istimewa
dalam bidangnya.

Al-Attas dikenal sebagai pelopor konseptualisasi Universitas Islam, yang ia formulasikan


pertama kalinya pada saat acara ‘First World Conference on Muslim Education’, di Makkah (1977).
Tahun 1987, ia mewujudkan gagasannya dengan mendirikan The International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC). Ia merancang dan membuat arsitektur sendiri bangunan ISTAC,
merancang kurikulum, dan membangun perpustakaan ISTAC yang kini tercatat salah satu
perpustakaan terbaik di dunia dalam Islamic Studies. Raja Hussein mengangkatnya sebagai
‘Member of the Royal Academy of Jordan (1994). The University of Khartoum menganugerahinya
‘Degree of Honorary Doctorate of Arts (D.Litt.), 1995. The Organization of Islamic Conference (OIC), atas
nama dunia Islam, melalui ‘The Research Centre for Islamic History, Art and Culture (IRCICA)
menganugerahi Al-Attas ‘The IRCICA Award’ atas kontribusi besarnya terhadap peradaban Islam
(2000); The Russian Academy of Science memberikan kehormatan kepada al-Attas untuk
memberikan ‘Special Presentation’ kepada para akademisi di Moskow (2001). Pemerintah Iran,
melalui lembaganya, ‘Society for the Appreciation of Cultural Works and Dignitaries’, memberikan
penghargaan kepada al-Attas ‘a special Award of Recognition’ (2002).

Disamping itu, Prof. al-Attas juga anggota ‘The Advisory Board of Al-Hikma Islamic
Translation Series, Institute of Global Cultural Studies, Binghamton University, SUNY, Brigham Young
University; anggota ‘The Advisory Board of the Royal Academy for Islamic Civilization Research,
Encyclopaedia of Arab Islamic Civilization, Amman, Jordan; dan anggota ‘The Assembly of the
Parliament of Cultures, International Cultures Foundation’, Turki.

Al-Attas telah menulis lebih dari 400 makalah ilmiah di negara-negara Eropa, Amerika,
Jepang, Timur Jauh, dan pelbagai negara Islam lainnya. Dia juga telah menulis 26 buku dan
monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia,Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis,
Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Albania.[2]

Al-Attas juga menjadi seorang yang penting karena pandangannya tentang elemen-elemen
pandangan-dunia (worldview) Islam dan Barat, serta analisanya tentang kemunduran umat Islam.
Bagaimana respon Barat sendiri terhadap pandangannya begitu bervariasi seperti dapat dilihat,
misalnya, juga disampaikan saat Konferensi Internasional para Filosof pada Januari 2000, di
University of Hawai. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan
berlangsung selama dua minggu. Tema yang dibahas ialah “Technology and Cultural Values on
the Edge of the Third Millennium”. Dalam editorialnya terhadap buku kompilasi hasil konferensi
itu, tiga ilmuwan terkenal, yaitu Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T. Ames,
mencatat bahwa paparan al-Attas yang menyorot kesesuaian dan ketidaksesuaian antara tradisi

3 Prolegomena
Barat dalam sains dan teknologi dengan sistem epistemologi dan metafisika Islam, merupakan
paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, tentang basis revisi Islami terhadap tujuan dan
premis-premis moral dalam sains dan teknologi.

Kandungan Buku Prolegomena

Penjelasan kandungan buku tersebut, akan penulis uraikan dari sebuah pertanyaan: apa
signifikansi dari buku Prolegomena To The Metaphysics Of Islam? dan kemudian mengelaborasi unsur-
unsur mendasar pandangan-dunia Islam yang disajikan di dalamnya.

Buku tersebut memiliki signifikansi terhadap umat Islam dan masyarakat Barat. Khusus
bagi umat Islam, signifikansi tersebut terletak pada persoalan kemunduran umat Islam dewasa
ini. Kemunduran tersebut, menurut Al-Attas, terletak pada persoalan ilmu, bukan hukum
maupun politik. Kemunduran yang terjadi pada umat Islam, menurutnya, disebabkan oleh
korupsi atau kerusakan ilmu. Kerusakan ilmu yang dimaksud bahwa ilmu yang kini beredar di
seluruh dunia sebenarnya tidak netral dan dirasuki oleh karakteristik peradaban Barat yang
bermasalah. Hal ini diungkapkan di dalam beberapa bagian buku tersebut, seperti bagian
Pengenalan, bab 1: Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, bab 2: Kebahagiaan, dan bab 3: Islam dan
Filsafat Sains. Sorotan yang sedemikian tajam diberikan terhadap persoalan ini, sebab ilmu yang
telah dimuati karakteristik Barat telah membuat umat Islam – yang secara internal juga memiliki
masalah pemahaman keislaman – tertipu oleh slogan objektifitas dan ilmiah yang membuat
mereka tidak kritis dalam menerima apa yang datang dari Barat – secara umum dari luar. Hal ini
diperoleh saat Al-Attas berusaha mengenali Barat secara tepat. Ia kemudian mendefinisikan Barat
sebagai :

Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud peradaban yang telah berevolusi dari leburan historis, filsafat,
nilai dan cita-cita dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka dengan Yudaisme dan Kristianitas,
dan pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan
Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan epistemologis dan fondasi pendidikan dan etika
dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian berpolitik dan pemerintahan; dari Yudaisme dan
Kristianitas unsur keyakinan keagamaan; dan dari orang-orang Latin, Jerman, Celtic, dan Nordik semangat
independensi dan jiwa kebangsaan dan nilai tradisional mereka, dan pengembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan alam dan fisik dan teknologi dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah
mendorong hingga kekuatan puncak. Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada
peradaban Barat dalam nuansa pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi
pengetahuan dan jiwa rasional dan saintifik telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan
tempat kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan lebur dengan semua unsur lain yang
membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Tetapi fusi dan peleburan ini dengan demikan
berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai dari peradaban dan
kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat diselesaikan ke dalam kesatuan yang harmonis, karena
itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan-lemah, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang
bertentangan dan semuanya merefleksikan sebuah visi dualistik tentang realitas dan kebenaran yang
menembus semua yang terkunci dalam perang yang putus asa. Dualisme terdapat di semua aspek
kehidupan dan filsafat Barat: yang spekulatif, sosial, politis, kebudayaan – seperti itu meliputi dengan
ketidaktawaran (inexorableness) yang setara agama Barat.[3]

4 Prolegomena
Definisi tersebut ternyata kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang paling menohok
dalam mengungkapkan kelemahan peradaban Barat, terbukti dengan diapresiasinya dan
digunakannya definisi tersebut dalam studi tentang Barat. Inilah hal yang menjadikan buku ini
juga memiliki signifikansi terhadap peradaban Barat. Mengungkapkan Barat secara tepat
merupakan sesuatu yang sebenarnya dilakukan untuk mengidenfitikasi entitas, yang secara
mendalam bertentangan secara permanen (permanent confrontation).[4]

Al-Attas lebih lanjut menegaskan bahwa umat Islam juga memiliki persoalan internal yang
terjadi disebabkan pembatasan makna kosa kata kunci dalam pandangan-dunia Islam.
Penyempitan dan perluasan tidak berdasarkan sistem akar kata merupakan salah satu penyebab.
Al-Attas menyatakan pada bagian Pengenalan bahwa:

kata-kata yang mengandung makna yang fokus di atas kebenaran mendasar yang khas bagi Islām,
contohnya di antara yang lain, ‘pengetahuan’ (‘ilm), ‘keadilan’ (‘adl), tindakan yang betul (adab),
‘pendidikan’ (ta’dīb), telah dirusakkan, sehingga ‘pengetahuan’ menjadi terbatas pada jurisprudensi, atau
yang hanya berdasarkan pada bentuk terbatas dari rasio dan pengalaman inderawi; ‘keadilan’ bermakna
persamaan yang tidak memenuhi syarat, atau hanya prosedur; ‘tindakan yang betul’ bermakna etiket yang
hipokrit; dan ‘pendidikan’ bermakna jenis pelatihan yang memimpin kepada akhir yang diturunkan dari
rasionalisme filosofis dan sekular.[5]

Oleh karena itu, menurutnya, menjadi kewajiban pada cendekiawan muslim dalam
mengawasi penggunaan kosa kata kunci tersebut sehingga umat Islam tetap terpelihara dari
kebingungan yang tidak perlu, khususnya dalam persentuhan dengan peradaban lain. Pandangan
yang sedemikian ketat, disebabkan pandangan Al-Attas bahwa bahasa mencerminkan ontologi.
Bahasa memuat pandangan-dunia suatu peradaban. Islamisasi, menurutnya, dimulai dari bahasa.
Oleh karena itu ia kemudian memperkenalkan pula apa yang disebutnya sebagai bahasa Islami.
Sebab bahasa dapat dikategorikan sebagai Islām ada dengan kebajikan dari keumuman kosakata
dasar Islām yang melekat dalam setiap bahasa tersebut, istilah dan konsep kunci dari setiap
bahasa sebaiknya memang mengandung makna yang sama, karena mereka semua terlibat dalam
jaringan konseptual dan semantik yang sama.[6]

Dalam persoalan bahasa tersebut ia juga mengatakan bahwa jika Islamisasi bermula dari
pikiran yang terwujud kepada bahasa, maka begitu pula sekularisasi. Oleh sebab itu ia
mengatakan bahwa kebingungan yang tidak perlu mengenai kosa kata kunci dalam pandangan-
dunia Islam, secara utama disebabkan oleh penerjemahan sekularisasi dan sekularisme ke dalam
bahasa Arab Kristen dan kemudian dibiarkan digunakan dalam pemikiran Islam kontemporer
dengan kata ‘almāniy. Padahal tidak ada padanan antara sekularisme dengan apa yang ada pada
Islam. Penerjemahan ini diperparah dengan tidak sadarnya para penerjemah tersebut dengan
perubahan makna sekularisme dalam kesadaran dan pengalaman peradaban Barat. Makna yang
diterjemahkan oleh para penerjemah Arab Kristen tersebut sebenarnya merupakan makna yang
ada pada masa Gereja Latin Awal. Sedangkan makna yang sekarang ada adalah apa yang
disampaikan oleh pendukung utamanya yaitu Van Peurseun. [7] Pada akhirnya sekularisme
ataupun sekularisasionisme merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Sebab,
sekularisme menghapuskan hubungan alam dengan Tuhan, menghapuskan legitimasi ilahi
terhadap persoalan siyasah, dan meletakkan semua nilai-nilai dalam wilayah yang relatif dengan
asumsi bahwa semua nilai-nilai tersebut merupakan buatan manusia.

5 Prolegomena
Mulailah kiranya dapat dilihat bahwa Prolegomena menjadi buku yang sangat penting sebab
buku tersebut menyoroti unsur-unsur mendasar pandangan-dunia Islam yang memiliki ikatan
yang erat dengan gagasan umat Islam tentang tajdid. Al-Attas mengungkapkan bahwa unsur-
unsur mendasar tersebut dan konsep kunci bersangkutan memiliki kegamblangan yang
mendalam, di atas gagasan kita tentang perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Menurut Al-
Attas, secara singkat:

Konsep ‘perubahan’, ‘perkembangan’, dan ‘kemajuan’ mengandaikan situasi dimana kita menemukan diri
kita dibingungkan oleh campuran kebenaran dan kepalsuan, akan kenyataan dan ilusi, dan menjadi
tawanan dalam wilayah yang ambigu. Dalam situasi yang bertentangan, tindakan kita yang positif dalam
pertunjukkan kebebasan untuk memilih yang lebih baik, untuk menerima apa yang baik dan relevan dengan
kebutuhan kita, untuk secara sungguh hati-hati dalam keputusan kita akan kebutuhan, sementara itu tetap
mempertahankan usaha kita untuk kembali kepada jalan lurus dan mengarahkan langkah kita dalam
kesepakatan dengannya – usaha semacam itu, yang menyertakan perubahan, adalah perkembangan; dan
kondisi kembali seperti itu, yang terkandung dalam perkembangan, adalah kemajuan.[8]

Unsur-unsur mendasar tersebut terdiri dari, untuk menyebutkan yang paling penting dari
unsur-unsur mendasar pandangan-dunia, yakni, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān);
tentang ciptaan-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang
agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān); tentang kebahagiaan.

Kini penulis akan mengelaborasi secara ringkas tapi cukup mendalam tentang unsur-unsur
mendasar tersebut, berdasarkan bab-bab yang ada dalam Prolegomena, meski tidak berurutan.

Pada Bab 1: Islam, Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, Al-Attas menawarkan sebuah
definisi agama berdasarkan pada penanda dīn. Definisi ini merupakan suatu yang asli baru
pertama kali dibuat olehnya. Disebabkan penanda atau kosa kata kunci dalam pandangan-dunia
Islam berputar dalam jaringan semantik yang berdasarkan akar kata, definisi tersebut memang
merupakan aplikasi Al-Attas terhadap prinsip tersebut. Definisi tersebut diberikan juga dengan
pertimbangan bahwa definisi agama dari peradaban Barat – yakni, religion – tidak sama dengan
apa yang ada dalam Islam.

Ia mengatakan bahwa:

Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang meskipun
terlihat berlawanan satu sama lain, namun secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok
yang diturunkan semuanya menampilkan diri sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan
‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam
dirinya semua makna mungkin yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan
konsep Islām yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam
pengalaman manusia, kemunculan pertentangan pada makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan
kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-dasar manusia itu sendiri,
yang direfleksikan secara setia. Dan kekuatan mereka untuk merefleksikan sifat-dasar manusia secara setia
adalah demonstrasi yang jelas itu sendiri akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung
kebenaran.[9]

Penanda dīn, menurutnya, dapat dipadatkan menjadi empat makna utama yaitu, (1)
keberhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Ia

6 Prolegomena
lebih lanjut mengatakan bahwa kata kerja dana yang diturunkan dari dīn mengandung makna
sedang berhutang, termasuk pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, beberapa dari
mereka berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, itu
untuk mengatakan, seorang da’in menyertainya bahwa seseorang memerintah dirinya sendiri,
dalam pengertian hasil dan mematuhi, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga,
dengan cara, kepada kreditor, yang juga sama ditunjuk sebagai da’in[10]. Ada juga yang
terkandung dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada
di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah
melibatkan pengadilan: daynunnah, dan kesaksian: idanah, sebagaimana kasus tersebut. Semua
penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan
dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang
ditunjuk dengan mudun atau mada’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim,
pengatur, atau pengelola, seorang dayyan. Jadi sudah ada di sini dalam pelbagai penggunaan
hanya dari kata kerja dana, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar
kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas[11].
Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain
maddana[12] yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan;
darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial.
Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar pada kondisi berhutang penanda lain
yang berhubungan, yang lain seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi
diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur, pemerintah terdapat tanda yang diturunkan
makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat
dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada
beberapa waktu yang dijanjikan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan,
otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari
konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang
konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan
perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap
sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah
kondisi yang biasa atau terbiasa. Dari sini, kemudian, kita dapat lihat logika dibalik turunan dari
penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah.
Pada tahap partikular ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar
sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan kecenderungan alamiah manusia untuk
membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah
kerajaan, sebuah kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan
kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih
mendalam tentangnya.

Dalam bab 1, Al-Attas kemudian juga mengelaborasi tentang bagaimana seseorang secara
alamiah akhirnya menyadari bahwa ia sedang berhutang kepada Tuhan. Hutang tersebut
termasuk juga dirinya atau eksistensinya. Hutang tersebut dikembalikan kepada Tuhan dengan
dirinya sebagai alat bayar hutang itu sendiri. Manusia yang membayar hutang tersebut akan
menjadikan dirinya sebagai pelayan Tuhan. Terdapat dua penanda yang menunjuk kepada
makna pelayan Tuhan yaitu khadim dan ‘abid. Penanda pertama menunjuk kepada makna bahwa
pelayanan seseorang kepada Tuhan merupakan suatu hal yang beranjak dari keinginan dirinya
sendiri. Khadim merupakan pihak yang tidak terikat dengan pihak yang dilayani. Dari sini kita
langsung menuju penanda kedua yaitu, ‘abid yang bermakna bahwa seseorang yang menjadi

7 Prolegomena
pelayan bersifat terikat dengan yang dilayani. Sehingga seorang pelayan melayani dengan bentuk
yang sesuai dengan permintaan yang dilayani. Meskipun dua penanda tersebut nampak
berlawanan, sebenarnya tidak demikian. Kedua penanda tersebut sebenarnya menunjuk kepada
aspek bahwa manusia memiliki pilihan (ikhtiyār) untuk melayani Tuhan dan saat dia sudah
memilih maka ia melayani Tuhan sesuai dengan apa yang disampaikan Tuhan. Dari sini juga, Al-
Attas mengatakan bahwa ‘abid lebih tepat dalam menunjuk pelayan Tuhan, yang pelayanannya
disebut ‘ibadāt.

Saat manusia melayani Tuhan, maka pelayanannya tersebut berbuah kebaikan, seperti bumi
yang mati kemudian ditimpa hujan yang berulang-ulang dan menumbuhkan pelbagai tumbuhan
di atasnya. Pengembalian hutang atau pelayanannya pun kemudian dibalas dengan berlipat
ganda. Dalam pelayanannya, sebenarnya manusia – yang ditunjuk sebagai ‘abid – juga sedang
memenuhi tujuan penciptaannya, sebagaimana disampaikan dalam Qur’an:

‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’buduni).[13]

Maka menjadi masuk akal jika pelayanan yang dilakukan oleh manusia dirasakan oleh
manusia sendiri sebagai sesuatu yang alamiah. Kealamiahan ini akhirnya beririsan dengan apa
yang dikenal sebagai fţtrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah[14]. Fitrah adalah pola yang
berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala sesuatu. Hal tersebut adalah cara penciptaan
oleh Tuhan, sunnat Allah, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan
untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Itu adalah hukum Tuhan. Ketundukan
kepadanya membawa kondisi harmonis, karena itu bermakna perwujudan apa yang inheren
dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan, karena
itu bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang
benar. Fiţrah adalah cosmos sebagaimana dilawankan dengan chaos; keadilan sebagaimana
dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri
sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan
kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia
diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar,
mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga
penyembahannya tersebut, tindakan kesalehan, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan.
Satu makna dari fiţrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian oleh manusia[15].
Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan
sadar, dan ketundukan ini tidak menyertakan kehilangan ‘kebebasan’ untuknya, karena
kebebasan dalam faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia
yang tunduk pada Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini.

Dari sini pula, Al-Attas menegaskan pandangannya bahwa hanya ada satu agama,
sedangkan yang lainnya hanya merupakan keagamaan. Sebab, hanya Islamlah yang dilekatkan
dengan dīn secara sejati sedangkan ketika dīn digunakan untuk agama lain, sebenarnya hanya
dilekatkan secara metaforis.

Hal ini secara gamblang dikatakannya bahwa ketundukan menunjuk kepada kesadaran dan
ketundukan sukarela, karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat
bermakna ketundukan sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti
kepercayaan-kuat (faith) atau kepercayaan-lemah (belief) adalah inti semua agama, tetapi kita
mempertahankan bahwa tidak semua agama menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah

8 Prolegomena
ketundukan jika bermakna jenis yang sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati adalah
tindakan berkelanjutan yang dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis
yang hanya beroperasi di alam hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh
sebagaimana perbuatan ditampilkan dalam kepatuhan pada hukum Tuhan. Ketundukan pada
keinginan Tuhan bermakna juga kepatuhan pada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian
ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Qur’an Suci ketika Tuhan berkata:

‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan (aslama) wajahnya
(cth. seluruh dirinya) pada Tuhan...?’[16]

Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn,
tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya pada Tuhan adalah yang
terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia
berkata dalam Qur’an Suci:

‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak pernah akan diterima
darinya...”[17]

dan lagi:

‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’[18]

Menurut Qur’an Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena
segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan,
sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang
membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah bahwa ketundukan menurut Islām adalah
ketundukan yang tulus dan total pada kehendak Tuhan, dan ini ditetapkan secara sukarela sebagai
kepatuhan absolut pada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan
dalam Qur’an Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut:

‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk di langit dan
bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-Nya, dan kepada-Nyalah mereka
semua dikembalikan.’[19]

Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di sinilah
keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain[20]. Bentuk ini, yang merupakan cara
institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan
perilaku keagamaan, etis, dan moral – cara yang dengannya ketundukan pada Tuhan ditetapkan
dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi Ibrahim
(Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian atasnya!).
Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang benar dīn al-
qayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung secara sempurna,
hanifan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaan-
kuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim,
meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk
yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain mengembangkan sistem atau bentuk
ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah
Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama ahlu’l-kitab – Orang-Orang Berbuku

9 Prolegomena
(People of the Book) – yang telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri
dengan tradisi yang berdasarkan Wahyu. Adalah untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan
ini yang, untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang
”terpaksa”[21].

Kembali pada pelayanan yang dilakukan oleh manusia, maka jiwa pelayan yang telah
memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak
ada yang kenal lebih baik tentang Rabbnya daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang
dengan pelayanan seperti itu mendapatkan keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, maka ‘ibādah
bermakna, pada akhirnya, pada tahap lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah[22].

Pandangannya tentang agama sebenarnya juga berputar atau berpusat pada Perjanjian
Manusia di alam arwah, yang terungkap dalam Qur’an surat Al-‘Araf ayat 172. Pada bab ini juga
Al-Attas mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan. Ia mengatakan bahwa
pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan oleh Tuhan pada manusia;
dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri atau penelusuran rasional berdasarkan
pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui tindakan
penyembahan dan ketaatan, tindakan dalam pelayanan pada Tuhan (‘ibadat) yang, tergantung
pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang diciptakan Tuhan untuk
menerimanya, manusia tersebut menerima dengan pandangan langsung atau perasaan spiritual
(dhawq) dan terbukanya selubung pada visi spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini
menyentuh pada diri atau jiwanya, dan pengetahuan tersebut – seperti sudah kita sentuh pada
penjelasan kita tentang hubungan analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan
mikrokosmos – memberikan pandangan mendalam pada pengenalan akan Tuhan, dan karena
alasan tersebut, adalah pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan tersebut secara pokok
tergantung rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sebagai
persyaratan akan kemungkinan pencapaiannya, itu menyertakan bahwa pengetahuan tentang
prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan yang esensial dari Islām (arkan al-
islām dan arkan-al-iman), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi dalam
kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyarat tersebut,
harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhid), dan mempraktekkan
pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sehingga setiap manusia
Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia siap pada Jalan Lurus (sirat
al-mustaqin) menuju Tuhan. Kemajuan lebih lanjutnya pada jalan peziarah tergantung pada
perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa melayani Tuhan seperti mereka
melihat-Nya; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa
yang membentuk kebajikan tertinggi (ihsan). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio,
pengalaman dan observasi; pengetahuan itu bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk pada
nilai pragmatis dari objek. Sebagai sebuah ilustrasi dari pemilahan antara dua jenis pengetahuan
itu kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke
lingkungannya. Pada awalnya dia mengetahui tetangganya yang baru hanya dengan perkenalan;
dia mungkin tahu tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan;
dia mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian
informasi lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran
dari orang lain yang dia tahu dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan
tempat kerja dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang
hati-hati lebih lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan

10 Prolegomena
cara ini tanpa kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun
pengetahuan akannya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak
masalah berapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan akan pengetahuan tentang
tetangganya yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang
dia tidak akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan,
pemikirannya tentang hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik
dan rincian lain seperti disebutkan. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan untuk
mengenali orang tersebut secara langsung dan memperkenalkan diri padanya; dia sering
mengunjungi, makan dan minum dan berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun
persahabatan yang terpercaya, pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima
secara kebetulan penyampaian secara langsung dari temannya banyak rincian personal,
pemikiran dan perasaan rahasia yang kini dalam kilatan yang disampaikan dengan cara yang
mungkin tidak akan dapat dicapai seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian.
Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap,
karena kita tahu bahwa tidak masalah seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan
temannya – atau teman, atau istri dan anak, atau orang tua, atau kekasih – akan selalu ada
baginya penutup atau misteri yang membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti
rangkaian ukiran bola gadīng Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan
penyampaian secara langsung dari orang lain. Dan orang lain akan tahu dengan merenungkan
diri dan sifat-dasar tidak terbatas akan dirinya yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya,
sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang dia ketahui. Setiap
orang seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga dengan kegelapan, dan
kesepian yang dia tahu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya secara lengkap.
Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan
pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan pengetahuan tentang
dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan seperti itu menyentuh pada tingkatan
yang sama dalam wujud, dan ini adalah sebab komunikasi gagasan dan perasaan menjadi
mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, izin untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang
mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan kode perilaku dan sikap yang diterima
oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat, pemberian pengetahuan tentang
dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan,
kesetiaan, ketaatan orang lain, dan kapasitas untuk menerima – sebuah periode yang membentuk
ikatan yang pasti dari keintiman antara berdua.

Dari uraian di atas, kemudian Al-Attas mengaitkan pandangan tersebut dalam


hubungannya dengan Tuhan. Dalam perhatian pada kondisi pertama, Dia katakan dalam Qur’an
Suci bahwa Dia telah ciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan dalam
pengertian yang mendalam secara utama bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga tujuan-Nya
menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam Tradisi Suci
(Hadits Qudsiyy):

”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku ciptakan makhluk
sehingga Aku mungkin dikenali.”

Jadi Tuhan mengungkapkan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ
komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-ruh), yang
mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya.

11 Prolegomena
Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat percikan
asal Ilahiyah yang membuatnya mungkin untuk menerima komunikasi di atas dan memiliki
pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi kedua.
Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan ketundukan
tulus pada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut pada hukum-Nya; dengan perwujudan yang
sadar dalam diri pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan penunjukkan ketaatan
dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan untuk-Nya, sampai orang seperti itu
memperoleh tempat perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya mungkin
dirundīngkan atasnya dengan pengetahuan yang diberikan sebagai rahmat untuknya dimana Dia
telah ciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang diberikan. Seperti itulah kata-kata-
Nya dalam Tradisi Suci:

“Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya;
dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia mendengar dengan-Ku, dan
penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan
tangannya, sehingga dia mengambil dengan-Ku.”

Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian itu dengan sendirinya
sudah jelas. Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian itu, dengan kebajikan sifat-
dasarnya, memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang
diperoleh dari pengetahuan jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada
jiwa atau diri manusia dan pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan
akan prasyaratannya, yang sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini,
tidak mungkin terpisah dari ikatan dengan etika dan moralitas Islām. Dengan pengetahuan dan
praktek yang mengikutinya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku sehari-
hari dan meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan pertama
menyibak misteri Wujud dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia
dan Rabbnya, dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama dari
mengetahui, pengetahuan tentang persyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan esensial
untuk pengetahuan jenis yang kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa
bimbingan dari yang sebelumnya, tidak dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam
kehidupannya, tetapi hanya membimbing pada kebingungan, mengacaukan, dan menjeratnya
dalam labirin pencarian tak berujung dan tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi
manusia bahkan pada pengetahuan pertama dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada
jenis yang kedua, sehingga kemungkinan pengembaraan terus menerus yang dihimbau oleh
penipuan intelektual dan khayalan-diri dalam keraguan yang konstan dan kecurigaan adalah
selalu nyata. Manusia individu tidak memiliki waktu untuk menghabiskan persinggahan
sementara di bumi, dan seseorang yang dibimbing secara benar tahu bahwa pencarian
individualnya untuk pengetahuan jenis kedua harus membutuhkan batas untuk kebutuhan
praktisnya dan sesuai dengan sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat meletakkan
pengetahuan dan dirinya di tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati dan dengan
demikian mempertahankan kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud mencapai
keadilan sebagai akhirnya, Islām membedakan pencarian untuk dua jenis pengetahuan, membuat
perolehan pengetahuan tentang persyaratan akan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua
muslim (fard ’ayn), dan yang lain kewajiban hanya pada beberapa muslim (fard kifayah), dan
kewajiban yang kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam
kasus mereka yang menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk pembuktian diri

12 Prolegomena
mereka sendiri. Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua
kategori itu sendiri adalah prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang
mencarinya, karena semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama adalah baik
bagi semua manusia, sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua yang baik untuknya;
untuk manusia yang mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh yang
harus dipertimbangkan dalam menentukan peran sekular dan posisi sebagai warga negara, tidak
serta merta menjadikannya manusia yang baik. Manusia baik yang dimaksud secara utama
menjadi Nabi Muhammad Saw. sebagai modelnya. Pengakuan seluruh dunia, bahkan pengakuan
Allah Swt. tentang pribadi Rasulullah Saw. merupakan salah satu bukti yang menegaskan betapa
pribadi Rasul merupakan teladan bagi seluruh manusia dan jin. Sehingga tidap pernah ada dalam
sejarah peradaban Islam keterpisahan hubungan antara kelompok pemuda, usia-pertengahan,
dan kelompok tua. Termasuk juga tidak ada persoalan gender, sebab Rasul juga merupakan
teladan bagi para perempuan. Sosoknya, yang kemudian ditegaskan sebagai insan kamil,
merupakan sosok ideal yang juga real, yang dapat ditiru oleh manusia dan jin.

Pada bab 2: Makna Kebahagiaan, Al-Attas mengemukakan bahwa kebahagiaan dalam


Islam berbeda dengan pandangan Barat. Ia mengatakan bahwa tradisi pemikiran Barat menerima
posisi bahwa terdapat dua konsepsi kebahagiaan: yang kuno adalah Aristoteles; dan yang modern
secara bertahap muncul dalam sejarah di Barat sebagai hasil dari sekularisasi. Konsepsi
Aristotelian mempertahankan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini; bahwa
itu adalah akhir pada dirinya sendiri (end of itself); dan bahwa itu adalah kondisi yang melewati
perubahan dan beragam dalam derajat dari waktu ke waktu; atau itu adalah sesuatu yang tidak
dapat dialami secara sadar dari masa ke masa dan dapat dinilai telah dicapai ketika kehidupan
duniawi seseorang, jika secara baik dihidupi dan dibantu oleh nasib baik, telah mencapai sebuah
akhir. Konsepsi modern setuju dengan konsep Aristotelian bahwa kebahagiaan hanya
berhubungan dengan dunia ini dan adalah akhir pada dirinya sendiri, tetapi sementara yang
terdahulu dianggap dalam pengertian standar perilaku yang tepat, yang kemudian
menganggapnya sebagai kondisi psikologis sambungan yang tidak memiliki hubungan dengan
kode moral. Hal itu adalah konsepsi kebahagiaan modern yang kini diakui lazim di Barat. Kita
tidak setuju dengan posisi Aristotelian bahwa kebajikan dan kebahagiaan hanya terkait dengan
dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam
urusan kehidupan duniawi menjadi tidak terjangkau. Kita tidak membatasi pemahaman kita
tentang kebahagiaan hanya dalam wilayah temporal, kehidupan sekular, karena berdasarkan
pandangan-dunia kita, kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan alam akhirat
memiliki ketegasan intim dan mendalam pada hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan
karena bahwa dalam kasus terdahulu kebahagiaan adalah kondisi spiritual dan permanen
terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita
alami dan sadari yang ketika sekali dicapai bersifat permanen. Karena konsepsi kebahagiaan
modern, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang diketahui dan dipraktekkan orang-orang di
masa lalu oleh masyarakat pagan.

Dari pandangan demikian kemudian ia mengajukan pandangan kebahagiaan dalam Islam,


yang berkaitan dengan kebahagiaan (cth. yang kita maksud sa’ādah) sebagaimana diketahui dalam
pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh tunduk pada Tuhan dan mengikuti
petunjuk-Nya adalah bukan akhir pada dirinya sendiri sebab kebajikan tertinggi dalam
kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang terus berlangsung dalam kehidupan
menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia;

13 Prolegomena
maupun kondisi pikiran, atau perasaan yang melewati kondisi perhubungan, maupun
kenikmatan maupun hiburan. Kebahagiaan ada urusannya dengan kepastian (yaqīn) akan
Kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan
kepastian adalah kondisi permanen kesadaran yang alamiah terhadap apa yang permanen dalam
manusia dan diterima oleh organ kognitif spiritual yang merupakan hati (qalb). Kebahagiaan
adalah kedamaian dan keamanan dan ketenangan hati (tuma’nīnah); itu adalah pengenalan
(ma’rifah) dan pengenalan (knowledge) adalah kepercayaan-kuat (īmān) yang benar. Adalah
pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia gambarkan diri-Nya dalam Wahyu yang asli, adalah
juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat
dengan Pencipta ditemani dengan tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) sesuai dengan pengetahuan
tersebut kondisi yang dihasilkannya adalah keadilan (‘adl). Hanya dengan pengetahuan macam
itu cinta Tuhan dapat diraih di kehidupan bumi.

Dari interpretasi makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan
kesimpulan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir pada dirinya sendiri; bahwa akhir
dari kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan duniawi terdapat dua tingkatan
kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi
perhubungan yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika
keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kebajikan.
Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang secara sadar dialami, menjadi
lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diakui sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku
dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau sakit. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul
secara bersamaan dengan yang pertama kecuali bahwa keinginan hilang dan kebutuhan
dipuaskan. Tingkatan kebahagiaan kedua ini adalah sebuah persiapan untuk tingkatan ketiga di
alam akhirat yang merupakan kondisi tertinggi adalah melihat Tuhan. Tidak ada perubahan
makna dan pengalaman kebahagiaan ini dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman.

Untuk menguatkan pandangannya tentang kebahagiaan, Al-Attas juga mengungkapkan


antonim dari kebahagiaan (sa’adah) yakni, penderitaan (shaqawah). Leksikon bahasa Arab pada
waktu terdahulu dan kembali pada penggunaan Qur’an menggambarkan shaqawah sebagai
mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great misfortune’, ‘misery’, ‘straitness of
circumstance’, ‘distress’, ‘disquietude’, ‘despair’, ‘adversity’, ‘suffering’. Masing-masing kondisi tersebut
jelasnya melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawah adalah istilah
umum yang meliputi semua bentuk penderitaan, sehingga istilah lain yang mengungkapkan
kondisi yang sama tapi lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka hanya unsur penyusun
dari shaqawah. Ini termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui, kesendirian
penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada dibaliknya, ramalan
ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank (kesempitan,
kekakuan, menderita dalam jiwa dan intelek memandang ketidakmampuan untuk memahami
sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan menyesali
sesuatu yang telah hulang dan tidak akan dialami lagi, seperti – ketika menunjuk pada akhirat –
melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan dan
menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian bagaimana dia
telah kehilangan jiwanya dan meratap dīngin akan kemustahilan kembali ke kehidupan duniawi
untuk membuat perubahan). Istilah tersebut digunakan secara khusus untuk mereka yang
berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi dunia ini dan akhirat.
Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan berlaku semuanya

14 Prolegomena
dalam kehidupan ini adalah, contoh, diq (kesukaran, hati dan pikiran, mendesak); hamm
(kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan ketakutan bencana
yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan yang ditakuti yang
akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi keras, sulit dan tidak
menyenangkan).

Menurutnya, salah satu hal penting yang membuat manusia bahagia atau menderita adalah
berkaitan dengan petunjuk Tuhan. Maksudnya, ketika seseorang tidak mengambil petunjuk
Tuhan dalam menjalani kehidupannya, maka sebenarnya dalam tataran mendasar ia sedang
menderita meskipun secara aksidental ia nampaknya bahagia. Begitu pula sebaliknya, jika
manusia mengambil petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya maka lapisan dasar
kehidupannya merupakan kebahagiaan walaupun secara lahir ia terlihat menderita. Penderitaan
tersebut pada orang yang mengambil petunjuk hanya akan bermakna bala yaitu ujian terhadap
diri orang tersebut, bukan shaqawah.

Al-Attas berpandangan secara tegas bahwa peradaban Barat yang kini ada merupakan
peradaban yang telah membuang petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Meskipun
secara lahiriah peradaban Barat nampak menguasai teknologi, sains, memiliki harta dan hal-hal
lain, sebenarnya pada lapisan-dasar kehidupan mereka adalah penderitaan. Penderitaan yang erat
kaitannya, dikatakan oleh Al-Attas, sebagai tragedi. Tragedi tersebut bukan hanya berada pada
tataran seni, melainkan sudah berada pada tataran kehidupan. Bahkan, tragedi yang ada
sebenarnya ditiru (mimesis) oleh manusia Barat untuk melihat kehidupannya dan akhirnya
mencapai katharsis. Kisah-kisah tragedi yang ada pada karya-karya sastra Yunani yang kemudian
juga dikaji lagi pada masa renaisans, menguak sebuah kenyataan bahwa manusia telah
ditinggalkan di dunia tanpa tahu dari mana, di mana, dan hendak ke mana. Ia dipikulkan
tanggung jawab sedemikian besar untuk menjalani kehidupan yang kemudian tidak lagi melihat
apa yang dituju, namun hanya menikmati penderitaan yang dialaminya. Peradaban Barat seperti
seorang Sisipus, yang menggelindingkan batu ke atas bukit untuk menggelindikannya lagi ke
bawahdan begitu seterusnya. Kondisi yang mirip dengan permainan tersebut berubah menjadi
permainan yang serius dan tidak menyenangkan.

Qur’an menghubungkan bagaimana Adam digoda Setan, tidak patuh pada Tuhan, dan
membiarkan dirinya digoda Setan. Namun, Adam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka dan
tidak seperti Setan, mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada
ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri, dan meminta rahmat dan ampunan Tuhan.
Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama Setan ke dunia ini untuk menghidupi
kehidupan percobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Adam dan keturunannya bahwa
petunjuk-Nya akan datang dan siapapun yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat
maupun jatuh pada penderitaan; tetapi siapapun yang berpaling dari pengingatan akan Dia tentu
akan menghidupi kehidupan yang merana diserang oleh keraguan dan tegangan-dalaman (inner-
tension) ditinggikan oleh kebutaan pada kebenaran dan realitas keadaan sulit mereka[23].

Pada Bab 3: Islam dan Filsafat Sains, Al-Attas menyatakan bahwa bahwa sains menurut
Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil atau interpretasi alegoris dari benda-benda
empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap
pada tafsir atau interpretasi dari penampakan atau makna yang jelas dari benda-benda dalam
alam. Penampakan dan makna mereka yang jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam

15 Prolegomena
sistem hubungan; dan tempat mereka menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas
kebenaran dari arti mereka dikenali. Ta’wil secara dasar bermakna mendapatkan makna pokok
dan primordial dari sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi dalam kasus ini, terdapat hal-hal yang
makna pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan yang secara mendalam berakar dalam
pengetahuan yang menerima mereka sebagaimana adanya melalui kepercayaan-kuat yang benar
yang kita sebut iman. Ini adalah posisi kebenaran: bahwa terdapat batas makna dari sesuatu, dan
tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti mereka.

Diungkapkan pada bagian bab awal, filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan
mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi itu
pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains dalam studi alam. Adalah interpretasi
tentang pernyataan ini dan kesimpulan umum sains dan arah sains sepanjang garis yang
ditawarkan oleh interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka
tawarkan pada kita hari ini problem paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara
umum dalam urusan agama dan sejarah intelektual kita.

Sebuah inti sari dari asumsi dasar mereka adalah bahwa sains adalah satu-satunya
pengetahuan otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh pada fenomena; bahwa
pengetahuan ini, termasuk pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang
diturunkan darinya, adalah khas untuk zaman partikular dan dapat berubah pada zaman lain;
bahwa pernyataan saintifik harus mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan
oleh saintis; bahwa apa yang seharusnya diterima adalah hanya teori yang dapat direduksi pada
unsur inderawi, bahkan meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh
pada wilayah yang melampaui lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas
seharusnya tidak dihubungkan pada rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang
didefinisikan dengan universalitas digambarkan sebagai realitas melampaui apa yang di
observasi; bahwa isi pengetahuan adalah kombinasi dari realisme, idealisme, dan pragmatisme;
bahwa tiga aspek tersebut dari kognisi bersama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa
pengertian adalah subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara
struktur logis pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logika yang diakui;
bahwa teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur
dan proses alam, dan bahwa pada faktanya adalah sebuah teori logika; bahwa karena logika harus
ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur dan proses
alam adalah yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan adalah bagian dari kepercayaan-
lemah (cth. kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual sebagai benar atau
membuat pernyataan apapun atau proposisi) yang tergantung pada hubungan kepercayaan-
lemah pada fakta; bahwa fakta adalah netral sejauh kebenaran dan kepalsuan yang dipedulikan –
mereka hanya ada seperti itu.

Dalam sistem pengetahuan ini adalah absah hanya jika menyentuh pada tatanan alamiah
akan peristiwa dan hubungan mereka; dan tujuan penelusuran adalah untuk menggambarkan
dan mensistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek dan peristiwa dalam
ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan datar secara naturalistik dan pengertian rasional
yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, mereduksi asal-usulnya dan realitas
satu-satunya pada kekuatan alamiah.

16 Prolegomena
Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak
otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan bahwa mereka
menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi bahwa mereka mereduksi otoritas dan intuisi pada
rasio dan pengalaman. Adalah benar bahwa pada contoh asal dalam kasus baik otoritas dan
intuisi, selalu ada seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi ini serta merta bahwa
karena ini, otoritas dan intuisi seharusnya direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui
bahwa ada tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan normal, kesadaran manusia yang
batasannya dikenali, tidak ada alasan untuk menduga bahwa tidak ada tingkatan yang lebih
tinggi akan pengalaman dan kesadaran manusia melampaui batas rasio dan pengalaman normal
dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang
batasnya hanya diketahui Tuhan.

Sejauh pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog
telah mereduksi intuisi pada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan
oleh pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan emosi yang
dibangun yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi ini adalah dugaan pada bagian
mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian itu datang dari pengalaman
inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka tentang fakultas intuitif seperti hati, yang tersirat dalam
pendirian mereka dalam memandang intuisi, adalah juga dugaan.[24] Intuisi yang dikenalkan Al-
Attas dalam buku ini berpusat pada penjelasan tentang tahapan-tahapan kasyaf yang dialami
mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi. Bahasan, yang dilakukan pada Bab 5: Intuisi
Akan Eksistensi ini, juga berusaha menunjukkan bahwa panteisme atau inkarnasi – khususnya
dalam tasawuf – merupakan sesuatu yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan spiritual dan
proses penyibakan yang belum selesai. Jika ketidaksempurnaan tersebut tidak diakui, yang juga
berarti tidak mengakui kesempurnaan spiritual yang lain, hanya akan memperosokkan kepada
hal tersebut (baca: panteisme).

Al-Attas juga menegaskan bahwa sifat-dasar manusia itu merupakan sesuatu yang lebih
karena rasionalitasnya daripada karena fisiknya. Pandangannya tentang manusia ini – seperti juga
yang ada pada bab 4: Sifat-Dasar Manusia dan Psikologi Jiwa Manusia – dinyatakan seperti
berikut:

“Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai oleh
istilah natiq, yang menunjuk pada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna semesta
dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan, diskriminasi, dan
klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (natiq) dan ‘memiliki
kekuatan untuk merumuskan makna’ (dhu nutq) diturunkan dari akar sama yang mengandung
makna dasar ‘berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, keduanya menandakan kekuatan
tertentu dan kapasitas bawaan manusia untuk mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbolis
dalam pola yang bermakna. Dari akar yang sama (nutq) juga diturunkan nama dari sains diskursus
yang diketahui sebagai al-mantiq (cth. logika), yang mengembangkan bangunan argumentasi,
rumusan metode bantahan, penemuan kesalahan teori klasifikasi dan definisi, gagasan dasar dari
silogisme, konsepsi bukti dan demonstrasi, garis besar dari sebuah metode intelektual dalam
pengejaran kebenaran. Manusia adalah, sebagaimana adanya, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan
yang berbicara’ (al-hayawan al-natiq); dan artikulasi simbol linguistik ke dalam pola bermakna
tidak lain dari ungkapan bagian keluar (outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian
kedalam (inward) dan tidak terlihat yang kita sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar

17 Prolegomena
menandakan jenis ‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan
sadar yang mengikat dan memegang objek pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan
‘aql menunjukkan realitas yang sama yang ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (ruh), dan ‘diri’
(nafs). Entitas atau realitas aktif dan sadar ini memiliki banyak nama seperti yang diidentifikasi
oleh empat istilah di atas karena memiliki banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai
tingkatan eksistensi. Intelek adalah substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali
kebenaran dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Intelek adalah realitas yang mendasari
definisi manusia, dan itu ditunjukkan oleh setiap orang ketika dia berkata “aku”.

Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita maksudkan dengan
rasional sebagai kapasitas kecerdasan menangkap makna universal, kekuatan ungkapan linguistik,
kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna – yang melibatkan tindakan putusan,
diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi akan bentuk simbol dalam pola bermakna –
makna akan ‘makna’ (ma’na) adalah pengenalan akan tempat segala sesuatu dalam sistem.
Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan
dipahami. Hubungan itu menggambarkan tatanan tertentu dalam istilah prioritas dan posterioritas
sebagaimana juga dalam istilah ruang dan posisi. Makna adalah sebuah bentuk intelijibel
(intelligible) berkenaan pada sebuah kata, sebuah ungkapan, atau simbol digunakan untuk
menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol itu menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq)
maka disebut pemahaman (mafhum). Sebagai sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam
jawaban dari pertanyaan “apakah itu?” makna disebut ‘esensi’ (mahiyyah). Dipertimbangkan
sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran, atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqiqah).
Dilihat sebagai realitas khusus yang berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau
‘eksistensi individual’ (huwiyah). Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari
makna, adalah pengenalan tempat segala sesuatu dalam sistem, yang muncul ketika hubungan
sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami[25].

Dalam pandangannya tentang filsafat sains, Al-Attas juga menyatakan bahwa keraguan
yang diangkat sebagai metode dan dipandang sebagai jalan menuju kebenaran, sebenarnya
bermasalah. Menurutnya:

“...tidak ada bukti bahwa adalah keraguan dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang
membuat seseorang tiba pada kebenaran. Hadir pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil
petunjuk, bukan keraguan. Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa
mengunggulkan salah satunya; itu adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan
tanpa hati cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan
tidak menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, itu adalah dugaan; jika hati
menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan hati terhadap
yang lain adalah sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada kebenaran, tetapi
pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuan. Ini adalah petunjuk. Keraguan, apakah itu jelas
atau sementara, memimpin pada dugaan atau pada posisi lain akan ketidakpastian, tidak pernah
pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap kebenaran” (Qur’an 10: 36).”[26]

Beranjak dari hal tersebut, Al-Attas menyatakan bahwa meskipun banyak persamaan antara
filsafat sains Barat dan Islam, hal tersebut tidak menutup kenyataan bahwa banyak pula
perbedaan di antaranya. Salah satu perbedaannya adalah pandangan tentang rasio. Menurut Al-
Attas, rasio tidak sesederhana dalam pengertian yang dibatasi pada unsur inderawi; pada fakultas

18 Prolegomena
mental yang mensistematisasi dan menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan
logis, atau yang membuat pengertian dan kepengaturannya pada penerimaan data pengalaman
inderawi, atau yang menampilkan abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan
mengatur mereka dalam sebuah operasi memberi-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam
dapat menjadi terpahami. Tentu saja, pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih
lanjut bahwa ini adalah salah satu aspek intelek dan fungsinya dalam kesesuaian dengannya,
bukan berlawanan dengannya; dan intelek adalah substansi spiritual yang inheren dalam organ
spiritual dari kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini
dan lewat perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi.

Oleh sebab itu, penyamaan antara rasio dan akal (‘aql) merupakan suatu kesalahan. Sebab,
rasio merupakan satu bagian dari akal, dan tidak ada keterpisahan antara keduanya.
Permasalahan yang muncul karena penekanan yang sangat terhadap rasio, telah nyata-nyata
membuat Barat tidak melihat alam sebagai sebuah tanda (āyāt) Tuhan. Meskipun pernah terdapat
di masa lalui filsuf Barat yang menekankan penggunaan intelectus untuk melihat alam sebagai
sebuah Kitab Suci Besar yaitu, St. Bonaventura, tetapi hal itu tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dalam peradaban Barat. Barat menjadi menganggap bahwa alam memiliki suatu
substansi yang pernah disebut sebagai ‘atom’. Manusia Barat terus mecoba mengetahui apa unsur
mendasar yang menyusun dunia ini. Namun, asumsi bahwa alam bukan merupakan tanda inilah
yang menjadi Barat terpaku pada alam dan tidak dapat melihat apa yang disimbolkan oleh alam.

Pandangan Al-Attas tentang alam sebagai tanda kemudian dituangkannya dalam bentuk
cerita sebagai berikut:

“Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju tempat yang
telah kita dengar tapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di persimpangan utama
dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan terdapat penunjuk
arah dan lengannya dibuat sederhana dan di cat putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang
berfungsi sebagai lengan digoreskan huruf tebal, huruf hitam nama tempat dan jarak relatif mereka
dari titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati dan lampunya menyinari penunjuk arah dan
lengannya yang banyak, kita segera sadar akan salah satu lengan yang menegaskan nama tempat
tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika kita hendak mengejar tujuan kita, tentunya kita
akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan mengikuti jalan menuju apa yang tanda
tersebut tuju. Kita melakukan ini karena tandanya jelas. Tetapi kini andaikan penunjuk arahnya
dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan lengan yang menunjuk dipahat menjadi bentuk
yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik yang dipahat menjadi
huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang jarang ditemui – akankah kita kemudian
mampu untuk pergi, tanpa banyak ragu dan berlambat-lambat, mengkuti lengan yang menunjuk
yang menunjukkan kita jalan tujuan kita; dan akankah kita kemudian mudah berpaling dari
penunjuk arah untuk mengikuti arah yang diarahkan? Tentu saja, apa yang paling mungkin terjadi
dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil dan bahkan keluar dalam hujan dengan
senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di hadapan kita. Dan kita mungkin akan
menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk penglihatan yang lebih memuaskan.
Tandanya dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan menunjuk dirinya daripada menunjuk pada
objek yang eksistensinya bergantung padanya.”[27]

19 Prolegomena
Dalam memandang sains, Al-Attas menegaskan bahwa realitas sesuatu tidak serta menjadi
sesuatu itu menjadi benar atau dengan kata lain adanya suatu fakta tidak menjadikan fakta itu
menjadi benar. Sebab, kebenaran suatu fakta erat kaitannya dengan Kebenaran yang diwahyukan.
Hal ini patur menjadi perhatian khususnya dengan adanya kenyataan bahwa dalam Islam
kebenaran juga ditunjuk dengan kata Haqq. Haqq bermakna kebenaran dan juga realitas. Itulah
mengapa realitas memiliki hubungan yang mendalam dengan kebenaran.

Tentang realitas, sebagaimana dijelaskan pada Bab 7: Kuiditas dan Esensi, Al-Attas
mengatakan bahwa Kata haqq digunakan baik untuk realitas dan kebenaran. Lawannya batil,
bermakna bukan-realitas atau kepalsuan. Haqq bermakna kecocokan pada kebutuhan akan
kebijaksanaan, keadilan, kebetulan (rightness), kebenaran, realitas, kesopanan. Haqq adalah sebuah
kondisi, kualitas atau bagian dari menjadi bijaksana, adil, betul, benar, sejati, tepat; haqq adalah
kondisi niscaya, tidak terhindarkan, kewajiban, yang berkaitan; haqq adalah kondisi eksistensi dan
meliputi segala sesuatu. Ada kata lain, sidq, bermakna kebenaran, yang lawannya adalah kidhb
bermakna tidak benar atau kepalsuan, yang ditujukan hanya kebenaran menyentuh pada
pernyataan atau ucapan kata-kata; sedangkan kata haqq tidak hanya menunjuk pada pernyataan,
tetapi juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan, keputusan, dan sesuatu dan peristiwa dalam
eksistensi. Sesuatu dan peristiwa dalam hal ini pada alam eksistensi yang ditunjuk haqq
menyentuh tidak hanya kondisi mereka yang sekarang, tetapi juga masa lalu mereka sebagaimana
kondisi masa depan. Menyentuh pada kondisi masa depan haqq bermakna pengujian, realisasi,
aktualisasi. Tentu saja, bahwa makna haqq dipahami meliputi realitas dan kebenaran menyentuh
pada kondisi eksistensi adalah berkaitan pada fakta bahwa itu adalah salah satu nama-nama
Tuhan yang menggambarkan diri-Nya sebagai eksistensi absolut yang merupakan realitas dan
bukan konsep eksistensi.

Untuk kebanyakan orang, sifat-dasar eksistensi dan hubungannya untuk memisahkan,


realitas beragam namun sama dengan yang kita sebut ‘sesuatu’ adalah eksistensi yang merupakan
konsep umum, konsep abstrak yang umum bagi semua eksistensi, yakni, bagi segala sesuatu dan
pada apapun tanpa kecuali. Pikiran, ketika memandang realitas eksternal yang kita sebut
‘sesuatu’, mengabstraksikan mereka pertama kali dari eksistensi dan memberi predikat eksistensi
pada mereka. Pikiran oleh karena itu menghubungkan pada sesuatu yang dipertimbangkan
sebagai bagian mereka dari eksistensi. Maka eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang
ditambahkan, aksidental, dan hidup dalam sesuatu. Dalam proses mental ini, konsep tunggal,
umum, abstrak menjadi majemuk dan secara rasional dibagi menjadi bagian-bagian yang
berhubungan dengan sesuatu. Eksistensi sesuatu adalah bagian-bagian tersebut, dan bagian
tersebut, sejauh konsep umum dan abstrak dari eksistensi, adalah eksternal bagi ‘esensi’ sesuatu
dan hanya secara mental ditambahkan pada mereka. Menurut perspektif ini, eksistensi adalah
sesuatu yang murni konseptual, sedangkan esensi-esensi adalah nyata; esensi-esensi adalah
realitas yang diaktualisasikan secara ekstramental. Tetapi kita katakan lebih lanjut bahwa dalam
tambahan pada konsep eksistensi terdapat entitas lain yang merupakan realitas akan eksistensi,
dimana eksistensi sebagai konsep murni yang datang inheren dalam pikiran adalah salah satu
akibatnya. Eksistensi sebagai realitas, tidak seperti bagian konseptual, adalah bukan sesuatu yang
statis; eksistensi secara terus menerus melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan dīnamis akan
pengungkapan-diri ontologis, mengartikulasikan kemungkinan dalaman (inner) yang tidak
terbatas dalam gradasi dari kurang menentukan sampai lebih menentukan sampai itu muncul
pada tingkatan bentuk konkret, seperti eksistensi partikular yang kita pandang sebagai ‘sesuatu’
yang banyak dan beranekaragam memiliki ‘esensi-esensi’ individual yang terpisah adalah tidak

20 Prolegomena
lain dari modus dan aspek dari realitas eksistensi. Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lain
sebuah entitas dalam konsep, sedangkan eksistensi sesuatu adalah nyata. Tentu saja, esensi sejati
dan benar dari sesuatu adalah eksistensi sebagaimana diindividuasikan ke dalam modus
partikular. Adalah realitas eksistensi ini yang telah kita identifikasi di atas sebagai meliputi-semua
Realitas atau Kebenaran (al-haqq), dengan mana Tuhan sebagai yang absolut dalam semua bentuk
manifestasi yang disebut.

Karena filsafat modern dan sains telah menyadari bahwa sifat-dasar mendasar dari
fenomena adalah proses, nama-nama deskriptif yang telah digunakan oleh para filsuf dan saintis
untuk menghubungkan dengan proses harus juga merefleksikan dīnamisme yang terlibat dalam
inti gagasan proses. Mereka telah menggunakan nama-nama seperti ‘kehidupan’ atau ‘impuls
vital’, atau ‘energi’, menyiratkan pergerakan, perubahan, menjadi (becoming) yang merupakan
hasil dari peristiwa dalam ruang-waktu. Bahwa mereka telah memilih nama-nama tersebut
sebagai deskripsi manifestasi realitas sebagai proses adalah sebuah tanda bahwa mereka
mempertimbangkan eksistensi, tidak seperti kehidupan, impuls vital, atau energi, hanya sebagai
sebuah konsep; dan hanya sebagai konsep eksistensi tentu sesuatu yang statis, secara jelas
mendiskualifikasinya sebagai berhubungan dengan proses. Dalam pengertian ini, rumusan
mereka akan sebuah filsafat sains, dalam kontradiksi dengan posisi mereka bahwa realitas yang
mendasari fenomena adalah proses, tetap berputar di dalam lingkungan sebuah pandangan-dunia
esensialistik, sebuah pandangan-dunia yang asyik dengan ‘sesuatu’ sebagai ‘esensi-esensi’
independen dan hidup, dan akan peristiwa, hubungan, dan konsep yang menyentuh pada
sesuatu, membuat sesuatu menunjuk pada diri mereka sebagai realitas tunggal, dan bukan pada
Realitas lain yang melampaui mereka baik termasuk sebagaimana juga mengecualikan mereka.
Posisi kita adalah bahwa apa yang sungguh-sungguh deskripsi dari sifat-dasar mendasar dari
fenomena sebagai proses adalah ‘eksistensi’ sebab eksistensi sendiri, baik dipahami sebagai
konsep sebagaimana juga realitas, adalah entitas paling dasar dan universal yang kita ketahui.
Adalah benar bahwa eksistensi yang dipahami sebagai konsep adalah statis dan tidak
berhubungan dengan proses. Tetapi kita mempertahankan bahwa eksistensi bukan hanya konsep
tapi juga realitas: eksistensi bukan hanya diusulkan dalam pikiran, tetapi juga entitas nyata dan
aktual yang independen dari pikiran. Eksistensi bersifat dīnamis, aktif, kreatif, dan mengandung
banyak kemungkinan pengungkapan-diri secara ontologis; eksistensi adalah sebuah aspek Tuhan
yang muncul dari sifat-dasar intrinsik dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan oleh karena itu
adalah sebuah entitas ‘sadar’ yang bertindak berdasarkan cara biasa Tuhan biasa bertindak
(sunnat Allah). Yang disebut “hukum alam” dalam kenyataannya adalah kebiasaan Tuhan dalam
bertindak, dan dipahami seperti itu, “hukum” ini tidak lagi dilihat sebagai ketat karena mereka
kini terbuka pada kemungkinan tak terbatas. Eksistensi maka adalah bahan pokok dan utama dari
realitas, dimana kehidupan, impuls vital, atau energi dan istilah yang lain yang digunakan oleh
para filsuf dan saintis untuk menggambarkan entitas mendasar itu, yang merupakan realitas yang
mendasari sifat-dasar sesuatu, semuanya sekunder bagi eksistensi karena mereka seperti bagian-
bagian atau pelengkap dari eksistensi.

Sebagaimana makna haqq sebagai realitas, istilah tepat yang digunakan untuk menunjuk
realitas adalah haqiqah, yang diturunkan dari haqq. Perbedaan antara haqq dan haqiqah adalah
bahwa yang terdahulu menunjuk pada kondisi ontologis, tatanan, atau sistem seperti diketahui
dengan cara intuisi; dimana yang kemudian menunjuk pada struktur ontologis, pada sifat-
dasarnya, makhluk atau diri akan sesuatu. Haqiqah atau realitas adalah yang dengannya sesuatu
adalah apa adanya (by which a thing is what it is). Kini bahwa yang dengannya sesuatu menjadi

21 Prolegomena
sesuatu itu sendiri memiliki aspek ganda; pada satu pihak karena segala sesuatu adalah bagian
dari realitas, maka realitas adalah sesuatu yang umum bagi segala sesuatu. Sesuatu yang umum
pada segala sesuatu ini adalah eksistensi. Dengan demikian salah satu dari aspek ganda dari yang
dengannya sesuatu adalah apa adanya adalah ‘menjadi maujud’ dari sesuatu. Aspek lain yang
dengannya sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri adalah ‘menjadi-terpilah’nya dari yang lain.
‘Menjadi-maujud’ adalah umum bagi semua maujud dalam pelbagai tingkatan eksistensi, dan
meskipun eksistensi adalah bahan dari realitas, eksistensi adalah, berbicara secara ketat, bukan
keumuman yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri; melainkan adalah ‘menjadi-
terpilah’ dari yang lain yang membuat sesuatu menjadi sesuatu itu sendiri, karena itu hanya
dengan kebajikan keterpilahan realitas-realitas itu telah datang ke dalam eksistensi. Oleh karena
itu sifat-dasar mendasar dari realitas adalah perbedaan.

Eksistensi (wujud, dari wujida bentuk pasif dari wajada) menunjuk sesuatu yang ditemukan,
disibak, diterima, diketahui, diinderai – dengan indera eksternal dan internal atau intelek, atau
hati. Karena eksistensi sebagai realitas adalah bahan kreatif yang darinya sesuatu menjadi ada,
bentuk lain dari kata tersebut (ijad) menunjuk sesuatu yang dieksistensiasikan, diciptakan,
diasalkan. Karena realitas adalah eksistensi yang meliputi segala sesuatu, realitas adalah cukup-
diri dalam keabadian yang melimpah ruah, dan makna ini akan tidak sedang dalam kondisi
keinginan, atau kebutuhan, yang ditunjuk masih dengan bentuk lain (wajid). Ketika dengan intuisi
yang lebih tinggi seseorang datang menemukan realitas yang ada, ‘penemuan’ eksistensi ini
disebut wijdan, yang kita katakan sebelumnya menunjuk pada intuisi akan eksistensi. Jadi ketika
kita menunjuk di atas pada aspek dari yang dengannya sesuatu adalah apa adanya sebagai
‘menjadi-maujud’, ‘sebagai-maujud’ dari sesuatu seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai
menunjuk sesuatu yang hanya ada secara aktual atau mutakhir dalam dunia eksternal; tetapi juga
menunjuk kategori eksistensi itu dalam kondisi interior dari realitas eksistensi yang secara
berkelanjutan membentangkan dirinya sendiri dalam gradasi menjadi sesuatu yang kita lihat dan
pegang. Eksistensi bermakna memiliki tempat dalam tatanan realitas. Karena eksistensi yang
dipartikularisasi sebagai ‘menjadi maujud’ dari sesuatu adalah salah satu dari aspek ganda
realitas, penunjukkan akan ‘tempat’, ketika kita katakan bahwa eksistensi itu berarti memiliki
tempat dalam tatanan realitas, maka adalah ‘menjadi maujud’ dari sesuatu. Tatanan realitas,
menurut kita dan dalam pengertian yang sudah disebutkan, tidak dapat dibatasi pada dunia
fenomena, atau dunia benda-benda empiris dalam alam indera dan pengalaman inderawi.

Maka, dapat dilihat di sini, eksistensi memiliki keunggulannya (seperti pernyataan Mulla
Shadra: Al-sholah al-wujud) daripada esensi yang ternyata hanya terpilah di ranah mental dan
bukan pada ranah ontologis. Sebab esensi atau kuiditas yang ditunjuk oleh para pendukungnya
sebenarnya juga menunjuk eksistensi sebagai suatu realitas.

Pada bagian akhir, Bab 7: Derajat-Derajat Eksistensi, Al-Attas menegaskan bahwa terdapat
alam yang kita hidupi tidak hanya terbatas pada dunia indera dan pengalaman inderawi. Alam
ini begitu luas sehingga disebut al-‘ālamīn atau alam-alam. Seperti sudah dinyatakan pada bagian
pengantar Prolegomena, bagian akhir ini merupakan ta’wil yang diajukan terhadap bagian ayat
Qur’an tentang Penciptaan dalam Enam Hari dengan Enam Derajat Eksistensi.

Dikatakan bahwa Enam Hari Penciptaan itu dapat dibagi ke dalam fase-fase terpilah di
antara Empat Hari dan Dua Hari (Fuşşilat (41): 10; dan 9; 12). Dalam bagian tersebut kita lebih
lanjut diinformasikan bahwa Dia membawa menjadi wujud (ja’ala) rawāsiya – yang biasanya para

22 Prolegomena
komentator menginterpretasikan dengan makna ‘gunung-gunung’ – meletakkan mereka tinggi di
atas Bumi. Makna dasar dari kata rawāsiya, yang merupakan bentuk jamak dari akar rasā,
mengandung gagasan akan entitas-entitas yang rampung, kokoh, dan secara teguh dibangun
dengan sebuah jenis cara permanen yang tidak dapat digerakkan atau dipindahkan ke tempat
yang lain. Interpretasi terhadapnya sebagai ‘gunung-gunung’ oleh karena itu masuk akal; karena
gunung-gunung dikarakteristikkan dengan jenis kerampungan yang digambarkan dengan
rawāsiya, dan mereka tinggi di atas level tanah. Dia juga memberkahi Bumi, dan mengukurnya
dalam proporsi (qaddara) semua benda-benda di dalamnya, memberi mereka makanan (aqwātaha)
“berdasarkan kebutuhan dari yang meminta” (sawā’an li al-sā’ilīn). Fase penciptaan ini
diselesaikan dalam Empat Hari.

Ungkapan ‘Langit’ (al-samāwāt) dan ‘Bumi’ (al-ard) yang disebutkan dalam bagian
penciptaan tidak selalu menunjuk pada Langit dan Bumi yang bersifat fisik, tapi pada tahap-tahap
tertentu dan dengan merujuk pada hubungan sebab-musabab prioritas-posterioritas dalam proses
penciptaan yang dipahami dalam konteks derajat-derajat eksistensi, mereka menunjuk pada
arketip-arketip mereka (al-a’yān al-thābitah). Dalam pengertian ini kita kemudian dapat
menginterpretasikan rawāsiya, yang secara teguh ditegakkan “tinggi di atas” Bumi, untuk
bermakna realitas-realitas arketipal yang secara teguh dan permanen ditegakkan dalam
kerampungan sedemikian rupa agar mereka tidak dapat digerakkan atau dipindahkan dari
wilayah mereka dalam kondisi interior Wujud (Being).

Dalam aspek derajat pertama eksistensi Realitas Tertinggi merupakan Eksistensi Absolut,
dan asal semua ciptaan, bermula dengan pancaran pertama dari eksistensi, menyentuh pada
aspek ini dimana kesempurnaan esensial (kamālāt dhātiyyah) dan kecenderungan-Nya (shu’ūn)
menjadi terwujud pada kesadaran-Nya (cf. Hlm. 289 (II) dan 290 di atas). Penciptaan merupakan
tindakan eksistensiasi Realitas Tertinggi; hal tersebut juga verifikasi dari apa yang sekaligus benar
(pada Perintah penciptaan) dan nyata (secara potensial sebagaimana juga secara aktual). Maka,
Eksistensi Absolut di sini identik dengan istilah Qur’an akan ‘Kebenaran’ atau ‘Kebenaran-
Kenyataan’ (al-haqq).

Pancaran pertama eksistensi adalah pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas), yang
merupakan sebuah ekspansi tunggal eksistensi dengan cara yang umum (cth. wujūd ‘āmm),
mengandung manifestasi bentuk-bentuk pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang
mungkin dalam dunia yang terlihat sebagaimana juga yang tidak terlihat. Semua hal tersebut
merupakan manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah sebagaimana juga manifestasi pasif, kontingen,
dan ciptaan. Hal ini merupakan yang pertama dari semua manifestasi realitas Eksistensi dan
disebut determinasi pertama (ta’ayyun awwal), yang berhubungan pada derajat kedua eksistensi.
Realitas Tertinggi, pada level ekspresi ontologis ini, tidak lagi dipandang Esa secara absolut
(ahadiyyah mutlaqah), tapi sebagai Tunggal (fard) dengan kebajikan telah disebabkan muncul dalam
kesadaran-Nya potensialitas akan ‘yang lain’, diri-Nya sendiri menjadi Yang Lain daripada
keyanglainan (otherness) dari ‘yang lain’. Ini merupakan tahap Kesatuan dari yang banyak
(wāhidiyyah).

Kemudian, seperti sebuah artikulasi lanjutan dari ekspresi ontologis dan aktifitas
penciptaan Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, menyebabkan muncul
dalam kesadaran-Nya manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah yang berhubungan pada derajat
Keilahiyahan (iliāhiyyah) di mana, sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), Dia dikualifikasikan dengan Nama-Nama

23 Prolegomena
(cth. mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll.) dan Sifat-Sifat (cth.pengetahuan, kehendak,
kekuasaan, dll.) keilahiyahan. Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan partikularisasi
lanjutan dari kecenderungan dan kesempurnaan esensial-Nya yang menjadi terwujud pada-Nya
yang sudah terdapat dalam derajat pertama eksistensi. Tahap ini menandai ‘penurunan’-Nya
pada determinasi kedua (ta’ayyun thāni) berhubungan pada derajat ketiga eksistensi. Ini
merupakan tahap Nama-Nama dan Sifat-Sifat.

Kini kencederungan dan kesempurnaan esensial dari Realitas Tertinggi terwujud pada-
Nya sebagai bentuk-bentuk Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Bentuk-bentuk tersebut secara
esensial merupakan ‘gagasan-gagasan’ atau ‘intelejibel-intelejibel’ dalam pengetahuan Ilahi.
Inheren dalam masing-masing bentuk tersebut terdapat sebuah aspek ‘keyanglainan’, sebuah
keterpilahan yang khas pada dirinya sendiri dan dengan demikian juga berbeda dari-Nya. Mereka
dikualifikasikan dengan ditegakkan secara permanen sebab sebagai ‘gagasan’ dalam pikiran Ilahi
mereka hidup secara permanen (baqā’) dalam pengetahuan Ilahi, tidak berubah dalam sifat-dasar
mereka dan tidak bergerak dari kondisi interior dan intelejibel mereka. Dengan keutamaan wujud
mereka yang terpilah satu sama lain dan dari-Nya, dan dari kesinambungan mereka sedemikian
rupa dalam pengetahuan Ilahi, mereka merupakan realitas-realitas (haqā’iq) asli yang kondisi masa
depannya untuk diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis
sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Inheren dalam masing-masing
realitas terdapat potensialitas yang khas bagi masing-masing; masing-masing telah menerima
ukurannya dalam proporsi (cf. qaddara), sehingga masing-masing memiliki sebuah kesiapan
(isti’dād) untuk diaktualisasikan berdasarkan kebutuhannya. Inteleksi-Nya terhadap bentuk-
bentuk tersebut dalam aspek mereka akan ‘keyanglainan’ dari-Nya, dan pengungkapan-diri-Nya
(tajallī) pada mereka sebagaimana pancaran eksistensi-Nya yang mengembang terhadap mereka,
membawa sifat-dasar positif mereka sebagai realitas-realitas yang dapat diaktualisasikan sebagai
eksistensi konkret dan individual dalam dunia eksternal. Oleh karena itu realitas-realitas bersifat
arketipal dalam alam dan esensi dan tepat disebut ‘arketip-arketip permanen’ (a’yān thābitah),
yang level ontologisnya berhubungan pada determinasi ketiga (ta’ayyun thālith) dari Eksistensi
Absolut pada derajat keempat eksistensi (cf. hlm. 277-278; 290 (III), di atas).

Untuk fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam Dua Hari, kita diinformasikan
bahwa Tuhan, “setelah menyelesaikan penciptaan sebelumnya (cth. fase pertama), mengarahkan
rancangan-Nya (cth. Rencana-Nya membuat dengan tujuan yang jelas) pada Langit” (Fuşşilat
(41): 11; lihat berbagai makna istawā ila dalam Lisān al-‘Arab, XIV hlm. 414, kol. 1&2). Langit yang
dimaksudkan, kita telah diberitahu, adalah sebagai asap (dukhān), yang berarti sesuatu yang
sebagian fisik dan sebagian non-fisik dalam alam. Dia kemudian memerintahkan Langit dan Bumi
untuk datang bersama secara sukarela atau terpaksa; dan mereka berdua datang dalam kepatuhan
yang sukarela. Kemudian Dia melengkapi mereka dengan tujuh cakrawala dalam Dua Hari, dan
menugaskan pada masing-masing langit tugas dan perintahnya. Langit yang lebih rendah Dia
hiasi dengan cahaya dan diamankan dengan penjaga (41: 11-12).

Sudah kita lihat di sini, dalam Dua Hari yang disebutkan untuk melengkapi penciptaan
semesta bersama semua bagiannya, sebuah kiasan pada dua derajat terakhir eksistensi: derajat
kelima dan keenam, yang berhubungan pada determinasi keempat dan kelima dari Eksistensi
Absolut. Itu juga dapat bahwa pada level artikulasi ontologis pada derajat kelima eksistensi
(determinasi keempat), Langit dan Bumi ditunjuk tetap menyimbolkan aspek spiritual dan
intelejensial dalam perkembangan mereka ke dalam bentuk yang lebih dan lebih konkret. Ini

24 Prolegomena
merupakan level arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah). Arketip-arketip eksterior
menerima pancaran suci eksistensi yang mengalir dari aspek eksterior arketip-arketip permanen.
Kini arketip-arketip permanen pada faktanya merupakan realitas-realitas sesuatu yang
ditegakkan dalam kehadiran kognitif dari Realitas Tertinggi. Mereka merupakan ‘realitas-realitas
ideal’ yang hidup secara permanen dalam pikiran Tuhan, dan sedemikian rupa mereka tidak
dibuat untuk muncul pada kondisi manifestasi eksterior dalam alam benda-benda empiris.
Mereka dalam pengertian itu bukan ‘maujud’ meskipun mereka memiliki realitas ontologis
positif. Dalam hubungan dengan arketip-arketip eksterior mereka adalah determinan aktif dari
semua maujud yang mungkin, karena mereka, lagi pula, merupakan artikulasi kecenderungan
Ilahi; mereka merupakan realitas-realitas asli dan positif yang seimbang dalam kesiapan untuk
mengaktifkan potensialitas inheren pada mereka, dan untuk membentangkan keadaan masa
depan mereka dalam bentuk eksistensi individual dan konkret dalam dunia eksternal. Dalam hal
ini hubungan arketip-arketip eksterior bertugas sebagai penerima pasif mereka. Isi dari pancaran
suci eksistensi adalah potensialitas tersebut, yang keadaan masa depannya secara bertalian
menjadi diaktualisasikan dalam dunia benda-benda empiris melalui perantara arketip-arketip
eksterior sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Maka, arketip-arketip
eksterior merupakan manifestasi pasif, kontingen, dan ciptaan dari Eksistensi Absolut. Karena
arketip-arketip tersebut sendiri memiliki aspek interioritas dan eksterioritas, mereka menjadi,
dalam hubungan pada dunia hal-hal empiris, pengembang aktif aktualisasi dari kandungan
mereka melalui aspek eksterior mereka sebagai pancaran eksistensi yang berlanjut untuk
mengembang terhadap mereka pada derajat level ontologis yang terendah. Level ontologis
arketip-arketip eksterior merupakan determinasi keempat dari Eksistensi Absolut yang
berhubungan pada derajat kelima eksistensi. Yang keenam dan derajat yang terakhir eksistensi
adalah level dari determinasi kelima dari Eksistensi Absolut. Hal itu merupakan manifestasi
dalam rincian derajat yang mendahului dan merupakan alam benda-benda empiris, dunia indera
dan pengalaman inderawi yang sifat-dasarnya dikarakterisitikkan dengan kontingensi. (cf. hlm.
279-280, dan 290 (III), dan 290 (VI) di atas).

Kini dalam bagian di mana Tuhan memanggil Langit dan Bumi untuk datang bersama
“sukarela atau terpaksa” (ţaw’an aw karhan) merupakan indikasi jelas yang menunjukkan bahwa
Langit dan Bumi memiliki kesadaran kepatuhan dan ketidakpatuhan pada perintah Ilahi kendati
dari realitas dimana perintah tidak dapat dikontradiksikan. Itu juga menunjukkan bahwa mereka
memiliki sebuah kekuatan atau kapasitas untuk menjawab pada kata perintah Ilahi, karena
mereka menjawab: “kami datang dalam kepatuhan sukarela” (ataynā ţā’i’īn). Kita memahami dar
sini bahwa proses penciptaan yang digambarkan muncul pada level ontologis dari arketip-arketip
eksterior dalam derajat kelima eksistensi. Seseorang dapat menyebut bahwa arketip-arketip
eksterior merupakan penerima semua manifestasi kontingen dan ciptaan dari Eksistensi Absolut,
dan bahwa dalam hubungan pada apa yang merupakan akibat dari mereka, yakni, dunia dari
benda-benda empiris dalam derajat keenam dari eksistensi, mereka merupakan agen aktif
aktualisasi akan kandungan mereka ke dalam eksistensi eksternal pada derajat terendah dari level
ontologis. Mereka mengatakan “kami datang dengan kepatuhan sukarela” secara eksplisit
memberi kesan sifat-dasar pasif mereka; dan “kami datang” menyiratkan kekuatan atau kapasitas
laten mereka untuk mengaktifkan aktualisasi akan kandungan mereka.

Kemudian Tuhan memenuhi penciptaan mereka sebagai tujuh cakrawala; menugaskan


pada masing-masing langit tugasnya dan perintahnya, dan menghiasi langit dari bumi kita (samā’
al-dunyā) dengan jasad langit yang bercahaya dan mengamankannya dengan penjaga.

25 Prolegomena
Berdasarkan pada interpretasi kita, hanya pada tahap ini kata-kata: ‘langit’ atau ‘cakrawala’
(samāwāt), ‘langit’ (samā) dan ‘bumi’ (ard yang dalam kasus ini ditunjuk sebagai dunyā) menunjuk
pada semesta fisik bersama semua bagiannya. Kata dunyā, diturunkan dari akar dana,
mengandung makna akan sesuatu yang ‘dibawa dekat’. Menjadi ‘dibawa dekat’, menurut kita,
berarti ‘dibawa dekat’ pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel manusia. Yang dibawa
dekat pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel kita adalah semesta fisik bersama
semua bagiannya. Seluruh semesta fisik dibawa dekat pada kita dengan cara ini dengan
keutamaan akan realitas dan kebenaran bahwa hal itu menyusun tanda-tanda dan simbol-simbol
(āyāt) Tuhan yang ditampilkan pada pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel dengan
maksud bahwa kita dapat melihat makna dan tujuan mereka. Qur’an Suci menyatakan demikian
dalam banyak bagian. Jika kita benar dalam interpretasi kita, hal itu merupakan Dua Hari terakhir
yang ditunjuk sebagai penyelesaian penciptaan ke dalam tujuh cakrawala; dan seluruh semesta
fisik adalah yang terakhir dari tujuh langit.

Catatan kaki

[1] Kuliah tersebut, dimulai 1992, dibantu oleh semua profesor, profesor tamu, asisten peneliti, dan
mahasiswa ISTAC, sebagaimana juga oleh para profesor, staf akademik, dan pejabat senior dari
departemen, institusi, dan kementerian pemerintahan.

[2]Wan Mohd Wan Daud. 1998. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung:
Mizan. Hlm. 57.

[3] S.M.N. Al-Attas. 1995. Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of The Fundamental Elements
Of Worldview Of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC. Hlm. 85. Selanjutnya disebut Prolegomena.

[4]Konfrontasi tersebut terjadi di ranah mendasar atau radix dari masing-masing peradaban.

[5] Prolegomena, hlm. 31.

[6] Ibid. Hlm. 30.

[7] Definisi ini diformulasikan oleh teolog Jerman, Cornelis van Peursen, yang menduduki the chair of
philosophy di University of Leiden. Gelar tersebut diberikan dalam laporan yang diselenggarakan dalam
Ecumenical Institue of Bossey, Switzerland, September 1959. Lihat juga karya teolog Harvard Harvey Cox,
the Secular City, New York, 1965, hlm. 2; dan yang mengikutinya, par. 2-17; 20-23; 30-36; 109 et passim. Karya
utuh dari sekularisasi sebagai program filosofis diberikan dalam Islām and Secularism, Kuala Lumpuur, 1978,
chs. I dan II.

[8] Prolegomena, Hlm. 39.

[9] Ibid. Hlm. 41-42.

[10] Da’in menunjuk sebagai penghutang sebagaimana juga sebagai pemberi hutang, dan penampakan
makna yang berlawanan ini hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut sebagai
menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu, jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di
bawah hlm. 57-60.

26 Prolegomena
[11] Saya pikir sangat penting untuk melihat keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara
konsep dīn dan madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan
terhadap yang sebelumnya dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus diingat dalam
pentingnya perubahan nama kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-madīnah: Kota – atau lebih
tepat, madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi – yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan
memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama
Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah yang menandai Era Baru dalam sejarah
manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-madīnah disebut dan dīnamakan demikian sebab di sanalah dīn
yang benar menjadi terwujud untuk manusia. Terdapat mukmin yang memperbudak dirinya di bawah
otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyan-nya; terdapat realisasi berhutang kepada Tuhan yang mengambil
bentuk yang jelas, dan dibuktikan dalam cara dan metode pembayarannya mulai dibentangkan. Kota Nabi
menandakan tempat dimana dīn yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih
lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi, untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan
untuk mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional,
dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan memberkahi dan memberi kedamaian!,
menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan lebih lanjut, lihat di bawah,
hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84.

[12] Lisan al-‘Arab, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1.

[13] Al-Dhariyat (51): 56.

[14] LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rum (30): 30.

[15] LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1.

[16] Al-Nisa’ (4): 125.

[17] Ali ‘Imran (3): 85.

[18] Ali ‘Imran (3): 19.

[19] Ali ‘Imran (3): 83.

[20] Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk,
karena perbedaan dalam bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, Nama-
Nama, Sifat-Sifat, dan Tindakan-Nya – sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām
sebagai tawhid: Keesaan Tuhan.

[21] Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’an Suci:

– ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah
dijelaskan di atas bahwa dalam agama yang benar harus tidak terdapat paksaan: bukan hanya dalam
pengertian bahwa, dalam tindakan penaklukan pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak
memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam pengertian bahwa bahkan dengan diri sendiri, seseorang
harus memaksa dan menundukkan diri sepenuh hati dan sukarela, dan mencintai dan menikmati
ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan, ketidakpatuhan dan
pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu bentuk
dari tidak-percaya (kufr). Adalah salah untuk berpikir percaya pada Tuhan yang Satu sendiri adalah cukup
dalam agama yang benar, dan bahwa kepercayaan-lemah seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan.
Iblis (syaitan), yang percaya pada Satu Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai
Pencipta, Pengasih, Pemelihara, rabbnya, meskipun demikian seorang yang salah-percaya (kafir). Meskipun

27 Prolegomena
Iblis tunduk pada Tuhan, namun dia tunduk dengan kurang ajar dan enggan, dan kufrnya berkaitan
dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan pembangkangan. Dia adalah contoh buruk yang terkenal dari
ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan
seorang kafir oleh karena itu menjadi seseorang yang, meskipun percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk
dalam ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk dalam jalannya sendiri yang keras kepala – sebuah jalan,
atau cara, atau bentuk yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan Tuhan. Ketundukan
sejati adalah apa yang telah sempurna oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena itu adalah cara
ketundukan seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan diperintahkan
Tuhan. Jadi, inti agama yang benar, maka, bukan kepercayaan-lemah, tetapi melainkan, lebih mendasar,
ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan-lemah sebagai benar dan sejati.

[22] Kita tidak menyiratkan di sini bahwa ketika ’ibadah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah, yang
terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salat) – cth. yang ditentukan (fard),
praktek yang jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafil) –tidak lagi wajib bagi seseorang yang
memperoleh yang kemudian, atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti
beberapa pemikiran filsuf. Ma’rifah sebagai ‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan
yang benar atau suasana hati spiritual (hal); dan yang disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir
‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqamat), mendahului yang kemudian disebut, yang menandai awal
‘kondisi’ spiritual (ahwal). Jadi ma’rifah menandai posisi-perpindahan spiritual antara tempat perhubungan
dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu adalah pengetahuan yang datang dari Tuhan pada hati
(qalb) dan tergantung seluruhnya pada-Nya, adalah tidak serta merta merupakan kondisi permanen kecuali
secara berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibadah. Dia yang berpandangan tajam mengetahui
bahwa adalah absurd dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan tentang Tuhan (cth.
‘arif) untuk mengubah ‘ibadahnya menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘arif sangat sadar akan fakta bahwa
menjadi satu setidaknya separuhnya berkaitan dengan ‘ibadah yang merupakan alat mendekati Rabbnya.

[23] Al-A’raf (7): 19-25; Ta ha (20): 117-124; Bani Isra’il (7): 72.

[24] Prolegomena, hlm. 112-116.

[25] Lihat karya Al-Attas The Concept of Education in Islām, hlm. 15.

[26] Prolegomena, hlm. 116.

[27] Prolegomena, hlm. 136-137.

28 Prolegomena
Pengantar

Konsepsi dan konseptualisasi pengetahuan dan sains itu, sebagaimana halnya adaptasi
metode dan teori, dirumuskan di setiap peradaban di dalam kerangka-kerja sistem metafisika
yang membentuk pandangan-dunia (worldview) masing-masing. Setiap sistem metafisis, dan
karenanya juga pandangan-dunia yang diproyeksikannya, tidaklah sama bagi setiap peradaban
lain; hal tersebut berbeda satu sama lain sesuai dengan perbedaan interpretasi atas apa yang
dipegang secara mendasar sebagai benar (true) dan nyata (real). Jika pengetahuan dan sains yang
tumbuh darinya tidak diluruskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran wahyu
maka, apa yang dipegang sebagai benar dapat tidak selalu benar, maupun apa yang dipegang
sebagai nyata sebagai sungguh-sungguh nyata; dan oleh karena itu interpretasi demikian pasti
mengalami perubahan pembetulan (corrective) berulang-ulang yang memerlukan apa yang disebut
pergeseran paradigma (paradigm shifts) yang juga melibatkan perubahan dalam pandangan-dunia
dan sistem metafisis yang memproyeksikannya. Kita tidak sepakat dengan mereka yang
mengambil posisi bahwa realitas dan kebenaran, dan nilai yang diturunkan darinya, adalah
terpisah, dan mereka mengartikulasikan makna tersebut di dalam paradigma relatifitas dan
pluralitas yang memiliki keabsahan yang sepadan.

Karena kita mempertahankan bahwa pengetahuan tidak sepenuhnya milik kesadaran


manusia, dan bahwa sains yang diturunkan darinya bukanlah semata-mata hasil rasio manusia
tanpa-bantuan (unaided human reason) dan pengalaman inderawi yang memiliki objektifitas
sehingga menghalangi putusan nilai, tetapi pengetahuan dan sains tersebut membutuhkan
bimbingan dan verifikasi dari pernyataan dan kesimpulan umum Kebenaran wahyu, hal tersebut
diemban para sarjana dan cendekia di antara kita yang dipercayakan mengajar dan mendidik
untuk memperkenalkan diri mereka dengan pemahaman yang jelas akan metafisika Islam dan
unsur-unsur mendasar yang didirikan secara permanen dari pandangan-dunia yang diturunkan
darinya. Hal ini karena metafisika itu tidak hanya dibangun di atas rasio dan pengalaman
sebagaimana direfleksikan dalam tradisi intelektual dan keagamaan Islam, tetapi juga di atas
artikulasi agama wahyu itu sendiri tentang sifat-dasar realitas dan kebenaran dalam verifikasi
Wahyu. Buku yang kini terbentang di tangan anda dibuat untuk diskursus awal tentang sifat-
dasar metafisika Islam.

Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan
Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan-bulan pada tahun 1989 (III;
1990 (IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Pada Bab II, yang merupakan komentar atas
penjelasan tentang kebahagiaan yang diberikan pada bab I, saya telah mengenalkan sebuah teori
baru saya sendiri tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah saya
jelaskan pada bagian Penutup, pada akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna tersembunyi
dari bagian Qur’ān tentang Penciptaan dalam Enam Hari.

Pada asalnya bab-bab tersebut diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah
terbatas atas permintaan staf akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta supaya saya
mengelaborasi komentar pada setiap monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang
kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu Malam. Kuliah tersebut, dimulai 1992, dibantu semua
profesor, profesor tamu, asisten peneliti, dan mahasiswa ISTAC, maupun oleh para profesor, staf
akademik, dan pejabat senior dari departemen, institusi, dan kementerian pemerintahan. Saya

29 Prolegomena
mengucapkan terima kasih kepada mereka semua atas dukungan yang tulus, khususnya asisten
Profesor Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, sebagai Pembantu Deputi Direktor, atas kerjasama
terus-menerus dan keberaniannya, dan kepada asisten peneliti Muhammad Zainy Uthman, yang
membantu saya dalam mempersiapkan Indeks Umum buku ini.

Syed Muhammad Naquib al-Attas

5 September, 1995/9 Rabi’al-akhir 1416

Kuala Lumpur

30 Prolegomena
Pengantar Edisi Kedua

Prolegomena to the Metaphysics of Islam, yang diterbitkan oleh International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC) pada 1995, kini diterbitkan kembali tanpa perubahan. Beberapa
bagian buku ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa sejak publikasi pertama. Bagian
Pengenalan buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; bab I ke dalam bahasa Arab,
Persia, Turki, Bosnia, Urdu, Malaya, Jepang, Korea, Indonesia; bab II ke dalam bahasa Arab,
Turki, Jerman, Itali, Bosnia, dan Melayu; bab V, VI, dan VII ke dalam bahasa Persia. Seluruh buku
ini sekarang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, di bawah pengawasan Institute of Islamic
Civilization, Moskow, yang berkolaborasi dengan anggota Russian Academy of Science, sebuah
Institusi Filsafat yang telah mengundang saya berbicara pada sebuah Presentasi Khusus tentang
gagasan saya yang diungkapkan dalam buku tersebut, dan ditemani Deputi saya Profesor Dr.
Wan Mohd. Nor, ke Akademi Moskow pada Mei 2001.

Saya mengucapkan terima kasih kepada International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC) karena menerbitkan kembali buku ini dalam bentuk yang sekarang ini, dan
memperbaharui rasa terima kasih saya kepada Profesor Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, Deputi
Direktur Institut, dan asisten Profesor Dr. Muhammad Zainy Uthman, Pustakawan akademis
Institut untuk dukungan terus-menerus akan pekerjaan saya. Pada cetakan kedua buku ini, saya
juga mengucapkan terima kasih kepada anggota baru staf akademik, asisten Profesor Dr.
Mohamed Ajmal Abdul Razak, Editor Umum Publikasi Institut, yang membaca salinan buku ini
lewat percetakannya.

Syed Muhammad Naquib al-Attas

5 September, 2001/ 17 Jumad al-Akhir 1422

Kuala Lumpur

31 Prolegomena
PENGENALAN

Dari perspektif Islām, ‘pandangan-dunia’ bukan hanya pandangan kesadaran tentang dunia
fisik dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politis dan kultural di dalamnya seperti
direfleksikan, sebagai contoh, dalam ungkapan bahasa Arab saat ini tentang gagasan yang
dirumuskan dalam frase nazrat al-islām li al-kawn. Tidaklah tepat menunjuk pandangan-dunia
Islām sebagai nazrat al-islām li al-kawn. Hal ini karena, tidak seperti apa yang dikandung nazrat,
pandangan-dunia Islām tidaklah berdasarkan spekulasi filosofis yang sebagian besar dirumuskan
dari observasi data pengalaman inderawi, dari apa yang terlihat pada mata; maupun dibatasi
pada kawn, yang merupakan dunia pengalaman inderawi, dunia hal-hal ciptaan. Jika ungkapan
demikian kini digunakan dalam bahasa Arab pada pemikiran muslim kontemporer, hal itu hanya
menunjukkan bahwa kita sudah terlalu dipengaruhi konsepsi saintifik Barat sekular tentang
dunia yang dibatasi pada dunia indera dan pengalaman inderawi. Islām tidak mengakui dikotomi
sakral dan profan; pandangan-dunia Islām meliputi al-dunyā dan al-ākhirah, dimana aspek-dunyā
harus terhubung secara mendalam dan tak terpisahkan dengan aspek-ākhirah, dan dimana aspek-
ākhirah memiliki nilai mendasar (ultimate) dan penghabisan (final). Aspek-dunyā itu dilihat sebagai
persiapan untuk aspek-ākhirah. Segala hal dalam Islām secara mendasar terfokus kepada aspek-
ākhirah tanpa kemudian mengakibatkan perilaku lalai atau tidak peduli terhadap aspek dunyā.
Realitas bukan apa yang sering ‘didefinisikan’ dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai
wāqi’iyah, yang penggunaannya itu, secara partikular dalam bentuk gramatikal wāqi’iy, sekarang
sedang populer. Realitas adalah haqīqah, yang secara berarti kini jarang digunakan berkaitan pada
keasyikan dengan wāqi’iyah yang hanya menunjuk kepada penampakan faktual. Penampakan
faktual hanya merupakan satu aspek dari sekian banyak haqīqah, yang cakupannya meliputi
seluruh realitas. Lebih lanjut, penampakan faktual dapat merupakan aktualisasi sesuatu yang
palsu (cth. bāţil); sedangkan realitas selalu merupakan aktualisasi sesuatu yang benar (cth. haqq).
Maka, apa yang dimaksud dengan ‘pandangan-dunia’, menurut perspektif Islām, adalah visi akan
realitas dan kebenaran yang muncul di hadapan mata kesadaran yang mengungkapkan segala hal
tentang eksistensi; karena pandangan-dunia merupakan dunia eksistensi dalam totalitasnya yang
diproyeksikan Islām. Jadi, dengan ‘pandangan-dunia’ kita harus mengartikannya sebagai ru’yat
al-islām li al-wujūd.

Visi Islāmi akan realitas dan kebenaran, yang merupakan investigasi metafisis dari apa
yang nampak maupun yang tidak nampak termasuk perspektif akan kehidupan sebagai
keseluruhan, bukanlah pandangan-dunia yang dibentuk hanya dengan mengumpulkan bersama-
sama pelbagai objek, nilai, dan fenomena kultural ke dalam koherensi artifisial.[i] Bukan pula
sesuatu yang dibentuk secara bertahap melalui proses historis dan perkembangan spekulasi
filosofis dan penemuan saintifik, yang pasti perlu dibiarkan samar dan terbuka-tanpa-akhir (open-
ended) untuk perubahan di masa depan dan pergantian yang sejalan dengan paradigma yang
berubah dalam korespondensi dengan keadaan yang berubah. Visi Islām akan realitas dan
kebenaran bukanlah pandangan-dunia yang mengalami proses transformasi dialektik yang
berulang-ulang sepanjang zaman, dari tesis kepada antitesis kemudian sintesis, dengan unsur-
unsur masing-masing tahapan tersebut dalam proses sedang terserap menjadi yang lain, seperti
sebuah pandangan-dunia berdasarkan sistem pemikiran yang asalnya berpusat pada tuhan,
kemudian secara bertahap menjadi berpusat pada tuhan-dunia, dan kini menjadi berpusat pada
dunia dan mungkin bergeser lagi membentuk tesis baru dalam proses dialektik. Pandangan-dunia
demikian berubah sejalan dengan ideologi zaman yang dikarakteristikkan oleh banyaknya

32 Prolegomena
pengaruh sistem pemikiran partikular dan berlawanan yang mendukung perbedaan interpretasi
akan pandangan-dunia dan sistem nilai seperti yang telah dan akan terus muncul dalam sejarah
tradisi kultural, keagamaan, dan intelektual Barat. Tidak pernah ada dalam sejarah tradisi
kultural, keagamaan, dan intelektual Islām keterpilahan zaman yang dikarakteristikkan dengan
banyaknya sistem pemikiran berdasarkan materialisme dan idealisme, yang didukung posisi dan
pendekatan bantuan metodologis seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme,
pragmatisme, positivisme, positivisme logis, kritisisme, yang bergerak dari satu posisi ke posisi
lain di antara abad, yang muncul bergantian langsung pada masa kita. Perwakilan pemikiran
Islām — teolog, filosof, metafisikawan — secara keseluruhan dan individual telah menerapkan
pelbagai metode dalam investigasi mereka tanpa mementingkan satu metode partikular. Mereka
memadukan dalam investigasi mereka, dan secara bersamaan dalam pribadi mereka, yang
empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif dan mengakui tidak ada dikotomi antara yang
subjektif dan objektif,[ii] sehingga mereka semua terpengaruh dengan apa yang saya sebut
sebagai metode tawhīd akan pengetahuan. Bukan pula pernah terdapat dalam Islām periode
sejarah yang dapat dikarakteristikkan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, lalu ‘modern’ dan kini
nampak bergeser lagi ke ‘pos-modern’; maupun masa kritis antara pertengahan dan modern
dialami sebagai ‘renaisans’ dan ‘pencerahan’. Pendukung pergeseran dalam sistem pemikiran
yang melibatkan perubahan dalam unsur-unsur mendasar pandangan-dunia dan sistem nilai,
mungkin mengatakan bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran
sedemikian, jika tidak dalam proses interaksi dengan keadaan yang berubah mereka akan
melelahkan diri mereka, menjadi tidak kreatif, dan membatu. Namun, hal ini hanya benar dalam
pengalaman dan kesadaran peradaban yang sistem pemikiran dan nilainya telah diturunkan dari
unsur kultural dan filosofis yang dibantu sains pada masa mereka. Islām bukanlah sebuah bentuk
kebudayaan, dan sistem pemikirannya yang memproyeksikan visi akan realitas dan kebenaran
dan sistem nilai yang diturunkan darinya tidak hanya diturunkan dari unsur kultural dan filosofis
yang dibantu sains, tetapi sesuatu yang sumber asalnya adalah Wahyu, yang dikonfirmasi agama,
diafirmasi prinsip intelektual dan intuitif. Islām melekatkan kepada dirinya akan kebenaran
sebagai sungguh-sungguh agama wahyu, yang sempurna sejak dari awal, tidak membutuhkan
penjelasan historis dan penilaian dalam pengertian tempat yang disinggahi dan peran yang
dimainkan dalam proses perkembangan. Semua yang penting dalam agama: nama, kepercayaan-
kuat (faith) dan prakteknya, ritual, kredo dan sistem kepercayaan (belief) telah diberikan Wahyu,
diinterpretasikan, dan didemonstrasikan Nabi dalam ucapan dan contoh tindakan, bukan dari
tradisi kultural yang pasti perlu mengalir dalam arus historisisme. Agama Islām telah sadar
identitas dirinya sejak saat diwahyukan. Ketika Islām muncul dalam tahapan sejarah dunia, Islām
sudah ‘dewasa’, dan tidak membutuhkan proses ‘pertumbuhan’ menuju kedewasaan. Agama
Wahyu hanya dapat sebagai sesuatu yang mengetahui dirinya sejak sangat awal; dan swa-
pengetahuan ini datang dari Wahyu itu sendiri, bukan dari sejarah. Maka, sesuatu yang disebut
‘perkembangan’ dalam tradisi keagamaan manusia tidak dapat diterapkan pada Islām, karena apa
yang diasumsikan sebagai proses perkembangan tersebut dalam kasus Islām hanya sebuah proses
interpretasi dan elaborasi yang pasti perlu muncul dalam generasi mukmin berturut-turut dari
bangsa yang berbeda, dan yang merujuk kepada Sumber yang tidak berubah.[iii] Pandangan-
dunia Islām tersebut dikarakteristikkan dengan otentisitas dan finalitas yang menunjuk pada apa
yang mendasar, dan pandangan-dunia Islām memproyeksikan pandangan akan realitas dan
kebenaran yang meliputi eksistensi dan kehidupan secara keseluruhan dalam perspektif utuh
dimana unsur-unsur mendasarnya didirikan secara permanen. Unsur-unsur tersebut adalah,
untuk menyebutkan yang paling penting, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān); tentang
makhluk-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang

33 Prolegomena
agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān, penerj.); tentang kebahagiaan —
semua yang, bersama dengan istilah dan konsep kunci yang dibentangkan, memiliki ketegasan
mendalam pada gagasan kita akan perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Saya mengajukan
di sini, di Pengenalan ini, untuk memberikan intisari beberapa unsur mendasar pandangan-dunia
Islām. Pernyataan menyeluruh tentang sifat-dasar mereka telah dibuat di dalam bab-bab buku ini.
Unsur-unsur mendasar pandangan-dunia inilah yang kita pertahankan supaya tegak secara
permanen yang kini sedang ditantang modernitas, dimana dijumpai bahwa pergeseran sistem
pemikiran yang telah melahirkan modernitas dari rahim sejarah telah dihasilkan oleh kekuatan
sekularisasi sebagai ideologi filosofis. Namun, sebenarnya modernitas atau posmodernitas tidak
memiliki visi koheren untuk menawarkan sesuatu yang dapat disebut sebagai pandangan-dunia.
Jika kita dapat menarik bahkan sebuah persamaan superfisial antara pandangan-dunia dan
gambar yang dilukiskan dalam teka-teki potongan gambar (jigsaw), maka potongan gambar
modernitas itu bukan hanya jauh dari melukiskan gambar koheren apapun, tetapi juga bagian-
bagian inti untuk membentuk gambar sedemikian itu tidak cocok. Hal ini tidak termasuk
menyebutkan posmodernitas, yang telah menggagalkan semua bagian. Tidak ada pandangan-
dunia yang benar yang dapat fokus ketika sistem ontologis skala-besar untuk
memproyeksikannya itu ditolak, dan ketika terdapat pemisahan antara kebenaran dan realitas,
antara kebenaran dan nilai. Unsur-unsur mendasar tersebut berperan sebagai prinsip penyatu
yang meletakkan semua sistem makna, standar kehidupan, dan nilai kita dalam tatanan koheren
sebagai sistem yang disatukan membentuk pandangan-dunia; dan prinsip tertinggi dari realitas
sejati yang diartikulasikan unsur-unsur mendasar tersebut difokuskan pada pengetahuan akan
sifat-dasar Tuhan sebagaimana diwahyukan dalam Qur’ān.

Sifat-dasar Tuhan sebagaimana di-Wahyukan dalam Islām diturunkan dari Wahyu. Kami
tidak memaksudkan Wahyu sebagai visi mendadak para pujangga besar dan seniman yang
diklaim untuk diri mereka; maupun inspirasi apostolik para penulis naskah suci; maupun intuisi
iluminatif dan orang-orang bijaksana dan orang-orang berpandangan tajam. Kami memaksudkan
Wahyu sebagai ucapan Tuhan tentang diri-Nya sendiri, ciptaan-Nya, hubungan antara keduanya,
dan jalan keselamatan yang dikomunikasikan kepada Nabi dan Utusan pilihan-Nya, tidak dengan
suara atau huruf, namun sudah berisikan semuanya Dia telah merepresentasikannya dalam kata-
kata, kemudian dibawa oleh Nabi kepada manusia dalam bentuk linguistik yang baru di dalam
alam namun menyeluruh, tanpa kebingungan dengan subjektifitas dan imajinasi kognitif Nabi.
Wahyu ini final, dan bukan hanya mengonfirmasikan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya
dalam bentuk asli, tetapi juga termasuk substansinya, yang memisahkan kebenaran dari kreasi
kultural dan penemuan etnik.

Karena kita mengafirmasi Qur’ān sebagai ungkapan Tuhan yang diwahyukan dalam
bentuk baru bahasa Arab, oleh karena itu deskripsi sifat-dasar-Nya di dalam Qur’ān merupakan
deskripsi diri-Nya oleh diri-Nya dalam kata-kata-Nya sendiri berdasarkan bentuk linguistik
tersebut. Hal ini berarti bahasa Arab Qur’ān, interpretasi tentangnya dalam Tradisi (sunnah, pen.),
dan penggunaan otentik dan otoritatifnya sepanjang zaman telah membentuk keabsahan bahasa
tersebut ke derajat unggul dalam bertugas menggambarkan realitas dan kebenaran.[iv] Dalam
pengertian ini dan tidak seperti situasi yang berlaku umum pada pemikiran modernis dan
posmodernis, kita mempertahankan bahwa bukanlah perhatian Islām untuk terlalu terlibat dalam
urusan semantik dari bahasa secara umum dimana kondisi filsuf bahasa menemukan penuh
masalah pada kemampuan mereka untuk mendekati atau menghubungkan dengan realitas yang
benar. Konsepsi sifat-dasar Tuhan yang diturunkan dengan Wahyu juga dibangun di atas fondasi

34 Prolegomena
rasio dan intuisi, dan dalam beberapa kasus dengan intuisi empiris, sebagai sebuah hasil
pengalaman dan kesadaran manusia akan-Nya dan ciptaan-Nya.

Sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidaklah sama seperti konsepsi Tuhan yang
dipahami dalam pelbagai tradisi keagamaan di dunia; maupun sama dengan konsepsi Tuhan
yang dipahami di dalam tradisi filsafat Yunani dan yang Helenistik; maupun konsepsi Tuhan
yang dipahami dalam tradisi filosofis dan saintifik Barat; maupun tradisi mistik Barat dan Timur.
Penampakan kesamaan yang mungkin ditemukan di antara pelbagai konsepsi mereka tentang
Tuhan dengan sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidak dapat diinterpretasikan
sebagai bukti identitas Tuhan Universal yang Esa dalam pelbagai konsepsi mereka akan sifat-
dasar Tuhan; karena setiap dari mereka bertugas dan berada pada sistem konseptual yang
berbeda, yang secara serta merta menyumbangkan konsepsi tersebut sebagai keseluruhan atau
super-sistem (super-system) sehingga menjadi tidak sama satu sama lain. Maupun terdapat
‘kesatuan transenden agama-agama’, jika ‘kesatuan’ (unity) bermakna ‘keesaan’ (oneness) atau
‘kesamaan’ (sameness); dan jika ‘kesatuan’ tidak bermakna ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ maka
terdapat pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama bahkan pada tingkatan transenden. Jika
diakui bahwa terdapat pluralitas atau ketidaksamaan pada tingkatan tersebut, dan ‘kesatuan’
bermakna ‘kesalinghubungan bagian-bagian yang menciptakan keseluruhan’, maka kesatuan
merupakan saling-hubung pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian yang
menyusun keseluruhan, maka hal itu berarti bahwa pada tingkatan kehidupan sehari-hari,
dimana manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, agama
apapun tidak utuh pada dirinya dan tidak mampu mewujudkan tujuannya, dan hanya mampu
mewujudkan tujuannya, yang merupakan ketundukan kepada Tuhan Universal yang Esa tanpa
menyamakan Dia dengan segala rekan, lawan, atau semacamnya, pada tingkatan transenden.
Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan tepatnya pada tingkatan eksistensi
ketika manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, dan bukan
ketika manusia tidak dipengaruhi keterbatasan tersebut sebagaimana terkandung dalam istilah
‘transenden’. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi ontologis yang tidak
termasuk salah satu dari sepuluh kategori, Tuhan adalah, berbicara secara ketat, bukan Tuhan
agama (cth. ilāh) dalam pengertian bahwa dapat ada sesuatu yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama
pada tingkatan tersebut. Pada tingkatan tersebut Tuhan dikenali sebagai rabb, bukan sebagai ilāh;
dan mengenali Tuhan sebagai rabb tidak serta merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam
pengakuan yang pantas akan kebenaran yang dikenali, karena Iblīs juga mengakui Tuhan sebagai
rabb namun tidak mengakui Dia secara pantas. Tentu saja, seluruh keturunan Adam telah
mengakui Dia sebagai rabb pada tingkatan tersebut. Namun pengenalan manusia sedemikian
akan-Nya tidaklah benar kecuali diikuti pengakuan yang pantas pada tingkatan dimana Dia
diketahui sebagai ilāh. Dan pengakuan yang pantas pada tingkatan ini dimana Dia diketahui
sebagai ilāh terdiri atas tidak menyamakan Dia dengan segala sekutu, lawan, atau semisalnya, dan
berserah kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang diterima-Nya dan ditunjukkan oleh Nabi yang
diutus-Nya. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi psikologis pada tingkatan
pengalaman dan kesadaran yang ‘melampaui’ atau ‘melewati’ kebanyakan di antara manusia,
maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkatan transenden itu bukanlah agama, tetapi
pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dapat dicapai secara relatif oleh beberapa
individu di antara manusia. Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi
keseluruhan manusia dan manusia secara keseluruhan tidak pernah dapat sampai pada tingkatan
transenden dimana terdapat kesatuan agama-agama pada tingkatan tersebut. Maka jika ditolak
bahwa kesatuan pada tingkatan transenden merupakan saling-hubung pluralitas atau

35 Prolegomena
ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang menyusun keseluruhan, melainkan bahwa
setiap agama pada tingkatan kehidupan sehari-hari bukan merupakan bagian dari keseluruhan,
tetapi merupakan keseluruhan dalam dirinya sendiri – maka ‘kesatuan’ bermakna ‘keesaan’ atau
‘kesamaan’ tidak sungguh-sungguh akan agama-agama, tetapi akan Tuhan agama-agama pada
tingkatan transenden (cth. esoterik), yang menyiratkan dengan demikian pada tingkatan
kehidupan sehari-hari (cth. eksoterik), dan kendati akan pluralitas dan keanekaragaman agama-
agama, masing-masing agama itu memadai dan absah dalam jalannya yang terbatas, dimana
masing-masing otentik dan mengandung kebenaran yang sama meskipun terbatas. Gagasan
pluralitas kebenaran absah yang sama dalam pluralitas dan keanekaragaman agama-agama
mungkin diluruskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern yang
muncul dari penemuan pluralitas dan keanekaragaman hukum yang mengatur alam dan
memiliki keabsahan yang sama dalam sistem kosmologis masing-masing. Kecenderungan
meluruskan penemuan saintifik modern terhadap sistem alam semesta dengan pernyataan yang
berhubungan dengan masyarakat, tradisi kultural, dan nilai merupakan salah satu karakteristik
corak modernitas. Posisi mereka yang mendukung teori kesatuan transenden agama-agama itu
berdasarkan dengan asumsi bahwa semua agama, atau agama-agama besar umat manusia, adalah
agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa universalitas dan transendensi esoterisme mengesahkan
teori mereka, yang mereka ‘temukan’ setelah berkenalan dengan metafisika Islām. Dalam
pemahaman mereka akan metafisika kesatuan transenden eksistensi (the trancendent unity of
existence), mereka lebih lanjut berasumsi bahwa kesatuan transenden agama-agama sudah tersirat.
Terdapat kesalahan yang serius dalam semua asumsi mereka, dan frase ‘kesatuan transenden
agama-agama’ itu menyesatkan dan mungkin dimaksudkan demikian karena dorongan selain
kebenaran. Klaim mereka untuk mempercayai kesatuan transenden agama-agama adalah sesuatu
yang dianjurkan kepada mereka secara induktif oleh imajinasi dan diturunkan dari spekulasi
intelektual dan bukan dari pengalaman aktual. Jika ini ditolak, dan klaim mereka diturunkan dari
pengalaman orang lain, maka kembali kita katakan bahwa pengertian ‘kesatuan’ yang dialami
bukanlah agama, tetapi pelbagai derajat atas pengalaman keagamaan individual yang tidak serta
merta membimbing pada asumsi bahwa agama diri individu yang mengalami ‘kesatuan’ tersebut,
memiliki kebenaran absah yang sepadan sebagaimana agama wahyu pada tingkatan kehidupan
sehari-hari. Lebih lanjut, seperti sudah diungkapkan, Tuhan dari pengalaman tersebut dikenali
sebagai rabb, bukan ilāh agama wahyu. Dan mengenali-Nya sebagai rabb tidak serta merta
bermakna mengakui-Nya dalam ketundukan sejati yang diikuti dari pengenalan tersebut, karena
pembangkangan, kesombongan, dan kesalahan juga berasal dari alam transenden. Terdapat
hanya satu agama wahyu. Agama tersebut merupakan agama yang dibawa Nabi-Nabi terdahulu,
yang telah dikirim untuk menyampaikan pesan wahyu kepada kaum mereka sendiri sesuai dengan
kebijaksanaan dan keadilan rencana Ilāhi untuk mempersiapkan orang-orang di dunia menerima
agama dalam bentuk terakhir dan sempurna sebagai Agama Universal di tangan Nabi terakhir,
yang telah dikirim untuk membawa pesan wahyu bukan hanya untuk kaumnya sendiri, tetapi
untuk manusia secara keseluruhan. Pesan penting wahyu selalu sama: mengenali, mengakui, dan
menyembah Tuhan (ilāh) Yang Benar dan Nyata yang Esa, tanpa menyamakan Dia dengan segala
sekutu, lawan, atau semisalnya, ataupun menyifatkan sebuah keserupaan kepada-Nya; dan untuk
mengonfirmasikan kebenaran yang disampaikan Nabi-Nabi terdahulu sebagaimana halnya
mengonfirmasikan kebenaran final yang dibawa Nabi terakhir sebagaimana telah
dikonfirmasikan semua Nabi-Nabi terdahulu sebelumnya. Dengan pengecualian atas orang-orang
pada masa Nabi terakhir ini, yang dengannya agama Wahyu mencapai kondisi paling sempurna
dan asalnya yang murni dipelihara hingga saat ini, kebanyakan orang-orang pada masa Nabi-
Nabi terdahulu diutus dengan sengaja meninggalkan petunjuk dan sebagai gantinya lebih

36 Prolegomena
menyukai kreasi kultural dan penemuan etnik milik mereka, lalu mengakui hal tersebut sebagai
‘agama’ dalam imitasi terhadap agama Wahyu. Terdapat hanya satu agama Wahyu yang sejati,
dan nama yang diberikan adalah Islām, dan orang-orang yang mengikuti agama ini didoakan
Tuhan sebagai yang terbaik di antara manusia. Bagi beberapa orang yang lebih menyukai
mengikuti bentuk dan praktek kepercayaan mereka yang anekaragam yang digambarkan sebagai
‘agama’, kesadaran mereka akan Kebenaran merupakan penemuan ulang, dengan bimbingan dan
ketulusan hati, dari apa yang sudah jelas ada dalam Islām bahkan pada tingkatan kehidupan
sehari-hari. Hanya Islām yang mengakui dan mengafirmasikan Keesaan Tuhan secara absolut
tanpa harus sampai pada tingkatan transenden untuk melakukannya; tanpa membingungkan
pengakuan dan afirmasi tersebut dengan bentuk-bentuk tradisional kepercayaan (belief) dan
praktek yang digambarkan sebagai ‘agama’; tanpa mengacaukan pengenalan dan afirmasi
tersebut dengan kreasi kultural dan penemuan etnik yang diinterpretasikan dalam imitasi dari
agama wahyu. Oleh karena itu, Islām tidak mengakui kesalahan apapun dalam memahami
Wahyu, dan dalam pengertian ini Islām bukan hanya sebuah bentuk — Islām adalah esensi agama
(dīn) itu sendiri. Kita tidak mengakui dalam kasus Islām pembedaan garis horisontal yang
memisahkan pemahaman eksoterik dari esoterik akan Kebenaran dalam agama. Melainkan kita
menjaga sebuah garis vertikal berkelanjutan dari eksoterik ke esoterik; sebuah garis lurus
berkelanjutan yang kita identifikasi sebagai Jalan Lurus akan Islām-īmān-ihsān tanpa kemudian
terdapat inkonsistensi dalam tiga tahap pendakian spiritual tersebut sehingga Realitas atau
Kebenaran transendental yang dikenali dan diakui dalam kasus kita dapat dimasuki banyak
orang. Sia-sialah mengusahakan kamuflase kesalahan dalam agama-agama, dalam pemahaman
dan interpretasi akan kitab-kitab mereka yang mereka percaya merefleksikan Wahyu yang asli,
dengan memilih bentuk-bentuk karakteristik dan keanehan akan bentuk yang berbeda dari
etnisitas dan simbolisme, kemudian menjelaskan simbolisme tersebut dengan sebuah
hermenutika yang disusun dan menipu sedemikian sehingga kesalahan nampak sebagai
kebenaran. Agama bukan hanya terdiri dari afirmasi akan Keesaan Tuhan (al-tawhīd), tetapi juga
cara dan bentuk dimana kita menguji afirmasi tersebut sebagaimana ditunjukkan Nabi-Nya yang
terakhir, yang mengonfirmasikan, menyempurnakan, dan mengukuhkan cara dan bentuk
afirmasi dan verifikasi dari Nabi-Nabi sebelumnya. Cara dan bentuk verifikasi ini merupakan cara
dan bentuk ketundukan kepada Tuhan. Maka, pengujian afirmasi yang benar akan Keesaan Tuhan,
adalah bentuk ketundukan kepada Tuhan tersebut. Hal ini hanya karena bentuk ketundukan yang
ditetapkan agama yang mengafirmasi Keesaan Tuhan adalah benar terhadap verifikasi afirmasi
tersebut sehingga agama partikular tersebut disebut Islām. Maka Islām, bukan hanya kata kerja
yang menandakan ‘ketundukan’; Islām juga nama agama partikular yang mendeskripsikan
ketundukan sejati, seperti halnya definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Kini cara dan bentuk
ketundukan yang ditetapkan agama secara jelas dipengaruhi oleh konsepsi akan Tuhan dalam
agama. Oleh karena itu konsepsi akan Tuhan dalam agama adalah penting bagi artikulasi yang
betul akan bentuk ketundukan sejati; dan konsepsi ini harus memadai dalam bertugas
menggambarkan sifat-dasar Tuhan yang benar, yang hanya dapat diturunkan dari Wahyu, bukan
dari tradisi kultural dan etnis, maupun dari peleburan tradisi kultural dan etnis dengan kitab
sucinya, maupun dari spekulasi filosofis yang dibantu penemuan sains.

Konsepsi sifat-dasar Tuhan dalam Islām merupakan kesempurnaan atas apa yang telah
diwahyukan kepada Nabi menurut Qur’ān. Dia adalah Tuhan yang esa; hidup, swa-berada, abadi
dan kekal. Eksistensi adalah inti esensi-Nya. Dia itu satu dalam esensi; tidak ada pembelahan
dalam esensi-Nya, baik dalam imajinasi, aktualitas, atau dalam dugaan, yang mungkin. Dia bukan
tempat kualitas, maupun sesuatu yang dibagi atau terpisah menjadi bagian-bagian, maupun

37 Prolegomena
sesuatu yang tersusun atau terdiri dari unsur-unsur penyusun. Keesaan-Nya absolut, dengan
keabsolutan tidak seperti keabsolutan alam semesta, karena selama menjadi sedemikian absolut
namun Dia diindividuasikan dalam cara individuasi (individuation) yang tidak mengurangi
kemurnian keabsolutan-Nya maupun kesucian keesaan-Nya. Dia itu transenden, dengan
transendensi yang tidak membuat transendensi tersebut tidak membuatnya tidak mampu bagi-
Nya untuk sekaligus hadir dimana-mana (omnipresent), sehingga Dia juga imanen, namun bukan
dengan pengertian yang dipahami seperti yang ada dalam semua paradigma panteisme. Dia
memiliki sifat-sifat nyata dan abadi yang merupakan kualitas dan kesempurnaan yang Dia
tujukan kepada diri-Nya; mereka tidak lain dari esensi-Nya, dan namun mereka juga terpilah dari
esensi-Nya dan dari satu sama lain tanpa realitas dan keterpilahan mereka membuat mereka
menjadi entitas terpisah yang berada terlepas dari esensi-Nya sebagai pluralitas yang abadi;
melainkan mereka bersatu dengan esensi-Nya dalam kesatuan yang tidak terimajinasikan.
Keesaan-Nya adalah keesaan esensi-esensi, sifat-sifat, dan tindakan-tindakan, karena Dia hidup
dan berkuasa, mengetahui, berkehendak, mendengar dan melihat, dan berbicara melalui sifat-
sifat-Nya akan kehidupan dan kekuasaan, pengetahuan, kehendak, mendengar, melihat, dan
berbicara; dan hal-hal yang berlawanan dengan semua hal tersebut adalah mustahil pada-Nya.

Dia tidak seperti Penggerak Pertama (First Mover) Aristotelian, karena Dia selalu dalam
tindakan sebagai agen bebas yang bertaut dalam aktifitas penciptaan yang berkelanjutan yang
tidak mengakibatkan perubahan pada-Nya atau transformasi dan proses-menjadi (becoming). Dia
jauh terlalu agung untuk menerima dualisme bentuk dan materi Platonis dan Aristotelian pada
aktifitas kreatif-Nya; maupun dapat aktifitas kreatif dan ciptaan-Nya digambarkan dalam
pengertian metafisika Plotinian tentang emanasi. Aktifitas penciptaan oleh-Nya adalah membawa
realitas-realitas ideal yang azali (preexist) dalam pengetahuan-Nya menjadi eksistensi eksternal
dengan kekuasaan dan kehendak-Nya; dan realitas tersebut merupakan entitas yang disebabkan-
Nya termanifestasi dalam kondisi interior keberadaan-Nya. Aktifitas penciptaan oleh-Nya adalah
tindakan tunggal yang berulang dalam proses abadi, sedangkan isi proses tersebut yang
merupakan ciptaan-Nya tidaklah abadi, selalu dalam kondisi baru namun nampak serupa dalam
durasi eksistensi yang terpisah selama Dia menghendaki.

Melalui Wahyulah, dimana Tuhan telah menggambarkan diri-Nya, aktifitas kreatif dan
ciptaan-Nya, dan bukan melalui tradisi filosofis Yunani atau yang Helenistik, bukan juga melalui
filsafat maupun sains, dimana Islām menginterpretasikan dunia bersama semua bagiannya dalam
pengertian peristiwa yang muncul di dalam sebuah proses abadi akan ciptaan yang baru.
Interpretasi ini menyertakan afirmasi terhadap realitas dan sifat-dasar ganda mereka yang terdiri
atas aspek berlawanan yang saling melengkapi (complementary opposites); kondisi eksistensial
mereka atas permanensi dan perubahan; keterlibatan mereka dalam proses pembinasaan dan
pembaharuan terus menerus dengan yang serupa; keberadaan absolut mereka pada masa lalu dan
akhir mereka yang absolut di masa depan. Terdapat batasan terhadap waktu dan ruang; dan
keduanya merupakan hasil tindakan penciptaan yang membuat alam semesta menjadi being.
Perubahan bukanlah pada hal-hal yang fenomenal, karena hal itu akan menyiratkan persistensi
being pada hal-hal yang menjadikan mereka sebagai lapisan dasar terjadinya perubahan, tetapi
pada tingkatan ontologis realitas mereka yang terkandung di dalam diri mereka semua kondisi
masa depan mereka. Maka, perubahan merupakan aktualisasi berturut-turut, oleh tindakan
penciptaan, dari potensialitas yang inheren dalam realitas hal-hal dimana mereka
membentangkan kandungan mereka dalam persesuaian dengan perintah penciptaan yang
memelihara identitas mereka sepanjang waktu. Kondisi ganda realitas yang melibatkan

38 Prolegomena
permanensi di satu sisi dan perubahan di sisi lain mengandaikan kategori ontologis ketiga dalam
kondisi interior Being antara eksistensi eksternal dan non-eksistensi. Kategori tersebut adalah alam
realitas ideal yang berada sebagai entitas yang didirikan secara permanen dalam kesadaran
Tuhan, dan mereka tidak lain dari bentuk dan aspek dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang
dipertimbangkan dalam aspek mereka yang berbeda dari-Nya.

Islām mengafirmasi kemungkinan pengetahuan; bahwa pengetahuan akan realitas hal-hal


dan sifat-dasar pokok mereka dapat dibangun secara pasti dengan fakultas indera eksternal dan
internal, rasio dan intuisi, dan berita yang benar atas sifat-dasar saintifik atau agama, yang
ditransmisikan oleh otoritas mereka yang otentik. Islām tidak pernah menerima, ataupun pernah
terpengaruh relatifisme etis dan epistemologis yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala
hal, maupun pernah tercipta situasi bagi kemunculan skeptisisme, agnotisisme, dan subjektifisme,
yang semua itu satu sama lain menggambarkan aspek dari proses pensekularan yang telah
berkontribusi terhadap kelahiran modernisme dan posmodernisme.

Pengetahuan adalah tibanya makna dalam jiwa maupun tibanya jiwa pada makna. Dalam
definisi ini kita mengafirmasi bahwa jiwa bukan hanya penerima pasif seperti tabula rasa, tetapi
juga sesuatu yang aktif dalam pengertian mengatur diri sendiri dalam kesiapan untuk menerima
apa yang ingin diterima, sehingga secara sadar bekerja keras untuk tiba kepada makna. Makna
hadir ketika tempat yang tepat dari segala hal di dalam sistem telah jelas kepada pemahaman.
Gagasan ‘tempat yang tepat’ sudah menyiratkan keberadaan ‘relasi’ yang diperoleh antara
sesuatu yang secara keseluruhan menggambarkan sebuah sistem, dan hubungan atau jaringan
relasi itulah yang menentukan pengenalan kita akan tempat yang tepat tentang segala hal di
dalam sistem. ‘Tempat’ yang dimaksud di sini adalah apa yang muncul bukan hanya dalam
tatanan eksistensi spasio-temporal, tetapi juga dalam tatanan eksistensi imajinal, intelijibel
(intelligible), dan transendental. Karena objek pengetahuan dari sudut pandang kognisi manusia
adalah tanpa batas, dan karena indera eksternal dan internal dan fakultas imajinasi dan kognisi
semuanya memiliki kekuatan dan potensi terbatas, dimana masing-masing diciptakan untuk
mengandung dan memelihara informasi yang diperhatikannya sebagaimana telah ditetapkan,
maka rasio menuntut ada batas kebenaran untuk setiap objek pengetahuan, yang jika melampaui
atau kurang darinya kebenaran tentang objek itu sejauh ia dan potensi yang seharusnya diketahui
itu menjadi palsu. Pengetahuan tentang batas kebenaran ini pada setiap objek pengetahuan
dicapai dengan akal sehat jika objek tersebut sudah merupakan sesuatu yang jelas kepada
pemahaman, atau dicapai lewat kebijaksanaan, baik praktis maupun teoritis sepanjang kasus yang
mungkin, ketika objek tersebut tidak jelas kepada pemahaman. Penampakan dan kejelasan makna
objek pengetahuan berkaitan dengan tempat masing-masing di dalam sistem relasi; dan tempat
mereka yang ‘tepat’ menjadi nampak kepada pemahaman kita ketika batas dari arti mereka
dikenali. Maka hal ini merupakan posisi kebenaran: bahwa ada batas makna hal-hal dalam cara
dimana mereka dimaksudkan untuk diketahui, dan tempat mereka yang tepat secara mendalam
terikat dengan batas arti mereka. Maka, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengenali
batas kebenaran dalam setiap objeknya.

Tantangan kita sesungguhnya adalah problem kerusakan pengetahuan. Hal ini datang
terkait dengan kondisi kita yang bingung maupun juga karena pengaruh yang datang dari filsafat,
sains, dan ideologi kebudayaan dan peradaban Barat Modern. Kebingungan intelektual muncul
sebagai hasil perubahan dan pembatasan makna kata kunci yang memproyeksikan pandangan-
dunia yang diturunkan dari Wahyu. Akibat yang timbul dari kebingungan intelektual ini

39 Prolegomena
memanifestasikan diri mereka dalam dislokasi moral dan kultural, yang merupakan gejala
kemerosotan pengetahuan, kepercayaan-kuat (faith), dan nilai keagamaan. Perubahan dan
pembatasan makna kata kunci tersebut muncul berkaitan dengan penyebaran sekularisasi sebagai
program filosofis, yang berayun dalam hati dan menjerat pikiran dalam krisis kebenaran dan
identitas. Krisis tersebut, pada gilirannya, telah teraktualisasi sebagai hasil sistem pendidikan
yang disekularisasi yang menyebabkan penyimpangan, jika tidak dipotong, dari akar historis
yang telah secara teguh dibangun oleh orang bijak dan para pendahulu kita yang masyhur di atas
fondasi yang dihidupkan oleh agama. Seseorang harus melihat bahwa jenis problem yang
menghadang kita ini merupakan suatu sifat-dasar yang mendalam sehingga memeluk seluruh
unsur mendasar pandangan-dunia kita yang tidak dapat secara sederhana diselesaikan dengan
hukum dan politik. Hukum dan keteraturan hanya dapat menemukan tempatnya ketika
pengenalan akan kebenaran dibedakan dari kepalsuan, dan nyata dapat dibedakan dari ilusi, telah
diafirmasi dan dikonfirmasi dengan tindakan dalam pengakuan menurut pengenalan tersebut.
Hal ini dicapai dengan pengetahuan yang betul dan metode penyebarannya yang betul. Jadi mari
kita jangan menghamburkan energi kita dalam mengusahakan mencari jalan keluar dengan
meraba-raba dalam labirin legalisme, melainkan mengonsentrasikan energi itu kepada problem
utama, yang terikat secara intim dengan pemahaman yang tepat dan apresiasi akan agama dan
pandangan-dunia yang diproyeksikan olehnya, karena hal itu secara langsung memedulikan
manusia, pengetahuan dan tujuannya dalam hidup, tujuan akhirnya.

Proses perolehan pengetahuan tidak disebut ‘pendidikan’ kecuali pengetahuan yang


diperoleh itu termasuk tujuan moral yang mengaktifasikan dalam diri seseorang yang
memperolehnya apa yang saya sebut adab. Adab adalah tindakan yang betul (right action) yang
bersemi dari swa-disiplin yang dibangun di atas pengetahuan yang bersumber pada
kebijaksanaan. Demi kenyamanan saya akan menerjemahkan adab secara sederhana sebagai
‘tindakan yang betul’ (right action). Terdapat hubungan intrinsik antara makna dan pengetahuan.
Saya definisikan ‘makna’ sebagai pengenalan akan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem, yang
terjadi ketika relasi sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami. ‘Tempat’
menunjuk kepada tempat yang benar atau tepat dalam sistem; dan ‘sistem’ di sini menunjuk
kepada sistem konseptual Qur’āni sebagaimana dirumuskan menjadi pandangan-dunia oleh
tradisi dan diartikulasikan oleh agama. Pengetahuan sebagaimana telah didefinisikan adalah
tibanya makna ke dalam jiwa, dan tibanya jiwa pada makna, dan hal ini merupakan pengenalan akan
tempat yang tepat akan segala hal dalam tatanan penciptaan, yang menggiring kepada pengenalan tempat
yang tepat akan Tuhan dalam tatanan being dan eksistensi. Namun, pengetahuan sedemikian tidak
menjadi pendidikan kecuali pengenalan tempat yang tepat tersebut diaktualisasikan dengan
pengakuan — yakni, dengan konfirmasi dan afirmasi di dalam diri — akan realitas dan kebenaran
dari apa yang dikenali. Pengakuan mengharuskan tindakan yang tepat sesuai dengan pengenalan.
Adab, atau tindakan yang betul, mengandung pengenalan semacam itu. Maka, pendidikan adalah
penyerapan adab dalam diri. Aktualisasi adab dalam diri individual yang menyusun masyarakat
sebagai entitas kolektif merefleksikan kondisi keadilan; dan keadilan itu sendiri merupakan
refleksi kebijaksanaan, yang merupakan sinar yang diambil dari sinar kenabian yang
memungkinkan penerimanya menemukan tempat yang benar dan tepat bagi sesuatu atau being.
Kondisi being dalam tempat yang tepat adalah apa yang telah saya sebut sebagai keadilan; dan
adab adalah tindakan kognitif dimana kita mengaktualisasikan kondisi being dalam tempat yang
tepat. Jadi adab dalam pengertian yang saya definisikan, adalah juga refleksi kebijaksanaan; dan
dalam hal masyarakat, adab adalah tatanan yang adil di dalamnya. Adab, secara singkat

40 Prolegomena
didefinisikan, adalah pertunjukkan keadilan (‘adl) sebagaimana direfleksikan oleh kebijaksanaan
(hikmah).

Dengan maksud menjelaskan apa yang saya maksud dengan adab dan untuk menilai
definisi saya tentangnya, mari kita anggap, sebagai contoh, diri sendiri. Diri atau jiwa manusia
memiliki dua aspek; yang satu memengaruhi terhadap tindakan yang terpuji, bersifat-dasar
cerdas, setia kepada perjanjiannya dengan Tuhan; yang lain ditundukkan oleh perbuatan iblis,
bersifat-dasar buas, tidak memerhatikan perjanjiannya dengan Tuhan. Yang awal kita sebut jiwa
rasional (al-nafs al-nāţiqah), yang kemudian jiwa jasmani atau hewani (al-nafs al-hayawāniyyah).
Ketika jiwa rasional menundukkan jiwa hewani dan membuat di bawah kendalinya, maka
seseorang meletakkan jiwa hewani dalam tempatnya yang tepat dan jiwa rasional juga dalam
tempat yang tepat. Dengan demikian, dan dalam relasi dengan diri seseorang, seseorang
meletakkan diri sendiri dalam tempat yang tepat. Hal ini merupakan adab terhadap diri sendiri.
Kemudian dalam relasi keluarga seseorang dan pelbagai anggotanya; ketika perilaku dan sikap
seseorang terhadap orang tua dan sesepuhnya menampilkan tindakan yang tulus dengan rendah
hati, sayang, hormat, peduli, dan derma; hal ini menunjukkan seseorang mengetahui tempat yang
tepat dalam berhubungan dengan mereka dengan meletakkan mereka dalam tempat yang tepat.
Hal ini merupakan adab terhadap keluarga. Dan hal yang serupa, dalam perilaku dan sikap, ketika
diperluas kepada para guru, teman, komunitas, pemimpin, memanifestasikan pengetahuan
tentang tempat yang tepat dari seseorang dalam hubungan dengan mereka; dan pengetahuan ini
menyertakan tindakan yang diwajibkan dengan maksud mengaktualisasi adab terhadap mereka
semua. Lalu, ketika seseorang meletakkan kata dalam tempat mereka yang tepat sehingga makna
mereka yang benar menjadi dipahami, dan kalimat dan sajak dalam cara sedemikian rupa
menjadi prosa dan puisi kemudian menjadi literatur, maka hal itu merupakan adab terhadap
bahasa. Lebih lanjut, ketika seseorang meletakkan pepohonan dan bebatuan, gunung, sungai,
lembah, dan danau, hewan dan habitat mereka dalam tempat mereka yang tepat, maka hal itu
merupakan adab terhadap alam dan lingkungan. Hal yang sama berlaku pada rumah seseorang
ketika seseorang mengatur perabot dan meletakkan segala hal pada tempat yang tepat hingga
kondisi harmonis tercapai – semua aktifitas tersebut merupakan adab terhadap rumah dan
perabot. Dan kita juga menyebutkan peletakan warna, bentuk, dan suara dalam tempat mereka
yang tepat sehingga menghasilkan efek yang menyenangkan — hal itu merupakan adab terhadap
seni dan musik. Demikian juga pengetahuan, dengan cabang dan disiplin yang banyak, beberapa
di antaranya secara tegas lebih penting terhadap kehidupan dan nasib kita daripada yang lain;
jika seseorang menggolong-golongkan mereka berdasarkan kepada pelbagai tingkatan dan
prioritas dan mengelompokkan pelbagai sains tersebut dalam hubungan dengan prioritas mereka
kemudian meletakkan setiap dari mereka dalam tempatnya yang tepat, maka hal merupakan adab
terhadap pengetahuan. Seharusnya sudah jelas bahwa interpretasi saya terhadap makna adab
menyampaikan bahwa adab menyiratkan pengetahuan; adab merupakan pengetahuan yang
diturunkan dari kebijaksanaan (hikmah); yang mewujudkan tujuan mencari pengetahuan; adab
juga merupakan aktifitas internal dan eksternal dari jiwa yang bersemi dari nilai etis dan moral
dan kebajikan; sumber asalnya bukan filsafat atau sains, tetapi kebenaran wahyu yang mengalir
dari agama.

Dari definisi di atas tentang beberapa konsep kunci utama dalam Islām, yang semuanya
memusat pada konsep pengetahuan, menjadi jelas bahwa makna mereka secara dekat saling
berhubungan, dimana secara khusus makna mereka yang semuanya terpusat atas gagasan
‘tempat yang tepat’ menunjuk kepada ‘tatanan’ tertentu dalam sistem dan relasi seseorang dengan

41 Prolegomena
tatanan tersebut. Tatanan tersebut merupakan bentuk hierarki yang meliputi tatanan penciptaan
being dan eksistensi, baik eksistensi eksternal dan mental. Hierarki yang saya maksud, ketika
diterapkan kepada tatanan manusia, bukan untuk disalahpahami sebagai jenis hierarki yang
diciptakan manusia dan diartikulasikan ke dalam struktur sosial seperti sistem kasta, atau kelas
organisasi pendeta, atau segala jenis stratifikasi sosial berdasarkan kelas. Hal tersebut bukan
sesuatu yang diatur menjadi struktur sosial; melainkan sesuatu yang diatur dalam pikiran dan
diaktualisasikan dalam sikap dan perilaku. Pengaturan dalam pikiran tidak dirumuskan oleh kriteria
manusia tentang kekuasaan, kekayaan, dan keturunan, namun dengan kriteria Qur’āni tentang
pengetahuan, kecerdasan, dan kebajikan. Ketika pikiran mengenali kenyataan bahwa
pengetahuan dan being diatur berdasarkan pelbagai tingkatan dan derajat mereka, dan ketika
sikap dan perilaku mengakui dengan tindakan apa yang dikenali pikiran, maka kesesuaian
pengakuan dengan pengenalan ini, dimana diri berasumsi tentang tempatnya yang tepat
bersesuaian dengan tindakan pengakuan, tidak lain merupakan adab. Namun, ketika pikiran salah
meletakkan tingkatan dan derajat pengetahuan dan being, lalu mengacaukan tatanan hierarki yang
absah, maka hal ini berkaitan dengan kerusakan pengetahuan. Kerusakan demikian direfleksikan
dalam kebingungan tentang keadilan, sehingga gagasan ‘tempat yang tepat’ tidak lagi diterapkan
dalam pikiran atau secara eksternal, dan berlangsunglah kehancuran adab.

Kehancuran adab, yang merupakan akibat dari kerusakan pengetahuan, menciptakan situasi
dengan mana pemimpin palsu muncul dalam seluruh lapisan kehidupan; karenanya hal itu bukan
hanya menyiratkan kerusakan pengetahuan, tetapi juga bermakna kehilangan kapasitas dan
kemampuan untuk mengenali dan mengakui pemimpin yang benar. Disebabkan anarki
intelektual yang mengarakteristikkan situasi ini, orang awam menjadi penentu putusan
intelektual dan diangkat ke tingkatan otoritas pada persoalan pengetahuan. Definisi otentik
menjadi tidak beres, dan sepeninggalan mereka kita ditinggalkan dengan slogan basa-basi dan
kabur yang tersamar sebagai konsep yang mendalam. Ketidakmampuan mendefinisikan;
mengidentifikasi dan mengisolasi problem, dan karenanya untuk menghasilkan solusi yang tepat;
penciptaan problem-semu; reduksi masalah menjadi hanya bersifat politis, sosio-ekonomi dan
faktor hukum menjadi buktinya. Tidak mengagetkan jika situasi macam itu menyediakan lahan
subur bagi kemunculan para penyimpang dan ekstrimis dalam banyak jenis yang menjadikan
kebodohan sebagai modal mereka/ menjadi abai terhadap kebagusan mereka.

Bahasa merefleksikan ontologi. Memperkenalkan konsep kunci asing kepada sebuah bahasa
bukan hanya melibatkan menerjemahkan kata-kata, tetapi lebih dalam menerjemahkan bentuk
simbolik yang berada pada super-sistem pandangan-dunia asing yang tidak cocok dengan
pandangan-dunia yang diproyeksikan oleh bahasa dimana konsep demikian diperkenalkan.
Mereka yang bertanggungjawab memperkenalkan dan mendukung penggunaan mereka adalah
cendekiawan, akademisi, jurnalis, kritikus, politisi, dan amatiran yang tidak secara kokoh
berdasarkan atas pengetahuan esensial dari agama dan visinya tentang realitas dan kebenaran.
Salah satu sebab utama kemunculan kebingungan dan anarki intelektual adalah perubahan dan
pembatasan yang telah mereka akibatkan dalam makna kata kunci yang memroyeksikan
pandangan-dunia Islām yang diturunkan dari Wahyu. Faktor terbesar yang memengaruhi
pemikiran mereka tidak diragukan lagi adalah pengenalan konsep sekular dan akibatnya kepada
bahasa dan alam diskursus kita, dan dengan muslim secara keseluruhan belum menerimanya dari
perspektif yang tepat.

42 Prolegomena
Gereja Barat yang awal dilatinkan (latinized) memonopoli pembelajaran dan penemuan
istilah ‘sekular’ (saeculum) untuk menunjuk kepada orang yang tidak mampu membaca dan
menulis, yang oleh karena itu tidak belajar humaniora dan sains, khususnya hukum dan
pengobatan, yang kemudian secara umum disebut ‘laity’: non-profesional, bukan ahli. Berkaitan
dengan keasyikan orang-orang demikian dengan masalah keduniaan, istilah tersebut juga
mengandung makna umum ‘perhatian dengan urusan dunia’; menjadi ‘tidak suci’, ‘bukan
monastik’, ‘tidak gerejawi’; sesuatu yang ‘temporal’, ‘sesuatu yang ‘profan’. Karenanya kita
menemukan istilah tersebut diterjemahkan oleh orang Arab Kristen ke dalam bahasa Arab Kristen
sebagai ‘almāniy’, bermakna: laysa min arbāb al-fann aw al-hirfah( ); dan ‘sekularitas’ sebagai al-
ihtimām bi umur al-dunyā, atau al-ihtimām bi al-‘ālamiyyāt ( ); dan ‘sekularisasi’ sebagai hawwal ilā
gharad ‘ālamiy ay dunyāwiy ( ). Terjemahan istilah ini dan pelbagai bentuk gramatikalnya, dalam
pengertian yang dipahami oleh Gereja Kristen Barat dan penerjemah Arab Kristen, telah dibiarkan
memperoleh penggunaan dalam arus utama bahasa Arab Islām kontemporer, meskipun dengan
fakta yang jelas bahwa tidak ada relevansi apapun bagi Islām dan umat Muslim. Tidak ada
padanan apapun dalam Islām dengan konsep sekular, khususnya karena tidak ada padanan bagi
‘gereja’ atau ‘clergy’, dan karena Islām tidak mengakui bahwa terdapat dikotomi antara yang
sakral dan profan yang secara alamiah (dikotomi itu, penerj.) membawa perendahan terhadap
dunia yang profan. Jika ada padanan terdekat yang dapat ditemukan dalam Islām dengan konsep
sekular, maka hal itu adalah apa yang dikonotasikan oleh konsep Qur’ān tentang al-hayāt al-dunyā:
‘kehidupan dunia’. Kata dunyā, diturunkan dari danā, yang mengandung makna sesuatu yang
‘dibawa dekat’. Sesuatu yang ‘dibawa dekat’ ini, menurut interpretasi saya, adalah dunia bersama
dengan seluruh bagiannya; karena dunia yang dibawa dekat, sedang dibawa dekat dengan
pengalaman dan kesadaran manusia. Karenanya dunia disebut dunyā. Dengan sebab fakta bahwa apa
yang dibawa dekat — adalah, dunia dan kehidupan di dalamnya — mengelilingi kita dan
meliputi kita, mereka membatasi untuk mengalihkan kesadaran dari tujuan akhir kita, yang
melampaui dunia dan kehidupan ini, akan apa yang datang kemudian, yakni, al-ākhirah. Karena al-
ākhirah datang terakhir, al-ākhirah dirasakan jauh; dan hal ini menekankan pengalihan yang
diciptakan oleh apa yang dekat. Qur’ān Suci mengatakan bahwa Akhirat lebih baik dari kehidupan
di dunia ini; akhirat itu lebih abadi, tahan lama. Namun, Qur’ān Suci tidak merendahkan dunia
itu sendiri atau menjauhkan dari perenungan, refleksi, interpretasi, dan keingintahuan atasnya;
melainkan memuji dunia ciptaan dan mendorong kita untuk merenungkan dan merefleksikannya
dengan maksud mungkin kita mampu untuk menginterpretasikan dan menurunkan
kegunaannya yang praktis dan menguntungkan. Qur’ān Suci hanya memeringatkan sifat
mengalihkan dan sementara dari kehidupan di dunia. Peringatan tersebut yang ditekankan dalam
konsep al-hayāt al-dunyā adalah tentang kehidupan di dalamnya, bukan dunia itu sendiri, sehingga
alam dan dunia tidak direndahkan sebagaimana tersirat dalam konsep sekular. Itulah mengapa
saya mengatakan bahwa al-hayāt al-dunyā merupakan padanan terdekat dengan konsep sekular,
karena pada fakta aktual tidak ada konsep yang sungguh sepadan dalam pandangan-dunia Islām
yang diproyeksikan Qur’ān Suci. Lebih lanjut, karena dunia adalah apa yang ‘dibawa dekat’, dan
karena dunia dan alam merupakan tanda-tanda atau āyāt Tuhan, dunia merupakan tanda akan
Tuhan yang dibawa dekat kepada pengalaman dan kesadaran kita; dan akan merupakan
mengumpat Tuhan, mengatakan dengan selembut-lembutnya, dengan merendahkan dunia dan
alam tanpa mengetahui mereka dalam tujuan dan karakter sejati mereka. Manifestasi rahmat dan
kasih sayang Tuhan yang tak terbataslah sehingga Dia membuat tanda-Nya dibawa dekat kepada
kita, dan lebih baik bagi kita untuk mengerti makna yang dimaksudkan mereka. Oleh karena itu
tidak ada kata maaf, untuk mereka yang kagum dengan tanda itu, lalu menyembah tanda
daripada Tuhan yang mereka tuju; atau mereka yang, mencari Tuhan, namun merendahkan dan

43 Prolegomena
menyangkal tanda-Nya sebab mereka melihat godaan iblis di dalamnya dan bukan di dalam diri
mereka sendiri; atau bagi mereka, yang menolak Tuhan, lalu menyesuaikan tanda-tanda tersebut
untuk tujuan mereka yang materialistis dan mengubah mereka dalam pengejaran ‘perkembangan’
yang palsu. Dunia tidak dapat berkembang karena sudah sempurna mengacu kepada fiţrahnya;
hanya kehidupan di dalam dunia yang dapat berkembang. Ada tujuan akhir dari dunia
sebagaimana ada tujuan akhir dari kehidupan di dunia. Perkembangan kehidupan di dunia
adalah mengarahkan kepada keberhasilan yang akan datang setelahnya, karena tidaklah
bermakna kata ‘perkembangan’ kecuali diluruskan pada tujuan akhir.

Istilah Latin saeculum dalam pengertian aslinya berkaitan dengan rumusan doktrinal tradisi
keagamaan Kristen Barat. Namun, makna sejati yang diletakkan di dalamnya, secara bertahap
mengungkapkan makna mereka dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat yang meluas
lebih dari satu periode selama tujuh abad perkembangan intelektual dan saintifik mereka hingga
akibat totalnya kini telah menjadi teraktualisasikan. Sedangkan asal istilah ‘secular’, dari saeculum,
mengandung konotasi spasio-temporal, sebagaimana dapat dipahami dari cara penggunaannya,
dimana tatanan terdahulu dalam rumusan makna ganda itu kini telah melalui perubahan yang
menekankan aspek temporal daripada aspek spasial. Asal konotasi spasio-temporal itu diturunkan
secara historis dari pengalaman dan kesadaran yang lahir dari perpaduan tradisi Yunani-Romawi
dan Yudais dalam Kristen Barat. ‘Perpaduan’ unsur-unsur yang bertentangan secara mutual dari
pandangan-dunia Hellenis dan Yahudi inilah yang secara hati-hati disatukan dalam Kristianitas
yang juga disadari oleh teolog dan intelektual Kristen sebagai problematis, dalam pandangan
yang awal memandang eksistensi secara mendasar adalah spasial dan yang belakangan adalah
temporal. Kemunculan kebingungan akan pandangan-dunia menjadi akar problem epistemologis
dan karenanya juga problem teologis. Karena dunia hanya telah di masa modern menjadi lebih
dan lebih dipahami dan dikenali oleh mereka sebagai bersifat historis, penekanan pada aspek
temporal menjadi penuh bermakna dan mengandung arti khusus bagi mereka. Karena alasan ini
lalu mereka menggunakan diri mereka dalam usaha menekankan apa yang mereka terima sebagai
visi Yahudi akan eksistensi, yang mereka pikir lebih serumpun dengan semangat ‘waktu’, dan
menuduh yang Hellenistik sebagai kesalahan serius dan mendasar. Sehingga, kini mereka
menyatakan bahwa konsep sekular mengandung konotasi ganda akan waktu dan lokasi; waktu
menunjuk kepada pengertian ‘sekarang’ atau ‘kini’, dan lokasi menunjuk kepada pengertian
‘dunia’ atau ‘duniawi’. Dengan begitu saeculum diinterpretasikan secara mendasar bermakna
‘zaman ini’ atau ‘saat ini’; dan zaman ini atau saat ini menunjuk kepada peristiwa di dalam dunia,
dan juga bermakna ‘peristiwa kekinian’. Penekanan makna tersebut diletakkan pada waktu atau
periode partikular dalam dunia yang dipandang sebagai sebuah proses historis. Konsep sekular
menunjuk kepada kondisi dunia ini pada waktu atau periode atau zaman yang partikular. Sudah
kita lihat di sini kuman makna yang dengan mudah mengembangkan dirinya sendiri secara
alamiah dan logis ke dalam konteks eksistensial atas dunia yang selalu-berubah (ever-changing)
dimana di sana muncul relatifitas nilai manusia. Dan perkembangan alamiah dan logis dari
konsep sekular kini berlangsung dalam peradaban Barat modern, kontemporer, yang disebarkan
ke seluruh dunia.

Kita mesti melihat, dalam pandangan atas fakta bahwa sekularisasi tidak hanya terkurung
dalam dunia Barat, bahwa pengalaman dan sikap mereka atasnya merupakan yang paling
mengandung pelajaran bagi muslim. Kita harus sadar bahwa sekularisasi, dalam cara yang juga
terjadi di dunia muslim, jelas memengaruhi kepercayaan-kuat (faith) dan jalan hidup kita,
meskipun tidak dengan cara yang sama seperti halnya terjadi pada kepercayaan dan jalan hidup

44 Prolegomena
manusia Barat; karena problem yang muncul dari sekularisasi, walaupun tidak sama seperti di
Barat, secara pasti menyebabkan banyak kebingungan di tengah-tengah kita. Tidaklah
mengejutkan bahwa problem tersebut disebabkan berkaitan dengan pengenalan cara berpikir,
putusan, dan kepercayaan (belief) Barat yang juga coba diikuti oleh beberapa sarjana dan
intelektual muslim modernis maupun muslim tradisional yang telah terlalu terpengaruh Barat
modern dan terlalu kagum dengan pencapaian teknologis dan saintifik, yang dengan sebab fakta
bahwa mereka dapat begitu sedemikian siap terpengaruh yang memperlihatkan kekurangan
pemahaman yang benar dan pengertian yang penuh baik pandangan-dunia Islām dan Barat
modern dan kepercayaan (belief) esensial dan mode pemikiran yang memproyeksikan mereka.
Mereka telah, karena posisi yang berpengaruh dalam masyarakat, secara sadar atau tidak sadar
menjadi penyebar kebingungan yang tidak perlu yang dibangun di atas krisis identitas. Situasi di
tengah-tengah kita dapat dilihat kritis ketika kita memertimbangkan fakta bahwa muslim secara
umum tidak sadar apa yang tersirat dari proses pensekularan. Oleh karena itu penting supaya
kita memperoleh pemahaman yang jelas tentangnya dari mereka yang mengetahui dan sadar
akannya, seseorang yang percaya dan menerimanya, yang mengajarkan dan mendukungnya
kepada dunia.

Sekularisasi didefinisikan sebagai “pelepasan manusia pertama kali dari kontrol agama
kemudian dari kontrol metafisika dari rasio dan bahasanya”.[v] Sekularisasi adalah membebaskan
dunia dari pemahaman religius dan semi-religius akan dirinya sendiri; pengusiran seluruh
pandangan-dunia tertutup, penghancuran semua mitos supranatural dan simbol-simbol suci;
“defatalisasi” sejarah; penemuan manusia bahwa dia telah ditinggalkan dengan dunia di
tangannya, sehingga dia tidak lagi dapat menyalahkan Keberuntungan (Fortune) atau Amukan
(Furies) atas apa yang dia lakukan dengannya; hal itu merupakan peralihan perhatian manusia
dari dunia setelahnya dan menuju dunia ini dan saat ini.

Sekularisasi meliputi tidak hanya aspek sosial dan politis, akan tetapi tak terhindarkan juga
kultural, karena sekularisasi juga apa yang didenotasikan sebagai “penghilangan determinasi
keagamaan dari integrasi simbol-simbol kultural”. Sekularisasi menyiratkan sebuah proses
historis yang tidak dapat diubah kembali dimana kebudayaan dan masyarakat “dilepaskan dari
perwalian kontrol keagamaan dan pandangan-dunia metafisis yang tertutup”. Sekularisasi
dianggap sebuah “perkembangan yang membebaskan”, dan hasil akhir sekularisasi adalah
relatifisme historis. Karenanya menurut mereka sejarah merupakan proses sekularisasi.
Komponen integral dalam dimensi sekularisasi adalah “disenchanment alam, “desakralisasi
politik”, dan “deconsecration nilai”. Dengan disenchanment alam — sebuah istilah dan konsep yang
dipinjam dari sosiolog Jerman Max Weber[vi] — mereka bermaksud seperti yang
dimaksudkannya, “pembebasan alam dari nada tambahan keagamaan”, yang berarti
menghilangkan sifat-dasar makna spiritual sehingga manusia dapat bertindak kepada alam
sesukanya dan menggunakan alam sesuai dengan kebutuhan dan rencananya, dan karenanya
menciptakan perubahan dan ‘perkembangan’ historis. Dengan desakralisasi politik mereka
memaksudkan “penghilangan legitimasi sakral dari otoritas dan kekuasaan politik”, yang
merupakan prasyarat perubahan politik dan karenanya juga perubahan sosial yang mengizinkan
kemunculan proses historis. Dengan deconsecration nilai mereka bermaksud “memandang
sementara dan relatif semua kreasi kultural dan setiap sistem nilai” yang bagi mereka termasuk
agama dan pandangan-dunia yang memiliki nilai penghabisan dan mendasar, sehingga dengan
cara ini sejarah dan masa depan, terbuka bagi perubahan, dan manusia bebas menciptakan
perubahan dan membenamkan diri dalam proses ‘evolusi’. Sikap terhadap nilai ini menuntut

45 Prolegomena
sebuah kesadaran dalam bagian diri manusia sekular tentang relatifitas kepercayaan dan
pandangannya sendiri; dia harus hidup dengan kenyataan bahwa aturan dan kode etik dari
perilaku yang membimbing kehidupannya akan berubah seiring waktu dan generasi. Sikap ini
menuntut apa yang mereka sebut ‘kedewasaan’; dan karenanya sekularisasi juga sebuah proses
‘evolusi’ kesadaran manusia dari kondisi ‘kanak-kanak’ kepada ‘dewasa’, dan didefinisikan
sebagai “perpindahan ketergantungan pemuda dari setiap tingkatan masyarakat”; proses
“pendewasaan dan mengasumsikan tanggungjawab”; “perpindahan dukungan keagamaan dan
metafisis dan meletakkan manusia pada dirinya sendiri”. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa
perubahan nilai yang berulang ini juga merupakan fenomena yang berulang akan “pengubahan
yang muncul “pada persimpangan tindakan sejarah atas manusia dan tindakan manusia pada
sejarah”, yang mereka sebut “tanggungjawab”, penerimaan akan “tanggungjawab orang dewasa”.
Seperti sudah disebutkan, mereka memvisualisasikan pengalaman kontemporer akan sekularisasi
sebagai bagian dari proses evolusi sejarah manusia; sebagai bagian proses yang tak dapat diubah
kembali dari ‘kedatangan zaman’, akan ‘pertumbuhan’ kepada ‘kedewasaan’ ketika mereka harus
‘meninggalkan hal-hal kekanak-kanakan’ dan belajar untuk ‘berani’.

Jika maksud utuh dari penjelasan ringkas di depan tentang makna sekularisasi telah
dipahami, akan menjadi jelas bahwa bahasa Arab Kristen abad dua puluh dan penerimaan
penerjemahan istilah ‘sekular’ sebagai ‘almāniy hanyalah merefleksikan maknanya sebagaimana
dirumuskan oleh Kristen Barat yang dilatinkan pada abad ketiga belas. Bahkan walaupun
penerjemah modern secara samar menunjuk kepada istilah ‘sekular’ sebagai bermakna jīliy atau
qarniy, sekalipun begitu mereka telah tidak sadar secara penuh akan bagaimana konsep yang
diletakkan dalam istilah ‘sekular’ telah mengalami evolusi selama tujuh abad terakhir dalam
pengalaman dan kesadaran manusia Barat, yang menyebabkan kemunculan problem
kontemporer yang belum pernah ditemui sebelumnya. Deskripsi mereka tentang sekularitas
sebagai al-ihtimām bi umur al-dunyā, atau sebagai ihtimām bi al-‘ālamiyyāt tidaklah terlalu tepat,
sebab asyik dengan urusan dunia atau hal-hal duniawi, bagi kita tidak serta-merta harus
dilawankan dengan agama; sedangkan sekularitas yang dipahami dalam pengertian modern
adalah serta merta dilawankan dengan agama. Hal yang serupa, sekularisasi tidak sama sebagai
hawwal ilā gharad ‘ālamī ay dunyāwi, sebab untuk berubah berdasarkan apa yang baik dalam
pengejaran akhir kehidupan duniawi bagi kita tidak serta merta untuk berubah dalam
perlawanan dengan agama. Sekularisasi dalam pengertian modern yang digambarkan di atas, dan
yang secara aktual terjadi, merupakan sebuah proses yang secara jelas dilawankan dengan agama;
hal itu merupakan program filosofis atau sebuah ideologi yang hendak menghancurkan inti agama.
Maka, ‘almāniyyah, tidak dapat menjadi gambaran tentang ‘sekularisme’; nampaknya bagi saya
lebih dekat dengan kebenaran untuk menggambarkannya sebagai wāqi’iyyah dalam pandangan
akan hubungan konseptual tertutup yang sama dengan ideologi filsafat dari positivisme.
Walaupun demikian, karena konotasi ganda atas tempat dan waktu itu mendasar pada konsep
saeculum, yang sudah mengandung kuman makna yang berkembang secara alamiah dan logis ke
dalam kondisi yang sekarang, menular secara penuh; dan karena tempat dan waktu menunjuk
kepada kini dan di sini secara berturut-turut, akan lebih tepat mendeskripsikan ‘sekularisme’
secara literal dengan beberapa susunan kata-kata seperti hunālāniyyah, dari hunā dan al-ān. Karena
‘ke-kini-dan-di-sini-an’ yang dimunculkan oleh hunālāniyyah secara jelas memroyeksikan konsepsi
dunia dan kehidupan di dalamnya yang menolak dunia lain setelahnya; yang menanggalkan
masa lalu sejauh hal itu membuktikan kondisi saat ini; yang mengakui masa depan yang terbuka;
yang secara keseluruhan menolak agama dan pandangan-dunia yang memiliki arti mendasar dan
penghabisan. Akan tetapi lebih baik untuk tetap melakukan metode yang dilakukan sarjana,

46 Prolegomena
pelajar, orang bijak, di antara para pendahulu kita yang sangat sadar akan nilai penting tertinggi
dari bahasa dan hubungan mendalamnya dengan rasio; yang telah sangat teliti dalam
penggunaan yang tepat akan bahasa dan pencarian makna yang otentik; yang menunjukkan
kepedulian yang tinggi untuk tidak membuat bingung istilah dan konsep Islām dengan istilah
yang tidak berhubungan dan koherensial dengan pandangan-dunia Islām; yang tidak
berkehendak membenci dan lalai mengarabisasi istilah dan konsep asing yang berlawanan
dengan agama dan visi kita tentang realitas dan kebenaran. Banyak istilah dan konsep Yunani
yang direkam dalam bentuk asli mereka sehingga membuat asal mereka yang asing segera
dikenali sehingga tempat mereka yang tepat menjadi diketahui. Jadi akan lebih baik jika istilah
‘sekular’ hanya ditranskripsikan ke dalam bahasa Arab yang dieja sīn-yā’-kāf-lām-rā’, dengan
kasrah kepada sīn; dammah kepada kāf; dan fathah kepada lām. Dengan cara ini kita akan segera
tahu bahwa konsep dan istilah tersebut bukan bahasa Arab Islāmi. Mengarabisasi istilah dan
konsep sedemikian adalah mengenalkan kebingungan dalam pikiran kita, karena akan
memberikan kesan bahwa mereka itu alamiah bagi Islām dan akan mendorong muslim tidak
hanya untuk berpikir dengan istilah dan konsep tersebut, tetapi mengaktualisasikan pemikiran
tersebut yang asing dan berlawanan dengan Islām ke dalam realitas konkret.

Saya sangat percaya dengan akal sehat bahwa arabisasi dan pengenalan konsep yang
bertentangan akan ‘almāniyyah ke dalam arus utama bahasa Arab kontemporer secara besar
bertanggungjawab terhadap pemasukkan (insinuating) ke dalam pikiran muslim tentang
pemisahan dikotomis yang sakral dan profan, yang menciptakan gagasan sosio-politis tentang
jurang pemisah yang tak terjembatani atas apa yang dianggap sebagai ‘negara teokratis’ dari
sebuah ‘negara sekular’. Terdapat kebingungan dalam pikiran muslim yang menyalahpahami
negara muslim yang ‘sekular’ dalam meletakkannya secara kontras dengan negara ‘teokratis’.
Akan tetapi karena Islām tidak melibatkan dirinya sendiri dalam dikotomi antara yang sakral dan
profan, maka bagaimana hal tersebut dapat diletakkan secara kontras antara negara teokratis dan
negara sekular? Sebuah negara Islām tidak seluruhnya teokratis ataupun seluruhnya sekular.
Sebuah negara muslim menyebut dirinya sendiri atau disebut oleh yang lain ‘sekular’, tidak serta
merta harus melepaskan makna spiritual; tidak serta merta harus menolak nilai dan kebajikan
agama dalam politik dan urusan manusia; tidak serta merta harus dilawankan dengan kebenaran
agama dan pendidikan keagamaan sebagaimana dalam cara proses saintifik dan filosofis yang
saya sebut ‘sekularisasi’ yang memang melibatkan pelepasan makna spiritual dari dunia ciptaan;
penolakan nilai dan kebajikan agama dalam politik dan urusan manusia; dan relatifisasi semua
nilai dan kebenaran dalam pikiran dan tingkah laku manusia. Kebingungan dalam pikiran
muslim inilah yang menyebabkan muncul di tengah-tengah kita pergolakan dan perpecahan
sosial dan politik. Persatuan memiliki dua aspek: bagian ke-luar (outward), persatuan eksternal
yang dimanifestasikan dalam masyarakat sebagai solidaritas komunal dan nasional; dan bagian
ke-dalam (inward), persatuan internal gagasan dan pikiran yang diungkapkan dalam koherensi
intelektual dan spiritual yang meliputi alam yang melampaui ikatan komunal dan kebangsaan.
Pemahaman tentang identitas kita sebagai muslim berkaitan pada aspek kedua, yang mendasar
terhadap realisasi yang pertama. Koherensi dari aspek yang kedua tergantung pada kesehatan
dan integritas konsep yang dikonotasikan dalam bahasa sebagai alat rasio yang memengaruhi
penalaran penggunanya. Jika kesehatan dan integritas konsep dalam bahasa dibingungkan, maka
hal ini berkaitan dengan kebingungan dalam ‘pandangan-dunia’ yang disebabkan oleh kerusakan
pengetahuan.

47 Prolegomena
Dalam bahasa orang-orang Muslim, termasuk bahasa Arab, terdapat kosakata dasar yang
terdiri atas istilah kunci yang mengatur interpretasi visi Islāmi akan realitas dan kebenaran, dan
yang memproyeksikan pandangan-dunia Islām dalam perspektif yang benar. Oleh karena kata-
kata yang meliputi kosa kata dasar ini berasal dari Qur’ān Suci kata-kata tersebut secara alamiah
berbahasa Arab, dan menyebar secara seragam dalam seluruh bahasa-bahasa muslim di seluruh
dunia yang merefleksikan persatuan intelektual dan spiritual muslim seluruh dunia. Kosakata
dasar Islāmi terdiri dari istilah dan konsep kunci yang berhubungan satu sama lain secara penuh
bermakna, dan secara keseluruhan menentukan struktur konseptual akan realitas dan eksistensi
yang diproyeksikan olehnya. Islāmisasi bahasa, yang merupakan sebuah unsur mendasar dalam
pengubahan (conversion) kepada Islām, tidak lain merupakan pemasukan kosakata dasar Islāmi ini
ke dalam bahasa orang-orang muslim. Dengan cara ini, setiap bahasa orang muslim dengan
bahasa yang lain memiliki kesamaan dalam kosakata dasar Islāmi sebagai kosakata dasarnya
sendiri; dan semua jenis bahasa orang-orang muslim tentu saja berada dalam keluarga yang sama
dari bahasa-bahasa Islāmi. Apa yang ingin saya perkenalkan di sini adalah konsep bahasa Islāmi
— bahwa terdapat sesuatu yang disebut bahasa Islāmi. Penyebab bahasa dapat dikategorikan
sebagai Islāmi telah ada dengan sebab akan keumuman kosakata dasar Islāmi yang melekat
dalam setiap bahasa tersebut, dimana istilah dan konsep kunci dari setiap bahasa tersebut
sebaiknya memang mengandung makna yang sama, karena mereka semua terlibat dalam jaringan
konseptual dan semantik yang sama. Jika, sebagai contoh, kita temukan sekarang bahwa fokus
dari kata ‘ilm, yang merupakan istilah kunci utama dalam kosakata dasar semua bahasa Islāmi,
mengandung makna yang berbeda di setiap anggota keluarga bahasa Islāmi, maka fakta yang
patut disayangkan ini bukan disebabkan oleh apa yang secara samar disebut sebagai ‘perubahan
sosial’, tetapi oleh kebodohan dan kesalahan, yang dihasilkan dari kebingungan yang
menyebabkan perubahan sosial. Untuk mengatakan bahwa pembatasan makna, atau perubahan
makna, sehingga makna yang asli tidak lagi dikandung, yang memengaruhi istilah kunci dalam
kosakata dasar Islām, adalah berkaitan dengan perubahan sosial, dan menerima secara pasrah
pembatasan dan perubahan makna semacam itu sebagai contoh pengajaran linguistik modern,
adalah menyiratkan legitimasi otoritas yang diinvestasikan kepada orang awam, dalam
masyarakat, untuk menyebabkan perubahan semantik. Pengajaran jenis ini, yang ternyata telah
disebarkan atas nama pengetahuan ‘saintifik’, menyesatkan dan berbahaya dan harus tidak
ditoleransi, karena Islām tidak menerima ‘masyarakat’ sebagai yang berwenang (otoritatif) dalam
persoalan pengetahuan, atau menginvestasikannya dengan otoritas yang membawa perubahan
yang akan membuat muslim tersesat. Masyarakat itu, sejauh dalam perhatian terhadap
pengetahuan dan pemahaman tentang Islām dan pandangan-dunianya, tidak memiliki otoritas;
secara berlawanan, masyarakat secara umum abai dan membutuhkan pendidikan yang tepat dan
bimbingan yang terus menerus oleh cendekiawan dan orang bijak di dalamnya sehingga
memastikan keselamatannya. Hal ini bermakna bahwa cendekiawan dan orang bijak di antara
muslim mesti menunjukkan kewaspadaan terus menerus dalam mendeteksi kesalahan
penggunaan dalam bahasa yang berbenturan di atas perubahan semantik dalam konsep kunci
utama dengan maksud mencegah kemunculan kebingungan umum dan kesalahan dalam
pemahaman tentang Islām dan visinya akan realitas dan kebenaran.

Banyak istilah kunci utama dalam kosakata dasar Islāmi dalam bahasa orang-orang muslim
kini telah disalahtempatkan dan dibuat bertugas secara absurd di wilayah makna asing dalam
jenis kemunduran menuju pandangan-dunia non-Islāmi; sebuah fenomena yang saya sebut
deislāmisasi bahasa. Pengabaian dan kebingungan, memungkinkan pemasukan konsep asing, yang
juga membiarkan lolos kekuatan sentimen bangsa yang sempit dan ideologisasi tradisi etnik dan

48 Prolegomena
kebudayaan. Kata-kata yang mengandung makna yang fokus di atas kebenaran mendasar yang
khas bagi Islām, contoh di antara yang lainnya, ‘pengetahuan’ (‘ilm), ‘keadilan’ (‘adl), tindakan
yang betul (adab), ‘pendidikan’ (ta’dīb), telah dirusakkan, sehingga ‘pengetahuan’ menjadi terbatas
pada jurisprudensi, atau yang hanya berdasarkan pada bentuk terbatas dari rasio dan
pengalaman inderawi; ‘keadilan’ bermakna persamaan yang tidak memenuhi syarat, atau hanya
prosedur; ‘tindakan yang betul’ bermakna etiket yang hipokrit; dan ‘pendidikan’ bermakna jenis
pelatihan yang memimpin kepada akhir yang diturunkan dari rasionalisme filosofis dan sekular.
Jika meskipun beberapa contoh kata yang telah dibatasi dalam makna mereka, atau telah dibuat
untuk membawa makna yang tidak otentik dan otoritatif — yang saya maksud yang tidak lagi
merefleksikan apa yang telah dipahami oleh otoritas di antara muslim terdahulu — maka tidak
bisa diacuhkan hal ini akan menciptakan kebingungan dan kesalahan dalam pikiran muslim dan
mengacaukan persatuan intelektual dan spiritual di antara mereka. Lebih lanjut, hal tersebut akan
membuat sains yang di satu saat dianggap patut dipuji menjadi patut disalahkan. Saya tidak
menyarankan sesuatu yang dapat ditafsirkan seolah tidak mengizinkan bahasa untuk
berkembang, untuk membentangkan dirinya berdasarkan kekuatan potensial untuk melacak
kekayaan hiasan kehidupan sebagaimana dibentangkan, untuk berkembang dengan gagasan
sebagaimana mereka berkembang, untuk memegang realitas-kebenaran (reality-truth)
sebagaimana hal itu mewujudkan dirinya dalam bagian yang cepat berlalu dari waktu. Saya
hanya menyarankan bahwa kosakata dasar dalam bahasa Islāmi hanya dapat berkembang dari
akarnya, dan bukan terpisah darinya, maupun mereka dapat berkembang dari akarnya terhalang
pembatasan. Sistem nilai sekular dan materialistis memiliki tempat awalnya dalam pikiran,
kemudian diterjemahkan ke dalam simbol linguistik, dan selanjutnya menjadi termanifestasi
dalam dunia eksternal di kota dan kota besar dengan penyebaran seperti amukan penyakit
menular dalam masyarakat pedesaan. Kegagalan menggunakan bahasa secara betul dan
mengandung makna yang benar menyiratkan ketidaksadaran tentang perspektif yang tepat
tentang situasi yang benar dan nyata, yang melibatkan pemahaman bukan hanya tentang bahasa,
tetapi juga pandangan-dunia yang memroyeksikannya. Penyebaran luas sekularisasi intelektual
berkaitan dengan pengabaian terhadap Islām sebagai agama Wahyu yang benar, manifestasinya
sebagai peradaban, dan visinya tentang realitas dan kebenaran sebagai pandangan-dunia telah
bermaksud membingungkan banyak sarjana dan intelektual kita dan pengikut mereka menjadi
meniru slogan-slogan yang bergeser dari modernitas, yang menyebabkan perubahan dan
pembatasan makna istilah kunci yang merefleksikan sistem nilai kita. Makna yang merefleksikan
realitas dan kebenaran yang kejelasannya telah diketahui pada pengalaman dan kesadaran kita
kini telah menjadi tidak jelas dalam pikiran yang melebur dengan rumusan modernitas. Unsur-
unsur mendasar pandangan-dunia kita dan sistem nilai yang dikandungnya, yang melibatkan
makna ‘kebajikan’, ‘kebebasan’, dan ‘kebahagiaan’, juga telah terpengaruh.

Karena kita mempertahankan bahwa kebajikan (fadīlah) adalah suatu aktifitas jiwa, dan
bahwa manusia memiliki sifat-dasar ganda, hewani dan rasional, realisasi kebajikan dalam diri
membutuhkan kemampuan untuk melihat realitas dan kebenaran dibarengi tindakan yang sesuai
dengan penglihatan tersebut yang melibatkan menyubordinasi fakultas jasmani dan nabati dari
jiwa hewani, kepada fakultas praktis dan teoritis sehingga kondisi stabil dari jiwa, yang
diperintah dengan intelek dan agama, dapat dicapai. Latihan subordinasi fakultas jiwa hewani
kepada jiwa rasional membutuhkan kebebasan.

Aktifitas yang disebut ‘kebebasan’ terdapat dalam ikhtiyār, yang merupakan tindakan,
bukan dalam hurriyah, yang merupakan kondisi. Tindakan yang dimaksud dalam ikhtiyār adalah

49 Prolegomena
membuat pilihan, bukan di antara banyak alternatif tetapi antara dua alternatif: baik atau buruk.
Karena ikhtiyār diikat dalam makna dengan khayr, berarti ‘baik’, diturunkan dari akar yang sama
khāra (khayara), pilihan yang dimaksud dalam ikhtiyar adalah pilihan atas apa yang baik, lebih
baik, atau terbaik diantara dua alternatif. Hal ini merupakan yang paling penting sebagaimana
disejajarkan dengan pertanyaan filosofis tentang kebebasan. Oleh karena itu sebuah pilihan atas
apa yang buruk dari dua alternatif bukan sebuah pilihan yang dapat disebut ikhtiyār, bahkan hal
itu bukan sebuah pilihan, melainkan tindakan tidak adil (zulm) yang dilakukan kepada diri
sendiri. Kebebasan adalah untuk bertindak sesuai dengan tuntutan sifat-dasar sejati dan benar
seseorang — yakni, seperti permintaan haqq dan fiţrah seseorang — dan maka hanya pertunjukan
(exercise) pilihan tersebut yang merupakan atas apa yang baik dapat secara tepat disebut ‘pilihan
bebas’. Oleh karena itu sebuah pilihan untuk yang lebih baik merupakan tindakan kebebasan, dan
juga tindakan keadilan (‘adl) kepada diri sendiri. Hal tersebut mengandaikan pengetahuan
tentang kebaikan dan keburukan, tentang kebaikan dan sifat buruk; sedangkan pilihan atas yang
terburuk bukan sebuah pilihan karena berpijak di atas keabaian yang dihimbau hasutan jiwa yang
menuju aspek kesalahan dari kekuatan hewani; hal itu juga bukan sebuah pertunjukan kebebasan
sebab kebebasan bermakna secara tepat menjadi bebas dari dominasi kekuatan jiwa yang
menimbulkan keburukan. Ikhtiyār merupakan tindakan kognitif dalam memilih yang lebih baik
dari dua alternatif yang sesuai dengan kebajikan yang digali dalam keadilan pada diri sendiri dan
merupakan, seperti itu, sebuah pertunjukkan kebebasan. Tindakan dari apa yang baik ditunaikan
dengan kebajikan. Dalam Islām, semua kebajikan termasuk yang dianggap sebagai kebajikan
mendasar seperti kebijaksanaan, kesadaran, keberanian, dan keadilan dan subdivisinya, adalah
kebajikan keagamaan karena mereka diturunkan dari Qur’ān dan dari contoh kehidupan Nabi.
Sumber kebajikan mendasar tersebut dan subdivisinya adalah kepercayaan-kuat yang benar atau
īmān, yang merupakan pembuktian dengan perbuatan atas apa yang diakui lidah dan hati sebagai
Wahyu Tuhan yang nyata dan benar dan perintah dan larangan-Nya. Īmān sudah menyiratkan
kesadaran akan Tuhan dan ingat akan-Nya yang membawa kondisi ketenangan dalam jiwa; īmān
adalah bebas dari cemas yang dihasilkan dari keraguan; bebas dari kecemasan dan takut yang
berkenaan pada nasib akhir; īmān adalah keamanan ke-dalam (inward) yang datang ketika jiwa
berserah kepada Tuhan; dan tunduk kepada Tuhan adalah kebebasan, yang menyebabkan
muncul dalam kesadaran jiwa akan kedamaian yang disebut Islām. Tindakan dalaman (inner) jiwa
tersebut menyiratkan kesadaran yang lebih dahulu dalam jiwa akan kebenaran yang datang dari
petunjuk Ilāhi; dan kesadaran ini merupakan kepastian (yaqīn) akan kebenaran. Dari sini jelas
bahwa kebahagiaan, yang merupakan tujuan aktifitas kebajikan yang membimbing kepada
kondisi jiwa yang stabil, bukanlah sesuatu yang hanya berhubungan dengan dunia ini;
kebahagiaan bukan sesuatu yang hanya terdiri dari perasaan dan emosi yang beragam dalam
derajat dari waktu ke waktu; hal itu bukan sesuatu yang hanya bersifat psikologis dan biologis,
yang ternyata juga sama dengan binatang. Maupun kebahagiaan merupakan akhir pada dirinya
sendiri (ends in itself) yang entah bagaimana tidak dapat dialami secara sadar sebagai sesuatu yang
terus berlangsung, sesuatu yang permanen dalam jalur eksistensi kehidupan duniawi kita.

Tradisi pemikiran Barat menerima posisi bahwa terdapat dua konsepsi kebahagiaan: yang
kuno adalah Aristoteles; dan yang modern secara bertahap muncul dalam sejarah di Barat sebagai
hasil sekularisasi. Konsepsi Aristotelian memertahankan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan
dengan dunia ini; bahwa kebahagiaan merupakan akhir pada dirinya sendiri (end of itself); dan
bahwa kebahagiaan merupakan kondisi yang mengalami perubahan dan beragam dalam derajat
dari waktu ke waktu; atau kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara sadar dari
masa ke masa dan dapat dinilai telah dicapai ketika kehidupan duniawi seseorang, jika secara

50 Prolegomena
baik dihidupi dan dibantu nasib baik, telah mencapai akhir. Konsepsi modern setuju dengan
konsep Aristotelian bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini dan merupakan
akhir pada dirinya sendiri, tetapi sementara yang terdahulu akhir tersebut dianggap dalam
pengertian standar perilaku yang tepat, yang kemudian menganggapnya sebagai kondisi
psikologis terminal yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral. Konsepsi kebahagiaan
modernlah yang kini diakui lazim di Barat. Kita tidak setuju dengan posisi Aristotelian bahwa
kebajikan dan kebahagiaan hanya terkait dengan dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai
kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam urusan kehidupan duniawi menjadi tidak
terjangkau. Kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya dalam wilayah
temporal, kehidupan sekular, karena berdasarkan pandangan-dunia kita, kita mengakui bahwa
hubungan kebahagiaan dengan alam akhirat memiliki ketegasan intim dan mendalam pada
hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan karena bahwa dalam kasus terdahulu
kebahagiaan adalah kondisi spiritual dan permanen terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal
dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita alami dan sadari yang ketika sekali dicapai
bersifat permanen. Sedang mengenai konsepsi kebahagiaan modern, tidak banyak berbeda dalam
esensi dari yang diketahui dan dipraktekkan orang-orang di masa lalu oleh masyarakat pagan.

Kebahagiaan (cth. yang kita maksud sa’ādah) sebagaimana diketahui dalam pengalaman
dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh tunduk kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk-
Nya bukanlah akhir pada dirinya sendiri sebab kebajikan tertinggi dalam kehidupan ini adalah
cinta Tuhan. Kebahagiaan yang terus berlangsung dalam kehidupan menunjuk bukan pada
entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia; maupun kondisi pikiran, atau
perasaan yang melewati kondisi terminal, maupun kenikmatan maupun hiburan. Kebahagiaan
ada urusannya dengan kepastian (yaqīn) akan Kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam
kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian merupakan kondisi permanen kesadaran
yang alamiah terhadap apa yang permanen pada manusia dan diterima oleh organ kognitif
spiritual yang merupakan hati (qalb). Kebahagiaan adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan
hati (tuma’nīnah); kebahagiaan adalah pengenalan (ma’rifah) dan pengenalan (knowledge) adalah
kepercayaan-kuat (īmān) yang benar. Kebahagiaan adalah pengenalan tentang Tuhan
sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam Wahyu sejati; kebahagiaan adalah juga
mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan
Pencipta ditemani dengan tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) sesuai dengan pengetahuan
tersebut sehingga kondisi yang dihasilkannya adalah keadilan (‘adl). Hanya dengan pengetahuan
sedemikian cinta Tuhan dapat diraih di kehidupan bumi.

Dari interpretasi makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan
kesimpulan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir pada dirinya sendiri; bahwa akhir
dari kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan duniawi terdapat dua tingkatan
kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi
terminal yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika keinginan
dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kebajikan. Tingkatan
kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang secara sadar dialami, menjadi lapisan dasar
dari kehidupan duniawi yang diakui sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas
kebajikan oleh nasib baik atau sakit. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara
bersamaan dengan yang pertama kecuali keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan
kebahagiaan kedua ini merupakan sebuah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang

51 Prolegomena
merupakan kondisi tertinggi adalah melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan
pengalaman kebahagiaan ini dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman.

Di halaman-halaman depan saya telah mempersiapkan dalam ringkasan yang gamblang


beberapa unsur mendasar, yang dibangun secara permanen, bersama dengan konsep kunci yang
mereka bentangkan, yang bertindak sebagai prinsip penyatu yang meletakkan semua sistem
makna dan standar nilai dan kehidupan dalam tatanan yang koheren sebagai super-sistem yang
disatukan membentuk pandangan-dunia Islām. Unsur-unsur mendasar tersebut dan konsep kunci
bersangkutan memiliki kegamblangan yang mendalam, sudah kita katakan sebelumnya, di atas
gagasan kita tentang perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Meskipun perubahan dan
keanekaragaman dapat dan memang muncul di dalam suasana pandangan-dunia ini,
sebagaimana keanekaragaman dalam mazhab jurisprudensi, teologi, filsafat dan metafisika, dan
dalam tradisi, kebudayaan, dan bahasa; dan perubahan dalam pertemuan akan naik turunnya
perubahan nasib baik dalam jalur sejarah, namun keanekaragaman dan perubahan tidak pernah
memengaruhi karakter dan peran unsur-unsur mendasar itu sendiri, sehingga apa yang
diproyeksikan sebagai pandangan-dunia dengan supersistem tetap tertinggal utuh. Hal ini karena
keanekaragaman dan perubahan telah muncul di dalam ikatan kognitif yang dikekang dengan
hati-hati oleh komunitas yang tahu dan sadar identitasnya, memastikan sedemikian rupa bahwa
tidak ada keterlibatan perubahan ataupun gangguan kebingungan dalam konsep kunci yang
melayani unsur-unsur yang mendasar dari pandangan-dunia. Pandangan-dunia berada dalam
pikiran muslim sejati. Penglihatan seseorang di antara mereka tahu bahwa Islām bukanlah sebuah
ideal — tapi adalah kenyataan; dan bahwa apapun yang mungkin dituntut dari mereka oleh
tantangan zaman dimana mereka hidup harus dihadapi tanpa membuat bingung pandangan-
dunia tersebut dengan unsur-unsur asing. Mereka tahu bahwa ahli dalam sains dan teknologi dan
penggunaannya yang memadai dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta harus melibatkan
kebingungan dalam visi mereka tentang realitas dan kebenaran. Teknologi tidak sama dengan
sains; dan penerimaan teknologi yang berguna dan relevan tidak serta merta harus juga
melibatkan penerimaan sebab pada sains, yang telah melahirkannya. Kebingungan muncul hanya
sebagai hasil dari tidak memadainya pengetahuan tentang Islām dan pandangan-dunia yang
diproyeksikannya, sebagaimana juga keabaian terhadap sifat-dasar tantangan konfrontasi
intelektual, agama, tantangan ideologis, dan implikasi yang melekat dalam pernyataan dan
kesimpulan umum filsafat dan sains sekular modern.

Perubahan, perkembangan, dan kemajuan, dalam pengertian yang benar secara mendasar
bermakna bagi kita merupakan sebuah kesadaran dan gerakan yang hati-hati menuju Islām sejati
pada suatu waktu ketika kita menghadapi tantangan, seperti yang kita lakukan sekarang, yang
mencoba mengganggu nilai dan kebajikan kita, mode perilaku kita, kepercayaan-kuat dan
pemikiran kita, jalan hidup kita. Perikatan awal kita adalah dengan tantangan pandangan-dunia
asing yang dikenalkan secara diam-diam ke dalam pemikiran dan kepercayaan muslim oleh
modernis muslim yang bingung, intelektual, akademisi, penulis, dan pengikutnya, maupun
penyimpang dan ekstrimis muslim dalam banyak bentuk. Mereka telah tanpa sadar dan sadar
datang di bawah mantra filsafat dan sains Barat sekular modern, teknologi dan ideologinya yang
telah menyebarkan penyakit menular global dari sekularisasi sebagai program filosofis. Kita sadar
akan fakta bahwa tidak semua sains dan teknologi Barat itu serta merta ditolak agama tetapi ini
tidak berarti bahwa kita harus tidak kritis menerima teori saintifik dan filosofis yang ada bersama
sains dan teknologi, dan sains dan teknologi itu sendiri, tanpa lebih dahulu memahami implikasi
dan menguji keabsahan nilai yang menemani teori tersebut. Islām memiliki dalam dirinya sendiri

52 Prolegomena
sumber pengakuan kepada kebenaran dan tidak membutuhkan teori sains dan filosofis untuk
membenarkan pengakuan tersebut. Lebih lanjut, bukanlah perhatian Islām untuk menakuti
penemuan saintifik dan teori-teori filosofis yang dapat mengontradiksikan keabsahan
kebenarannya. Kita tahu bahwa sains tidak bebas nilai; dan untuk menerima asumsi dan
kesimpulan umum tersebut tanpa dibimbing dengan pengetahuan asli pandangan-dunia kita —
yang memerlukan juga pengetahuan sejarah kita, peradaban dan pemikiran kita, identitas kita —
yang akan membuat kita mampu memberikan putusan yang benar terhadap keabsahan dan
relevansi mereka atau dengan kata lain kepada kehidupan kita, maka perubahan yang dihasilkan
dalam jalan hidup kita akan dengan mudah berubah cocok dengan apa yang asing kepada
pandangan-dunia kita. Dan kita tidak akan menyebut sesuatu perubahan demikian sebagai
‘perkembangan’ ataupun ‘kemajuan’. Perkembangan terdiri dari bukan tentang ‘mengaktifasikan
dan membuat terlihat dan konkret atas apa yang laten dalam manusia biologis’ sebab manusia
bukan hanya entitas biologis: kemanusiaan adalah sesuatu yang lebih karena rasionalitas
dibandingkan sifat hewaniah. Kemajuan bukan ‘proses-menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being‘
(coming-into-being), ataupun pergerakan terhadap apa yang datang-menjadi-being dan tidak
pernah menjadi being; karena gagasan ‘sesuatu yang dituju’, atau ‘tujuan’ yang melekat dalam
konsep kemajuan hanya dapat mengandung makna sejati dan benar ketika menunjuk kepada apa
yang dipahami sebagai sesuatu yang berdiri secara permanen, sebagai sudah being. Karenanya,
apa yang sudah jelas dalam pikiran dan berdiri secara permanen di tempat itu dan secara
eksternal, sudah dalam kondisi being, tidak dapat mengalami perubahan, maupun menjadi subjek
terus menerus terlepas dari pegangan pencapaian, maupun secara terus menerus mundur
melampaui pencapaian. Istilah ‘kemajuan’ menunjuk kepada arah jelas yang disejajarkan kepada
tujuan akhir yang dimaksudkan untuk dicapai dalam kehidupan duniawi. Jika arah yang dicari
masih samar, masih datang-menjadi-being sebagaimana dikatakan, dan tujuan yang disejajarkan
pada tujuan tidak penghabisan (final), maka bagaimana keterlibatan di dalamnya sungguh-
sungguh berarti kemajuan? Orang yang meraba dalam gelap tidak dapat dikatakan sebagai
sedang maju dan mereka yang mengatakan bahwa orang tersebut sedang maju hanya
mengucapkan kebohongan terhadap makna yang benar dan tujuan dari kemajuan.

Konsep ‘perubahan’, ‘perkembangan’, dan ‘kemajuan’ mengandaikan situasi dimana kita


menemukan diri kita dibingungkan oleh campuran kebenaran dan kepalsuan, akan kenyataan
dan ilusi, dan menjadi tawanan dalam wilayah yang ambigu. Dalam situasi yang bertentangan
demikian, tindakan kita yang positif dalam pertunjukan kebebasan untuk memilih yang lebih
baik, untuk menerima apa yang baik dan relevan dengan kebutuhan kita, untuk secara sungguh
hati-hati dalam keputusan kita akan kebutuhan, lalu sementara itu tetap mempertahankan usaha
kita untuk kembali kepada jalan lurus dan mengarahkan langkah kita dalam kesepakatan
dengannya — usaha semacam itu, yang menyertakan perubahan, adalah perkembangan; dan
pengembalian demikian, yang terkandung dalam perkembangan, adalah kemajuan.

Catatan kaki

[i] Saya memaksudkan dengan koherensi artifisial, sebuah koherensi yang tidak alamiah dalam pengertian
alamiah yang dimaksud sebagai fiţrah. Koherensi demikian yang diproyeksikan sebagai pandangan-dunia
pasti menjadi tergantung pada perubahan dengan keadaan yang berubah.

53 Prolegomena
[ii] Dengan ‘subjektif’, yang saya maksud bukan dalam pemahaman umum atas kata tersebut. Jiwa manusia
itu kreatif; dengan maksud persepsi, imajinasi, dan kecerdasan itu berpartisipasi dalam ‘penciptaan’ dan
interpretasi dunia indera dan pengalaman inderawi, akan citra, dan bentuk-bentuk intelejibel (intelligible).
‘Subjektif’ di sini merupakan sesuatu yang tidak dilawankan dengan apa yang ‘objektif’, tetapi bersifat
melengkapi.

[iii] Bandingkan. Al-Attas, Islām and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, Bab. II.

[iv] Untuk rincian lebih lanjut, lihat The Concept of Education in Islām, Kuala Lumpur, 1980, par. 1-13

[v] Definisi ini diformulasikan oleh teolog Jerman, Cornelis van Peursen, yang menduduki the chair of
philosophy di University of Leiden. Gelar tersebut diberikan dalam laporan yang diselenggarakan dalam
Ecumenical Institue of Bossey, Switzerland, September 1959. Lihat juga karya teolog Harvard Harvey Cox,
the Secular City, New York, 1965, hlm. 2; dan yang mengikutinya, par. 2-17; 20-23; 30-36; 109 et passim. Karya
utuh dari sekularisasi sebagai program filosofis diberikan dalam Islām and Secularism, Kuala Lumpur, 1978,
bab. I dan II.

[vi] Frase ‘disenchanment alam’ telah digunakan oleh Friedrich Schiller dan dikutip oleh Weber. Istilah lain
yang digunakan Weber dalam pengertian ini adalah ‘rasionalisasi’. Lihat karya Weber Essay in Sociology,
New York, 1958; lihat juga karyanya Sociology of Religion, Boston, 1964; bab. III dan V dari yang terdahulu;
dan untuk konsep Weber tentang ‘rasionalisasi’, lihat penjelasan Talcott Parson tentangnya dalam karya
yang kemudian, hlm. xxxi-xxxiii.

54 Prolegomena
I
ISLĀM: KONSEP AGAMA
DAN
FONDASI ETIKA DAN MORALITAS
Konsep yang dituangkan dalam istilah dīn, yang secara umum dipahami bermakna agama,
tidaklah sama seperti konsep agama sebagaimana diinterpretasi dan dipahami sepanjang sejarah
keagamaan Barat. Ketika kita berbicara tentang Islām dan menunjuknya dalam bahasa Inggris
sebagai ‘religion’, kita memaksudkan dan memahaminya sebagai dīn, dimana seluruh konotasi
dasar yang inheren dalam istilah dīn1 dipahami sebagaimana terkumpul ke dalam satu kesatuan
tunggal makna yang koheren seperti direfleksikan dalam Qur’ān Suci dan bahasa Arab dimana
dia berada.
Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar
yang meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun semuanya secara konseptual saling
berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan dari semuanya menampilkan dirinya
sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa
yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna
relevan dan inheren yang ada dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islāmi
yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam
pengalaman manusia, penampakan pertentangan pada makna-makna dasarnya tentu saja tidak
terkait dengan kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-
dasar manusia itu sendiri, yang mereka refleksikan dengan setia. Dan kekuatan mereka untuk
merefleksikan sifat-dasar manusia dengan setia merupakan demonstrasi yang jelas akan
kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung kebenaran.
Penanda dasar istilah dīn dapat direduksi menjadi empat: (1) keberhutangan; (2) ketundukan;
(3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Dalam apa yang akan disampaikan
kemudian, saya akan berusaha menjelaskan secara ringkas dan menempatkan mereka dalam
konteks yang relevan, menggambarkan ke depan makna pokok koheren yang dimaksudkan, yang
menandakan kepercayaan-kuat, kepercayaan-lemah, praktek, dan pengajaran yang dilekatkan
oleh muslim secara individual dan kolektif sebagai Komunitas (Ummah), dan mewujudkan
dirinya sendiri bersama sebagai sebuah keseluruhan objektif sebagai Agama yang disebut Islām.
Kata kerja dāna yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk
pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, dimana beberapa dari mereka
berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, hal itu
untuk mengatakan, seorang dā’in berarti bahwa seseorang mengendalikan dirinya sendiri, dalam
pengertian sukarela dan kepatuhan, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga,
dalam satu sisi, kepada kreditor, yang juga serupa ditunjuk sebagai dā’in.2 Terdapat pula
kandungan dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada
di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah

1
Dalam bab ini, interpretasi saya tentang konotasi dasar inheren dalam istilah dīn berdasarkan karya klasik standar Ibn
Manzur, Lisān al-‘Arab (Beyrouth, 1968, 15v.), di sini akan disebut LA. Atas apa yang dīnyatakan dalam halaman ini
dan selanjutnya, lihat vol.3: 166, kol. 2-117, kol.2. Rumusan dan konseptualisasi makna agama (dīn), maupun
penjelasan konsep kunci dalam tatanan yang bermakna, adalah milik saya sendiri.
2
Dā’in menunjuk sebagai penghutang maupun sebagai pemberi hutang, dan penampakan makna yang berlawanan ini
hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu,
jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di bawah hlm. 57-60.

55 Prolegomena
melibatkan pengadilan: daynūnnah, dan kesaksian: idānah, sebagaimana kasus tersebut. Semua
penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dāna hanya mungkin dipraktekkan
dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota kecil dan kota besar,
yang ditunjuk dengan mudun atau madā’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim,
pengatur, atau pengelola, seorang dayyān. Jadi sudah ada di sini, dalam pelbagai penggunaan
hanya dari kata kerja dāna, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar
kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas.3
Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain
maddana4 yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan;
yang darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial.
Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar kondisi berhutang penanda lain yang
berhubungan, seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari
penanda lain seperti hakim, pengatur, pemerintah diturunkan makna yang menandakan menjadi
perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih
lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang ditentukan). Kini
inti gagasan akan hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang
inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan
keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam
hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara
bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka;
sehingga kondisi sesuatu ini merupakan kondisi yang biasa atau terbiasa. Maka, dari sini kita dapat
lihat logika di balik turunan penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter
atau kecenderungan alamiah. Pada titik ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk
paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian sejati akan kecenderungan alamiah manusia untuk
membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan kerajaan,
kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang
paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya,
dan perlu ditegaskan lagi di sini, karena kita akan harus membutuhkannya lagi ketika kita
berurusan dengan aspek keagamaan dan spiritual dari pengalaman eksistensial manusia.
Saya telah begitu jauh menjelaskan secara sepintas konsep dasar dīn, mereduksi pelbagai
konotasinya kepada empat penanda dasar dan menunjukkan hubungan nyata dan konseptual,
dalam konteks hubungan ‘sekular’ manusia. Dalam konteks keagamaan, yakni akan hubungan
antara manusia dan Tuhan, dan apa yang Tuhan terima dalam hubungan manusia dengan
sesamanya, penanda dasar tersebut, walaupun mempertahankan makna dasar mereka, meski

3
Saya pikir sangat penting untuk melihat baik keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara konsep dīn dan
madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan terhadap yang sebelumnya
dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus dipertimbangkan dalam pentingnya perubahan nama
kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-Madīnah: Kota – atau lebih tepat, Madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi –
yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan
historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah
yang menandai Era Baru dalam sejarah manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-Madīnah disebut dan dinamakan
demikian sebab di sanalah dīn yang benar menjadi terwujud bagi manusia. Di sana mukmin memperbudak dirinya di
bawah otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyān-nya; di sana realisasi hutang kepada Tuhan mengambil bentuk yang jelas,
dan cara dan metode pembayarannya yang diterima mulai dibentangkan. Kota Nabi menandakan tempat dimana dīn
yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi,
untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan bagi mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang
jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional, dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan
memberkahi dan memberi kedamaian!, menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan
lebih lanjut, lihat di bawah, hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84.
4
LA, vol. 13: 402, kol. 2-403, kol. 1.

56 Prolegomena
demikian mengalami sintesis dan intensifikasi mendalam sekaligus benar kepada pengalaman
yang digambarkan dan pada deskripsi Agama Islām sebagai kepercayaan-kuat, kepercayaan-
lemah, praktek, dan pengajaran yang objektif yang dialami dan dihidupi oleh masing-masing dan
setiap anggota Komunitas Muslim maupun oleh Komunitas sebagai keseluruhan.
Bagaimana konsep sedang berhutang dapat dijelaskan dalam konteks kegamaan dan
spiritual? — seseorang mungkin menanyakan; apa sifat-dasar dari hutang itu?, dan kepada siapa
hutang dimiliki? Kita menjawab bahwa manusia berhutang kepada Tuhan, Pencipta dan
Penyedianya, karena membawanya menjadi eksistensi dan memeliharanya dalam keberadaannya.
Manusia sebelumnya bukan apa-apa dan tidak ada, dan kini dia ada.

‘Manusia Kami ciptakan dari sari tanah liat; kemudian Kami tempatkan dia sebagai
sperma yang jatuh dalam tempat istirahat, ditetapkan dengan kuat;
kemudian Kami membuat sperma itu menjadi segumpal darah yang memadat; kemudian
dari gumpalan itu Kami membuat gumpalan; kemudian Kami membuat dari gumpalan itu
tulang dan membungkus tulang itu dengan daging; kemudian Kami jadikannya makhluk
yang lain. Puji Tuhan, Pencipta yang terbaik,’5

Manusia yang merenungkan secara serius asalnya akan menyadari bahwa beberapa dekade yang
lalu dia tidak ada, dan seluruh manusia yang kini ada pun dahulu tidak ada maupun mengetahui
kemungkinan keberadaan mereka saat ini. Kebenaran yang sama berlaku pada manusia di
seluruh zaman sejak awal keberadaannya. Dengan begitu alamiah dia yang merenung sedemikian
tulus mengetahui secara intuitif bahwa rasa berhutang akan penciptaan dan keberadaannya tidak
dapat sungguh-sungguh ditujukan kepada orang tuanya, karena dia sungguh tahu bahwa orang
tuanya pun dipengaruhi proses yang sama oleh Pencipta dan Penyedia. Manusia tidak
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangannya sendiri dari kondisi segumpal darah yang
menggantung kepada yang kini dewasa dan sempurna. Dia mengetahui bahkan dalam kondisi
dewasa dan sempurna dia tidak mampu menciptakan bagi dirinya sendiri indera penglihatan
atau pendengaran atau yang lain — dan membiarkan dirinya dalam kesadaran pertumbuhan dan
perkembangan dalam kondisi embrionik yang tak berdaya, maka:

‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Ādam – dari kesiapan mereka – keturunan mereka,
dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” –
mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”6

Manusia yang dibimbing secara benar menyadari bahwa diri sejatinya, jiwanya, sudah
mengakui Tuhan sebagai Rabbnya, bahkan sebelum keberadaannya sebagai manusia, sehingga
manusia tersebut mengenali Pencipta, Pengasih, dan Pemeliharanya. Sifat-dasar hutang
penciptaan dan eksistensi begitu sangat luar biasa, sehingga saat dia diciptakan dan diberi
eksistensi, manusia sudah dalam kondisi merugi, karena dia sungguh tidak memiliki apapun pada
dirinya sendiri, dengan melihat bahwa segala tentangnya, di dalam dirinya, dan darinya adalah
apa yang dimiliki Pencipta Yang memiliki segalanya. Dan ini adalah makna dari Qur’ān Suci:

‘Sesungguhnya manusia dalam kerugian (khusr)...’7

5
Al-Mu’minūn (23): 12-14.
6
Al-A’rāf (7): 172.
7
Al-‘Asri (103): 2.

57 Prolegomena
Melihat bahwa dia tidak memiliki apapun secara absolut untuk ‘membayar’ hutangnya,
kecuali kesadarannya sendiri akan fakta bahwa dirinya adalah inti hutang tersebut, sehingga dia harus
‘membayar’ dengan dirinya, jadi dia harus ‘mengembalikan’ dirinya kepada-Nya Yang
memilikinya secara absolut. Dia adalah hutang itu sendiri yang untuk dikembalikan kepada
Pemiliknya, dan ‘mengembalikan hutang’ berarti memberikan diri dalam pelayanan, atau khidmah,
kepada Rabb dan Pemiliknya; untuk menghinakan diri di hadapan-Nya dan sehingga manusia
yang dibimbing dengan benar secara tulus dan sadar memperbudak dirinya demi Tuhan dengan
maksud memenuhi perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan demikian patuh terhadap
hukum-Nya. Konsep ‘pengembalian’ yang disebut di atas juga merupakan bukti dalam struktur
konseptual dīn, karena itu dapat dan memang bermakna, sebagaimana akan saya elaborasikan
dalam cara yang berkaitan, sebuah ‘pengembalian kepada sifat-dasar inheren manusia’, konsep
‘sifat-dasar’ menunjuk pada aspek spiritual dan tidak secara keseluruhan pada aspek fisik
manusia.8 Hal ini pasti juga ditunjuk dalam kata-kata Qur’ān Suci:

‘Demi langit yang menurunkan hujan’,9

Kata yang diinterpretasikan sebagai ‘hujan’ adalah raj’, yang bermakna secara literal ‘kembali’.10
Diinterpretasikan sebagai hujan sebab Tuhan mengembalikannya secara berulang, dan menunjuk
pada pengembalian yang baik dalam pengertian, manfaat, laba, dan keuntungan. Oleh karena itu raj’,
digunakan secara sinonim dalam pengertian ini dengan rabah, bermakna keuntungan,11 yang
merupakan lawan dari khusr, kerugian, yang referensinya sudah dibuat di atas. Kini tepat untuk
disebutkan di sini satu dari makna dasar dīn yang belum dijelaskan di atas adalah hujan yang
berkelanjutan, hujan yang kembali lagi dan lagi; dan karenanya kita menerima bahwa dīn di sini,
seperti sebuah hujan, yang menyebut pada manfaat dan keuntungan (rabah). Ketika kita katakan
bahwa dengan maksud ‘membayar’ hutangnya manusia harus ‘mengembalikan’ diri pada Tuhan,
Pemiliknya, ‘pengembalian diri’nya adalah, seperti kembalinya hujan, sebuah keuntungan
baginya.12 Dan ini adalah makna dari perkataan:

‘Dia yang memperbudak dirinya beruntung13 (rabiha yang kata benda dasarnya: rabah)

Ungkapan ‘memperbudak diri’ (dāna nafsahu) bermakna ‘memberikan diri’ (dalam


pelayanan), dan karenanya juga ‘mengembalikan diri’ (kepada Pemiliknya) sebagaimana
dijelaskan.14 Makna yang sama diungkapkan dalam kata-kata Nabi Suci:
8
Konsep pengembalian juga diungkapkan dalam makna istilah ‘uwwida dalam pengertian kembali ke masa lalu, yakni,
kepada tradisi. Karenanya penanda dari dīn sebagai adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini bermakna kembali
kepada tradisi Nabi Ibrahim (semoga kedamaian kepadanya!). Dalam hubungan ini tolong lihat di atas hlm.44 dan di
bawah, hlm. 51-55. Harus dilihat bahwa ‘tradisi’ di sini tidak bermakna jenis tradisi yang berasal dan berevolusi dalam
sejarah dan kebudayaan manusia dan bersumber dari kesadaran manusia. Melainkan, dari apa yang Tuhan telah
wahyukan dan perintahkan dan diajarkan Nabi dan Rasul-Nya, sehingga meskipun mereka muncul dalam periode
sejarah yang berturut-turut dan tidak berhubungan, mereka mengandung dan bertindak seakan-akan apa yang mereka
kandung dan bertindak atasnya telah berwujud dalam tradisi yang berkelanjutan.
9
Al-Thāriq (86): 11, LA, vol. 8:120, kol.2.
10
Terdapat hubungan yang dekat antara konsep yang digambarkan di sini dan aplikasi kata kerja ‘raja’a’ dalam
pelbagai bentuknya dalam Qur’ān Suci dengan referensi kepada kembalinya manusia kepada Tuhan.
11
LA, vol. 2:442, kol 2-445, kol. 1.
12
Dīn yang benar membawa kehidupan pada tubuh yang jika sebaliknya mati seperti ’hujan yang diturunkan Tuhan
dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan besertanya kepada bumi yang mati.’ Lihat Al-Baqarah (2): 164.
13
LA, vol. 13: 167, kol. 1.
14
Secara jelas menunjuk kepada manusia yang, telah secara sadar menyadari bahwa dirinya itu di bawah hutangnya
sendiri kepada Pencipta, Pemelihara, dan Pengasihnya, memperbudak dirinya pada dirinya sendiri karenanya
‘mengembalikan’ dirinya pada Rabbnya yang benar.

58 Prolegomena
“Seorang yang cerdas adalah dia yang memperbudak dirinya (dāna nafsahu) dan bekerja
untuk apa yang akan datang setelah kematian.”15

‘Apa yang akan datang setelah kematian’ merupakan sesuatu yang akan diperhitungkan
dengan baik, balasan, kembali yang baik. Pengembalian yang baik ini seperti kembalinya hujan
yang membawa keuntungan kepada bumi dengan membawa kehidupan padanya dan dengan
menyebabkan pertumbuhan yang baik dan menguntungkan bagi kehidupan untuk tumbuh
darinya. Dalam cara yang serupa hujan memberi kehidupan kepada bumi yang jika sebaliknya
akan mati, begitu juga dīn memberi kehidupan kepada manusia, yang tanpanya manusia akan
seperti seseorang yang, sebagaimana disebutkan, juga ‘mati’. Hal ini secara benar-benar
disimbolisasikan oleh kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, dimana Dia berkata:

‘...Dalam hujan Tuhan turunkan dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan beserta
kepada bumi yang mati....’16

Dengan ‘mengembalikan diri’ kepada Rabb dan Pemiliknya, dengan setia dan sungguh-
sungguh mengikuti dan mematuhi perintah, larangan, peraturan, dan hukum Tuhan, manusia
yang bertindak demikian akan dibalas dan akan menerima pengembaliannya yang baik ditambah
berkali lipat, seperti dikatakan Tuhan dalam Qur’ān Suci:

‘Siapakah dia yang ingin meminjamkan (yuqridu) kepada Tuhan pinjaman yang baik
(qardan hasanan) yang akan digandakan Tuhan pada piutangnya dan bertambah berkali
lipat?’17

Perhatikan di sini bahwa kata kerja yang digunakan untuk menandakan ‘pinjaman’
(yuqridu), dari qarada, qard tidak memiliki konotasi yang sama sebagaimana yang diistilahkan
sebagai ‘hutang’ (dayn), karena istilah yang kemudian hanya berlaku kepada manusia. ‘Pinjaman’
di sini bermakna ‘pengembalian yang merupakan dimiliki ‘secara asli’ oleh Dia Yang kini
memintanya, dan yang harus dikembalikan pada-Nya’. Manusia itu milik Tuhan dan
eksistensinya hanya ‘dipinjamkan’ kepadanya untuk suatu waktu. Di sisi lain ungkapan
‘pinjaman yang baik’ (qardan hasanan) sebagaimana diterapkan kepada manusia memiliki arti
metaforis, yakni ‘pelayanannya kepada Tuhan’, ‘kerja baik’nya, yang bermakna, karena hal
tersebut ini dapat sungguh dikatakan miliknya, dan karena persembahan yang dengannya dia
akan dibalas dalam kelimpahan. Tuhan adalah Yang Maha Pembalas, Hakim tertinggi: dayyān.
Dia adalah Raja, mālik, Hari Pengadilan dan Pembalasan, yawm al-dīn, juga disebut Hari
Perhitungan, yawm al-hisāb.18 Fakta bahwa Tuhan ditunjuk sebagai Raja, dan segalanya sebagai
Kerajaan dimana Dia menunjukkan kekuasaan dan otoritas absolut, malakūt, kembali
menunjukkan bahwa manusia itu mamlūk-Nya, budak-Nya. Jadi dīn dalam konteks keagamaan
juga menunjuk kepada kondisi menjadi budak.19 Kita beberapa saat yang lalu menunjuk
‘pengembalian diri manusia’ bermakna ‘memberikan diri dalam pelayanan’ (khidmah) kepada
Tuhan. Kini kita katakan lagi bahwa dalam akibat apa yang sungguh-sungguh dimaksud bukan
15
LA, vol. 12: 169, kol. 2.
16
Al-Baqarah (2): 164.
17
Al-Baqarah (2): 245.
18
Dīn juga bermakna perhitungan yang benar: hisāb al-sahīh. Yakni membagi dengan perhitungan benar yang tepat
kepada suatu jumlah atau sesuatu sehingga cocok pada tempatnya yang tepat: ‘adad al-mustawā. Hal yang entah
bermakna matematis ini mengandung pengertian bahwa terdapat sistem atau hukum yang memerintah dan memelihara
semuanya dalam keseimbangan yang sempurna. Lihat LA, vol. 13: 169, kol. 1.
19
LA, vol. 13: 170, kol. 1.

59 Prolegomena
‘pelayanan’ dalam pengertian pelayanan apapun, atau jenis yang ditawarkan kepada manusia
atau institusi manusia lain. Konsep khidmah menyiratkan bahwa seseorang yang memberikan
pelayanan tersebut ‘bebas’, tidak terikat, tetapi ‘tuan bagi dirinya’ dalam hal dirinya sendiri.
Namun konsep mamlūk, mengandung fakta implisit kepemilikan seseorang yang menerima
pelayanannya. Mamlūk dimiliki mālik. Jadi kita tidak mengatakan seseorang yang melayani Tuhan
adalah seorang khādim, bermakna pelayan, tetapi dia adalah ‘ābid Tuhan dan sungguh dia adalah
‘abd Tuhan, yang juga bermakna pelayan atau budak, dengan istilah yang memiliki konotasi
‘dimiliki’ oleh Dia Yang dia layani. Oleh karena itu dalam konteks keagamaan, ‘abd merupakan
istilah yang tepat yang menunjuk kepada seseorang yang, dalam kenyataan dia berhutang secara
absolut pada Tuhan, menghinakan diri dalam pelayanan kepada-Nya; dan karenanya tindakan
melayani yang berkenan bagi-Nya disebut ‘ibādah dan pelayanannya adalah ‘ibādāt, yang
menunjuk pada semua tindakan pelayanan yang sadar dan sukarela hanya demi Tuhan dan yang
diterima-Nya, termasuk penyembahan yang diwajibkan. Dengan menyembah Tuhan dalam cara
pelayanan tertentu manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya, seperti
perkataan Tuhan dalam Qur’ān Suci:

‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’budūni).20

Ketika kita katakan bahwa manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan
keberadaannya, jelas bahwa kewajiban manusia untuk melayani Tuhan dirasakannya sebagai
normal sebab hal itu datang sebagai kehendak alamiah dalam bagian diri manusia untuk
melakukannya. Kecenderungan alamiah pada manusia untuk melayani dan menyembah Tuhan
juga ditunjuk sebagai dīn, seperti telah kita observasi dari awal dalam hubungan dengan
konotasinya sebagai adat, kebiasaan dan watak. Namun, di sini dalam konteks keagamaan hal
tersebut juga memiliki penanda khusus akan kondisi alamiah wujud yang disebut fitrah. Bahkan dīn
juga bermakna fitrah.21 Fitrah adalah pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala
hal. Hal tersebut adalah cara penciptaan oleh Tuhan, sunnat Allāh, dan segalanya cocok satu sama
lain ke dalam pola yang diciptakan untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Hal itu
adalah hukum Tuhan. Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena bermakna
perwujudan apa yang inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya
membawa ketidakharmonisan, karena bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan
terhadap sifat-dasar seseorang yang benar. Fitrah adalah keteraturan (cosmos) sebagaimana
dilawankan dengan kekacauan (chaos); keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan.
Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya,
menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah
perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan
dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai
seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga penyembahannya tersebut, tindakan
kesalehannya, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan. Satu makna dari fitrah sebagai
dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian ini oleh manusia.22 Ketundukan dalam pengertian yang
digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar, dan ketundukan ini tidak serta
merta kehilangan ‘kebebasan’ baginya, karena kebebasan pada faktanya bermakna bertindak
sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk kepada Tuhan dalam jalan ini
adalah menghidupi dīn ini.

20
Al-Dhāriyat (51): 56.
21
LA, vol. 5:58, kol. 1 & 2; lihat juga Al-Rūm (30): 30.
22
LA, vol. 5: 56, kol. 2, 57, kol. 1.

60 Prolegomena
Ketundukan, kita katakan lagi, menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela,
karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat bermakna ketundukan
sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti kepercayaan-kuat atau
kepercayaan-lemah merupakan inti semua agama, tetapi kita mempertahankan bahwa tidak
semua agama menetapkan ketundukan sejati. Bukanlah ketundukan jika bermakna jenis yang
sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati merupakan tindakan berkelanjutan yang
dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis yang hanya beroperasi di alam
hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh sebagaimana perbuatan ditampilkan
dalam kepatuhan kepada hukum Tuhan. Ketundukan kepada keinginan Tuhan bermakna juga
kepatuhan kepada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama,
sebagai bukti dalam Qur’ān Suci ketika Tuhan berkata:

‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan
(aslama) wajahnya (cth. seluruh dirinya) kepada Tuhan...?’23

Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn,
tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya kepada Tuhan adalah yang
terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia
berkata dalam Qur’ān Suci:

‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak akan
pernah itu diterima darinya...”24

dan lagi:

‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’25

Menurut Qur’ān Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena
segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan,
sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang
membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah ketundukan menurut Islām merupakan
ketundukan yang tulus dan total kepada kehendak Tuhan, dan hal ini ditetapkan secara sukarela
sebagai kepatuhan absolut kepada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat
diungkapkan dalam Qur’ān Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut:

‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk
di langit dan bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-
Nya, dan kepada-Nyalah mereka semua dikembalikan.’26

Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di
sinilah keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain.27 Bentuk ini, yang merupakan

23
Al-Nisā’ (4): 125.
24
Āli ‘Imrān (3): 85.
25
Āli ‘Imrān (3): 19.
26
Āli ‘Imrān (3): 83.
27
Hal ini tentu tidak menyiratkan bahwa keanekaragaman antara agama-agama hanya soal bentuk, karena perbedaan
dalam bentuk tentu saja menyiratkan perbedaan dalam konsep Tuhan, Esensi, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan Tindakan-
Nya — sebuah perbedaan dalam konsepsi yang diungkapkan dalam Islām sebagai tawhīd: Keesaan Tuhan.

61 Prolegomena
cara institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan
perilaku keagamaan, etis, dan moral — cara yang dengannya ketundukan kepada Tuhan
ditetapkan dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi
Ibrāhīm (Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian
atasnya!). Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang betul
dīn al-qayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung sempurna,
hanīfan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaan-
kuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim,
meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk
yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain telah mengembangkan sistem atau bentuk
ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah
Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama Ahlu’l-Kitāb — Orang-Orang Berbuku
(People of the Book) — telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri dengan
tradisi yang berdasarkan Wahyu. Untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan inilah yang,
untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang
”terpaksa”.28
Konsep dīn dalam pengertian kepatuhan yang benar dan ketundukan sejati seperti
digambarkan dalam paparan ringkas sebelumnya diwujudkan di kehidupan nyata dalam Agama
Islām. Dalam Islāmlah dīn yang benar dan sempurna diwujudkan, karena hanya dalam Islām swa-
pengungkapan tersebut terpenuhi secara utuh. Islām menyerupai pola atau bentuk sesuai dengan
cara Tuhan memerintah Kerajaan-Nya; Islām adalah imitasi tatanan alam semesta yang
diwujudkan di sini dalam kehidupan duniawi ini sebagai sebuah tatanan sosial maupun tatanan
politik. Tatanan sosial Islām meliputi seluruh keberadaan aspek fisik, material, dan spiritual
manusia dalam sebuah cara yang, di sini dan kini, melaksanakan keadilan kepada individu
maupun kepada masyarakat; dan kepada individu sebagai makhluk fisik maupun sebagai
makhluk ruhani, sehingga seorang muslim adalah sekaligus dirinya dan Komunitasnya, dan
Komunitasnya juga merupakan dia, karena setiap anggota menghendaki, seperti dia, untuk
mewujudkan tujuan yang sama dalam kehidupan dan mencapai hasil yang sama. Tatanan sosial
Islām merupakan Kerajaan Tuhan di bumi, karena di dalam tatanan tersebut Tuhan, dan bukan
manusia, adalah tetap Rabbnya, Pemilik Kedaulatan dimana keinginan, hukum, peraturan,
perintah, dan larangan-Nya memegang peranan absolut. Manusia hanya wakil-Nya atau khalīfah,

28
Dalam sebuah pengertian, kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci:
– ‘Biarkan tidak ada ada paksaan dalam agama’ (Al-Baqarah (2): 256) – menguatkan apa yang telah dijelaskan di atas
bahwa dalam agama sejati seharusnya tidak ada paksaan: bukan hanya dalam pengertian bahwa, dalam tindakan
pengendalian pada agama dan tunduk padanya, seseorang harus tidak memaksa yang lain untuk tunduk; tetapi dalam
pengertian bahkan dengan diri sendiri, seseorang harus mengendalikan dan menundukkan diri sepenuh hati dan
sukarela, dan mencintai dan menikmati ketundukan. Ketundukan yang terpaksa memperlihatkan kesombongan,
ketidakpatuhan dan pembangkangan, dan adalah serupa dengan salah-percaya (misbelief), yang merupakan salah satu
bentuk dari tidak-percaya (kufr). Sebuah kesalahan untuk berpikir bahwa percaya hanya pada Tuhan yang Satu sendiri
adalah cukup dalam agama sejati, dan bahwa kepercayaan-lemah seperti itu menjamin keamanan dan keselamatan. Iblīs
(syaitan), yang percaya pada Satu Tuhan Yang Benar dan mengetahui dan mengakui-Nya sebagai Pencipta, Pengasih,
Pemelihara, rabbnya, meskipun demikian seorang yang salah-percaya (kāfir). Meskipun Iblīs tunduk kepada Tuhan,
namun dia tunduk dengan kurang ajar dan enggan, dan kufrnya berkaitan dengan kesombongan, ketidakpatuhan dan
pembangkangan. Dia adalah contoh buruk yang terkenal dari ketundukan yang terpaksa. Maka, ketundukan yang
terpaksa bukan tanda kepercayaan yang benar, dan seorang kāfir oleh karena itu mungkin menjadi seseorang yang,
meski percaya pada Satu Tuhan, tidak tunduk dalam ketundukan sejati, melainkan lebih tunduk pada jalannya sendiri
yang keras kepala – sebuah jalan, atau cara, atau bentuk yang tidak diterima ataupun diwahyukan atau diperintahkan
Tuhan. Ketundukan sejati adalah apa yang telah sempurna oleh Nabi Suci sebagai model bagi manusia, karena hal itu
merupakan cara ketundukan seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya, dan bentuknya diterima, diwahyukan, dan
diperintahkan Tuhan. Dengan demikian, inti agama sejati, maka, bukan kepercayaan-lemah, melainkan, lebih
mendasar, ketundukan; karena ketundukan membuktikan dan mengakui kepercayaan-lemah sebagai benar dan sejati.

62 Prolegomena
yang telah diberikan kepercayaan memerintah, amānah, untuk mengatur sesuai kehendak Tuhan
dan perkenan-Nya. Ketika kita katakan ‘aturan’, kita tidak secara sederhana bermaksud menunjuk
pada pengertian sosio-politik dari ‘mengatur’, karena yang kita maksud juga, tentu saja jauh lebih
mendasar, aturan tentang diri sendiri oleh diri sendiri, karena amanah menunjuk juga kepada
tanggung jawab dan kebebasan diri untuk bertindak adil kepada diri sendiri. Pernyataan terakhir
ini kita harus menegaskannya kembali sekarang, karena apa yang dimaksudkan itu
mengungkapkan inti prinsip etis dan moralitas Islām. Islām, kita katakan lagi, merupakan sebuah
tatanan sosial, tetapi dalam tatanan tersebut setiap individu, masing-masing berdasarkan
kapasitas dan kekuatan laten yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk memenuhi dan
menyadari tanggung jawab dan kebebasannya, menghendaki mencapai dan mewujudkan yang
ideal bagi dirinya dalam Jalan29 yang dimanifestasikan oleh Hukum30 Yang diwahyukan yang
ditaati seluruh anggota Komunitas. Maka dengan demikian, sebagaimana setiap muslim
merupakan khalīfah Tuhan di bumi, maka setiap muslim adalah budak-Nya, ‘abd-Nya, yang
menghendaki dirinya agar menyempurnakan pelayanan dan ketaatan, ‘ibādahnya, dalam cara
yang diterima Tuhan, Pemiliknya Yang Absolut. Dan karena setiap individu dalam tatanan sosial
ini mampu menjawab kepada Tuhan, maka dalam tatanan sosial tersebut masing-masing individu
secara personal mengarahkan kesetiaan yang benar dan sejati, tā’ah, pada Tuhan, Rabbnya yang
Sejati.
Kita telah katakan bahwa konsep dīn merefleksikan gagasan sebuah kerajaan — sebuah
kosmopolis. Perdagangan dan pertukaran merupakan inti kehidupan kosmopolis, dan aktifitas
tersebut bersama pelbagai implikasinya memang inheren dalam konsep dīn sebagaimana telah
sedemikian jauh digambarkan. Maka tidak heran dalam Qur’ān Suci kehidupan dunia dilukiskan
secara terus-menerus secara sungguh-sungguh dalam metafora sebagai perusahaan dagang. Di
dalam kosmopolis atau kerajaan yang direfleksikan dalam konsep dīn, terdapat lukisan aktifitas
sibuk akan lalu lintas perdagangan. Manusia tidak terelakkan bertaut dengan perdagangan: al-
tijārah, dengan dirinya sebagai subjek dan objek perdagangan. Dia adalah modalnya sendiri, dan
kerugian dan keuntungannya tergantung pada rasa tanggung jawab dan pertunjukan
kebebasannya. Dia membawa kepercayaan dalam membeli dan menjual, bay’ah, dan pertukaran:
ishtarā, dan dirinyalah yang dia beli atau jual atau tukar; dan tergantung kehendaknya terhadap
pertunjukkan keinginan dan kebutuhannya, perdagangannya akan untung: rabiha’l-tijārah, atau
menderita rugi: mā rabiha’l-tijārah. Dalam situasi yang muncul di hadapan kita harus lihat bahwa
manusia yang begitu terikat menyadari keseriusan berspekulasi dagang yang secara sukarela
diambil.31 Dia tidak sekedar hewan yang makan, minum, tidur, dan bersenang-senang atas
kesenangan32 sensual — tidak ada orang suci ataupun barbar yang demikian melewatkan dirinya
dalam perwujudan tanggung jawabnya yang besar dan kesadaran akan kebebasannya untuk
memenuhi dan menebus dirinya sendiri dari beban eksistensi. Hal itu adalah seperti dia yang
menukar dirinya dengan diri sejatinya yang ditunjuk Tuhan ketika Dia berkata dalam Qur’ān
Suci:

‘Sesungguhnya Tuhan telah membeli mukmin diri-diri mereka...’33

29
Dengan ‘Jalan’ saya bermaksud apa yang menunjuk pada ihsān, atau kesempurnaan dalam kebajikan.
30
Hukum yang diwahyukan, atau sharī’ah, adalah hukum Tuhan.
31
Lihat Al-Ahzāb (33): 72.
32
Lihat Al-‘Arāf (7): 179.
33
At-Tawbah (9): 111.

63 Prolegomena
Konsep dīn dengan menunjuk kepada manusia Islām34 mengandaikan kemunculannya
dalam dirinya jenis manusia yang lebih tinggi yang sanggup akan cita-cita mulia menuju swa-
pembuktian — swa-pembuktian yang tidak kurang dari aktualisasi kekuatan dan kapasitas
latennya untuk menjadi manusia yang sempurna. Manusia Islām sebagai penduduk kota, sebuah
kosmopolitan, yang menghidupi kehidupan beradab sesuai dengan fondasi batasan yang jelas
akan tatanan sosial dan kode perilaku adalah dia yang patuh kepada Hukum Ilahi, dimana
berusaha menuju perwujudan keadilan sejati dan menghendaki pengetahuan yang benar
merupakan kebajikan pokok. Dorongan perilaku manusia demikian merupakan rahmat abadi,
dimana pintu masuk ke dalam kondisi damai tertinggi yang mungkin dia rasakan bahkan di sini,
tetapi yang akan diberikan padanya ketika dia masuk arus kota lain itu dan menjadi penduduk,
yakni penduduk kerajaan lain yang di dalamnya kebahagiaan pokoknya dapat memandang
Wajah Agung Sang Raja.
Sementara Islām merupakan lambang tatanan kosmis ilahiyah, manusia Islām yang sadar
akan takdirnya sadar bahwa dirinya, sebagai makhluk fisik, juga lambang alam semesta, sebuah
representasi mikrokosmos, ‘ālam saghīr, dari makrokosmos, al-’ālam al-kabīr. Karenanya dalam cara
Islām itu seperti kerajaan, sebuah tatanan sosial, begitu juga manusia Islām mengetahui bahwa dia
merupakan kerajaan dalam ukuran miniatur, karena dia, sebagaimana pada manusia seluruhnya,
memanifestasikan Sifat-Sifat Pencipta, tanpa menjadi kebalikannya, karena ‘Tuhan menciptakan
manusia dalam citra-Nya sendiri’. Kini manusia adalah tubuh dan jiwa, dia adalah makhluk fisik
sekaligus ruhani, dan jiwanya memerintah tubuh seperti Tuhan memerintah Alam Semesta. Jiwa
manusia juga memiliki dua aspek yang analogis dengan sifat-dasar gandanya: yang tinggi, jiwa
rasional: al-nafs al-natīqah; yang rendah, jiwa hewani atau jasmani: al-nafs al-hayawāniyyah. Di
dalam kerangka-kerja konseptual dari konsep dīn yang diterapkan di sini sebagai persoalan
subjektif, personal, dan individual, jiwa rasional manusia merupakan raja dan harus
menggunakan kekuatan dan aturannya terhadap jiwa hewani yang merupakan bawahannya dan
yang harus ditundukkan padanya. Kekuasaan dan aturan efektif yang ditunjukkan jiwa rasional
terhadap jiwa hewani, dan penaklukan dan ketundukan total dari yang kemudian atas yang
terdahulu sungguh dapat diinterpretasikan sebagai dīn, atau sebagai islām dalam pengertian
subjektif, personal, individual dalam hubungan yang sedemikian dibangun. Dalam konteks ini
jiwa hewanilah yang memperbudak dirinya sendiri dalam ketundukan dan pelayanan sehingga
‘mengembalikan’ diri kepada kekuasaan dan otoritas jiwa rasional. Ketika Nabi Suci berkata:

“Matilah sebelum kamu mati.”-

Hal tersebut sama saja dengan berkata: “kembalilah sebelum kamu akhirnya kembali”; dan ini
menunjuk kepada penaklukan diri sendiri oleh diri sejatinya, yakni jiwa hewani seseorang oleh
jiwa rasionalnya; dan menyentuh pengetahuan akan diri inilah yang dimaksudkannya ketika dia
katakan:

“Dia yang mengenal dirinya mengenali Rabbnya”.

Lebih lanjut, ketika Tuhan memproklamasikan kekuasaan-Nya pada keturunan Ādam


jiwa rasional manusialah yang Dia tuju, sehingga setiap jiwa telah mendengar perkataan
“Bukankah Aku Rabbmu?” dan menjawab “Ya!” dan bersaksi pada dirinya sendiri. Jadi manusia
Islām yang dibimbing secara benar bertindak sesuai sebagai pelayan sejati Tuhan, ‘abd-Nya. Kita
menunjuk di awal pada tujuan penciptaan dan eksistensi manusia, mengatakan bahwa hal itu

34
Manusia Islām, cth., Muslim.

64 Prolegomena
merupakan untuk melayani Tuhan; dan kita katakan bahwa tindakan melayani dari bagian diri
manusia adalah ‘ibādah dan pelayanan sedemikian adalah ‘ibādāt, yang menunjuk kepada semua
tindakan pelayanan yang sadar dan sukarela hanya karena Tuhan dan yang diterima oleh-Nya,
termasuk penyembahan yang ditentukan. Pada kenyataannya, kita kini mengatakan lebih lanjut
bahwa bagi manusia Islām seluruh kehidupan etisnya adalah ‘ibādah yang berkelanjutan, karena
Islām sendiri merupakan sebuah jalan hidup yang utuh. Ketika manusia itu telah, dengan ‘ibādāt,
berhasil menahan hasrat hewani dan jasmani dan telah membuat jiwa hewaninya tunduk, lalu
membuatnya dipengaruhi jiwa rasional, manusia yang digambarkan demikian telah mencapai
kebebasan bahwa dia telah memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya; dia telah mencapai
kedamaian tertinggi35 dan jiwanya ditenangkan, diletakkan bebas seperti dikatakan, bebas dari
belenggu nasib yang tak terelakkan dan perselisihan yang mengganggu dan neraka sifat buruk
manusia. Jiwa rasionalnya dalam kondisi spiritual ini disebut dalam Qur’ān Suci sebagai jiwa
yang ‘ditenangkan’ atau ‘tenang’: al-nafs al-mutma’innah. Jiwa ini merupakan jiwa yang
‘mengembalikan’ diri secara sukarela kepada Rabbnya, dan padanyalah Tuhan mengalamatkan
perkataan-Nya:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu pada Rabbmu, - dengan ridho pada (dirimu)
dan ridho pada-Nya! Maka masuklah kamu, di antara pelayanKu! Ya, masuklah kamu ke
Taman-Ku”36

jiwa ini merupakan jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan
pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak ada yang mengenal lebih baik tentang Rabbnya
daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang dengan pelayanan seperti itu mendapatkan
keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, sehingga ‘ibādah bermakna, pada akhirnya, pada tahap
lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah.37
Saya telah melacak dalam garis besar secara gamblang inti dasar Agama Islām dan telah
menunjukkan secara umum yang dapat, sekalipun, dielaborasikan kepada catatan logis yang
merinci sifat-dasar yang mencakup semua yang meliputi kehidupan individu maupun
masyarakat. Sudah saya katakan bahwa Islām adalah agama subjektif, personal dari individu
maupun sebagai agama objektif meliputi agama swa-sama untuk Komunitas – yang beroperasi
sebagai agama yang sama untuk individu sebagai entitas tunggal maupun masyarakat yang
tersusun secara kolektif dari entitas-entitas demikian.38 Tersirat pada penjelasan kita bahwa Islām

35
Ketika kita juga berkata bahwa Islām bermakna ‘damai’, kita menunjuk pada akibat dari ketundukan yang ditandai
dengan kata kerja aslama.
36
Al-Fajr (89): 27-30.
37
Kita tidak menyiratkan sekurang-kurangnya di sini bahwa ketika ’ibādah menjadi diidentifikasi dengan ma’rifah,
yang terdahulu disebutkan sebagai kerja pelayanan (‘amal) termasuk sholat (salāt) — cth. yang diwajibkan (fard),
praktek yang jalankan Nabi (sunnah), tambahan utama (nawafīl) —tidak lagi wajib bagi seseorang yang memperoleh
yang kemudian, atau sholat seseorang hanya bermakna kontemplasi intelektual, seperti dipikirkan beberapa filsuf.
Ma’rifah sebagai ‘pengetahuan’ adalah kognisi yang benar (‘ilm) dan perasaan yang benar atau suasana hati spiritual
(hāl); dan yang disebutkan di awal, yang menandai tahap terakhir ‘tempat-perhubungan’ spiritual (maqāmāt),
mendahului yang kemudian disebut, yang menandai awal ‘kondisi’ spiritual (ahwāl). Jadi ma’rifah menandai posisi-
transisi spiritual antara tempat-perhubungan dan kondisi spiritual. Hal seperti itu, dan karena itu merupakan
pengetahuan yang datang dari Tuhan pada hati (qalb) dan tergantung sepenuhnya kepada-Nya, tidaklah serta merta
merupakan kondisi permanen kecuali secara berkelanjutan diamankan dan dibentengi dengan ‘ibādah. Dia yang
berpandangan tajam mengetahui bahwa adalah absurd dalam kasus seseorang yang menerima pengetahuan dari Tuhan
tentang Tuhan (cth. ‘ārīf) untuk mengubah ‘ibādahnya menjadi sekedar kontemplasi, karena ‘ārīf sangat sadar akan
fakta bahwa keutuhan atau setidaknya sebagian berkaitan dengan ‘ibādah merupakan alat mendekati Rabbnya.
38
Terdapat kebenaran bahwa tidak ada sesuatu seperti Islām subjektif dan objektif dalam pengertian yang terdahulu
disebutkan menyiratkan kurang nyata dan kurang benar dari yang kemudian, kepada perluasan tersebut yang terdahulu
dipandang sebagai kurang absah dan kurang otentik dari yang kemudian; atau bahwa yang kemudian itu berbeda

65 Prolegomena
adalah kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat (īmān) maupun ketundukan dalam pelayanan
(islām); Islām adalah ketetapan hati (qalb) dan pikiran (‘aql) yang dikonfirmasikan oleh lidah (lisān)
maupun oleh perbuatan dan kerja (‘amal)39; Islām adalah hubungan yang harmonis yang dibangun
antara jiwa dan tubuh; Islām adalah kepatuhan dan kesetiaan (tā’ah) kepada Tuhan juga kepada
Nabi Suci; Islām adalah menerima sepenuh hati kebenaran akan Kesaksian (kalimah shahādah)
bahwa tiada Tuhan selain Allāh, dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allāh – Islām adalah
kesatuan semua itu, bersama dengan apa yang menyertai mereka, dalam kepercayaan-lemah dan
praktek, dalam diri pribadi muslim maupun pada Komunitas secara keseluruhan. Tidak bisa
terdapat perpisahan, ataupun pembagian, ataupun dikotomi antara bagian integrasi yang
harmonis dari kesatuan yang sedemikian dibentuk, sehingga dapat ada, bagi Islām, pemercaya-
lemah atau pemercaya-kuat sejati (mu’min) tanpa seseorang tersebut juga tunduk dalam
pelayanan (muslim); tidak ada penerimaan hati dan pikiran yang dikonfirmasikan dengan lidah
tanpa perbuatan dan kerja; tidak ada kepatuhan dan kesetiaan sejati kepada Tuhan tanpa
kepatuhan dan kesetiaan kepada Utusan-Nya; maupun terdapat penerimaan Kesaksian bahwa
tiada Tuhan selain Allāh tanpa juga menerima Muhammad sebagai Utusan-Nya, yang pertama
kali mewujudkan Rumusan Keesaan (kalimah al-tawhīd). Saya juga telah mengangkat sifat-dasar
mendasar wahyu Qur’ān akan perjanjian jiwa manusia dengan Tuhan dalam hal Kemahakuasaan-
Nya dan konsep dīn sebagaimana merefleksikan alam semesta, layaknya pemerintahan Tuhan
atas alam ciptaan, dan saya telah menggambarkan perbandingan antara konsep dīn dan konsep
makrokosmos dan hubungan analogisnya dengan manusia sebagai mikrokosmos dimana jiwa
rasional mengatur jiwa hewani dan tubuh seperti Tuhan mengatur Kerajaan-Nya. Perjanjian jiwa
dengan Tuhan dan sifat-dasar hubungan yang diungkapkan dari perjanjian tersebut memang
menempati posisi utama dalam konsep dīn dan merupakan basis pokok Islām, seperti akan saya
ungkapkan lebih lanjut. Perjanjian tersebut dibuat oleh seluruh jiwa keturunan Adam dan Tuhan
menunjuk kepada mereka secara kolektif juga secara individual, sehingga perjanjian itu
merupakan perjanjian yang dibuat setiap jiwa individu sekaligus oleh mereka secara kolektif
untuk mengakui Tuhan sebagai Rabb mereka. Mengakui Tuhan sebagai Rabb (rabb) bermakna
mengakui Dia sebagai Raja Yang Absolut (sin. mālik), Rabb, Pemilik (sin. sāhib), Pengatur,
Pemerintah, Tuan, Pencipta, Pengasih, Pemelihara —karena semua makna tersebut menunjuk
pada konotasi inheren dari konsep Rabb. Semua jiwa memiliki status yang sama dalam hubungan
kepada Rabb mereka: menjadi bawahan, dikuasai, dimiliki, diatur, diperintah, diperbudak,
diciptakan, dikasihi, dan dipelihara. Dan karena perjanjian itu menyentuh jiwa individu sekaligus
jiwa tersebut secara kolektif, jadi kita lihat di sini ketika jiwa tersebut dimanifestasikan di sini
sebagai manusia dalam pembentangan akan Islām jiwa yang sama disatukan dalam usaha
memenuhi perjanjian secara kolektif sebagai masyarakat dan Komunitas (ummah) maupun secara
individual sedemikian rupa sehingga Islām adalah, seperti kita telah katakan, sekaligus personal
dan subjektif maupun sosial, komunal, dan objektif;40 Islām merupakan campuran harmonis baik
individu maupun masyarakat. Hal yang menyatukan seorang muslim individual satu sama lain

daripada yang terdahulu sebagai suatu realitas dan kebenaran yang independen sedangkan yang terdahulu adalah
interpretasi yang beragam dari pengalaman akan yang kemudian. Kita mempertahankan bahwa apa yang dialami oleh
setiap individu muslim secara subjektif adalah sama sebagai Islām secara objektif, dan kita menggunakan istilah
‘subjektif’ dan ‘objektif’ di sini untuk memilah daripada membuat diskriminasi yang satu dengan yang lain. Pemilahan
antara dua hal tersebut menyentuh pada tingkatan pemahaman dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara
muslim yang satu dengan yang lain. Jadi pemilahan tersebut menunjuk kepada aspek-ihsān dari pengalaman Islāmi.
Kendati secara alamiah tingkatan pemahaman yang berbeda dan derajat pengertian dan praktek yang ada antara muslim
yang satu dengan yang lainnya namun semuanya adalah muslim dan hanya ada satu Islām, dan apa yang umum pada
mereka semua adalah Islām yang sama.
39
Contoh, ‘ibādah dan tindakan ‘ibādāt
40
Lihat di atas, catatan 38.

66 Prolegomena
dan ikatan persaudaraan yang menakjubkan dan unik yang melampaui batasan ras, bangsa,
waktu, dan ruang dan bahkan lebih kuat dari ikatan keluarga dan kekerabatan tidaklah lain dari
perjanjian ini, karena jiwa di sini yang ada sebagai manusia dengan perjanjian tersebut mengenali
satu sama lain sebagai saudara, sebagai keluarga jiwa-jiwa. Mereka terhubung satu sama lain di
tempat nun jauh dan di sini mereka merupakan saudara yang menyayangi satu sama lain hanya
karena Tuhan. Meskipun seseorang berada di Timur dan yang lain di Barat, namun mereka
merasakan kesenangan dan kenyamanan pada kabar angin satu sama lain, dan yang hidup di
generasi selanjutnya daripada yang lain itu diarahkan dan dihibur oleh kata-kata saudaranya.
Mereka merupakan saudara yang terlibat dalam tujuan yang sama jauh sebelum mereka muncul
sebagai saudara di bumi, dan mereka adalah kawan dan keluarga sejati sebelum mereka
dilahirkan dalam kekerabatan bumi. Jadi di sini kita lihat bahwa perjanjian yang sama merupakan
inti dasar persaudaraan Islām (ukhuwwah). Perasaan sejati akan persaudaraan di antara muslim
inilah yang berdasarkan fondasi spiritual dimana tidak ada kekuatan bumi yang dapat memecah
berkeping-keping yang menyatukan individu kepada masyarakat dalam Islām tanpa kemudian
individu menderita kerugian akan individualitas dan personalitasnya, ataupun pada masyarakat,
pemerintahan dan otoritasnya.
Dalam organisasi politik dan sosial Islām — apakah itu dari bentuk yang satu atau yang
lain — perjanjian yang sama menjadi inti fondasi mereka. Manusia Islām tidak diikat oleh kontrak
sosial, ataupun mendukung doktrin kontrak sosial. Tentu saja, meskipun dia hidup dan bekerja di
dalam ikatan pemerintahan dan otoritas sosial dan memberikan andil pada kebaikan sosial, dan
meskipun dia berperilaku seolah-olah ada kekuatan kontrak sosial, hal itu merupakan, meskipun
demikian, sebuah kontrak individu yang merefleksikan perjanjian jiwanya yang disegel dengan
Tuhan; karena perjanjian tersebut kenyataannya dibuat bagi masing-masing dan setiap jiwa
individu. Tujuan dan nilai pokok etis dalam Islām secara mendasar adalah untuk individu; apa
yang manusia Islām lakukan di sini dia melakukan apa yang di percaya baik hanya karena Tuhan
dan Utusan-Nya mengatakan demikian dan dia percaya bahwa tindakannya akan menemukan
ridho Tuhan. Baginya bukan kondisi ataupun masyarakat yang merupakan objek sejati dan benar
akan kesetiaan dan kepatuhannya, karena baginya tindakan tersebut bukan hak istimewa negara
dan masyarakat pada perluasan bahwa perilaku tersebut berkaitan dengan mereka sebagai hak
mereka; dan jika dia dalam sebuah negara dan masyarakat Islām lalu hidup dan menghendaki
yang baik bagi negara dan masyarakat, hal itu hanya karena masyarakat tersebut terdiri dari
manusia Islām individual dan negara yang diorganisir mereka menciptakan akhir dan tujuan
Islām yang sama sebagai tujuan mereka — jika tidak dia diwajibkan melawan negara dan
mengupayakan membetulkan kesalahan masyarakat dan mengingatkan mereka akan tujuan sejati
dalam hidup mereka. Kita tahu bahwa dalam analisis mendasar akan pencarian manusia akan
‘kebahagiaan’ – sebagaimana mereka katakan dalam filsafat dalam hubungan dengan etika –
adalah selalu untuk diri individu. Bukanlah ‘kebahagiaan’ entitas kolektif yang begitu menjadi
persoalan daripada kebahagiaan individu; dan setiap orang pada kenyataannya tentu harus
berpikir dan bertindak untuk keselamatan dirinya, karena tidak ada orang lain yang dapat dibuat
bertanggung jawab atas tindakannya karena setiap manusia menanggung beban tanggung
jawabnya sendiri.41 ‘Kebahagiaan’, seperti yang akan saya elaborasikan dalam bab selanjutnya,
berkaitan dengan kondisi permanen di dalam jiwa rasional; pada pengetahuan dan kepercayaan-
kuat; pada perilaku yang baik dan pencapaian kondisi yang diketahui sebagai ‘keadilan’ (‘adl).
Dalam Islām — karena baginya agama meliputi kehidupan keseluruhannya — semua
kebajikan bernilai keagamaan; kebajikan ada kaitannya dengan kebebasan jiwa rasional, dimana
kebebasan bermakna kekuatan untuk bertindak adil pada diri sendiri; dan hal ini pada gilirannya

41
Lihat Al-An’ām (6): 164.

67 Prolegomena
menunjuk pada pertunjukan atas aturan, supremasi, bimbingan dan pertahanannya atas jiwa
hewani dan tubuh. Kekuatan untuk bertindak adil kepada diri sendiri menunjuk pada pengakuan
konstan dan pemenuhan perjanjian yang telah dibuat dengan Tuhan. Keadilan dalam Islām bukan
konsep yang menunjuk pada kondisi urusan yang hanya dapat beroperasi di dalam situasi
hubungan-dua-orang (two-person-relation) atau hubungan-dua-pihak (dual-party-relation), seperti:
antara seseorang dengan yang lain; atau antara masyarakat dengan negara; atau antara pengatur
dengan yang diatur; atau antara raja dengan bawahannya. Pada pertanyaan: “Dapatkah seseorang
untuk tidak adil kepada diri sendiri?” agama lain atau para filsuf tidak memberikan jawaban jelas-
tegas (clear-cut) yang konsisten. Tentu saja dalam peradaban Barat, contohnya, meskipun benar
bahwa manusia yang melakukan bunuh diri dapat dikatakan bertindak tidak adil; tetapi hal ini
dipertimbangkan sejauh hanya karena bunuh diri merugikan negara dari pelayanan warga negara
yang berguna, sehingga ketidakadilan bukanlah kepada dirinya, tetapi kepada negara dan
masyarakat. Kita telah beberapa kali menyebutkan konsep bahwa keadilan bermakna kondisi
harmonis atau kondisi persoalan ketika segala hal dalam tempatnya yang benar dan tepat —
seperti alam semesta; atau sama dengan itu, yakni kondisi seimbang, apakah itu menunjuk pada
benda atau makhluk hidup. Pada manusia, kita katakan bahwa keadilan bermakna secara dasar
sebuah kondisi dan situasi ketika dia ada dalam tempatnya yang benar dan tepat. ‘Tempat’ di sini
bukan hanya menunjuk pada situasi total dalam hubungan dengan yang lainnya, tetapi juga pada
kondisinya dalam hubungan dengan diri sendiri. Sehingga konsep keadilan dalam Islām tidak
hanya menunjuk pada situasi hubungan yang harmonis dan seimbang yang ada antara seseorang
dan yang lain, atau antara masyarakat dengan negara, atau antara pengatur dengan yang diatur,
atau antara raja dengan bawahannya, tetapi jauh lebih mendalam dan mendasar sehingga
menunjuk pada cara yang mendasar terhadap hubungan yang harmonis dan benar-seimbang
antara seseorang dengan dirinya, dan dalam cara sekunder ada di antara dia dan sesamanya dan
yang lain atau, antara dia, pengatur, raja, negara dan masyarakat. Dengan begitu terhadap
pertanyaan: “Dapatkah seseorang tidak adil pada diri sendiri?” kita jawab dalam afirmatif (baca:
ya, penerj.), dan menambahkan lebih lanjut bahwa keadilan dan ketidakadilan tentu bermula dan
berakhir dengan diri sendiri. Qur’ān Suci menekankan berulang-ulang bahwa manusia, ketika
berbuat salah, ia sedang berbuat tidak adil (zālim) kepada dirinya, dan ketidakadilan (zulm)
merupakan kondisi yang dilakukan manusia kepada dirinya.42 Untuk memahami ini kita sekali
lagi harus menunjuk kepada perjanjian dengan Tuhan dan percaya terhadap sifat-dasar ganda
manusia dalam jiwa dan tubuhnya. Manusia sejati hanya dapat diwujudkan dengan menjadi jiwa
rasional. Jika dalam keberadaannya sebagai manusia dia membiarkan jiwa hewani atau jasmani
mendapatkan yang lebih baik darinya dan akibatnya melakukan tindakan yang dilarang Tuhan
dan tidak menyenangkan-Nya, atau jika dia menolak percaya-lemah pada Tuhan secara
keseluruhan, maka dengan demikian dia menanggalkan pengakuannya sendiri akan kekuasaan
Tuhan dimana dia sebagai jiwa rasional telah berjanji dengan Tuhan. Dia telah melakukan
kekerasan pada perjanjiannya sendiri, yakni kontrak individualnya dengan Tuhan. Jadi seperti
dalam kasus seorang yang merusak kontraknya sendiri membawa bencana pada diri sendiri,
dalam cara yang sama dia yang berbuat salah atau jahat, yang tidak patuh atau menolak Tuhan,
merusak perjanjian jiwanya yang telah dibuat dengan Tuhan, dan dengan demikan tidak adil
kepada jiwanya. Dia dengan demikian juga telah ‘berdusta’ – kadhaba, ungkapan Qur’āni yang lain
– terhadap dirinya sendiri (jiwa). Sangat penting dalam sinaran penjelasan ringkas ini untuk
mengerti mengapa kepercayaan kebangkitan jasad itu mendasar dalam Islām, karena jiwa yang
disusun ulang dengan jasad terdahulunya tidak akan mampu menolak apa yang telah tubuhnya
lakukan, karena mata, lidah, tangan, dan kaki atau ototnya – organ perilaku etis dan moral – akan

42
Lihat Al-Nisā’ (4): 123; Yūnus (10): 44.

68 Prolegomena
bersaksi terhadap tindakan tidak adil pada dirinya sendiri.43 Meskipun dalam Islām ketidakadilan
terlihat berlaku antara manusia dengan Tuhan, dan antara manusia dengan manusia, dan antara
manusia dengan dirinya, pada kenyataannya, namun, ketidakadilan secara mendasar berlaku –
bahkan dalam dua kasus sebelumnya – hanya pada diri manusia; dalam pandangan-dunia Islāmi
dan pandangan spiritual, apakah seorang manusia tidak percaya-lemah atau tidak patuh pada
Tuhan, atau apakah dia melakukan kesalahan pada orang lain, adalah sungguh-sungguh
melakukan kesalahan kepada diri sendiri. Ketidakadilan, sebagai lawan dari keadilan, adalah
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya; ketidakadilan adalah salah-letak (misplace) sesuatu;
ketidakadilan adalah salah-guna (misuse) atau menyalahi; ketidakadilan adalah melebihi atau
kurang dari suatu ukuran atau batas; ketidakadilan adalah menderita kerugian; ketidakadilan
adalah penyimpangan dari jalur yang benar; ketidakadilan adalah tidak percaya-lemah pada apa
yang benar, atau dusta atas apa yang benar diketahui sebagai benar. Jadi ketika manusia
bertindak tidak adil, berarti dia telah menyalahi jiwanya sendiri, karena dia telah meletakkan
jiwanya dalam tempat yang bukan miliknya; dia telah menyalahgunakannya; dia telah
membuatnya melampaui atau kurang dari sifat-dasar sejatinya; dia telah menyebabkannya
menyimpang dari apa yang benar, menanggalkan kebenaran, dan menderita kerugian. Semua
yang telah dilakukannya sedemikian – dengan satu cara dengan yang lain – menyertakan
kekerasan atas perjanjiannya dengan Tuhan. Jelas dari apa yang kita katakan tentang
ketidakadilan bahwa keadilan menyiratkan pengetahuan tentang tempat yang benar dan tepat
untuk sesuatu atau makhluk; akan kebenaran maupun kesalahan; akan ukuran atau batas; atau
keuntungan spiritual maupun kerugian; akan kebenaran maupun kesalahan dan kepalsuan. Inilah
mengapa pengetahuan (al’ilm: ma’rifah : ‘ilm) menempati posisi yang sangat penting dalam Islām,
di mana di Qur’ān Suci sendiri kita temukan lebih dari delapan ratus referensi untuk
pengetahuan. Dan bahkan dalam hal pengetahuan, manusia harus adil padanya, yakni, untuk
mengetahui batas kegunaannya dan tidak melampaui atau tidak kurang darinya; untuk
mengetahui pelbagai tatanan akan prioritas dalam relasi akan kegunaannya dengan diri sendiri;
untuk mengetahui dimana berhenti dan mengetahui apa yang dapat diraih dan apa yang tidak,
apakah itu pengetahuan sejati dan apa itu pelajaran perkiraan dan teori – secara keseluruhan,
untuk meletakkan setiap data pengetahuan pada tempat yang benar dalam relasi pada yang
mengetahui sehingga apa yang diketahui menghasilkan harmoni dalam diri seseorang yang
mengetahui. Mengetahui bagaimana meletakkan suatu pengetahuan di tempatnya, pengetahuan
tersebut adalah kebijaksanaan (hikmah). Sebaliknya, pengetahuan tanpa keteraturan dan
mencarinya tanpa disiplin mengarahkan kepada kebingungan dan karenanya tidak adil kepada
diri sendiri.44
Pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan Tuhan kepada
manusia; dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri lewat penelusuran rasional
berdasarkan pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui
tindakan penyembahan dan ketaatan, yakni tindakan dalam pelayanan kepada Tuhan (‘ibādāt),
43
Secara analogis, konsep hukum habeas corpus (kau harus miliki bendanya) sebagai prosedur mendasar keadilan yang
secara jelas dipinjam dari gagasan kebangkitan dalam agama wahyu, mungkin hanya refleksi yang tidak sempurna akan
Prosedur yang mengagumkan dan tidak dapat disangkal di masa depan. Bahwa jiwa mampu menolak tindakan tidak
adil tersirat dalam Al-A’rāf (7): 172-173; dan ayat ini harus dilihat bukti yang jelas dari kapasitas (wus’) jiwa untuk
menunjukkan kekuatan (quwwah) kehendak menuju kebaikan atau kesalahan sebagai hasil pengenalan atas perolehan
(kasaba, iktasaba) akan kebaikan dan kejahatan. Dalam konsep Islāmi akan keadilan dan ketidakadilan dalam garis
besar di atas, fakta bahwa saksi kepada tindakan manusia, baik atau buruk, adalah dirinya sendiri memiliki arti yang
besar. Lihat juga Al-Nūr (24): 24.
44
‘Keteraturan’ dan ‘disiplin’ di sini tidak menunjuk kepada jenis tatanan dan disiplin dalam penyebaran sistematis
pengetahuan yang dibangun dalam universitas-universitas dan sekolah modern, tetapi pada pengaturan pengetahuan
oleh diri yang hendak mengetahui, dan pada pendisiplinan diri akan dirinya sendiri pada pengaturan tersebut (lihat di
bawah hlm. 72-74).

69 Prolegomena
yang tergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang
diciptakan Tuhan untuk menerimanya, dimana manusia tersebut menerimanya dengan
pandangan langsung atau perasaan spiritual (dhawq) dan penyingkapan selubung pada visi
spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini menyentuh pada diri atau jiwanya, dan
pengetahuan tersebut — seperti sudah kita sentuh pada penjelasan kita tentang hubungan
analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan mikrokosmos — memberikan penglihatan-
dalam (insight) pada pengenalan tentang Tuhan, dan karena alasan tersebut pengetahuan tersebut
merupakan pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan demikian secara mendasar tergantung
rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan kepada Tuhan sebagai
persyaratan kemungkinan pencapaiannya, hal itu menyertakan bahwa untuk itu pengetahuan
tentang prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan Islām yang esensial (arkan
al-islām dan arkan-al-īmān), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi
dalam kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyarat-
prasyarat tersebut, harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhīd), dan
memraktekkan pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan kepada Tuhan
sehingga setiap manusia Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia
sudah siap pada Jalan Lurus (sirāt al-mustaqīm) menuju Tuhan. Kemajuan lanjutannya pada jalan
peziarah ini tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa orang
melayani Tuhan seperti mereka melihat-Nya, dan yang lain melayani-Nya seperti Dia melihat
mereka; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa yang
membentuk kebajikan tertinggi (ihsān). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio,
pengalaman dan observasi; pengetahuan tersebut bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk
pada nilai pragmatis. Sebagai sebuah ilustrasi pemilahan antara dua jenis pengetahuan tersebut
kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke lingkungannya.
Pada awalnya dia mengetahui tetangga barunya hanya dengan perkenalan; dia mungkin
mengetahui tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan; dia
mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian informasi
lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran dari orang
lain yang dia ketahui dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan tempat kerja
dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang hati-hati lebih
lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan cara ini tanpa
kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun pengetahuan
tentangnya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak masalah
seberapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan pada pengetahuan tentang tetangganya
yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang dia tidak
akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan, pemikirannya tentang
hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik dan rincian lain seperti
hal-hal tersebut. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan mengenali orang tersebut secara
langsung dan memperkenalkan diri kepadanya; dia sering mengunjungi, makan dan minum dan
berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun persahabatan yang terpercaya,
pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima secara spontan penyampaian
secara langsung dari temannya banyak rincian personal, pemikiran dan perasaan rahasia yang
kini dalam kilasan yang disampaikan dengan cara yang mungkin tidak akan dapat dicapai
seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian. Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan
sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap, karena kita tahu bahwa tidak masalah
seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan temannya — atau teman, atau istri dan
anak, atau orang tua, atau kekasih — akan selalu ada baginya selubung misteri yang

70 Prolegomena
membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti rangkaian tak terbatas dari ukiran bola
gading Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan penyampaian secara
langsung dari orang lain. Dan orang lain juga akan mengetahui dengan merenungkan diri dan
sifat-dasar tidak terbatas akan diri tersebut yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya,
sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang diketahuinya.
Setiap orang itu seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga yang dibungkus
kegelapan, dan kesepian yang dia ketahui itu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu
dirinya secara lengkap. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara
analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan
pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan sedemikian itu
menyentuh pada tingkatan yang sama dalam wujud, dan ini merupakan penyebab komunikasi
gagasan dan perasaan menjadi mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, diizinkan untuk mendekat
dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan
kode perilaku dan sikap yang diterima oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat,
pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang
dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan, kesetiaan, ketaatan pihak lain, dan kapasitas untuk
menerima — sebuah periode yang membentuk ikatan yang kokoh akan keintiman di antara
keduanya. Maka, dalam cara yang serupa atau bahkan lebih dari itu, hal tersebut merupakan
kasus pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan. Dalam hal kondisi pertama, Dia katakan dalam
Qur’ān Suci bahwa Dia telah menciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan
dalam pengertian yang mendalam secara mendasar bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga
tujuan-Nya menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam
Tradisi Suci (Hadīth Qudsiyy):

”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku
ciptakan makhluk sehingga Aku mungkin dikenali.”

Jadi Tuhan mewahyukan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ
komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-rūh), yang
mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya.
Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat di
dalamnya percikan asal Ilahiyah yang memungkinkannya menerima komunikasi di atas dan
memiliki pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi
kedua. Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan
ketundukan tulus kepada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut kepada hukum-Nya; dengan
perwujudan yang sadar dalam dirinya pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan
penunjukkan ketaatan dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan bagi-Nya, sampai
orang tersebut memperoleh tempat-perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya
mungkin dianugerahkan atasnya dengan pengetahuan yang diberikan sebagai sebuah pemberian
rahmat baginya dimana Dia telah menciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang
diberikan. Seperti itulah kata-kata-Nya dalam Tradisi Suci:

“Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku
mencintainya; dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia
mendengar dengan-Ku, dan penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan
lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan tangannya, sehingga dia mengambil
dengan-Ku.”

71 Prolegomena
Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian tersebut dengan
sendirinya sudah jelas. Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian, dengan sebab sifat-
dasarnya, memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang
diperoleh dari pengetahuan jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada
jiwa atau diri manusia dan pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan
akan prasyaratannya, yang sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini,
tidak mungkin terpisah dari ikatan dengan etika dan moralitas Islāmi. Dengan pengetahuan dan
praktek demikian yang menyertainya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku
sehari-hari dan meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan
pertama menyibak misteri Being dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri
manusia dan Rabbnya, dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama
mengetahui, dimana pengetahuan tentang persyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan
esensial bagi pengetahuan jenis kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa
bimbingan dari yang sebelumnya, tidaklah dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam
kehidupannya, tetapi hanya membingungkan, mengacaukan, dan menjeratnya dalam labirin
pencarian tak berujung dan tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi manusia
bahkan pada pengetahuan pertama dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada jenis yang
kedua, sehingga kemungkinan pengembaraan terus menerus didorong oleh muslihat intelektual
dan swa-khayalan dalam keraguan yang konstan dan kecurigaan itu selalu nyata. Manusia
individu tidak memiliki waktu untuk menghabiskan persinggahan sementaranya di bumi, dan
seseorang yang dibimbing secara benar mengetahui bahwa pencarian individualnya untuk
pengetahuan jenis kedua harus dibatasi untuk kebutuhan praktisnya dan disesuaikan dengan
sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat meletakkan pengetahuan dan dirinya di
tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati dan dengan demikian mempertahankan
kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud mencapai keadilan sebagai akhirnya, Islām
membedakan pencarian dua jenis pengetahuan tersebut, dimana membuat perolehan
pengetahuan tentang persyaratan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua muslim (fard ’ayn),
dan yang lain kewajiban hanya kepada beberapa muslim (fard kifāyah), dan kewajiban yang
kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam kasus mereka yang
menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk perbaikan diri mereka sendiri.
Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua kategori itu sendiri
merupakan prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang mencarinya, karena
semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama itu baik bagi semua manusia,
sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua itu baik untuknya; karena manusia yang
mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh penting dalam
menentukan peran sekular dan posisinya sebagai warga negara, tidak serta merta menjadikannya
manusia yang baik. Dalam peradaban Barat secara umum, karena konsep keadilannya
berdasarkan fondasi sekular, menyertakan bahwa konsepsi pengetahuannya juga berdasarkan
fondasi yang sama atau fondasi saling melengkapi yang menekankan manusia sebagai entitas
fisik dan makhluk hewani rasional, yang pada perluasannya fondasi tersebut mengakui apa kita
tunjuk sebagai pengetahuan jenis kedua sebagai satu-satunya ‘pengetahuan’ absah yang mungkin.
Akibatnya, tujuan mencari pengetahuan dari tingkat dasar sampai atas, bagi peradaban Barat,
adalah untuk menghasilkan pada diri pencari pengetahuan tersebut seorang warga negara yang
baik. Namun, Islām berbeda dalam hal ini bahwa tujuan mencari pengetahuan adalah
menghasilkan manusia yang baik. Kita mempertahankan bahwa lebih mendasar menghasilkan
manusia yang baik, daripada menghasilkan warga negara yang baik, karena manusia yang baik

72 Prolegomena
tanpa diragukan akan menjadi warga negara yang baik, tetapi warga negara yang baik, tidak serta
merta menjadi manusia yang baik. Dalam suatu pengertian kita dapat mengatakan bahwa Islām
juga mempertahankan bahwa tujuan pencarian pengetahuan adalah menghasilkan dalam diri
pencari pengetahuan tersebut warga negara yang baik, hanya yang kami maksud dengan ‘warga
negara’ adalah Warga Negara dari Kerajaan lain, sehingga bertindak sedemikian bahkan di sini
dan kini sebagai manusia yang baik. Konsep ‘manusia yang baik’ dalam Islām tidak hanya
mengonotasikan bahwa dia harus ‘baik’ dalam pengertian sosial umum yang dipahami, tetapi
bahwa dia juga harus pertama kali baik pada dirinya sendiri, dan tidak menjadi tidak adil pada
dirinya dalam cara yang sudah kita jelaskan,45 karena jika dia tidak adil pada dirinya sendiri
bagaimana dia dapat sungguh-sungguh adil kepada orang lain? Jadi kita lihat bahwa pada konsep
paling dasar dalam kehidupan — konsep pengetahuan — Islām bertentangan dengan peradaban
Barat, bahwa bagi Islām (a) pengetahuan termasuk kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah
yang benar (īmān); dan bahwa (b) tujuan mencari pengetahuan adalah menanamkan kebaikan
atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri individu, dan bukan hanya pada manusia
sebagai warga negara atau sebagai bagian integral dari masyarakat: hal tersebut merupakan nilai
manusia sebagai manusia sejati, sebagai makhluk ruhani, yang ditekankan, daripada nilainya
sebagai entitas fisik yang diukur dalam pengertian pragmatis atau utilitarian akan kegunaan
untuk negara, masyarakat, dan dunia.
Saya telah menggambarkan apa yang menyusun inti Agama Islām, dan dalam deskripsi
ini telah dijelaskan secara ringkas tetapi mudah, singkat dan jelas, tentang konsep mendasar dīn
dan kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah dalam Islām. Saya telah menyentuh pada
pandangan-dunia Islāmi dan telah menekankan yang mendasar dari konsep Qur’āni tentang
perjanjian manusia dengan Tuhan, lalu menunjukkan bagaimana perjanjian ini merupakan sifat-
dasar yang esensial; perjanjian tersebut merupakan titik awal dalam konsep Islāmi tentang agama,
dan hal itu merupakan unsur dominan di semua konsep Islām yang lain yang terikat dengannya,
seperti kebebasan, tanggung jawab, keadilan, pengetahuan, kebajikan, persaudaraan; perjanjian
tersebut juga menunjuk pada peran dan karakter individu dan masyarakat dan identitas bersama
dalam kerangka-kerja negara dan kehidupan kolektif. Saya juga telah menekankan dalam
deskripsi ini peran individu dan, jiwa, dan perjalanannya kembali kepada Tuhan. Kini perlu bagi
saya untuk menggambarkan dalam garis besar visi Islāmi tentang realitas, yang tidak lain
merupakan inti metafisika Islām yang menentukan pandangan-dunianya. Islām memfokuskan
visi (shuhūd) keagamaan dan metafisis tentang Realitas dan pandangan-dunia pada Being, dan
membedakan antara Eksistensi (Wujūd) dan eksisten (mawjūd); antara kesatuan (wahdah) dan
kemajemukan (kathrah); antara abadi (baqā’) dan fana (fanā’). Visi tentang Realitas ini berdasarkan
atas pengetahuan wahyu melalui pengalaman keagamaan, dan menembus realitas objektif,
metafisis, dan ontologis maupun realitas subjektif, intuitif, dan pengalaman psikologis dari
realitas tersebut. Secara fenomenologis, Islām, dalam konfirmasi akan visinya tentang Realitas,
mengafirmasi ‘being’ daripada ‘proses-menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being’, karena objek visi
tersebut itu jelas, tegak, permanen, dan tidak berubah. Konfirmasi dan afirmasi ini absolut karena
muncul dari kepastian (yaqīn) pengetahuan wahyu; dan karena Objeknya jelas, kokoh, permanen
dan tidak berubah, maka demikian juga Islām, bersama dengan jalan hidup dan metode praktek
dan nilainya, merupakan sebuah refleksi absolut dari modus Objek tersebut. Jadi Islām sendiri itu
seperti Objek tersebut yang menyerupai sifat-dasar ontologisnya seperti abadi dan tidak berubah
– sebagai being; dan karenanya mengafirmasi dirinya sebagai lengkap dan sempurna sebagaimana
dikonfirmasi Kata-Kata Tuhan dalam Qur’ān Suci,46 dan Islām menolak kemungkinan akan selalu
45
Konsep ‘manusia yang baik’ didefinisikan sebagai manusia dengan adab menurut definisi saya tentang adab yang
dibuat dalam karya saya The Concept of Education in Islām, Kuala Lumpur, 1980. Lihat juga Pengenalan di buku ini.
46
Al-Mā’idah (5): 4.

73 Prolegomena
butuh pelengkapan (completion) atau evolusi menuju kesempurnaan; dan konsep seperti
pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan ketika diterapkan pada kehidupan sejarah dan nasib
manusia memang, dalam Islām, secara mendasar pada sifat-dasar spiritual dan sejati dari
manusia. Jika tidak demikian, maka hal itu tidak dapat sungguh-sungguh bermakna, bagi Islām,
pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan sejati, karena hal itu hanya bermakna
pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan hewani pada manusia; dan hal itu tidak akan
menjadi evolusi sejati kecuali evolusi tersebut mewujudkan dalam dirinya sifat-dasar sejatinya
sebagai makhluk ruhani.
Perubahan, pengembangan, kemajuan, menurut sudut pandang Islāmi, menunjuk kembali
kepada Islām sejati yang diucapkan dan dipraktekkan Nabi Suci, anggota Rumah Sucinya dan
Sahabat-Sahabat mulia dan Pengikutnya, dan kepercayaan-kuat dan praktek muslim sejati setelah
mereka, dan juga menunjuk pada diri dan berarti kembali pada sifat-dasar asli dan agamanya
(Islām). Konsep tersebut menyentuh pada situasi yang diandaikan ketika muslim menemukan diri
mereka sendiri tersesat dan asyik dalam keabaian akan Islām, bingung, dan tidak adil kepada diri
mereka sendiri. Dalam situasi tersebut, usaha mereka sendiri untuk mengarahkan mereka kembali
pada Jalan Lurus dan Benar dan kembali pada kondisi Islām sejati — usaha tersebut, yang
menyertakan perubahan, adalah pengembangan; dan kembali seperti demikian, yang terkandung
dalam pengembangan, adalah kemajuan. Jadi, bagi Islām, proses pergerakan menuju Islām sejati
oleh muslim yang telah tersesat darinya adalah pengembangan; dan pengembangan demikian itu
satu-satunya yang dapat sungguh-sungguh diistilahkan kemajuan. Kemajuan bukan ‘proses-
menjadi’ atau ‘datang-menjadi-being’, ataupun pergerakan menuju yang ‘datang-menjadi-being’
dan tidak pernah menjadi ‘being’ karena gagasan ‘sesuatu yang dituju’, atau ‘tujuan’ yang inheren
dalam konsep ‘kemajuan’ hanya dapat mengandung makna sejati ketika menunjuk pada apa yang
sudah jelas dan berdiri secara permanen atau sudah being. Karenanya apa yang sudah jelas dan
berdiri, sudah dalam kondisi being, tidak dapat mengalami perubahan, maupun merupakan
sesuatu terpengaruh pada terpeleset terus-menerus dari pegangan pencapaian, maupun secara
terus-menerus mundur melampaui pencapaian. Istilah ‘kemajuan’ merefleksikan arah yang jelas
yang diluruskan pada tujuan akhir untuk dicapai dalam hidup; jika arah yang dicapai masih
samar, masih datang-menjadi-being, sebagaimana sebelumnya, dan tujuan yang diluruskan
dengannya tidak final, maka bagaimana keterlibatan di dalamnya sungguh-sungguh bermakna
kemajuan? Mereka yang meraba dalam gelap tidak dapat ditunjuk sebagai sedang maju, dan
mereka yang mengatakan orang-orang semacam itu sedang maju telah bohong sepenuhnya
terhadap makna sejati dan tujuan kemajuan, dan mereka telah berbohong pada diri mereka
sendiri!

Perumpamaannya adalah seperti seorang manusia


yang menyalakan api;
Setelah api itu menerangi sekelilingnya,
Tuhan menghilangkan cahaya mereka,
dan membiarkan mereka dalam kegelapan yang sangat.
Sehingga mereka tidak dapat melihat.
Tuli, bisu, buta,
Mereka tidak akan kembali (pada jalan itu)
Atau (perumpamaan yang lain)
Akan awan hujan yang lebat
Dari langit: di dalamnya merupakan wilayah
Kegelapan, guruh, dan kilat:

74 Prolegomena
Mereka menekan jarinya dalam telinga mereka
Untuk menjauhkan dari petir yang mengejutkan,
Sementara itu mereka dalam teror kematian.
Tetapi Tuhan selalu meliputi
Orang-orang yang menolak Kepercayaan-kuat !
Hampir-hampir kilat itu menyambar
Penglihatan mereka; setiap kali kilat itu
(membantu) mereka, mereka berjalan di bawahnya,
Dan bila gelap menimpa mereka,
Mereka berhenti.
Dan jikalau Tuhan menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
Fakultas pendengaran dan penglihatan mereka.
Sesungguhnya Tuhan berkuasa atas segala sesuatu.47

Pandangan-dunia Islāmi jangan disalahpahami sebagai dualisme, karena meskipun ada


dua unsur yang terlibat, namun yang satu abadi dan independen sedangkan yang lain tergantung
padanya; yang satu absolut dan yang lain relatif; yang satu nyata dan yang lain perwujudan
kenyataan tersebut. Jadi hanya ada Satu Realitas dan Kebenaran, dan semua nilai Islāmi
menyentuh secara mendasar hanya kepada-Nya, sehingga bagi muslim, secara individual dan
kolektif, semua usaha menuju perubahan dan pengembangan dan kemajuan dan kesempurnaan
secara tanpa alternatif ditentukan pandangan-dunia yang memproyeksikan visi tentang Satu
Realitas dan mengonfirmasi afirmasi akan Kebenaran yang sama. Dengan cara ini dalam
prakteknya muslim telah mampu menghidupi kehidupan mereka sesuai kepercayaan-lemah itu
tanpa mengalami perubahan apapun yang diperoleh dengan mengacaukan harmoni dalam Islām
dan diri mereka sendiri; tanpa mengalah pada sentuhan waktu yang membinasakan, maupun
pada tantangan dalam pergantian eksistensi duniawi. Manusia Islām memiliki Qur’ān Suci yang
tidak berubah, tidak dalam proses berubah, dan tidak dapat diubah; Qur’ān adalah Kata-Kata
Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk final dan lengkap kepada Nabi dan Utusan Terakhir
Pilihan-Nya, Nabi Muhammad. Qur’ān Suci adalah petunjuk jelas yang dibawa bersamanya
dimanapun, tidak hanya secara literal, tetapi lebih pada lidah, pikiran, dan hatinya, sehingga
menjadi inti kekuatan utama yang menggerakkan bingkai manusianya. Saya telah katakan di
awal, ketika menunjuk pada perenungan manusia akan dirinya, bagaimana setiap manusia itu
seperti pulau yang terletak dalam isolasi lautan tak terduga yang dibungkus kegelapan, berkata
bahwa kesepiannya begitu absolut sepenuhnya karena bahkan dia tidak mengetahui dirinya
sendiri secara lengkap. Saya harus menambahkan bahwa kesepian yang penuh itu secara
mendasar muncul dari ketidakmampuan untuk menjawab pertanyaan dalaman (inner) yang tak
kenal zaman dan terus-menerus pada dirinya sendiri: “Siapa aku?” dan “Apa tujuan pokokku?”
kita katakan bahwa pengalaman kesepian yang penuh tersebut, bagaimanapun, hanya menyerang
pada hati manusia yang menolak Tuhan, atau meragukan-Nya, atau menanggalkan perjanjian
jiwanya dengan Tuhan; karena hal itu, lalu, pengenalan dan afirmasi akan perjanjian yang sama
yang membangun bagi manusia identitasnya dalam tatanan being dan Eksistensi. Manusia Islām
— dia yang mengonfirmasi dan mengafirmasi perjanjian tersebut dalam dirinya — tidak pernah
kesepian karena bahkan saat merenungkan dirinya dia mengetahui secara intuitif, melalui
tindakan ‘ibādah termasuk pembacaan dan refleksi dan perenungan terus-menerus akan kata-kata
Tuhan dalam Qur’ān Suci, betapa dekatnya diri dengan Tuhan, Pencipta dan Rabbnya, yang
dengan-Nya dia merenung dalam pengingatan (dhikr) dan dengan-Nya dia melakukan

47
Al-Baqarah (2): 17-20.

75 Prolegomena
pembicaraan intim (munājāt). Manusia tersebut telah mengenal dirinya pada dirinya sendiri dan
mengetahui tujuan pokoknya, dan dia aman di dalam dirinya sendiri dan bebas dari gema
mengerikan dari kesepian absolut dan cengkraman yang mencekam dari ketakutan yang sunyi.
Dalam afirmasi akan Being, Qur’ān Suci, sumber Islām dan proyektor pandangan-dunia Islāmi
dan visi tentang Realitas dan Kebenaran yang Satu, merupakan ungkapan finalitas dan
kesempurnaan ‘being’ seperti layaknya Islām merupakan afirmasi fenomenologis akan ‘being’; dan
dia yang membawa Qur’ān Suci, pada manusia merepresentasikan finalitas dan kesempurnaan
‘being’ dalam manusia. Nabi Suci, padanya rahmat Tuhan dan kedamaian!, adalah penutup para
Nabi,48 utusan Tuhan yang universal dan akhir kepada manusia, 49 yang memimpin dari gelap
kepada terang;50 yang dirinya merupakan Lampu yang menyebarkan sinar;51 dia adalah Rahmat
Tuhan kepada semua makhluk,52 dan kebaikan-Nya pada mereka yang percaya padanya dan apa
yang dia bawa53 dan bahkan pada Orang-Orang Berbuku (ahli kitab, pen),54 yang mungkin masih
belum percaya padanya. Dia adalah manusia yang diciptakan Tuhan dengan karakter agung
sebagai standar manusia;55 dia adalah manusia dan contoh sempurna par excellence.56 Dia adalah
manusia yang bahkan didoakan dan dihormati Tuhan dan malaikat sebagai yang terbaik dari
manusia,57 dan semua mukmin sejati, dalam pemenuhan Perintah Tuhan, dan berusaha meniru
malaikat-Nya, melakukan hal yang serupa, dan telah dan akan terus melakukan juga di dunia dan
seterusnya sepanjang Tuhan menghendaki; dan di Akhirat Tuhan akan bersedia memberikan
Tempat yang Terpuji padanya.58 Muhammad, Utusan Tuhan, adalah dia yang namanya ajaib akan
pemenuhan (ramalan nubuwwah, pen.), karena hanya dia sendiri di antara seluruh manusia yang
didoakan terus menerus di setiap zaman dan generasi setelahnya tanpa akhir, sehingga tercatat
dalam catatan zaman dan generasi sebelumnya dia merupakan satu-satunya manusia yang
didoakan sedemikian itu. Kita mendoakannya dengan tulus cinta dan hormat dan terima kasih
karena telah memimpin kita keluar dari gelap menuju terang, dan dia dicintai di atas seluruh
manusia termasuk diri kita sendiri. Cinta dan hormat kita padanya adalah seperti sesuatu dimana
waktu dan memori tidak akan sanggup menghilangkan, karena dia ada dalam diri kita di setiap
zaman dan generasi — tidak, dia lebih dekat dari kita sendiri,59 dan kita berusaha menyerupai
kata-kata (qawl) dan tindakan (fi’l) dan konfirmasi diamnya (taqrīr) atas perbuatan yang
diketahuinya, sehingga berhubungan dengan Qur’ān Suci dia merupakan pembimbing yang baik
dan sempurna dan contoh dalam kehidupan. Dia adalah model sempurna bagi setiap muslim
laki-laki dan perempuan; dengan demikian remaja, umur-pertengahan, dan tua renta muslim
tidak mengalami krisis identitas. Karena Nabi Suci, struktur eksternal atau pola dalam masyarakat
muslim tidak terpisahkan jurang generasi sebagaimana yang lazim kita temukan dalam
masyarakat Barat.
Peradaban Barat secara terus menerus berubah dan ‘proses-menjadi’ tanpa pernah
mencapai ‘being’, kecuali ‘being’nya sedang dan selalu ‘proses-menjadi’. Hal ini ada dan begitu
dengan sebab fakta bahwa Barat tidak mengakui satu pun, Realitas mapan untuk memperbaiki
visinya; tidak satu pun, Kitab yang absah yang dapat dikonfirmasi dan diafirmasi dalam
48
Al-Ahzāb (33): 40.
49
Al-Talāq (65): 11.
50
Al-Ahzāb (33): 46; Al-Talāq (65): 11.
51
Al-Anbiyā’ (21): 107
52
Sabā (34): 28.
53
Āli ‘Imrān (3): 164; Al-Nisā’ (4): 170.
54
Al-Mā’idah (5): 21.
55
Al-Qalam (68) : 4.
56
Al-Ahzāb (33): 21.
57
Al-Ahzāb (33): 56.
58
Banī Isrā’īl (17): 79.
59
Al-Ahzāb (33): 6.

76 Prolegomena
kehidupan; tidak seorangpun, Bimbingan manusia dimana kata-kata, perbuatan, tindakan, dan
seluruh modus kehidupannya dapat dijadikan sebagai model untuk di teladani dalam kehidupan,
tetapi masing-masing dan setiap individu harus menemukan untuk diri (laki-laki) mereka dan
dirinya (perempuan) identitas, makna kehidupan, dan nasib masing-masing. Peradaban Barat
mengafirmasi aspek kesementaraan (fanā’) dari realitas, dan nilainya menyentuh pada realitas
sekular, material, dan fisik dari eksistensi. Dengan demikian masyarakat Barat dibagi oleh jurang
pemisah antara tiga generasi: pemuda, usia-pertengahan (middle-aged), dan yang tua. Masing-
masing generasi yang terpisah bergerak di dalam batasan usahanya sendiri dalam mencari makna
bagi diri dan kehidupannya sendiri dalam pencarian yang tak lekang zaman untuk jawaban dari
pertanyaan: “Siapa aku?” dan “Apa tujuanku?” Pemuda, yang ada pada tahap pengalaman akan
perubahan dalam hidup, menganggap nilai yang diturunkan orang tua mereka, yang usia-
pertengahan, tidak lagi berguna ataupun relevan dengan jalan hidup mereka. Akibatnya, mereka
tidak mengambil yang usia-pertengahan sebagai teladan untuk membimbing mereka dalam
kehidupan, dan karenanya menuntut ‘kebebasan’ mereka untuk memilih tujuan mereka sendiri.
Yang usia-pertengahan, menyadari bahwa nilai mereka juga, ketika dalam masa muda, tidak
berhasil membimbing mereka dalam kehidupan, dan kini mereka mengetahui bahwa mereka
sendiri tidak mampu menyediakan bimbingan yang diperlukan anak-anak mereka, sehingga
menyerahkan ‘kebebasan’ yang dicari pemuda untuk memilih tujuannya dengan harapan bahwa
pemuda masih dapat sukses saat di pihak lain mereka (usia-pertengahan, pen.) telah gagal. Kini
pemuda, yang menuntut ‘kebebasan’ memilih tujuan mereka, juga mengetahui bahwa mereka
membutuhkan bimbingan, yang sayangnya tidak tersedia, karena bahkan dari tengah-tengah
mereka tidak ada yang mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menjalankan peran
teladan sempurna yang contohnya dapat ditiru oleh yang lain. Situasi membingungkan ini
menciptakan pada diri pemuda ketidakpastian dan lebih banyak keraguan tentang masa depan,
dan mereka secara putus asa berani berharap bahwa ketika mereka mencapai usia-pertengahan
mereka akan mampu untuk mencetak kembali dunia yang lebih dekat dengan hasrat hati mereka.
Tetapi yang usia-pertengahan, yang memainkan peranan utama dalam mencetak dan melayani
negara, masyarakat, dan dunia mereka, mengetahui dari pengalaman muda mereka bahwa nilai
mereka yang terdahulu kini tidak lagi melayani sebuah tujuan dan telah kehilangan makna dalam
kehidupan; dan karena pencarian identitas yang terdahulu telah gagal, sehingga kehidupan
mereka kini tidak merefleksikan kepuasan akan pemenuhan dan hampa akan kebahagiaan. Jadi
nilai yang kini mereka hargai itu, nilai yang kini menjadi ukuran sukses bagi mereka dalam
pencarian makna kehidupan individual mereka, hanyalah sesuatu yang memromosikan
pencapaian sekular dan materialistis yang bersinggungan dengan negara dan masyarakat; dan
sehingga mereka berusaha dan dengan kejam bersaing di antara mereka untuk memperoleh
tempat yang tinggi dalam tangga sosial atau kekayaan, kekuasaan, dan kemasyhuran dunia. Di
tengah-tengah pergulatan demikian, mereka menyadari bahwa kapasitas mental dan kecerdasan
mereka mulai melemah; kekuatan fisik dan vitalitas mulai memburuk, dan kegemparan dan
penyesalan dan kesedihan mulai menguasai mereka ketika muncul dalam rangkaian pergantian
di hadapan persepsi mental mereka akan penglihatan akan pengunduran diri dari kehidupan
publik ke dalam kesepian masa tua. Akibatnya, mereka melihat pemuda dengan nostalgia dan
meletakkan harapan yang tinggi bahwa pemuda masih mungkin mengangkat kerinduan akan
teladan dan contoh sempurna yang ditunggu dalam kehidupan untuk ditiru semua masyarakat;
dan perilaku terhadap pemuda ini merupakan inti dari penyembahan masa Muda, yang menjadi
corak dominan dari peradaban Barat sejak masa kuno. Krisis identitas yang dialami usia-
pertengahan sedikit banyaknya sama dengan apa yang dialami pemuda, dengan pengecualian
bahwa, bagi usia-pertengahan, ‘kebebasan’ memilih tujuan mereka semakin lama semakin

77 Prolegomena
terbatas, karena waktu dengan kejam bergerak pada akhirnya seperti tragedi Yunani. Yang tua,
dalam masyarakat seperti ini, hanya makhluk yang dilupakan masyarakat, sebab keberadaan
mereka mengingatkan pemuda dan usia-pertengahan akan kondisi seperti apa mereka nantinya
yang ingin mereka lupakan. Yang tua mengingatkan mereka akan kehilangan dan kematian; yang
tua telah kehilangan kekuatan dan vitalitas fisik; mereka telah kehilangan keberhasilan; mereka
telah kehilangan ingatan, kegunaan, dan fungsi mereka dalam masyarakat; mereka telah
kehilangan teman dan keluarga — mereka telah kehilangan masa depan. Ketika masyarakat
mendasarkan filsafat hidupnya pada fondasi sekular dan mendukung nilai materialistis untuk
dihidupi, tidak terhindarkan menyertakan bahwa makna dan nilai dan kualitas kehidupan dari
warga negara individual di dalamnya diinterpretasikan dan diukur dalam posisinya sebagai
warga negara; jabatan, kegunaan, pekerjaan, dan kekuatan menghasilkannya dalam hubungan
dengan negara. Ketika usia tua semua ini hilang, demikian juga identitasnya — yang kenyatannya
dicetak oleh peran sekular diperankannya — kemudian hilang. Tiga generasi yang dalam hal ini
menyusun masyarakat Barat adalah selamanya bertaut dalam pencarian identitas dan makna
kehidupan; selamanya bergerak dalam lingkaran setan ketidakpencapaian; masing-masing
generasi tidak puas dengan nilainya yang swa-berkembang (self-evolved) dari kehidupan; masing-
masing generasi menemukan dirinya tidak-cocok (misfit). Dan kondisi ini, kita memertahankan,
adalah apa yang kita maksud sebagai tidak adil (zulm). Kondisi ini lebih lanjut menjengkelkan
karena ternyata dalam masyarakat Barat juga terdapat krisis identitas antar jenis kelamin, dalam
hal ini yang terkait adalah perempuan, sebagai perempuan, dalam pencarian identitas yang
terpisah bagi diri mereka sendiri.
Masyarakat Islāmi tidak dikepung kondisi seperti itu. Individu di dalam generasi yang
menyusunnya, apakah laki-laki atau perempuan, telah menemukan identitas dan menyadari
tujuan utama mereka; yang terdahulu melalui pengenalan dan konfirmasi akan perjanjian
tersebut, dan yang kemudian melalui afirmasi dan perwujudan perjanjian tersebut dengan
ketundukan tulus kepada kehendak Tuhan dan kepatuhan kepada hukum-Nya sebagaimana
ditetapkan sebagai Islām. Manusia yang telah membawa kepada kita Qur’ān Suci sebagaimana
diwahyukan Tuhan kepadanya, yang telah dengan demikian membawa kepada kita Pengetahuan
akan identitas dan tujuan kita, yang kehidupannya merupakan interpretasi Qur’ān Suci yang
paling baik dan sempurna sehingga kehidupannya menjadi pusat teladan dan jiwa pembimbing
sejati bagi kita, adalah Nabi Suci, semoga Tuhan memberkahinya dan memberinya kedamaian!
Dengan pengajaran dan teladannya dia telah menunjukkan praktek Islām dan kebajikan Islāmi
yang benar dan tepat kepada kita; dia merupakan model sempurna bagi manusia bukan hanya
satu generasi, tetapi bagi semua generasi; bukan untuk suatu waktu, tetapi untuk sepanjang
waktu. Tentu saja, kita katakan bahwa konsep ‘model yang sempurna’ hanya dapat memenuhi
makna sejatinya jika dia yang dengan demikian digambarkan, seperti hanya Muhammad,
mewujudkan di dalam dirinya sendiri semua nilai manusia dan spiritual permanen yang
diperlukan sebagai petunjuk bagi manusia dalam kehidupan, yang keabsahannya sedemikian
rupa sehingga melayani manusia bukan hanya untuk sejengkal kehidupan individualnya, tetapi
untuk selama manusia hidup di dunia ini. Jadi setiap generasi muslim, yang meniru contohnya,
melewati jalan hidup yang dipolakannya (Nabi Muhammad, penerj.) pada yang berikutnya
sedemikian rupa sehingga tidak ada jurang pemisah ataupun krisis identitas yang muncul di
antara mereka, melainkan masing-masing generasi terdahulu membimbing generasi setelahnya
dengan mengonfirmasi dan mengafirmasi contohnya dalam kehidupan mereka.
Masalah identitas dan tujuan manusia itu merupakan, menurut pemikiran saya, penyebab
akar semua masalah lain yang mengepung masyarakat modern. Banyak tantangan yang telah
muncul di tengah-tengah kebingungan manusia sepanjang zaman, tetapi mungkin tidak ada yang

78 Prolegomena
lebih serius dan merusak manusia daripada tantangan yang kini diajukan peradaban Barat. Saya
berusaha mempertahankan bahwa tantangan terbesar yang telah diam-diam muncul pada masa
kita adalah tantangan pengetahuan, tentu, bukan terhadap kebodohan; tetapi pengetahuan
sebagaimana dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; pengetahuan yang
sifat-dasarnya telah menjadi problematis sebab telah kehilangan tujuan utamanya berkaitan
dengan pemahaman yang tidak adil, dan dengan demikian telah membawa kekacauan dalam
kehidupan manusia, bukannya kedamaian dan keadilan; pengetahuan yang nampak sejati tetapi
merupakan penghasil kebingungan dan skeptisisme, yang telah mengangkat keraguan dan
dugaan pada tingkat ‘saintifik’ dalam metodologi; pengetahuan yang telah, pada pertama kalinya
dalam sejarah, membawa kekacauan pada Tiga Kerajaan Alam; binatang, tumbuhan, dan barang
tambang. Bagi saya terlihat penting untuk menekankan bahwa pengetahuan itu tidak netral, dan
memang dapat dimasukkan sifat-dasar dan isi yang menyamar sebagai pengetahuan. Namun
pada kenyataannya, diterima secara keseluruhan, bukanlah pengetahuan sejati, tetapi interpretasi
terhadapnya melalui prisma, sebagaimana adanya, pandangan-dunianya, visi intelektual dan
persepsi psikologis dari peradaban yang kini memainkan peran kunci dalam perumusan dan
penyebarannya. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah pengetahuan yang dimasukkan
karakter dan personalitas peradaban tersebut — pengetahuan yang ditampilkan dan dikandung
sebagai pengetahuan dalam samaran itu begitu rumit dileburkan bersama dengan yang sejati
sehingga orang lain mengambilnya secara tidak sadar in toto sebagai pengetahuan sejati secara per
se. Apakah karakter dan personalitas, esensi dan jiwa peradaban Barat yang telah mengubah
dirinya dan dunia, yang membawa semua penerima interpretasi pengetahuan tersebut kepada
kondisi kacau yang memimpin pada tepi bencana? Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud
peradaban yang telah berevolusi dari leburan historis akan kebudayaan, filsafat, nilai dan cita-cita
dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka dengan Yudaisme dan Kristianitas, dan
pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan
Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan epistemologis dan fondasi pendidikan,
etika, dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian berpolitik dan pemerintahan; dari
Yudaisme dan Kristianitas unsur kepercayaan-kuat keagamaan; dan dari orang-orang Latin,
Jerman, Celtic, dan Nordik semangat independensi dan jiwa kebangsaan dan nilai tradisional
mereka, dan pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan alam dan fisik dan teknologi
dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah mendorong hingga kekuatan puncak.
Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada peradaban Barat akan nuansa
pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi pengetahuan dan jiwa rasional
dan saintifik tersebut telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan wadah
kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan melebur dengan semua unsur lain
yang membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Namun fusi dan peleburan yang
sedemikian berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai
peradaban dan kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat dipecahkan menjadi
kesatuan yang harmonis, karena hal itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan-
lemah, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang bertentangan dan semuanya merefleksikan visi
dualistik yang meliputi-semua (all-pervasive) akan realitas dan kebenaran yang terkunci dalam
pertarungan yang putus asa. Dualisme terdapat pada semua aspek kehidupan dan filsafat Barat:
yang spekulatif, sosial, politis, kebudayaan — sebagaimana hal tersebut meliputi
ketidakberubahan (inexorableness) yang sepadan pada agama Barat.
Barat merumuskan visinya akan kebenaran dan realitas tidak di atas pengetahuan dan
kepercayaan-lemah agama wahyu, tetapi lebih pada tradisi kultural yang diperkuat dengan
premis filosofis yang ketat berdasarkan spekulasi yang menyentuh secara mendasar pada

79 Prolegomena
kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai entitas fisik dan hewan rasional,
meletakkan perbekalan yang luar biasa hanya terhadap kapasitas intelektual manusia untuk
membuka seluruh misteri lingkungan dan keterlibatannya dalam eksistensi, dan menyusun hasil
spekulasi yang berdasarkan premis tersebut akan nilai etis dan moral yang berevolusi untuk
membimbing dan mengatur kehidupannya sesuai spekulasi tersebut. Tidak akan ada kepastian
dalam spekulasi filosofis dalam pengertian kepastian keagamaan berdasarkan pengetahuan
wahyu yang dipahami dan dialami dalam Islām;60 dan karenanya pengetahuan dan nilai yang
memproyeksikan pandangan-dunia tersebut dan arah kehidupan peradaban tersebut itu di bawah
penilaian ulang dan perubahan.
Jiwa penelusuran dari kebudayaan dan peradaban Barat mula-mula dengan disenchanment
terhadap agama sebagaimana peradaban tersebut memahaminya. Agama dalam pengertian yang
digarisbesarkan di sini tidak pernah sungguh-sungguh mengakar dalam peradaban Barat
berkaitan dengan sifat berlebihan dan cinta yang salah kepada dunia dan kehidupan sekular dan
manusia dan keasyikan dengan tujuan sekular manusia. Jiwa penelusuran tersebut secara
mendasar dibangkitkan dalam kondisi ragu dan tegangan dalaman (inner); tegangan dalaman
tersebut merupakan hasil benturan unsur-unsur yang bertentangan dan nilai yang berlawanan
dalam dualisme abadi, sementara keraguan memelihara kondisi tegangan dalaman tersebut.
Kondisi tegangan dalaman ini pada gilirannya menghasilkan hasrat yang tak terpenuhi untuk
mencari dan naik pada perjalanan abadi akan penemuan. Pencarian tersebut tak terpenuhi dan
perjalanan menjadi abadi karena keraguan tidak pernah selesai, sehingga apa yang dicari tidak
pernah sungguh-sungguh ditemukan, apa yang ditemukan tidak pernah sungguh-sungguh
memuaskan tujuan sejatinya. Hal tersebut seperti pejalan haus yang pada pertama kalinya secara
tulus mencari air pengetahuan, tetapi yang kemudian, mungkin menemukannya kurang menarik,
mulai mengeraskan cangkirnya dengan garam keraguan sehingga rasa hausnya menjadi tidak
terpuaskan meskipun dia minum secara berkelanjutan, dan dengan demikian meminum air
tersebut tidak dapat menghilangkan hausnya, dia telah lupa tujuan asal dan sejatinya untuk apa
air itu dicari. Kebenaran mendasar dari agama dipandang, dalam skema hal-hal, hanya sebagai
teori, atau dibuangnya sebagai ilusi yang sia-sia. Nilai absolut ditolak dan nilai relatif diafirmasi;
tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. Akibat logis perilaku tersebut
terhadap pengetahuan, yang menentukan dan ditentukan oleh pandangan-dunianya, adalah
menolak Tuhan dan Akhirat dan mengafirmasi manusia dan dunianya. Manusia dituhankan dan
Tuhan dimanusiakan, dan dunia menjadi keasyikan tunggal bagi manusia sehingga bahkan
immortalitas dirinya sendiri terdiri dari kelanjutan spesies dan kebudayaannya di dunia ini. Apa
yang disebut ‘perubahan’ dan ‘pengembangan’ dan ‘kemajuan’ dalam semua aspeknya sejauh
dalam hal ini peradaban Barat merupakan hasil dari penelusuran yang tak terpuaskan dan
perjalanan abadi yang muncul oleh keraguan dan tegangan dalaman. Konteks pada gagasan akan
perubahan dan pengembangan dan kemajuan selalu dipahami sebagai duniawi-kini (this-wordly),
menampilkan pandangan-dunia materialistis yang secara konsisten dapat diistilahkan sebagai
jenis eksistensialisme humanistik. Jiwa kebudayaan Barat yang menggambarkan dirinya sebagai
Promethean adalah seperti Camusian Sisyphus yang secara putus asa berharap bahwa semuanya
baik. Saya katakan secara putus asa berharap bahwa semuanya baik sebab saya menduga faktanya
60
Lihat di atas, hlm. 75, referensi pada yaqīn (kepastian). Qur’ān Suci menyebutkan tiga derajat atau tingkatan
kepastian pengetahuan: kepastian yang diturunkan dari penyimpulan, apakah deduktif atau induktif: ‘ilm al-yaqīn, (Al-
Takāthur (102): 5); kepastian yang diturunkan dari pandangan langsung: ‘ayn al-yaqīn (Al-Takāthur (102): 7); dan
kepastian yang diturunkan dari pengalaman langsung haqq al-yaqīn (Al-Hāqqah (69): 51). Tingkatan pengetahuan yang
pasti tersebut menyentuh pada kebenaran, apakah berwujud atau tersembunyi, empiris atau transendental; dan
pengetahuan yang pasti dari apa yang tersembunyi memiliki kekuatan yang sama akan kepastian atas apa yang terlihat.
Tingkatan kepastian tersebut juga menyentuh pada apa yang diterima organ atau kognisi spiritual, hati (al-qalb), dan
menunjuk pada pengetahuan sebagai kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat (īmān). Lihat hlm. 65 di atas.

80 Prolegomena
tidak semuanya baik, karena Saya percaya bahwa dia tidak pernah dapat sungguh-sungguh
bahagia dalam kondisi tersebut. Pengejaran pengetahuan tersebut, seperti perjuangan mendorong
Batu dari daratan ke atas Gunung dimana ketika sampai puncaknya batu tersebut ditakdirkan
untuk berguling ke bawah lagi, menjadi jenis permainan serius, yang tak pernah berhenti, seolah-
olah untuk mengalihkan jiwa dari tragedi dan ketidakpencapaian. Maka, tak heran bahwa dalam
kebudayaan Barat tragedi dipuji sebagai nilai mulia dalam drama eksistensi manusia!
Menggantungkan hanya pada kekuatan intelek manusia untuk membimbing manusia
menjalani kehidupan; ketaatan pada keabsahan visi dualistik tentang realitas dan kebenaran;
afirmasi realitas akan aspek-sementara dari eksistensi yang memproyeksikan sebuah pandangan-
dunia sekular; mendukung doktrin humanisme; peniruan realitas universal yang diduga keras
akan drama dan tragedi dalam kehidupan manusia dalam wilayah spiritual, atau transendental,
yang membuat drama dan tragedi sebagai unsur nyata dan dominan dalam sifat-dasar dan
eksistensi manusia — unsur-unsur tersebut keseluruhan yang diterima sebagai sebuah
keseluruhan merupakan, menurut pendapat saya, apa yang membentuk inti, jiwa, karakter, dan
personalitas kebudayaan dan peradaban Barat. Unsur-unsur inilah yang menentukan kebudayaan
dan peradaban tersebut akan cetakan konsep pengetahuan dan arah tujuannya, perumusan isi
dan sistematisasi penyebarannya; sehingga pengetahuan tersebut yang kini secara sistematis
disebarkan ke seluruh dunia tidak serta merta merupakan pengetahuan sejati, melainkan apa yang
telah diilhami dengan karakter dan personalitas kebudayaan dan peradaban Barat, dan diisi
dengan jiwanya dan dicocokkan dengan tujuannya. Maka, unsur-unsur inilah, yang harus
diidentifikasi dan dipisahkan dan diisolasikan dari tubuh pengetahuan, sehingga pengetahuan
tersebut dapat dibedakan dari apa yang diilhami dengan unsur-unsur tersebut, karena unsur-
unsur tersebut dan apa yang diilhami dengannya tidak merepresentasikan pengetahuan
sedemikian, tetapi mereka hanya menentukan bentuk karakteristik dimana pengetahuan yang
dipahami, dinilai, dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan yang diluruskan dengan
pandangan-dunia peradaban Barat. Kemudian juga terlepas dari identifikasi dan pemisahan dan
isolasi unsur-unsur tersebut dari tubuh pengetahuan, yang tidak diragukan juga mengubah
bentuk konseptual dan nilai dan interpretasi beberapa isi dari pengetahuan sebagaimana yang
kini ditampilkan,61 tujuan inti dan sistem penyebaran dan diseminasinya dalam institusi
pembelajaran dan dalam wilayah pendidikan harus diubah sesuai dengannya. Hal tersebut dapat
diargumentasikan bahwa apa yang disarankan adalah interpretasi yang lain atau interperetasi
alternatif akan pengetahuan yang diilhami dengan bentuk konseptual dan nilai yang diluruskan
dengan tujuan lain yang merefleksikan pandangan-dunia lain; dan dengan demikian, dan hal
yang sama diterima, apa yang dirumuskan dan disebarkan sebagai pengetahuan mungkin tidak
serta merta merefleksikan pengetahuan sejati. Akan tetapi hal ini, tinggal dilihat, karena pengujian
pengetahuan sejati adalah dalam diri manusia sendiri, bahwa jika, melalui sebuah interpretasi
alternatif atas pengetahuan kemudian manusia mengetahui dirinya dan tujuan utamanya,62 dan
dengan mengetahuinya dia mencapai kebahagiaan,63 maka pengetahuan itu, kendati wujudnya
diilhami dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik yang dipahami dan
dinilai dan diinterpretasikan berdasarkan tujuan yang diluruskan pada pandangan-dunia
tertentu, merupakan pengetahuan sejati; karena pengetahuan tersebut telah memenuhi tujuan
manusia untuk mengetahui.

61
‘Beberapa isi pengetahuan’ menunjuk di sini menyentuh secara utama pada sains kemanusiaan.
62
Lihat di atas, hlm. 65-74; 81-84
63
Lihat di atas, hlm. 65.

81 Prolegomena
II
MAKNA DAN PENGALAMAN
KEBAHAGIAAN DALAM ISLĀM
Kebahagiaan menurut perspektif Islām diungkapkan dengan istilah sa’ādah, dan
berhubungan dengan dua dimensi eksistensi; akhirat (ukhrawiyyah) dan dunia saat ini
(dunyawiyyah). Lawan sa’ādah adalah shaqawāh, yang secara umum berarti ketidakberuntungan
besar dan penderitaan. Dalam hal akhirat sa’ādah menunjuk pada kebahagiaan mendasar, yang
merupakan kebahagiaan dan rahmat besar yang abadi, dimana wujud tertingginya adalah
Melihat Tuhan, yang dijanjikan pada mereka yang di kehidupan dunia telah hidup dalam
ketundukan sukarela, sadar, dan tahu akan kepatuhan kepada perintah dan larangan Tuhan.
Kondisi ini, kita lihat bahwa hubungan sa’ādah dengan akhirat sangat dekat terhubung dengan
dunia saat ini, yang terhubung dengan tiga hal: (1) diri (nafsiyyah), seperti yang menyentuh
pengetahuan dan karakter yang baik; (2) pada tubuh (badaniyyah) seperti kesehatan yang baik dan
keamanan; dan (3) pada hal-hal eksternal bagi diri dan tubuh (kharijiyyah) seperti kekayaan dan
sebab lain yang meningkatkan kondisi yang baik dari diri, tubuh dan hal-hal eksternal dan
lingkungan dalam hubungan dengan mereka.64 Oleh karena itu kebahagiaan di dunia saat ini
bukan hanya menyentuh kehidupan sekular, karena juga memiliki hubungan dengan kehidupan
sebagaimana diinterpretasikan dan dibimbing agama yang bersumberkan Wahyu.
Pada hubungan kebahagiaan dengan diri sendiri, yang kita katakan menyentuh pada
pengetahuan dan karakter yang baik, Islām mengajarkan bahwa tempat bersemayamnya
pengetahuan pada manusia adalah sebuah substansi spiritual yang secara beragam ditunjuk
Qur’ān sebagai hati (qalb), atau jiwa atau diri (nafs), atau intelek (‘aql), atau ruh (rūh).
Karena diri secara intim terlibat dalam dua aspek tubuh dan jiwa, diri dideskripsikan di
satu pihak sebagai jiwa hewani (al-nafs al-hayawāniyyah) dan di pihak lain sebagai jiwa rasional (al-
nafs al-nātiqah); dan tujuannya dalam pencapaian kebahagiaan di sini, dan kebahagiaan tertinggi
di akhirat tergantung lebih banyak pada aspek mana diri memilih meletakkan dirinya. Kedua
aspek tersebut memiliki kekuatan atau fakultas (quwā). Fakultas jiwa hewani ialah penggerak
(motive) dan perseptif, dan fakultas jiwa rasional itu aktif dan kognitif. Sejauh hal tersebut
berfungsi sebagai intelek aktif fakultas tersebut merupakan prinsip pergerakan atas tubuh
manusia. Fakultas tersebut merupakan rasio praktis, dan mengarahkan tindakan individu dalam
persetujuan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif. Dalam hubungan dengan daya
penggerak dari jiwa hewani, yang bertanggungjawab untuk penggunaan keinginan sehingga
hasrat atau keengganan muncul dalam tindakan, dimana fakultas tersebut menghasilkan emosi
manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan fakultas representasif, estimatif, dan
imajinatif fakultas tersebut mengatur objek fisik dan menghasilkan kemahiran manusia dan seni;
dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional tersebut fakultas tersebut memunculkan
premis dan kesimpulan. Sejauh fakultas tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia
fakultas tersebut mempengaruhi perilaku etis manusia yang melibatkan pengenalan akan sifat
buruk dan kebajikan.65

64
Lihat al-Ghazāli, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Kairo, 1939, 4v., vol.3, hlm. 229. Sebagaimana untuk istilah sa’ādah dan
lawannya shaqawāh, hal ini secara mendasar diturunkan dari Qur’ān, Hūd, (11): 105-108. Dengan menunjuk pada tiga
hal yang mana kebahagiaan terhubung dalam dunia ini, lihat juga Nichomachean Ethics karya Aristoteles, tr. Sir David
Ross, O.U.HLM. London, 1963, Ethics I.8.1098b5.
65
Lihat al-Ghazāli, Ma’ārij al-Quds fi Madārij Ma’rifat al-Nafs, Bayrut, 1978, pp 49-50; ibn Sina, Kitāb al-Shifā’,
Kairo, 1975, hlm. 185; Kitāb al-Najāt, Bayrut, 1985, hlm. 202-203, Lihat selanjutnya bab IV di bawah.

82 Prolegomena
Kebajikan (fadīlah) dapat diklasifikasikan di bawah sebuah judul umum akan
kesempurnaan pikiran atau ketajaman dan karakter yang baik.66 Karakter merupakan kondisi
yang stabil dari jiwa. Jika kondisi ini menyebabkan tindakan yang diperintahkan intelek dan
agama maka hal itu disebut karakter yang baik. Karakter yang baik dapat dicapai dengan
pembelajaran dan pembiasaan, dan dalam beberapa kasus hal tersebut datang secara alamiah
sebagai pemberian Ilahi. Karakter dapat berubah dari buruk ke baik, dan sebaliknya dari baik ke
buruk.67 Tujuan karakter yang baik ini adalah kebahagiaan, baik di dunia ini dan di akhirat.
Dalam rangka menghasilkan kebajikan dan karakter yang baik maka jiwa hewani dan fakultas
tubuh harus ditundukkan kepada fakultas praktis dari jiwa rasional, yang mengarahkan tindakan
individual setelah pertimbangan yang mendalam sesuai dengan apa yang disepakati oleh fakultas
teoritis. Untuk mencapai karakter yang baik intelek harus dilatih dalam pemikiran dan refleksi
mendalam. Hanya ketika hal tersebut telah ditunaikan barulah dapat diwujudkan kebijaksanaan.
Fakultas hasrat, ketika dilatih, akan mewujudkan kesederhanaan, dan keberanian untuk marah.
Ketika hasrat dan kemarahan ditundukkan kepada intelek maka keadilan terwujudkan; dan titik
pertengahannya (al-wasat) itu dicapai oleh dua fakultas tubuh tersebut setelah mereka telah dilatih
dan didisiplinkan oleh fakultas praktis dari jiwa rasional yang membimbing pada pencapaian
karakter yang baik. Pelatihan fakultas tubuh membutuhkan pilihan bebas.68 Berlawanan dengan
penerjemahan yang tidak berubah oleh kebanyakan orang dari kata ikhtiyār sebagai ‘pilihan’, kita
mempertahankan bahwa ikhtiyār tidak hanya bermakna ‘pilihan’. Kata khayr, yang bermakna
‘baik’, yang diikat dalam makna dengan ikhtiyār dan diturunkan dari akar yang sama,
menentukan bahwa pilihan tersebut berarti menuju apa yang baik. Hal ini penting ketika
diluruskan dengan pertanyaan filosofis tentang kebebasan. Oleh karena itu yang disebut ‘pilihan’
menuju apa yang buruk bukanlah pilihan. Karena kita mengafirmasi bahwa kebebasan itu adalah
bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar kita yang benar dan sejati, hanya pertunjukan pilihan
yang baik dapat dengan tepat disebut ‘pilihan bebas’. Pilihan untuk yang lebih baik adalah
pertunjukan kebebasan. Pilihan tersebut mengandaikan pengetahuan tentang kebaikan dan
kejahatan. Sebuah ‘pilihan’ untuk yang terburuk bukanlah pilihan, karena berdasarkan
kebodohan dan dorongan jiwa yang menginginkan menuju aspek kesalahan dari kekuatan
hewani.
Kebajikan filosofis akan kesederhanaan, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan tidak
cukup pada diri mereka sendiri untuk menghasilkan kebahagiaan yang dialami secara tetap dan
tidak ditentukan oleh lingkungan eksternal dan perubahan. Kita setuju bahwa jika kebahagiaan
dipahami hanya berhubungan dengan dimensi temporal, sekular dari kehidupan tanpa hubungan
apapun dengan akhirat, hal itu merupakan kondisi yang mengalami perubahan dari pelbagai
derajat dari waktu ke waktu; atau kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara
sadar dari waktu ke waktu di dunia ini, dan hanya dapat dinilai ketika dicapai oleh seseorang
yang kehidupannya, jika secara baik dihidupi dibantu oleh lingkungan yang mendukung, telah
berakhir. Tapi kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya pada wilayah
temporal, kehidupan sekular; karena kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan
akhirat memiliki ketegasan yang penting dan intim atas hubungannya dengan kehidupan
duniawi, dan karena dalam kasus terdahulu kebahagiaan merupakan kondisi spiritual dan
permanen, terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan
yang kita alami dan sadari yang sekali dicapai bersifat permanen. Oleh karena itu, kita tidak
sepakat dengan posisi Aristoteles bahwa kebajikan dan kebahagiaan berhubungan hanya dengan

66
Lihat karya al-Ghazāli Mizān al-‘Amal, Bayrut, hlm.59.
67
Mizān, hlm.54, fol.
68
Ibid, hlm. 55-56.

83 Prolegomena
dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam
jalur kehidupan dunia kita tidak dapat dicapai.
Menurut tradisi pemikiran Barat ada dua konsepsi kebahagiaan; yang kuno, yang kembali
pada Aristoteles dan yang pada abad pertengahan kembali juga pada filsuf dan teolog muslim
seperti Ibn Sinā dan al-Ghazāli; dan yang modern, yang secara bertahap muncul dalam sejarah
Barat sebagai hasil dari proses sekularisasi. Proses filosofis dan saintifik ini yang saya sebut
‘sekularisasi’ melibatkan penghilangan makna spiritual dari dunia alamiah, desakralisasi politik
dari urusan manusia, dan deconsecration nilai dari pikiran dan perilaku manusia, kedua yang
terakhir disebutkan tersebut adalah akibat logis dari yang pertama, yang menurut pendapat saya
menemukan pergerakan awalnya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat dalam fondasi
filosofis yang dipimpin peletakannya oleh Aristoteles sendiri.69 Konsepsi modern tentang
kebahagiaanlah yang diakui lazim kini di Barat, dan ini berarti bahwa bagi peradaban tersebut
makna kebahagiaan, dan tentunya kebajikan yang memimpin padanya, telah mengalami
perubahan, membawa dengannya bukan hanya dekadensi dan krisis moral, tetapi juga pertikaian
dan konflik politik. Konsepsi yang kuno dan yang modern sepakat bahwa kebahagiaan itu akhir
pada dirinya (end in itself), tetapi sementara yang terdahulu menganggap akhir tersebut dalam
pengertian standar perilaku yang pantas, yang kemudian menganggap sebagai terminal kondisi
psikologis yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral.70 Namun, pada kenyataannya,
yang disebut konsepsi modern tentang kebahagiaan, terlepas dari kerumitan rumusan dan
pengejarannya, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang pernah diketahui dan dipraktekkan
pada masa kuno oleh masyarakat pagan.
Meskipun kebajikan filosofis, yang nampaknya telah dipahami melalui pilihan manusia
dan hanya dengan rasio, tidaklah memadai dalam dirinya sendiri untuk perwujudan kebahagiaan
yang berlangsung terus dalam diri, penerimaan mereka dibenarkan ketika mereka tidak berselisih
dengan agama; dan kegunaan mereka untuk pencapaian kebahagiaan diakui ketika beberapa
rumusan ulang makna mereka telah diakibatkan dalam persetujuan dengan agama. Rumusan
ulang ini diakibatkan penarikan mereka ke dalam cakupan kebajikan lain dari tatanan yang lebih
tinggi yang tidak diketahui dalam tradisi filosofis Yunani, seperti kebajikan yang diturunkan dari
Qur’ān dan dari kehidupan Nabi. Pengetahuan tentang Tuhan menurut Wahyu merupakan
kebajikan keagamaan yang diturunkan dari kebijaksanaan; dan kebijaksanaan itu sendiri, apakah
teoritis atau praktis, merupakan kebajikan keagamaan sebab merupakan pemberian Tuhan dan
bukan perolehan rasio yang tidak dibantu.
Kebajikan keagamaan diklasifikasikan menjadi dua jenis, yang eksternal (zāhir) dan yang
internal (bātin). Yang eksternal menyentuh pada pemenuhan perintah ilahi seperti tindakan
penyembahan yang diarahkan hanya kepada Tuhan; perbuatan yang diarahkan kepada sesama
untuk kelanjutan kondisi-baik dari tatanan sosial dan politik; penampilan lima hal esensial dari
agama Islām termasuk kemurnian ritual, pembacaan Qur’ān, pengingatan Tuhan, membaca doa;
dan pemenuhan keperluan tradisi atau kebiasaan Islāmi seperti etiket terhadap makanan,
pakaian, kebersihan personal, pernikahan, transaksi bisnis, hal-hal yang diizinkan dan dilarang,
aturan bertetangga, pertemanan, perjalanan, peniruan model tindakan dan perkataan Nabi, dan
kewajiban persaudaraan dalam Islām.71

69
Lihat karya saya Islām dan Secularism, Kuala Lumpur, 1978.
70
Hal ini jelas direfleksikan, contoh, dalam tulisan pemikir besar Barat kontemporer, bernama Mortimer Adler dalam
Reforming Education, Macmillah, N.Y. 1988, contohnya hlm. 81-89; 230-253; 254-274; dan Alasdair MacIntyre dalam
After Virtue, University of Notre Dame Press, Indiana, 1984, contohnya hlm. 1-5; 181-203; 226-243; 244-255;
256-263.
71
Catatan menyeluruh dan rinci dari kebajikan keagamaan yang ditulis di sini dalam uraian dapat ditemukan dalam jilid
empat dan buku al-Ghazāli Ihyā’ (op. cit, vol. 1-2).

84 Prolegomena
Kebajikan internal menunjuk pada aktifitas hati; aktifitas yang didasarkan atas
pengetahuan tentang Tuhan dan diri yang diturunkan baik dari rasio dan Wahyu, dan yang
membutuhkan kecondongan positif dalam diri untuk mempengaruhi maksud (niyyah) baik yang
diikuti tindakan (‘amal) dengan tujuan yang tulus (ikhlās) dan kejujuran pada diri sendiri (sidq).
Pengetahuan akan diri memimpin pada pengetahuan kualitas baik dan buruknya, dan
memberikan tugas pada diri sendiri untuk menjauhi yang buruk dengan maksud memurnikan
jiwa dari ketidakmurnian.72 Tindakan pada bagian diri ini berarti bahwa jiwa rasional harus
mengawasi jiwa hewani (murāqabah) untuk memastikan bahwa tugas yang diberikan pada diri
sendiri dijalankan. Hal itu juga berarti swa-pengujian untuk melihat apakah pelaksanaan tugas
tersebut telah ditunaikan dalam cara yang tepat, dan untuk menyelesaikan penyimpangan
apapun dari apa yang tepat (muhāsabah). Pada pengetahuan tentang Tuhan hal itu berarti
pengetahuan tentang siapa Dia, tentang sifat-dasar dan Keesaannya sebagaimana Dia
menggambarkan diri-Nya dalam Wahyu, dan pengetahuan ini memimpin pada pemahaman
hubungan yang tepat antara diri dan Tuhan. Dalam Wahyu tersebut Tuhan juga berbicara tentang
ciptaan-Nya dan tentang diri manusia sebagai tanda yang menunjukkan realitas dan kebenaran-
Nya;73 dan perenungan dan refleksi karya-Nya dan sifat-dasar manusia dan psikologi jiwa
merupakan prasyarat untuk pencapaian pengetahuan tersebut. Semua ini melibatkan meditasi
(tafakkur) dan membawa perwujudan yang bertahap dalam diri akan kebajikan lain dari tatanan
yang lebih tinggi, seperti penyesalan (tawbah), sabar (sabr), terima kasih (shukr), harap (rajā), takut
(khawf), keesaan ilahi (tawhīd), kepercayaan (tawakkul), dan akhirnya kebajikan tertinggi untuk
pencapaian kebahagiaan di dunia, cinta Tuhan (mahabbah).74
Kebajikan eksternal dan internal sebenarnya tumpang tindih satu sama lain, dan
kemungkinan aktifitas kebajikan yang terlibat hanya dengan salah satu tanpa dengan suatu cara
terhubung dengan yang lain tidaklah dapat dipahami. Klasifikasi mereka ke dalam eksternal dan
internal hanya untuk membedakan aktifitas bagian ke-dalam (inward) hati, yang
mengkarakterisasi yang kemudian, dari aktifitas tubuh bagian ke-luar (outward); penekanan pada
makna dalaman (inner) merupakan bukti yang kemudian, dari praktek atas apa yang nampak
didemonstrasikan pada yang terdahulu. Beberapa mungkin mengunggulkan perwujudan
kebajikan eksternal dan beberapa terhadap kebajikan internal; tetapi tidak mungkin bagi beberapa
orang mewujudkan hanya kebajikan eksternal tanpa menegaskan pada kebajikan internal,
maupun bagi beberapa orang hanya mewujudkan kebajikan internal tanpa menunaikan
perwujudan kebajikan yang eksternal. Jadi, kedua kebajikan eksternal dan internal itu diperlukan
untuk pencapaian kebahagiaan di alam kehidupan ini, dan kebahagiaan tertinggi di akhirat.
Akhirnya, karena kebajikan yang diklasifikasikan sebagai filosofis telah dirumuskan ulang dan
diserap ke dalam kerangka keagamaan yang di dalamnya terdapat interpretasi nasib manusia
yang meluas pada horizon yang melampaui eksistensi temporal, dan karena kerangka-kerja
keagamaan ini dibangun bukan hanya atas rasio tapi atas rasio sebagaimana diverifikasi Wahyu,
maka semua kebajikan dalam Islām itu bersifat keagamaan.
Dengan maksud memahami makna sa’ādah nampaknya perlu bagi saya pertama kali
menghadirkan penjelasan singkat akan makna lawan katanya yang tepat yaitu, shaqawāh.
Leksikon bahasa Arab pada waktu terdahulu dan kembali lagi pada penggunaan Qur’ān
menggambarkan shaqawāh sebagai mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great

72
Jiwa, menurut Qur’ān, diciptakan berkaitan dengan proporsi dan tatanan. Jiwa tahu apa yang benar baginya dan apa
yang salah baginya. Keberhasilannya dicapai ketika jiwa dimurnikan, dan kegagalannya dipastikan ketika ia dikotori
(91: 7-10). Pemurnian jiwa itu dicapai dengan kebajikan dan karakter yang baik seperti dirumuskan dan
dikonseptualisasikan dengan ajaran Islām.
73
Fussilat (41): 53
74
Ihyā’, vol. 4.

85 Prolegomena
misfortune’ (ketidakberuntungan yang besar), ‘misery’ (kesengsaraan), ‘straitness of circumstance’
(kondisi yang sukar), ‘distress’ (kekhawatiran), ‘disquietude’ (kecemasan), ‘despair’ (putus asa),
‘adversity’ (kemalangan), ‘suffering’ (penderitaan). Masing-masing kondisi tersebut secara jelas
melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawāh merupakan istilah
umum yang meliputi semua bentuk kesengsaraan, sehingga istilah lain mengungkapkan kondisi
yang sama hanya lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka yang hanya merupakan unsur
penyusun shaqawāh. Hal tersebut termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui,
kesendirian penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada di baliknya,
ramalan ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank
(kesempitan, kekakuan, sengsara dalam jiwa dan intelek dalam memandang ketidakmampuan
memahami sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan
menyesali sesuatu yang telah hilang dan tidak akan dialami lagi, seperti — ketika menunjuk pada
akhirat — melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan
dan menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian
bagaimana dia telah kehilangan jiwanya dan meratap dingin akan kemustahilan kembali ke
kehidupan duniawi untuk membuat perubahan). Istilah-istilah tersebut digunakan secara khusus
bagi mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi
dunia ini dan akhirat. Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan
berlaku semuanya dalam kehidupan ini adalah, contoh, dīq (kesukaran, hati dan pikiran,
mendesak); hamm (kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan
ketakutan bencana yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan
yang ditakuti yang akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi
keras, sulit dan tidak menyenangkan).
Nampaknya bagi saya intisari makna shaqawāh di atas sudah menjelaskan bahwa dalam
pengertian umum istilah itu menunjuk pada apa yang dipahami di Barat sebagai tragedi — tragedi
bukan hanya dalam pengertian dramatis sebagai bentuk seni, tetapi lebih dari itu dalam
pengertian filosofis sebagai drama kehidupan yang ditetapkan dalam pengalaman dan kesadaran
manusia ketika dia menolak agama dan berpaling dari Tuhan. Pernyataan ini membutuhkan
elaborasi. Menurut Aristoteles dalam Poetics tragedi dalam pengertian dramatis merupakan
sebuah imitasi artistik dari sebuah tindakan yang serius, lengkap dalam dirinya, dan cukup
menarik, contoh, yang dijadikan dalam bahasa yang puitis, memiliki tujuan moral yang
membawa karakter (ethos), dan pemahaman diskursif (dianoia) yang membuat sang karakter tragis
menunjukkan kemampuan untuk mengatakan apa yang pantas dalam situasi yang diberikan.
Drama Yunani protagonis harus memiliki tinggi rata-rata, mengalami penderitaan fisik juga
mental, dijatuhkan oleh kesalahan putusan berkaitan dengan kekurangan penglihatan-mendalam
(insight), kesalahan tragis (hamartia), dalam proses dramatis yang dihasilkan oleh beberapa
kesempatan menggoda (kairos). Dia harus juga memiliki rasa bangga (hubris), pongah terhadap
dewa yang melawan mereka. Faktor yang sambil lalu adalah takdir (amanke), yang mengejar sang
karakter tragis tanpa belas kasihan dengan sebuah kepercayaan (ate), sebuah kutukan, yang
bergiliran diwariskan sepanjang generasi. Kerangka-kerja peristiwa tersebut yang di atasnya
drama tersebut dibentuk membentuk kesatuan yang terdiri dari awal, pertengahan, dan akhir;
dan di dalam kesatuan peristiwa ini harus muncul proses pembalikan (peripeteia) seperti dari
kebahagiaan kepada penderitaan, dari nasib baik kepada nasib buruk, dan penemuan (anagnorisis)
seperti dari kebodohan kepada pengetahuan sesuatu yang mengerikan. Akibat dari tragedi adalah
memunculkan kasihan dan ketakutan sedemikian rupa supaya mengakibatkan pemurnian jiwa
mereka dan memberinya pembebasan (katharsis).75

75
Poetics, tr. Dengan komentar oleh S.H. Butcher, 1911, definisi tragedi dalam 1449B.

86 Prolegomena
Menurut leksikon Yunani pembersihan yang dimaksud dengan katharsis adalah dari dosa
dan rasa bersalah jiwa atau diri.76 Hal yang demikian, dan dari uraian di atas tentang sifat-dasar
tragedi dalam drama Yunani, pemurnian dari takut dan belas kasihan yang muncul oleh tragedi
dapat dipahami sebagai bermakna ketakutan dalam diri akan kesengsaraan yang akan datang
yang dihasilkan oleh rasa bersalah berkaitan dengan dosa yang dilakukan di masa lalu. Kini
tragedi bukan hanya sebuah bentuk seni, karena faktanya tragedi yang mewujudkan dirinya
sendiri secara unik dalam tradisi intelektual, keagamaan, dan sekular dari pemikiran dan
spiritualitas Barat di semua zaman dan membangun dirinya dalam mitologi secara ringkas dan
jelas menunjukkan bahwa tragedi — setidaknya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat
— merupakan fakta kehidupan, dan bentuk dramatisnya hanya sebuah refleksi dari apa yang
terjadi dalam kehidupan sesungguhnya. Hal tersebut demikian kendati dalam pengalaman dan
kesadaran tersebut dibuat untuk selalu tinggal mengomeli kesalahan agama yang melekat pada
dosa asal yang dilakukan oleh leluhur manusia, yang dengan kesalahan tragis dikalahkan godaan
kesempatan yang didesak oleh musuh yang bertekad terhadap kejatuhannya dari keagungan.
Akibat kejatuhannya sebuah kutukan turun-temurun yang menyertai penerusnya menyebabkan
mereka merasakan kesalahan tersebut yang berlanjut mewabah pada hati dan pikiran mereka
sepanjang zaman. Leluhur manusia pernah memiliki kehormatan tinggi yang kemudian
dijatuhkan oleh kesalahan tragis. Pada awalnya dia dalam kehormatan yang tinggi dan bahagia di
sebuah dunia yang berbeda. Kemudian setelah kejatuhan ini dia dibuang ke dunia ini; dan
keturunannya kini menemukan diri mereka di tengah bagian kesatuan peristiwa yang sedang
terbentang dalam proses pembalikan dan penemuan, dan memainkan bagian mereka dalam
konflik dan kekerasan. Tetapi penemuan final belum juga datang dalam akhir yang menakutkan
ketika setiap orang harus meninggalkan dunia ini dan kembali berhadap-hadapan dengan
kebenaran. Obsesi dengan tragedi dan seni yang melukiskannya sedemikian rupa sebab bahkan
agama telah dibuat sebagai tragedi penyaliban. Dunia telah menjadi panggung dimana manusia
menyusun, menetapkan, dan memegang drama eksistensinya sendiri dengan maksud
menyebabkan pemurnian dari ketakutan dan belas swa-kasih. Filsafat humanistik dan proses
bertahap dari sekularisasi bersama-sama dengan kemunculan filsafat dan sains sekular, membuat
tragedi, daripada agama, sebagai pengagungan akan manusia. Ketakutan harus dimurnikan
bukan dengan kepercayaan-kuat kepada Tuhan, tetapi dengan pembuangan Tuhan dari alam
ciptaan; rasa kasihan diri harus dimurnikan bukan dengan pengingatan akan Tuhan, tapi dengan
kebanggaan akan humanitas dan penerimaan yang menantang akan keadaan sulit manusia.
Faktor penyebab dalam tragedi tidak lagi Takdir Yunani yang kuno maupun Tuhan agama, tetapi
konflik individu dan sosial, kebakaan biologis, psikologi ketidaksadaran, yang dikalahkan oleh
frustasi, dimana manusia dihadang oleh misteri alam semesta dan pencarian abadi oleh manusia,
dan absurditas kehidupan. Kebebasan keinginan menjadi kepercayaan-lemah yang kokoh sebab
hal itu menolong dalam perjuangan abadi terhadap rintangan yang menghalangi mencapai
tujuan. Tetapi tujuan itu sendiri selalu-bergeser. Dapatkah Sisifus bahagia secara abadi dengan
harus mendorong batu ke bukit dimana saat di puncak batu itu ditakdirkan untuk menggelinding
lagi ke bawah? Fitzgerald tidak sungguh-sungguh menerjemahkan makna yang dimaksudkan
dari puisi Persia, meskipun itu adalah apa yang diklaim dilakukannya, ketika dia menulis:
Wahai Engkau, Manusia yang telah dipinjamkan Bumi didst,
Dan bahkan dengan Surga ditemui Ular;
Untuk semua dosa dimana dengannya Wajah Manusia
Dihitamkan – pemaafan Manusia diberikan – dan diambil!

76
A Greek-English Lexicon, comp. Oleh H.G. Liddell dan R.Scott, etc., Oxford, 1968, hlm. 851, kol. 1; dan F.E. Peter,
Greek Philosophical Lexicon, New York, 1967, hlm. 98-99.

87 Prolegomena
Dia hanya mengungkapkan jiwa menantang yang lazim yang mengamuk dalam
pengalaman dan kesadaran manusia ketika dia menolak Tuhan dan berpaling dari petunjuk-Nya.
Qur’ān menghubungkan bagaimana Ādam digoda Setan, tidak patuh kepada Tuhan, dan
membiarkan dirinya digoda Setan. Namun, Ādam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka dan
tidak seperti Setan, mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada
ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri, dan meminta rahmat dan ampunan Tuhan.
Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama Setan ke dunia ini untuk menghidupi
kehidupan percobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Ādam dan keturunannya bahwa
petunjuk-Nya akan datang dan siapapun yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat
maupun jatuh pada penderitaan; tetapi siapapun yang berpaling dari pengingatan akan Dia tentu
akan menghidupi kehidupan yang merana diserang oleh keraguan dan tegangan dalaman yang
dipertinggi dengan kebutaan pada kebenaran dan realitas keadaan sulit mereka.77
Aplikasi Qur’ān dalam makna shaqawāh dalam pelbagai bentuk konjugasi seperti shaqā,78
yashqā,79 tashqā,80 ashqā,81 al-ashqā,82 shaqiyy83, dan shiqwah84 terhubung, beberapa dengan akhirat,
beberapa dengan dunia ini, dan beberapa pada keduanya. Semuanya menunjuk pada mereka
yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya. Shiqwah, contoh, menunjuk pada mereka
yang kehilangan jiwa mereka (khasirū anfusahum)85 di dunia ini karena terlalu kagum oleh
kenikmatan dunia yang memimpin mereka pada kesesatan dan menjatuhkan mereka pada
kesalahan. Mereka dapat merasakan dan berpikir bahwa mereka bahagia dengan apa yang
mereka lakukan di dunia, tetapi penderitaan yang mendasari kondisi sejati mereka mungkin yang
kini tidak diakui mereka sebab mereka telah kehilangan jiwa mereka tetapi hal tersebut akan
disadari di akhirat adalah tidak terbantahkan: sebuah Hari yang Sukar (yawm al-hasrat, Keluh
Kesah dan Sedu Sedan, menunggu mereka di sana.86 Tentu saja menurut Qur’ān semua manusia
dalam kondisi merugi (khusr) kecuali yang memiliki kepercayaan-kuat yang benar (īmān) dan
berbuat baik, memerintahkan satu sama lain pada Kebenaran dan kesabaran.87 Perbuatan yang
baik ditunaikan dengan kebajikan, dengan īmān menjadi sumber kebahagiaan seseorang, dan
karakter yang baik. Makna kebahagiaan di dunia ini dan kebahagiaan tertinggi di akhirat sangat
dekat terikat dengan īmān, yang makna umumnya sebagaimana dipahami dan dialami oleh
mereka yang memilikinya telah dinyatakan pada bab berikutnya.88 Akar amina mengandung
makna menjadi aman, menjadi bebas dari takut. Kata benda bentuk dasar amina: amnu, bermakna
keamanan, bebas dari takut. Ketakutan yang dimaksud di sini adalah ketakutan akan sesuatu
yang tidak dikenali, dari kesendirian yang penuh, ketakutan akan masa depan — secara singkat
hal itu merupakan ketakutan yang menunjuk pada tujuan final. Mereka yang memiliki īmān dan
gigih berbuat baik menjaga diri mereka dari ketidakpatuhan pada Tuhan maka tidak terpengaruh
oleh ketakutan semacam itu (khawf), yang merupakan lawan dari keamanan (amnu).89 Istilah
77
Al-A’rāf (7): 19-25; Tā hā (20): 117-124; Banī Isrā’īl (7): 72.
78
Hūd (11): 106-107
79
Tā Hā (20): 2; 123.
80
Tā Hā (20): 117.
81
Al-Shams (91): 12.
82
Al-A’lā (87): 11; Al-Layl (92): 15
83
Hūd (11): 105; Maryam (19): 4; 32; 48.
84
Al-Mu’minūn (23): 107.
85
Al-An’ām (6): 12; 20; Al-A’rāf (7): 9; 53; Hūd (11): 21; Al-Mu’minūn (23): 103; Al-Zumar (39): 15; Al-Shūrā (42):
45.
86
Maryam (19): 39.
87
Al-‘Asr (103): 2.
88
Lihat di bawah, hlm. 112.
89
Al-Mā’idah (5): 69; Al-An’ām (6): 48; Al’A’rāf (7): 35; Yūnus (10): 62; Al-Ahqāf (46): 13.

88 Prolegomena
‘ketakutan’ berhubungan dengan dua kondisi psikologis. Ketika ketakutan menunjuk pada
seseorang yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya maka bermakna ketakutan yang
telah dijelaskan di atas; akan tetapi, ketika menunjuk pada seseorang yang tunduk pada Tuhan
dan memegang erat petunjuk-Nya, ketakutan itu bermakna ketakutan yang takzim atau kagum
atas keagungan-Nya, yang juga bermakna mengetahui-Nya. Karena seseorang yang takut pada
Tuhan bermakna takut pada ketidakpatuhan, pada melakukan tindakan yang dilarang Tuhan,
menjadi jahat, menjadi terhalang dari Tuhan dan tertolak untuk dekat pada-Nya. Ketakutan
demikian, yang muncul dari pengetahuan akan Tuhan dan kebebasan absolut-Nya untuk
melakukan apa yang Dia inginkan, dan akan tindakan manusia dalam pelanggaran dan ketakutan
akan akibatnya, mendorong perwujudan kebajikan seperti kesederhanaan (‘iffah), keterpeliharaan
(wara’), kesalehan (taqwā), dan kejujuran (sidq)90. Berdasarkan apa yang telah dan masih
dibuktikan oleh “mereka yang memiliki kepercayaan-kuat (āmanū) dan hatinya dibuat tenang
(tatma’innu) oleh pengingatan (dhikr) akan Tuhan, karena sungguh dalam pengingatan akan
Tuhan hati menjadi tenang”,91 kepercayaan-kuat (īmān) dan pengingatan (dhikr) itu diperlukan
dalam pencapaian kestabilan dan kedamaian hati yang tenang yang disebut tuma’nīnah. Kondisi
ini menunjuk pada kondisi jiwa yang tenang (al-nafs al-mutma’innah) yang disebutkan
sebelumnya.92 Tuma’nīnah menggambarkan kondini hati yang tenang dan tenteram, yang telah
kita katakan merupakan sebagai aspek dari diri.93 Tuma’nīnah adalah kebebasan dari kekhawatiran
yang dihasilkan dari keraguan, kebebasan dari kegelisahan; Tuma’nīnah adalah kedamaian
dalaman (inner), kepuasan, kesenangan, kebahagiaan, yang datang ketika jiwa atau diri tunduk
pada Tuhan. Tunduk pada Tuhan adalah apa yang dikenal sebagai kebebasan, karena kebebasan
itu kembali pada sifat-dasar sejati seseorang yang diakui oleh jiwa manusia sebelum berwujud
(pre-existent) ketika membuat perjanjiannya dengan Tuhan.94 Tunduk kepada Tuhan melibatkan
pengingatan dalam hati akan kehadiran Tuhan, dan pengingatan bermakna ingat akan Tuhan,
pengenalan dan pengakuan kekuasaan-Nya. Tunduk pada Tuhan merupakan perukunan kembali
jiwa dengan Tuhan, yang memunculkan dalam jiwa kesadaran akan keselamatan, keamanan,
kebebasan dari kegagalan dan kecurangan, kesadaran akan kedamaian yang disebut islām.
Aktifitas jiwa atau diri tersebut menyiratkan kondisi yang mendahului akan kesadaran dalam
jiwa akan kebenaran yang datang dari petunjuk. Kesadaran ini adalah kepastian (yaqīn) akan
kebenaran. Yaqīn adalah lawan dari keraguan (shakk) dan dugaan (zann); Yaqīn adalah
pemindahan keraguan dan dugaan dari hati dan verifikasi akan kebenaran pada masa lalu, kini,
dan akan datang. Qur’ān menyebutkan tiga derajat kepastian pengetahuan: yang diturunkan
dengan penyimpulan, apakah deduktif atau induktif (‘ilm al-yaqīn),95 yang diturunkan dengan
observasi atau visi langsung (‘ayn al-yaqīn);96 dan yang diturunkan dari pengalaman langsung
(haqq al-yaqīn).97 Derajat kepastian pengetahuan tersebut menyentuh pada kebenaran, apakah
berwujud atau tersembunyi, empiris atau transendental; dan kepastian pengetahuan atas apa
yang tersembunyi memiliki kekuatan kepastian yang sama sebagaimana apa yang terlihat. Derajat
kepastian ini juga menyentuh pada hati dan menunjuk pada kepercayaan-kuat (īmān).
90
Ihyā’, vol. 4, hlm. 153. dengan ‘kesalehan’ kita bermaksud bimbingan secara hati-hati terhadap diri sendiri dari
perbuatan dosa dan peninggalan akan tugas. Taqwā adalah takzim dalam kekaguman akan keagungan Tuhan; taqwā
adalah tindakan yang hati-hati akan penjagaan dari ketidakpatuhan dengan perilaku yang benar berdasarkan kebajikan
yang dihasilkan dalam keadilan, cth. sedang dalam tempatnya yang tepat akan diri dalam hubungan pada Tuhan
sehingga kedamaian dicapai dalam jiwa.
91
Al-Ra’d (13): 28.
92
Lihat di atas, hlm. 60.
93
Lihat di bawah, hlm. 145-146.
94
Al-A’rāf (7): 172.
95
Al-Takāthur (102): 5.
96
Al-Takāthur (102): 7.
97
Al-Hāqqah (69): 51.

89 Prolegomena
Kita katakan bahwa pengingatan akan Tuhanlah yang membawa kondisi jiwa yang
tenang; dan aktifitas kebajikan ini dan yang lain menyiratkan kesadaran yang mendahului dalam
jiwa akan kebenaran yang datang dari petunjuk Ilahi. Kesadaran ini muncul sebagai kepastian
(yaqīn). Maka bagaimana dapat seseorang yang lupa kepada Tuhan menemukan kedamaian
dalam hati dan pikiran dan jiwa yang tenang ketika pada kenyataannya kelupaan terhadap Tuhan
melibatkan juga kelupaan pada jiwanya sendiri? Tidak dapat ada kesadaran kepastian akan
kebenaran dalam jiwa ketika jiwa itu telah melupakan dirinya sendiri, yakni, ketika aspek
rasionalnya telah ditindas aspek hewaninya sedemikian sehingga ia hanya sadar akan
keterlibatannya dalam fakultas jasmaninya dan kenikmatan dan hiburan kehidupan duniawi, atau
pengejaran filsafat dan sains sekular dan perenungan fakta yang diturunkan darinya, atau bahkan
keduanya sekaligus. Inilah mengapa Qur’ān memperingatkan bahwa mereka yang lupa pada
Tuhan akan dibuat melupakan jiwa atau diri mereka.98 Kelupaan pada diri di sini harus
bermakna, di antara makna lain yang mungkin, ketidaksadaran jiwa rasional itu sendiri, dan
hanya kesadaran dari jiwa hewani yang cenderung menuju kepuasan hasrat jasmani. Seseorang
yang melupakan diri sendiri dalam cara ini adalah seseorang yang telah kehilangan jiwanya (q.v.
khusr) dan kondisi mereka adalah “makhluk alas dari yang rendah”.99
Perasaan dan emosi yang terlibat dalam kesadaran dan mereka yang sadar akan Tuhan,
memverifikasi kesadaran ini dengan pengingatan, pengalaman dalam perasaan dan emosi mereka
akan kesadaran kebahagiaan yang padanya kehidupan mereka kokoh — maksud saya bahwa
kehidupan mereka diamankan di atas sebuah lapisan-dasar kebahagiaan. Dalam kasus mereka
pengalaman penderitaan kehidupan duniawi, yang pasti mereka alami dari waktu ke waktu
seperti yang lain, tidak secara sadar dirasakan mereka sebagai kesengsaraan dalam pengertian
tragis. Melainkan penderitaan dikenali oleh mereka sebagai ujian, pengujian kepercayaan-kuat
mereka kepada Tuhan dan kebajikan akan perilaku dalam berhadapan dengan kesukaran dan
bencana. Penderitaan tersebut tidak disebut shaqawāh; itu disebut balā’, dan cobaan ibtilā’ kendati
penderitaan, kemudian, mereka tahu dan sadar akan kebenaran bahwa lapisan-dasar yang
mereka hidupi adalah kesenangan dan kebahagiaan, yang pada kondisi itu, mereka selalu
kembali. Qur’ān mewahyukan kebenaran ini dengan menyatakan dua kali untuk menekankan
jaminan bahwa “bersama setiap kesukaran (‘usr) terdapat kemudahan (yusr)”.100 Tetapi bagi
mereka yang berpaling dari Tuhan dan buta pada petunjuk-Nya, lapisan-dasar kehidupan yang
mereka hidupi adalah penderitaan dan tragedi, dan sebanyak apapun perasaan, atau emosi, atau
aktifitas yang mereka percaya sebagai kebahagiaan tidak akan membersihkan lapisan-dasar
tersebut. Kondisi inilah yang kita percaya menjadi alasan bagi kebutuhan mereka akan pemurnian
jiwa yang abadi selain dari mengingat Tuhan, seperti dengan pelbagai bentuk seni dan musik
yang dibuat dengan pelaksanaan yang serius dan ningrat untuk membuat kondisi sulit mereka
terasa nikmat pada citarasa estetis; dengan kerja tanpa istirahat dan perjuangan terhadap diri
mereka sendiri, terhadap orang lain, terhadap dunia, terhadap alam — untuk mengalihkan dari
tragedi akan ketidakpencapaian, dan untuk mencegah kembali pada lapisan-dasar kehidupan.
Itulah mengapa filsuf mereka berbicara bunuh diri sebagai persoalan filosofis. Sayangnya ini juga
mengapa dari waktu ke waktu muncul ledakan pesimistis akan kemarahan dalam bentuk
kekerasan yang sedikit banyak seperti upacara pengorbanan sparagmos dari tragedi Yunani Kuno.
Dan hal itu juga menjelaskan alasan keasyikan berkelanjutan dengan pencarian kebahagiaan yang
dipandang sebagai sebuah akhir pada dirinya.
Kebahagiaan (sa’ādah) sebagai lawan yang tepat dari penderitaan (shaqawāh) dan
sebagaimana diketahui dalam pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh
98
Al-Hasr (59): 19.
99
Al-Tīn (95): 4; hlm. 146 di bawah; dan dari khusr, hlm. 103 di atas.
100
Al-Inshirāh (94): 5-6.

90 Prolegomena
tunduk kepada Tuhan dan mengikuti-Nya bukanlah akhir pada dirinya sebab kebajikan tertinggi
dalam kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang berlangsung terus dalam kehidupan
menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia;
maupun sebuah kondisi pikiran, atau perasaan yang mengalami kondisi terminal, maupun
kenikmatan atau hiburan. kebahagiaan berhubungan dengan kepastian (yaqīn) kebenaran pokok
dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian adalah
kondisi permanen kesadaran yang alamiah pada apa yang permanen pada manusia dan dipahami
organ kognisi spiritual yakni hati (qalb). Kepastian adalah kedamaian, keamanan, dan ketenangan
hati (tuma’nīnah); kepastian adalah pengetahuan (ma’rifah) dan pengetahuan adalah kepercayaan-
kuat yang benar (īmān). Kepastian adalah pengetahuan akan Tuhan sebagaimana Dia telah
menggambarkan Diri-Nya dalam Wahyu sejati; kepastian juga mengetahui tempat seseorang
yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan seseorang yang tepat dengan Pencipta
ditemani oleh tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) dalam kesesuaian dengan pengetahuan tersebut
sedemikian sehingga kondisi itu hasilnya adalah keadilan (‘adl). Hanya lewat pengetahuan seperti
itulah cinta Tuhan dapat dicapai di kehidupan bumi.
Dari ringkasan di depan tetapi komprehensif akan penjelasan makna dan pengalaman
kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan kesimpulan bahwa kebahagiaan di kehidupan ini
bukan akhir pada dirinya; bahwa akhir kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan
dunia terdapat dua tingkatan kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah
psikologis, sementara, dan kondisi terminal yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau
emosi, dan yang diraih ketika keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar
berdasarkan kebajikan. Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang disadari
sebagai, menjadi lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diafirmasi sebagai percobaan,
pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau buruk: cth. Tidak
terpengaruh dengan kesalahan dengan nasib baik maupun dikalahkan dalam kesengsaraan
dengan nasib buruk. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara bersamaan dengan yang
pertama kecuali keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan kedua kebahagiaan
adalah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang merupakan kondisi tertinggi adalah
Melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan pengalaman kebahagiaan dalam kesadaran
mukmin sejati sepanjang zaman.
Kita telah mendiskusikan secara ringkas tetapi komprehensif dan secara langsung makna
dan pengalaman kebahagiaan sebagaimana diketahui dalam kesadaran manusia ketika dia
tunduk kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya. Kebahagiaan, kita katakan, terhubung
dengan kehidupan temporal dan sekular sebagaimana juga pada akhirat. Karena agama mendasar
dalam hubungannya dengan manusia dan kondisinya yang baik, makna agama pertama kali
dijelaskan diikuti dengan garis besar yang singkat tentang sifat-dasar manusia dan psikologi jiwa
manusia yang diturunkan dari rasio dan Wahyu. Sebagai pembukaan pada penjelasan sifat-dasar
kebahagiaan yang didefinisikan di sini dalam pengertian kondisi yang berlawanan, kita
memertahankan bahwa aktifitas yang tepat pada manusia adalah tindakan kebajikan akan tubuh
dan jiwanya berdasarkan dengan rasio yang dibantu oleh Wahyu.
Aktifitas kebajikan yang didefinisikan di sini bukan hanya dalam pengertian kebajikan
filosofis, tetapi dalam pengertian rumusan ulang mereka dalam cakupan konseptual kebajikan
keagamaan yang digambarkan sebagai eksternal dan internal. Dalam mendefinisikan kebahagiaan
dalam pengertian lawannya yang tepat, istilah lain yang berhubungan menggambarkan
kebahagiaan dan penderitaan telah dibawa ke dalam fokus dan dijelaskan. Penjelasan tersebut
dibuat semakin bermakna dengan membuat analisis komparatif terhadap corak penting tertentu
dari konsep kebahagiaan Aristotelian dan Barat modern dengan konsepsi Islāmi tentang

91 Prolegomena
kebahagiaan dengan maksud menunjukkan penyimpangan yang besar antara yang terdahulu
dengan yang kemudian. Hal tersebut dipertahankan bahwa tiga tingkatan kebahagiaan yang
dilihat dalam konsepsi Islāmi, dua dari mereka dalam kehidupan dunia dan satunya di akhirat.
Dalam ringkasan ini penjelasan Qur’ān merupakan sumber tepat akan interpretasi kita tentang
kebahagiaan, yang kita jaga dan dibuktikan adalah terbukti dalam pengalaman dan kesadaran
kita berdasarkan pada pencapaian dalam pelbagai derajat, dalam kepercayaan-lemah dan praktek,
di antara pelbagai kelas dari orang-orang. Hal itu juga mempertahankan bahwa dalam
pengalaman dan kesadaran kita tidak ada perubahan sepanjang zaman dalam makna
kebahagiaan dalam Islām. Definisi umum tentang kebahagiaan telah dibuat hingga pada
akhirnya. Akhirnya, dapat dijadikan catatan bahwa referensi pada “mereka yang kembali pada
Tuhan dan petunjuk-Nya” tidak serta merta bermakna menunjukkan hanya kepada mereka yang
menyatakan menganut agama Islām, sama halnya dengan mereka mengaku mengikuti agama
Islām tidak semuanya serta merta termasuk di antara yang kembali kepada Tuhan dan mengikuti
petunjuk-Nya.

92 Prolegomena
III
ISLĀM
DAN
FILSAFAT SAINS
Makna agama dalam Islām, seperti telah kita analisa dalam bab pertama, yang
diungkapkan dengan istilah dīn, bukan hanya konsep, tetapi merupakan sesuatu yang
diterjemahkan ke dalam realitas secara intim dan mendalam dihidupi pada pengalaman manusia.
Sumber mendasar makna yang diturunkan darinya adalah wahyu Qur’ān akan perjanjian (al-
mithāq) dimana jiwa manusia sebelum wujud telah membuatnya dengan Tuhan.101 Nama agama:
Islām, kenyataannya adalah definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Sudah tersirat pada inti
gagasan ketundukan, perasaan, kepercayaan, dan tindakan; tetapi unsur mendasar tindakan
manusia tunduk kepada Tuhan adalah perasaan keberhutangannya kepada Tuhan untuk
pemberian-Nya atas eksistensi, jadi rasa keberhutangan ini — yang melibatkan pengenalan dan
pengakuan akan Tuhan sebagai pemberi eksistensi — adalah kondisi yang mendahului
ketundukan sejati (islām).102 Tujuan pokok agama adalah agar manusia kembali pada kondisi
dimana dia sebelumnya ada, dan ini melibatkan pencarian identitas dan tujuan transenden
melalui perilaku yang benar. ‘Pengembalian’ ini ialah segalanya tentang kehidupan, dan
melibatkan pengejaran pengetahuan sejati,103 pemahaman akan tanda dan simbol Tuhan dalam
halaman buku alam semesta dengan sinar petunjuk kata-kata-Nya dan dinterpretasikan dalam
diri yang suci dari utusan-Nya. Hal tersebut juga melibatkan penggunaan akal sehat pada
pengalaman akan realitas, dan penggunaan pertimbangan sehat untuk penangkapan kebenaran.104
Agama (islām) dan kepercayaan-lemah (belief/īmān) tidaklah identik, tetapi keduanya saling
tidak terpisahkan dan sangat dibutuhkan. Kepercayaan-lemah dalam pengertian yang kita
maksudkan adalah memiliki kepercayaan-kuat, tidak seperti pengertian yang dipahami dalam
bahasa Inggris, tetapi dalam pengertian bahwa hal itu termasuk menjadikan benar terhadap
kepercayaan (trust) dimana Tuhan telah menceritakan rahasia-Nya pada seseorang, bukan
dengan pengakuan kepercayaan-lemah dengan lidah, tanpa persetujuan hati dan tindakan tubuh
dalam kesesuaian dengannya; dan hal ini lebih dari pengetahuan, yang mendahului kepercayaan-
kuat, sehingga juga merupakan verifikasi dengan perbuatan berdasarkan apa yang diketahui
sebagai kebenaran.105 Kepercayaan-kuat merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran yang
meniscayakan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan kebenaran dalam kasus ini
hadir hanya karena jelas dalam dirinya sebagaimana ditangkap fakultas intuitif yang kita sebut
hati, yakni, dengan petunjuk (hudā) dan bukan hanya dengan proposisi rasional dan demonstrasi
logis. Kebenaran itu sekaligus objektif dan subjektif; dan yang objektif dan subjektif, seperti
agama dan kepercayaan-lemah, adalah aspek-aspek tak terpisahkan dari satu realitas. Agama
sejati bukanlah sesuatu yang dapat mati terhadap kebingungan yang muncul dari dikotomi
101
Lihat Al-A’rāf (7): 172.
102
Dengan ‘ketundukan sejati’ (islām, huruf pertama dalam huruf kecil) kita maksud ketundukan sadar dan sukarela
untuk keseluruhan kehidupan etis seseorang dengan cara yang ditampakkan dan ditunjukkan oleh Nabi dan nabi-nabi
yang dikirim sebelumnya.
103
Dengan ‘pengetahuan sejati’ kita memahaminya bermakna pengetahuan yang mengenali batas kebenaran di setiap
objeknya. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 134-135.
104
Pada makna agama atau dīn dalam Islām, lihat bab I di atas.
105
‘Kebenaran’ di sini bermakna apa yang datang dengan wahyu kepada Nabi tentang sifat-dasar dan realitas akan
Tuhan, tentang ciptaan-Nya, tentang tujuan manusia, tentang hubungan antara manusia dan Tuhan dan tanggung jawab
dan kebebasan individu manusia.

93 Prolegomena
objektif-subjektif dari tradisi filsafat Yunani; maupun agama sejati merupakan ‘agama humanitas’
yang personal, individual, privat, dan internal yang muncul dari proses pensekularan yang
berusaha menghilangkan pelembagaan kepercayaan-lemah agama.
Agama dalam pengertian yang kita maksudkan tidaklah dilawankan dengan desakralisasi
alam jika hal itu berarti pengenyahan dari pemahaman kita akan konsepsi magis atau mistis
tentang alam; karena alam tetap dapat dipandang sebagai perwujudan bentuk yang suci tanpa
mitos atau sihir jika memahaminya sebagai perkembangan realitas ideal dalam kesadaran Ilahi
yang akibatnya menjadi termanifestasi dalam alam indera dan pengalaman inderawi. Alam
dalam dirinya sendiri bukan entitas ilahiyah, tetapi sebuah bentuk simbolis yang
memanifestasikan yang Ilahi. Tentu saja, dalam pengertian yang telah kita bawa, semua alam, dan
bukan hanya pohon atau batu, menyatakan kesucian kepada mereka yang melihat realitas di balik
penampakan. Agama hanya dilawankan dengan desakralisasi jika hal itu berarti pemusnahan
semua makna spirtual dalam pemahaman kita tentang alam, dan pembatasan cara mengetahui
kita pada metode saintifik sebagaimana didukung filsafat sekular dan sains.106
Tuhan bukan mitos, citra, simbol, yang terus berubah seiring waktu. Dia merupakan
Realitas itu sendiri. Kepercayaan-lemah memiliki isi kognitif; dan salah satu titik utama
perbedaan antara agama sejati dan filsafat sekular dan sains adalah cara dimana sumber dan
metode pengetahuan dipahami.
Filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengatur hasil dari sains alam dan sosial
ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi tersebut pada gilirannya menentukan arah yang
akan diambil sains dalam studinya tentang alam. Interpretasi inilah tentang pernyataan dan
kesimpulan umum sains dan arah sains sejauh yang ditawarkan oleh interpretasi tersebut yang
harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka tawarkan pada kita hari ini problem
paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara umum dalam urusan agama dan
sejarah intelektual kita. Evaluasi kita harus termasuk pengujian kritis akan metode sains modern;
konsep, presuposisi, dan simbolnya; aspek empiris dan rasionalnya, dan yang menyangkut nilai
dan etika; interpretasinya tentang asal-usul; teori pengetahuannya; presuposisinya tentang
eksistensi dunia eksternal, tentang keseragaman alam, dan rasionalitas proses alamiah; teori
tentang alam semesta; klasifikasi tentang sains; batasannya dan saling-hubung satu sama lain dari
sains, dan hubungan sosialnya.
Sebuah inti sari asumsi dasar mereka ialah bahwa sains itu satu-satunya pengetahuan
otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh fenomena; bahwa pengetahuan ini, termasuk
pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas
untuk zaman tertentu dan dapat berubah pada zaman lain; bahwa pernyataan saintifik harus
mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan oleh saintis; bahwa apa yang
seharusnya diterima hanyalah teori yang dapat direduksi kepada unsur inderawi, bahkan
meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh wilayah yang melampaui
lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas seharusnya tidak dilekatkan dengan
rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang didefinisikan dengan universalitas
digambarkan sebagai realitas yang melampaui apa yang di observasi; bahwa isi pengetahuan itu
adalah kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme; bahwa tiga aspek kognisi tersebut
bersama-sama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa pengertian merupakan suatu yang
subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara struktur logis
pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logikalah yang diafirmasi; bahwa
teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur dan
proses alam, dan bahwa pada kenyataannya merupakan sebuah teori logika; sehingga karena

106
Lihat lebih jauh karya saya Islām dan Secularism, (op. cit.) bab I dan II.

94 Prolegomena
logika harus ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur
dan proses alam merupakan yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan merupakan bagian
dari kepercayaan-lemah (cth. kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual
sebagai benar atau nyata terhadap pernyataan atau proposisi apapun) yang tergantung pada
hubungan kepercayaan-lemah dengan fakta; bahwa fakta itu netral sejauh kebenaran dan
kepalsuan yang dipedulikan — mereka hanya ada.
Sains kontemporer telah berevolusi dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak
periode awalnya mengafirmasi kedatangan menjadi being dari hal-hal satu sama lain. Segala
maujud merupakan sebuah kemajuan, pengembangan atau evolusi dari apa yang terbentang
dalam kondisi laten dalam materi abadi. Dunia yang terlihat dari perspektif ini merupakan
semesta independen dan abadi; sebuah sistem swa-berada yang berkembang berdasarkan
hukumnya sendiri. Penolakan realitas dan eksistensi Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini.
Metodenya secara utama adalah rasionalisme filosofis, yang cenderung bergantung sendiri pada
rasio tanpa bantuan persepsi atau pengalaman inderawi; rasionalisme sekular, yang sementara
menerima rasio cenderung menyandarkan diri lebih pada pengalaman inderawi, dan menolak
otoritas dan intuisi dan menolak Wahyu dan agama sebagai sumber pengetahuan sejati; dan
empirisme filosofis atau empirisme logis yang mendasarkan semua pengetahuan pada fakta yang
terobservasi, konstruksi logis, dan analisa linguistik. Visi realitas tersebut sebagaimana terlihat
menurut perspektif baik bentuk rasionalisme dan empirisme itu berdasarkan atas pembatasan
realitas dunia alamiah yang dianggap sebagai satu-satunya tingkatan realitas. Pembatasan
demikian akibat reduksi kekuatan operasional dan kapasitas fakultas kognitif dan inderawi pada
lingkungan realitas fisik. Dalam sistem ini pengetahuan itu absah hanya jika menyentuh tatanan
alamiah dari peristiwa dan hubungannya; dan tujuan penelusuran tersebut adalah
menggambarkan dan menyistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek
dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan dalam pengertian datar
secara naturalistik dan rasional yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, yang
mereduksi asal dan realitasnya hanya pada kekuatan alamiah.
Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak
otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan berarti mereka
menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi mereka mereduksi otoritas dan intuisi kepada rasio
dan pengalaman. Benarlah bahwa dalam contoh awal dalam kasus baik otoritas dan intuisi, selalu
terdapat seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi hal tersebut tidak serta merta
bahwa karena ini, otoritas dan intuisi harus direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui
bahwa terdapat tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan kesadaran manusia normal yang
batasannya dikenali, tidak ada alasan menduga bahwa tidak ada tingkatan pengalaman dan
kesadaran manusia yang lebih tinggi yang melampaui batas rasio dan pengalaman normal
dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang
batasnya hanya diketahui Tuhan.
Pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog telah
mereduksi intuisi kepada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan
pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan bangunan
emosional yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi hal ini merupakan dugaan
pada bagian mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian tersebut datang
dari pengalaman inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka terhadap fakultas intuitif seperti hati,
yang tersirat dalam pendirian mereka dalam memandang intuisi, juga merupakan dugaan.
Karena manusialah yang merasa dan memahami dunia objek-objek dan peristiwa yang
eksternal baginya, maka studi akan alam termasuklah diri manusia sendiri. Tetapi studi akan

95 Prolegomena
manusia, akan pikiran, dan diri juga dibatasi dengan metode sains baru seperti psikologi, biologi,
dan antropologi, yang memandang manusia hanya sebagai pengembangan lebih lanjut dari
spesies hewan, dan yang tidak lain dari perluasan metodologis akan pembatasan rasio dan
pengalaman pada tingkatan realitas fisik. Lebih lanjut, untuk menguji hipotesa dan teori sains,
menurut mereka, dibutuhkan korespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan namun karena
hipotesis dan teori yang berlawanan satu sama lain dapat berkorespondensi dengan fakta yang
terobservasi, dan karena preferensi bagi seseorang terhadap yang lain dari mereka tidak didikte
kriteria apapun dari kebenaran objektif — sebab kebenaran itu sendiri dibuat untuk
menyesuaikan dengan fakta — maka preferensi tersebut didikte hanya oleh pertimbangan
subjektif dan abitrer tergantung konvensi. Ketergantungan atas konvensi ini telah menciptakan
kecenderungan untuk membuat masyarakat, daripada manusia individu, sebagai sesuatu yang
mendasar, sejati, dan otoritatif. Konvensionalisme mereduksi semua bentuk institusional sebagai
ciptaan oleh yang disebut ‘pikiran kolektif’ dari masyarakat. Pengetahuan itu sendiri, dan bahkan
bahasa manusia, tidak lain dari ungkapan dan alat pikiran kolektif dewa yang tidak dapat
berbicara ini yang disebut Masyarakat.
Akhirnya, keraguan diangkat sebagai sebuah metode epistemologis yang dengannya
rasionalis dan sekularis percaya bahwa kebenaran dapat hadir. Tetapi tidak ada bukti bahwa
keraguanlah dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang membuat seseorang tiba pada
kebenaran. kehadiran pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil petunjuk, bukan keraguan.
Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa condong pada salah
satunya; keraguan adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan tanpa hati
cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan tidak
menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, hal tersebut merupakan dugaan;
jika hati menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan
hati terhadap yang lain merupakan sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada
kebenaran, tetapi pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuannya. Hal ini merupakan
petunjuk. Keraguan, apakah itu pasti atau sementara, mengarah kepada dugaan atau pada posisi
lain akan ketidakpastian, tidak pernah pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap
kebenaran” (Qur’ān 10: 36).
Berdasarkan atas posisi yang dibangun oleh tradisi filosofis dan saintifik sebagaimana
terintegrasi ke dalam sistem metafisika yang koheren, kita memertahankan bahwa banyak
kesamaan penting yang ditemukan antara posisi kita dan filsafat modern dan sains kontemporer
dalam memandang sumber dan metode pengetahuan; kesatuan cara mengetahui yang rasional
dan empiris; kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif sebuah
filsafat sains; filsafat dan sains akan proses. Tetapi kesamaan tersebut hanya nampak dan
menyentuh aspek ektsernal, dan tidak menegasikan perbedaan mendalam yang muncul dari
pandangan-dunia dan kepercayaan-lemah kita yang berlainan tentang sifat-dasar mendasar
Realitas. Afirmasi kita terhadap Wahyu sebagai sumber pengetahuan akan realitas pokok dan
kebenaran menyentuh baik pada hal-hal ciptaan maupun kepada Pencipta mereka yang
menyediakan kita fondasi karangka-metafisis untuk mengelaborasi filsafat sains kita sebagai
sistem integratif yang mendeskripsikan realitas dan kebenaran dalam cara yang tidak terbuka
pada metode rasionalisme filsafat sekular dan empirisme filosofis filsafat dan sains modern.
Bertentangan dengan filsafat modern dan sains dalam memandang sumber dan metode
pengetahuan, kita mempertahankan bahwa pengetahuan itu datang dari Tuhan dan diperoleh
dari saluran akan berita yang benar berdasarkan otoritas, rasio sehat, dan intuisi. Makna yang
mendasari ungkapan ‘rasio sehat’ (sound senses) menunjuk pada persepsi dan observasi, dan hal
tersebut tersusun dari panca indera internal dari peraba, penciuman, pengecap, penglihatan dan

96 Prolegomena
pendengaran yang menampilkan fungsi persepsi dari hal-hal partikular dalam dunia eksternal.
Berhubungan dengan hal tersebut terdapat lima panca indera internal yang menerima secara
internal akan citra inderawi dan makna mereka, mengombinasi atau memisahkan mereka,
memahami gagasan mereka, menjaga pemahaman yang telah dipahami, dan menampilkan
inteleksi (intellection) terhadap mereka. Panca indera internal tersebut adalah indera umum,
representasi, estimasi, retensi dan rekoleksi, dan imajinasi. Dalam tindakan memersepsi, penerima
menerima bentuk objek eksternal, cth. sebuah representasi realitas ektsernal, dan bukan realitas itu
sendiri. Apa yang diterima indera bukanlah realitas eksternal seperti yang ada pada dirinya
sendiri, tetapi yang serupa dengannya sebagaimana direpresentasikan dalam indera. Realitas
eksternal merupakan sumber dimana indera mengabstraksi bentuknya. Sama halnya dalam hal
makna dan pengertian merupakan representasi realitas yang tercetak pada jiwa, sebab intelek
sudah mengabstraksi mereka dari tambahan aksidental yang asing pada sifat-dasar mereka,
seperti kuantitas, kualitas, ruang dan posisi. Perbedaan antara bentuk dan makna dari objek
inderawi adalah bahwa bentuk merupakan apa yang diterima pertama kali oleh indera eksternal,
dan kemudian oleh indera internal; makna adalah apa yang indera internal terima dari objek
inderawi tanpa sebelumnya diterima oleh indera eksternal.
Dalam hal ‘rasio sehat’ (sound reason), kita memahami rasio tidak hanya dalam pengertian
yang dibatasi kepada unsur inderawi; pada fakultas mental yang menyistematisasi dan
menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan logis, atau yang membuat pengertian
dan mampu diatur bagi pemahaman akan data pengalaman inderawi, atau yang menampilkan
abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan mengatur mereka dalam sebuah
operasi pemberian-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam dapat terpahami. Tentu saja,
pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih lanjut bahwa hal tersebut merupakan
salah satu aspek intelek dan berfungsi dalam kesesuaian dengannya, bukan berlawanan
dengannya; dan intelek merupakan substansi spiritual yang inheren dalam organ spiritual dari
kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini dan lewat
perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi.
Dengan cara yang sama bahwa kita tidak membatasi rasio kepada unsur sensasi, kita juga
tidak membatasi intuisi kepada pengertian langsung dan segera, oleh subjek yang mengetahui,
terhadap dirinya, terhadap kondisi sadarnya, terhadap orang lain seperti dirinya sendiri, terhadap
dunia eksternal, terhadap alam semesta, terhadap nilai atau kebenaran rasional. Kita memahami
intuisi juga sebuah pengertian langsung dan segera terhadap kebenaran keagamaan, terhadap
realitas dan eksistensi Tuhan, terhadap realitas eksistensi sebagaimana dilawankan dengan esensi
— tentu saja, pada tingkatan intusi yang lebih tinggi merupakan intuisi akan eksistensi itu sendiri.
Dengan referensi pada intuisi di tingkatan kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak begitu saja
datang kepada setiap orang, tetapi kepada seseorang yang telah menghidupi kehidupan dalam
pengalaman kebenaran keagamaan dengan praktek ketaatan yang tulus kepada Tuhan, yang telah
dengan pencapaian intelektual memahami sifat-dasar keesaan Tuhan dan apa yang tersirat dari
keesaan tersebut dalam sebuah sistem metafisika yang integratif, yang telah secara berkelanjutan
merenungkan sifat-dasar realitas ini, dan dia yang kemudian, melalui perenungan mendalam dan
dengan kehendak Tuhan, dibuat melewati kesadaran dirinya dan kondisi subjektifnya dan
memasuki kondisi kedirian yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Ketika dia kembali kepada
kondisi subjektif kemanusiaannya, dia kehilangan apa yang telah ditemukan, tetapi pengetahuan
tentang itu tetap bersamanya. Hal tersebut ada dalam durasi keberadaan dalam Tuhan, dimana
ketika dia memperoleh kedirian yang lebih tinggi, berlangsunglah pengertian langsung dan
segera itu. Dia telah diberikan pandangan sekilas sifat-dasar realitas dalam durasi tersebut yang

97 Prolegomena
bersamaan dengan Kebenaran. Dalam kasusnya isi kognitif dari intuisinya akan eksistensi
mengungkapkan kepadanya sistem integratif akan realitas sebagai sebuah keseluruhan.
Dalam memandang intuisi, dan pada tingkatan normal kesadaran manusia, tingkatan
yang lebih tinggi yang dicapai orang-orang besar dari sains dan para pembelajar, pada saat
penemuan yang menentukan akan hukum dan prinsip yang mengatur dunia alam, merupakan
tingkatan yang sepadan dengan latihan, disiplin, dan pengembangan kekuatan mereka akan
penalaran dan kapasitas eksperensial, dan dengan problem khusus yang menghadang mereka
ketika rasio dan pengalaman mereka tidak mampu memberikan makna yang koheren. Tibanya
pada makna tersebut adalah melalui intuisi, karena intuisilah yang menyintesis apa yang masing-
masing rasio dan pengalaman lihat secara terpisah tanpa mampu mengombinasikannya ke dalam
keseluruhan yang koheren. Intuisi datang kepada seorang manusia ketika dia telah siap untuk itu;
ketika rasio dan pengalamannya dilatih dan didisiplinkan untuk menerima dan
menginterpretasikannya. Tetapi sementara tingkatan intuisi yang padanya metode empiris dan
rasional mungkin hanya menunjuk pada aspek khusus sifat-dasar realitas, dan bukan keseluruhan
darinya, dimana tingkatan intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesadaran manusia yang
dicapai nabi-nabi dan orang-orang suci memperoleh pandangan-mendalam langsung ke dalam
sifat-dasar realitas sebagai sebuah keseluruhan. Nabi dan orang suci juga membutuhkan persiapan
untuk menerima dan mampu menginterpretasikannya; dan persiapan mereka tidak hanya terdiri
dari latihan, disiplin, dan pengembangan kemampuan menalar dan kapasitas pengalaman
inderawi, tetapi juga latihan, disiplin, dan pengembangan diri dalaman (inner) mereka dan
fakultas-fakultas diri yang berhubungan dengan pengertian akan kebenaran-realitas (truth-reality).
Pada berita yang benar sebagai saluran yang melaluinya pengetahuan itu diperoleh,
terdapat dua jenis: yang dalam rangkaian dan berkelanjutan dibangun oleh ucapan orang-orang
yang rasionya tidak dapat menerima bahwa mereka memiliki tujuan bersama dalam kebohongan;
dan apa yang dibawa oleh Utusan Tuhan. Otoritas yang diinvestasikan dengan kesepakatan
umum dalam jenis pertama dari berita yang benar, yang termasuk di dalamnya para sarjana,
saintis, dan orang-orang akan pengetahuan secara umum, dapat dipertanyakan dengan metode
rasio dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua akan berita yang benar, yang juga diafirmasi
oleh penerimaan umum, adalah absolut. Otoritas itu berpijak secara mendasar atas pengalaman
intuitif, yang dengannya kita memaksudkan baik dalam tatanan indera dan realitas inderawi, dan
dalam tatanan realitas transendental, seperti intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi.
Bertentangan dengan posisi sains modern dan filsafat dalam memandang sumber dan
metode pengetahuan, kita mempertahankan bahwa sama halnya terdapat tingkatan akan rasio
dan pengalaman, begitu juga tingkatan otoritas dan intuisi. Terlepas dari otoritas orang-orang
sains dan pembelajar secara umum, tingkatan tertinggi otoritas dalam pandangan kita adalah
Qur’ān Suci dan Tradisi termasuk diri yang suci akan Nabi Suci. Mereka menampilkan otoritas
tidak hanya dalam pengertian bahwa mereka mengomunikasikan kebenaran, tetapi dalam
pengertian mereka menyusun kebenaran. Mereka menampilkan otoritas yang dibangun di atas
tingkatan yang lebih tinggi dari kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental
yang tidak dapat secara sederhana direduksi kepada tingkatan rasio dan pengalaman normal.
Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai
oleh istilah nātiq, yang menunjuk kepada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna
universal dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan,
diskriminasi, dan klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (nātiq)
dan ‘memiliki kekuatan merumuskan makna’ (dhū nutq) diturunkan dari akar sama yang
mengandung makna dasar ‘kemampuan berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, sehingga
keduanya menandakan kekuatan dan kapasitas tertentu yang merupakan bawaan pada manusia

98 Prolegomena
untuk mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbolis dalam pola yang bermakna. Dari akar
yang sama (nutq) juga diturunkan nama sains diskursus yang diketahui sebagai al-mantiq (cth.
logika), yang dibangun untuk konstruksi argumentasi, rumusan akan metode bantahan,
penemuan kesalahan, teori klasifikasi dan definisi, gagasan dasar akan silogisme, konsepsi akan
bukti dan demonstrasi, garis besar dari sebuah metode intelektual dalam pengejaran kebenaran.
Manusia adalah, sebagaimana disebutkan, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan yang berbicara’
(al-hayawān al-nātiq); dan artikulasi simbol linguistik menjadi pola bermakna tidak lain dari
ungkapan bagian ke-luar (outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian ke-dalam (inward)
dan tidak terlihat yang kita sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar menandakan jenis
‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan sadar yang mengikat
dan memegang objek pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan ‘aql menunjukkan
realitas yang sama yang ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (rūh), dan ‘diri’ (nafs). Entitas atau
realitas aktif dan sadar ini memiliki banyak nama sebagaimana yang diidentifikasi oleh empat
istilah di atas karena memiliki banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan
eksistensi. Maka, intelek adalah substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali
kebenaran dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Intelek merupakan realitas yang
mendasari definisi manusia, dan ditunjukkan oleh setiap orang ketika dia berkata “Aku”.
Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita memaksudkan
dengan rasional sebagai kapasitas kecerdasan untuk menangkap makna universal, kekuatan
ungkapan linguistik, kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna — yang
melibatkan tindakan putusan, diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi bentuk
simbol dalam pola yang bermakna — makna akan ‘makna’ (ma’nā) adalah pengenalan akan
tempat segala hal dalam sistem. Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain
dalam sistem tersebut menjadi jelas dan dipahami. Hubungan tersebut menggambarkan tatanan
tertentu dalam pengertian prioritas dan posterioritas maupun dalam pengertian ruang dan posisi.
Makna merupakan sebuah bentuk intelijibel (intelligible) yang padanya sebuah kata, sebuah
ungkapan, atau simbol digunakan untuk menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol
tersebut menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) makna disebut pemahaman (mafhūm). Sebagai
sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam jawaban terhadap pertanyaan “apakah itu?”
makna disebut ‘esensi’ (māhiyyah). Dipertimbangkan sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran,
atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqīqah). Dilihat sebagai realitas khusus yang
berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individual’ (huwiyyah).
Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari makna, adalah pengenalan
tempat segala hal dalam sistem, yang muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam
sistem menjadi jelas dan dipahami.107
Kita katakan bahwa hubungan tersebut menggambarkan tatanan tertentu. Jika segala hal
dalam sistem apapun terdapat dalam tempat yang sama, maka tidak akan ada pengenalan, tidak
akan ada makna karena tidak ada kriteria relasional bagi putusan, diskriminasi, pembedaan, dan
kejelasan. Tentu saja, tidak akan ada sistem. Karena untuk memungkinkan pengenalan harus ada
perbedaan spesifik dalam hal-hal, harus ada hubungan esensial antar hal-hal dan, lebih lanjut, hal
tersebut harus tetap sedemikian; karena jika perbedaan dan hubungan tersebut tidak tetap tetapi
dalam kondisi perubahan terus-menerus secara spesifik dan esensial, maka pengenalan terhadap
hal-hal akan menjadi mustahil dan makna akan hilang.
Dengan demikian dalam hal ini kita lihat bahwa hubungan intrinsik antara makna dan
pengetahuan telah menjadi jelas, bahwa pengetahuan terdiri dari unit-unit makna yang secara
koheren terhubung dengan unit lain yang serupa sehingga membentuk gagasan, ide, konsep,

107
Lihat karya saya The Concept of Education in Islām, (op.cit); hlm. 15.

99 Prolegomena
konsepsi, dan putusan. Pemikiran (al-fikr) adalah pergerakan jiwa menuju makna, dan hal ini
membutuhkan imajinasi (al-khayāl). Intuisi, yakni, baik dalam pengertian kebijaksanaan (al-hads),
atau dalam pengertian pengalaman iluminatif (al-wijdān), adalah tibanya jiwa pada makna, atau
tibanya makna pada jiwa, baik dengan penerimaan melalui bukti seperti dalam kasus
sebelumnya, atau datang dengan sendirinya seperti dalam kasus yang kemudian.
Definisi manusia sebagai hewan rasional merupakan sebuah definisi yang meletakkan
sebuah batas yang tepat dan singkat (hadd) yang menspesifikasi karakter yang terpilah dari apa
yang didefinisikan sebagai manusia. Jenis definisi yang sama tidak dapat diperoleh untuk
pengetahuan sebab pengetahuan secara alamiah menentang jenis pembatasan yang
mendefinisikan kategori-kategori di dalam pembagian genus dan perbedaan spesifik.
Pengetahuan merupakan sesuatu yang tak terbatas dan definisinya hanya dapat menyentuh
deskripsi sifat-dasarnya (rasm). Kita sudah mendefinisikannya sedemikian rupa sebagai terdiri
dari unit-unit makna yang secara koheren terhubung pada unit lain yang serupa yang
membentuk ide, konsep, konsepsi, dan putusan. Karena kita telah mendefinisikan makna sebagai
pengenalan akan tempat segala hal dalam sistem, kita kini menambahkan bahwa dengan ‘tempat’
kita menunjuk kepada ‘tempat yang tepat’ dalam pelbagai tingkatan eksistensi manusia.
Eksistensi manusia dapat dipertimbangkan memiliki perbedaan tingkatan yang berhubungan
dengan pelbagai lingkungan operasi dari indera eksternal dan internal. Hal tersebut merupakan
eksistensi sejati (haqīqī), yang merupakan eksistensi pada tingkatan realitas objektif seperti dunia
eksternal; eksistensi inderawi (hissi), yang terkurung pada fakultas indera dan pengalaman
inderawi termasuk mimpi, visi, ilusi; eksistensi imajiner (khayāli), yang merupakan eksistensi
objek-objek eksistensi inderawi dalam imajinasi ketika mereka absen dari persepsi manusia;
eksistensi intelektual (‘aqlī), yang terdiri dari konsep abstrak dalam pikiran manusia; eksistensi
analogis (shibhī), yang disusun oleh hal-hal yang tidak ada dalam tingkatan manapun seperti di
atas, tetapi yang ada sebagai sesuatu yang lain menyerupai hal tersebut pada sisi tertentu, atau
analogis dengan mereka. Tingkatan ini dapat juga dipertimbangkan berhubungan dengan
lingkungan operasi dari fakultas diskursif dan kogitatif (fikri) dari jiwa. Pada setiap tingkatan
tersebut persepsi manusia akan objek persepsinya tidaklah sama. Dalam tambahan pada
tingkatan tersebut kita mengafirmasi eksistensi tingkatan lain daripada kebenaran rasional;
sebuah tingkatan eksistensi suprarasional atau transendental yang dialami oleh para nabi dan
wali Tuhan dan orang-orang berpandangan tajam yang secara mendalam berakar dalam
pengetahuan. Level yang terakhir ini merupakan tingkatan eksistensi suci, dimana hal-hal
ditangkap sebagaimana adanya. Maka, konsep ‘tempat yang tepat’, menyentuh pada semua
tingkatan dari eksistensi manusia tersebut, yang meliputi wilayah ontologis, kosmologis, dan
psikologis, dan termasuk manusia sendiri dan dunia hal-hal empiris sebagaimana juga aspek
keagamaan dan etis dari eksistensi manusia. Tempat yang ‘tepat’ berarti tempat ‘sejati’ dan ‘benar’
sebagaimana ditunjuk istilah haqq. Haqq menandakan baik realitas dan kebenaran. Sebagai realitas
haqq itu menunjuk sebuah kondisi ontologis; sebagai kebenaran hal itu menunjuk pada kondisi
logis; dan haqq menunjuk sebuah putusan atau hukm yang menyesuaikan dengan realitas atau
situasi sesungguhnya.
Salah satu perbedaan mendasar antara posisi kita dan filsafat dan sains modern
menyangkut pada problem perumusan filsafat sains seputar pemahaman makna realitas dan
kebenaran dan hubungannya dengan fakta. Pemahaman terhadap apa yang ditunjuk istilah tersebut
memiliki ketegasan mendalam pada pemahaman makna pengetahuan dan proses metodologis
dan nilai, dan secara mendasar pada pemahaman sifat-dasar manusia itu sendiri.
Kita menggunakan satu kata untuk memaksudkan secara umum baik realitas dan
kebenaran, dan fakta ini pada dirinya merupakan sesuatu yang penting dalam mengandung

100 Prolegomena
pemahaman kita akan makna kebenaran bukan hanya sebagai bagian dari pernyataan,
kepercayaan-lemah dan putusan, tetapi juga sebagai sebuah bagian dari sifat-dasar realitas. Kata
haqq digunakan baik untuk realitas dan kebenaran. Lawannya adalah bātil, bermakna non-realitas
atau kepalsuan. Haqq bermakna kecocokan terhadap kebutuhan akan kebijaksanaan, keadilan,
kebetulan (rightness), kebenaran, realitas, kesopanan. Haqq merupakan sebuah kondisi, kualitas
atau bagian dari menjadi bijaksana, adil, betul, benar, sejati, tepat; haqq merupakan kondisi
niscaya, tidak terhindarkan, wajib, hak; haqq merupakan kondisi eksistensi dan meliputi segala
hal. Terdapat kata lain, sidq, yang bermakna kebenaran, yang lawannya adalah kidhb yang
bermakna tidak benar atau dusta, yang ditujukan hanya tentang kebenaran yang menyentuh
pernyataan atau ucapan kata-kata; sedangkan kata haqq tidak hanya menunjuk pada pernyataan,
tetapi juga pada tindakan, perasaan, kepercayaan-lemah, putusan, dan hal-hal dan peristiwa
dalam eksistensi. Hal-hal dan peristiwa tersebut yang ditunjuk haqq menyentuh tidak hanya
kondisi mereka yang sekarang, tetapi juga pada masa lalu mereka maupun kondisi masa depan.
Menyentuh pada kondisi masa depan haqq bermakna verifikasi, realisasi, aktualisasi. Tentu saja,
makna haqq yang dipahami meliputi realitas dan kebenaran yang menyentuh kondisi eksistensi
adalah berkaitan dengan fakta bahwa haqq adalah salah satu dari nama-nama Tuhan yang
menggambarkan diri-Nya sebagai eksistensi absolut yang merupakan realitas eksistensi dan
bukan konsep eksistensi.
Bagi kebanyakan orang, sifat-dasar eksistensi dan hubungannya untuk memisahkan
realitas yang beragam namun serupa yang kita sebut ‘hal’ adalah eksistensi yang merupakan
konsep umum, konsep abstrak yang umum bagi semua eksistensi, yakni, bagi setiap hal dan pada
apapun tanpa kecuali. Pikiran, ketika memandang realitas eksternal yang kita sebut ‘hal’, dapat
mengabstraksikan mereka pertama kali dari eksistensi dan kemudian memberi predikat eksistensi
pada mereka. Oleh karena itu pikiran menghubungkan pada suatu hal yang dipertimbangkan
sebagai bagian dari eksistensi. Maka eksistensi dipandang sebagai sesuatu yang ditambahkan,
aksidental, dan berada dalam hal-hal. Dalam proses mental ini, konsep yang tunggal, umum,
abstrak menjadi majemuk dan secara rasional dibagi menjadi bagian-bagian yang berhubungan
dengan hal-hal. Eksistensi hal-hal merupakan bagian-bagian tersebut, dan bagian-bagian tersebut,
bersama dengan konsep umum dan abstrak dari eksistensi, merupakan sesuatu yang eksternal
bagi ‘esensi’ hal-hal dan hanya secara mental ditambahkan kepada mereka. Menurut perspektif
ini, eksistensi merupakan sesuatu yang murni konseptual, sedangkan esensi adalah sesuatu yang
nyata; esensi-esensi merupakan realitas yang diaktualisasikan secara ekstramental. Tetapi kita
katakan lebih lanjut dalam tambahan pada konsep eksistensi tersebut bahwa terdapat entitas lain
yang merupakan realitas akan eksistensi, yang dengannya eksistensi sebagai konsep murni
menjadi bagian yang alamiah dalam pikiran sebagai salah satu akibatnya. Eksistensi sebagai
realitas, tidak seperti bagian konseptualnya, bukanlah sesuatu yang statis; eksistensi secara terus
menerus melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan dinamis akan swa-pengungkapan
ontologis, yang mengartikulasikan kemungkinan dalamannya (inner) yang tidak terbatas dalam
gradasi dari kurang menentukan hingga semakin menentukan sampai eksistensi muncul pada
tingkatan bentuk konkret, seperti eksistensi partikular yang kita pandang sebagai ‘hal-hal’ yang
banyak dan beranekaragam yang memiliki ‘esensi’ individual terpisah yang tidak lain merupakan
modus dan aspek dari realitas eksistensi. Dari perspektif ini, esensi hal-hal tidak lain dari sebuah
entitas yang hanya dalam konsep, sedangkan eksistensi hal-hal merupakan sesuatu yang nyata.
Tentu saja, esensi sejati dan benar dari hal-hal adalah eksistensi sebagaimana diindividuasikan ke
dalam modus partikular. Realitas eksistensi inilah yang telah kita identifikasi di atas sebagai
meliputi-semua Realitas atau Kebenaran (al-haqq), dengan mana Tuhan sebagai yang absolut
disebut dalam semua bentuk manifestasi tersebut.

101 Prolegomena
Karena filsafat modern dan sains telah kemudian menyadari sifat-dasar mendasar
fenomena adalah proses, nama-nama deskriptif yang telah digunakan para filsuf dan saintis
untuk menghubungkan dengan proses harus juga merefleksikan dinamisme yang terlibat dalam
inti gagasan proses. Mereka telah menggunakan nama seperti ‘kehidupan’ atau ‘impuls vital’,
atau ‘energi’, menyiratkan pergerakan, perubahan, proses-menjadi (becoming) yang merupakan
hasil dari peristiwa dalam ruang-waktu. Pemilihan nama-nama tersebut sebagai deskripsi
manifestasi realitas sebagai proses oleh mereka merupakan sebuah tanda bahwa mereka
mempertimbangkan eksistensi, tidak seperti kehidupan, impuls vital, atau energi, yang hanya
sebagai sebuah konsep; dan hanya sebagai konsep eksistensi tentu sesuatu yang statis, yang
secara jelas mendiskualifikasinya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan proses. Dalam
pengertian ini, rumusan mereka terhadap filsafat sains, dalam kontradiksi dengan posisi mereka
bahwa realitas yang mendasari fenomena adalah proses, tetap berputar di dalam lingkungan
sebuah pandangan-dunia esensialistik, sebuah pandangan-dunia yang asyik dengan ‘hal’ sebagai
‘esensi’ independen dan berada, dan terhadap peristiwa, hubungan, dan konsep yang menyentuh
pada hal-hal tersebut, yang membuat hal-hal tersebut menunjuk pada diri mereka sebagai realitas
tunggal, dan bukan pada Realitas lain yang di luar mereka baik memasukkan sebagaimana juga
mengecualikan mereka. Posisi kita adalah bahwa apa yang sungguh-sungguh sebagai deskripsi
sifat-dasar mendasar fenomena sebagai proses adalah ‘eksistensi’ sebab hanya eksistensi, baik
dipahami sebagai konsep sebagaimana juga realitas, adalah entitas paling dasar dan universal
yang kita ketahui. Benarlah bahwa eksistensi yang dipahami sebagai konsep merupakan sessuatu
yang statis dan tidak berhubungan dengan proses. Tetapi kita mempertahankan bahwa eksistensi
bukanlah hanya sebuah konsep tapi juga sebuah realitas: eksistensi bukan hanya postulat dalam
pikiran, tetapi juga entitas nyata dan aktual yang independen dari pikiran. Eksistensi merupakan
sesuatu yang bersifat dinamis, aktif, kreatif, dan mengandung banyak kemungkinan yang tak
terbatas akan swa-pengungkapan ontologis; eksistensi merupakan sebuah aspek dari Tuhan yang
muncul dari sifat-dasar intrinsik dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan oleh karena itu
merupakan sebuah entitas ‘sadar’ yang bertindak berdasarkan cara Tuhan biasa bertindak (sunnat
Allāh). “Hukum alam” yang biasa disebut pada kenyataannya merupakan kebiasaan Tuhan dalam
bertindak, dan dipahami seperti demikian, “hukum” tersebut tidak lagi terlihat secara ketat
karena kini terbuka pada kemungkinan yang tak terbatas. Maka eksistensi merupakan bahan
pokok dan mendasar dari realitas, sedangkan kehidupan, impuls vital, atau energi dan istilah lain
yang serupa yang digunakan oleh para filsuf dan saintis untuk menggambarkan entitas mendasar
tersebut, yang merupakan realitas yang mendasari sifat-dasar hal-hal, semuanya itu sekunder
terhadap eksistensi karena mereka semua adalah seperti bagian-bagian atau sifat-sifat dari
eksistensi.
Ketika kita katakan bahwa haqq menunjuk baik apa yang nyata dan yang benar, kita
mengatakan bahwa haqq memiliki sebuah aspek menyentuh pada yang nyata dan aspek yang
menyentuh pada yang benar dalam pengertian bahwa yang nyata menunjuk pada yang ontologis
dan yang benar pada tatanan logis dari eksistensi. Haqq yang bermakna ‘nyata’ ditujukan pada
realitas eksistensi maupun sebagai modus-modus dan aspek-aspeknya yang kita pahami sebagai
‘peristiwa’ dan ‘proses’; yang bermakna ‘benar’, haqq menunjuk pada putusan menyesuaikan
dengan realitas eksternal yang muncul sebagai ‘hal-hal’ dari peristiwa atau proses. Penyesuaian
ini melibatkan korespondensi dan koherensi tertentu antara tindakan intelektual akan putusan
dan realitas eksternal yang sedang diterima. Seperti kita katakan sebelumnya dalam hubungan
dengan persepsi, realitas yang menyusun dunia eksternal tidak secara langsung atau segera
diberikan dalam pengalaman, tetapi merupakan abstraksi terhadap mereka dalam pelbagai
derajat yang ditampilkan oleh indera eksternal dan internal, dan diubah menjadi pengetahuan

102 Prolegomena
tentang dunia eksternal dengan konstruksi intelektual. Maka pengetahuan konseptual kita
berhubungan dengan informasi yang dikandung kesadaran atau jiwa kita oleh indera-indera; dan
konsepsi kita akan realitas-realitas eksternal ada dalam hubungan koherensi dalam sebuah sistem
hubungan konseptual yang sudah dicetak pada jiwa yang membawa pada kita visi akan sifat-
dasar Realitas. Posisi kita adalah bahwa korespondensi dan koherensi akan sifat-dasar kebenaran
harus memenuhi kondisi bersamaan dengan keperluan akan kebijaksanaan dan keadilan.
Kebijaksanaan adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan yang membuat penerimanya
mengetahui tempat yang tepat, atau membuat putusan yang tepat terhadap tempat yang tepat
dari hal atau objek pengetahuan. Keadilan adalah kondisi ketika hal atau objek pengetahuan ada
di tempat mereka yang tepat. Dengan demikian untuk hal tersebut menjadi benar, korespondensi
dan koherensi harus bersamaan dengan tempat yang tepat. Gagasan tempat yang benar atau tepat
melibatkan keniscayaan bagi setiap hal dalam tatanan ciptaan untuk ada dalam kondisi tersebut
— yakni, disebarkan dalam tatanan tertentu dalam pengertian prioritas dan posterioritas maupun
dalam pengertian ruang dan posisi dan diatur berdasarkan pelbagai tingkatan dan derajat. Secara
ontologis, hal-hal ciptaan sudah diatur, tetapi manusia, karena kebodohan terhadap tatanan yang
adil meliputi semua ciptaan, membuat perubahan dan kebingungan akan tempat hal-hal sehingga
muncul ketidakadilan. Ketidakadilan adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya yang
tepat; ketidakadilan merupakan kondisi tidak mencukupi atau melampaui batas tempat yang
tepat sehingga tatanan umum hal-hal menjadi tidak harmonis. Tentu saja, inti makna ‘tepat’ juga
termasuk dalam haqq, karena juga menunjuk pada yang dimiliki seseorang; haqq merupakan
bagian yang tepat atau spesifik yang sesuai dengan sifat-dasar atau susunan esensial seseorang,
bagi diri sendiri; haqq merupakan sesuatu yang inheren, sebuah bagian, dan sifat esensial. Maka
tempat dari seorang, hal, dan objek pengetahuan tidak hanya menunjuk pada lokasi atau ruang
spesifik yang ditempati oleh orang, hal, objek pengetahuan; haqq juga merupakan posisi alamiah,
posisi yang sesuai pada alam, baik dalam dunia eksternal maupun dalam imajinasi dan pikiran,
akan orang tersebut, hal, objek pengetahuan. Oleh karena itu kita tidak setuju, bahwa
pengetahuan hanya menyentuh fenomena; bahwa kebenaran hanya sifat dari pernyataan atau
kalimat deklaratif, atau kepercayaan-lemah dan putusan darimana pernyataan tersebut
diturunkan dan yang tergantung dengan hubungan akan kepercayaan-lemah atau putusan
tersebut pada beberapa fakta; bahwa fakta itu netral dalam hubungan dengan kebenaran dan
kepalsuan. Kita mempertahankan bahwa kebenaran juga merupakan bagian dari sifat-dasar hal-
hal sejauh mereka sesuai dengan kecocokan pada keperluan akan kebijaksanaan dan keadilan,
yakni, pada keperluan kondisi dalam tempat mereka yang benar dan tepat. Dan ini tidak
bermakna bahwa kebenaran itu hanya sebuah hubungan pernyataan atau putusan kepada fakta,
yang akan membuat fakta menjadi sepadan dengan kebenaran. Meskipun sebuah kalimat dapat
benar jika ditujukan kepada fakta, keberadaan fakta itu sendiri tidak serta merta membuat fakta
menjadi sebuah kebenaran. Kebenaran tidak sekedar kesesuaian dengan fakta sebab fakta dapat
diciptakan manusia dan dengan demikian tidak berada di tempatnya yang tepat, yang bermakna
bahwa fakta dapat salah. Kenyataan bahwa fakta dapat diciptakan manusia mengonfirmasikan
kebenaran penolakan kita akan kenetralan fakta dalam hubungan dengan kebenaran dan
kepalsuan, karena inti eksistensi fakta itu sendiri tergantung pada nilai yang berada pada
pandangan-dunia partikular dari pencipta mereka. Maka kebenaran yang melibatkan sebuah
hubungan dan koherensi tertentu tidak kita maksudkan sekedar sebuah hubungan pemikiran,
gagasan, atau kepercayaan-lemah dengan fakta, kecuali fakta tersebut dalam tempatnya yang
tepat, yakni, kecuali fakta itu sesuai di dalam sistem integratif akan kebenaran yang saling-
berhubungan sebagaimana dimengerti jiwa. Tempat yang tepat dari manusia, contohnya, adalah
bahwa dia harus dipertimbangkan baik sebagai entitas spiritual dan fisik; bahwa dia merupakan

103 Prolegomena
makhluk hidup yang memiliki fakultas dalaman akan pengetahuan yang menangkap makna dari
universal; yang memiliki kekuatan dan kapasitas mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbol
dalam pola yang bermakna; dia merupakan ruh, jiwa, hati dan intelek yang termanifestasi dalam
bentuk jasmani, dan ruh, jiwa, hati dan inteleknya menunjuk pada realitas yang satu dan sama
yang dinamakan dengan banyak nama karena modusnya yang banyak dalam hubungan dengan
pelbagai tingkatan eksistensi yang meliputi wilayah spiritual dan fisik. Realitas dan kebenarannya
(haqq) berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Tetapi jika kita telah tersekularisasi sepenuhnya, jika
kita mempertimbangkan hanya sebagai sesuatu yang fisik, seekor hewan yang berbeda dari
hewan yang lain hanya dalam derajat dan bukan dalam jenis, maka dia tidak akan pada
kenyataannya dipertimbangkan pada tempatnya yang tepat. Dan proposisi saintifik tertentu yang
menyentuh padanya yang dengan demikian dipertimbangkan, seperti yang muncul dari
pernyataan dan kesimpulan umum dari rekayasa genetik, contohnya, meskipun didukung
dengan bukti empiris, namun salah sebab mereka melayani premis-premis yang berdasarkan
interpretasi yang salah terhadap sifat-dasar manusia, yang pada gilirannya tergantung pada
sistem salah yang diakui untuk mendukung menggambarkan tatanan yang benar dari realitas.
Untuk makna haqq sebagai realitas, istilah tepat yang digunakan untuk menunjuk realitas
adalah haqīqah, yang diturunkan dari haqq. Pemilahan antara haqq dan haqīqah adalah bahwa yang
terdahulu menunjuk kepada kondisi, tatanan, atau sistem ontologis sebagaimana diketahui
dengan jalan intuisi; sedangkan yang kemudian menunjuk pada struktur ontologis, pada inti sifat-
dasarnya, makhluk atau diri suatu hal. Haqīqah atau realitas adalah yang dengannya suatu hal
adalah hal tersebut apa adanya (by which a thing is what it is). Kini bahwa yang dengannya suatu hal
adalah hal tersebut apa adanya memiliki aspek ganda; di satu pihak karena segala sesuatu
merupakan bagian dari realitas, maka realitas merupakan sesuatu yang umum pada segala sesuatu.
Sesuatu yang umum pada segala sesuatu ini adalah eksistensi. Dengan demikian salah satu dari
aspek ganda dari yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya adalah
‘sebagai/menjadi maujud’ dari hal tersebut. Aspek lain yang dengannya suatu hal adalah hal
tersebut apa adanya adalah ‘sebagai/menjadi-terpilah’nya dari yang lain. ‘Menjadi-maujud’
adalah umum bagi semua maujud dalam pelbagai tingkatan eksistensi, dan meskipun eksistensi
merupakan bahan dari realitas, bukanlah, berbicara secara ketat, keumuman yang membuat suatu
hal menjadi hal tersebut apa adanya; melainkan adalah ‘sebagai/menjadi-terpilah’ dari yang lain
yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut apa adanya, karena hanya dengan sebab
keterpilahan realitas-realitas tersebut telah datang ke dalam eksistensi. Oleh karena itu sifat-dasar
mendasar dari realitas adalah perbedaan.
Eksistensi (wujūd, dari wujida bentuk pasif dari wajada) menunjuk sesuatu yang ditemukan,
disibak, diterima, diketahui, diinderai — dengan indera eksternal dan internal atau intelek, atau
hati. Karena eksistensi sebagai realitas merupakan bahan penciptaan yang darinya hal-hal
menjadi ada, bentuk lain dari kata tersebut (ījād) menunjuk sesuatu yang dieksistensiasikan,
diciptakan, diasalkan. Karena kenyataan bahwa eksistensilah yang meliputi segala sesuatu,
eksistensi tersebut swa-mencukupi dalam keabadian yang melimpah ruah, dan ini berarti tidak
sedang dalam keinginan, atau kebutuhan, yang ditunjuk namun dengan bentuk lain (wājid).
Ketika dengan intuisi yang lebih tinggi seseorang kemudian menemukan realitas yang ada,
‘penemuan’ eksistensi ini disebut wijdān, yang kita katakan sebelumnya menunjuk pada intuisi
akan eksistensi. Jadi ketika kita menunjuk sebagaimana di atas pada aspek dari yang dengannya
suatu hal adalah hal tersebut apa adanya sebagai ‘sebagai/menjadi-maujud’nya, ‘sebagai/menjadi-
maujud’ dari suatu hal tidak seharusnya diinterpretasikan sebagai menunjuk sesuatu yang hanya
ada secara aktual atau mutakhir dalam dunia eksternal; tetapi juga menunjuk kategori eksistensi
tersebut dalam kondisi interior realitas eksistensi yang secara berkelanjutan membentangkan

104 Prolegomena
dirinya sendiri dalam gradasi menjadi hal-hal yang kita lihat dan pegang. Eksistensi bermakna
memiliki tempat dalam tatanan realitas. Karena eksistensi yang dipartikularisasi sebagai ‘sebagai/
menjadi maujud’ dari suatu hal merupakan salah satu dari aspek ganda realitas, penunjukkan
akan ‘tempat’, ketika kita katakan bahwa eksistensi itu berarti memiliki tempat dalam tatanan
realitas, maka merupakan ‘sebagai/menjadi maujud’ dari suatu hal. Tatanan realitas, menurut kita
dan dalam pengertian yang sudah disebutkan, tidak dapat dibatasi kepada dunia fenomena, atau
dunia hal-hal empiris dalam alam indera dan pengalaman inderawi.
Ketika kita mendefinisikan pengetahuan sebagai mengandung unit-unit makna yang
secara koheren terhubung pada unit lain yang serupa dengan demikian membentuk ide, konsepsi,
dan putusan; dan kita mendefinisikan makna sebagai pengenalan akan tempat segala hal dalam
sistem yang muncul ketika hubungan suatu hal dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan
dipahami, kita mengerti bahwa hubungan atau jaringan hubungan seperti itulah yang
menentukan pengenalan kita akan tempat suatu hal yang tepat dalam sistem. Dengan ‘sistem’ kita
menunjuk pada jalur yang tidak hanya pada sistem awal dan parsial di dalam sebuah jaringan
sistem yang saling-berhubungan, tetapi akhirnya juga pada sistem pokok dan ontologis skala-
besar sebagai suatu keseluruhan. Kita dalam persetujuan bersama bahwa semua pengetahuan itu
datang dari Tuhan, dan cara kedatangannya dan indera-indera dan fakultas-fakultas yang
menerima dan menafsirkannya secara terpilah tidak sama. Karena semua pengetahuan dari
Tuhan, dan diinterpretasikan oleh jiwa melalui fakultas fisik dan spiritual atau kecerdasan, maka
definisi epistemologisnya akan menjadi bahwa pengetahuan, dengan referensi pada Tuhan
sebagai sumber asalnya, adalah tibanya makna pada jiwa; dan dengan referensi jiwa sebagai
penerima aktif dan penafsirnya, pengetahuan adalah tibanya jiwa pada makna. Dunia alam
seperti digambarkan Qur’ān Suci tersusun dari bentuk simbolik (āyāt), seperti kata-kata dalam
sebuah buku. Tentu saja, dunia alam adalah bentuk Wahyu Ilahiyah yang lain yang analogis
dengan Qur’ān Suci itu sendiri, hanya saja buku yang besar dan terbuka dari alam merupakan
sesuatu yang diciptakan; alam menampilkan dirinya dalam kemajemukan dan bentuk beragam
yang mengambil eksistensi simbolik dengan sebab secara berkelanjutan diartikulasikan oleh kata
penciptaan dari Tuhan. Kini sebuah kata sebagaimana kata tersebut sungguh-sungguh ada
merupakan sebuah simbol, dan untuk mengetahuinya sebagaimana kata tersebut sungguh-
sungguh ada adalah mengetahui untuk apa ia berada, apa yang disimbolisasikan, apa maknanya.
Jika kita memandang sebuah kata seperti seolah-olah ia memiliki realitas independen dari dirinya
sendiri, maka kata tidak lagi menjadi sebuah tanda atau simbol selama dibuat menunjuk dirinya
sendiri, yang bukan merupakan apa yang sungguh-sungguh ada. Jadi, secara serupa dalam cara
mempelajari alam, akan segala hal, objek pengetahuan apapun di dunia hal-hal yang diciptakan,
jika ungkapan ‘sebagaimana ia sungguh-sungguh ada’ diterima bermakna diduga keras sebagai
realitas independen, secara esensial dan eksistensial, seolah-olah hal tersebut merupakan sesuatu
yang pokok dan swa-berada, maka studi semacam itu menghilangkan tujuan sejati dan
pengejaran pengetahuan menjadi penyimpangan dari kebenaran, yang secara niscaya
memertanyakan keabsahan pengetahuan demikian. Karena sebagaimana sesuatu sungguh-
sungguh ada adalah sesuatu yang lain dari apa hal tersebut adanya, dan yang ‘lain’ itu adalah apa
maknanya. Dengan demikian dengan cara yang sama mempelajari kata-kata sebagai kata-kata akan
mengarah kepada penyimpangan dari kebenaran yang mendasari mereka, keasyikan dalam
filsafat dan fisika dengan hal-hal sebagai hal-hal memimpin pada kesalahan, akan rasio sehat yang
percaya pada eksistensi mereka di luar pikiran sebagai kumpulan partikel secara terus menerus
melewati periode tertentu dan bergerak dalam ruang, seolah-olah partikel tersebut merupakan
materi pokok dari dunia. Sedangkan pada kenyataannya bahan dari ‘materi’ terdiri dari rangkaian
peristiwa (a’rād, tunggal. ‘arad), dan fenomena fisik merupakan proses yang setiap rinciannya

105 Prolegomena
tidak sinambung (diskontinu). Maka suatu hal seperti kata pada kenyataannya secara pokok
merupakan sebuah tanda atau simbol, dan tanda atau simbol merupakan sesuatu yang nampak
dan tidak terpisahkan dari suatu hal lain yang tidak sama-sama muncul, dengan sedemikian rupa
ketika yang terdahulu diterima, yang lain, yang tidak dapat diterima dan yang merupakan salah
satu kesulitan sebagai yang terdahulu, menjadi diketahui. Itulah mengapa kita mendefinisikan
pengetahuan secara epistemologis sebagai tibanya dalam jiwa akan makna dari suatu hal, atau
tibanya jiwa pada makna dari suatu hal. ‘Makna akan sesuatu’ berarti makna yang benar darinya,
dan apa yang kita pertimbangkan sebagai makna yang ‘benar’ yang ada dalam pandangan kita
ditentukan sistem konseptual Qur’āni. Dengan demikian frase-frase yang kita gunakan
sebelumnya, seperti ‘tatanan yang benar dari realitas’, ‘tatanan yang adil meliputi semua ciptaan’,
‘tingkatan dan derajat’, dan ‘tatanan umum dari hal-hal yang diciptakan’ dalam referensi kita
pada ‘sistem’ hubungan konseptual dimana ‘tempat yang tepat’ akan hal-hal menjadi dikenali,
tidak lain menunjuk kepada sistem konseptual Qur’āni. Korespondesi dan koherensi sebagaimana
kita pahami dalam hubungan dengan realitas dan kebenaran menunjuk pada tempat yang tepat
dalam kasus terdahulu dan pada sistem Qur’ān dalam kasus yang kemudian.
Pengetahuan tidak terbatas sebab objek pengetahuan itu tanpa batas. Tetapi ada sebuah
batas kebenaran dalam setiap objek pengetahuan, sehingga pengejaran pengetahuan sejati
bukanlah sebuah pencarian tanpa akhir. Jika penelusurannya menjadi tanpa akhir, maka akan
menjadi mustahil mencapai pengetahuan dalam sejengkal waktu yang memiliki awal dan akhir,
dan akan membuat pengetahuan itu sendiri menjadi tidak bermakna. Pengetahuan akan
kebenaran tentang dunia hal-hal empiris dapat sungguh dicapai dan ditingkatkan melalui
penelusuran yang dibuat oleh generasi manusia. Tetapi pengetahuan sejati memiliki ketegasan
langsung pada manusia individu karena menyentuh identitas dan takdirnya, dan dia tidak dapat
menunda putusan terhadap kebenaran pengetahuan tersebut tidak seperti sesuatu yang akhirnya
dapat ditemukan oleh generasi di masa depan. Itulah mengapa krisis kebenaran muncul dalam
setiap generasi menyentuh pada pengetahuan sejati, dan krisis kebenaran ini sebelumnya
mungkin tidak begitu akut sebagaimana dalam masa kita. Filsafat modern dan sains tidak mampu
memberikan jawaban meyakinkan pada pertanyaan permanen tentang kebenaran. Perwakilan
mereka mencoba menjelaskan hanya ‘perspektif kebenaran’ dari zaman ketika krisis kebenaran itu
muncul, dan dengan demikian melepaskan kebenaran dari objektifitasnya. Seseorang tidak dapat
mengubah, menambahkan, maupun menghiasi kebenaran sehingga dapat menjadi lebih benar,
maupun seseorang dapat mengurangi darinya; dalam kasus yang lain kebenaran tidak akan
menjadi kebenaran, tetapi adalah kesalahan. Kebenaran secara tepat adalah dirinya sendiri, tidak
lebih atau kurang. Karena pada setiap kebenaran terdapat sebuah batas yang benar terhadap
kebenaran tersebut; pengetahuan akan batas itu adalah kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan
setiap kebenaran ditugaskan pada maknanya yang tepat yang tidak kurang maupun
melampauinya. Terdapat batas akan kebenaran dalam setiap objek pengetahuan, dan setiap objek
pengetahuan memiliki batas kebenaran yang berbeda, beberapa lebih sukar dikenali dan sulit
untuk ditemukan dari yang lain, sehingga dalam usaha kita yang terus menerus untuk
menemukan mereka tidak ada pertanyaan akan pembatasan penelusuran, yang tujuannya,
dibimbing oleh kebijaksanaan, adalah untuk mengetahui batas tersebut. Oleh karena itu
pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengenali batas kebenaran dalam setiap objeknya.
Qur’ān Suci sendiri berbicara tentang tanda-tanda dan simbol-simbolnya sebagai terdiri
dari sebagian yang jelas dan mapan (al-muhkamāt), dan sebagian darinya ada yang tidak jelas dan
ambigu (al-mutashābihāt). Dalam hubungan dengan tanda-tanda dan simbol-simbol dari Qur’ān
Suci, dunia fenomena juga terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang kita sebut ‘hal-hal’
yang jelas dan mapan dalam makna mereka, dan yang tidak jelas dan ambigu. Deteksi,

106 Prolegomena
penemuan, dan pengungkapan makna yang tersembunyi dari tanda-tanda dan simbol-simbol
ambigu dalam Qur’ān Suci disebut interpretasi alegoris (ta’wīl), dan hal ini berdasarkan
interpretasi dari sesuatu yang jelas (tafsīr). Dengan demikian, dalam cara yang sama bahwa
interpretasi akan teks yang tidak jelas dan ambigu harus berdasarkan sesuatu yang jelas dan
mapan, demikian juga interpretasi atau studi dan penjelasan akan ketidakjelasan dan aspek yang
ambigu dari hal-hal di dunia empiris harus berpijak pada apa yang sudah diketahui dan mapan.
Meskipun kita katakan bahwa beberapa dari hal-hal yang menyusun dunia empiris, dunia indera
dan pengalaman inderawi, adalah simbol-simbol yang maknanya jelas dan mapan, kejelasan dan
kemapanan mereka dipahami dengan sebab being mereka dipertimbangkan dalam makna mereka
yang nampak sebagaimana tiba dengan jalan rasio sehat. Tetapi karena mereka juga bersifat fisik
dalam alam, mereka semua secara umum ambigu sebab mereka muncul pada kesadaran kita
dengan menunjuk diri mereka sendiri, seolah-olah masing-masing memiliki realitas independen,
individual, dan swa-berada. Sebagai simbol-simbol mereka itu, pastinya, bukan sesuatu yang
tidak nyata, bukan hanya penampakan karakter ilusi; tetapi mereka hanya disediakan untuk
dimengerti sebagai sesuatu dalam hubungan mendalam dan tergantung dengan apa yang mereka
simbolisasi. Sebaliknya, dipertimbangkan sebagai hal-hal pada diri mereka sendiri, mereka adalah
tidak nyata, dalam pengertian mereka ada seperti itu hanya dalam pikiran, tidak memiliki realitas
yang berhubungan di dunia eksternal. Apa yang merupakan maujud dalam dunia eksternal dan
independen dari pikiran merupakan realitas-realitas dalam proses aktualisasi ke dalam bentuk-
bentuk partikular dan individual, yang merupakan modus-modus dan aspek-aspeknya dari
Realitas tunggal dan dinamis meliputi segalanya.
Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju
tempat yang telah kita dengar tetapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di
persimpangan utama dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan
terdapat penunjuk arah dengan banyak lengan dalam pelbagai ukuran yang menunjuk kepada
pelbagai arah yang menandai jalan menuju tempat yang berbeda. Penunjuk arah dan lengannya
dibuat secara sederhana dan di cat putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang berfungsi
sebagai lengan digoreskan huruf tebal dan hitam akan nama tempat dan jarak relatif mereka dari
titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati dan lampunya menyinari penunjuk arah dan
lengannya yang banyak, kita segera sadar terhadap salah satu lengan yang menegaskan nama
tempat tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika kita hendak mengejar tujuan kita,
tentunya kita akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan mengikuti jalan menuju apa
yang tanda tersebut tuju. Kita akan melakukan ini karena tandanya itu jelas. Tetapi kini andaikan
penunjuk arahnya dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan lengan penunjuk dipahat
menjadi bentuk yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik dipahat
menjadi huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang jarang ditemui — akankah kita
kemudian mampu untuk mengikuti, tanpa banyak ragu dan berlambat-lambat, lengan penunjuk
yang akan menunjukkan kita jalan menuju tujuan kita; dan akankah kita kemudian mudah
berpaling dari penunjuk arah untuk mengikuti jalan yang diarahkan? Tentu saja, apa yang paling
mungkin terjadi dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil dan bahkan keluar
dalam hujan dengan senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di hadapan kita.
Dan kita mungkin akan menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk penglihatan yang
lebih memuaskan. Tanda tersebut dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan menunjuk dirinya
sendiri daripada menunjuk kepada objek yang inti eksistensinya bergantung padanya.
Apa yang telah kita katakan di atas seharusnya membuat jelas kepada kita bahwa sains
menurut Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wīl atau interpretasi alegoris terhadap hal-
hal empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara

107 Prolegomena
tetap pada tafsīr atau interpretasi akan penampakan atau makna yang jelas dari hal-hal dalam
alam. Makna mereka yang nampak dan jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam sistem
hubungan; dan tempat mereka menjadi nampak kepada pemahaman kita ketika batas kebenaran
dari arti mereka dikenali. Ta’wīl secara dasar bermakna mendapatkan makna mendasar dan
primordial dari sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi bahkan dalam kasus ini, terdapat hal-hal
yang makna pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan mereka yang secara mendalam
berakar dalam pengetahuan yang menerima hal tersebut sebagaimana adanya melalui
kepercayaan-kuat yang benar yang kita sebut īmān. Hal ini merupakan posisi kebenaran: bahwa
terdapat batas makna dari hal-hal, dan tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti
mereka.
Pembatasan bukanlah sebuah kekurangan. Indera internal dan eksternal kita dan fakultas
imajinasi dan kognisi semuanya memiliki kekuatan dan potensi terbatas, dengan masing-masing
diciptakan untuk mengandung dan memelihara informasi yang diperhatikannya dimana
untuknya itu telah ditetapkan. Terdapat tujuan pragmatis dalam pembatasan, karena dengannya
kita mampu menerima dan memahami objek pengetahuan dan gagasan tentang mereka dan
hubungan mereka sehingga kita dapat meletakkan pengetahuan akan hal-hal untuk kegunaan
yang bermanfaat. Jika kita memiliki indera yang kekuatannya tidak terbatas, seperti indera yang
dimiliki binatang tertentu, persepsi kita tentang hal-hal dalam kehidupan sehari-hari akan
berbeda; karena bukan hanya bentuk, tekstur, warna dan karakteristik lain tentang hal-hal akan
berbeda dengan apa yang secara normal kita terima, tetapi juga bahwa beberapa dari mereka
tidak akan ada sama sekali bagi kita, dan beberapa dari mereka tidak akan ada sama sekali, dan
dengan demikian mempengaruhi inti eksistensi kebudayaan dan peradaban manusia. Kemudian
lagi, jika kita memiliki mata yang kekuatannya semakin kurang dibatasi daripada binatang-
binatang tertentu; mata yang dapat menembus tabir fenomena seperti yang mereka yang dapat
melihat peristiwa dan proses yang mendasari dunia fenomena, maka bentuk hal-hal akan hilang
dari pandangan kita dan kita tidak mampu menurunkan dari mereka pengetahuan partikular
yang membimbing pada universal/semesta dan inti makna hal-hal akan hilang. Oleh karena itu
pengaturan batas pada saluran dan sumber dengan mana kita memperoleh pengetahuan
merupakan sebuah rahmat dan kasih sayang Tuhan dengan maksud agar kita mampu mengerti
makna objek-objek pengetahuan maupun untuk memahami Pencipta mereka.
Karena peran sains adalah sebagai deskripsi dari fakta, dan fakta yang mengalami
perubahan berkelanjutan dengan sebab realitas yang mendasari mereka merupakan proses,
kemudian aspek sekular dan filsafat modern dan sains akhirnya mempertimbangkan perubahan
sebagai sifat-dasar pokok realitas. Itulah mengapa sekularisasi sebagai program filosofis, dalam
usahanya untuk menghubungkan dengan realitas yang dipertimbangkan sebagai perubahan
absolut, mendukung perubahan dalam semua aspek kehidupan, lalu menolak kemapanan dalam
pandangan-dunia dan menyebarkan kepercayaan akan sebuah masa depan yang terbuka. Dengan
‘perubahan’, yang merupakan pergerakan melibatkan ruang dan waktu mengandaikan
keanekaragaman, para filsuf dan saintis biasanya memaksudkan perubahan akan tempat atau
posisi, atau perubahan kualitatif dan kuantitatif yang melibatkan perubahan abadi atau proses-
menjadi. Beberapa mempertahankan bahwa semua gerak itu relatif dan tidak ada gerak yang
absolut; dan beberapa percaya bahwa perubahan hanya berkaitan dengan persepsi psikologis.
Kepercayaan-lemah bahwa pengetahuan menyentuh hanya pada fenomena menyertakan
kepercayaan-lemah bahwa realitas merupakan perubahan. Kita tidak sepakat bahwa perubahan
hanya bersifat psikologis atau ‘subjektif’ karena kita mengakui bahwa pergerakan itu nyata. Posisi
kita bahwa perubahan itu sebuah realitas harus dipahami tanpa menyiratkan bahwa perubahan
itu absolut; karena kita mempertahankan bahwa realitas itu sekaligus permanensi dan perubahan,

108 Prolegomena
bukan dalam pengertian bahwa perubahan itu permanen, tetapi dalam pengertian bahwa
terdapat sesuatu yang permanen dengan mana perubahan itu muncul. Implikasi yang mendasari
konsep perubahan adalah keanekaragaman hal-hal yang menyusun dunia fenomena yang entah
bagaimana terus-menerus ada dalam eksistensi dan mengalami pergerakan atau perubahan. Kita
mempertahankan bahwa hal-hal fenomenal tidak tetap dalam eksistensi, tetapi binasa ketika
menjadi eksistensi, dimana secara berkelanjutan digantikan dengan yang baru dan serupa dalam
proses terus menerus. Pembinasaan akan hal-hal disebut, menurut ungkapan Qur’ān, hālik atau
fanā’; dan proses terus menerus akan pembaharuan, kembali menurut ungkapan Qur’ān, disebut
khalq jadīd — sebuah penciptaan yang baru. Maka dunia merupakan sesuatu yang selalu baru
(muhdats), dan hal itu sesuatu yang baru. Perubahan, kita katakan, muncul bukan pada tingkatan
hal-hal fenomenal, karena mereka selalu-binasa, tetapi pada tingkatan realitas mereka yang
terkandung dalam diri mereka semua kondisi masa depan mereka. Dalam pengertian ini
perubahan merupakan aktualisasi potensialitas yang inheren dalam realitas hal-hal yang,
sebagaimana mereka bentangkan isi mereka, memelihara identitas utuh mereka sepanjang waktu.
Dunia fenomena, kita katakan sebelumnya, merupakan proses yang setiap rinciannya tidak
sinambung. Ketidaksinambungan eksistensi dalam setiap rinciannya itu berkaitan dengan sifat-
dasar selalu-binasa dari fenomena yang digantikan dengan yang baru dan serupa.
Ketidaksinambungan dalam eksistensi juga melibatkan realitas yang mendasari semua fenomena;
tetapi sedangkan dunia fenomena itu selalu-baru, realitas-realitas tersebut berubah namun tetap
sama. Perubahan mereka merupakan pembentangan kondisi potensial mereka yang melibatkan
ketidaksinambungan eksistensial pada setiap kondisi aktualisasi; keadaan mereka yang tetap
sama merupakan perolehan kembali identitas mereka. Dengan demikian realitas merupakan
selalu-memperoleh kesinambungan dalam eksistensi, sementara modus fenomena dan aspek
mereka binasa saat aktualisasi. Kesinambungan selalu-memperoleh ini dalam eksistensi disebut,
menggunakan ungkapan Qur’ān yang lain, baqā’. Aspek ganda realitas — permanensi dan
perubahan — mengandaikan kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi, dan
kategori metafisis ketiga ini adalah alam entitas permanen (al-a’yān al-thābiţhah) yang merupakan
aspek nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Pada Realitas Tertinggi yakni Tuhan, bahkan meskipun
Dia menggambarkan diri-Nya dalam pengertian eksplisit akan dinamisme absolut, Dia terlalu
agung untuk diterima sebagai terbenam dalam proses deskriptif dari proses-menjadi atau
perubahan.
Dalam bab ini kita telah mengandung pernyataan ringkas yang menggariskan posisi kita
tentang makna agama dan kepercayaan-lemah; tentang sifat-dasar Tuhan; tentang sekularisasi
dan sifat-dasar sains dan filsafat modern dan kontemporer, dan menampilkan sebuah inti sari
asumsi dasar dan presuposisi mereka. Kita mengangkat bahwa terdapat kesamaan antara posisi
kita dan filsafat dan sains modern dalam memandang sifat-dasar fenomena dan realitas empiris
maupun sumber dan metode pengetahuan, sementara secara bersamaan kita mempertahankan
bahwa terdapat perbedaan mendalam dalam pemahaman kita yang tepat akan mereka terkait
secara pokok pada afirmasi kita akan Wahyu — dan Tradisi yang menurunkannya — sebagai
sumber pengetahuan sejati akan realitas pokok. Kita telah secara singkat menguraikan
pertentangan antara posisi kita dan filsafat dan sains modern dalam memandang persepsi, rasio,
intuisi, dan otoritas sebagai sumber dan metode pengetahuan. Dalam hubungan ini kita
mempertahankan pernyataan pada fakultas psikologi sebab hal itu diluruskan dengan afirmasi
eksistensi jiwa, atau ruh kecerdasan, sebagai realitas pokok dari manusia dan sebagai sumber asal
dari bahasa manusia. Kita menekankan konsep kita tentang tempat dimulai dengan definisi kita
tentang makna sebagai pengenalan tempat di dalam sebuah sistem, menunjukkan juga hubungan
konseptual antara makna dan pengetahuan dengan mendefinisikan yang kemudian sebagai unit-

109 Prolegomena
unit koheren dari yang terdahulu; kita mendefinisikan kebijaksanaan sebagai pengetahuan akan
tempat yang benar; keadilan sebagai kondisi dari dalam kondisi yang benar; kebenaran sebagai
kesesuaian dengan tempat yang benar; realitas sebagai entitas yang ditempatkan secara permanen
dan terpisah; dan eksistensi sebagai tempat dalam tatanan realitas. Kita menjelaskan makna
realitas dan kebenaran, menunjukkan hubungan mereka akan korespondensi dan koherensi
dengan fakta. Kita membedakan realitas eksistensi dari konsep eksistensi, dan menjaga bahwa
yang terdahulu merupakan kebenaran yang mendasari sifat-dasar proses. Kita mendefinisikan
pengetahuan yang sejati sebagai pengenalan akan batas kebenaran dalam setiap objeknya. Kita
menunjuk kepada sistem Qur’ān akan kesaling-hubungan konseptual dan metode interpretasinya,
mengatakan bahwa sains Islāmi harus menginterpretasikan fakta eksistensi dalam hubungan
dengan sistem tersebut, dan tidak menginterpretasikan sistem tersebut dalam hubungannya
dengan fakta. Kita menyentuh problem perubahan atau pergerakan, dan mengafirmasi perubahan
dan permanensi secara bersamaan; dan kita mempertahankan perubahan dan permanensi hanya
pada realitas-realitas hal-hal, dan bukan suatu hal pada dirinya sendiri sebagaimana mereka
selalu-binasa dalam sifat-dasar mereka. Kita juga mengafirmasi permanensi juga pada Tuhan,
bukan menyiratkan dengan ‘permanensi’ sebagai statisitas, maupun pergerakan maupun
dinamisitas yang melibatkan perubahan atau proses-menjadi; sedangkan dalam realitas-realitas
perubahan menunjuk pada aktualisasi potensi mereka, sementara entitas-entitas nyata yang
membangun identitas mereka tetaplah sama. Apa yang telah kita nyatakan di atas dalam
ringkasan uraian sudah tersirat, di antara hal-hal yang lain, keunggulan realitas eksistensi; sifat-
dasar dinamis dari realitasnya yang secara berkelanjutan membentangkan dirinya dalam gradasi
sistematis dari derajat keabsolutan kepada manifestasi, determinasi, dan individuasi; proses abadi
dari penciptaan yang baru; absensi hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat, dan
penjelasannya dalam kausalitas Ilahiyah; kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-
eksistensi, yang merupakan alam entitas permanen; dan metafisika perubahan dan permanensi
yang menyentuh pada realitas. Hal-hal tersebut menyusun basis dasar dari metafisika Islāmi, dan
hal tersebut ada di dalam kerangka-kerja dari metafisika inilah filsafat sains kita harus
dirumuskan.

110 Prolegomena
IV
SIFAT-DASAR MANUSIA
DAN
PSIKOLOGI JIWA MANUSIA
Manusia memiliki sifat-dasar ganda, dia itu baik tubuh dan jiwa, makhluk fisik dan ruhani
sekaligus.108 Tuhan mengajarkannya nama-nama (al-asmā’) segala hal.109 Dengan ‘nama-nama’ kita
menyimpulkan bahwa hal itu bermakna pengetahuan (al-‘ilm) akan segala hal (al-ashyā’).
Pengetahuan ini tidak meliputi pengetahuan sifat-dasar spesifik tentang esensi (al-dhāt) atau yang
dasar paling dalam (al-sirr) dari suatu hal (shay’) seperti, contohnya, ruh (al-rūh); pengetahuan
tersebut menunjuk pada pengetahuan akan aksiden-aksiden (tung. ‘arad) dan sifat-sifat (tung.
sifah) yang menyentuh pada esensi hal-hal inderawi dan intelijibel (mahsūsāt dan ma’qūlāt) supaya
diketahui hubungan dan perbedaan yang ada di antara mereka, dan memperjelas sifat-dasar
mereka di dalam wilayah tersebut dengan maksud melihat dan memahami makna mereka, yakni,
sebab, kegunaan, dan tujuan individual mereka yang spesifik. Namun manusia, juga diberikan
pengetahuan terbatas tentang ruh,110 tentang diri atau jiwanya yang sejati dan benar, 111 dan
dengan pengetahuan ini dia mampu tiba kepada pengetahuan tentang Tuhan (al-ma’rifah) dan
keesaan absolut-Nya; bahwa Tuhan adalah Rabb (al-rabb) sejati dan objek penyembahannya (al-
ilāh).112 Tempat bersemayam pengetahuan dalam manusia merupakan substansi spiritual yang
secara beragam ditunjuk dalam Qur’ān Suci kadang-kadang sebagai hati (al-qalb), atau jiwa atau
diri (al-nafs), atau ruh (al-rūh), atau inteleknya (al-’aql). Dengan sebab akan kebenaran bahwa
manusia mengetahui Tuhan dalam keabsolutan-Nya sebagai Rabbnya,113 pengetahuan
sedemikian, dan kenyataan dari situasi yang serta merta menyertainya, telah mengikat manusia
dalam sebuah perjanjian (al-mīthāq; al-‘ahd) yang menentukan tujuan, perilaku, dan tindakannya
dalam hal dirinya dan hubungannya dengan Tuhan.114 Ikatan dan penentuan ini terhadap
manusia pada sebuah perjanjian dengan Tuhan dan pada sifat-dasar yang tepat dalam
memandang tujuan, tindakan, dan perilakunya, merupakan ikatan dan penentuan dalam agama
(al-dīn) yang menyertakan ketundukan sejati (al-islām).115 Dengan demikian pengetahuan dan
agama berhubungan secara alamiah dalam sifat-dasar manusia, yakni, sifat-dasar asli dimana
Tuhan telah menciptakannya (al-fitrah). Oleh karena itu tujuan manusia adalah untuk mengetahui
dan menyembah Tuhan (‘ibādah)116 dan kewajibannya merupakan kepatuhan (tā’ah) kepada
Tuhan, yang mengonfirmasikan sifat-dasar esensial yang diciptakan Tuhan untuknya.117
Tetapi manusia juga “tersusun dari kelupaan (nisyān)” — sebagaimana tradisi Kenabian
mengatakan,118 dan dia disebut insān secara mendasar dan tepat karena, dia telah bersaksi kepada
108
Al-Hijr (15): 26-29; Al-Mu’minūn (23): 12.
109
Al-Baqarah (2): 31.
110
Banī Isrā’īl (17): 85.
111
Hā Mīm (41): 53.
112
Āli ‘Imrān (3): 81; Al-A’rāf (7): 172.
113
Al-A’rāf (7): 172.
114
Ibid.
115
Lihat bab I, di atas.
116
Al-Dhāriyāt (51): 66.
117
Al-Rūm (30): 30.
118
Kashf al-Khafa, 2 vols. 4th pr, Bayrut, 1985, vol. 2, hlm.419, no 2806. Al-Thabrani, al-Tirmizi, ibn Abi
Syahbah, dari ibn ‘Abbas.

111 Prolegomena
dirinya sendiri tentang kebenaran perjanjian yang dibuatnya dengan Tuhan, yang menyertakan
kepatuhan akan perintah dan larangan-Nya, kemudian dia lupa (nasiya) untuk memenuhi tugas
dan tujuannya. Karenanya berdasarkan ibn ‘Abbās dengan referensi pada bagian dalam Qur’ān
Suci,119 istilah insān diturunkan dari nasiya ketika dia mengatakan bahwa manusia disebut insān
karena, setelah berjanji dengan Tuhan, lalu dia lupa (nasiya).120 Kelupaan merupakan sebab
ketidakpatuhan manusia, dan sifat-dasar yang patut disalahkan ini menghendakinya menuju
ketidakadilan (zulm) dan keabaian (jahl).121 Tetapi Tuhan telah melengkapinya dengan kekuatan
dan fakultas penglihatan dan pengertian yang benar, perasaan sejati terhadap kebenaran, akan
ucapan dan komunikasi yang benar; dan Dia telah menunjukkan kepadanya yang benar dan salah
dalam hal jalur tindakan yang seharusnya dia ambil sehingga dia mungkin berusaha mencapai
takdirnya yang cerah.122 Pilihan untuk yang lebih baik (ikhtiyār)123 ditinggalkan untuknya. Lebih
lanjut, Tuhan telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk mengetahui dan membedakan
realitas dari non-realitas, kebenaran dari kebohongan, dan kejujuran dari kesalahan; dan
meskipun kecerdasannya — atau melainkan fakultas imajinatif dan estimatifnya — mungkin
membingungkannya,124 dan jika dia itu tulus dan benar pada sifat-dasarnya yang mulia, Tuhan,
dari balasan, ampunan, dan keagungan-Nya, akan membantu dan membimbingnya mencapai
kebenaran dan perilaku yang betul. Contoh tertinggi dalam kasus ini adalah Nabi Ibrahim,
padanya kedamaian.125 Dengan demikian manusia dilengkapi dan dibentengi untuk menjadi
wakil (khalīfah) Tuhan di bumi,126 dan sedemikianlah beban berat kepercayaan (amānah) diletakkan
padanya — kepercayaan dan tanggung jawab untuk mengatur berdasarkan kehendak Tuhan,
tujuan dan ridho-Nya.127 Kepercayaan menyiratkan tanggungjawab mengatur dengan adil, dan
‘mengatur’ tidak hanya bermakna mengatur dalam pengertian sosio-politis, maupun mengontrol
alam dalam pengertian saintifik, tetapi lebih mendasar dalam kemenyeluruhan dari makna sifat-
dasar (al-tabī’ah), mengatur bermakna pengaturan, pemerintahan, pengontrolan, dan
pemeliharaan manusia oleh dirinya atau jiwa rasionalnya.
Istilah hati (qalb), jiwa atau diri (nafs), ruh (rūh), dan intelek (‘aql) digunakan dalam
hubungan kepada jiwa masing-masing mengandung dua makna; yang satu menunjuk pada aspek
material atau fisik dari manusia, atau pada tubuh; dan yang lain pada aspek non-material,
imajinal dan intelejensial atau spiritual, atau pada jiwa manusia.128 Secara umum, dan dari sudut
pandang etis, makna pertama menunjuk kepada aspek yang darinya diasalkan kualitas yang
patut disalahkan dalam manusia, dan mereka merupakan kekuatan hewani yang kendati
keberadaan mereka yang bermanfaat bagi manusia dalam beberapa hal, ada dalam konflik
dengan kekuatan intelektual. Tambahan kebersalahan kepada kekuatan hewani yang inheren
dalam aspek fisik manusia tidak seharusnya dibingungkan dengan gagasan perendahan tubuh
manusia, yang tentunya berlawanan dengan ajaran Islām. Manusia diciptakan “dalam cetakan
yang terbaik”, tetapi tanpa kepercayaan-kuat sejati dan kerja yang baik dia itu lebih buruk dari

119
Tā Hā (20): 115.
120
LA, vol. 6, hlm.11, kol.1.
121
Al-Ahzāb (33): 72.
122
Al-Balad (90): 8-10; Al-Ahqāf (46): 26; Al-Nahl (16): 78; Al-Sajdah (32): 9; Al-Mulk (67): 23; Al-Mu’minūn (23):
78.
123
Lihat Pengenalan di atas, hlm. 33-34.
124
Al-Ghazāli, Mishkāt al-Anwār, Kairo, 1964, hlm. 47.
125
Al-An’ām (6): 74-82.
126
Al-Baqarah (2): 30.
127
Al-Ahzāb (33): 72.
128
Ihyā’, vol. 3, hlm. 3; Ma’ārij, hlm. 15 fol.

112 Prolegomena
binatang terendah.129 Terhadap aspek non-bermanfaat dari kekuatan hewani inilah Nabi Suci
meminta kita ketika dia menyebut perjuangan terbesar (jihād) dari manusia, karena mereka
merupakan musuh yang ada di dalam.130 Makna kedua menunjuk pada realitas manusia dan
esensinya. Makna ini menunjuk pada tradisi Kenabian yang cukup dikenal: “Siapapun yang
mengenali dirinya mengenali Rabbnya.”
Esensi sejati manusia berasal dari dunia kekuasaan (al-malakūt) dan perintah (al-amr).131
Ketika hal tersebut menghendaki dirinya sendiri menuju arah yang benar, maka kedamaian
ilahiyah (al-sakīnah) akan turun kepadanya,132 dan pancaran (effusion) ilahiyah akan kerelaan hati
secara bergantian akan dimasukkan di dalamnya hingga ia mencapai ketenangan dalam
pengingatan Tuhan dan hidup dalam pengetahuan akan keilahiyahan-Nya, dan membumbung
tinggi menuju tingkatan tertinggi dari horizon malaikat. Qur’ān Suci menyebut kondisi jiwa ini,
jiwa yang tenang (al-nafs al-mutma’innah).133 Fakultas atau kekuatan jiwa adalah bagaikan tentara
yang disatukan dalam pertempuran terus menerus akan keberhasilan yang bergantian. Kadang-
kadang jiwa tersebut menarik kekuatan intelektual dan menemui yang intelijibel dengan mana
kebenaran abadi mereka menyebabkannya mengakui kesetiaan kepada Tuhan; dan kadang-
kadang kekuatan hewaninya menarik turun pada kaki gunung terbawah dari sifat-dasar binatang.
Kebimbangan dalam kondisi jiwa ini merupakan kondisi jiwa yang mencela diri sendiri (al-nafs al-
lawwāmah);134 hal tersebut merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh dengan kekuatan
hewaninya. Dengan pengetahuan, moral yang baik, dan kerja yang baik mungkinlah bagi
manusia untuk mencapai sifat-dasar malaikat, dan ketika dia telah sampai, dia tidak lagi memiliki
kesamaan dengan sesamanya dalam sifat-dasar hewani di dalam dirinya kecuali pada bentuk ke-
luar (outward) dan kebiasaan. Tetapi jika dia jatuh ke dalam kedalaman menurun dari sifat-dasar
binatang dan tetap ditawan dalam kondisi tersebut, maka dia terpisah dari sifat-dasar yang
umum pada kemanusiaan dan muncul sebagai manusia hanya dalam bentuk dan konstruksi.
Kondisi ini merupakan kondisi jiwa yang menghasut kepada kejahatan (al-nafs al-ammārah bi ‘l-
sū’).135
Dalam pengertian yang spesifik, dan ketika menunjuk pada hati, makna pertama tersebut
menunjukkan gumpalan bentuk-kerucut otot daging yang terletak di sisi kiri dada. Hal itu
merupakan sirkulator darah kepada setiap bagian tubuh dan sumber-kepala dari uap subtil yang
merupakan wahana jiwa fisik hewani. Melalui wahana ini jiwa hewani muncul dari sumber-
kepalanya dalam jantung (heart) ke otak melalui urat nadi ke seluruh bagian tubuh. Jiwa ini
merupakan pengandung kehidupan hewani dan umum bagi semua hewan. Ketika hal tersebut
hilang maka menyebabkan kematian indera eksternal yang melibatkan tubuh sebagai
keseluruhan. Dalam hal intelek, makna pertama tersebut menunjukkan abstraksi objek dunia
eksternal dan perenungan realitas hal-hal, dan fungsinya ditempatkan di pelbagai wilayah otak.
Jiwa atau diri kadang-kadang menunjuk eksistensi konkret dan individual dari suatu hal atau
seseorang.136
Dengan referensi pada makna dari empat istilah yang digunakan dalam hubungan dengan
jiwa ketika mereka menyentuh jiwa manusia, mereka semua menunjukkan entitas tak terbagi dan
129
Al-Tīn (95): 4-5.
130
Bayhaqi, Zuhd, dari Jābir. Ibn Hajar mengatakan hadits ini cukup dikenal. Kashf al-Khafā’, vol. 1, hlm. 511,
no. 1362.
131
Yā Sīn (36): 83; Al-Mu’minūn (23): 88.
132
Al-Baqarah (2): 248; Al-Tawbah (9): 26;40; Al-Fath (48): 4.
133
Al-Fajr (89): 27.
134
Al-Qiyāmah (75): 2.
135
Yūsuf (12): 53.
136
Ma’ārij, hlm. 15-18.

113 Prolegomena
identik, yakni sebuah substansi spiritual yang merupakan realitas atau inti esensi manusia. Dalam
pengertian ini mereka menunjuk pada prinsip pemersatu yang ditunjuk sebagai kamāl atau
kesempurnaan makhluk, pada modus eksistensi yang mengubah sesuatu yang potensial menjadi
aktual.137 Entitas ini, yang merupakan kehalusan spiritual (al-latīfah al-rūhāniyyah), merupakan
suatu hal yang diciptakan, tetapi tidak binasa; entitas tersebut tidak diukur dalam pengertian
keluasan ruang dan waktu, atau kuantitas; entitas tersebut sadar dirinya sendiri dan merupakan
lokus dari pengertian; dan cara mengetahuinya hanya melalui intelek dan dengan observasi
terhadap aktifitas-aktifitas yang berasal di dalamnya. Entitas tersebut memiliki banyak nama
sebab modus dan kondisi aksidentalnya (ahwāl). Jadi ketika entitas tersebut terlibat dalam
inteleksi dan pengertian entitas itu disebut ‘intelek’; ketika mengatur tubuh entitas itu disebut
‘jiwa’; ketika bertaut dalam menerima iluminasi intuitif entitas itu disebut hati; dan ketika kembali
pada dunianya sendiri dari entitas abstrak entitas itu disebut ‘ruh’. Tentu saja, entitas tesebut
pada kenyataannya selalu bertaut mewujudkan dirinya sendiri dalam semua kondisinya.
Jiwa memiliki fakultas-fakultas atau kekuatan-kekuatan (quwā) yang menjadi
termanifestasi dalam hubungannya dengan tubuh. Pada tumbuhan mereka itu merupakan
kekuatan nutrisi (al-ghādhiyyah), pertumbuhan (al-nāmiyyah), dan keturunan atau reproduksi (al-
muwallidah). Kekuatan tersebut, dalam pengertian umum dan bukan pengertian spesifik, terdapat
juga pada binatang; dan pada manusia, dimana tubuhnya berada pada spesies hewan, terdapat
kekuatan kemauan atau tindakan seketika (al-muharrikah), dan persepsi (al-mudrikah) dalam
tambahan pada nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi. Semua kekuatan tersebut milik jiwa, dan
dalam pandangan akan keumuman kesatuan mereka secara umum dalam tubuh yang berbeda
maupun keterpisahan kesatuan secara spesifik berdasarkan sifat-dasar dari spesies yang berbeda,
jiwa tersebut sedikit banyak seperti sebuah genus yang dibagi menjadi tiga jiwa yang berbeda
secara berturut-turut: jiwa vegetatif (al-nabātiyyah), hewani (al-hayawāniyyah), dan insan (al-
insāniyyah) atau rasional (al-nātiqah).
Kekuatan yang khas pada jiwa hewani adalah penggerak (motive) dan perseptif, dimana
masing-masing memiliki dua jenis. Kekuatan penggerak beroperasi sebagai pembangkit (arouser)
tindakan (al-bā’ithah ‘alā ‘l-fi’l) pada satu sisi, dan sebagai dirinya sendiri pengaktif (fā’ilah) atau
aktuator di pihak lain. Sebagai pembangkit tindakan, hal tersebut mengarahkan gerakan yang
ditarik oleh apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Ketika tertarik dengan apa yang
dibayangkan sebagai sesuatu yang bermanfaat, hasratnya terhadap hal itu membangkitkan
kekuatan aktif untuk mencapainya. Ketika ditarik oleh apa yang dianggap berbahaya,
keengganan terhadapnya itu membangkitkan kekuatan aktif untuk menghindari atau
menanggulanginya. Daya tersebut adalah keinginan yang kuat (appetitive/nuzū’iyyah), dan
aktifitasnya diarahkan oleh dua sub-fakultas: fakultas hasrat (al-shahwāniyyah), dan fakultas
amarah (al-ghadabiyyah). Sebagai aktuator, daya tersebut memulai dan mengomunikasikan awal
pergerakan yang memulai operasi dari saraf, otot, tendon, dan ligamen menuju pemenuhan
tujuannya berdasarkan dengan apa yang dihasrati atau dilawannya.138
Dalam hal daya perseptif, hal ini terdiri atas panca indera eksternal (al-hawāss) dalam
tatanan pengembangan akan sentuhan, bau, rasa, penglihatan, dan pendengaran secara berturut-
turut. Hal tersebut menampilkan fungsi persepsi terhadap hal-hal partikular dalam dunia
eksternal. Dalam tambahan pada hal tersebut itu terdapat panca indera internal yang menerima
secara internal citra inderawi dan makna mereka, mengombinasikan atau memisahkan mereka,

137
Ma’ārij, hlm. 21-22; Shifa, hlm. 9-10; Najāt, hlm. 197.
138
Ma’ārij, hlm. 37 fol.; Shifā’, hlm. 33; Najāt, hlm. 197-198.

114 Prolegomena
menerima gagasan akan mereka, memelihara konsepsi yang sedemikian diterima, dan
menampilkan inteleksi terhadap mereka.139
Kekuatan perseptif dari indera-indera internal dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis:
beberapa menerima tetapi tidak menyimpan objek mereka; beberapa menyimpan objek tetapi
tidak bertindak terhadap mereka; beberapa menerima objek dan bertindak terhadap mereka.
Persepsi itu merupakan baik akan bentuk atau makna (cth. maksud atau penunjuk) dari objek-
objek inderawi; dan indera-indera yang menyimpan objek mereka baik menyimpan bentuk atau
makna mereka; dan indera-indera yang bertindak terhadap objek-objek mereka bertindak pada
bentuk atau makna mereka. Penerima kadang-kadang menerima secara langsung dan kadang-
kadang secara tidak langsung melalui kekuatan perseptif yang lain. Perbedaan antara bentuk dan
makna adalah bahwa bentuk merupakan apa yang pertama kali diterima dengan indera eksternal,
dan kemudian oleh indera internal; makna merupakan apa yang indera internal terima dari objek
inderawi tanpa sebelumnya menerima dengan indera eksternal. Dalam tindakan persepsi,
penerima menerima bentuk dari objek eksternal, yakni, sebuah citra atau representasi dari realitas
eksternal, dan bukan realitas itu sendiri. Maka apa yang diterima indera bukanlah realitas
eksternal, tetapi sebagai representasi dalam indera-indera. Realitas eksternal adalah yang darinya
indera mengabstraksi bentuknya. Secara serupa, dalam hal makna, bentuk intelijibel merupakan
representasi realitas yang tercetak kepada jiwa, karena intelek sudah mengabstraksi mereka dari
tambahan aksidental yang asing terhadap sifat-dasar mereka, seperti kuantitas, kualitas, ruang,
dan posisi.140
Eksistensi indera-indera internal ditetapkan dengan jalan intuisi (al-wijdān).141 Yang
pertama dari indera-indera internal tersebut menerima informasi yang dibawa indera-indera
eksternal, mengombinasi, dan memisahkan citra internal atau representasi dari objek inderawi
eksternal. Indera tersebut adalah indera umum (al-hiss al-mushtarak),142 yang juga disebut fantasi
(fantāsiā). Indera umum secara langsung menerima data dari panca indera eksternal. Hal yang
serta merta adalah bahwa objek-objek inderawi eksternal pertama kali ditampilkan pada indera
eksternal sebelum mereka dapat diterima oleh indera umum. Indera umum hanya menerima
sensasi individual yang partikular, dan bukan pengertian universal, dan indera tersebut mampu
merasakan nikmat dan sakit, baik diterima dalam imajinasi maupun dalam objek inderawi
eksternal. Indera umum mengumpulkan bersama bentuk inderawi, mengombinasikan dan
memisahkan bentuk-bentuk yang sama dan yang berbeda sehingga memungkinkan persepsi.
Persepsi terhadap bentuk ini, yang merupakan citra atau representasi internal dari objek inderawi,
disebut fantasi, dan perekamnya adalah indera imajinasi (al-khayāl) atau fakultas representatif (al-
khayāliyyah). Indera umum, dapat lebih lanjut dicatatkan, hanya menerima data yang disediakan
indera eksternal, yang mengumpulkan bersama yang sama dan yang berbeda, tetapi tidak
menyimpan apa yang diterima.
Fungsi perekaman dan penyimpanan citra atau bentuk objek eksternal yang diterima
indera umum berada pada indera internal kedua yang disebut fakultas representatif yang baru
saja disebutkan. Fakultas ini menyimpan citra-citra yang merepresentasikan objek eksternal ketika
139
Ma’ārij, hlm. 41; Shif’a, hlm. 33-34; Najāt, hlm. 198.
140
Ma’ārij, hlm. 44-45; Najāt, hlm. 200-201
141
Istilah wijdān digunakan oleh al-Ghazāli dalam Ma’ārij (hlm. 45). Di sini itu dipahami dalam pengertian
umum sebagai intuisi berdasarkan introspeksi.
142
Cth. sebuah indera internal yang umum bagi semua panca indera eksternal. Indera tersebut menyatukan
sensasi dari semua indera dalam sensasi atau persepsi secara umum. Untuk al-hiss al-mushtarak, lihat Al-
Shifā’, hlm. 145 fol. Terjemahan istilah Latinnya adalah communis sensus, dari mana istilah ‘indera umum
(common sense) diturunkan. Maka, di sini indera umum digunakan sebagai istilah teknis, dan bukan dalam
penggunaan umum setiap hari sebagai sesuatu yang cukup bukti atau jelas.

115 Prolegomena
objek tersebut tidak lagi hadir pada indera eksternal, dan dengan demikian merekam informasi
yang diterima oleh indera umum dari indera-indera eksternal dan memelihara citra-citra mereka,
makna individual dan kolektif mereka, dan representasi itu sudah ada di tempat tersebut untuk
kehadiran indera internal yang ketiga, yakni fakultas estimatif (al-wahmiyyah).
Fakultas ini menerima hal-hal inderawi partikular terhadap makna non-inderawi mereka,
seperti kebencian dan cinta, dan menampilkan fungsi putusan terhadap yang benar dan salah dan
yang baik dan buruk menyentuh pada objeknya seolah-olah mereka itu objek inderawi dunia
eksternal. Fakultas estimasi adalah dimana putusan dan pendapat dibentuk, dan kecuali
diperintah oleh intelek, kekuatan estimatif dan kekuatan imajinatif yang terhubung dengannya
merupakan sumber kesalahan terhadap putusan.143 Dengan fakultas ini, contoh, jiwa menolak
substansi intelektual yang tidak terikat maupun dilokasikan; dengannya jiwa mengakui eksistensi
kehampaan yang meliputi alam semesta; dan dengannya juga jiwa dibuat menerima keabsahan
silogisme berdasarkan premis rumit dan untuk membedakan dalam kedatangan kepada
kesimpulan. Fakultas estimatif mengarahkan putusan bukan dalam jalan analitik yang
mengarakteristikkan putusan intelektual, tetapi dengan jalan imajinatif yang ditentukan oleh
citra-citra memori melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu, atau bukan dengan citra-
citra memori, tetapi dengan sebuah interpretasi naluriah akan citra yang diterima oleh jiwa tanpa
melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu.144
Seperti fakultas representatif yang memelihara bentuk yang diterima dari indera umum,
indera internal keempat, yang disebut fakultas retentif dan rekolektif (al-hāfizah dan al-dhākirah),
menyimpan makna dan memelihara mereka untuk fakultas estimatif yang menerima makna
tersebut. Fakultas retentif itu menyimpan makna partikular dan mengingat mereka untuk
pemeriksaan yang dekat dan penilaian oleh penerima selama apapun sejauh mereka tetap di
dalamnya. Ketika mereka menjadi absen dari retensi dan penerima ini memohon untuk
memanggil mereka kembali, maka hal tersebut disebut fakultas rekolektif. Hubungan fakultas
retentif dengan makna sama seperti hubungan fakultas representatif dengan hal-hal inderawi
yang citranya dibentuk dalam indera umum.
Indera internal kelima adalah fakultas imajinatif (al-mutakhayyilah). Fakultas imajinatif
menerima bentuk, kemudian mengombinasikan dan memisahkan mereka dalam tindakan
klasifikasi; menambahkan kepada mereka dan mengambil dari mereka sehingga jiwa dapat
menerima makna objek dan menghubungkan mereka dengan bentuk atau citranya. Kecondongan
alamiah fakultas inilah untuk menampilkan fungsi penilaian dalam bentuk teratur atau non-
teratur, sehingga dengan cara demikian jiwa dapat menggunakannya untuk merumuskan tatanan
apapun sekehendaknya. Jiwa menggunakan fakultas ini untuk tujuan klasifikasi dengan
mengombinasikan dan memisahkan objek-objeknya, dimana kadang-kadang melalui rasio praktis
dan kadang-kadang melalui rasio teoritis. Sifat-dasarnya yang esensial adalah menampilkan
fungsi mengombinasikan dan memisahkan, dan bukan persepsi. Ketika jiwa menggunakannya
sebagai instrumen intelektual fakultas tersebut bersifat kogitatif; dan ketika digunakan
berdasarkan kecondongan alamiahnya fakultas tersebut bersifat imajinatif. Jiwa menerima apa
yang fakultas ini kombinasikan dan pisahkan terhadap bentuk-bentuk melalui perantara indera
umum maupun melalui perantara fakultas estimatif. Dalam bentuk yang lebih berkembang
fakultas ini menangkap gagasan melampaui lingkungan inderawi dan citra inderawi. Fakultas
tersebut secara khusus merupakan fakultas manusia yang tidak ditemukan dalam hewan yang
lebih rendah. Dengan fakultas ini dibangun prinsip keniscayaan dan aplikasi universal.

143
Mishkāt, hlm. 47.
144
Ma’ārij, hlm. 46.

116 Prolegomena
Maka, indera internal yang kelima, memiliki fungsi ganda yang berhubungan dengan jiwa
hewani dan manusia secara berturut-turut. Dalam pengertian ini, fakultas ini memiliki dua aspek:
sebagai aspek pada indera, dan sebuah aspek pada intelek. Dalam kasus sebelumnya indera
internal tersebut menerima bentuk inderawi sebagaimana indera menerimanya, yakni baik
sebagai realitas atau sebagai sesuatu yang metaforis. Sebagai sebuah realitas indera tersebut
menghadirkan bentuk sebagaimana hal tersebut adanya dalam dirinya sendiri; sebagai sebuah
metafora indera tersebut menghadirkan bentuk bukan sebagaimana hal tersebut adanya dalam
dirinya sendiri, tetapi sebagai bentuk yang dilihat dengannya sebagaimana adanya dalam dirinya
sendiri, contoh, sebuah fatamorgana. Dalam kasus yang kemudian indera tersebut menerima
bentuk-bentuk intelijibel sebagai fakultas kogitatif yang menangkapnya, yakni, sebagai benar atau
palsu. Sebagai sesuatu yang benar hal tersebut merupakan bentuk tersebut sebagaimana ia
sungguh-sungguh ada; sebagai sesuatu yang salah hal tersebut merupakan bentuk yang bukan
sebagaimana ia sungguh-sungguh ada, tetapi sebagai bentuk yang diterima olehnya seperti ia
sesungguhnya ada, contoh, sulap atau sihir, atau putusan salah yang lain terhadap fakta.145 Dalam
hubungan dengan jiwa hewani fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi inderawi (al-
mutakhayyal) yang menghasilkan kemampuan teknik dan artistik; dalam hubungan dengan jiwa
manusia fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi rasional (al-mufakkirah). Dalam hubungan
dengan jiwa rasional manusia fakultas ini bersifat kogitatif. Fungsinya itu sebagai pengatur data
dari rasio teoritis, mengombinasikan dan mengatur mereka sebagai premis-premis yang darinya
ia mendeduksikan pengetahuan diinformasikan.
Kemudian dari pengetahuan ini fakultas tersebut menurunkan kesimpulan, dan dari dua
jenis kesimpulan sedemikian fakultas tersebut menurunkan yang lain dan mengombinasikan
mereka namun mendapatkan lagi kesimpulan yang baru dan seterusnya.146
Maka, hal-hal tersebut merupakan panca indera internal yang dijelaskan secara ringkas
dan umum. Dengan referensi pada klasifikasi mereka ke dalam tiga jenis kini kita dapat
mengidentifikasi mereka: penerima bentuk adalah indera umum, dan pemeliharanya adalah
fakultas imajinatif atau representatif. Penerima makna adalah fakultas estimasi, dan
pemeliharanya adalah fakultas retentif dan rekolektif. Yang menerima dan bertindak terhadap
objeknya adalah fakultas imajinatif, sementara yang hanya menerima dan tidak bertindak
terhadap objeknya adalah fakultas estimasi dan indera umum. Indera-indera internal tersebut
tidak memiliki organ spesifik sebagai instrumen perantara yang menampilkan fungsi spesifik
seperti yang ada pada indera eksternal, tetapi mereka merupakan suatu kualitas imajinal dan
intelektual dan memiliki hubungan dengan perantara fisik, dan pelbagai fungsi mereka
dilokalisasi dalam bagian depan, belakang, dan tengah dari otak.147
Fakultas-fakultas jiwa bukan entitas terpisah yang masing-masing bertindak secara
berbeda terlepas dari jiwa itu sendiri. Mereka terlihat demikian dan menampilkan fungsi yang
berbeda beberapa dari mereka lebih dahulu dalam waktu dari yang lain bukan karena mereka
secara esensial berbeda satu sama lain, tetapi karena lokalisasi fungsi melalui organ yang berbeda,
dan yang fungsinya teraktualisasi pada waktu yang berbeda, dan berkaitan dengan kondisi yang
berbeda di mana jiwa tersebut terlibat. Dalam hal ini, fakultas-fakultas jiwa pada kenyataannya
merupakan jiwa itu sendiri yang mewujudkan dirinya berdasarkan pelbagai modusnya.
Jiwa manusia yang rasional juga memiliki dua kekuatan yang keduanya merupakan aspek
dari intelek yang sama. Salah satu dari aspek tersebut adalah aktif (‘āmilah), dan yang lain kognitif
(‘ālimah). Sejauh fungsinya sebagai intelek aktif jiwa tersebut merupakan prinsip pergerakan dari

145
Ma’ārij, hlm. 77.
146
Ibid, hlm. 45-47.
147
Ma’ārij, hlm. 47-48; Shifā’, hlm. 145-150.

117 Prolegomena
tubuh manusia. Jiwa tersebut merupakan rasio praktis, yang mengarahkan tindakan individu
dalam kesepakatan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif. Dalam hubungan dengan
kekuatan penggerak dari jiwa hewani, yang bertanggungjawab dalam penggunaan keinginan
supaya hasrat atau kemauan akan muncul dalam tindakan, jiwa tersebut menghasilkan emosi
manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan representasi, fakultas estimatif, dan
imajinatifnya jiwa tersebut mengatur objek fisik dan menghasilkan kemampuan dan seni
manusia; dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional jiwa tersebut memunculkan
premis-premis dan kesimpulan. Sejauh jiwa tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia ia
mempengaruhi perilaku etis dalam manusia yang melibatkan pengenalan keburukan dan
kebajikan.148
Jiwa dapat dipertimbangkan sebagai memiliki dua aspek dalam hubungan penerima dan
pemberian-efek: sebuah aspek menuju apa yang lebih rendah dalam derajat dari dirinya sendiri,
seperti tubuh; dan sebuah aspek menuju apa yang lebih tinggi derajatnya daripada dirinya
sendiri, seperti dunia ruh darimana dirinya berasal. Dalam hubungan dengan apa yang diterima
dari apa yang ada di atasnya untuk kemanfaatan dan tindakannya, jiwa adalah penerima efek;
dan dalam hubungan dengan apa yang di bawahnya, jiwa tidak dapat menjadi seorang penerima,
tetapi pemberi efek.149 Dari aspek jiwa ini yang menghendaki menuju apa yang lebih rendah
muncul persoalan prinsip etis dan gagasan terhadap keburukan dan kebajikan bagi petunjuk
tubuh; dan dari aspek yang melihat pada apa yang lebih tinggi jiwa menerima pengetahuan.
Sebagai seorang penerima kekuatan kreatif dari pengetahuan melalui inteleksi dan intuisi jiwa
merupakan intelek kognitif. Kekuatan intelek kognitif bersifat spekulatif (nazariyyah). Hal tersebut
memengaruhi kepada pengaturan bentuk universal yang secara absolut terpisah dari materi;
tujuannya adalah abstraksi akan intelijibel dari materi, ruang, dan posisi; intelek kognitif
bertindak pada konsep dari konsep seperti intelijibel sekunder (al-ma’qūlat al-thāniyah).150 Jika
bentuk-bentuk universal tidak sepenuhnya terpisah dari materi, tetapi terpisah hanya dalam
pelbagai derajat pemisahan yang tetap memiliki hubungan material, seperti konsep objek dari
dunia eksternal atau intelijibel primer (al-ma’qūlāt al-ūlā),151 maka hal tersebut akan memengaruhi
pemisahan absolut mereka dengan abstraksi. Jika bentuk-bentuk universal dalam dirinya itu
abstrak, maka intelek kognitif mengambil mereka sebagaimana adanya mereka.
Proses abstraksi dari inderawi ke intelijibel, yang pada kenyataannya merupakan sebuah
proses epistemologis menuju kehadiran kepada makna, mengalami pelbagai tahapan pemenuhan
yang memimpin kepada kesempurnaan. Proses tersebut sudah dimulai pada tindakan awal
persepsi oleh indera; kemudian mencapai pada derajat tipis yang lebih tinggi akan pemenuhan
dengan imajinasi, dan lebih lanjut diperbaiki fakultas estimasi bahkan sebelum mencapai
abstraksi penuh dan sempurna oleh intelek.152 Bentuk-bentuk inderawi dan partikular yang sudah
dicetak dalam fakultas estimasi, imajinasi, dan sensasi sebelum kehadiran bentuk intelijibel dan
universal dalam intelek, hal tersebut tertinggal dalam entitas-entitas fisik yang menampilkan
kekuatan perseptif dan fakultas-fakultas yang fungsinya dilokalisasi dalam tubuh. Ketika bentuk-
bentuk tersebut hadir dalam fakultas-fakultas tersebut dan disimpan oleh pemelihara mereka,
mereka bertugas sebagai bentuk-bentuk intelektual, atau bentuk-bentuk yang mengalami
abstraksi penuhnya yang membutuhkan penggunaan kekuatan intelek. Dalam hal hubungan

148
Ma’ārij, hlm. 49-50; Shifā’, hlm. 185; Najāt, hlm. 202-203.
149
Cth. Akibat yang baik atau yang buruk. Lihat tiga derajat jiwa yang disebutkan dalam hlm. 146-147 di
atas.
150
Cth. Seperti konsep ‘hewan rasional’ sebagaimana diturunkan dari konsep lain dari ‘manusia’.
151
Cth. Seperti konsep ‘manusia’ sebagaimana berhubungan pada sebuah maujud manusia yang partikular.
152
Lihat Ma’ārij, hlm. 61-62; Shifā’, hlm. 50-51 fol; Najāt, hlm. 207-210.

118 Prolegomena
intelek dengan imajinasi rasional, isi dari imajinasi yang melayani intelek sebagai intelijibel
potensial, lalu menjadi intelijibel aktual ketika intelek menilai mereka; bukan dalam pengertian
berubah menjadi bentuk lain dari kondisi potensialitas mereka dalam imajinasi, atau dipindahkan
dari hal yang sudah disebutkan, karena mereka tetap sebagaimana adanya mereka dalam
imajinasi dan mempertahankan karakter mereka sebagai citra. Hanya ketika intelek menilai citra,
mereka menghasilkan sebuah akibat seperti akibat yang muncul ketika sinar jatuh kepada hal-hal
inderawi yang dibungkus dalam kegelapan yang membuat mereka terlihat. Dengan demikian
intelijibel aktual merupakan sesuatu yang lain daripada bentuk dari imajinasi, yang hanya
bertugas menciptakan bentuk-bentuk lain dalam intelek ketika intelek menilai mereka, yakni,
mempertimbangkan, membandingkan dan menganalisis mereka, dan kemudian mengabstraksi
mereka dari tambahan material dan tiba pada makna universal mereka. Pertama kali intelek
memisahkan sifat-dasar esensial mereka dari tambahan aksidental, karakteristik yang sama dan
berbeda, lalu dari banyak makna yang sama intelek dapat tiba pada makna universal tunggal
mereka; dan dari makna yang sama dalam masing-masing dari yang berbeda intelek mampu tiba
pada makna mereka yang majemuk. Maka, intelek memiliki kekuatan menurunkan banyak
makna dari yang tunggal, dan makna tunggal dari yang banyak. Aktifitas intelek ini menjadi
termanifestai dalam rumusan kita dalam pembagian logis akan genus, spesies, dan diferensia;
rumusan akan silogisme kita yang memampukan kita untuk tiba pada kesimpulan; rumusan
definisi-definisi.153
Dalam hal keberadaan intelek sebagai seorang penerima akan akibat dari apa yang ada di
atasnya, kekuatan spekulatif dari intelek kognitif memiliki banyak hubungan dan operasi.
Kekuatan tersebut bukan hanya penerima pasif, karena yang merupakan penerima terhadap
sesuatu yang lain adalah penerima dalam pengertian kekuatan dan tindakan.154
Kekuatan itu bermakna tiga cara dalam pengertian prioritas dan posterioritas: sebagai
potensi absolut (al-isti’dād al-mutlaq); sebagai yang mungkin (mumkinah) atau posesif (malakah); dan
kesempurnaan (kamāl). Potensi absolut adalah kondisi being yang hanya merupakan potensialitas
yang mampu menerima akibat; potensi absolut merupakan kekuatan murni tanpa tindakan,
seperti kekuatan pada anak kecil untuk menulis. Seperti anak kecil yang tumbuh dan berkembang
menjadi pemuda, kekuatan dalam potensialitas terhadap menerima akibat secara bertahap
teraktualisasi dengan instrumen aktualisasi pada tingkat tersebut yang mungkin baginya untuk
menerima pada tahap ini tanpa membutuhkan perantara instrumen fisik apapun.155 Dia kini tahu
bagaimana menggunakan tinta, dan pena; dan memahami huruf-huruf sederhana dan dengan
demikian memiliki kapasitas untuk menuliskannya. Kemudian ketika dia menjadi dewasa,
kekuatannya menjadi teraktualisasikan sepenuhnya dengan instrumen aktualisasi, sehingga dia
dapat bertindak kapanpun dia menginginkannya tanpa membutuhkan kemahiran, tetapi yang
cukup baginya hanya dengan menginginkan tindakan lalu dia bertindak, seperti kekuatan pada
penulis yang telah mencapai kesempurnaan dalam kemampuan dan pengetahuannya ketika dia
tidak menulis. Tentu saja, inteleklah yang merupakan agen atau instrumen aktualisasi dari
kekuatan yang terbentang dalam potensialitas dalam pelbagai tahapan perkembangan manusia
dari anak-anak kepada dewasa.156
Hubungan dan operasi kekuatan spekulatif intelek kognitif melibatkan empat aspek
intelek yang mengatur tahap perkembangan intelektual manusia dari hanya potensi menuju

153
Shifā’, hlm. 208-211; Ma’ārij, hlm. 126.
154
Ma’ārij, hlm. 51; Shifā’, hlm 39; Najāt, hlm. 204.
155
Tanpa membutuhkan perantara instrumen fisik apapun, sebab instrumen sejati dari aktualisasi adalah
intelek, sebagaimana baru kita nyatakan.
156
Ma’ārij, hlm 91; Shifā’, hlm. 39-40; Najāt, hlm. 204

119 Prolegomena
aktualisasi sempurna. Aspek pertama itu disebut intelek material (al-’aql al-hayūlanī). Hal itu
disebut demikian dengan jalan analogi dengan konsep Yunani tentang materi dasar (al-hayūlā:
bahasaYunani hylê), yang merupakan materi murni tanpa bentuk, tetapi mampu menerima semua
bentuk. Namun, terdapat perbedaan antara konsepsi Yunani tentang materi dasar dan intelek
material yang kita bicarakan di sini; dan hal itu adalah bahwa sementara materi dasar mampu
menerima semua bentuk, intelek material hanya menerima bentuk yang potensialitas atau
kekuatan partikularnya mampu menerima dan kapasitas laten ini tidaklah sama bagi setiap
individu.157 Aspek kedua adalah intelek mungkin (al-’aql al-mumkin) atau intelek posesif (al-’aql
bi’l-malakah), yang mampu, dengan kekuatan yang telah diaktifkan di dalamnya, untuk menerima
dari intelijibel primer prinsip pertama yang dibangun oleh premis-premis di atas sandaran
kebenaran swa-bukti, yakni, yang diperoleh bukan dengan deduksi maupun verifikasi, tetapi
secara serta merta — seperti penangkapan terhadap kebenaran dalam pernyataan bahwa
keseluruhan sesuatu adalah lebih besar daripada bagiannya, atau bahwa hal-hal yang sepadan
dengan yang lain dan hal yang sama itu adalah sepadan satu sama lainnya. Berkenaan dengan
intelek material, intelek ini (intelek mungkin, pen.) aktif, karena sementara yang terdahulu hanya
memiliki kekuatan tanpa tindakan sedemikian sehingga tidak ada yang dapat mengeluarkan
darinya, maupun memiliki instrumen aktualisasi yang dapat dicapai dengannya, intelek yang
kemudian inilah yang merupakan agen untuk membawa apa yang potensial pada yang terdahulu
berdasarkan kekuatan untuk menghasilkan yang mungkin dalam dirinya sendiri pada tahap ini.
Berhubungan dengan intelek posesif, intelek yang dalam aksi ini memungkinkan bagi yang
sebelumnya menangkap bentuk spekulatif dari intelijibel primer, yang darinya menjadi
mungkinlah bagi yang terdahulu untuk tiba pada intelijibel sekunder. Intelek posesif tidak
menilai bentuk-bentuk tersebut atau memberi pandangan-mendalam ke dalam sifat-dasar sejati
mereka, tetapi hanya bertindak sebagai tempat penyimpanan mereka. Dalam hal ini intelek
tersebut itu posesif karena mampu memiliki dan memelihara bentuk-bentuk untuk tindakan lebih
lanjut oleh apa yang datang setelahnya. Pada tingkatan ini, intelek-dalam-aksi lagilah yang
menilai bentuk-bentuk spekulatif dengan tindakannya; intelek tersebut menampilkan inteleksi
terhadap mereka, dan menerima yang ditampilkan oleh inteleksi. Intelek tersebut disebut intelek-
dalam-aksi (al’aql bi’l-fi’l) karena merupakan agen untuk membawa keluar dengan tindakan, dan
menampilkan inteleksi kapanpun ia inginkan tanpa membutuhkan usaha kemahiran. Dalam
hubungan dengan apa yang datang setelahnya, intelek-dalam-aksi dapat disebut intelek potensial
(al’aql bi’l-quwwah); karena sifat-dasar aktif dari intelek ini, dalam hubungan dengan kapasitasnya
untuk bertindak secara absolut lalu menilai lebih lanjut bentuk-bentuk yang dihadirkan di
dalamnya dengan tindakan, dan dengan cara yang sama intelek tersebut menampilkan inteleksi
terhadap mereka dan lebih lanjut menampilkan inteleksi terhadap inteleksinya. Pada tahap
aktualisasinya ini intelek itu disebut intelek perolehan (al’aql al-mustafād). Intelek tersebut disebut
perolehan sebab ia menerima secara jelas bahwa ketika intelek potensial menjadi aktualitas
absolut, hal tersebut demikian dengan sebab intelek yang selalu dalam aksi, dan bahwa ketika
intelek yang selalu dalam aksi ini membuat sebuah hubungan spesifik dengan intelek potensial,
intelek perolehan mencetak ke dalam yang kemudian sebuah bentuk spesifik, sehingga intelek
tersebut memperoleh bentuk tersebut dari luar dirinya sendiri.158
Dari halaman depan menjadi jelas bahwa terdapat tiga tahap yang dengan melaluinya
intelek manusia melewati perkembangan intelektualnya dari potensialitas murni kepada
aktualitas. Tahap pertama adalah intelek material, yang bukan apa-apa kecuali sebuah potensi
murni penerimaan bentuk-bentuk intelijibel. Ketika kondisi tidak aktifnya diaktifasikan kesan-

157
Lihat di bawah, hlm. 163 dan catatan 160.
158
Ma’ārij, hlm. 52; Shifā’, hlm. 39-40; Najāt, hlm. 205.

120 Prolegomena
kesan intelijibel yang datang dari intelek-dalam-aksi, menjadi mungkin baginya memiliki bentuk-
bentuk intelijibel tanpa sungguh-sungguh berpikir tentang mereka. Pada tahap ini telah
dicetakkan kepada intelek material bentuk-bentuk intelijibel dan menjadi pemelihara mereka.
Intelek tersebut tidak lagi dalam kondisi potensialitas absolut; intelek tersebut kini merupakan
intelek mungkin yang memiliki prinsip-prinsip pengetahuan. Hal ini merupakan tahap kedua.
Kemudian ketika pada tahap ini intelek mungkin, kembali diaktifasikan oleh intelek-dalam-aksi,
intelek mungkin menilai bentuk-bentuk intelijibel yang tercetak padanya. Ketika intelek mungkin
itu memiliki semua bentuk spekulatif dan penerimaan pun berhenti, intelek mungkin melewati
menjadi kondisi mapan yang cenderung untuk berpikir pada mereka. Kondisi terdahulunya dari
potensialitas relatif kini telah menjadi potensialitas yang disempurnakan. Pada tahap ini intelek
mungkin sebagai intelek-dalam-aksi menjadi mampu melakukan tindakan berpikir oleh dirinya
sendiri, dan kecenderungan untuk melakukan itu menjadi kebiasaan baginya. Tahap ini
merupakan tahap ketiga dimana intelek mungkin menjadi intelek posesif. Tahap perkembangan
tersebut adalah umum bagi semua manusia, tetapi dalam beberapa kasus terdapat tahap keempat.
Ketika intelek posesif sungguh-sungguh merefleksikan atas isinya sendiri, yakni, ketika ia
berpikir, dan berpikir terhadap pemikiran yang sedang dipikirkan, intelek tersebut telah
mencapai tahap aktualitas absolut dan menjadi intelek perolehan.
Karena intelek potensial tidak dapat dengan dirinya sendiri menjadi aktual, aktualisasi
intelek manusia dari potensialitas absolut kepada aktualitas absolut mengandaikan eksistensi
sebuah kecerdasan eksternal yang selalu dalam tindakan dan mengubah intelek manusia dari
kondisi murni laten kepada aktualitas yang sempurna. Kecerdasan eksternal ini adalah
Kecerdasan Aktif (al-’aql al-fa’āl) yang diidentifikasikan sebagai Ruh Suci (al-rūh al-qudus)159, dan
secara mendasar sebagai Tuhan. Dalam hubungan dengan intelek manusia, Kecerdasan Aktif
merupakan intelek-dalam-aksi yang mengangkat intelek material potensial dari kondisi tidak
aktifnya dengan mengaktifasikan di dalamnya pemikiran bentuk-bentuk universal dan kebenaran
abadi yang dengan demikian mengubahnya menjadi intelek mungkin. Kemudian, menjadi lebih
dan lebih diaktualisasi (cth. sebagai intelek posesif) dengan iluminasi yang diterima dari intelek-
dalam-aksi, intelek manusia menjadi mampu akan swa-inteleksi (cth. tahap dari intelek
perolehan) dan menyerupai Kecerdasan Aktif. Dalam hubungan dengan Kecerdasan Aktif, intelek
perolehan itu seperti intelek material potensial, yang diubah menjadi bentuk yang lebih tinggi
ketika menerima iluminasi dari yang sebelumnya. Dengan demikian intelek manusia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

absolut

potensial (dalam aksi)

mungkin

Intelek manusia (dalam aksi) Kecerdasan Aktif

Posesif

Sempurna (dalam aksi)

Perolehan Bentuk lebih tinggi

Ma’ārij, hlm. 124. Al-Ghazāli mengemukakannya sebagai bukti dari identitas Kecerdasan Aktif dari Teks
159

Suci: Al-Najm (53): 5-6; Al-Shūrā (42): 51; dan Al-Takwīr (81): 19-20; Ma’ārij, hlm. 123.

121 Prolegomena
Maka, hal tersebut merupakan pelbagai derajat kekuatan dalam hubungan dan operasi
sifat-dasar spekulatif dari intelek kognitif. Di sini kita lihat kesempurnaan genus hewan dan
spesies manusia itu diselesaikan dalam intelek perolehan. Kini intelek perolehan ini mencapai
bentuk-bentuk yang lebih tinggi dari intelek yang bertingkat dalam pelbagai derajat keunggulan.
Dalam hubungan dengan tataran ekisstensi yang lebih tinggi, intelek perolehan tidak lain dari
intelek suci (al-’aql al-qudsī), yang mengarakteristikkan intelek para nabi, orang suci, dan
pembelajar yang dibangun dalam pengetahuan, dimana masing-masing berdasarkan dengan
pelbagai derajat mereka dalam keunggulan. Meskipun jiwa manusia itu umum pada manusia
tetapi berbeda dalam potensi,160 dan hal tersebut berbeda pada individu berkaitan dengan
perbedaan dalam aksiden yang membangun setiap personalitas; dan kekuatan potensial dalam
intelek material oleh karena itu tidak sama kapasitasnya bagi setiap orang. Potensi dalam intelek
diatur berdasarkan kemuliaan jiwa, dan yang tertingginya yakni Nabi Suci.161
Intelek secara esensial merupakan sebuah substansi spiritual; intelek bersifat non-material
dan terpisah dari materi dan hanya tindakannya yang terhubung dengan materi. Sebuah entitas
fisik atau material seperti tubuh tidak dapat menerima maupun mengandung pengertian;
maupun pengertian dapat tertinggal dalam tubuh sebab entitas fisik dapat dibagi, dan apapun
yang tertinggal di dalamnya juga terbagi. Karena pengertian itu bentuk universal dan tunggal hal
tersebut tidak terbagi, dan mustahil untuknya tertinggal dalam entitas jasmani.162 Bentuk-bentuk
intelijibel, dan bahkan bentuk-bentuk imajinasi kognitif, tidaklah memiliki penyimpanan fisik.
Indera internal dalam tubuh menerima hanya bentuk inderawi partikular yang citra dan
maknanya disimpan dalam fakultas representatif dan retentif atau kolektif yang melayani
kekuatan imajinatif. Jika jiwa, yang tidak memelihara bentuk seperti itu, ingin memandang ulang
konsep rasional yang menyentuh pada mereka membutuhkan pertimbangan ulang terhadap
bentuk-bentuk tersebut melalui perantara fakultas tersebut, hal tersebut hanya harus memanggil
mereka sebagaimana mereka ada dalam penyimpanannya. Namun, jika mereka tidak lagi ada
dalam penyimpanan mereka maka penilaian terhadap mereka oleh jiwa rasional membutuhkan
proses perolehan ulang. Dalam hal bentuk intelijibel, intelek menggunakan makna mereka setelah
mereka telah tercetak di dalamnya. Intelek tidak memiliki realitas intelijibel aktual dalam diri
mereka sendiri, maupun mereka tidak dikandung baik dalam tubuh maupun entitas fisik apapun
seperti telah kita nyatakan, maupun dalam jiwa sebab jika mereka itu ada maka jiwa akan sadar
terhadap mereka; dan kesadaran terhadap mereka secara sederhana bermakna tindakan inteleksi
oleh jiwa rasional atau intelek, dan ini menunjuk pada bentuk dan makna mereka sebagaimana
tercetak di dalamnya, bukan pada realitas-realitas intelijibel itu sendiri. Karena realitas intelijibel
tersebut bukan dalam tubuh maupun dalam jiwa, mereka pasti ada secara eksternal bagi mereka.
Eksistensi terpisah mereka yang eksternal bagi mereka bermakna baik sebagai entitas yang swa-
berada, atau entitas yang inheren dalam sebuah substansi dimana mereka berasal dan yang
kecenderungannya adalah menjejakkan bentuk intelijibel dalam jiwa manusia. Tidaklah mungkin
bagi mereka untuk swa-berada, karena realitas intelijibel inheren dalam sebuah substansi; dan
dengan demikian maka penyimpanan mereka dan sumber asalnya merupakan substansi itu yang
kita sebut Kecerdasan Aktif.163
Hubungan Kecerdasan Aktif dengan jiwa adalah seperti matahari dengan mata.164 Tanpa
sinar yang datang dari matahari, mata yang dalam kegelapan tetap sebagai organ potensial dari

160
Al-Baqarah (2): 286; Al-A’rāf (7): 42; Al-Mu’minūn (23): 62.
161
Ma’ārij, hlm. 53; Shifā’, hlm. 212-220.
162
Ma’ārij, hlm. 123; Shifā’, hlm. 213-216.
163
Ma’ārij, hlm. 124.
164
Ma’ārij, hlm. 125; Shifā’, hlm. 208; Najāt, hlm. 231. Lihat juga di atas, hlm. 157-158.

122 Prolegomena
penglihatan; dan objek penglihatan tetap secara potensial untuk terlihat. Hanya ketika matahari
memancarkan sinarnya mata menjadi melihat secara aktual, dan objek mereka menjadi terlihat
secara aktual. Sehingga dalam cara serupa demikian juga intelek potensial menjadi intelek aktual,
dan intelijibel potensial menjadi intelijibel aktual dengan sinar yang dipancarkan oleh Kecerdasan
Aktif kepada jiwa. Ketika kekuatan intelektif dari jiwa — yakni, intelek potensial — menilai hal-
hal partikular dalam imajinasi, tindakan penilaian ini meletakkannya dalam sebuah kondisi
kesiapan untuk menerima bentuk intelijibel universal dari Kecerdasan Aktif dengan jalan
iluminasi. Tibanya kepada makna pada citra-citra partikular yang semua tambahan materialnya
telah diabstraksi oleh iluminasi Kecerdasan Aktif adalah berkaitan dengan penangkapan langsung
dalam jiwa atau intelek yang disebabkan iluminasi yang datang secara langsung dari Kecerdasan
Aktif. Maka unsur-unsur makna yang ada dalam citra-citra tersebut bukanlah penyebab akan
produksi kembaran mereka dalam intelek. Tindakan Kecerdasan Aktif kepada intelek potensial,
menyebabkan penangkapan langsung yang kemudian mengubahnya menjadi sebuah intelek
aktual, adalah sangat seperti penangkapan langsung yang tiba oleh intelek dari hubungan serta
merta antara premis-premis dan kesimpulannya dalam silogisme. Maka aktifitas jiwa dalam
penilaian terhadap hal-hal partikular hanyalah untuk membawa dirinya kepada sebuah kondisi
kesiapan untuk menerima intelijibel dari Kecerdasan Aktif.165
Dalam hubungan dengan jiwa, intelek merupakan sebuah fakultas atau kekuatan jiwa
yang menjadi termanifestasi dalam manusia sebagai jiwa rasional. Kekuatan intelektif ini
merupakan sesuatu yang berbeda dari jiwa rasional, karena agen aktifnya adalah jiwa, dan intelek
dalam hal ini merupakan instrumennya, seperti pisau dan tindakan pemotongan. Tapi pada
kenyataannya intelek, jiwa, dan pikiran, menunjuk kepada entitas yang sama, yang disebut
intelek sebab entitas tersebut adalah perseptif; disebut jiwa sebab entitas tersebut memerintah
tubuh; disebut pikiran sebab entitas tersebut cenderung pada penangkapan terhadap realitas-
realitas.
Jiwa manusia, meski independen dari tubuh, namun membutuhkan tubuh dalam dunia
fisik ini dengan maksud memperoleh prinsip-prinsip akan gagasan-gagasan dan kepercayaan-
kepercayaan. Dengan hubungannya dengan tubuh, jiwa rasional menggunakan kekuatan hewani
untuk memperoleh, diantara data yang diberikan padanya oleh indera-indera, hal partikular.
Melalui hal partikular tersebut jiwa rasional memperoleh, diantara hal-hal lain, empat informasi
persoalan:
(1) Isolasi makna universal tunggal dari yang partikular dengan jalan abstraksi terhadap
makna-makna mereka dari materi dan hubungan material dan hubungan
penyambung; dan pertimbangan terhadap faktor-faktor umum yang membedakan
dalam eksistensi esensial dan aksidental mereka. Melalui proses ini jiwa memperoleh
prinsip-prinsip gagasan dengan menggunakan fakultas imajinasi dan estimasi, seperti
genus dan diferensia, aksiden umum dan partikular.166

165
Ma’ārij, hlm. 125; Shifā’, hlm. 208.
166
Sebuah genus adalah kelas objek pengetahuan yang lebih luas dari spesies; contoh, ‘hewan’. Diferensia
adalah bagian yang membedakan sebuah spesies dari spesies lain dari genus yang sama; contoh, ‘rasional’
dari genus ‘hewan’. Aksiden adalah penampakan, kejadian, peristiwa, bagian esensial dari substansi yang
secara berkelanjutan digantikan oleh yang serupa. Sebuah aksiden partikular adalah sebuah aksiden yang
tak terpisahkan dari kelas objek, seperti ‘kehitaman’ dari gagak. Sebuah aksiden umum adalah aksiden
yang terpisah yang mengizinkan beberapa anggota dari kelas untuk dibedakan dari anggota lain dari kelas
yang sama, seperti kuda ‘putih’ atau ‘gemuk’ dari kuda ‘hitam’ atau ‘kurus’; hal tersebut secara sepadan
mengizinkan sesuatu untuk dibedakan dari dirinya sendiri pada waktu yang berbeda, sebagaimana terjadi
dalam semua kasus pertumbuhan dan pembusukan.

123 Prolegomena
(2) Pembangunan hubungan komparatif dan perbandingan antara bentuk universal
tunggal dengan cara negasi dan afirmasi.
(3) Perolehan premis-premis empiris, yang didapat dengan indera-indera melalui
pengalaman inderawi, dan dengan proses penalaran dari kasus yang paralel, atau
analogi, melalui observasi yang berulang.
(4) Berita yang secara bergantian disampaikan dimana disandarkan kepercayaan-lemah
yang benar.167

Kita telah demikian jauh menjelaskan secara ringkas dan umum aktifitas intelektif jiwa
dalam jalur keterlibatan kognitifnya di wilayah eksistensi material dan intelijibel, dunia materi
kasar dan dunia gagasan murni. Kita mengangkat bahwa aktifitas ini terdiri dalam abstraksi
materi dan tambahannya dengan indera-indera eksternal dan internal dan intelek. Karena kita
katakan bahwa jiwa merupakan substansi spiritual yang independen dari tubuh, dan karena
penjelasan terhadap aktifitas intelektif jiwa dan keterlibatan kognitif ini menyentuh dunia materi
dan intelek, tubuh dan pikiran, dapat salah ditafsirkan bahwa ketika tubuh tidak lagi hidup
kemudian jiwa kembali kepada dunia intelektual yang murni akan abstraksi penuh.168 Tetapi
kesadaran jiwa terhadap dirinya sendiri bukan hanya sesuatu yang intelektual dalam alam,
kesadaran tersebut juga sesuatu yang imajinal; dan ini berarti bukan hanya kekuatan intelektif
jiwa yang selamat dari kematian fisik, tetapi juga kekuatan imajinatif. Imajinasi merupakan
kekuatan kognitif dari jiwa. Kita di sini tidak menunjuk kepada aspek imajinasi yang disebut
fantasi, tetapi pada imajinasi ‘kreatif’ spiritual atau intelejensial yang merefleksikan dunia nyata
akan citra (‘ālam al-mithāl) yang secara ontologis ada secara independen diantara dunia kasar dan
dunia gagasan murni. Dunia perantara ini merefleksikan realitas-realitas dalam dunia murni
intelijibel yang pada gilirannya diproyeksikan olehnya dalam bentuk refleksi tidak sempurna
dalam dunia indera dan pengalaman inderawi.169 Hal-hal dalam dunia citra, yang ada dalam
realitas, sifat-dasar mereka sebagai citra tidak menjadi baik intelijibel murni maupun secara kasar
material. Citra, sebagaimana yang ada dalam kondisi mimpi, memiliki bentuk dan keluasan dan
kuantitas, namun mereka bukan material; mereka mengambil kedua aspek realitas, yang material
dan intelijibel, tetapi dalam sifat-dasarnya bukan salah satu yang tersebut maupun yang lain.
Mereka dengan demikian tidak seperti Idea Plato yang merupakan abstraksi murni dari intelek.170
167
Ma’ārij, hlm. 101-102; Shifā’, hlm. 197; Najāt, hlm. 220-221.
168
Psikologi jiwa manusia yang digoreskan dalam halaman depan, yang telah kita parafrasekan dari Ma’ārij
karya al-Ghazāli, secara besar diturunkan al-Ghazāli dari Shifā’ dan Najāt dari ibn Sinā sebagaimana
ditunjukkan dalam catatan referensi. Bagaimanapun, al-Ghazāli telah menambahkan modifikasi penting
miliknya sendiri. Dia kenyataannya juga memberikan ringkasan teori dari filsuf tentang kekuatan hewani
dan rasional dari jiwa dalam karyanya Tahāfut (Kairo, 1321H., hlm. 70-71), mengatakan bahwa apa yang
mereka afirmasi tidak berlawanan dengan agama — sebaliknya, agama meminjam dukungan dari teori
mereka dalam hal ini. Hanya saja klaim mereka dengan hal keutamaan intelek sebagai petunjuk satu-
satunya untuk pengetahuan sifat-dasar mendasar realitas kemudian dibantah (Tahāfut, hlm. 71). Agama,
terlepas dari menekankan peran kognitif dari intelek (‘aql) menekankan tidak kurang peran hati (al-qalb)
sebagai organ spiritual dari kognisi. Hati, juga disebut fu’ād, adalah organ persepsi spiritual (lihat untuk
contohnya dalam Qur’ān Suci, Al-Najm (53): 11). Persepsi spiritual ini, yang merupakan sifat-dasar dari
pengalaman perseptif dan rasa, terhubung dengan fakultas imajinatif dari jiwa. Lihat skema jiwa pada hlm.
176 di bawah.
169
Dunia Citra atau ‘ālam al-mithāl berhubungan dalam istilah teologis pada barzakh, yakni, sebuah dunia
perantara yang di dalamnya orang yang telah meninggal memasuki dan tinggal untuk sebuah periode dari
waktu kematian hingga kebangkitan.
170
Gagasan dunia nyata akan citra (‘ālam al-mithāl) dan sains simbolisme menyentuh pada interpretasi akan
refleksi dunia itu dalam dunia kita akan indera dan pengalaman inderawi, yang memiliki akar mereka pada

124 Prolegomena
Dengan demikian ketika kita berbicara abstraksi intelek terhadap materi dan tambahan
aksidentalnya, hal tersebut seharusnya tidak dipahami dengan demikian berarti bahwa jiwa
mengakibatkan penggundulan utuh terhadap bentuk-bentuk dalam pengertian; materialitas dalam
materilah yang diabstraksi intelek dan bukan pula imajinalitas, karena citra bukanlah materi dan
materialitas tidak menyentuh mereka. Imajinasi yang kita maksud, yang merupakan sebuah
fakultas kognitif atau kekuatan jiwa, seperti intelek, adalah immaterial, dan oleh karena itu tidak
‘mengandung’ citra. Ketika kita berbicara bentuk-bentuk intelijibel yang ada ‘dalam’ pikiran, atau
citra yang ada ‘dalam’ imajinasi kognitif, kita tidak bermaksud bahwa bentuk atau citra tersebut
itu ‘terkandung’ di dalam mereka; melainkan bahwa mereka merupakan konstruksi intelek atau
jiwa selama inteleksi terhadap mereka sedemikian sehingga mereka ‘hadir’ pada intelek, dan
karenanya ditunjuk sebagai terdapat ‘dalam’ pikiran; dan produksi imajinasi kognitif sebagaimana
melibatkan dirinya sendiri dalam memproyeksikan dunia inderawi.
Dalam kondisi sekarang, ketidakmampuan intelek memahami atau menerima entitas-
entitas abstrak tidak berkaitan dengan sifat-dasar esensialnya, maupun berkaitan dengan sifat-
dasar entitas-entitas abstrak, melainkan berkaitan pada keasyikannya sendiri dengan tubuh yang
dibutuhkan intelek seperti telah kita sebutkan. Kondisi ketertarikan dengan tubuh ini mencegah
intelek menerima realitas-realitas abstrak dalam sifat-dasar asli mereka sebab tubuh bertindak
sebagai halangan. Namun, ketika kesadaran terhadap tubuh dan diri atau ego subjektif
ditundukkan, intelek akan mampu membuat hubungan dengan Kecerdasan Aktif dan akan
mampu menerima realitas abstrak seperti apa adanya mereka.171
Tidak seperti intelek, yang mengalami perubahan dari kondisi potensialitas kepada
aktualitas, imajinasi sejak awalnya bersifat aktif. Aspek imajinasi tersebut yang kekuatannya
diarahkan menuju dunia indera dan pengalaman inderawi merupakan imajinasi sensitif atau
fantasi. Imajinasi tersebut melayani intelek praktis dengan menyediakan bentuk atau citra dan
makna partikular objek pengetahuan. Imajinasi tersebut juga sumber penghasil khayalan. Dalam
pertentangan dengan imajinasi sensitif, aspek imajinasi yang kekuatannya diarahkan menuju
alam intelek dan realitas spiritual adalah imajinasi kognitif, yang mampu merefleksikan bentuk-
bentuk dunia nyata dari citra. Akan tetapi, karena posisi-antara dunia citra, dan berkaitan dengan
fungsi ganda imajinasi yang diluruskan padanya, hal tersebut menjadi terlibat dalam operasi
terhadap kekuatannya baik dengan alam inderawi dan intelijibel, imajinasi tersebut tidak dapat
asyik pada dirinya sendiri dengan dunianya akan citra nyata tanpa pengalihan.172
Kita katakan dalam catatan bahwa hati (qalb) merupakan organ subtil dari kognisi yang
terhubung dengan fakultas imajinatif dari jiwa. Hati itu seperti cermin yang selalu-bolak-balik
dalam arah yang berbeda. Ketika bentuk muncul di depannya citra mereka terefleksikan di
tempat itu. Bentuk mereka sendiri tetap selalu di tempat mereka di luar cermin, sehingga mereka
tidak dipindahkan ke dalamnya pada perluasan bahwa cermin dapat mengandung mereka.
Hanya citra mereka yang direfleksikan dalam cermin. Dalam cara yang sama, hanya ketika cermin
hati berbalik menuju arah yang benar tanpa teralihkan menuju yang lain, dan jika hal tersebut
tidak kurang dalam kekuatan refleksinya dan telah mencapai kualitas yang sangat jelas jiwa

al-Ghazāli dan mungkin juga dalam ibn Sinā. Dalam Ma’ārij, al-Ghazāli telah memberi elaborasi meski
singkat akan kekuatan imajinasi (hlm. 135-145; lihat juga hlm. 125-134). Hal ini telah dikembangkan dalam
pemikiran metafisis muslim khususnya oleh ibn ‘Arabī, yang menurunkan banyak interpretasinya pada
sifat-dasar realitas dari tulisan-tulisan al-Ghazāli. Lihat lebih lanjut Mishkāt dari al-Ghazāli, yang
merupakan komentar yang dalam pada Ayat Cahaya dalam teks Suci, dan kesimpulan pada pengenalan
umum ‘Afīfī pada Mishkāt, hlm. 34-35. Lihat juga ibn ‘Arabī, Fusus, Kairo, 1964, hlm. 99-104; dan karya ‘Afīfī
Ta’līqāt pada Fusūs, hlm. 74-76; 105-118.
171
Ma’ārij, hlm. 127; lihat juga Najāt, hlm. 219-220.
172
Ma’ārij, hlm. 137.

125 Prolegomena
manusia akan mampu menerima secara jelas bentuk-bentuk sejati dan benar dari alam
intelejensial dan spiritual.173 Bayangkan dirimu sendiri di dalam sebuah objek bulat yang tak
tembus cahaya. Objek bulat ini ada di dalam objek bulat lain yang serupa, dan yang lain itu di
dalam yang lain lagi, semuanya masing-masing memiliki lubang tunggal. Kini semua objek bulat
tersebut terbalik, berputar dalam arah yang berbeda. Hanya ketika kamu memiliki kekuatan
membuat objek bulat tersebut berputar dan memutar sedemikian rupa sehingga lubang mereka
akan datang dalam sebuah garis hubung satu sama lain barulah sinar dari luar bersinar
melewatinya, memampukanmu melihat baik apa yang di dalam dan yang di luar.
Kekuatan imajinasi tidaklah sama pada manusia dan berbeda sesuai dengan derajat
keunggulan intelektual mereka dan kemuliaan jiwa. Beberapa lebih kuat dari yang lain, sehingga
mampu melihat penglihatan yang benar dari dunia perantara tersebut dan yang lain mungkin
tidak bisa. Kita yang mengafirmasi kenabian tidak dapat menolak kemungkinan bahwa bentuk-
bentuk dunia citra yang direfleksikan dalam imajinasi kognitif dapat tercetak dalam imajinasi
sensitif atau fantasi pada tingkatan bahwa penerima bentuk tersebut dapat sungguh-sungguh
melihat mereka dalam tampilan inderawi mereka. Tentu saja, dalam kasus Nabi Suci, untuk
contoh, imajinasi kognitifnya begitu kuat sehingga dia mampu menerima realitas intelijibel dalam
bentuk inderawinya (contoh malaikat dalam bentuk manusia); dan realitas inderawi dalam
bentuk intelijibel (contoh yang mati sebagai hidup di dunia lain).174
Maka fungsi imajinasi adalah menciptakan hal-hal yang inderawi, atau lebih jiwa
sendirilah yang menciptakan hal-hal inderawi dan bentuk yang dapat dipersepsi dari dalam
dirinya sendiri maupun citra objek yang tidak dapat diterima. Maka entitas yang berpikir dan
merasa yang padanya persepsi, apakah sensitif, imajinatif, dan intelektif, yang dihubungkan pada
kenyataannya bukanlah indera-indera internal dan internal, tetapi jiwa itu sendiri yang
menggunakan kekuatan kognitif dari kecerdasan dan imajinasi. Oleh karena itu jiwa bukanlah
sesuatu yang pasif; jiwa itu kreatif, dan melalui persepsi, imajinasi dan kecerdasan jiwa
berpartisipasi dalam ‘penciptaan’ dan interpretasi dunia indera dan pengalaman inderawi,
terhadap citra-citra, dan bentuk-bentuk intelijibel atau gagasan.
Jiwa, menurut tradisi Nabi Suci, diciptakan sebelum tubuh,175 berarti jiwa ada jauh
sebelum tubuh. Beberapa komentator berpikir bahwa kata ‘tubuh’ (tung. jasad) yang digunakan
dalam tradisi, lebih menunjuk kepada tubuh langit atau fisik. Dalam hal kata ‘ruh’ (tung. rūh)
yang muncul dalam tradisi yang sama dan yang dipahami menunjuk kepada jiwa, mereka
katakan bahwa hal itu menunjuk kepada entitas-entitas malaikat. Pandangan mereka dalam hal
ini merefleksikan posisi mereka yang sama saja dengan menolak pra-eksistensi jiwa, dan
nampaknya berasal dari posisi yang diambil ibn Sinā, yang berargumentasi berdasarkan prinsip
fisika, bahwa mustahil bagi jiwa berada sebelum tubuh. Pra-eksistensinya menurut prinsip
tersebut menyertakan beingnya baik sebagai kesatuan sederhana atau pluralitas, yang keduanya
itu mustahil. Lebih lanjut, argumen ibn Sinā terhadap pra-eksistensi jiwa diarahkan terhadap
doktrin metempsychosis (al-tanasukh).176 Beberapa pemikir Muslim dan para penulis nampaknya
mengambil argumen demikian sebagai sesuatu yang meyakinkan dan menolak pra-eksistensi
173
Ma’ārij, hlm. 93.
174
Ma’ārij, hlm. 78.
175
Ini adalah hadits yang cukup dikenal juga disampaikan dalam Ma’ārij, hlm. 111. Namun, Al-Ghazāli,
memberikan interpretasi terhadapnya yang diluruskan dengan posisi para filsuf yang, mengikuti
Aristoteles, mempertahankan bahwa setiap jiwa diciptakan untuk menempati tubuh partikular, yang
dengan demikian menolak pra-eksistensi jiwa. Tapi posisi ini, seperti kita akan nyatakan segera,
nampaknya tidak memiliki daya meyakinkan yang nyata dan jika dipandang demikian sebagai tidak dapat
dipertahankan.
176
Shifā’, hlm. 198-201; 202 fol; Najāt, hlm. 222-230. lihat juga Ma’ārij, hlm. 105-115.

126 Prolegomena
jiwa. Dalam hal bagian dalam Qur’ān Suci yang menunjuk pada penciptaan manusia dimana
Tuhan berkata bahwa setelah membentuknya (cth. membentuknya sebagai tubuh), Dia
menghembuskan ruh-Nya padanya,177 hal ini tidak menunjukkan secara meyakinkan bahwa
eksistensi tubuh itu lebih dahulu dari jiwa. Hal tersebut juga dapat diinterpretasikan bahwa ruh
yang dihembuskan ke dalam tubuh sudah menyiratkan tentang pra-eksistensi jiwa. Lebih lanjut,
dalam ayat lain dalam Qur’ān Suci Tuhan berkata: ‘Kamilah Yang menciptakanmu (cth. ruh atau
jiwa) dan kemudian Kami membentukmu (cth. tubuh).178 Dengan hal pada interpretasi ini istilah
jasad yang dimaksud, dalam tradisi yang ditunjuk di atas, bukan menunjuk kepada tubuh
manusia atau organik, tetapi tubuh fisik atau langit, kesaksian penggunaan linguistik
mendemonstrasikan bahwa jasad sinonim dengan badan, yang secara berbeda menunjuk kepada
tubuh organik dan tubuh manusia; sedangkan sebuah tubuh fisik atau langit itu biasa ditunjuk
dengan istilah jisim, meskipun jisim juga digunakan secara sinonim dengan jasad. Perbedaan biasa
antara jisim dan jasad itu, bagaimanapun, bahwa yang terdahulu menunjuk kepada tubuh dalam
genus kuantitas, sedangkan yang kemudian menunjuk kepada tubuh dalam genus hewan.179
Tapi kita tidak sepakat dengan posisi mereka akan jiwa. Kesetiaan mereka pada prinsip
fisika dalam menolak pra-eksistensi jiwa merefleksikan posisi esensialis atau mereka yang
mengafirmasi keunggulan kuiditas daripada eksistensi. Kita mempertahankan bahwa posisi
mereka terhadap jiwa itu membingungkan, dan memang ibn Sinā sendiri nampaknya telah
mengontradiksikan posisinya sendiri tentang pra-eksistensi jiwa dalam psikologi dan filsafat
timurnya, dimana keberadaan kedahuluan jiwa sudah tersirat.180 Kita tidak mengakui bahwa
prinsip fisika harus serta merta dibawa begitu tegas sebagai sifat-dasar jiwa yang diperhatikan.
Lebih lanjut, kita tidak mengakui bahwa afirmasi kita terhadap pra-eksistensi jiwa berhubungan
dengan doktrin metempsychosis, sejauh menyentuh pada dunia — yang juga kita tolak.181 Maupun
kita mengakui, dalam mengafirmasi pra-eksistensi jiwa dalam hubungan dengan tubuh, bahwa
kita percaya jiwa itu serta merta abadi (azali), karena kita mengafirmasi bahwa jiwa itu
diciptakan. Lebih lanjut, sejalan dengan mereka yang mengakui keunggulan eksistensi dari
kuiditas, posisi kita tentang pra-eksistensi jiwa tidak dapat disamakan dengan Platonisme atau
Neoplatonisme. Kita katakan, dengan al-Junayd dan yang lain,182 bahwa pra-eksistensi jiwa
menunjuk kepada kondisi yang tidak seperti eksistensi yang kita kenali, tetapi sebuah eksistensi
dalam kondisi interior Being, dalam kesadaran Tuhan. Pada kondisi eksistensi ini ditunjuk oleh
kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci ketika Dia memanggil pada jiwa: “Bukankah Aku Rabbmu?”
dan mereka menjawab: “Ya tentu saja!”183 dengan sebab kekuatan yang Tuhan berikan kepada
mereka untuk menanggapi panggilan-Nya, kita menyimpulkan bahwa jiwa mengetahui Tuhan
sebagai Rabbnya; jiwa mengetahui dirinya sebagai ciptaan-Nya; jiwa mengetahui jiwa lain yang
berbeda dari dirinya sendiri; dan jiwa memiliki kekuatan menangkap apa yang dikomunikasikan
pengetahuan. Untuk alasan ini — yakni, kepemilikan jiwa akan kekuatan kognitif membuatnya
mampu mengidentifikasi Rabb dan Pencipta-nya, dirinya, dan yang lain yang seperti dirinya, dan
membuat pembedaan maupun merumuskan dan mengomunikasikan tanda yang bermakna
177
Al-Hijr (15): 29.
178
Al-A’rāf, (7): 11. Lebih khusus, Al-’A’lā (87): 2.
179
Lihat karya saya Commentary on the Hujjat al-Siddīq, Ministry of Culture Malaysia, Kuala Lumpur, 1986,
hlm. 330, catatan 463, Chlm. Lisān al ‘Arab, vol. 3, hlm 120, kol. 1 dan 2; vol. 12, hlm. 99, kol. 1.
180
Contohnya al-Najāt, hlm. 223; dan Komentar Fazlur Rahman dalam Avicenna’s Psychology, London, 1952,
hlm. 107, dengan referensi pada bab. XII, hlm. 57. Lihat juga puisi ibn Sinā pada jiwa disebut Al-Qasīdatu
‘I-’ayniyyah, tr, oleh A.J. Arberry dalam Avicenna’s Theology, London, 1951 hlm. 77-78.
181
Lihat Tahafut, hlm. 86-87.
182
Junayd, Kitab al-Mithaq, hlm. 40-43; al-Kalabadhi, Kitab al-Ta’aruf; Bayrut, 1400/1980, hlm. 68.
183
Al-A’rāf (7): 172.

127 Prolegomena
dengan kekuatan bawaan akan berbicara (cth. nutq dengan referensi pada istilah qawl) – jiwa
disebut jiwa ‘rasional’.184 Hal ini juga berarti bahwa jiwa sudah memiliki beberapa bentuk
pengetahuan dari alam spiritual sebelum tambahannya kepada tubuh. Tubuh manusia dan dunia
indera dan pengalaman inderawi mengandaikan jiwa tersebut dengan sekolah untuk pelatihan
untuk mengetahui Tuhan juga, pada saat ini melalui tabir ciptaan-Nya.

184
Cth. al-nafs al-natiqah. Natiq menandakan kekuatan penalaran, fakultas rasional, dan berhubungan pada
istiah Yunani logos dan Latin ratio. Itu menunjuk pada fakultas dalam yang menangkap realitas dan
merumuskan makna melibatkan keputusan, pembedaan dan klarifikasi. Itu diturunkan dari akar bahasa
Arab yang sama yang mengandung makna dasar dari ‘bicara’, menandakan kekuatan tertentu dan
kapasitas untuk mengartikulasikan kata atau bentuk simbolik dalam pola bermakna. Mantiq, bahasa Arab
untuk logika, adalah diturunkan dari akar yang sama dan termasuk di dalamnya struktur semantik yang
dikandung oleh ma’qul, yang merupakan karakter intelijibel dari sesuatu seperti dipegang pikiran. Dalam
pengertian ini, ratio dapat dipahami sebagai sinonoim denga ma’qul, yang dalam bahasa Latin adalah
intentio. Menurut al-Ghazali, entitas ini yang kita sebut ‘jiwa rasional’ dan yang kita identifikasi dengannya
yang ditunjuk dalam ayat Qur’ān yang disebutkan di atas, menandakan aspek kedua dari hati (qalb)
menunjuk pada halaman 5 di atas. Entitas ini juga diidentifikasi olehnya sebagai ruh manusia (ruh) yang
membawa kepercayaan (amanah) yang dijamin Tuhan, dan yang dengan sifat-dasar diciptakan dengan
kekuatan dan kapasitas untuk hidup berpusat akan pengetahuan. Atu adalah, dengan perkataannya “Ya
tentu saja!” (bala), yang mengakui keesaan Ilahi. Itu juga akar asli (asl) dari manusia, yang mana kondisi
pokok dari eksistensi akan kembali pada dunia yang akan datang. Lihat Ma’ārij, hlm. 17.

128 Prolegomena
Jiwa

Manusia atau Rasional

Intelek Aktif Intelek Kognitif


Rasio Praktis Rasio Teoritis.
Prinsip dari Intelek; Material;
pergerakan tubuh Mungkin; Posesif;
manusia. Perolehan. Persepsi
mengarahkan akan sifat-dasar sejati
tindakan individu dari intelijibel yang
setelah secara hati- diabstraksi dari
hati dalam materi, ruang, posisi.
berdasarkan dengan Terhubung dengan
apa yang disetujui bentuk yang lebih
rasio atau fakultas tinggi dari tatanan
teoritis. eksistensi yang lebih
Memerintah sub- tinggi.
fakultas dari tubuh Imajinasi.
dan persoalan etis
melalui imajinasi
rasional.
Emosi. Seni.
Keputusan.
Sifat Buruk dan
Kebajikan.
Kehidupan Etis.

Hewan

Motif Perseptif

Penggerak Penggiat Indera-indera Indera-indera


pergerakan eksternal internal

Appetitive Bangkitkan Peraba Indera umum


Mengarah- kan kemuncu- lan Penciuman Representasi
pergerakan pergerakan Pengecap Estimasi
didorong oleh melalui saraf- Penglihatan Retensi-
sub-fakultas saraf, otot, Pendengaran Rekoleksi
dari Hasrat dan urat, dan Imajinasi
Amarah. ligamen.

Penerima Penerima
Sensitif dari Rasional dari
bentuk-bentuk bentuk-bentuk
inderawi intelijibel

Vegetatif

Nutrisi Pertumbuhan Reproduksi

129 Prolegomena
V
INTUISI AKAN EKSISTENSI
Penglihatan metafisis terhadap dunia dan realitas mendasar yang digambarkan dalam
Islām berbeda dari yang diproyeksikan oleh pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains
modern.185 Kita mempertahankan bahwa semua pengetahuan tentang realitas dan kebenaran, dan
proyeksi penglihatan yang benar akan sifat-dasar mendasar dari hal-hal itu secara asli diturunkan
melalui perantara intuisi.186 Intuisi yang kita maksud tidak dapat secara sederhana direduksi
kepada yang hanya beroperasi di tingkatan fisik dari rasio diskursif berdasarkan pada
pengalaman indera, karena kita mengafirmasi pada manusia akan kepemilikan kekuatan dan
fakultas fisik maupun kekuatan kecerdasan atau spiritual yang menunjuk kembali kepada entitas
spiritual, yang kadang-kadang disebut intelek, atau hati, atau jiwa, atau diri, maka eksistensi
rasional, imajinal dan empiris manusia harus terlibat baik di tingkatan fisik dan spiritual.187
Dalam pandangan terhadap manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, di tingkatan
biasa dari rasio dan pengalaman inderawi, dunia ini nampak baginya terdiri atas banyak bentuk
anekaragam dan anekawarna, yang masing-masing dipisahkan dari yang lain karena bentuk
individu, ukuran, warna, karakter, batasnya sendiri dan determinasi sedemikian, sehingga
masing-masing nampak bagi manusia sebagai sebuah objek independen dan swa-berada, atau
entitas yang memiliki realitas atau esensi individual. Dalam pandangan terhadap realitas pada
tingkatan pengalaman ini, dunia fenomena, dimana juga termasuk manusia, menghadirkan
dirinya sendiri sebagai dunia akan keanekaragaman dan multiplisitas, dimana semua proses
kognitif dan keinginan muncul dalam kerangka-kerja yang memerlukan dikotomi subjek-objek.
Pengalaman yang beroperasi pada tingkatan ini pasti melibatkan keterpisahan dimana-mana dan
pada semua hal; dan untuk alasan ini manusia dengan pengalaman spiritual dan penglihatan
spiritual menyebut kondisi ini sebagai ‘perpisahan’ (farq) — pastinya, sebagai ‘perpisahan
pertama’ (al-farq al-awwal).
Menyebut kondisi keterpisahan ini pada tingkatan pengalaman ini sebagai ‘perpisahan
pertama’ berarti terdapat sebuah kemungkinan bagi manusia — tergantung kepada
perkembangan intelektualnya, kondisi urusan keagamaan dan spiritualnya, dan kemurahhatian
Tuhan — untuk melampaui dan kembali padanya, sehingga baginya pengalaman akan dunia
fenomena setelah dia kembali padanya akan menjadi kondisi ‘perpisahan kedua’ (al-farq al-thānī).
Tentu saja, untuk orang seperti itu, dan meskipun dunia yang sama akan multiplisitas dalam
kondisi keterpisahan menghadang dia lagi, tetapi dunia tidak lagi terlihat sama seperti yang dia
tahu sebelumnya, yakni pada tahap ‘perpisahan pertama’ yang umum bagi semua orang; karena
selama pelampauannya itu dia mengalami verifikasi tentang sifat-dasar sejatinya, dia telah meraih
pengetahuan tertentu tentang sifat-dasar sejatinya sedemikian rupa sehingga kini, pada tahap
‘perpisahan kedua’, lalu melihatnya secara keseluruhan dalam sinar yang berbeda. Kondisi
pelampauan ‘perpisahan pertama’ ini melibatkan perubahan dalam manusia, yang tanpanya dia
akan terus terikat pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa dalam keberadaannya.
‘Perpisahan’ yang kita diskusikan pada kenyataannya mengandung dua konotasi.
Konotasi pertama menunjuk pada ‘perpisahan’ Tuhan atau Yang Absolut dari dunia ciptaan
dalam cara sebagaimana dipahami manusia. Kita katakan ‘dalam cara sebagaimana dipahami
manusia’ sebab pada kenyataannya tidak ada ‘perpisahan’ semacam itu. Dengan demikian
185
Lihat di atas, bab III.
186
Bahkan pengetahuan akan kebenaran intelijibel secara mendasar diturunkan dari prinsip intuitif. Lihat karya ibn
Sinā, Kitāb al-Najāt, (op. Cit.), hlm. 206.
187
Lihat di atas, bab IV.

130 Prolegomena
kondisi ‘perpisahan’ merupakan kondisi yang dibuat perlu oleh rasio dan pengalaman manusia
pada tingkatan biasa, dimana kondisi fakultas kognisi dan kemauannya menampilkan fungsi
normal mereka. Fakta bahwa kondisi ini disebut ‘perpisahan pertama’ — terlepas dari menyiratkan
kemungkinan kondisi lebih lanjut yang diketahui sebagai ‘perpisahan kedua’ seperti telah kita
angkat — juga menyiratkan kondisi yang terdahulu darinya, dimana tidak ada perpisahan
tersebut. Istilah ‘pertama’ dan ‘kedua’ dilekatkan pada ‘perpisahan’ menunjuk kepada kondisi
manusia pada tingkatan pengalaman yang berbeda. Dengan cara yang sama, istilah ‘terdahulu’
dilekatkan kepada ‘perpisahan’ juga menunjuk pada manusia meski tidak, pastinya, pada kondisi
manusia. Hal tersebut menunjuk kepada manusia dalam kondisi spiritual, yakni pada pra-
eksistensi jiwa sebelum dia menjadi manusia sebagai makhluk hidup. Kondisi ‘pra-perpisahan’
disebut dalam Qur’ān Suci:

‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Adam — dari kesiapan mereka – keturunan mereka,
dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” —
mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”188

Al-Junayd, dalam penjelasan terhadap bagian ini, mengatakan:

Dalam ayat ini Tuhan memberitahukanmu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada
waktu mereka tidak ada, kecuali sejauh mereka ada bagi-Nya. Eksistensi ini tidak dalam
jenis eksistensi yang sama yang biasanya dilekatkan kepada ciptaan Tuhan, hal itu
merupakan jenis eksistensi dimana hanya Tuhan yang tahu dan hanya Dia yang sadar
akan mereka. Tuhan mengetahui eksistensi mereka, merangkul, mereka pada awal ketika
mereka merupakan non-maujud dan tak sadar terhadap eksistensi masa depan mereka di
dunia ini...189 Dalam eksistensi mereka yang nir-waktu di hadapan-Nya dan dalam kondisi
kesatuan dengan-Nya Dialah yang menanggung keberadaan mereka. Ketika Dia
memanggil mereka dan mereka menjawab dengan cepat, jawaban mereka merupakan
pemberian yang ramah dan murah hati dari-Nya... Dia memberi mereka pengetahuan
akan-Nya ketika mereka hanya konsep yang Dia telah pahami....190

Di sini jiwa manusia dibuat ‘bersaksi’ (ashhada) kepada diri mereka sendiri aktualitas akan
Ke-Rabb-an Tuhan dalam pengertian bahwa mereka sungguh tahu dengan pengalaman dan
penglihatan langsung (shuhūd) terhadap Realitas dan Kebenaran yang diungkapkan kepada mereka.
Dengan demikian dan dengan pengakuan mereka sendiri mereka telah menyegel Perjanjian
dengan Tuhan untuk mengenali dan mengakui-Nya sebagai Rabb (rabb) mereka, yakni, Empunya
Absolut, Pemilik, Pencipta, Pengatur, Pemerintah, Tuan, Pengasih, Pemelihara. Pengenalan dan
pengakuan sedemikian, yang merupakan basis mendasar agama dalam Islām,191 menyertakan
kesadaran keterpilahan antara Rabb dan diri mereka sendiri. Namun, kesadaran pemilahan antara
Rabb dan pelayan (‘abd), muncul di dalam konteks spiritual akan ‘penyatuan’, dan bukan konteks
manusia akan ‘perpisahan’. Kita akan kembali nanti untuk mengelaborasikan hal ini dalam
pembahasan yang berkaitan. Konotasi kedua menunjuk kepada ‘perpisahan’ dalam kesadaran
dan pengalaman keterpisahan dimanapun dan pada semua hal yang menyusun dunia fenomena,
seperti telah kita jelaskan.
188
Al-A’rāf (7): 172.
189
Kitāb al-Fanā’, dalam karya Ali Hassan Abdel-Kader The Life, Personality, and Writings of al-Junayd, London,
1976, hlm. 32 dari teks bahasa Arab Rasa’il. Terjemahan bahasa Inggris dalam hlm. 153.
190
Ibid, Kitāb al-Mithāq, hlm. 40-41/160-161.
191
Lihat di atas, bab I.

131 Prolegomena
Pandangan manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, pada tingkatan rasio dan
pengalaman inderawi biasa, dimana hal-hal yang menyusun dunia multiplisitas mengambil
bentuk dan identitas konkret dan terpisah, merupakan pandangan umum (‘awāmm) orang-orang.
Mereka hanya melihat realitas multiplisitas di hadapan mereka, dan tidak di balik itu. Namun, di
antara pergumulan orang-orang dengan pandangan umum terhadap realitas ini terdapat juga
mereka yang mencapai derajat lebih tinggi dari persepsi terhadap kebenaran. Mereka mengenali
bahwa apa yang nampak di hadapan mereka bukan realitas satu-satunya, dan bahwa terdapat
realitas yang lain, yang berbeda sepenuhnya di baliknya, yang mereka pahami secara teologis
sebagai Tuhan, Yang terpisah dari dunia dan hubungan-Nya padanya merupakan Pencipta tanpa
ada ‘hubungan dalaman (inner)’ antara Dia dan ciptaan-Nya. Perluasan lebih lanjut dari
pandangan dualistik terhadap realitas ini adalah pandangan di antara para filsuf, teolog dan
saintis bahwa hal-hal eksternal dari dunia yang menyusun dunia bersama dengan semua
bagiannya memiliki inti swa-berada, realitas-realitas atau kuiditas-kuiditas substansial yang
menjadi subjek atau pengetahuan kita karena mereka dikualifikasikan oleh bagian yang inheren
pada mereka dari eksistensi. Eksistensi sebuah objek dilihat sebagai kualitas atau bagian dari
kuiditasnya, seolah-olah kuiditasnya dapat berada dengan dirinya sendiri lebih dahulu dari
eksistensinya. Dalam pandangan ini, perbedaan nyata telah dibuat antara kuiditas, yang mereka
tunjuk sebagai ‘esensi’, dan eksistensi; yang terdahulu diterima secara ontologis sebagai substansi
sejati, yang kemudian hanya sebagai aksiden dari substansi sejati. Kontoversi filosofis yang
menyentuh pada problem esensi dan eksistensi, yang telah dibawa di hadapan Barat dalam masa
kontemporer oleh pendiri esensialisme dan eksistensialisme berturut-turut, menurunkan asalnya
dari pandangan umum mendasar ini terhadap sifat-dasar realitas.
Pandangan realitas berdasarkan pada tingkatan rasio dan pengalaman inderawi biasa, dan
perkembangan filosofis dan saintifik yang berkembang darinya, tanpa ragu telah mengarah
kepada spekulasi filosofis dan saintifik pada keasyikan dengan hal-hal dan ‘esensi-esensi’ mereka
dengan mengorbankan eksistensi itu sendiri. Dilihat dari perspektif metafisika dan filsafat Islāmi
sebagaimana berdasarkan kebijaksanaan Qur’ān atau hikmah, posisi kita adalah bahwa kita tidak
membuat perbedaan nyata antara esensi dan eksistensi, ini untuk mengatakan, bahwa kita
mempostulasikan posisi tersebut hanya dalam pikiran, dan bukan dalam realitas ekstra-mental itu
sendiri. Dalam realitas ekstra-mental itu sendiri, apa yang dilihat sebagai kualifikasi dari begitu
banyak anekaragam dan warna ‘esensi-esensi’ dengan eksistensi dalam pandangan kita
merupakan determinasi dan pembatasan multiplisitas menjadi bentuk partikular dari yang
memeluk-semua dan meliputi yaitu Eksistensi Itu sendiri, sehingga yang dengannya hal-hal
adalah apa mereka sesungguhnya, atau diri dan realitas hal-hal yang merupakan inti eksistensi
mereka, tidak lain merupakan realitas Eksistensi yang meliputi-semua yang mengaktualisasikan
modus multiplisitas dan keanekaragamanNya dalam tindakan ekspansi dan kontraksi yang
berkelanjutan dalam gradasi dari tingkatan keabsolutan-Nya kepada determinasi majemuk
hingga mencapai alam indera dan hal-hal inderawi. ‘Suatu hal’ pada dirinya sendiri — yakni,
dianggap secara independen dari Realitas yang dengannya hal tersebut adalah hal itu adanya —
bukanlah sesuatu yang dalam kondisi be-ing, sebagaimana hal tersebut merupakan suatu hal yang
binasa; apa yang menjadi ‘ada’ (be) adalah aktualisasi dari salah satu modus Realitas dalam
samaran hal tersebut, seperti yang kita pegang dan anggap sebagai hal tersebut merupakan
modus tersebut yang sedang diaktualisasikan. Dengan demikian berdasarkan perspektif kita
Eksistensilah (wujūd) yang merupakan ‘esensi-esensi’ sejati dari hal-hal; dan apa yang secara
mental atau konseptual dipostulatkan sebagai ‘esensi-esensi’ atau kuiditas-kuiditas (māhiyyat)
pada kenyataannya merupakan aksiden-aksiden (a’rād) dari eksistensi.192

192
Penjelasan yang lebih elaboratif dari hal ini diberikan dalam bab VI di bawah.

132 Prolegomena
Sebagaimana didemonstrasikan oleh pengalaman tertinggi Nabi Suci dan dengan apa
yang dia bawa, semua pengetahuan itu datang dari Tuhan, dan diinterpretasikan jiwa melalui
fakultas-fakultas fisik dan spiritual. Kita telah katakan di lain tempat bahwa pengetahuan secara
epistemologis, dengan referensi pada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah tibanya dalam jiwa
akan makna suatu hal atau sebuah objek pengetahuan; dan dengan referensi pada jiwa sebagai
penafsirnya, pengetahuan adalah tibanya jiwa pada makna suatu hal atau sebuah objek
pengetahuan. Dengan demikian, pada tingkatan rasional dan empiris dari pengalaman biasa,
dimana dikotomi subjek-objek menutup dan mengesankan kondisinya terhadap kognisi dan
kemauan; dimana kesadaran-ego subjek serta merta berhadapan dengan multiplisitas objek
eksternal dari rasio dan pengalaman inderawi, pengetahuan menunjuk kepada intussuspection
jiwa akan makna objek tersebut dan bukan objek itu sendiri, melihat bahwa objek-objek tersebut
aksidental dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu tidak bertahan selama dua durasi. Terdapat,
seperti telah kita katakan, tingkatan lain dari pengalaman; dan bahkan pada tingkatan spiritual
yang lebih tinggi ini, rasio dan pengalaman tetap sebagai saluran absah yang dengannya
pengetahuan dicapai, hanya mereka ada dalam tatanan transendental. Pada tingkatan ini yang
rasional bergabung dengan yang intelektual, dan yang empiris dengan apa yang menyentuh pada
pengalaman spiritual yang otentik seperti ‘kesaksian dalaman’ (shuhūd), ‘merasakan’ (dhawq),
‘kehadiran’ (hudūr) dan kondisi saling-terhubung dari kesadaran trans-empiris (ahwāl). Pada
tingkatan ini pengetahuan berarti ‘penyatuan’ (tawhīd) jiwa dengan inti Kebenaran yang
mendasari semua makna. Di sini jiwa tidak hanya mengerti, tetapi mengetahui realitas dan
kebenaran dengan pengalaman nyata dan langsung. Pengalaman nyata dan langsung yang
terkandung dalam ‘penyatuan’ dari yang mengetahui dan yang diketahui.193
Kita telah mengangkat dalam kasus seseorang yang melampaui tahap ‘perpisahan
pertama’, bahwa seseorang itu pasti pertama kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut
menyentuh pada kesadaran-ego subjek. Pengetahuan sebagai ‘penyatuan’ yang mengetahui dan
yang diketahui hanya dapat terjadi ketika kesadaran-ego yang mengetahui, atau kesadaran
subjektif, telah ‘hilang’ (fanā’). Harus dicatat bahwa bahkan pada tingkatan fenomenal eksistensi
empiris seseorang mengetahui bahwa ketika seseorang mengikatkan dirinya dalam meditasi atau
perenungan mendalam dalam beberapa urusan yang menuntut perhatian penuh seseorang,
seseorang itu pada saat yang bersamaan tidak sadar dengan bagian tubuhnya. Dalam pengertian
terbatas kesadaran subjektif seseorang, selama kehilangan kesadaran terhadap bagian tubuhnya
yang merupakan unsur utama dari diri subjektif, dilunakkan sebab jiwa mengarahkan
konsentrasinya di tempat lain. Dengan demikian bahkan ketika pada tingkatan eksistensi dalam
dunia indera dan pengalaman inderawi kita dapat mengakui pengalaman tersebut
mengungkapkan beberapa penglihatan-mendalam ke dalam sifat-dasar kekuatan jiwa dan
aktifitasnya dalam kehadirannya pada makna, maka tidak ada alasan untuk menduga bahwa
193
Pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa, ‘yang diketahui’ menunjuk kepada makna hal-hal, dan bukan hal-hal itu
sendiri; dan ‘penyatuan’ — jika kita menggunakan istilah itu pada tingkatan tersebut tidak berarti penyatuan dengan
objek material dari persepsi inderawi, tetapi dengan bentuk-bentuk intelijibel mereka yang telah diabstraksikan oleh
intelek dari semua karakter materialitas mereka. Unsur-unsur makna yang diturunkan intelek dari objek persepsi
inderawi tidak ditemukan dalam objek itu sendiri, tetapi merupakan konstruksi intelek atau jiwa sebagaimana diterima
dari iluminasi Kecerdasan Aktif. Objek material dalam dunia indera dan pengalaman inderawi pada diri mereka sendiri
merupakan hal partikular yang diubah intelek menjadi universal; dan pada diri mereka sendiri mereka hanya
menyediakan pijakan untuk penampakan khusus yang memunculkan pada proyeksi jiwa akan bentuk-bentuk inderawi
dalam dirinya sendiri. Pada tingkatan yang lebih tinggi, ‘kesatuan’ yang mengetahui dan yang diketahui berarti
identitas akan pemikiran dan being atau eksistensi. Eksistensi memiliki derajat-derajat yang berbeda, dan Eksistensi
atau Kebenaran Absolut memiliki sebuah derajat unik pada diri-Nya sendiri, dan sebuah derajat dalam hubungan
dengan yang lain selain diri-Nya. ‘Kesatuan’ menunjuk pada aspek yang kemudian dari Kebenaran. Oleh karena itu
‘kesatuan’ dengan Kebenaran berarti kesatuan bukan dengan Kebenaran sebagaimana Dia ada dalam diri-Nya sendiri,
tetapi sebagaimana Dia mewujudkan diri-Nya dalam bentuk salah satu Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.

133 Prolegomena
kekuatan dan aktifitas tersebut berakhir di sini dan tidak dapat melampaui tingkatan ini untuk
beroperasi pada tingkatan eksistensi yang lebih tinggi dan congener yang kita diskusikan.
Karena bentuk yang banyak sekali dan beranekawarna, yang secara jelas didefinisikan
sebagai banyaknya objek independen yang menyusun dunia multiplisitas, dilihat sedemikian
rupa oleh subjek yang mengetahui, yang ‘kehilangan’, terhadap kesadaran subjektifnya serta
merta juga melibatkan ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas fenomena
menjadi objek terpisah dari kognisi dan kemauan. Tapi pada waktu yang bersamaan, kehilangan
terhadap bentuk-bentuk itu secara keseluruhan bukan sebuah perkara subjektif; karena
multiplisitas maujud yang ditampilkan banyak sekali bentuk pada diri mereka sendiri itu tidak
sinambung dalam keberadaan mereka, sehingga bentuk-bentuknya binasa secara berkelanjutan.
Dengan demikian fanā’, ketika muncul, muncul baik secara subjektif dan objektif; fanā’ melibatkan
baik kondisi psikologis dan ontologis dari eksistensi; fanā’ merupakan kebetulan antara
kehilangan kesadaran subjektif yang juga menyertakan kehilangan objek dari kesadaran tersebut,
dan ketidaknampakan aktual dari objek itu sendiri. ‘Kehilangan’ kesadaran subjektif tidak secara
serta merta menyertakan — setidaknya pada tahap awal — pembatalan kesadaran dalam subjek
akan keterpilahan antara dirinya sebagai pelihat (seer) dan objek sebagaimana dilihat; subjek di
sini tetap sadar terhadap dirinya dalam kemampuan membedakan subjek yang melihat dan objek
yang dilihat.194 Sehingga hubungan subjek-objek tetap bertahan pada tahap awal fanā’ ini,
meskipun perubahan yang dia alami, baik dalam dirinya sendiri dan dalam multipisitas objek,
akan secara niscaya memandangnya tidak sebagai kondisi yang cukup sama akan dikotomi
subjek-objek pada tahap ‘perpisahan-pertama’, dimana di dalamnya semua hal terlibat dalam
kondisi pengaruh pada tingkatan pengalaman sehari-hari. Jika kesadaran subjek tidak berlanjut
terhadap dirinya pada tahap awal fanā’ ini, maka pengalaman tersebut tidak akan menghasilkan
pencapaian pengetahuan tertentu (ma’rifah) akan sifat-dasar sejati hal-hal sebagaimana
direfleksikannya dan direnungkan atasnya kemudian, ketika dia kembali pada ketenangan hati
dari kesadaran normal dan fenomenalnya.
Maka pada tahap awal ‘kehilangan’ akan kesadaran subjektifnya, yang mengetahui
mampu ‘menyaksikan’ ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas dari
fenomena menjadi objek-objek yang terpisah. Apa yang mengetahui (knower) lihat sebagai pelihat
adalah ‘pengumpulan bersama’ (jam’) bentuk yang banyak sekali dari dunia fenomena menjadi
Realitas tunggal yang disatukan. ‘Penyaksian dalaman’ ini adalah melihat dan mengalami
Multiplisitas (kathrah) yang dikumpulkan bersama ke dalam Kesatuan (wahdah). Guncangan
dalaman yang terjadi menemani penglihatan yang menaklukan ini pada waktu yang bersamaan
dipertinggi oleh pengungkapan Tuhan akan sebuah aspek dari diri-Nya (tajallī) kepada diri yang
mengetahui dengan salah satu Nama-Nama (asmā’) atau Sifat-Sifat-Nya (sifāt). Tuhan dalam
aspek-Nya sebagai Being Absolut dalam semua bentuk-bentuk manifestasinya adalah ‘Kebenaran’
(al-haqq). Hal itu kenyataannya merupakan swa-pengungkapan Tuhan kepada manusia dalam
aspek partikular tersebut yang membawa kondisi fanā’, yang membuat dia tidak ada dan
menghilangkan kesadaran eksistensi individualnya. Secara mendasar, ketika sinar manusia akan
ruh makhluk hilang, tidak akan ada jejak kesadaran yang tertinggal dalam ego dari
kehilangannya. Manusia tersebut pada tahap ini telah ‘kehilangan akan kehilangan’ (fanā’ al-fanā’).
Sebagai ganti dari apa yang Tuhan telah hilangkan darinya, Tuhan meletakkan dalam diri
manusia, tanpa inkarnasi (hulūl), substansi spiritual (latīfah) yang merupakan Esensi-Nya (dhāt)
dan tidak terpisah dari-Nya maupun bergabung dengan manusia. Pengungkapan Tuhan akan
sebuah aspek diri-Nya adalah dibuat pada substansi spiritual tersebut, yang dinamakan Ruh Suci

194
Bandingkan. Ibn ‘Arabī, Fusūs al-Hikam, (op. cit), hlm. 91.

134 Prolegomena
(al-rūh al-qudus),195 karena Dia tidak pernah mengungkapkan kecuali pada diri-Nya sendiri. Kita
menyebut substansi tersebut ‘seorang manusia’ sebab hal tersebut merupakan pertukaran untuk
apa yang telah Tuhan hilangkan dari manusia, lalu mengambil tempat manusia tersebut daripada
akan manusia. Pada tahap ini dikotomi subjek-objek tidak lagi ada.196
Jika pengalaman fanā’ berhenti pada tahap ini karena kapasitas dan persiapan spiritual
manusia tidak bertahan, dan ketika nanti manusia tersebut, memperoleh kesadaran
fenomenalnya, lalu kembali pada tingkatan kondisi manusia dimana dunia multiplisitas
menghadangnya kembali dalam bentuknya yang banyak, refleksi dan perenungannya terhadap
pengalaman yang telah dialami, dalam absensi petunjuk dan bantuan Tuhan, dapat membawanya
kepada kepercayaan-kuat (conviction) yang salah bahwa dunia bersama dengan semua bagiannya
tidak lain hanya ilusi belaka. Berkaitan dengan kondisi spiritualnya yang kurang sempurna, dan
kepada pengalamannya yang tidak lengkap akan ‘penyibakan’ (kashf), dia kemudian dapat
percaya bahwa perpisahan dan hal-hal majemuk hanya khayalan dari imajinasi; bahwa hal-hal
partikular-fakta tersebut dalam eksistensi sesungguhnya apa yang disulap pikiran, dan bahwa
dalam realitas tidak ada partikularisasi dalam eksistensi. Dia akan percaya bahwa segala hal ada
dalam realitas Tuhan dalam pengertian panteistik atau bahkan pengertian monistik. Dia berpikir
bahwa Tuhan adalah dunia dan dunia adalah Tuhan, dan dirinya adalah Tuhan dan Tuhan
adalah dirinya sendiri. Diguncang oleh penglihatan subjektifnya sendiri, dia menjadi salah
seorang yang, sepertinya, terpeleset dari Jalan Benar dan jatuh ke dalam jurang kesalahan dan
bid’ah. Di antara orang-orang demikian ada juga mereka yang tidak memiliki pengalaman sejati,
tetapi yang menurunkan kemiripan tentang pengetahuan seperti itu dari rasio diskursif, dan
kemudian menyalahpahami persoalan itu dalam imajinasi mereka sendiri, tanpa pengalaman
sejati apapun dari fanā’ atau kashf.
Tapi tidak semua yang secara sejati mengalami ‘penyibakan’ tidak lengkap menjadi
terlibat dalam kesalahan dan bid’ah. Mereka yang dibimbing dan dibantu Tuhan dalam
menempuh jalan benar (cth. penerima tawfīq) sadar akan ketidaklengkapan penglihatan mereka
terhadap Realitas dan Kebenaran yang mereka saksikan selama kondisi ‘penyibakan’ ini; dan
mereka juga sadar bahwa ‘penyibakan’ itu sendiri hanya sebuah awal yang tidak lengkap.
Walaupun mereka mudah didorong untuk mengafirmasi hanya aspek kesatuan dari realitas,
dalam harmoni dengan realitas dari pengalaman mereka akan kesatuan, meskipun demikian
mereka mengonfirmasikan kebenaran agama yang dibawa Nabi Suci, dan menerima pengalaman
Yang Benar sebagai pembenar dan memiliki derajat yang lebih tinggi akan pencapaian spiritual
dan penglihatan spiritual daripada yang dimiliki mereka. Mereka juga mengonfirmasikan dalam
tindakan mereka sunnah Nabi Suci, dan mereka mengakui dalam diri mereka pemilahan
keagamaan antara ‘Rabb’ (rabb) dan ‘pelayan’ (‘abd), antara Pencipta dan ciptaan, dan bertindak
berdasarkan dengan keperluan yang niscaya. Dalam klasifikasi kita tentang persepsi manusia
terhadap kebenaran dan realitas, mereka itu harus dibedakan dari yang kebanyakan, yang kondisi
karakteristiknya telah kita gambarkan di atas, yang berada pada derajat yang lebih tinggi. Dalam
hierarki spiritual manusia, mereka diketahui sebagai ‘yang terpilih’ (al-khawāss) di antara pelayan-
pelayan Tuhan dan di antara mereka yang patuh secara terus menerus dimana Tuhan telah
mendekatkan mereka pada kediri-Nya sendiri, orang-orang suci sejati (awliyā’) atau ‘sahabat-
sahabat’ Tuhan.
Dalam kondisi spiritual mereka, mereka telah menyadari dalam diri mereka pengalaman
sejati dari apa yang disebut ‘kemiskinan’ (faqr), atau ‘kebutuhan yang cemas’ atau kondisi dalam
195
Ruh Suci dalam istilah filosofis diidentifikasi sebagai Kecerdasan Aktif yang mengiluminasi jiwa manusia dengan
pengetahuan dari realitas ketika jiwa telah mencapai bentuk yang lebih tinggi dari intelek perolehan (lihat lebih lanjut
bab IV di atas).
196
Bandingkan. ‘Abd al-Karim al-Jīlī, Al-Insān al-Kamīl, 2x., Kairo, 1956, vol. 1. hlm. 62.

135 Prolegomena
‘keinginan sepenuhnya’ yang mengobarkan agitasi intens dan kecemasan terhadap pengaruh
yang penting, yang lahir dari pengalaman fanā’ yang diikuti fanā’ al-fanā’. Dalam kondisi
‘kehilangan’ mereka ‘menyaksikan’ pembatalan utuh semua fenomena sedemikian rupa sehingga
hanya Aspek Tuhan yang tinggal;197 dan dalam ‘kehilangan dari kehilangan’ mereka mengalami
pembatalan utuh mereka sendiri; sehingga ketika mereka memperoleh eksistensi individual dan
kesadaran fenomenal mereka, perwujudan kebenaran bahwa hanya Aspek Tuhan yang tetap
membawa kepada mereka sebuah kesadaran kekaguman yang menawan akan ketergantungan
yang penuh akan eksistensi dan kesadaran pada Tuhan. Mereka mengetahui, dengan apa yang
termanifestasi bagi mereka, ketiadaan segala hal yang dipahami sebagai sesuatu-pada-diri-mereka-
sendiri, dan mereka juga kini mengetahui dengan apa yang termanifestasi bagi mereka, ketiadaan
diri subjektif mereka sebagai diri mereka yang independen, sehingga apa yang mereka kini tahu
adalah bahwa ‘selain’ (ghayr) daripada Tuhan, semua ‘yang-lain-dari-Tuhan’ (mā siwā Allāh),
hanya muncul untuk berada dengan ‘pinjaman’ eksistensi. Seperti penghutang, meminjam
pinjaman secara besar tak terbatas dan hidup dengannya, dan karena hidup tersebut tergantung
satu-satunya kepada kreditornya, kemudian menyadari kebutuhan yang menakutkan dan
kecemasan untuk pemeliharaan pinjaman berkelanjutan dari kreditor tersebut; bahkan lebih lanjut
— secara tidak terhitung adalah lebih penting dalam kekaguman totalitasnya — ketika dalam
kasus ini hutang tersebut adalah tentang eksistensi itu sendiri; eksistensi yang bukan hanya di
dunia fenomenal ini, tetapi juga dalam dunia spiritual, yang padanya semua pasti pada akhirnya
kembali. Eksistensi itu memang pemberian Tuhan, tetapi hal tersebut pada kenyataannya
merupakan sebuah pemberian yang hanya milik Tuhan Yang, sebagaimana dikatakan,
‘meminjamkan’nya sebagai keinginan ‘personal’. Karenanya penerima yang dibimbing secara
benar itu sadar bahwa dia ada dalam kondisi berhutang kepada Tuhan untuk eksistensinya,
karena dia tahu bahwa semua itu tergantung pada eksistensi Tuhan, dan menyadari bahwa hal
tersebut seperti ‘meminjam’ dari-Nya. Mereka yang tahu kondisi being ini yang direduksi kepada
kondisi kebutuhan yang menakutkan pada Tuhan dan berbicara kecemasan akan ‘kemiskinan’
seperti itu sebagai “sebuah wajah yang hitam di kedua dunia” (cth. “al-faqr sawād al-wajh fil al-
dārayn”). Sehingga kesadaran swa-pembinasaan dalam ‘kemiskinan’ sejati itu disadari ketika
seseorang mengetahui dengan pengalaman langsung bahwa hanya Aspek Tuhan yang tetap,
seperti perkataan: “idhā tamma al-faqr fa huwa Allāh” — “ketika kemiskinan itu utuh hal tersebut
adalah Tuhan.”
Tingkatan tertinggi dalam hierarki manusia berdasarkan derajat-derajat spiritual terhadap
persepsi kebenaran terdiri dari ‘orang-orang terpilih super’ (al-khawāss al-khawāss). Pengalaman
fanā’, dalam kasus mereka, tidak berhenti pada tahap fanā’ al-fanā’, seperti pada kasus ‘orang-
orang terpilih (al-khawass). Manusia yang kondisi sipirtualnya sempurna dan matang, dan dia
yang di bawah bimbingan Tuhan, sebagai penerima bantuan-Nya (tawfīq), akan disadarkan,
sementara tetap dalam kondisi itu, bahkan sebelum dia memperoleh kondisi normal akan kesadaran
fenomenalnya, dari kelupaan penuh terhadap fanā’ al-fanā’. Apa yang sungguh-sungguh dialami
dalam kondisi tersebut adalah realitas dan kebenaran yang mendasari makna dari kata-kata Nabi
Suci: “Kāna Allāhu wa lā shay’ a ma’ahu” — “Tuhan telah ada, dan tidak ada apapun bersama-
Nya.”198 Perkataan ini tidak hanya menunjuk pada periode pra-penciptaan ketika hanya Tuhan
yang ‘ada’; hal tersebut juga berarti bahwa Tuhan telah, sedang, dan akan terus ada (be) sendiri,
seperti sediakala-Nya (Huwa al-āna kamā kāna). Semua fenomena itu pada diri mereka sendiri
sebagaimana ditafsirkan imajinasi sungguh bukan apa-apa; mereka dalam kondisi kebinasaan

197
Sebuah pengujian dari ayat Qur’ān Suci, Al-Rahmān (55): 26-27.
198
Sebuah hadith yang cukup dikenal disebutkan dalam sahih al-Bukhari dalam bab Keesaan Ilahi (al-tawhīd) dan awal
penciptaan. Juga dalam Musnad karya ibn Hanbal, vol. 2, hlm. 134.

136 Prolegomena
(fān)199 terus-menerus, yang binasa dalam dua waktu instant sebagai ukuran proses kebinasaan
mereka, sebagaimana kebinasaan mereka juga bukan sebuah ‘proses’ yang terjadi pada fenomena
yang sama. Sebagai satu rangkaian dari fenomena yang dibuat tidak ada, sesuatu yang
menyerupainya mengambil gilirannya, dan seterusnya, sehingga dalam realitas ‘hanya Aspek
Tuhan yang tetap’. Hal ini adalah tatanan Being yang abadi, dan karenanya Dia selalu seperti
sebelumnya, dengan tidak ada apapun yang ada di sisi-Nya. Cara ‘ketetapan’ dari Aspek Tuhan
tidaklah statis; Dia selamanya dalam beberapa ‘operasi’ (shā’n):200 menghasilkan, meniadakan
yang dihasilkan, dan reproduksi. Sehingga Dia itu, dalam Aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut,
sebagaimana dikatakan, adalah ‘lapisan-dasar’ yang memungkinkan penampakan dan
ketidaknampakan dan penampakan ulang semua fenomena dalam rangkaian yang
berkesinambungan.
Telah disadarkan dari kondisi ‘kehilangan dari kehilangan’ tanpa memperoleh kesadaran
fenomenalnya, apa yang dia ‘saksikan’ selanjutnya adalah ‘penyibakan’ terakhir. Kita telah
katakan bahwa dalam ‘penyibakan’ awal dia ‘menyaksikan’ ‘pengumpulan kembali’ (jam’) semua
bentuk dunia fenomena menjadi Realitas tunggal yang disatukan. Dia melihat dengan penglihatan
spiritual seolah dengan penglihatan matanya semua Multiplisitas dikumpulkan bersama menjadi
Kesatuan. Dengan kata lain, dia melihat ‘kebinasaan’ semua fenomena dan ‘ketetapan’ Realitas
yang mendasari mereka. Kini pada ‘penyibakan’ akhir, dia ‘menyaksikan’ Realitas tunggal yang
disatukan kembali mengambil bentuk yang banyak dari dunia fenomenal tanpa diri-Nya menjadi
banyak. Dia melihat dengan penglihatan spiritual dimana Kesatuan mengindividuasi diri-Nya
menjadi Multiplisitas tanpa mengurangi asal Kesatuan-Nya, dan masih ‘berhubungan’ atau
‘terkait’ Multiplisitas dengan diri-Nya sendiri sedemikian rupa sehingga, meskipun Kesatuan
mengambil bentuk Multiplisitas, Kesatuan tetap membedakan diri-Nya dari yang kemudian dan
tetap selalu dalam sifat-dasar asli-Nya. Dengan kata lain, dia melihat artikulasi dalaman dari
Kesatuan, dimana Kesatuan tidak bergabung maupun terpisah dari Multiplisitas, dan yang
berlangsung dalam operasi yang sinambung. Operasi yang sinambung dari Kesatuan ini
mengartikulasikan diri-Nya ke dalam Multiplisitas dan kembali lagi menjadi Kesatuan
sebagaimana disaksikan oleh seorang ahli spiritual yang disebut ‘pengumpulan akan
pengumpulan’ (jam’ al-jam’).201 Dalam kondisi ini, yang tidak lagi merupakan kondisi yang sama
seperti sebelumnya dialami dalam pengalaman fanā’ tetapi adalah tahap akhir darinya, manusia
tersebut menyadari kedirian sejatinya dan ‘berada’ dalam Tuhan (baqā).202 Pengalamannya akan
fanā’ al-fanā’ adalah apa yang disebut guru pengalaman dan penglihatan spiritual sebagai
‘absorpsi’ (istighrāq). Dalam pengalamannya terhadap ‘pengumpulan’ dan kemudian, setelah
kelupaan penuh (istighrāq), ‘pengumpulan akan pengumpulan’, Tuhan, dari ridho dan balasan-
Nya telah mengungkapkan kepadanya, sebagaimana dikatakan, sebuah penglihatan fragmentaris
tentang operasi sinambung swa-manifestasi dan determinasi dan partikularisasi yang nampak
sebagai bentuk-bentuk dunia inderawi. Kita katakan bahwa penglihatannya terhadap
Multiplisitas dalam Kesatuan dan Kesatuan dalam Multiplisitas ini bersifat ‘fragmentaris’ karena
ketika Tuhan memberikan kembali kesadaran subjektifnya dan dia memperoleh eksistensi
individual dan kesadarannya akan fenomena, dia mengetahui bahwa apa yang dia ‘saksikan’ itu
sebuah ‘fragmen’, untuk berbicara, dari rangkaian sinambung swa-determinasi dan partikularisasi

199
Al-Rahmān (55): 26.
200
Al-Rahmān (55): 29.
201
Artkulasi dalaman dari Kesatuan berhubungan dengan aktifitas penciptaan yang dinamis dari realitas eksistensi, atau
Eksistensi Absolut, dalam pengertian ekspansi (cth. eksistensiasi) dan kontraksi (cth. penghilangan) dalam rangkaian
yang sinambung.
202
Cth. dia telah kembali pada kondisi dimana dia sebelumnya dikualifikasikan dengan eksistensi eksternal, yang
berhubungan dengan tataran ontologis dari kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi.

137 Prolegomena
akan Kesatuan absolut. Pengingatan, refleksi, dan perenungannya terhadap penglihatan itu pada
tahap ini membentuk Pengetahuan itu dalam dirinya yang realitas dan kebenarannya dibangun
oleh kepastian dari pengalaman langsung (haqq al-yaqīn). Pengalamannya terhadap baqā atau
‘berada’ dalam Tuhan secara niscaya tidak hilang, karena hal tersebut tidak akan sebagai sebuah
‘berada’ jika hanya sementara. Kita berbicara tentang penglihatan tersebut sebagai ‘fragmentaris’,
sehingga ‘penyaksian’ akannyalah (cth. akan ‘pengumpulan akan pengumpulan’) yang
sementara; tetapi pengetahuan setelah hal tersebut adalah permanen. Kembalinya dia pada
eksistensi individual dan kesadaran fenomenal itu ditemani kondisi pemulihan dari kondisi
kemabukan (sukr), atau tidak-mengindera; sebuah kondisi kewaspadaan, kebangunan, dan
kejelasan. “Semua manusia itu tidur”, ucap Nabi Suci, “hanya ketika mereka mati mereka
bangun” (Al-nāsu niyāmun fa idhā mātū īntabahū).203 Kita harus menginterpretasikan kata ‘ketika
mereka mati’, dalam kasus ini memiliki makna ganda: pertama pada kematian fisik dan makna lain
ketika mereka ‘mati’ pada diri dan kesadaran subjektif diri, dan bukan kematian fisik; karena
Nabi Suci juga mengatakan, dengan referensi kepada kematian pada diri seperti kita maksud di
sini: “Mati sebelum kamu mati” (Mūtū qabal an tamūtū), yakni ‘mati pada diri sendiri sebelum kau
sungguh-sungguh mati secara fisik’.204 Jadi, dalam kasus ini, kondisi manusia akan kewaspadaan
dan kejelasan, kebangunan, pada kondisi kembali dari pengalaman dari ‘pengumpulan akan
pengumpulan’ (yang sebelumnya pada faktanya dia telah ‘mati’ pada dirinya), disebut shaw:
‘ketenangan hati’. Meskipun dari sudut pandang eksistensi individualnya dia merupakan orang
yang sama, namun dia tidak lagi pada faktanya orang yang sama. Sehingga diri yang terdahulu
telah ‘mati’, dia telah ‘mati’ sebelum dia sungguh-sungguh mati, dan dia telah memperoleh,
dalam kematian tersebut, kediriannya yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Dia telah
kembali, dalam pengumpulan, pada kondisi kewaspadaan ketika diri sejatinya, jiwanya, telah
melihat Tuhan dalam kejelasan, dan telah mengatakan: “Ya!” pada perkataan Tuhan “Bukankah
Aku Rabbmu?”205 sehingga kini dia ‘berada dalam Tuhan’, mengonfirmasi dan mengafirmasi
siapa dia sebagai dirinya yang sejati yang telah bersaksi pada dirinya pada Hari Alastu. Meskipun
dia kini melihat dunia inderawi dari multiplisitas menghadangnya lagi, meskipun ‘perpisahan’
kembali datang menjadi kekuatan, namun hal tersebut tidak lagi merupakan dunia yang sama
baginya sebagaimana yang dia tahu sebelumnya; karena dia kini tahu bahwa bentuk yang banyak
yang menyusun Multiplisitas pada kenyataannya merupakan aspek-aspek yang berbeda dari
‘Kebenaran’ (al-haqq) Yang ‘mengenakan’ diri-Nya dalam samaran mereka; hal tersebut
merupakan begitu banyak manifestasi dan determinasi dan partikularisasi dari Being Absolut
Yang, sebagai Realitas yang mendasari dunia inderawi, disebut ‘Kebenaran’. Dia juga mengetahui
bahwa hal-hal terpisah yang dianggap independen bukan apa-apa dalam diri mereka, dan
kepastian terhadap kebenaran ini lahir dari pengalamannya akan ‘pengumpulan’ dan ‘kelupaan
penuh’. Tapi dipertimbangkan sebagai determinasi yang begitu banyak determinasi partikular
dan swa-pengungkapan dari ‘Kebenaran’, hal-hal terpisah dari dunia inderawi bukan hanya ilusi;
mereka ada dan memiliki status ontologis. Mereka adalah ’panggung-panggung manifestasi
(tung. mazhar), bentuk-bentuk-manifestasi yang menentukan bentuk partikular pengungkapan

203
Hadith ini juga cukup dikenal. Beberapa mempertahankan bahwa hal itu merupakan perkataan ‘Alī ibn Abī Thālib.
Tapi tidak dapat ditolak bahwa ‘Alī, jika mengatakan ini tentu dia, mendapatkan gagasan tersebut dari Nabi Suci.
Bandingkan. Fusūs al-Hikām, hlm. 159. Lihat juga Futūhāt. IV, hlm. 45-637. III, hlm 285 (250); hlm. 285 (251); hlm.
286 (251.
204
Shabistari mengatakan bahwa kematian muncul pada manusia dalam tiga jenis: jenis pertama yang nampak padanya
setiap saat; kematian kesadaran ego; kematian yang harus padanya. Lāhiji, mengomentari hal ini, mengatakan bahwa
yang pertama adalah penciptaan yang baru (yang akan kita jelaskan dalam jalur yang berkaitan); kedua adalah kematian
pada dunia, sebagaimana berdasarkan pada tradisi: “mati sebelum kamu mati”; ketiga adalah perpisahan jiwa dan
tubuh. Lihat Gulshan-i Raz, Lahore, 1978, hlm. 65, kuplet 664-665.
205
Al-A’rāf (7): 172.

138 Prolegomena
diri dari Kebenaran. Dengan demikian tahap kembali pada kondisi ‘perpisahan’ adalah disebut
‘perpisahan kedua’ (al-farq al-thānī), dan hal terssebut kadang-kadang juga disebut ‘perpisahan
setelah pengumpulan’ atau ‘perpisahan setelah kesatuan’ (al-farq ba’d al-jam’).
Hal ini mungkin makna terdalam dari penglihatan Nabi Musa di Gunung (Al-A’rāf (7):
143). Dia telah meminta Tuhan menunjukkan diri-Nya kepadanya sehingga dia dapat melihat
Tuhannya. Tuhannya telah mengalamatkan padanya dengan berkata bahwa dia tidak dapat
melihat-Nya dengan mata telanjang dalam kondisi yang sekarang, tetapi memberitahunya untuk
menatap gunung untuk melihat bahwa jika gunung itu tetap berdiri maka dapat dia dapat
melihat-Nya. Ketika Tuhannya menunjukkan diri-Nya (tajallā) pada Gunung tersebut, lalu
gunung tersebut hancur seperti ditekan ke bawah atau dilumatkan ke tingkatan terdalam (dakkan).
Nabi, yang menyaksikan penampakan yang mempesona ini, lalu jatuh ke tanah menarik napas
dan menjadi tidak sadar (kharra sa’iqan). Kemudian ketika kesadarannya dikembalikan padanya
seolah-olah dipulihkan dari pingsan atau kelupaan (afāqa), dia menyadari makna pengalamannya
dan kembali kepada Tuhan dalam penyesalan, mengagungkan-Nya dan mengakui kepercayaan-
lemahnya dengan intensitas yang besar. Mungkinlah referensi melihat gunung untuk melihat
apakah itu tetap berdiri tegak menyebut pada penampakan kembalinya setelah kehilangannya bagi
penglihatan seseorang yang terlibat dalam pengalaman fanā’-baqā. Melihat gunung tetap berdiri
tegak akan menjadi penglihatan manusia akan ‘perpisahan kedua’, yang melihat baik gunung
yang menghilang dalam Realitas, dan Realitas yang memperbaharui gunung tersebut dalam
tindakan penciptaan yang terus-menerus.
Berbicara pengalaman yang sama seperti yang telah kita ungkapkan di sini, al-Ghazāli,
menyebut orang-orang dari ‘perpisahan kedua’, yakni yang terpilih dan yang super terpilih,
berkata:

...Yang Mengetahui (al-’ārifūn) muncul dari tataran metafora (majāz, cth dari tingkatan hal-
hal fenomenal, yang status ontologisnya hanya sebuah ‘eksistensi metaforis’, yakni,
dimana eksistensi tidak secara literal digunakan, atau dimana eksistensi tidak dapat
sungguh-sungguh dilekatkan) pada realitas puncak (haqīqah); dan mereka melengkapi
pendakian dan penerimaan mereka melalui penglihatan mata langsung (al-mushāhadah
al-‘iyāniyyah) bahwa tidak ada dalam eksistensi kecuali Tuhan Yang Maha Agung, dan
bahwa segala hal binasa kecuali Aspek-Nya (wajh: lit. Wajah),206 bukan karena hal-hal
tersebut itu binasa pada satu waktu partikular, melainkan karena hal-hal tersebut itu
binasa secara abadi dan terus berlangsung, karena hal itu tidak dapat diterima sebaliknya.
Karena segala sesuatu selain Dia, ketika dipertimbangkan pada dirinya sendiri, adalah
murni non-eksistensi (‘adam mahd); dan ketika dipertimbangkan dari sudut pandang
eksistensi tersebut yang menerima dari Kebenaran Pertama (al-awwal al-haqq), ia dilihat
sebagai maujud — bukan pada dirinya sendiri, tetapi secara tunggal dari sudut pandang
dari Asal eksistensinya — sehingga maujud satu-satunya tersebut merupakan Aspek dari
Tuhan Yang Maha Agung. Segala hal dengan demikian memiliki aspek ganda: sebuah
aspek menuju dirinya sendiri, dan sebuah aspek menuju Tuhannya; dalam hal dirinya
sendiri hal tersebut adalah non-eksistensi (‘adam), dalam hal dari Tuhannya hal tersebut
adalah maujud (mawjūd). Oleh karena itu, tidak ada maujud yang tetap daripada Tuhan
Yang Maha Agung dan Aspek-Nya, dan karenanya ‘segala hal hancur kecuali Aspek-Nya’,
secara abadi dan terus berlangsung. Para yang Mengetahui tersebut tidak perlu menunggu
kemunculan Hari Kebangkitan untuk mendengar panggilan Pencipta: “Siapa yang
memiliki kedaulatan pada Hari ini? — pada Tuhan, Yang Esa, Yang Sangat Menarik!”,

206
Al-Qur’ān: Al-Qasas (28): 88: Kullu shay’īn hālikun illā wajhahu.

139 Prolegomena
karena panggilan ini hadir tanpa akhir dalam telinga mereka. Maupun mereka mengerti
dengan perkataan mereka ‘Tuhan Maha Besar (Allāhu akbar) bahwa Dia ‘lebih besar’ dari
yang lain. Tuhan melarang! Karena ‘bersama’ Dia tidak ada yang lain dalam eksistensi
karena Dia lebih besar dari itu. Tidak ada yang memiliki ranking ‘kebersamaan’ (al-
ma’iyyah) dengan-Nya, tetapi hanya akan ‘keakibatan’ (al-taba’iyyah); tentu saja, tidak ada
yang memiliki eksistensi yang terselamatkan melalui aspek yang disertakan dari-Nya,
sehingga apa yang ada hanya Aspek-Nya. Kini adalah absurd bahwa Dia harus lebih
‘besar’ dari Aspek-Nya sendiri. Maknanya adalah lebih bahwa Dia lebih Besar dari disebut
‘lebih besar’ dengan cara relasi dan perbandingan — sungguh terlalu Besar bagi siapapun,
baik dia nabi atau malaikat, untuk memahami sifat-dasar sejati akan Kebesaran-Nya.
Tidak ada yang mengetahui Tuhan dengan pengetahuan sejati akan-Nya kecuali Tuhan,
karena setiap yang diketahui ada dalam pengaruh hati-hati dari yang mengetahui, dan hal
ini merupakan inti negasi terhadap Kemuliaan dan Kebesaran...207 Yang Mengetahui (pada
kondisi kembali mereka) setelah pendakian mereka pada kerajaan realitas mengakui
dalam kesepakatan yang diselenggarakan dalam tujuan bersama bahwa mereka melihat
nihil dalam eksistensi kecuali Kebenaran Tunggal. Namun, di antara mereka, terdapat
yang mencapai kondisi ini melalui pengetahuan iluminatif (‘irfān ‘ilmi), dan yang lain
melalui pengalaman langsung atau perasaan langsung (dhawq). (Bentuk-bentuk)
Multiplisitas tersebut hilang dari mereka (cth. penglihatan mereka) dalam totalitasnya.
Mereka tenggelam dalam Kesatuan absolut, dan kecerdasan mereka terhapus di dalamnya,
mereka di dalamnya menjadi seperti mereka yang dibingungkan secara penuh. Tidak ada
kapasitas yang tertinggal pada mereka; tidak pula untuk memanggil selain dari Tuhan,
maupun untuk memanggil bahkan diri mereka sendiri, sehingga tidak ada yang bersama
mereka kecuali Tuhan. Mereka menjadi lupa dengan sebuah kelupaan yang membuat
kecerdasan mereka hilang... kemudian ketika kelupaan mereka mereda, dan mereka
kembali pada pengaruh kecerdasan, yang merupakan keseimbangan-skala milik Tuhan
pada bumi, mereka mengetahui bahwa (pengalaman absorpsi dalam Kesatuan absolut)
tidak pernah ada persatuan sesungguhnya (ittihād), tetapi hanya sesuatu yang menyerupai
persatuan... Kini kondisi ini, ketika hal tersebut tersibak, disebut dalam hubungan
padanya yang mengalaminya, yakni ‘pembinasaan’ (fanā’), bahkan ‘pembinasaan dari
pembinasaan’ (fanā’ al-fanā’), karena dia telah musnah pada dirinya sendiri dan musnah
pada kemusnahan dirinya sendiri; karena dia menjadi tidak sadar terhadap dirinya dalam
kondisi ini dan tidak sadar terhadap ketidaksadaran dirinya sendiri, karena jika dia sadar
terhadap ketidaksadarannya sendiri dia akan sadar terhadap dirinya sendiri. Dalam
hubungan dengan seseorang yang membenamkan di dalamnya, kondisi ini disebut dalam
bahasa metafora ‘persatuan’ (ittihād), atau dalam bahasa realitas ‘unifikasi’ (tawhīd).208

Kita katakan sebelumnya bahwa kondisi ‘perpisahan pertama’ tidak hanya melibatkan
kemungkinan kondisi ‘perpisahan kedua’, tetapi juga sebuah kondisi yang mendahuluinya akan
sebuah ‘pra-perpisahan’. Kita katakan lebih lanjut bahwa kondisi ‘pra-perpisahan’ ini nampak
dalam konteks spiritual akan ‘persatuan’, ketika jiwa manusia mengonfimasi dan mengafirmasi
Perjanjian (mīthāq) individual dan kolektif mereka dengan Tuhan, mengenali dan mengakui-Nya
sebagai Rabb mereka. Pengenalan dan pengakuan mereka terhadap kebenaran tertinggi ini tentu
saja melibatkan suatu jenis ‘perpisahan’ — yakni, suatu kesadaran perbedaan antara Rabb dan
pelayan, antara Pencipta dan ciptaan. Hal ini berarti bahwa bahkan dalam konteks spiritual suatu

207
Mishkāt al-Anwār, (op.cit.), hlm. 55-56. Terjemahan saya.
208
Ibid, hlm. 57. Terjemahan saya.

140 Prolegomena
bentuk hubungan subjek-objek tetap bertahan yang membentuk pembatasan pada kognisi
manusia. Tuhan tidak dapat diketahui manusia dalam Esensi-Nya sebab, Dia melampaui semua
determinasi ke dalam entitas-entitas partikular (cth. lā ta’ayyun). Dengan demikian Dia dapat
diketahui hanya dalam jalan terbatas ketika Dia memanifestasikan diri-Nya kepada manusia
sempurna melalui beberapa Nama atau Sifat yang terbatas. Dan ketika Dia mewujudkan diri-Nya
dengan jalan ini, Dia selalu mengungkapkan diri-Nya sebagai Rabb (al-rabb); dan mengetahui-Nya
sebagai ‘Rabb’ merupakan jenis tertinggi dalam mengetahui Tuhan yang mungkin bagi manusia.
Benarlah bahwa manusia sempurna mengetahui tentang Tuhan dengan jalan mencari yang
meliputi misteri terdalam dari Being dan Eksistensi-Nya, sebagaimana yang dapat
disimpulkannya secara intuitif dari refleksi dan perenungan atas apa yang telah diberikan
padanya dalam pengalaman spiritualnya, darimana penglihatan metafisis terhadap Realitas
dirumuskan dan dibentuk dalam Islām. Tapi semua pengetahuan tersebut secara mendasar
memiliki sumber dan basisnya pada pengetahuan tentang diri dan Rabb. Nabi Suci berkata: “Dia
yang mengenali dirinya mengenali Tuhannya”, dan dia memaksudkan dengan ‘diri’ sebagai diri
sejati (dengan perwujudan dalam tahap terakhir dari fanā’, yakni, tahap baqā) yang mengenali
Rabbnya (melalui diri, yang sudah mengetahui Tuhan sebagai Rabb ketika diri tersebut menyegel
Perjanjian dengan Tuhan yang mengenali dan mengakui Ke-Rabb-an-Nya).”
Dengan demikian istilah ‘perpisahan’, dalam tiga pengertiannya yang dimaksud dalam
penjelasan ini, selalu melibatkan hubungan subjek-objek. Tapi derajat-derajat keterpisahan
tersebut dalam hubungan tersebut tidak berarti sama dengan ‘pra-perpisahan’, ‘perpisahan
pertama’ dan ‘perpisahan kedua’. Ketika kita berbicara ‘pra-perpisahan’, kita tidak
memaksudkannya bahwa secara absolut tidak ada ‘perpisahan’ dalam kondisi spiritual tersebut,
karena kapasitas jiwa pada pengenalan dan pengakuan Rabb mereka serta merta melibatkan
penglihatan keterpilahan pada bagian jiwa antara Rabb mereka dan diri mereka sendiri, dan antara
diri mereka di antara mereka sendiri, keterpilahan yang terlihat menyiratkan persistensi
‘perpisahan’ dalam kondisi mereka. Namun, ‘perpisahan’ yang terlibat di sini dilihat dalam
konteks ‘persatuan’, yang tidak lain dari ‘berada’ dalam Tuan (baqā). Dari sudut pandang tersebut
dari tahap ‘perpisahan pertama’, ‘perpisahan’ yang kita baru gambarkan antara diri dan Rabb
bukanlah sebuah ‘perpisahan’; hal itu merupakan ’persatuan’, dan karenanya dalam pengertian
hal tersebut menggambarkan kondisi atau tahap ‘pra-perpisahan’. Dalam kasus ‘perpisahan
kedua’ ‘perpisahan’ yang dilibatkan tidak sama seperti dalam kekuatan dari ‘perpisahan
pertama’. Kondisi ‘perpisahan kedua’ ketika dilihat dari sudut pandang ‘perpisahan pertama’,
melibatkan baik ‘persatuan’ dan ‘perpisahan’. Hal tersebut merupakan ‘persatuan’ dalam satu
pengertian dan ‘perpisahan’ dalam pengertian lain, karena di satu sisi itu juga melibatkan kondisi
spiritual manusia yang telah melampaukan dirinya dalam perwujudan diri, dan di pihak lain juga
melibatkan kondisi fisik manusia tersebut yang telah kembali pada kesadaran fenomenal.
Manusia tersebut melihat pada satu sisi Multiplisitas dalam Kesatuan dan di lain pihak Kesatuan
dalam Multiplisitas. Inilah mengapa guru-guru pengalaman dan penglihatan spiritual menyebut
manusia sedemikian sebagai ‘pemilik dua mata’ (dhū al-’aynayn).209 Hal tersebut seolah-olah
manusia tersebut, telah melampaui diri fenomenalnya dengan telah dipindahkan kepada kondisi
lain dalam kondisi perwujudan diri, dan di sana melihat apa yang telah selalu dia lihat sebagai
diri tersebut; dan kini pada kondisi kembali pada kesadaran normalnya, melihat hal-hal

209
Pembagian rangkap tiga dari persepsi manusia akan kebenaran seperti telah kita jelaskan dalam halaman depan
dipegang oleh semua Sūfī sejati. Lihat, untuk contoh Jāmī dalam karyanya Naqd al-Nusūs fi sharh Naqsh al-Fusūs,
yang diedit dengan catatan dan pengenalan dalam bahasa Persia dan bahasa Inggris oleh W.C. Chittick, pengantar
bahasa Persia oleh Sayyid Jalāl al-Dīn Āshtīyānī, Tehran, 1977; hlm. 142. Lihat juga Sayyid Haydar Āmulī. Jāmi’ al-
Asrar wa Manba’ al-Anwār yang diikat bersama dengan karyanya Risālah Naqd al-Nuqūd fi Ma’rifah al-Wujūd, eds.
H. Corbin dan Osman Yahia, Tehran. 1969/1347, hlm. 112-112; hlm. 220.

141 Prolegomena
sebagaimana mereka ada sebelumnya, dia masih terus melihat mereka sebagaimana mereka
sesungguhnya,210 yakni, sebagaimana mereka ada dalam realitas yang dilihat oleh diri sejatinya.
Dengan demikian, meskipun kedua tahap ‘pra-perpisahan’ dan ‘perpisahan pertama’ merupakan
suatu yang umum bagi semua manusia, bahkan jika yang terdahulu menunjuk pada kondisi
spiritual dan yang kemudian pada yang fisik, tahap dari ‘perpisahan kedua’, yang hanya secara
relatif dicapai beberapa di antara manusia, adalah pada faktanya lebih terhubung dengan ‘pra-
perpisahan’.
Dengan cara yang sama bahwa, dalam kondisi ‘pra-perpisahan’, manusia sebagai dirinya
yang sejati itu berada dalam Tuhan, sehingga bahkan dalam kondisi fisiknya, manusia pada tahap
‘perpisahan kedua’ telah menyadari diri sejatinya dan secara spiritual berada dalam Tuhan
sebagaimana dia sebelumnya sebelum memperoleh eksistensi eksternal. Dan dalam eksistensi
fenomenalnya, dia secara sinambung mengonfirmasikan dan mengafirmasi realitas dan kebenaran
akan Rabbnya, sebagaimana dalam Perjanjian asalinya, dalam ketundukan sejati sebagaimana
ditetapkan dalam Islām.211 Tasdīq-nya, atau verifikasi terhadap Kebenaran atau ‘pembenaran’,
adalah dari derajat tertinggi iman yang mengarakteristikkan tingkatan ‘unggul’ (ihsān) yang sifat-
dasarnya ditunjukkan oleh Nabi Suci dalam hadīth yang terhubung dengan ‘Umar ibn al-Khattāb
dan disampaikan oleh Muslim dan Abū Hurayrah, ketika dia berkata akan ihsān: “bahwa kamu
seharusnya menyembah Tuhan seolah kamu melihat-Nya...” (an ta’buda Allāha ka annaka tarāhu...).
Tentu saja, manusia tersebut yang pada tahap ‘perpisahan kedua’, yang merupakan baqā, melihat
Tuhan dimana-mana dalam penglihatan spiritualnya, sehingga baginya disadari makna utuh dari
teks: “Dimanapun kamu berpaling terdapat Aspek Tuhan’ (fa aynamā tuwallū fa thamma wajh
Allāh).212
Maka, intuisi akan eksistensi, datang melalui perantara ‘kesaksian spiritual’ (shuhūd), yang
dapat mengambil bentuk pengertian yang kursinya adalah intelek murni;213 atau melalui
perantara ‘perasaan’ atau ‘pengecapan’ (dhawq) dalam pengalaman iluminatif langsung dimana
hati lalu mengetahui secara langsung dan membenarkan apa yang diketahui; atau melalui
perantara bentuk-bentuk pengertian (seperti perkataan al-Ghazāli dalam kutipan pada hlm. 195 di
atas). Baik shuhūd dan dhawq muncul ketika hijab dari objek yang terpisah dan bentuk-bentuk
fenomena dihilangkan dari penglihatan kognitif seseorang yang terlibat dalam pengalaman fanā’-
baqā. Penghilangan hijab ini disebut kashf. Al-kashf itu terhubung dengan penglihatan mata.214 Hal
tersebut merupakan menyibak sesuatu yang tertutup. ‘Tertutup’ di sini menyentuh pada apa yang
tertutup bagi kondisi being atau perasaan (hāl) seseorang, atau kognisi seseorang (‘ilm atau ‘irfān),
atau pada pandangan atau penglihatan seseorang (‘ayn). Perpindahan inilah, dengan
Kemurahhatian Tuhan, dari penutupan kondisi being seseorang, atau kognisi, atau penglihatan
yang membuat seseorang merasakan, mengetahui atau melihat realitas-kebenaran.215 Hal tersebut

210
Saya menyebut di sini pada doa Nabi Suci: “Allāhumma arinā’ l-ashyā’a kamā hiya.” “Wahai Tuhan! Tunjukkan
kami hal-hal sebagaimana mereka ada sesungguhnya.” Mungkin pada berita dari hadith inilah, dalam perkiraan saya,
filsuf Muslim awal membuat istilah māhiyyah (dari mā, cth. ‘apa’; dan hiya, cth. ‘itu’). Hadīth tersebut dikutip oleh
Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam karyanya Tafsīr al-Kabīr, bol. 21 hlm. 37.
211
Bandingkan. Bab I, hlm. 7; 11-12; 18-20.
212
Al-Baqarah (2): 115. Lihat juga Rasā’il al-Junayd, (op.cit) Risālah no. 10.
213
Kita mengidentifikasi intelek murni, yang merupakan intelek yang di asbtraksi dari tambahan fisik dan hubungan
jasmani, dengan bentuk yang lebih tinggi dari intelek perolehan. Lihat bab IV, hlm. 162.
214
Al-Sarraj, Kitāb al-Luma’, ed. R.A. Nicholson, London, 1963, hlm. 346.
215
Kita telah merumuskan definisi akan kashf berdasarkan pada ungkapan Qur’āni. Lihat untuk contoh, dengan
referensi pada penghilangan apa yang tertutup pada kondisi being atau perasaan seseorang, Al-An’ām (6): 41; 17, yang
menunjuk pada perpindahan dari keadaan sukar dan kemalangan; juga serupa An-Nahl (16): 54; Al-Anbiyā’ (21): 84;
Al-Zumar (39): 38; Banī Isrā’īl (17): 56; Yūnūs (10): 12;107; An-Naml (27): 62; perpindahan hukuman, Al-A’rāf (7):
134-135; Yūnūs (10): 98; Al-Dukhān (44): 12; 15, Al-Zukhruf (43): 50; dengan referensi pada pengetahuan, tempat yang
terbuka dari beberapa rahasia mendalam atau misteri, Al-Najm (53): 58; Nūn al-Qalam (68): 42; dengan referensi pada

142 Prolegomena
merupakan pengetahuan tertentu berdasarkan pada verifikasi sejati, penangkapan langsung, dan
penglihatan yang jelas, tak terganggu pengalih apapun. Penutupan yang dimaksud dan yang
disebabkan, dengan Kemurahhatian Tuhan, diangkat dalam pengalaman kashf, merupakan
penutup hati, yang merupakan sebagai mata pada intelek murni, dan yang merupakan organ
spiritual dari kognisi pada tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi.216 Pengangkatan penutup
mata dari intelek murni, sedemikian seseorang yang darinya sesuatu penutupan itu diangkat
melihat seperti dalam penglihatan mata terhadap Kebenaran atau Realitas, menyentuh pada
seseorang yang telah kita gambarkan sebagai manusia dari ‘perpisahan kedua’. Orang sedemikian
tidak hanya ‘melihat’ dengan penglihatan langsung, tetapi ‘membuktikan’ dengan pengalaman
langsung Realitas Eksistensi yang mengembang meliputi semua dan setiap hal-hal yang ada, yang
mengartikulasikan individuasinya yang banyak dan beragam sementara tetap memperoleh
kesatuan-Nya.217 Intuisi akan eksistensi tidak lain dari ‘kebetulan’ manusia dalam tindakan
Eksistensi itu sendiri, dan karenanya itu juga disebut wujūd. Kondisi intuisi eksistensial tersebut
didahului kondisi agitasi dalaman atau ekstase yang disebut wajd. Apa yang terjadi kemudian
adalah kehilangan diri individual atau kesadaran subjektif (fanā’), dan jika orang tersebut tabah
dalam kondisi spiritualnya dia mencapai kondisi kedirian sejatinya dan berada (baqā) dalam
Tuhan. Hanya dalam kondisi yang kemudian dari berada inilah dia ‘menemukan’ (wajada) Tuhan.
‘Penemuan’ ini adalah wijdān. Dalam pengertian ini wujūd adalah penemuan Kebenaran dalam
eksistensi, dan ini hanya mungkin setelah penghilangan kondisi manusia — yakni kehilangan
kesadaran diri subjektif atau ego.218
Dalam hal al-dhawq, makna dasarnya adalah ‘rasa’ dalam pengertian yang digunakan baik
untuk kenikmatan dan sakit.219 Hal tersebut menunjuk, dalam konteks epistemologis yang
digambarkan di sini, kepada sebuah jenis pengetahuan intuitif yang dibawa dengan persepsi
spiritual yang menemani pengalaman verifikasi langsung. Penglihatan transendental yang
menyertainya menunjuk pada intelek murni (‘aql mujarrad); dan derajat spiritual seseorang dalam
kondisi intelek tersebut merupakan realitas-realitas arketipal, dimana derajat verifikasi yang
mengetahui dan kognisi terhadap Realitas dan Kebenaran transenden secara sejati disebut dhawq.
Kita lihat di sini hubungan dekat antara dhawq dan kashf; dan memang juga antara hal tersebut
dan wajd. Dhawq datang sebelum wajd, dan kondisi yang kemudian tiba dengan kesetiaan murni
kepada Tuhan dan percakapan intim dengan-Nya hingga Dia mengalamatkan kepada hati
seseorang yang begitu asyik dalam perenungan akan-Nya hingga pengecualian yang lain
sehingga kemudian hati ‘melihat’ dari apa yang dibebaskan, dan di sana muncul agitasi yang
disebut wajd, karena hati telah menemukan apa yang hilang. Penemuan ini, kita katakan
sebelumnya, disebut wajd, atau wijdān, yang telah kita gambarkan sebagai intuisi akan eksistensi.

penglihatan, An-Naml (27): 44; Qāf (50): 22.


216
Pada penglihatan dari hatilah yang disebut Nabi Suci ketika dia, padanya kedamaian, berkata: “Sembahlah Tuhan
seperti kamua melihat-Nya...” pada saat yang lain dia juga berbicara melihat Tuhan dengan hati kita (lihat Kashf al-
Mahjūb, London, 1911, hlm. 329). Bahwa hati merupakan organ spiritual akan penglihatan diturunkan dari Qur’ān
Suci. Di sana Tuhan berbicara akan penutupan dan penyegelan-Nya terhadap hati, dan mengatakan bahwa mereka yang
buta (a’mā) di dunia ini akan buta di akhirat, dan lebih lanjut tersesat dari jalan (Banī Isrā’īl (17): 72. Bukan bahwa
mata mereka akan buta, karena penglihatan (basar) mereka akan tetap tajam (Qāf: (50): 22), tetapi bahwa kendati
demikian hati mereka akan buta. Lihat lebih lanjut Al-Hajj (22): 46, dan Qāshāni, Sharh Fusūs, hlm. 155.
217
Pemandangan dengan mata (al-mu’āyanah) melibatkan menghadapkan dengan apa yang dipandang dan tidak ragu
dengan apa yang dilihat mata. Dengan demikian hal itu menunjuk pada kehadiran (hudūr) kepada Tuhan dari hati
manusia dalam kondisi perenungan yang tidak terganggu, seperti orang yang menjadi absen pada dirinya dan
mengalami intuisi akan eksistensi.
218
Lihat al-Qushayrī, al-Risālah, Beirut, 1957, hlm. 34.
219
Ini adalah bukti dari Qur’ān Suci, contohnya Hūd (11): 9, 10; Al-Sajdah (41): 50; Al-Dukhān (44): 49; Al-Qamar
(54): 48.

143 Prolegomena
Ketika seseorang pulih dari penglihatan tersebut dia kehilangan apa yang ditemukan, tetapi
pengetahuan tentangnya tetap dengannya.
Dengan referensi pada intuisi akan eksistensi, penglihatan transempiris tersebut disebut
shuhūd atau ‘penyaksian’. Penglihatan terhadap Realitas atau Kebenaran yang dilihat di sini secara
mendasar menunjuk pada jiwa manusia dalam kondisi primordialnya ketika Tuhan membuatnya
bersaksi kepada dirinya sendiri realitas dan kebenaran dari Ke-Rabb-an Tuhan dalam panggilan-
Nya kepada jiwa: “Bukankah Aku Tuhanmu?” Respon manusia dalam pengenalan realitas dan
kebenaran tersebut adalah pengakuan yang tidak dikondisikan, yang dikonfirmasikan di dalam
dirinya sendiri dalam perkataannya: “Ya, tentu saja!”; dan pengakuan ini dikonfirmasikan dengan
verifikasi pengalaman langsung dari apa yang ‘dilihat’ (q.v. shahida). Hal ini menunjuk pada
kesaksian (shuhūd) asli, pada kondisi dimana orang tersebut dari ‘perpisahan kedua’ kembali.
Tidak akan ada penyibakan sifat-dasar sejati dari bentuk fenomena dalam anekawarna dan
multiplisitas dan eksistensi terpisah kecuali manusia melampaui dirinya sendiri, yakni, kondisi
manusianya, dimana dia diikat pada tahap ‘perpisahan pertama’; dan hal ini serta merta
melibatkan perubahan padanya, yang tanpanya selamanya dia akan diikat pada tingkatan kognisi
dan kemauan yang biasa. Perubahannya dihasilkan ketika dia mencapai stasiun spiritual dan
intelektual yang lebih tinggi secara bergantian, yang mengangkatnya pada tahap dimana dia
mampu, dengan keagungan Tuhan, untuk melampaui dirinya dan memperoleh dirinya yang
lebih tinggi. Perubahan tersebut menyertakan — seperti perkataan al-Ghazāli menyebut pada ayat
Qur’ān Suci — yaitu “bumi ini baginya berubah menjadi bukan bumi, dan demikian juga
langit”.220
Mereka yang telah mengalami ‘perpisahan kedua’, ketika mereka merenungkan
Kebenaran, lalu kembali (dalam rekoleksi dari apa yang telah mereka alami tentang kehilangan
fakultas persepsi rasional mereka dan dari ego individual mereka yang juga menyertakan
kehilangan pada bentuk fenomena) kepada kondisi mereka sebelumnya, ketika Tuhan membuat
mereka absen pada diri mereka sendiri dan kepada dunia dan hadir dengan-Nya; dan kemudian
setelah Tuhan memberi mereka kesadaran individual dan membuat mereka terpisah dari-Nya
dan hadir kembali kepada dunia, mereka mengetahui dengan verifikasi personal bahwa segala
sesuatu itu — diri fenomenal mereka secara psikologis dan semua hal ciptaan secara ontologis —
binasa kecuali Modus dan Aspek-Nya, dalam samaran yang tidak pernah berulang untuk dua
durasi yang bertalian. Mereka telah melihat Kesatuan akan Wujud (Existence) Absolut yang telah
menjadi Multiplisitas, dan yang Multiplisitas kembali pada Kesatuan asalinya tanpa Kesatuan itu
dikurangi oleh perubahan apapun dalam keesaannya dan kesempurnaannya. Pada kondisi ini
kata-kata al-Junayd ditujukan: “... mereka terpesona oleh penglihatan terhadap pancaran dari-
Nya...”221 Mereka menyadari bahwa semua maujud dalam sifat-dasar mereka merupakan modus-
modus dan aspek-aspek-Nya, sedangkan bentuk-bentuk fenomena dalam samaran tersebut yang
nampak secara sementara pada diri mereka sendiri merupakan non-eksistensi murni.
Sebagaimana mereka dalam diri mereka sendiri mereka adalah yang lain dari Tuhan (mā siwā
Allāh); mereka itu, ketika ‘terhubung’ pada-Nya, atau ketika dipertimbangkan dalam asosiasi
dengan-Nya, “tertinggal tanpa jejak”; ketika matahari kemuliaan-Nya menampakkan sinarnya
maka bintang-bintang hilang, mereka tidak dapat ‘ada-bersama’ Yang Absolut, seperti Ibn ‘Atā’
Allāh al-Iskandarī berkata:

Menurut Orang-orang Kesatuan dan Pengetahuan Iluminatif (ahl al-tawhīd wa al-ma’rifah)


bukan ‘eksistensi’ maupun ’kehilangan-eksistensi’ (faqd) dapat dipredikatkan kepada yang

220
Mishkāt al-Anwār, hlm. 50; Ibrahīm (14): 48.
221
Kitāb al-Mithāq, op.cit., hlm. 41/161-2.

144 Prolegomena
lain selain Tuhan Yang Maha Agung, karena selain Tuhan tidak dapat ‘ada-bersama’
Tuhan sebab Tuhan Unik; maupun ‘kehilangan-eksistensi’ dapat dipredikatkan pada yang
lain dari Tuhan sebab hanya yang telah ada saja yang dapat dikualifikasi dengan
kehilangan eksistensi...dll.222

Sebuah bagian dalam Kitāb al-Luma’ dari al-Sarraj menjelaskan makna ‘kehilangan-
eksistensi’ (faqd) yang kini kita pertimbangkan:

‘Maujud’ (al-mawjūd) dan ‘kehilangan-eksistensi’ (al-mafqūd) adalah dua istilah yang


menandakan lawan. ‘Maujud’ adalah apa yang telah muncul dari wilayah ‘non-eksistensi’
(al-’adam) kepada wilayah ‘eksistensi’ (al-wujūd); dimana ‘kehilangan-eksistensi’ adalah
apa yang menyimpang dari wilayah ‘eksistensi’ kepada wilayah ‘non-eksistensi’. Dhū al-
Nūn — Rahmat Tuhan atasnya! — berkata: “Bersedih hatilah bukan untuk ‘kehilangan-
eksistensi’ karena hal tersebut merupakan sebuah rekoleksi (akan ‘eksistensi’) pada sebuah
budak yang maujud.” Non-eksistensi (al-ma’dūm) adalah yang ‘bukan’, dan yang
‘penemuannya’ adalah tidak mungkin, tetapi jika seseorang ‘tidak menemukan’ sesuatu
namun sementara ‘penemuannya’ itu mungkin, maka hal tersebut disebut ‘kehilangan-
eksistensi’, dan hal tersebut tidak disebut ‘non-maujud’.223

Kini al-faqd ditandakan, menurut al-Baydāwī, ‘kondisi hal tersebut yang absen dari
wilayah persepsi indera sehingga tempatnya tidak diketahui’. Al-Baydāwī disini menunjuk pada
bagian Qur’ān Suci: Qālū wa aqlbalū ‘alayhim mādhā tafqidūna (12: 71),224 yakni: ‘Mereka berkata,
kembali pada mereka: “Apa yang kamu hilangkan?” apa yang telah hilang di sini adalah ‘gelas
kebesaran Raja’ (suwā’a al-maliki) dimana Nabi Yusuf telah menyembunyikannya dalam tas
saudaranya (Benyamin).225 Karena cangkir minum itu disembunyikan dalam tas maka mereka
(orang Mesir) kehilangannya (nafqidu) — yakni, mereka tidak melihatnya dimanapun dan mereka
tidak tahu tempat persembunyiannya. Dalam kasus ini ‘absen dari wilayah persepsi indera’ berarti
‘kehilangan penglihatan’. Tapi hal tersebut juga berarti, bagaimanapun, bahwa gelas tersebut
tidak hilang bagi memori — gelas tersebut masih ada dalam memori orang Mesir, karena jika tidak
mereka tidak akan mampu kehilangannya. Jadi kendati kehilangan gelas tersebut fakta bahwa hal
tersebut diingat bermakna bahwa gelas tersebut masih sesuatu yang maujud hanya tempatnya
saja yang tidak diketahui. Makna yang nampak dari perkataan Dhū Nūn, yang dikutip oleh al-
Sarrāj, dapat diinterpretasikan dalam cara yang sama. Ketika menunjuk pada diri individual
dalam tahap pengalaman spiritual tersebut yang mengikuti wajd, kata wujūd, sebagaimana kita
telah tunjukkan, tidak berarti ‘eksistensi’ dalam pengertian biasa. Pada wajd kondisi spiritual
merupakan tahap awal fanā’ atau ‘swa-kebinasaan’, dimana seseorang yang mengalami wajd
(wājid) kehilangan kesadaran individual tentang diri tersebut. Mengikuti pernyataan ini, dan jika
dia tetap tabah dalam kondisinya, maka dia ‘menemukan’ (wajada) Tuhan.226 Dalam penjelasan ini
faqada merupakan lawan dari wajada, dan fāqid lawan dari wājid, dan faqd lawan dari wajd. Faqd

222
Dikutip dalam karya Nūr al-Dīn al-Rānīrī Hujjat al-Siddīq, hlm. 20. Lihat karya saya Commentary kepada Hujjat,
hlm. 98.
223
Op.cit; hlm. 339 dari teks bahasa Arab. Terjemahan saya. Jelaslah dari sini bahwa ‘non-maujud’ adalah apa yang
tidak dapat secara esensial ada sebagai eksistensi eksternal, tetapi meskipun demikian hal tersebut merupakan apa yang
dapat ada dalam kondisi interior Being.
224
Lihat karyanya Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, 2 vol. Kairo, 1939.
225
Yūsūf (12): 71-72.
226
Lihat komentar ‘Afīfī pada Fusūs, op. cit., hlm. 310. Lihat juga karya al-Qushayrī Risālah, hlm. 34 dimana makna
akan wujūd diberikan.

145 Prolegomena
merupakan deskripsi tahap akhir fanā’, ketika manusia tersebut kembali pada swa-kesadaran
tanpa mencapai kondisi baqā.
Dalam kutipan dari al-Sarrāj, al-mafqūd berarti ‘kehilangan-eksistensi’ dan didefinisikan
sebagai sesuatu yang menyimpang dari wilayah eksistensi kepada non-eksistensi. Faqd itu
didefinisikan sebagai kehilangan akan eksistensi, bukan sebagai eksistensi yang hilang —
kehilanganlah yang merupakan konotasi dominan dalam faqd, bukan eksistensi. Dengan
demikian, seperti dikatakan al-Iskandarī, bahwa hal tersebut hanya dapat dikatakan dari “yang
telah ada”. Karena telah menjadi jelas dari apa yang telah dieksplikasi bahwa yang lain dari
Tuhan itu tidak dalam kondisi eksistensi (wujūd) maupun dalam kehilangan eksistensi (faqd), ini
berarti bahwa hal tersebut juga bukan dalam kondisi sedang-maujud (mawjūd), maupun akan
hilang ke eksistensi (mafqūd). Untuk mengatakan bahwa yang lain dari Tuhan, atau dunia, adalah
non-eksistensi absolut (‘adam mutlaq) adalah sama dengan kesalahan, seperti dunia yang, entah
bagaimana, ‘ada’. Jika dunia tidak dalam kondisi eksistensi maupun dalam kondisi non-eksistensi,
lalu apa kondisinya? ‘dunia bersama dengan semua bagiannya adalah tidak lain dari rangkaian
aksiden (a’rād), dan yang darinya mereka menjadi aksiden (al-ma’rūd cth. lapisan-dasar) adalah
Tuhan.227 “Dunia tidak lain dari swa-perwujudan-Nya (cth. tajallī).228 Untuk mengatakan bahwa
dunia ‘ada’, hanya berarti bahwa dunia merupakan ‘datang-menjadi-being’ antara dua durasi, dan
bahkan kemudian dunia merupakan subjek bagi pembinasaan karena aksidennya tidak bertahan
dua durasi — dan yang lain seperti mereka juga secara sinambung diciptakan untuk
menggantikan mereka. Dunia ‘eksistensi’ diikat pada kedua sisinya oleh non-eksistensi. Dunia
qua dunia tidak dapat digambarkan sebagai sesuatu yang telah kehilangan eksistensinya,
sebagaimana hal tersebut dapat menyiratkan bahwa dunia telah ada, dan hal ini ditolak karena
dunia tidak pernah ‘ada’ sebagai suatu hal yang nyata pada masing-masing momen dari dirinya
sendiri; dunia tidak dapat digambarkan sebagai telah kehilangan eksistensinya karena dunia pada
faktanya tidak pernah menjadi eksistensi dalam perluasan bahwa pembinasaan dapat
digambarkan sebagai sebuah ‘kehilangan’. Eksistensi dalam keabsolutannya dan bukan dalam
pengertian relatif hanya merupakan prerogatif Tuhan.
Kita telah katakan bahwa dunia qua dunia tidak pernah ‘ada’ sebagai suatu hal yang nyata
pada masing-masing momen akan dirinya sendiri karena pada kenyataannya dunia selalu binasa.
Tapi dunia qua swa-manifestasi dari Tuhan dalam Aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut selalu
tetap ada. Maka selain dari Tuhan, atau dunia ciptaan sebagai keseluruhan, memiliki aspek
ganda: sebagai sesuatu yang nampak terpisah dan berada sendiri di luar Realitas yang merupakan
Eksistensi Absolut; dan sebagai sesuatu yang memanifestasikan individuasi dari Eksistensi
Absolut yang menampakkan pelbagai tahapan-Nya dan berdasarkan dengan pembatasan dari
modus-modus dan aspek-aspek-Nya yang secara sinambung digantikan oleh yang serupa dalam
ciptaan yang baru. Tahapan dan aspek-Nya yang secara sinambung digantikan oleh yang serupa
dalam penciptaan yang baru. Dunia dalam aspeknya yang pertama adalah ‘ciptaan’ dari imajinasi
sensitif (mutawahham), sesuatu yang oleh fakultas estimatif dari jiwa dianggap memiliki
independensi ontologis yang tidak dimiliki pada kenyataannya. Tapi dunia dalam aspeknya yang
kedua, dalam multiplisitas dan anekaragamnya, adalah seperti begitu banyak cermin yang
masing-masing merefleksikan sesuatu yang nyata. Refleksinya tentang sesuatu yang nyata
membuat refleksi tersebut menipu pelihat yang menganggapnya sebagai objek yang nyata. Apa
yang lain dari Tuhan menyentuh pada dunia dalam kedua aspeknya: dalam aspek pertama dunia
itu bukan maujud maupun subjek bagi kehilangan eksistensi; namun, dalam aspek kedua, dunia
itu sesuatu yang telah maujud dan kini kehilangan eksistensi. Dalam aspek pertamanya dunia itu

227
Fusūs, hlm. 125-126.
228
Ibid., hlm. 81.

146 Prolegomena
dipahami sebagai sesuatu yang memiliki kesinambungan dalam eksistensi, berada secara
independen, dan tersusun dari kuiditas-kuiditas yang padanya eksistensi secara konseptual
ditambahkan sebagaimana terlihat dari sudut pandang esensialistik metafisika substansi dan
aksiden. Aspek dunia ini muncul sebagai hasil dari operasi normal tingkatan persepsi dan
konsepsi biasa, dan perkembangan filosofis dan saintifik darinya ke dalam sebuah interpretasi
tentang sifat-dasar realitas yang tidak lain sebuah elaborasi rumit dari tingkatan biasa rasio dan
pengalaman. Dunia dalam aspek ini secara esensial bukan apa-apa; bukan hanya karena kuiditas-
kuiditas yang dibuat menyusunnya hanya bersifat mental dalam alam, tetapi juga karena kuidtas-
kuiditas itu selalu-binasa, dan hanya pembaharuan yang sinambung akannya dengan yang serupa
yang menciptakan pada pikiran gagasan kesinambungan dalam eksistensi seolah-olah dunia itu
sebuah realitas swa-berada dan independen yang memiliki being. Dalam aspek keduanya dunia
itu sesuatu yang datang menjadi eksistensi pada setiap momen dirinya sendiri yang independen
dari pikiran. Setiap momen dirinya sendiri adalah tidak sinambung, sebuah momen yang
merupakan ‘menjadi-maujud’nya: hal tersebut demikian hanya dalam durasi atomis, yang
digantikan oleh selain yang serupa dengannya, dan yang lain tersebut masih oleh yang lain secara
terus-menerus. Segala hal yang terlibat dalam rangkaian pembaharuan penciptaannya ini
memelihara kesatuan dan identitasnya sehingga hal partikular tersebut berhutang kepada realitas
atau arketipnya, ke luar dan ke dalam bentuk Eksistensi yang mengembang dari tingkatan
keabsolutan-Nya kepada tingkatan determinasi dan individuasi-Nya dalam bentuk-bentuk yang
lebih konkret. Arketip itu sendiri — meskipun juga mengalami proses pembaharuan —
memelihara identitas asalinya dan selalu tetap dalam kondisi interior Being. Aspek yang kedua
dari dunia ini adalah nyata, dan memiliki dua aspek: (1) sebagai Eksistensi Itu sendiri, di dalam
kasus bahwa Eksistensi Absolutlah sebagaimana ia melibatkan dirinya sendiri dalam pergerakan
dinamis; (2) sebagai modus-modus Eksistensi, di dalam kasus bahwa individuasinya dari
Eksistensi Absolutlah yang telah diturunkan pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi.
Tuhan dalam Aspek-Nya sebagai Kebenaran atau Realitas, yakni, Eksistensi Absolut, maka
tidak identik dengan hal-hal yang kita lihat dan pegang — sebagaimana Dia tidak identik dengan
Nama dan Sifat-Nya ketika mereka menampilkan kualifikasi diri-Nya dalam bentuk mereka;
karena dikualifikasi sedemikian Dia itu bukan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri. Tuhan sebagai
Dia dalam diri-Nya sendiri itu berada di atas dikualifikasikan bahkan oleh keabsolutan,
sebagaimana juga Dia pada derajat tersebut itu tidak dikondisikan oleh kondisi apapun, dan oleh
karena itu tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali bagi diri-Nya sendiri.
Dari penjelasan di depan sudah jelas pada mereka yang memiliki pemahaman bahwa
Tuhan tidak dapat diserupakan kepada hal-hal yang diciptakan; bahwa Dia bukan substansi,
maupun jasad, maupun aksiden; bahwa Dia bukan dalam sebuah tempat maupun waktu; bahwa
Dia bukan penerima terhadap aksiden, maupun Dia itu lokus bagi hal-hal yang diasalkan —
meskipun Dia kadang-kadang nampak seolah-olah Dia adalah sebuah ‘substansi atau ‘lapisan-dasar’
yang unik dimana terdapat semua aksiden, dan pada waktu yang lain seolah-olah Dia adalah
‘aksiden-aksiden’ yang inheren dalam ‘lapisan-dasar’ tersebut.
Kita telah berbicara, dengan referensi pada struktur fanā’ baqā dalam intuisi akan
eksistensi, tentang apa yang dibuktikan oleh orang-orang penglihatan spiritual sebagai aspek
objektif, metafisis, dan ontologis dari dunia hal-hal ciptaan dalam hubungannya dengan Tuhan.
Dalam segala hal yang telah kita katakan, aspek ganda realitas dari tingkatan eksistensi tertinggi
hingga yang terendah telah berulang-kali ditunjukkan. Kini, secara berhubungan, pada aspek
subjektif dan psikologis dari persoalan tersebut berkaitan dengan manusia, aspek ganda yang
sama disatukan dalam pengalaman akan kejadian kebetulan dari perlawanan. Terminologi yang
mendefinisikan durasi ketika fanā’ muncul adalah waqt atau ‘waktu’, yang berarti pemotongan

147 Prolegomena
rangkaian waktu dari kesadaran individual seseorang sedemikian yang datang dalam waktu
tanpa masa lalu dan masa depan; sebuah waktu yang merupakan sesuatu dari alam keabadian
dan dimana seseorang dibenamkan dalam kebetulan perlawanan (coincidentia oppositorum).
Terdapat dua ‘waktu’ (awqāt) selama fanā’ muncul; yang satu menunjuk pada kondisi wajd —
agitasi spiritual yang mendahului ‘penemuan’ Kebenaran (wijdān), yang tidak lain dari intuisi
akan Eksistensi (wujūd); yang lain menunjuk pada kondisi faqd —‘kehilangan’ (fiqdān) apa yang
ditemukan yang mendahului kembalinya pada kesadaran individual. Apa yang telah hilang
adalah diri sejati yang telah menyaksikan dan membuktikan Kebenaran, atau Aspek Tuhan
sebagai Eksistensi Absolut; apa yang hilang adalah kondisi dimana dia sebelumnya sebelum dia
ada sebagai eksistensi eksternal.229 Dalam pengertian ini juga, apa yang telah hilang adalah
penglihatannya terhadap Kebenaran, karena dia telah dalam kondisi ‘persatuan’ dan ‘kehadiran’,
dan kini dalam kondisi ‘perpisahan’ dan ‘absensi’. Mungkinlah sesorang yang terbenam dalam
‘waktu’ dengan pengertian yang digambarkan di atas dapat, tanpa kondisi (hāl) penglihatan
sesungguhnya (cth. al-mushāhadah al-’iyāniyyah) yang Tuhan sebabkan diturunkan padanya,
menjadi sukar dengan perpisahan, karena dia telah merasakan tetapi tidak sepenuhnya melihat, dan
perasaa kembali kepada ketakutan sejati pada apa yang hilang dan menurunkan perasaan lain
yang hanya menekankan kondisi kesadaran individual terhadap eksistensi fenomenal. Pada
seseorang sedemikian juga tentunya menunjuk pada perkataan Dhū al-Nūn yang dikutip
sebelumnya dari al-Sarrāj. Tapi pemilik waqt yang bergandengan dengan hāl yang membuat
penglihatan sesungguhnya mungkin tidaklah diserang oleh perasaan ketakutan terhadap
perpisahan, karena apa yang telah dia rasakan dan lihat dalam kondisi tersebut, dari Multiplisitas
menjadi Kesatuan dan Kesatuan kembali menjadi Multiplisitas hanya untuk kembali pada
Kesatuan asalinya, memberinya pengetahuan tertentu tentang realitas esensial dalam Tuhan. Hal
Ini merupakan makna mendalam dalam pengertian dari perkataan Dhū al-Nūn, bahwa tidak
perlu takut terhadap kehilangan eksistensi, karena menjadi-hilang akan eksistensi pada faktanya
sebuah pengingatan bahwa seseorang itu maujud, jika tidak tidak akan ada kehilangan eksistensi
— sehingga seseorang memiliki realitas esensial untuk mengambil bagian dari eksistensi, dan pada
pengetahuan tersebut dia diberikan keberadaan (baqā) dalam Tuhan. Kondisinya
dikarakteristikkan dengan ‘ketabahan’ (tamkīn), yang merupakan tahap kesempurnaan spiritual
yang tertinggi; tidak ada tahap selanjutnya, tidak ada perubahan, tidak ada ragu maupun
kebimbangan dalam kondisinya, dan meskipun dia telah kembali pada tahap ‘perpisahan kedua’,
Tuhan telah menghapus dari kesadarannya semua pemikiran dari apa yang selain-Nya sehingga
dia melihat dimanapun Tuhan dan modus dan aspek-Nya dalam verifikasi dari apa yang
dikatakan dalam Qur’ān Suci: “Dimanapun kamu berpaling terdapat Aspek Tuhan”.230
Mereka yang telah mengalami intuisi akan eksistensi ada dua jenis. Yang pertama adalah
mereka yang telah mengalami intuisi eksistensi parsial, dimana mereka secara langsung
menangkap hanya yang pertama dari kedua aspek akan realitas dunia sebagaimana telah kita
nyatakan di atas. Karena pengalaman mereka telah meninggalkan mereka penangkapan hanya
terhadap Eksistensi Absolut, dimana eksistensi partikular dan individual, termasuk diri mereka,
kesadaran subjektif, semuanya binasa, mereka menjadi lupa, ketika mereka memperoleh kesadaran
individual mereka, kepada penolakan eksistensi realitas partikular dan individual dan afirmasi
hanya terhadap keesaan Eksistensi Absolut. Tapi kendati akan ini, bagaimanapun, mereka
mengetahui bahwa intuisi mereka akan eksistensi hanya sebuah yang parsial dan oleh karena itu
tidak lengkap, dan penolakan mereka terhadap eksistensi partikular dan individual itu hanya
bersifat personal bagi mereka, dan tidak dimaksudkan untuk dipahami berhubungan kepada

229
Lihat Kashf al-Mahjūb, hlm. 368.
230
Al-Baqarah (2): 115.

148 Prolegomena
sifat-dasar sesungguhnya dari realitas. Jenis yang kedua adalah mereka yang telah mengalami
intuisi akan eksistensi yang lengkap, dimana mereka secara langsung menangkap baik kedua aspek
dari aspek kedua realitas dunia. Dalam durasi pengalaman intuitif mereka, mereka telah
diberikan sebuah penglihatan penuh tentang Realitas. Kesaksian mereka terhadap Eksistensi
Absolut dalam proses akan pergerakan dinamis-Nya, dimana artikulasi dalaman-Nya diungkapkan
kepada mereka. Artikulasi tersebut merupakan penampakan dan ketidaknampakan dan
penampakan ulang modus-modus dan aspek-aspek dari Eksistensi Absolut keluar dari
kedalaman dalaman keesaan-Nya tanpa keesaan tersebut dengan cara apapun dipengaruhi
perubahan apapun dalam sifat-dasar atau kesatuannya. Mereka melihat dengan mati hati seolah-
olah dengan penglihatan mata, dimana Yang Esa mengindividuasi diri-Nya sendiri ke dalam
Yang Banyak namun tetap menjadi Esa; dan penghilangan Yang Banyak dibuat ditampakkan
ulang, beberapa dalam bentuk-bentuk asali mereka dan yang lain dalam bentuk yang serupa.
Mereka yang mengalami penglihatan ini telah kehilangan kondisi manusia dan subjektifnya dan
telah memperoleh kedirian yang lebih tinggi: mereka ada pada tingkatan akan realitas-realitas
mereka di alam arketip.
Dari pengalaman jenis yang kedua akan intuisilah, yang termasuk dan merupakan tahap
yang melampaui jenis yang pertama, sehingga sifat-dasar realitas sebagai sebuah ‘sistem’
integratif dirumuskan oleh mereka yang telah mengalaminya. Mereka mengakui eksistensi dan
realitas baik Eksistensi Absolut (Tuhan) dan modus-modus dan aspek-aspek-Nya (dunia), dan
membedakan yang satu dari yang lain.
Jenis kedua intuisi akan eksistensi mengungkapkan bahwa sifat-dasar realitas bersifat
ganda, dikarakteristikkan oleh perlawanan yang saling melengkapi yang terlibat dalam
pergerakan dinamis dan eksistensial. Dalam pengertian metafisis, pergerakan dinamis
Eksistensilah, yang digambarkan dalam pengertian ekspansi dan kontraksi atau ‘turunan’ dan
‘pendakian’, yang melibatkan Yang Esa dan Yang Banyak; Yang Absolut dan Yang
mendeterminasi; Yang Abadi dan Yang non-abadi. Di antara dua perlawanan yang melengkapi
tersebut terdapat kategori ketiga antara being dan non-being yang tidak Abadi maupun Non-abadi,
dan ini merupakan alam Realitas Arketipal. Dalam hubungan dengan pergerakan dinamis dan
eksistensial dari penurunan dan pendakian, atau ekspansi dan kontraksi, yang memunculkan bagi
penciptaan yang selalu-baru dan asal dari rangkaian waktu, sifat-dasar rangkaian waktu juga
merupakan suatu yang subjektif; dan kita katakan di atas bahwa manusia yang mengalami intuisi
akan eksistensi ada pada tingkatan realitas-realitas arketipal. Kini kehilangan kondisi subjektif
dan manusia tersebut dalam pengalaman intuitif harus juga melibatkan kehilangan rangkaian
waktu; dan penemuan kedirian yang lebih tinggi dalam jenis kedua dari pengalaman intuitif
melibatkan dalam sebuah waktu tanpa masa lalu dan masa depan, sebuah waktu yang kita
katakan merupakan alam keabadian. Pada hal ini ditunjuk definisi tentang intuisi dari jenis ini
ketika Abū Sa’īd al-Kharrāz, yang mengalaminya, berkata: “hal tersebut merupakan sebuah
kebetulan antara dua perlawanan” (al-jam’ bayn al-diddayn).
Ketika mereka mengatakan bahwa Kebenaran, yang merupakan salah satu Nama-Nama
Tuhan, merupakan realitas eksistensi, mereka berbicara dalam pengertian metafisis menunjuk
pada Yang Absolut sebagaimana Ia mewujudkan diri-Nya sendiri dalam semua tataran eksistensi.
Dengan demikian mereka tidak menyiratkan bahwa Tuhan tidak memiliki individualitas, atau
bahwa Dia adalah sebuah Being yang luas, samar, meliputi dan dinamis, yang berlawanan dengan
teologi Tuhan dari agama. Sebaliknya, mereka mengakui individualitas Tuhan; karena tidaklah
tidak konsisten bagi Yang Absolut untuk memiliki individuasi sebagai Tuhan dalam cara bahwa
Dia telah menggambarkan diri-Nya berdasarkan Nama-Nama Indah dan Sifat-Sifat Mulia-Nya.

149 Prolegomena
Individuasi ini ada pada tataran Keesaan Ilahiyah (al-wāhidiyyah), dimana aspek swa-
pengungkapan dikarakteristikkan nama-nama dan sifat-sifat keilahiyahan (al-ilāhiyyah).
Ringkasan di depan dari corak paling penting dari intuisi akan eksistensi, yang padanya
didasarkan posisi dari manusia penglihatan spiritual kepada sifat-dasar realitas, dapat dilacak
kembali dalam bentuk sederhananya dari ekspresi pada mazhab al-Junayd. Mazhab ini
menampilkan penglihatan realitas sebagaimana mereka pertimbangkan berdasarkan pada jenis
kedua dari intuisi akan eksistensi. Mereka mengafirmasi kesatuan transenden eksistensi (wahdat
al-wujūd). Di antara perwakilan pencatat terdahulu dari sekolah ini setelah al-Junayd adalah Abū
Nasr al-Sarrāj, ‘Alī al-Hujwīrī, Abū al-Qāsim al-Qushayrī dan ‘Abd Allāh al-Ansārī. Pada mazhab
ini juga terdapat al-Ghazāli. Tapi pendukung terbesar mereka adalah ibn ‘Arabī, yang pertama
kali merumuskan apa yang secara asli diberikan dalam intuisi akan eksistensi ke dalam sebuah
metafisika integratif yang diungkapkan dalam pengertian rasional dan intelektual. Di antara
komentator terpelajarnya adalah Sadr al-Dīn al-Qunyāwi, ‘Abd al-Razzāq al-Qāshanī, Dāwud al-
Qasyarī, ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī; dan doktrinnya tentang Manusia Sempurna (al-Insān al-Kamīl)
telah dibangun oleh ‘Abd al-Karīm al-Jīlī. Ungkapan filosofis dari kesatuan transenden akan
eksistensi dirumuskan oleh Sadr al-Dīn al-Shīrāzī, yang disebut Mullā Sadrā, yang membawa jejak
pemikiran metafisis pemikiran ibn Sinā, al-Ghazāli, ibn ’Arabī, dan al-Suhrawardī.

150 Prolegomena
VI
KUIDITAS DAN ESENSI
Dalam epistemologi Islam kita mengafirmasi kemungkinan pengetahuan dan realitas hal-
hal, dan menegaskan persepsi dan observasi inderawi, rasio, berita yang benar berdasarkan
otoritas, dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan.231 Pada hal dengan problem yang
berhubungan dengan sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan realitas sebagaimana
diketahui dengan analisis rasional dan demonstrasi, kita mempertahankan bahwa, menurut
tingkatan pengetahuan berdasarkan persepsi inderawi dan rasio — yang kita pertimbangkan
sebagai kriteria absah untuk verifikasi kebenaran, dan yang kita digunakan dalam investigasi kita
— eksistensi merupakan sebuah konsep tunggal, umum, dan abstrak yang umum bagi semua
eksistensi. Konsep tunggal, umum, dan abstrak ini yang umum bagi semua eksistensi menjadi
majemuk, kita katakan,232 berkaitan dengan pembagian rasional menjadi ‘bagian-bagian’ yang
berhubungan dengan hal-hal dalam jalur kondisinya yang dilekatkan kepada kuiditas-kuiditas.
Makna ‘realitas’, dalam pengertian bahwa terdapat being di dunia eksternal dimana sesuatu yang
aktual yang berhubungan dengannya, hanya menyentuh baik kepada eksistensi atau kuiditas dari
suatu hal,233 salah satu dari mereka sebagai intelijibel sekunder, yakni, sebuah entitas konseptual
murni yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal. Eksistensi dalam pengertian ini,
dan hanya dalam pengertian ini, merupakan entitas mental yang tidak memiliki realitas yang
berhubungan di dunia eksternal.234
Tapi kita juga mengafirmasi, dalam tambahan kepada eksistensi yang dipahami dalam
pengertian di atas, dan sebagaimana berdasarkan pada berita yang benar dan institusi yang
dibangun atas otoritas dari Qur’ān Suci dan Tradisi sebagaimana juga di atas rasio dan
pengalaman, bahwa terdapat entitas lain yang berhubungan dengan gagasan murni konseptual
tentang eksistensi yang bukan bersifat mental tetapi nyata. Entitas yang lain ini adalah realitas
eksistensi, yang menghasilkan dalam pikiran gagasan tentang eksistensi sebagai konsep murni,
sebagaimana gagasan ‘hal-hal’ dan ‘kuiditas-kuiditas’ mereka dimana bagian eksistensi sebagai
entitas konseptual secara berhubungan dilekatkan. Kita telah memberi inti sari hal ini, 235 dan
mengidentifikasi realitas eksistensi ini, yang juga merupakan Eksistensi Absolut, dengan Aspek
Tuhan yang ditunjuk dalam Qur’ān Suci Yang meliputi segala hal secara menyeluruh dan yang
tertinggal setelah kebinasaan hal-hal ciptaan.
Gagasan kita tentang suatu hal sebagaimana secara segera diterima — dalam kasus ini
seorang manusia, untuk contoh — secara sederhana merupakan maujud (mawjūd) yang nyata dan
konkret yang memiliki individualitas partikular yang padanya sebuah kata — contoh, ‘manusia’
— digunakan untuk menunjuknya, dan kata yang ketika disebutkan akan membawa kepada
pikiran objek yang ditunjuknya. Hal ini, secara ringkas menggambarkan gagasan utama kita
tentang suatu hal, sebuah objek fisik dari indera. Pikiran, ketika merenungkan hal tersebut yang
menuntut definisinya, dan dalam jawaban terhadap pertanyaan dalamannya tentang hal tersebut:
“Apa itu?”, memproses untuk menganalisanya; untuk memutuskan, mendiskriminasi,
mengualifikasi dan menglasifikasinya hingga tiba pada sebuah definisi hal tersebut, yakni, ‘hewan
231
Lihat komentar al-Taftāzānī pada karya al-Nasafī ‘Aqā’id, Kairo, 1335A.H., hlm. 24, fol. al-Nasafīlah yang menulis
pernyataan pertama dalam bentuk yang singkat dan frase yang dirajut-baik dari kredo Islām yang muncul di antara
muslim.
232
Lihat Bab III, di atas, hlm. 126-127.
233
Alasan untuk kondisi baik ini /atau ini (either/or) dijelaskan di bawah, hlm. 232-233.
234
Hal ini disetujui oleh filsuf muslim, teolog, dan metafisikawan Sūfī yang menampilkan tradisi intelektual dan
keagamaan Islāmi.
235
Dalam bab II hlm. 126-127.

151 Prolegomena
rasional’ dalam kasus ‘manusia’. Dalam proses pembentukan-konsep ini pikiran tersebut mampu
mengabstraksi ‘ke-apa-an’ (whatness) hal tersebut dari eksistensinya, dimana eksistensi di sini
dianggap sebagai sesuatu yang dilekatkan kepada hal itu sendiri, seolah-olah eksistensi
merupakan sebuah bagian dari hal tersebut yang ditambahkan kepadanya. ‘Ke-apa-an’ ini adalah
kuiditas (māhiyyah).236 Dengan jalan ini pembagian dan pemilahan mental dibuat antara kuiditas
dan eksistensi, dimana kuiditas dianggap sebagai realitas suatu hal sedangkan eksistensi adalah
apa yang mengualifikasikannya.
Dari sini kita membedakan dua tahap pemahaman. Tahap pemahaman primer menunjuk
kepada objek fisik, kepada hal-hal konkret, sebagaimana ditunjukkan dengan kata ‘hewan’ dalam
hal ‘manusia’, yang padanya diberlakukan sepuluh kategori Aristotelian tentang substansi, atau
bahan dari mana hal fisik terbuat, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, postur, kepemilikan,
aksi, dan pasifitas atau penindaklanjutan.237 Hal-hal sedemikian merupakan bahan asali dari mana
diturunkan gagasan primer yang ditangkap oleh intelek yang disebut intelijibel primer (al-
ma’qūlat al-ūlā). Mereka (hal-hal tersebut) merupakan objek maujud konkret dari dunia eksternal
yang berhubungan dengan konsep tersebut yang diturunkan dari mereka yang kita sebut
intelijibel primer. Namun, tahap pemahaman sekunder, menunjuk bukan pada objek fisik, tetapi
lebih kepada logika. Hal tersebut menyentuh pada proses mental abstrak yang tinggi; sebuah
elaborasi rasional terhadap konsep yang tiba dan dibangun berdasarkan aturan logika dan
pembagian logis akan genus spesies, dan diferensia. Dengan demikian pada tahap ini pikiran
merefleksikan dirinya sendiri, pada isinya sendiri, sebagaimana dikatakan, dan caranya
memahami gagasan yang dirumuskannya. Gagasan atau konsep tersebut tidak berhubungan
dengan apapun di dunia eksternal, karena mereka bukanlah konsep yang diturunkan dari objek
konkret, tetapi merupakan konsep dari konsep seperti konsep ‘hewan rasional’ sebagaimana
diturunkan dari konsep lain dari ‘manusia’. Konsep sedemikian disebut intelijibel sekunder (al-
ma’qūlāt al-thānīyah). Sudah jelas dari penjelasan di depan bahwa realitas suatu hal, sebagaimana
dipahami berdasarkan aturan logika dan pembagian logis akan genus, spesies, dan diferensia,
menunjuk pada kuiditas sebagaimana dilawankan dengan eksistensi, dalam pengertian bahwa
kuiditas dipandang sebagai realitas yang berbeda dari, dan dikualifikasikan secara konseptual
dengan eksistensi; hubungan antara kuiditas dan eksistensi secara berturut-turut seperti subjek
dan predikat. Perspektif ini melibatkan pemahaman terhadap sifat-dasar eksistensi sebagai
intelijibel sekunder yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal.
Tapi terdapat pengertian lain dimana kuiditas dipahami. Berbeda dengan kuiditas
sebagaimana dipahami secara logis sebagai apa yang didefinisikan dalam jawaban kepada
pertanyaan: “apa itu?” – yakni, ‘hewan rasional’ dengan referensi pada ‘manusia’, kuiditas dapat

236
Istilah Latin quidditas menunjuk pada sifat-dasar yang terpilah atau khas dari suatu hal. Hal tersebut merupakan
sebuah terjemahan langsung bahasa Latin dari teks bahasa Arab: māhiyyah’, yang dalam bahasa Arab itu diturunkan
dari kombinasi dua kata: mā huwa atau mā hiya, berarti ‘apa itu?’ Māhiyyah adalah yang menjawab pertanyaan ‘mā
hiya?’ Sama halnya dalam bahasa Latin quidditas dibentuk dari pertanyaan ‘quid est?’ Dalam hal istilah bahasa Arab
māhiyyah’, para filsuf muslim awallah yang telah membuatnya. Dalam pandangan saya, hal tersebut mungkin
diinsipirasikan oleh sebuah hadīth Nabi Suci: Allāhumma arinā al-ashyā’ ka mā hiya: “Wahai Tuhan! Tunjukkan saya
hal-hal sebagaimana mereka ada dalam dirinya sendiri”, cth. sebagai hal-hal yang ada dalam ‘ke-apa-an’ individualnya.
Hadīth ini dilaporkan dalam komentar Fakhr al-Dīn al-Rāzī pada Qur’ān Suci (lihat catatan 250 di bawah), vol. 21,
hlm. 37; 39-40. Pada istilah bahasa Latin quidditas sebagai terjemahan langsung dari bahasa Arab, lihat lebih lanjut
A.M. Goichon: La Philosophie D’Avicenne et son Influence en Europe Médiévale, Paris, 1951, hlm. 101.
237
Referensi di sini kepada Sepuluh Kategori (al-ma’qūlat al-‘asharah): substansi (ousīa: jawhar); kuantitas (posōn:
kammiyah); kualitas (poiōn: kayfiyyah); relasi (prosti: idāfah); tempat (pou: ayna); waktu (pote: matā); postur
(keīsthai: wad’); kepemilikan (ēchein: milk); aksi (poiēn: an yaf’al, fi’il); hasrat/penindaklanjutan (paschein: an
yanfā’il, infi’al), lihat karya Jurjānī, Ta’rīfāt, hlm. 243; karya Tahānāwi, Kashshāf. V, 1211. Lihat lebih lanjut, karya
Soheil Muhsin Afnan, Wāzhah Nāmah Falsafī (Qāmūs Falsafī Fārisī-‘Arabī): A Philosophical Lexicon in Persian dan
Arabic, Bayrut, Dār al-Mashriq, 1969, hlm. 246, kol 1&2.

152 Prolegomena
juga dipahami secara ontologis sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa
adanya’ (by which a thing is what it is). Permilahan antara dua makna kuiditas tersebut adalah
bahwa dalam kasus terdahulu kuiditas hanya menunjuk pada genus dalam hubungan dengan
spesies, karena ‘hewan rasional’ merupakan genus dimana spesies ‘manusia’ didefinisikan;
sedangkan dalam kasus kemudian kuiditas menunjuk selalu pada maujud partikular, seperti pada
hal individual yang padanya berlaku sepuluh kategori, seperti kepada manusia partikular.
Ketika kita pertimbangkan kuiditas dari suatu hal, kita memahaminya baik dalam hal itu
sendiri sebagaimana ada dalam dunia eksternal, atau sebagaimana ada dalam pikiran. Sifat-dasar
kuiditas sebagaimana dipahami intelek memiliki tiga aspek:238
1. sebagai abstraksi murni (mujarradah), yang tidak berhubungan dengan apapun atau
dengan pikiran manapun.239 Kuiditas dalam aspek ini sepenuhnya independen dalam
dirinya sendiri dan tidak dapat dihubungkan dengan konsep manapun. Konsep ‘hewan’
sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, contoh, tidak lain hanya merupakan ‘hewan’
murni dan tidak dapat dipredikasikan terhadap konsep ‘manusia’ sebab ‘manusia’
menandakan sesuatu yang lebih dari ‘hewan’ murni. Dalam kondisi sedemikian dari
abstraksi murni, tidak ada konsep lain yang dapat dikombinasikan dengannya untuk
membentuk kesatuan yang bermakna. Jika konsep ‘rasional’ ditambahkan kepada ‘hewan’
dalam kasus ini, hal tersebut tidak akan menghasilkan sebuah kombinasi koheren, karena
‘hewan’ sebagai ‘hewan’ murni tidak dapat dikualifikasi dengan rasionalitas.
2. sebagai indeterminasi absolut (mutlaqah), tidak dibatasi oleh ketidakberhubungan dengan
apapun dan bebas untuk menautkan dirinya kepada hal-hal individual. Konsep ‘hewan’,
dalam kasus kuditas dalam aspek ini, tidak lagi dibatasi pada dirinya sendiri sebagai
‘hewan’ murni, tetapi tidak ditentukan dan memiliki potensialitas untuk dipredikasikan
dengan konsep-konsep lain dalam sebuah kombinasi koheren. Ketika konsep ‘rasional’
dipredikasikan akan ‘hewan’ di sini, hal tersebut menghasilkan campuran dalam bentuk
konsep ‘manusia’. ‘Hewan’ dalam kasus ini dapat dipredikasikan ‘manusia’, karena
animalitas (hewan) dan rasionalitas merupakan unsur bagian-bagian penyusun manusia;
3. sama seperti pada (2) di atas, dan hadir dalam pikiran240 dimana hal tersebut menerima
pelbagai aksiden seperti predikasi, universalitas, partikularitas, dan yang semisal dimana
aspek kuiditas di sini itu dicampur (makhlūtah), seperti ketika konsep ‘hewan’ menunjuk
pada apa yang sudah teraktualisasikan dalam dunia eksternal sebagai sesuatu yang
dispesifikasikan sebagai ‘rasional’. Dengan demikian ‘hewan’ dispesifikasikan menunjuk
pada sebuah objek dunia eksternal, kepada seorang manusia partikular.

Kuiditas yang sama sebagaimana dipertimbangkan intelek di bawah samaran dari tiga
aspek itu disebut, dalam kasus pertama, ‘dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun’
(bi shart lā shay’); dalam kasus kedua, ‘tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan
apapun’ (lā bi shart shay’); dan dalam kasus ketiga, ‘dikondisikan oleh sesuatu’ (bi shart shay’).241
238
Sifat-dasar kuiditas sebagaimana dipahami rasio pertama kali secara sistematis dianalisa dan dirumuskan ibn Sinā.
Lihat karyanya al-Shifā, al-Mantiq, al-Madhkal, eds. G. Qanawati, Mahmud al-Khudayri, dan Fu’ad al-Ahwani, Cairo,
1953, hlm. 15, 34; juga hlm. 65-72. Sebuah elaborasi hubungan antara kuiditas dan unsur-unsur penyusunnya
sebagaimana dibuat ibn Sinā, yang menerimanya sebagai memiliki tiga aspek, di sini diberikan dalam garis besar. Lihat
juga karya Sabzawārī Sharh Ghurar al-Farā’id, eds. M. Mohaghegh dan T. Izutsu, Teheran, 1969, hlm. 131 fol.; dan
The Metaphysics of Sabzawari, trs M. Mohaghegh dan T. Izutsu, New Tork, 1977, XXXI, hlm. 144-146.
239
‘Tidak berhubungan pada pikiran manapun’ di sini berarti bahwa tidak ada objek khusus dalam pikiran — pikiran di
sini tidak memperhatikan kepada objek partikular manapun.
240
‘Hadir dalam pikiran’ berarti bahwa pikiran di sini secara aktual memperhatikan sebuah objek partikular.
241
Lihat karya ibn Sinā Al-Ishārat wa al-Tanbihāt dengan komentar oleh Nasīr al-Dīn al-Tūsī (ed. Oleh Sulayman
Dunya, 2nd ed., Dār al-Ma’ārif bi Misr, Cairo, 1971, 4V.), vol. I, hlm. 184-185. lihat juga Al-Mawāqif fi ‘ilm al-Kalām
dari ‘Adud al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Ibn Ahmad al-Ijī (dipublikasikan oleh ‘Ālam al-Kutub, Bayrut [n.d.];

153 Prolegomena
Yang pertama ditunjuk pada kuiditas dalam hubungan dengan materi dasar (māddah); yang
kedua pada genus (jins); dan yang ketiga pada spesies (naw’).242
Kombinasi dua pengertian dari makna kuiditas tersebut (cth. yang logis dan ontologis)
dalam kuiditas khusus (al-māhiyyah’ al-naw’iyyah)243 adalah tidak lain inti hal itu sendiri (nafs al-
shay’).244 Kombinasi makna dari dua pengertian tentang māhiyyah’ inilah yang dimaksud ketika
dikatakan bahwa realitas suatu hal adalah hal itu sendiri. Kita pada faktanya setuju dengan al-
Taftāzānī ketika dia mengatakan bahwa:

Realitas suatu hal (haqīqat al-shay’) dan kuiditasnya (māhiyyah’) adalah yang dengannya
suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (ma bihi al-shay’ huwa huwa), seperti ‘hewan
rasional’ dalam referensi kepada ‘manusia’ dalam pertentangan dengan ‘hewan yang
tertawa’ dan ‘hewan yang menulis’, dan karena mungkinlah memahami ‘manusia’ tanpa
referensi kepada mereka (cth. tertawa dan menulis) sejauh mereka ada di antara (kategori)
aksiden-aksiden (al-’awārid). Dan dapat dikatakan lebih lanjut bahwa, yang dengannya
suatu hal adalah hal tersebut apa adanya, ketika dipertimbangkan (bi i’tibar) diwujudkan
secara eksternal (tahaqqaqa), merupakan sebuah realitas (haqīqah); sebagai yang telah
diinvidividualisasikan (tashakhkhus), adalah sebuah kediaan/ipseity (huwiyyah); dan ketika
dipertimbangkan secara independen tanpa mempertimbangkan mereka (cth. sebagaimana
diwujudkan dan diindividualisasikan), hal tersebut adalah kuiditas. Suatu ‘hal’ (al-shay’)
menurut kita, adalah maujud (al-mawjūd); dan berada (al-thubūt); perwujudan (al-tahaqquq);
eksistensi (al-wujūd); dan datang-menjadi-being (al-kawn) merupakan istilah-istilah yang
sinonim, dan makna mereka itu membuktikannya sendiri.245

Pada bagian di atas nampak pada awal komentar terhadap karya al-Nasafī ‘Aqā’id, al-
Taftāzānī mengombinasikan realitas (haqīqah) dan kuiditas (māhiyyah’) bersama menyusun yang
dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya. Karena kuiditas dalam pengertian partikular
dan logis hanya sebuah entitas mental yang berada pada kelas intelijibel sekunder yang tidak
berhubungan dengan apapun di dunia eksternal; sedangkan para teolog memperhatikan secara
primer bukan dengan entitas-entitas mental, tetapi dengan realitas ekstramental sedemikian
secara segera diterima sebagai pada tahap gagasan dasar dari suatu hal. Dengan demikian mereka
mendefinisikan realitas (haqīqah) sebagai sesuatu yang diwujudkan secara eksternal (tahaqqaqa),
dan kombinasi realitas dan kuiditas dalam pengertian logis dan partikular menjadi padanan dari
kuiditas dalam pengertian umum dan ontologis yang menunjuk pada esensi sejati sebagaimana
yang memiliki referensi atau hubungan dengan sebuah objek konkret dan eksternal, sebuah
didistribusikan oleh Maktabah al-Mutanabbi, Cairo, dan Maktabah Sa’d al-Dīn, Damascus) al-marsad al-thānī
mengandung dua belas maqāsid, hlm. 59-68. Pada kuiditas sebagaimana memiliki tiga aspek seperti diuraikan di atas,
lihat al-maqsid al-thānī, hlm. 60. Informasi yang sama tentang subjek tersebut sebagaimana ditemukan dalam Mawāqif
juga ditemukan dalam Kashshāf, V, hlm. 1314.
242
Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, vol. I, hlm. 184. Istilah māddah menunjuk pada materi dasar maupun ditandakan oleh
istilah lain: hayūlā dari bahasa Yunani: hylê. Tapi māddah cenderung lebih menunjuk pada materi mendasar yang
menerima penciptaan dan pembinasaan.
243
Seperti dalam kasus aspek ketiga kuiditas yang dijelaskan di atas, yang dikombinasikan dengan aspek yang kedua;
karenanya hal tersebut itu ‘dicampur’ (makhlūtah).
244
Dalam māhiyyah’ dari logikawan, hal tersebut menunjuk pada māhiyyah’ dalam pengertian partikular dan logis, dan
sama seperti kuiditas yang dipostulasikan secara mental (al-māhiyyah’ al-i’tibariyyah). Kuiditas spesifik tersebut
memiliki bentuk tunggal yang sepadan, padanya apa yang niscaya untuk sebuah bentuk tunggal adalah sama seperti
yang niscaya bagi yang lain; seperti ‘manusia, contoh, meniscayakan kepada Zayd apa yang niscaya pada ‘Amr, dalam
pertentangan dengan kuiditas umum (al-māhiyyah’ al-jinsiyyah) yang bentuk tunggalnya tidak sepadan, karena
‘hewan’ sebagaimana niscaya dalam manusia diasosiasikan dengan ‘rasional’ dan tidak niscaya dalam cara ini pada
hewan yang lain. Lihat al-Ta’rīfāt, hlm. 205-206; Kashshāf; V, hlm. 1313.
245
Sharh al-’Aqāid, hlm. 16-17. Terjemahan saya.

154 Prolegomena
maujud (mawjūd), suatu hal (shay’). Oleh karena itu maksud mereka dengan kombinasi ini, untuk
menunjukkan sebuah konsep yang secara langsung menunjuk sebuah realitas ekstramental, dan
yang berada pada kelas intelijibel primer.
Pada aspek ketiga kuiditas menurut skema ibn Sinālah yang ditunjuk al-Taftāzānī dalam
komentarnya kepada pernyataan al-Nasafī bahwa realitas hal-hal itu dibangun, yakni, secara
berada (haqā’iq al-ashya’ thābiţhah).246 Apa yang dimaksudnya ketika dia katakan bahwa realitas
suatu hal dan kuiditasnya adalah ’yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’
menunjuk, dalam konteks logika, pada yang dengannya suatu hal dilokalisasikan dalam genus
atau spesiesnya. ‘Hewan’ sendiri bukan ‘manusia’; itu adalah, melainkan, sifat-dasar sebuah
makhluk tanpa determinasi dari bentuk khususnya.247 Sama halnya, ‘rasional’ sendiri bukan
‘manusia’; hal tersebut demikian, ketika dipredikasikan akan ‘hewan’, bentuk khususnya yang
merupakan prinsip perbedaan yang dengannya spesies ‘manusia’ didefinisikan. Kombinasi
‘rasional’ ditambah ‘hewan’ mendefinisikan ‘manusia’, tetapi ‘manusia’ dalam kuiditasnya bukan
kombinasi itu. Manusia adalah manusia.248 Kemanusiaan atau menjadi-manusia (insāniyyah) ketika
dipertimbangkan dalam dirinya bukan jenis entitas yang umum bagi, dan dapat diterima oleh,
penerima eksistensi seperti manusia. Menjadi-manusia dalam dirinya sendiri adalah sesuatu yang
negatif ( atau sesuatu yang dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun: bi shart lā
shay’); hanya ketika hal tersebut ditunjuk sebagai sesuatu dari Zayd, dalam cara yang sama hal itu
dapat ditunjuk pada sesuatu dari ‘Amr, yang menunjuk pada maujud tunggal, konkret dan
individual. Dalam dirinya sendiri, menjadi-manusia atau kemanusiaan bukanlah apa yang ada
pada Zayd, maupun apa yang tidak di dalamnya, karena kemanusiaan pada Zayd dan yang tidak
ada dalam Zayd adalah dipostulasikan secara mental, yang menentukan entitas-entitas yang
ditambahkan kepada Zayd di satu pihak, dan tidak ditambahkan kepadanya di pihak lain, hanya
setelah Zayd dihubungkan kepada hal tersebut dalam kedua kasus lain.249 Dalam konteks realitas,
yakni, dari sudut pandang apa yang sudah teraktualisasi, dimana hal-hal tanpa terkecuali yang
partikular dan individual, kuiditas manusia adalah yang dengannya manusia tersebut adalah
manusia partikular tersebut, dengan demikian menunjukkan realitas sebuah entitas yang, ketika
dipertimbangkan bersama dengan manusia tersebut, adalah yang dengannya manusia tersebut
menjadi menjadi manusia itu. Kini, tidak ada yang membangun identitas seorang manusia —
tidak bagiannya (al-juz’), seperti ‘rasional’, sebagai contoh, maupun apa yang merupakan aksiden
(‘ārid) baginya, seperti ‘tertawa’, contoh — kecuali inti dirinya sendiri (nafs). Entitas ini ketika
dipertimbangkan bersama dengan manusia darimana hal tersebut adalah identitas manusia itu
atau inti dirinya, adalah yang lain dari manusia tersebut. Ketika kita katakan, contoh, bahwa
manusia terdiri dari jiwa (nafs) dan tubuh (badan) kita mengatakan bahwa manusia bukan jiwa
maupun tubuh, tetapi yang dihasilkan dari keduanya itu disusun entitas ketiga. Untuk ini
menunjuk pada interpretasi dari Fakhr al-Dīn al-Rāzī ketika dia berkaitan bahwa pengetahuan
primer (al’ilm al-darūrī) itu hadir karena eksistensi sesuatu yang ditunjukkan setiap manusia
ketika dia mengatakan ‘Aku’. Sesuatu ini adalah tubuh (jism), atau sebuah aksiden (‘arad), atau
kombinasi keduanya, atau sesuatu yang berbeda dari keduanya; atau itu adalah sebuah campuran
(murakkab) yang dibentuk dari mereka sebagai dua hal darimana disusun entitas ketiga.250 Jelaslah
246
‘Aqā’id, hlm. 16.
247
Cth. sebagaimana dalam kasus dari aspek kedua dimana sebuah kuiditas dapat diterima: tidak dikondisikan oleh
ketidakberhubungan dengan apapun (lā bi shart shay’).
248
Lihat superkomentar al-Isfarā’inī pada komentar al-Taftāzānī pada ‘Aqā’id, hlm. 16-17. Ini juga diturunkan dari ibn
Sinā.
249
Lihat Mawāqif; 2nd, marsad, 1st maqsid, hlm. 59-60.
250
Lihat komentarnya tentang Surah Banī Isrā’īl (17), ayat, 85, dalam komentar besarnya tentang Qur’ān Suci, Tafsīr
al-Kabīr, Cairo, 1934, 32V., vol. 21, hlm. 39-40. Pernyataan al-Rāzī tentang identitas manusia secara pokok diturunkan
dari ibn Sinā. Lihat karya ibn Sinā Ahwāl al-Nafs, ed. F. al-Ahwani, Cairo, 1952, bab. I. Sebuah penjelasan terhadap

155 Prolegomena
dari sini bahwa kuiditas sebuah campuran bukanlah campuran itu sendiri, meskipun kuiditas itu
sendiri adalah sebuah campuran, seperti diilustrasikan dengan diagram dibawah.251

Ilustrasi di atas hanya dimaksudkan untuk memudahkan secara visual apa yang kita
maksud. Jika lingkaran 1 menampilkan genus (jins) ‘hewan’ dan lingkaran 2 menampilkan
diferensia (fasl) ‘rasional’, maka 3 akan menampilkan spesies (naw’) ‘manusia’. Sama halnya, jika
lingkaran 1 menampilkan materi (māddah) lapisan-dasar dan lingkaran 2 menampilkan bentuk
(sūrah) substansial, maka 3 akan menampilkan substansi ‘tubuh’ (jism). Kemudian lagi, dan
sebagaimana berhubungan dengan manusia — baik secara logis sebagaimana dalam kasus
terdahulu, dan secara ontologis sebagaimana dalam kasus kemudian — jika lingkaran 1
menampilkan tubuh (jism) campuran yang diindividuasikan dalam bentuk (badan) manusia,252 dan
lingkaran 2 menampilkan jiwa (nafs) sensitif dan rasional, maka 3 akan menampilkan makhluk
manusia. Realitas makhluk manusia adalah inti dirinya sendiri, bukan tubuh maupun jiwa;
maupun materi maupun bentuk; maupun hewan maupun rasional.
Kini dalam definisi terhadap realitas sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal
tersebut apa adanya’ (mā bihi al-shay’ huwa huwa), yang juga dapat dirumuskan sebagai mā bihi
huwa huwa: ‘ yang dengannya hal itu adalah hal itu’, apa yang ditandakan oleh huruf bā’ dari bihi
(cth. kata dengan dalam definisi tersebut) adalah kausalitas (sababiyah), yang bagi suatu hal
tersebut mendasarkan being terdalamnya. Makna ini menunjuk pada sesuatu sebagai sebab (sabab
atau ‘illah) yang dengannya suatu hal adalah suatu hal tersebut, seperti sebab efisien (al’illah al-
fā’iliyyah) dan agennya (al-fā’il). Tapi dalam keberatan kepada pandangan ini, dapat dikatakan
bahwa agen tersebut itu pada kenyataannya yang dengannya suatu hal adalah maujud, bukan
yang dengannya hal tersebut adalah hal tersebut; karena yang dengannya hal tersebut adalah hal
partikular itu adalah apa yang membuat hal itu menjadi berbeda dari yang lainnya, bukan apa yang
membuatnya menjadi maujud, yang umum bagi segala sesuatu.253 Dengan demikian karena sifat-
dasar yang ambigu dari realitas itu sendiri, penyebab suatu hal (‘illah al-shay’), dengan maksud
agar dia menjadi realitas suatu hal (haqīqah al-shay’), harus termasuk baik penyebab akan
eksistensi (‘illah al-wujūd) dan penyebab akan kuiditas (‘illah al-māhiyyah); dan hal ini menjadi
istilah jism, dan murakkab dalam konteks interpretasi kita yang ditunjukkan di atas ditemukan dalam Kashshāf, I, hlm.
75-78, di bawah judul al-insān. Pada entitas ketiga ini sebagai kuiditas suatu hal, lihat lebih lanjut Al-Mawāqif; hlm.
13.
251
Dalam ilustrasi yang disederhanakan ini, lingkaran 1 dan 2 menampilkan bagian campuran tersebut; 3, yang dirinya
sendiri merupakan campuran yang dibentuk dari 1 dan 2, bukanlah campuran 1 dan 2 tetapi sebuah entitas terpisah.
Bahkan jika dua lingkaran tersebut digambarkan beririsan satu sama lain, hal tersebut tidak akan memengaruhi
penyusunan entitas ketiga yang bukan merupakan campuran dari dua lingkaran, tetapi adalah sebuah campuran terpisah
dalam dirinya sendiri. Hal ini merupakan kesimpulan ibn Sinā.
252
Pemilahan antara jism dan badan adalah bahwa dalam kasus terdahulu, jism adalah substansi material yang memiliki
sifat-dasar tiga dimensi yang mampu dibagi tanpa kehilangan identitasnya sebagai tubuh; dan dalam kasus kemudian,
yang juga ditunjuk sebagai jasad, hal tersebut merupakan tubuh yang memiliki anggota lengkap yang tidak mampu
dibagi tanpa kehilangan identitasnya sebagai sebuah keseluruhan. Yang terdahulu menunjuk pada genus kuantitas,
sedangkan yang kemudian menunjuk pada tubuh dalam genus hewan.
253
Lihat lebih lanjut, Kashshāf, II, art. Al-haqīqah, hlm. 331-332.

156 Prolegomena
nampak dari dua kata ganti personal (damīrān): huwa huwa (hal itu adalah hal itu), yang masing-
masing dari keduanya menunjukkan penyebab akan eksistensi dan penyebab akan kuiditas, yang
keduanya menyusun penyebab akan suatu hal.
Baik eksistensi dan kuiditas menunjuk kepada suatu maujud yang satu dan sama, kepada
keberadaannya yang aktual dan kepada sifat-dasarnya yang esensial. Penyebab akan suatu hal
adalah yang padanya suatu hal itu tergantung dari menjadi-suatu-hal. Hal ini merupakan dua
pembagian logis: (1) yang dengannya kuiditas itu, sebagaimana dari sebuah kombinasi bagian-
bagiannya, disusun, dan hal ini merupakan penyebab dari kuiditas; (2) yang padanya kuiditas itu,
yang disusun dengan bagian-bagiannya, tergantung untuk kualifikasinya oleh eksistensi
eksternal, dan ini adalah penyebab akan eksistensi.254 Sejauh eksistensi mental yang diperhatikan,
penyebab kuiditas adalah genus (jins) dan perbedaan spesifik (fasl), dan sejauh eksistensi eksternal
yang diperhatikan, penyebab kuiditas adalah materi (māddah) dan bentuk (sūrah), darimana
diturunkan penyebab material (al-‘illay al-māddiyah) dan penyebab formal (al-‘illah al-sūrriyah).
Pada penyebab eksistensi, mereka adalah agen aktif (al-fā’il), tujuan final (al-ghāyah), dan lapisan-
dasar (al-mawdū’); yang pertama dari dua menunjuk pada penyebab efisien (al-‘illah al-fā’iliyyah)
dan penyebab final (al-‘illah al-ghā’iyyah) berturut-turut.255 Penyebab akan suatu hal sebagaimana
diuraikan pada halaman 227 dapat diilustrasikan sebagai berikut:

254
Lihat Al-Tā’rifat, hlm. 160, di bawah judul al-shay’.
255
Lihat Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, vol. I, hlm. 154-155; juga Metaphysica, tr. P. Morewedge, New York, 1973, bab
15, hlm. 41-44; juga bab 20, hlm. 50-53. materi (māddah) adalah lapisan-dasar atau wadah yang eksistensinya
diaktualisasikan dengan menerima sebuah substansi seperti bentuk (sūrah). Yang kemudian merupakan aspek
substansial dari sebuah entitas dan esensinya. Penyebab material merupakan unsur penyusun (contohnya kayu) dari
sebuah entitas (contohnya bangku) yang memiliki potensialitas untuk menerima bentuk (contohnya bentuk) entitas
tersebut. Penyebab formal merupakan apa yang mewujudkan substansi dan membuatnya lengkap, sebagaimana
diilustrasikan dengan bentuk kursi yang diatribusikan kepada kayu (Metaphysisca, hlm. 41). Penyebab efisien
merupakan inisiator tindakan yang memimpin pada perwujudan sebuah entitas, sebagaimana diilustrasikan dengan
pembangun yang membangun sebuah rumah. Jika bentuk atau tujuan final dari rumah tidak diimpikan oleh
pembangun, dia tidak dapat menjadi pembangun rumah, bentuk rumah tidak akan terwujud, dan rumah tidak akan
dibuat dari pelbagai unsurnya (Metaphysica, hlm. 42). Lihat lebih lanjut Mawāqif (2nd mawqif; 5th marsad dan 1st
maqsid), hlm. 85; untuk seluruh bagian tentang sebab dan akibat, lihat hlm. 85-85; Kashshāf, IV, hlm. 1039-1040.
penyebab dari suatu hal sebagaimana diuraikan di atas menunjuk pada penyebab yang langsung atau yang terdekat
(qarībah), bukan penyebab yang tidak langsung atau tidak pokok (ba’īdah). Untuk sebuah diskusi dan penjelasan
problem akan dua kata benda personal, lihat superkomentar pada karya al-Taftāzānī Sharh al-’Aqā’id oleh Ibrahim al-
Isfarā’inī dan al-Khayāli, ibid. Hlm. 16-17. data yang dipoles oleh al-Isfarā’inī dan al-Khayali pada wacana ini juga
digunakan oleh al-Tahānawī adalah karyanya Kashshāf, II, hlm. 331-333 di bawa judul al-haqīqah.

157 Prolegomena
Agen Tujuan
Aktif akhir Lapisan-Dasar Materi Bentuk

Eksistensi Kuiditas

Genus Diferensia

Mental
hal

A = Agen Aktif M = Materi


P = Tujuan Final Q = Quiddity (Kuiditas) F = Form (Bentuk)

Uraian di atas menampilkan struktur konseptual dari hal yang aktual pada tingkatan
inteleksi (al-ta’aqqul). Pada tingkatan ini, penyebab akan suatu hal, sebagaimana ditunjukkan
dengan bā’ dari sebab, meniscayakan sebuah dualitas (ithnayniyyah) kuiditas dan eksistensi.
Namun, pada tingkatan eksistensi aktual, terdapat hanya satu hal konkret dan identik, yang
menjadi campuran kuiditas dan eksistensi ketika dualitas pada tingkatan konseptual
diproyeksikan kepadanya. Dalam definisi: mā bihi al-shay’ huwa huwa: ‘yang dengannya suatu hal
adalah hal tersebut apa adanya’, atau ‘yang dengannya hal itu adalah hal itu’, dua kataganti
personal (huwa huwa: hal itu adalah hal itu) menunjuk, pada kasus pertama, pada sebuah entitas
yang karenanya hal tersebut adalah hal itu (al-amr al-ladhī bi sababihi al-shay’ dhālika al-shay’), dan
dalam kasus kedua, pada sebuah entitas yang karenanya hal tersebut adalah entitas itu (al-amr al-
ladhī bi sababihi al-shay’ huwa dhālika al-amr);256 pada wujudnya sendiri pada kasus pertama, dan
pada wujudnya yang diaktualisasikan pada kasus kedua. Beingnya yang diaktualisasikan
menunjuk kepada eksistensinya, yang umum bagi semua maujud lain; beingnya sendiri menunjuk
pada kuiditasnya, yang membedakannya dari maujud lain. Menurut al-Khayāli, salah satu
kataganti menunjuk kembali pada kataganti relatif (al-mawsūl),257 dan al-Tahānawī
mengidentifikasi kataganti itu sebagai salah satu dalam kasus kedua di atas, 258 yang menunjuk
kepada eksistensi dan yang, karena kataganti tersebut menunjuk sesuatu yang sama (al-shay’),
256
Kashshāf, II, hlm. 331.
257
Yakni, pada apa yang ditandai dengan kata mā (yang), pada huruf hā dari bihi (yang tersebut dari yang dengannya)
adalah diikat dalam makna Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16.
258
Kashshāf, II, hlm. 332.

158 Prolegomena
dipertimbangkan sebagai tambahan (zā’id)259 pada apa yang didefinisikan, sehingga hal itu akan
cukup untuk menguraikan definisi tanpa, seperti mā bihi al-shay’ huwa,260 berarti mā bihi al-shay’
huwa al-shay’;261 ‘yang dengannya hal tersebut adalah hal itu’. Terlihat berdasarkan perspektif ini
dualitas kuiditas dan eksistensi itu terselesaikan, dalam hal itu hal tersebut tidak sungguh-
sungguh benar; hal itu hanya nampaknya demikian atas anggapan pikiran.
Tapi permasalahannya tidak semudah sebagaimana diselesaikan dengan hanya berdalih
dengan kata-kata. Jika itu hanya masalah logika, maka mungkin solusi kepada problem dualitas
dalam rumusan definisi di atas itu absah sejauh menyentuh pada sebuah perbaikan terhadap
definisi tersebut yang sejalan dengan posisi yang diambil — posisi yang diambil bahwa kuiditas
merupakan realitas yang dikualifikasi oleh sebuah entitas konseptual yang disebut eksistensi.
Eksistensi dan kuiditas adalah dua entitas berbeda, apakah dipertimbangkan secara logis atau
ontologis,262 namun mereka menunjuk pada suatu maujud tunggal dan aktual pada waktu yang
bersamaan. Fakta bahwa kedua hal tersebut, sebagai predikat, dapat disifatkan pada hal yang satu
dan sama merupakan bukti yang cukup jelas bahwa hal itu sendiri memiliki dua aspek yang
berhubungan kepada mereka, hanya satu darinya berlaku makna ‘realitas’. Karena tidaklah
mungkin bahwa mereka berdua nyata pada waktu yang sama, karena jika mereka demikian maka
hal tersebut akan kehilangan kesatuan dan identitasnya sebagai hal yang tunggal dan akan
menjadi dua hal yang berbeda; maupun mungkin bahwa mereka berdua tidak nyata pada waktu
sama, karena jika hal itu kasusnya hal itu akan kehilangan realitasnya secara keseluruhan. Apakah
salah satu dari mereka, eksistensi atau kuiditas, merupakan hal itu sendiri; dan kondisi demikian,
apakah salah satu dari mereka harus menjadi tambahan (zā’id) bagi yang lain, yakni, apakah salah
satu dari mereka menjadi sesuatu yang ditambahkan sebagaimana ditafsirkan pikiran, yang tidak
memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal; sebuah intelijibel sekunder. Sedangkan
sesuatu dimana berlaku makna ‘realitas’ akan menjadi sesuatu yang memiliki realitas yang
berhubungan, atau objek aktual, di dunia eksternal, seperti apa yang diistilahkan sebagai
intelijibel primer.
Kini untuk segala hal terdapat sebuah realitas yang dengannya hal tersebut adalah hal
tersebut apa adanya, dan realitas ini membangun bagi hal tersebut menjadi-sesuatunya dan pada
waktu yang bersamaan perbedaan esensialnya yang membedakannya dari apa yang bukan itu.
Realitas dalam pengertian ini identik dengan esensi. Ketika kita berbicara tentang ‘esensi’ suatu
hal, kita tidak hanya bermaksud menunjuk pada kuiditasnya sebab kuiditas itu sendiri adalah,
seperti telah kita tunjukkan, ambigu yang dapat berarti menunjuk baik pada entitas logis atau
ontologis. Lebih lanjut, ambiguitas ini telah mengarahkan kepada problem umum kebingungan
dalam pemahaman makna esensi dan hubungannya dengan eksistensi, karena kuiditas logis
secara umum telah dibingungkan dengan yang ontologis. Akhirnya, kuiditas, dengan inti sifat-
dasarnya, hanya dapat menjadi prinsip perbedaan pada hal-hal, sedangkan realitas yang kita
tandai sebagai esensi, kendati beingnya juga prinsip perbedaan dalam hal-hal pada waktu yang
bersamaan sebagai prinsip identitas dalam ke-hal-an (thingness) dari hal-hal. Karena esensi,
dengan maksud menunjuk suatu hal yang nyata dan bukan hanya mental yang tidak memiliki
realitas yang berhubungan di dunia eksternal, harus menunjuk apa yang membuat suatu hal
sebagai entitas individual yang memiliki identitasnya sendiri yang berbeda dari hal-hal lain yang

259
Lihat baik al-Isfarā’inī dan al-Khayaīi dalam Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16.
260
Kashsaf; II, hlm. 333; dan V, hlm. 1313.
261
Ibid., V, hlm. 1313; Sharh al-’Aqā’id, hlm. 16.
262
Hal ini sependapat dengan posisi yang diambil teolog, Sūfī dan filsuf, dengan pengecualian Ash’ariyyah, yang
memegang bahwa kuiditas dan eksistensi itu tidak terbedakan, dan bahwa dualitas kuiditas dan eksistensi hanya urusan
mental. Lihat karya saya Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Dīn al-Rānīrī, Kuala Lumpur, 1986, hlm.
303-305, 340-341.

159 Prolegomena
serupa, sebagaimana juga sebagai apa yang menyusun inti substansi entitas itu, hal itu pasti hanya
menyentuh pada kuiditas dalam pengertian ontologis. Hal itu pasti dilahirkan dalam pikiran
bahwa pembagian kuiditas dan eksistensi adalah sebuah perkara mental; bahwa dalam dunia
eksteramental tidak muncul pembagian semacam itu karena terdapat kuiditas dan eksistensi yang
bersama menunjuk realitas yang satu dan sama. Dalam hal ini kita tidak pada faktanya
mengatakan bahwa kuiditas dan eksistensi adalah sungguh identik, dan bahwa hanya pikiranlah
yang menganggap mereka sebagai dua entitas berbeda. Kita mempertahankan bahwa kuiditas
dan eksistensi, apakah dalam pikiran atau secara eksternal, adalah sungguh dua entitas berbeda,
tetapi kuiditas ontologis itu, tidak seperti kuiditas logis, tidak dilawankan dengan eksistensi sebab
inti substansinya adalah eksistensi, dan bukan hal mental yang tidak memiliki realitas yang
berhubungan dalam dunia eksternal. Eksistensi adalah umum bagi semua dalam pengertian
umum dalam cara yang tidak berlaku pada kuiditas. Karena kuiditas itu umum hanya dalam
pengertian bahwa segala hal memiliki kuiditas yang tidaklah umum pada setiap hal lain. Dengan
demikian kuiditas itu umum bagi segala hal dalam pengertian partikular. Hal ini berlaku baik
kuiditas logis dan ontologis. Karena, bagaimanapun, kuiditas ontologis itu secara esensial dari
sifat-dasar eksistensi dalam hal tertentu, keumumannya bagi segala hal mengandung pengertian
umum juga dalam cara yang dimana tidak demikian bagi kuiditas logis. Kuiditas dalam
pengertian umum ini adalah apa yang kita maksud dengan esensi.
Posisi kita bahwa eksistensilah, dan bukan kuiditas, yang merupakan realitas yang
dikualifikasikan oleh entitas konseptual yang disebut kuiditas.263 Problem dasar yang
menghadang mereka yang percaya kepada realitas mendasar dari kuiditas sebagaimana
dilawankan kepada eksistensi adalah bahwa jika kuiditas itu nyata secara mendasar dan
eksistensi hanya bagiannya yang disulap pikiran, sebagaimana dikatakan, maka ini berarti bahwa
kuiditas entah bagaimana ada sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi — yang sedikit banyak
merupakan kesimpulan yang absurd. Namun, mereka mungkin keberatan dengan hal ini dengan
mengatakan bahwa jika kualifikasi dengan eksistensi adalah sesuatu yang terjadi dalam pikiran,
maka berarti multiplisitas maujud itu juga hanya dalam pikiran, tetapi being-dalam-eksistensi dari
maujud partikular tidaklah dalam pikiran. Dalam pengertian ini kuiditas tidak sungguh
dikualifikasikan oleh eksistensi. Dalam argumen ini, apa yang mereka tegaskan itu bahwa
eksistensi tidak ada dalam realitas. Kepada hal ini kita menjawab bahwa kesimpulan demikian
tidak menyelesaikan problem tentang kuiditas yang ada sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi
ketika kita memaksudkan dengan eksistensi bukan hanya sesuatu yang konseptual dalam alam,
tetapi juga sesuatu yang ada sebagai entitas nyata dan independen dari pikiran. Karenanya kita
katakan bahwa eksistensi pasti ada dalam realitas, karena jika eksistensi tidak ada dalam realitas
maka tidak akan ada apapun sama sekali. Dalam silogisme ini telah didemonstrasikan bahwa
karena konsekuensinya (bahwa tidak ada apapun sama sekali) itu salah, berarti yang
mendahuluinya (bahwa eksistensi tidak ada dalam realitas) itu juga salah. Lebih lanjut, posisi
mereka dalam argumen itu tidak menyelesaikan problem sifat-dasar esensial dari kuiditas, jika
kuiditas merupakan sesuatu yang lain dari eksistensi — dalam hal tertentu. Di sisi lain, karena
posisi kita itu bahwa eksistensi merupakan realitas mendasar dan bahwa kuiditas-kuiditas sejati
pada kenyataannya merupakan modus-modus eksistensi, maka problem kuiditas yang ada
sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi tidak muncul, karena kuiditas-kuiditas sebagai modus-
modus eksistensi dapat ada dalam kondisi interior dari Being sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi
eksternal.
Bahwa eksistensi dan kuiditas itu terpilah satu sama lain dalam pikiran sudah cukup jelas,
tetapi pada tingkatan realitas eksternal pertama kali akan nampak seolah-olah kita

263
Yakni, kuiditas dalam pengertian partikular dan logis.

160 Prolegomena
mengidentifikasi eksistensi dengan kuiditas karena kita mengatakan bahwa kuiditas dalam
pengertian logis dan partikular itu dalam dirinya sendiri sungguh bukan apapun selain sebuah
entitas konseptual, dan dalam pengertian umum dan ontologis kuiditas itu hanya sebuah
pembatasan terhadap eksistensi. Oleh karena itu, kuiditas pada kenyataannya merupakan
eksistensi sebagaimana menentukan dirinya sendiri menjadi sebuah modus partikular, yang
batasannya diinterpretasikan pikiran sebagai kuiditas. Tapi kenampakan identifikasi eksistensi
dengan kuiditas bukanlah kasus yang sesungguhnya, karena meskipun apa yang pikiran
‘ontologisasi’ sebagai kuiditas pada kenyataannya hanya sebuah modus, sebuah eksistensi yang
ditentukan atau terbatas, tidak berarti eksistensi yang ditentukan atau dibatasi ini identik dengan
eksistensi sebagaimana dalam aspek yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi. Dengan demikian
apa diterima pikiran sebagai kuiditas pada kenyataannya itu sebuah penentuan batas dan sebuah
prinsip diferensisasi dari eksistensi sebagaimana eksistensi membentangkan dirinya sendiri dalam
pergerakan eksistensial; menciptakan penentuan batas sedemikian terhadap realitas-realitas yang
majemuk dan anekaragam dari dunia eksternal. Menurut perspektif ini, sama halnya pada
tingkatan konseptual demikian juga pada tingkatan realitas eksternal eksistensi dan kuiditas
tidaklah identik.264
Esensi (dhāt) suatu hal adalah sebagai-maujud (mawjūd) dari entitas (‘ayn) yang merupakan
individualitasnya (huwiyyah), kuiditasnya (māhiyyah’), atau inti diri (nafs) suatu hal; dan istilah
tersebut dalam kombinasi makna mereka secara keseluruhan menyusun realitas (haqīqah) suatu
hal. Definisi kita tentang esensi sebagaimana dirumuskan di atas mengandung dua unsur yang
berbeda: yang satu menunjuk pada bahan primer dari mana hal-hal dibuat, sebagaimana
ditunjukkan dengan referensi kita kepada ‘sebagai-maujud’ dan bahan dasar ini adalah eksistensi
(wujūd); yang lain menunjuk kepada yang membuat hal-hal menjadi berbeda satu sama lain, atau
kepada diferensia mereka,265 yakni kuiditas. Dengan demikian, pemahaman kita terhadap makna
esensi berdasarkan definisi ini bahwa esensi itu lebih umum dalam pertentangan dengan kuiditas.
Hal tersebut termasuk bukan hanya perbedaan, tetapi substansi suatu hal; sedangkan kuiditas
menunjuk hanya perbedaan tersebut. Maka esensi adalah eksistensi ditambah kuiditas. Sebab dari
unsur eksistensi yang hadir dalam definisi kita tentang esensi, esensi termasuk aspek permanen
dari being yang bertentangan terhadap aspek yang berubah, binasa, fenomenal yang tidak
termasuk permanensi.
Sebagai-maujud (mawjūd) akan hal-hal dapat dipahami dalam dua pengertian yang
berbeda:
1. sebagai eksterior (zāhir), yakni, yang bersifat ekstrinsik kepada eksistensi, dalam kasus
dimana hal tersebut menunjuk kepada hal-hal dunia eksternal dari indera dan pengalaman
inderawi, dunia hal-hal empiris. Meski demikian, pengertian dimana sebagai-maujud
dimaksud di sini bukanlah hanya eksistensi konkret dasar, fisik, dan statis, tetapi juga
sudah menyebut kepada suatu yang relasional, metafisis, dan dinamis dari pergerakan
eksistensial (mawjūdiyyah) yang mendasarinya, yang menciptakan dari dirinya sendiri hal-
hal yang menyusun dunia pembinasaan dan pembaharuan yang sinambung; sebuah dunia
yang ketika dilihat pada dirinya sendiri sebagai dunia adalah sesuatu yang imajiner, karena
sebagai dirinya sendiri dunia tersebut binasa secara sinambung dan oleh karena itu tidak
ada kecuali dalam imajinasi sensitif; dan namun ketika dipandang sebagai sesuatu yang

264
Lihat lebih lanjut, The Metaphysics of Sabzawārī, diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mehdi Mohaghegh dan
Toshihiko Izutsu, New York, 1977. Mullā Hādī Sabzawārī merupakan komentator besar akan Mullā Sadrā. Mungkin
tulisan terbaik dan paling analitis dari metafisika Islām yang muncul dalam bahasa Inggris dalam perkiraan kita adalah
tulisan mendalam dari Professor. T. Izutsu, secara khusus karya The Concept and Realitas in Existence, Tokyo, 1971.
Lihat juga karya saya Commentary pada Hujjah, hlm. 336 fol. Dan referensi dalam catatan 479-485, hlm. 336-338.
265
Dengan ‘diferensia’ kita memaksudkan bukan diferensia logis, tetapi prinsip ontologis perbedaan pada hal-hal.

161 Prolegomena
tergantung pada Sumber Metafisis yang mendasarinya, yang dimanifestasikan dengannya
dan yang secara sinambung memperbaharuinya, dunia tersebut nyata. Dengan demikian
sebagai-maujud menunjuk bukan hanya kepada hal-hal maujud yang membuat
kemajemukan dan keanekaragaman dunia indera dan pengalaman inderawi, tetapi juga
kepada pembaharuan sinambung terhadap mereka oleh aliran penciptaan dinamis dan
yang mendasari dari Eksistensi yang menghasilkan maujud hal tersebut;
2. sebagai interior (bātin) yakni, yang bersifat intrinsik kepada eksistensi, dalam kasus
dimana hal tersebut menunjuk kepada prinsip permanen, transenden, dan dinamis yang
mendasari (1) di atas, yang dirinya sendiri memiliki dua aspek: (i), sebagai tindakan dan
(ii), sebagai modus; dan hal ini menunjuk kepada Sumber metafisis yang telah kita
identifikasi sebagai Realitas-Kebenaran (al-haqq).

Kita telah secara berulang menunjuk bahwa Realitas-Kebenaran adalah Aspek (wajh)
Tuhan yang tetap (yabqa, cth. baqā’) setelah kebinasaan (fanā’) hal-hal ciptaan. Realitas-Kebenaran
juga merupakan Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlaq). Istilah ‘absolut’ (mutlaq), dalam maksud
kita, menunjuk kepada kondisi indeterminasi murni. Hal tersebut tidak menunjuk kepada sebuah
konsep, tetapi kepada sebuah realitas. Sebuah derajat yang lebih tinggi dari kondisi indeterminasi
murni ini adalah Tuhan, yang bukan dalam samaran partikular dari Aspek-Nya, tetapi sebagai
Dia dalam diri-Nya sendiri yang merupakan Esensi-Nya; dan derajat ini menunjuk kepada
kondisi being yang pada kenyataannya itu transenden bahkan dari dikualifikasikan dengan
keabsolutan (itlāq), karena kualifikasi sedemikian itu pada faktanya sudah kondisi yang
membatasi eksistensi pada determinasi partikular sebagai sebuah entitas (cth. ta’ayyun), dan
merupakan sebuah keterbatasan (taqyīd) di antara kondisi pembatasan yang dipostulatkan
(i’tibārī) secara mental dalam pelbagai derajat eksistensi intelijibel dan inderawi. Dengan kata lain,
aspek dari Tuhan sebagai Eksistensi Absolut adalah seperti aspek pertama kuiditas yang
disebutkan sebelumnya (bi shart lā shay’), kadang-kadang juga disebut oleh ibn Sinā sebuah ‘alam
universal’ (al-kullī al-tabī’ī),266 hanya hal itu bukan sesuatu yang bersifat mental tetapi nyata, bukan
sesuatu yang statis tetapi dinamis. Indeterminasi absolut yang kita maksud tidak dapat dipahami
sebagai kondisi being yang statis — tentu saja, tidak ada kondisi statis dari being — karena sifat-
dasar Tuhan, Yang esensi dan eksistensi-Nya itu identik, adalah dinamis; Dia “selalu dalam
tindakan” (Al-Rahmān (55): 29), “tidak tersentuh oleh kelelahan maupun tidur” (Al-Baqarah (2):
255). Aktifitas dinamis ini digambarkan dengan analogi, seperti ‘bernapas ke luar’ dan ‘bernapas
ke dalam’ yang menunjuk kepada artikulasi kata penciptaan dari Tuhan, dalam pengertian
ekspansi (bast) dan kontraksi (qabd); ekspansi tersebut mengungkapkan tindakan membawa

266
Alam universal didefinisikan sebagai sebuah pengertian dalam abstraksi murninya, tidak dikondisikan dengan
dihubungkan sama sekali dengan apapun. Oleh karena itu tidak dipahami sebagai maujud maupun nonmaujud, maupun
universal maupun partikular, sebagaimana hal tersebut menyiratkan beberapa jenis hubungan. Kuiditaslah sebagaimana
pada dirinya sendiri (min hayt hiya hiya), yakni, qua sifat-dasar (tabī’ah) dan dikondisikan oleh ketidakberhubungan
dengan apapun (bi shart lā shay’). Lihat karya al-Jurjānī, Al-Tā’rifat, Cairo, 1357 A.H., hlm. 205, di bawah judul
māhiyyah’ al-shay’. Gagasan sifat-dasar universal pertama kali dirumuskan oleh ibn Sinā yang menunjuk kepada satu
dari tiga aspek dari kuiditas (lihat di atas, hlm. 219-220). Metafisikawan dan komentator dari ibn ‘Arabī, seperti Sadr
al-Dīn al-Qūnyawi, Dāwūd al-Qaysarī, ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī dan Nūr al-Dīn al-Jāmī menggunakan konsepsi ibn
Sinā tentang tiga aspek kuiditas, tetapi lebih diaplikasikan kepada eksistensi daripada kuiditas. Namun, mereka lebih
lanjut mengafirmasi bahwa sejauh eksistensi yang diperhatikan terdapat aspek lain yang lebih dahulu terhadap aspek
pertama kuiditas yang tidak dikondisikan oleh kondisi apapun (cth. lā bi shart) dan aspek ini dari eksistensi menyentuh
kepada Being Wajib yang esensinya sekaligus identik dengan eksistensi-Nya (lihat karya al-Kashani, Sharh al-Fusūs,
hlm. 4). Dengan demikian bagi metafisikawan Sūfī terdapat empat aspek dari eksistensi, yang pertama tidak
dikondisikan dengan kondisi apapun, yang mereka identifikasi sebagai Esensi Ilahiyyah dalam aspek swa-
penyembunyian-Nya. Aspek ini akibatnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-Nya sendiri. Lihat
di bawah, hlm. 260, skema penurunan ontologis dari Being Absolut, dan catatan 287.

162 Prolegomena
menjadi eksistensi, kontraksi mengungkapkan tindakan pengembalian kepada non-eksistensi.
Aktifitas penciptaan ini merupakan sebuah proses abadi, meskipun isi dari proses tersebut itu
non-abadi. Ketika kita mempertimbangkan isi dari proses tersebut pada tingkatan inteleksi,
perkembangan mereka dari non-eksistensi ke eksistensi (dan kembali pada non-eksistensi)
digambarkan dalam istilah ‘penurunan’ (tanazzul) yang Absolut dari derajat non-determinasi
kepada determinasi, partikularisasi, dan individuasi.
Sebagaimana hal itu ‘turun’ dari keabsolutannya kepada alam kontingen, eksistensi itu
menentukan, memodifikasi dan mempartikularisasi dirinya sendiri menjadi entitas terpisah yang
menampilkan tontonan bentuk-bentuk yang sangat banyak dan terbagi yang menyusun dunia
bersama semua bagiannya, dan merupakan, seperti, sebuah penghalang (hijāb) kepada dirinya
sendiri. Hal Itu merupakan sebuah penghalang kepada dirinya sendiri tepatnya karena hal itu
menampilkan kepada kognisi dan kemauan kita dalam samaran pembatasan majemuk dan
terbagi akan dirinya sendiri, yang secara alamiah kita terima dan pahami sebagai objek swa-
berada yang terpisah, dan yang pikiran kita ‘mengontologisasi’nya sebagai kuiditas. Kuiditas-
kuiditas, pada sifat-dasar nyata mereka yang independen dari pikiran, pada faktanya merupakan
pembatasan dan modus intrinsik dari inti tindakan eksistensi; dan karena kognisi dan kemauan
kita dalam alam hanya beroperasi kepada pembatasan dan modus tindakan eksistensi, eksistensi
itu sendiri qua eksistensi, menjadi utuh dihalangi oleh mereka, yang selamanya berkelit dari
pegangan rasional dan intelektual kita. Determinasi, modifikasi, partikularisasi dan individuasi
eksistensi menggambarkan sebuah pergerakan yang tidak sinambung dalam keberadaannya,
meskipun pergerakan eksistensi itu sendiri adalah sinambung. Karena eksistensi selalu dalam
tindakan, yang mengeksistensiasi batas dan modus intrinsiknya, lalu membinasakan dan
menggantikan mereka dengan yang baru namun dalam bentuk serupa yang tidak pernah nampak
untuk dua durasi yang bertalian dalam samaran yang sama, tetapi secara sinambung
mengaktualisiasi potensialitas eksistensial yang inheren di dalamnya berdasarkan bentuk yang
dibentangkan dari kondisi masa depan mereka. Kuiditas-kuiditas dalam sifat-dasar sejati mereka
yang independen dari pikiran, yang merupakan batasan intrinsik dan modus-modus dari
tindakan eksistensi yang nampak pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi, oleh karena
itu tidak sinambung dalam eksistensi mereka, karena mereka tidak bertahan dalam dua durasi.
Maka kuiditas-kuiditas pada kenyataannya, dan dalam istilah Categories, merupakan ‘aksiden’
yang mengualifikasi eksistensi; dan karena mereka tidak, sebagai aksiden, bertahan dua saat dari
waktu, maka hal-hal dunia empiris yang mereka susun itu ada dalam kondisi kebinasaan
ontologis (fana’) yang abadi. Pada saat ketika dunia bersama seluruh bagiannya dibinasakan,
dunia lain yang serupa dengannya mengambil tempatnya; dan dunia tersebut menderita nasib
yang sama, dan begitu terus secara berulang dengan cara ini secara terus menerus. Hal ini
merupakan penciptaan yang abadi. Dari waktu ke waktu sebuah dunia baru, sebuah ciptaan baru
(khalq jadīd) muncul; dan karena proses sinambung yang terlibat tersebut, dan ketidakmampuan
kita untuk menembus keindahan penghalang di hadapan kita, lalu kita dibimbing imajinasi dan
estimasi untuk percaya kepada dunia hal-hal yang satu dan sama yang terpisah, individual dan
partikular dalam multiplisitas dan keanekaragaman mereka yang bertahan dalam eksistensi.
Dengan demikian apa yang sungguh nampak kepada penglihatan kita bukan dunia sebagai saat-
dari-dirinya-sendiri (moments-of-itself), sebagaimana berkelit dalam penglihatan kita, meskipun
merupakan rangkaian dunia yang serupa diikuti secara cepat satu sama lain yang memberi
kepada persepsi dan imajinasi kita sebuah penglihatan akan dunia yang mengambil sebuah
kesamaan akan ketunggalan dan kesamaan dan kesinambungan dalam eksistensi.

163 Prolegomena
Tapi terdapat aspek lain dari dunia yang mengambil bagian dari realitas, dan ini
merupakan aspek dunia qua modus eksistensi, yang pada masing-masing saat-pada-dirinya
memiliki eksistensi nyata sebab inti substansinya adalah eksistensi.
Eksistensi Absolut itu, seperti kita telah gambarkan sebelumnya, secara abadi terlibat
dalam pergerakan eksistensial yang dinamis, dari ekspansi; sebuah pengungkapan yang meliputi
melingkup semuanya akan perkembangan ontologis dari yang kurang ditentukan kepada yang
lebih ditentukan, yang membatasi diri-Nya tanpa mengurangi keesaan esensial-Nya, dalam
bentuk artikulasi dalaman-Nya sendiri yang nampak sebagai partikularisasi dan individuasi
majemuk dan aneka ragam pada tingkatan eksistensi partikular. Penampakan mereka dengan
being itu simultan dengan ketidaknampakan mereka dengan non-being, dan ketidaknampakan
mereka itu simultan dengan penampakan baru yang lain seperti dia. Penampakan dan
ketidaknampakan mereka dan pergantian simultan mereka oleh yang lain dan baru seperti
mereka menggambarkan proses perkembangan penciptaan eksistensial yang sinambung dan
abadi dari Eksistensi Absolut yang disebut ‘ekspansi eksistensi’ (inbisāt al-wujūd), dimana dari
perspektif lain tidak lain merupakan proses abadi akan penciptaan baru (al-khalq al-jadīd).267
Maka, pada tingkatan eksistensi partikular, realitas adalah ‘yang dengannya hal tersebut
adalah hal tersebut apa adanya (mā bihi al-shay’ huwa huwa). Kini suatu ‘hal’ pada tingkatan ini,
dan berdasarkan pada perspektif penciptaan baru, hanya nampak sebagai hal yang satu dan sama
sepanjang waktu keberadaannya, tetapi pada kenyataannya ‘hal’ tersebut merupakan setiap saat-
itu-sendiri bukan hal yang satu dan sama dengan ‘hal’ yang nampak mengambil tempatnya pada
waktu selanjutnya dari eksistensi. Dari waktu ke waktu tidak ada hal yang satu dan sama yang
nampak dan tidak nampak dan nampak lagi; dari waktu ke waktu terdapat dua hal yang berbeda,
tetapi karena penampakan mereka yang bertalian dan cepat dalam bentuk serupa, dan
ketidaksadaran kita tentang situasi yang sebenarnya, mereka diimajinasikan dan dipikirkan sebagai
hal yang satu dan sama. Namun, kendati suatu hal pada kenyataannya sebagai banyak hal yang
berbeda, hal tersebut terus mempertahankan dan memelihara dari kehilangan akan kesatuan dan
identitas asalinya. Kebenarannya adalah bahwa kesinambungan suatu hal dalam kesatuan dan
identitas asalinya itu berkaitan bukan pada dirinya sendiri — melihat bahwa pada dirinya sendiri
sedemikian secara tidak terbatas yang tidak berlangsung sebentar namun, itu hal yang binasa! —
tetapi adalah berkaitan dengan esensi yang tetap atau arketip permanennya (‘ayn thābiţ).268 Kini
meskipun esensi tersebut juga mengalami proses penampakan dan ketidaknampakan dan
penampakan ulang yang simultan dalam dunia intelijibel dari arketip sedemikian yang terlibat
dalam ketidaksinambungan dalam eksistensinya, yang, namun, muncul lagi selalu dalam bentuk
dan identitas asalinya, sehingga selalu memperoleh kesinambungan dalam eksistensinya (baqā’);
dan bentuk dan identitas asali ini terkandung di dalam dirinya semua kondisi masa depannya,
sehingga pada setiap saat dari rehabilitasinya, sebuah bentuk potensial yang inheren di dalamnya
267
Meskipun pada saat sangat awal teolog As’ariyyah telah merumuskan metafisika mereka tentang atom dan aksiden
untuk menjelaskan sifat-dasar alam semesta, teori mereka lebih menyentuh kepada pembaharuan aksiden, dan bukan
pada substansi. Ibn ‘Arabīlah yang merumuskan teori proses abadi penciptaan baru yang berdasarkan sumber Qur’ān
(lihat contohnya Fusūs, hlm. 125-126). Ungkapan Qur’ān khalq jadīd, cth. ‘penciptaan baru’, ditemukan dalam sūrah
Qāf (50): 15.
268
Kata ‘ayn memiliki banyak makna. Beberapa leksikografer mengatakan lebih dari seratus. Qur’ān Suci menyebutkan
tujuh belas. Dalam konteks yang kita diskusikan, ‘ayn itu berarti ‘sumber asli’, ‘individuasi’ akan suatu hal, ‘corak
yang membedakan’ dari sebuah ‘entitas’, ‘inti esensi’, ‘diri’, dan ‘sifat-dasar terdalam’ dari suatu hal. Thābiţ menunjuk
pada sesuatu ‘yang tetap secara teguh, ‘tidak dapat digerakkan’, atau ‘dapat dipindahkan’ dari posisinya, ‘mapan’,
‘diamankan secara permanen’. Dalam pengertian yang kita memaksudkan ‘ayn thābiţ mengandung makna serupa
kepada ‘esensi yang tetap’, atau ‘arketip permanen’. Pada ‘arketip’ (dari bahasa Yunani archē + typon), hal tersebut
menunjuk pada filsuf Yunani awal pada ‘yang merupakan ada pada permulaan’, pada ‘prinsip pertama’; selanjutnya hal
itu menjadi menunjuk pada ‘substansi’ atau pada ‘unsur dasar’; dan pada Aristoteles dalam ‘prinsip penaktualisasi’ atau
‘sebab’. Dalam pengertian umum hal itu berarti model asali dari mana hal-hal itu dibuat.

164 Prolegomena
itu, dan akibat pada bentuk yang mendahuluinya, diaktualisasikan. Dengan demikian, apapun
yang mungkin dimiliki potensialitas inheren (isti’dādāt) yang diaktualisasikan dalam dunia indera
dan pengalaman inderawi dalam samaran banyak hal-hal yang berbeda, hal tersebut selalu
memelihara kesatuan dan menjaga identitasnya sebagai hal yang satu dan sama. Inilah mengapa
esensi dalam kondisi arketip merupakan sebuah entitas teguh dan permanen, sesuatu yang tetap
dalam identitas asalinya. ‘Yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ hanya dapat
menunjuk pada sesuatu yang asli dalam identitasnya, sesuatu yang permanen di tengah-tengah
perubahan dan, hal ini yakni, yang merupakan realitas suatu hal, atau kuiditas (māhiyyah) sejatinya
dan benar, adalah arketip permanennya.
Dalam perkataan sebelumnya bahwa esensi adalah kuiditas ditambah eksistensi, maka kita
memaksudkan bahwa kuiditas ini pada kenyataannya adalah eksistensi-dalam-tindakan yang
membatasi dirinya sendiri ke dalam bentuk spesifik. Kini tindakan swa-pembatasan ke dalam
bentuk khusus yang dieksistensiasikan oleh eksistensi ini tidaklah sinambung dalam
keberadaannya, tetapi secara sinambung digantikan oleh yang serupa. Yang serupa adalah akibat
yang cocok yang muncul dari potensialitas yang inheren dalam realitas arketip yang
diaktualisasikan dalam tatanan prioritas yang sistematis, seperti dimana mereka berulang kali
diaktualisasikan dimana mereka menggambarkan pembentangan bertahap dari kondisi masa
depan mereka.
Dari penjelasan yang telah kit buat sedemikian jauh, dua hal menjadi nampak yang
menyentuh kepada sifat-dasar esensi. Pada tingkatan hal-hal empiris, esensi yang kita sebut
kuiditas, meskipun itu nyata namun penampakan durasionalnya, tidak bertahan dua durasi dan
oleh karena itu bersifat aksidental dalam alam. Tapi pada tingkatan-realitas asali dalam alam
arketip, meskipun juga terdapat kuiditas yang kita sebut esensi tetap merupakan sifat-dasar
aksiden dalam hubungan dengan Eksistensi Absolut, namun hal itu secara sinambung
diperbaharui dalam bentuk dan identitas asalinya. Dengan demikian esensi, atau kuiditas
ontologis, memiliki dua aspek yang berhubungan dengan struktur fanā’-baqā’: hal itu di satu pihak
sesuatu yang sementara, dan di pihak lain sesuatu yang permanen. Aspek yang terdahulu
termanifestasikan dan dimanifestasikan oleh yang kemudian. Apa yang menjadi nampak sebagai
perubahan itu muncul dalam durasi antara proses fana’ dan baqā’ dimana realitas tersebut terlibat.
Tentu saja, struktur eksistensial fana’-baqā’ ini meliputi seluruh wilayah realitas dan berhutang
terhadap asal-usulnya pada sifat ganda dari Nama-Nama Ilahiyah.269
Sementara kita mengatakan bahwa eksistensi adalah realitas mendasar yang umum bagi
segala hal, kita mengakui bahwa terdapat aspek perbedaan antara suatu hal dan realitasnya, dan
antara realitas hal-hal di antara mereka sendiri, dan kita juga mengakui bahwa antara mereka dan
seluruh mereka juga terdapat sebuah aspek identitas; karena realitas eksistensi adalah yang hal-
hal berbeda dari satu sama lain, dan pada waktu yang bersamaan realitas eksistensi adalah yang
dengannya mereka disatukan dalam identitas.
Eksistensi sebagai realitas, dan bukan sebagai konsep, seperti telah kita katakan tidaklah
statis, tetapi terlibat dalam proses swa-pembentangan yang dinamis dan abadi. Ketika kita
memandang pembentangan eksistensi dalam modusnya yang banyak dari swa-diversifikasi,
eksistensi menghadirkan dirinya dalam tahapan analogis dengan sebab ekspansinya dari derajat
non-manifestasi dan non-determinasi kepada pelbagai derajat-derajat manifestasi dan determinasi
hingga mencapai derajat indera dan pengalaman inderawi, yakni, dunia hal-hal empiris. Karena
segala hal dalam pelbagai derajat manifestasi dan determinasi dari eksistensi itu bersifat
aksidental kepadanya, segala hal itu selamanya ‘hilang’ ke eksistensi. Melainkan, bahwa yang
hilang ke eksistensi kehilangan dirinya sendiri dalam ‘napas’ eksistensi yang bergantian, yang

269
Fusūs, hlm. 104; 79. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 251 fol.

165 Prolegomena
menyusun ulang dirinya sendiri menjadi yang lain dan serupa namun tidak identik, yang tidak
lain, merupakan modus eksistensi yang serupa. Pengecualian proses rehabilitasi yang abadi dari
yang serupa itu adalah esensi yang tetap atau arketip permanen, yang identitas asalinya secara
abadi disusun ulang; sehingga sementara mereka tidak abadi dalam pengertian bahwa eksistensi
mereka itu tidak sinambung, tetapi karena identitas asali mereka itu selalu diperbaharui mereka
masih secara abadi memperoleh keberadaan, karena sebagai Gagasan dalam pikiran Ilahi mereka
tidak dapat menjadi subjek bagi perubahan. Karena pelbagai derajat manifestasi dan determinasi
yang melaluinya eksistensi mengembang, dan yang tahapan perantara majemuk dari
pengungkapan ontologis yang dialaminya, manifestasinya dalam satu derajat dan pada masing-
masing modus dalam derajat tersebut itu lebih kuat dalam derajat sebelumnya dan lebih lemah
pada yang selanjutnya; hal tersebut itu lebih sempurna dalam derajat sebelumnya dan kurang
sempurna pada yang berikutnya; hal tersebut itu lebih dahulu dalam derajat sebelumnya dan
terbelakang dalam yang berikutnya,270 dan begitu seterusnya dalam tatanan yang menurun.
Multiplisitas maujud yang dihasilkan tidak dalam satu realitas eksistensi, tetapi dalam aspek
majemuk dari penerima eksistensi dalam pelbagai derajat, dimana masing-masing berdasarkan
pada kekuatan atau kelemahannya, kesempurnaan atau ketidaksempurnaannya, dan prioritas
dan posterioritasnya. Dengan demikian multiplisitas maujud tidak mengurangi kesatuan
eksistensi, karena masing-masing maujud adalah sebuah modus eksistensi dan tidak memiliki
status ontologis yang terpisah. Dalam menampilkan dirinya sendiri dalam tahapan analogis
dalam cara yang telah kita usahakan dikandung, maka eksistensi itu juga secara sistematis adalah
ambigu. Gradasi analogis dan ambiguitas yang sistematis ini disebut tashkik.271 Tashkik secara
dasar berarti penyebab keraguan atau kebingungan oleh seseorang atau sesuatu. Dalam kasus
tentang eksistensi di sini, penyebab kebingungan itu berkaitan dengan ambiguitasnya yang
meliputi segala sesuatu secara sistematis; karena eksistensi, dalam aspek majemuknya sebagai
modus yang sangat banyak dari dirinya sendiri, adalah yang dengannya semua hal berbeda dari
satu sama lain; pada waktu yang bersamaan eksistensi, dalam keabsolutannya, adalah juga yang
dengannya semua hal disatukan. Eksistensi merupakan prinsip baik kesatuan dan
keanekaragaman, akan identitas dan perbedaan. Dengan demikian kita lihat di sini, dan dalam
konteks tashkīk, bahwa pemilahan antara konsep dan realitas eksistensi bukan hanya tentang sifat-
dasar statis dari realitas eksistensi sebagaimana dibandingkan dengan sifat-dasar dinamis dari
realitas eksistensi. Terdapat pula perbedaan yang jelas antara eksistensi absolut dan eksistensi
partikular dan ditentukan dalam pengertian kekuatan, kelemahan, dan prioritas dan posterioritas,
yang tidak dapat dibangun dalam kasus eksistensi sebagai sebuah konsep. Lebih lanjut dalam
kasus secara umum eksistensi yang dipahami sebagai konsep, hanya dapat dipahami sebagai
prinsip kesatuan pada hal-hal dan bukan prinsip keanekaragaman. Pemilahan antara konsep dan
realitas eksistensi dapat diskematisasikan dalam diagram berikut:
270
Yang ‘prior’ dan ‘posterior’ dalam sebuah pengertian non-temporal, contoh seperti tangan dan cincin pada jari.
271
Lihat Ta’rīfāt, hlm. 60-61, dimana al-Jurjānī memberi definisi dari tashkīk dalam pengertian prioritas kekuatan,
kesempurnaan dengan referensi pada ambiguitas sistematis dari eksistensi. Akar metafisika eksistensi telah dilacak
kembali pada Qur’ān Suci dan Hadīth. Bentuk dasar dari ungkapan yang berada pada sekolah al-Junayd dari Baghdad.
Mereka menampilkan penglihatan terhadap sifat-dasar realitas sebagaimana mereka pertimbangkan berdasarkan intuisi
akan eksistensi, dari mana teosofi transenden mereka secara bertahap dibangun. Di antara anggota yang tercatat
terdahulu dari Mazhab ini setelah al-Junayd adalah Abū Nasr al-Sarrāj, ‘Alī al-Hujwīrī, ‘Abū al-Qāsim al-Qushayrī,
dan ‘Abd Allāh al-Ansārī. Pada mazhab ini juga berada al-Ghazāli. Tapi pendukung besar mereka adalah ibn ‘Arabī,
yang pertama kali merumuskan apa yang secara asli diberikan dalam intuisi iluminatif ke dalam metafisika integratif
yang diungkapkan dalam pengertian rasional dan intelektual. Diantara para komentator terpelajar adalah metafisikawan
Sūfī seperti Sadr al-Dīn al-Qunyawī, Dāwūd al-Qaysarī, ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī, dan ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī.
Ungkapan filosofis dari teosofi transenden ini dan perkembangan lebih lanjut sebagai sebuah metafisika Islām yang
sejati dirumuskan oleh Sadr al-Dīn Shirāzī, disebut Mullā Sadrā yang mengombinasikan gagasan aslinya dengan
pengaruh dari ibn Sinā, al-Ghazali, ibn ‘Arabī, dan Suhrawadī. Lihat juga, catatan 266 di atas.

166 Prolegomena
Eksistensi

Konsep Realitas
(Statis) (Dinamis)

Umum Bagian* Absolut Partikular

Kuiditas Modus

* Tentang ‘bagian’, lihat halaman 217, di atas.

Eksistensi, sebagaimana dirinya membentangkan dan mengembangkan dan membatasi


dirinya sendiri menjadi determinasi majemuk dan anekaragam tanpa mempengaruhi keesaan
asalinya, dan berdasarkan kebutuhan dari potensialitas dalaman yang inheren di dalamnya,
adalah yang dimana semua hal (cth. aktualisasi akan kecocokan (lawāzim) dalam potensialitas)
disatukan dalam identitas; pada saat yang sama eksistensi, sebagaimana diindividuasikan
menjadi modus partikular dalam samaran esensi-esensi atau kuiditas-kuiditas sejati dari hal-hal
sebagaimana diaktualisasikan (cth. kecocokan dan akibat (āthār) mereka dalam kondisi
aktualisasi), adalah yang dimana hal-hal berbeda satu sama lain. Jadi menurut perspektif kita,
realitas suatu hal adalah determinasi Eksistensi Absolut yang diindividuasikan ke dalam modus
partikular, sebagaimana dibutuhkan oleh arketip, oleh yang dengannya hal tersebut adalah hal
tersebut apa adanya. Kata ada, dalam ungkapan ‘hal tersebut apa adanya’, menunjuk pada hal
yang dalam kondisi aktualisasi; tindakan yang dengannya hal tersebut itu diaktualisasikan
merupakan dalam tindakan eksistensi. Dua aspek eksistensi tersebut bersama-sama (cth. tindakan
dan modus) menyusun apa yang telah kita sebut kuiditas sejati (māhiyyah’) atau esensi (‘ayn atau
dhāt), yang merupakan realitas suatu hal dan yang menunjuk tidak lain dari arketipnya, yang
sifat-dasarnya dibangun dalam kondisi interior (butūn) Being.
Kita mengatakan hal itu menunjuk kepada arkteip tersebut, seolah-olah being hal tersebut
dalam kondisi aktualisasi, dan tindakan eksistensi yang dengannya hal itu diaktualisasikan,
merupakan sesuatu yang lain dari arketip itu sendiri. Tentu saja, aktualisasi hal tersebut, dan
tindakan yang dengannya hal itu diaktualisasikan, tidaklah sama seperti arketip itu sendiri,
melihat bahwa arketip tersebut tidak pernah meninggalkan kondisi interiornya, yakni ‘tidak
pernah mencium aroma eksistensi eksternal”.272 Apa yang diaktualisasikan atau
dieksternalisasikan adalah kekuatan atau kemampuan kontrol yang menyesuaikan dengan sifat-
dasar arketip (ahkām), kecocokan dan pengaruhnya (lawāzim dan āthār) yang inheren dalam
potensialitas (isti’dādāt) pada arketip. Realitas-Kebenaran, atau Eksistensi Absolut,
memanifetasikan diri-Nya sesuai kebutuhan sifat-dasar arketip,273 dan karena potensialitas yang
inheren dalam arketip itu banyak dan anekaragam, manifestasi-Nya dalam bentuk mereka tidak
pernah berulang dalam samaran yang sama, tetapi selalu nampak dalam harmoni dengan
multiplisitas dan keanekaragaman bentuk. Meskpun demikian, bentuk majemuk dan anekaragam
bentuk dimana Dia dimanifestasikan itu ditentukan arketip yang abadi secara permanen,
sehingga kendati akan multiplisitas dan keanekaragamannya itu, mereka selalu memperoleh
kesatuan dan identitas asali mereka. Dalam pengertian ini, dan berbicara dalam pengertian

272
Ungkapan ibn ‘Arabī: mā shammat rā’ihatan min al-wujūd. Fusūs, hlm. 76.
273
Lihat Fusūs, hlm. 103.

167 Prolegomena
metafisika substansi dan aksiden, arketip tersebut adalah realitas (matbū’) substansial dan utama,
sementara akibatnya yang nampak sebagai suatu hal dalam dunia eksternal adalah realitas (tabi’)
aksidental dan konsekuen. Maka, realitas suatu hal, adalah arketipnya.
Kita telah katakan bahwa istilah ‘kuiditas’ itu dipahami mengandung dua pengertian yang
berhubungan dengan māhiyyah’ sebagai terjemahannya. Pada māhiyyah’, dua pengertian dimana
istilahnya dimaksud adalah (1), dalam pengertian partikular sebagai sebuah maujud (mawjūd)
individual, yang menunjuk kepada ‘kuiditas’ logis yang diturunkan dari jawaban atas pertanyaan:
“apa itu?”; dan (2), dalam pengertian umum kepada ‘kuiditas’ ontologis sebagaimana yang
dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (mā bihi al-shay’ huwa huwa), yang menyentuh
pada ‘esensi sejati’ (‘ayn) atau ‘realitas’ (haqīqah) suatu hal.274 Dalam pengertian kedua ini
māhiyyah’ itu diidentifikasi sebagai ‘eksistensi’ (wujūd). ‘Eksistensi’ di sini juga dipahami
menampilkan dirinya dalam aspek ganda: (1), sebagai inti tindakan eksistensi itu sendiri yang
dengannya kuiditas tersebut teraktualisasi; (2), sebagai kuiditas dalam kondisi aktualisasi
(mawjūd).275 Aspek pertama menunjuk pada prinsip dinamis dimana artikulasi intrinsiknya
mengaktualisasikan hal-hal terpisah yang menyusun dunia; aspek kedua menunjuk kepada hal-
hal terpisah sebagaimana mereka ada (mawjūd).276 Diagram di bawah mengilustrasikan pengertian
umum (māhiyyah’ I) dan yang partikular (māhiyyah’ II) dimana konsep māhiyyah’ dipahami.

274
Lihat Kashshāf, V, Hlm. 1313 artikel al-māhiyyah’; dan Ta’rīfāt, di bawah judul yang sama (hlm. 205.
275
Lihat di atas, hlm. 242-245. Penafsir eksistensialis Barat modern terhadap metafisika Thomas Aquinas tidak ragu
lagi sepakat dengan kita bahwa aspek pertama eksistensi yang dijelaskan di atas itu sepadan dengan bahasa Latin esse
dalam pemikiran Aquinas, dan aspek kedua pada ens-nya. Lihat pengenalan Maurer pada karya Thomas Aquinas, De
Ente et Essentia, trans. A. Maurer (On Being and Essence), second revised edition, the Pontifical Institue of Mediaeval
Studeis, Toronto, 1968, hlm. 13-19. Esse secara umum berarti ‘sebagai’, cth, ‘men-jadi’ atau makhluk aktual, dan ini
sepadan dengan ‘esensi’ dalam pengertian kuiditas. Ketika esse itu diterima dalam pikiran hal itu merupakan esse
intentionale, sebagaimana hal itu ada secara eksternal hal itu adalah esse in re atau in actu. Ens atau entia secara umum
berarti ‘entitas’, yang merupakan makhluk yang nyata, apakah dalam tindakan atau sebagai sebuah objek pemikiran
yang predikasinya dapat dibuat. Hal itu merupakan sesuatu yang maujud (mawjūd). Thomas Aquinas telah memberikan
istilah tersebut tentang makna teknis dan khusus dalam metafisikanya melalui pengaruh yang digunakan dalam
pikirannya oleh metafisikawan muslim.
276
Hal ini menunjuk kembali pada apa yang telah kita nyatakan di atas pada halaman 237, (1) dan (2); aspek pertama di
sini menunjuk kepada (2) dan yang kedua kepada (1).

168 Prolegomena
Esensi-esensi yang tetap atau arketip permanen.
Ini adalah realitas yang berada sebagai Intelijibel dalam
Pikiran Tuhan: Bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah

MĀHIYYAH (I)

Kuiditas sebagai esensi sejati (dhāt atau ‘ayn) atau


Sebagai realitas (haqīqah). Ini diidentifikasi sebagai
Realitas eksistensi (wujūd) Realitas

Tindakan Modus
wujūd (eksistensi ) mawjūd (sebagai-maujud)

MĀHIYYAH (II)

Kuiditas sebagaimana dipostulasikan secara mental, Konsep


Atau ketika hal-hal maujud (mawjūdāt)
Menjadi objek dari pikiran.

Dengan demikian ketika kita menunjuk kepada kuiditas-kuiditas sebagai being pada
kenyataannya adalah pembatasan intinsik dari tindakan eksistensi tersebut, yang kita maksud
dengan instrinsik tepatnya apa yang menyebut kepada aktualisasi potensialitas dalam bentuk
akibat dan pengaruh niscaya mereka (cth. pada tindakan dan pada modus), dan bukan pada
arketip itu sendiri.
Pada sifat-dasar arketip permanen, mereka itu realitas hal-hal (haqā’iq al-ashyā’) dalam
kehadiran intelejibel atau kognitif (al-hadrah al-‘ilmiyyah). Istilah hadrah, yang bermakna
‘kehadiran’, menunjuk kepada kondisi ontologis dalam dunia intelijibel. Hal tersebut itu bersifat
subjektif bagi Tuhan, atau hadir pada-Nya dalam pengetahuan-Nya sebagai ‘realitas ideal’
(ma’ānī). Realitas hal-hal dalam konteks tersebut bukan ‘maujud’ (mawjūd), tetapi tetap dalam
kondisi ‘non-maujud’ (ma’dūmah) dalam kesadaran dan pengetahuan dari Kebenaran. Referensi
pada kondisi bukan ‘maujud’ berarti keberadaan mereka tidak ‘disebabkan muncul’ (i.q...abraza)
pada sebuah kondisi manifestasi eksterior (zāhir) dalam bentuk eksistensi konkret dan individual
(al-wujūd al-’aynī); akan tetapi, meskipun demikian mereka memiliki realitas ontologis dan berada
(bāqiyyah) dalam kondisi interior (butūn) Being. Mereka adalah ‘peristiwa’, atau ‘kondisi aktifitas’,
atau ‘kecenderungan’ (shu’ūn) yang inheren dalam Kesatuan Ilahiyah (al-wahdah), dan berada
dalam kondisi interior merupakan kondisi esensial mereka. Hal yang berkembang dari mereka,
yang menjadi termanifestasi ke luar sebagai ‘esensi-esensi eksterior’ (al-a’yān al-kharijiyyah),
merupakan ‘kekuatan kontrol’ mereka sesuai dengan sifat-dasar mereka (ahkām), dan ‘akibat’
(āthār), dan ‘pengaruh niscaya’ atau ‘kecocokan’ (lawāzim) yang dihasilkan dari penyebab yang
memiliki Sumbernya pada Inti Being Kebenaran, karena tidak ada maujud selain Kebenaran.
Dengan sebab akan keberadaan mereka dalam kondisi non-maujud, dan dari peran potensial
mereka dalam perkembangan ontologis yang menyertainya, realitas hal-hal juga disebut ‘hal-hal
yang mungkin’ (mumkināt).
Yang diketahui (the known) dalam pengetahuan Tuhan, yang ada dalam kondisi non-
eksistensi (‘adam) — yakni, mereka tidak memiliki eksistensi eksternal dan konkret, tetapi hanya

169 Prolegomena
ada sebagai pengertian dalam kesadaran Tuhan — lalu menerima ‘aliran’ (fayd) atau ‘pancaran’
dari Kebenaran277 sebagaimana Dia memanifestasikan diri-Nya dengan apa yang ada dalam tahap
berikutnya hanya diketahui sebagai Sifat (sifāt), yang ada secara inheren dalam aspek interior
Keesaan Absolut yang tetap selamanya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada
Esensi. Segala hal sedemikian, yang merupakan wajah partikular dari diri-Nya sendiri, dan yang
menampilkan diri-Nya dalam modus atau individuasi partikular, sesudah itu menjadi diketahui
sebagai sebuah Sifat — satu di antara jumlah yang tidak terbatas — disebut menurut ungkapan
Qur’āni ‘sebuah peristiwa’, ‘sebuah modus ‘being’, ‘kecenderungan’ (sha’n, pl. akan mult: shu’ūn)278
Esensi; dan masing-masing berbeda dari satu sama lain yang dengannya Being Absolut
memanifestasikan diri-Nya namun lagi dalam bentuk yang berbeda. Bentuk yang
dimanifestasikan oleh permukaan partikular ini dan modus partikular, yang menggambarkan-
Nya dalam samaran tersebut, adalah sebuah Sifat, dan hal tersebut terpilah dari Being Tuhan.
Karena hal tersebut ‘terpilah’ dari Being Tuhan tidaklah bermakna sesuatu yang memiliki being
yang independen atau realitas yang terlepas dari Tuhan. Itu berarti lebih bahwa baik itu tidak
sama seperti maupun berbeda dari Being Tuhan. Hal itu lebih bermakna bahwa hal tersebut tidak
sama sebagai maupun berbeda dari Being Tuhan. Hal tersebut adalah sesuatu yang memiliki
struktur ganda yang ketika dipandang dalam hubungan dengan Tuhan adalah identik dengan
Tuhan, dan ketika dipandang dalam hubungan dengan dirinya, struktur intrinsiknya adalah tidak
identik dengan Tuhan, maupun dengan masing-masing jumlah tak terbatas dari Sifat. Dipandang
dalam cara kedua ini, hal tersebut memiliki kekhasannya sendiri; coraknya yang berbeda sendiri;
bagian esensialnya yang membuatnya berbeda dari satu sama lain dan dari Being Tuhan.
Penjelasan untuk ini terbentang dalam sifat-dasar ganda dari Nama-Nama Ilahiyah (al-asmā’).
Semua Nama-Nama Ilahiyah, sekalipun fakta bahwa ada beberapa yang berlawanan
dengan yang lain, adalah identik dengan Inti Esensinya (al-dhāt) Itu sendiri ketika mereka
menunjuk pada Esensi. Tapi karena masing-masing dari Nama-Nama Ilahiyah itu pada
kenyataannya menamakan sebuah aspek khusus atau bentuk partikular dari Esensi dalam
anekaragam dan multiplisitas dari manifestasinya pada tingkatan dari aspek swa-pengungkapan-
Nya, masing-masing ketika menunjuk pada makna intrinsik dirinya sendiri hanya
menggambarkan aspek khusus atau bentuk partikular itu, dan bukan Esensi sebagaimana Dia ada
dalam diri-Nya sendiri, dan maka tidak identik dengan-Nya, dan masing-masing tidak identik
dengan sisa jumlah tak terbatas dari Nama-Nama Ilahiyah. Dengan demikian setiap nama-Nama
Ilahiyah itu, sementara di satu pihak identik dengan Tuhan dan begitu juga dengan Nama-Nama
Ilahiyah lainnya, di pihak lain, sebuah makna independen dalam dirinya sendiri.279
Ketika dipertimbangkan dengan dirinya sendiri secara independen dari Esensi, dalam cara
yang digambarkan dalam kasus kemudian, sebuah Nama Ilahiyah dipandang sebagai sebuah
Sifat. Ketika dinyatakan bahwa Esensi, atau Being Absolut dalam aspek swa-pengungkapan-Nya
yang luaran, memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang berbeda, dan bentuknya yang
termanifestasikan adalah permukaan partikular dan modus-Nya yang menggambarkan-Nya,
sebagai Sifat dari Esensi, dimana masing-masing berbeda dari satu sama lain dan dari Being-Nya,
oleh karena itu yang kita maksud dengan ‘terpilah’, adalah perbedaan yang muncul dari aspek
masing-masing Sifat. Dalam cara ini dan oleh masing-masing swa-manifestasi, dan dengan sebab
bagian esensial keterpilahan yang inheren dalam masing-masing Sifat, sebuah realitas yang dari
antara realitas Nama-Nama Ilahiyah menjadi termanifestasi (zāhir) dan ada dalam pengetahuan
Ilahiyah. Inilah mengapa kita katakan di tempat lain bahwa sifat-dasar pokok realitas adalah

277
Ini menunjuk pada ekspansi eksistensi seperti kita telah secara ringkas digambarkan di atas, hlm. 237-241.
278
Al-Rahmān (55): 29.
279
Fusūs, hlm. 79-80, 104.

170 Prolegomena
perbedaan.280 Bentuk masing-masing realitas disebut ‘kuiditas’ (māhiyyah’),281 atau sebuah ‘entitas
atau esensi tetap dan permanen’ (‘ayn thābiţ). Maka, sebuah realitas, adalah sebuah bentuk dari
sebuah Nama Ilahiyah yang menamakan sebuah aspek khusus dari Esensi, yang bentuknya
dimanifestasikan dalam kesadaran Ilahiyah.
Pancaran yang ditunjuk di atas, yang kita identifikasi sebagai ekspansi eksistensi, disebut
‘pancaran paling suci’ (al-fayd al-aqdas). Cinta (hubb) merupakan prinsip pergerakan ontologis
yang memiliki sumber pada Esensi; cinta merupakan perantara yang dengannya diaktifasikan
pancaran pertama dan paling suci ini.282 Isi pancaran diketahui sebagai ‘potensialitas primordial’
(isti’dādāt asliyyah), yang menyusun bagian inheren dan esensial dari esensi-esensi atau arketip
tetap dan permanen yang tinggal dalam pengetahuan Ilahiyah. Istilah isti’dādāt, yang telah kita
terjemahkan sebagai ‘potensialitas’, bermakna tepatnya sebagai ‘kesiapan’ (preparedness); karena
mereka menunjuk kepada bagian terpilah yang esensial menyentuh kepada kondisi masa
depannya, yakni kondisi-kondisi yang menentukan sifat-dasar pokok dan nasib dari realitas atau
hal dimana mereka terdapat, sehingga realitas atau hal tersebut akan teraktualisasi dalam diri
sendiri, sebagaimana hal tersebut terbentang dari non-eksistensi kepada eksistensi, atas apa yang
menentukan bagian esensial yang telah dipersiapkan baginya untuk aktualisasi. Kesiapan
primordial, dipancarkan ke dalam masing-masing arketip atau esensi yang tetap, yang
menentukan sifat-dasar pokok dan nasib dari arketip sedemikian rupa sehingga hal tersebut akan
teraktualisasikan, dalam tahap perkembangan ontologis yang selanjutnya, dari apa yang telah
dipersiapkan baginya untuk aktualisasi. Dilihat dari sudut pandang realitas itu sendiri, dan dalam
hubungan apa yang mendahului mereka, yakni, pada ‘pancaran paling suci’ dari Being Absolut,
arketip permenan adalah begitu banyak penerima pasif (tung. qābil) dari sifat-dasar dan nasib
mereka yang ditentukan; dan karena peristiwa menentukan ini muncul dalam kondisi interior
non-eksistensi sebagaimana telah kita jelaskan, dan aktualisasi dari sifat-dasar dan nasib pokok
mereka dalam kondisi eksterior eksistensi masih belum merupakan peristiwa yang termanifestasi,
kita lihat aspek arketip permanen ini sebagai begitu banyak hal yang tidak terbatas dari
potensialitas dan kemungkinan dari being dan eksistensi eksterior. Namun, ketika dilihat dari sudut
pandang apa yang merupakan akibat bagi mereka, yakni, perkembangan mereka yang terpisah
sebagai arketip-arketip atau esensi-esensi eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah) yang membentangkan
diri mereka dalam tahap lanjutan penurunan ontologis ke dalam bentuk yang lebih dan lebih
konkret — yakni, ketika dilihat dari sudut pandang dari sifat-dasar dan nasib yang teraktualisasi
— arketip-arketip permanen atau esensi-esensi tetap itu tentu saja adalah begitu banyak penentu
aktif (tung. fā’il) dari sifat-dasar dan nasib masing-masing dan segala hal dalam eksistensi. Mereka
tidak lagi dilihat sebagai potensialitas dan kemungkinan, tetapi adalah aktualitas dan keniscayaan
akan being dan eksistensi. Dari sudut pandang ini, dilihat dari ‘bawah’, sebagaimana dikatakan,
dalam aspek mereka yang aktif, aktual dan niscaya, arketip permanen memroyeksikan sebuah
pancaran lanjutan dari Being Absolut yang disebut ‘pancaran suci’ (al-fayd al-muqaddas), yang
isinya, berhubungan dengan permintaan dari kesiapan atau potensialitas primordial yang
terkandung dalam pancaran yang lebih tinggi, ‘pancaran paling suci’, merupakan akibat tak
terpisahkan dan niscaya, kecocokan atau akibat (lawāzim) dan pengaruh yang menyertai (tawābi’)
yang berlanjut dari kesiapan primordial yang inheren dalam masing-masing arketip.283
Arketip-arketip tersebut sebagaimana telah kita kemukakan, tidak pernah meninggalkan
kondisi mereka dari being interior; mereka tinggal dalam tataran Tak Terlihat (al-ghayb) maupun
280
Lihat bab III, hlm. 131.
281
Hal ini merupakan kuiditas sejati, bukan kuiditas yang dipostulasikan secara mental.
282
Tradisi Suci: “Aku adalah sebuah harta tersembunyi dan Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan Makhluk sehingga
Aku mungkin diketahui.” Lihat juga karya Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 42; Ta’rīfāt hlm. 176-177.
283
Untuk definisi dari fayd al-aqdas dan fayd al-muqaddas lihat Ta’rīfāt, hlm. 176-177.

171 Prolegomena
intelejibel ada secara abadi a parte ante (qadīm) dalam kesadaran Ilahiyah.284 Sebagai kuiditas-
kuiditas sejati mereka merupakan bentuk-bentuk universal dari Nama-Nama Ilahiyah, dan
melalui mereka ‘pancaran paling suci’ pertama kali diakibatkan sebagai swa-manifestasi (tajallī)
pertama dari Being Absolut. Oleh karena itu mereka juga ‘loci’ atau ‘panggung manifestasi-diri’
(tung. mazhar) yang menerima pancaran pertama, dan yang diakibatkan Being Absolut melalui
Nama-Nama, al-awwal, ‘Yang Maha Pertama’, dan al-bātin, ‘Yang Maha Tersembunyi ke Dalam’.
Secara berhubungan, dan dalam tahap yang lebih rendah dari penurunan ontologis Being Absolut
menuju determinasi dan individuasi ke dalam bentuk yang lebih konkret, arketip eksterior (al-
a’yān al-khārijiyyah) menjadi loci atau panggung swa-manifestasi, yang menerima ‘pancaran suci’
(al-fayd al-muqaddas) yang kedua, yang diakibatkan oleh Being melalui Nama-Nama al-ākhir ‘Yang
Maha Terakhir’, dan al-zāhir, ‘Yang Termanifestasi ke Luar’. Dengan demikian Nama-Nama
‘Awal’ dan ‘Tersembunyi ke Dalam’ berada pada dunia interior dari eksistensi intelijibel; dan
Nama-Nama ‘Terakhir dan ‘Terwujud ke Luar’ berada pada dunia eksterior dari eksistensi
konkret dan individiual.
Dari penjelasan singkat ini, kita menurunkan kesimpulan bahwa terdapat dua jenis swa-
manifestasi dari Being Absolut — dua jenis ekspansi eksistensi; jenis interior dan eksterior. Jenis
interior merupakan ‘pancaran paling suci’ yang merupakan swa-manifestasi Esensi kepada aspek
dalaman-Nya kepada dunia yang Tak Terlihat; jenis eksterior merupakan ‘pancaran suci’ yang
merupakan swa-manifestasi Esensi kepada aspek luar-Nya dalam bentuk-bentuk arketip
permanen, yang pada gilirannya diproyeksikan melalui arketip eksterior dalam bentuk-bentuk
dari dunia yang terlihat.285
Nama-Nama Ilahiyah adalah sebagai penyebab yang akibatnya itu adalah eksistensi dalam
dunia intelijibel dan eksternal. Berkaitan dengan aspek ganda mereka, mereka dibagi menjadi dua
kategori yang berlawanan satu sama lain, yang satu memberi kesan atau menghasilkan akibat
(ta’thīr), yang mengandaikan bagian akan agen aktif (fā’il); yang lain menerima kesan yang
diberikan dan akibat yang dihasilkan, memainkan peran penerima pasif (qābil). Karena arketip
tersebut merupakan bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah (suwar al-asmā’), mereka juga
merefleksikan aspek ganda being yang di satu sisi mereka itu aktif, dan di sisi lain mereka
merupakan prinsip pasif dari eksistensi. Dipertimbangkan secara murni sebagai arketip (a’yān),
arketip permanen memainkan bagian dari prinsip aktif dalam hubungan dengan tahap lanjutan
‘penurunan’ ontologis dari Being Absolut, yakni, pada apa yang ‘di bawah’ mereka, atau lebih
pada aspek eksterior mereka, arketip eksterior, yang mengandaikan peranan dari prinsip pasif.
Dipertimbangkan sebagai realitas-realitas (haqā’iq), arketip permanen sebagai realitas hal-hal
(haqā’iq al-ashyā’) merupakan prinsip aktif dalam hubungan dengan realitas arketip eksterior
(haqā’iq al-a’yān al-khārijiyah) yang merupakan penerima dari prinsip eksistensial, yakni, ‘pancaran
suci’ (al-fayd al-muqaddas) dari Being Absolut, yang muncul ke hadapan melalui mereka. Arketip-
arketip permanen sebagai esensi hal-hal yang mungkin (a’yān al-mumkināt) atau sebagai hal-hal
yang mungkin (al-mumkināt), di sini menunjuk pada realitas hal-hal.
Kata-kata ‘hal-hal yang mungkin’ menunjuk kepada salah satu dari tiga modalitas being
atau eksistensi yang pertama kali dirumuskan ibn Sinā.286 Modus pertama eksistensi adalah
‘niscaya’ (wujūb), dan ini menunjuk kepada dua kategori ontologis: (i), kepada being yang
284
Kita telah menunjuk pada mereka sebagai ‘realitas ideal’ (ma’āni) dalam halaman 250 di atas. Mereka secara
analogis entah apa seperti realitas intelijibel yang inheren dalam Kecerdasan Aktif yang bentuknya diproyeksikan
dengan iluminasi pada jiwa manusia, tetapi realitasnya selalu tinggal dalam Kecerdasan Aktif. Dengan analogi yang
lain mereka itu seperti citra dalam imajinasi yang melayani intelek sebagai intelijibel potensial, dan yang menjadi
intelijibel aktual tanpa menjadi berubah atau dipindahkan dari lokus mereka dalam imajinasi. Lihat bab IV, hlm. 157.
285
Fusūs, hlm. 120.
286
Lihat Ishārāt, vol. III, hlm. 19; Metaphysica, hlm. 47-48; 316. Al-Ghazāli menyokong tiga modalitas being (Tahāfut,
hlm. 19) dan teolog sebelumnya (al-Juwaynī) dan setelah dia menerima mereka.

172 Prolegomena
eksistensinya niscaya oleh dirinya sendiri. Hal ini adalah Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlaq),
yang juga ditunjuk sebagai Eksistensi Niscaya (al-wājib al-wujūd); (ii), kepada being yang
eksistensinya itu niscaya oleh selain dirinya, dan hal ini merupakan eksistensi konkret dari dunia
hal-hal empiris yang eksistensinya diniscayakan oleh eksistensi dari yang Absolut. Modus kedua
eksistensi adalah ‘kemustahilan’ (imtinā’), dan hal ini menyentuh kepada non-eksistensi absolut
yang murni. Hal itu menunjuk kepada kategori logis seperti sebuah konsep yang dapat memiliki
makna sintaktis dan dapat dirumuskan dengan ungkapan linguistik yang tepat, tetapi yang tidak
dapat ada sebaliknya dalam aktualitas dan bahkan dalam kenyataan, seperti dua hal yang muncul
secara simultan yang berlawanan satu sama lain dalam tempat yang satu dan sama (cth. sebuah
‘lingkaran persegi’) atau sebuah penyamaan, lawan, atau rekan, dari Tuhan (cth. sharīk). Inti sifat-
dasarnya membutuhkan non-eksistensi sebagai sesuatu yang secara eksistensial mustahil. Modus
ketiga eksistensi adalah ‘kemungkinan’ (imkān), dan ini menunjuk pada entitas-entitas dalam
kondisi being non-maujud secara eksternal, tetapi meskipun demikian eksistensinya dalam kondisi
interior diakui. Hal itu menunjuk kepada realitas-realitas yang ada dalam kondisi interior, dan
yang esensi-esensinya tidak dapat teraktualisasi dalam eksistensi eksternal. Hal ini entah apa
seperti gagasan filsuf tentang kemungkinan objektif, kecuali dalam kasus filsuf, di mana mereka
meluruskan teori mereka tentang kemungkinan objektif dengan teori mereka tentang keabadian
dunia dan teori-teori persekutuan. ‘Hal-hal yang mungkin’, ketika menjadi teraktualisasikan
sebagai eksistensi eksternal, ada di bawah kategori being yang eksistensinya niscaya oleh selain
dirinya, seperti pada (ii) di atas. Lebih lanjut, tidak seperti filsuf yang percaya bahwa Tuhan
merupakan agen niscaya, hal-hal yang mungkin dalam kasus ini teraktualisasi bukan akan
keniscayaan; Kehendak Ilahiyahlah yang menentukan aktualisasi mereka sebagai eksistensi
eksternal.
Semua modus being atau eksistensi tersebut pada faktanya merupakan putusan intelektual;
meskipun jika tidak ada intelek untuk memutuskan mereka sedemikian, objek putusan tersebut
tidak serta merta berhenti berada, karena dalam beberapa kasus mereka akan tetap tinggal dalam
eksistensi. Dalam kategori kemustahilan (mumtani’āt), contohnya, rekan, atau asosiasi, atau lawan
dari Tuhan (sharīk) adalah kemustahilan yang murni, karena itu hanya ada dalam intelek; jika
tidak ada intelek untuk menerima dan memutuskannya sedemikian, eksistensinya itu tidak lagi
mungkin. Hal tersebut secara alamiah adalah konseptual, yang ada hanya dalam kesadaran dan
ungkapan. Karenanya kemustahilannya adalah absolut. Tapi terdapat kelas lain kemustahilan
yang tidak hanya konseptual dalam alam, dan kelas kemustahilan ini yang tidak hanya
konseptual dalam alam, menunjuk kepada realitas, yang masing-masingnya teguh (thābiţ) dalam
dirinya sendiri (fi nafs al-amr), seperti bentuk-bentuk tersebut dari Nama-Nama Ilahiyah yang
datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip, Yang Tersembunyi ke Dalam (al-bātin),
yang tetap abadi dalam Yang Tak Terlihat (al-ghayb), yang selamanya disembunyikan dari
eksistensi luar dalam kondisi interior (bātinah). Mereka merupakan lawan dari bentuk-bentuk
Nama-Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip, Yang
Terwujud ke Luar (al-zāhir), yang berkembang ke dalam sisi eksterior atau manifestasi dalam
eksistensi. Sebagai kebalikan dari bentuk eksterior, tidaklah mungkin bagi bentuk-bentuk interior
untuk menerima pancaran — yakni, dalam kasus ini, ‘pancaran paling suci’ — yang akan
mengembangkan mereka ke dalam manifestasi eksterior. Pemilahan antara kelas kemustahilan ini
dan kelas yang modus akan being atau eksistensinya ditujukan sebagai non-eksistensi murni, atau
‘adam mahd, adalah bahwa yang kemudian, sebagai bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah yang
datang di bawah pengaruh (haytah) hati-hati dari Nama Prinsip, Yang Terwujud ke Luar, yang
dapat menerima ‘pancaran paling suci’ yang akan mengembangkan mereka ke dalam manifestasi
eksterior; sedangkan bentuk-bentuk dari yang terdahulu, yang secara alamiah tersembunyi ke

173 Prolegomena
dalam, tidak dapat menerima pancaran yang dapat mengembangkan mereka kepada manifestasi
ke luar. Hanya yang mungkin (mumkināt), yang merupakan bentuk dari Nama-Nama Ilahiyah
yang datang di bawah pengaruh dari Nama prinsip, Yang Terwujud ke Luar, yang menerima
pancaran, baik ‘yang paling suci’ dan yang ‘suci’, yang mengembangkan mereka pada manifestasi
ke luar dan eksistensi eksternal.
Ekspansi eksistensi dalam pelbagai derajat being sebagaimana telah kita jelaskan dari
halaman 253 di atas hingga halaman ini dapat diskematisasi dalam diagram yang ditunjukkan
pada halaman selanjutnya.287 Pada esensi-esensi hal-hal yang mungkin (al-a’yān al-mumkināt),
mereka dibagi menjadi dua kategori; yang substansial (jawhariyyah), dan yang aksidental
(‘aradiyyah). Kita catatkan sebelumnya bahwa arketip-arketip permanen atau esensi-esensi yang
tetap merefleksikan dalam sifat-dasar mereka aspek ganda dari Nama-Nama Ilahiyah sebagai
agen aktif (fā’il) dan penerima pasif (qābil) dari eksistensi.288 Dipertimbangkan sebagai esensi-
esensi hal-hal yang mungkin, arketip permanen menunjuk pada isi mereka, yang dibagi secara
kategoris ke dalam substansi (jawhar), dan aksiden (‘arad).

287
Dalam skema ini, Esensi tersebut ada pada tingkatan eksistensi yang secara absolut tidak dikondisikan (cth. lā bi
shart). Eksistensi I, II dan II menunjuk secara berturut-turut kepada tingkatan eksistensi yang merupakan, I:
dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’); II: tidak dikondisikan oleh
ketidakberhubungan dengan apapun (lā bi shart shay’); dan II: dikondisikan oleh sesuatu (bi shart shay’). Lihat catatan
266 di atas.
288
Lihat hlm. 253-254 di atas.

174 Prolegomena
Skema Penurunan Ontologis dari Wujud Absolut

Esensi

Interior

Wujud Absolut
Eksterior
Non-Manifestasi
Eksistensi I
Interior
Keesaan Ilahiyah
Eksterior

I Pancaran Paling Suci

Interior
Kesatuan Ilahiyah Determinasi ke-1

Eksterior

Nama-Nama & Interior


Sifat Determinasi ke-2
Eksterior
Eksistensi II
Interior
Arketip-Arketip
Permanen Determinasi ke-3
Eksterior

II Pancaran Suci

Interior
Arketip-arketip
Eksterior Determinasi ke-4
Eksterior

Eksistensi III
Interior
Dunia Benda-
Benda Empiris Determinasi ke-5
Eksterior

175 Prolegomena
Substansi, dengan sebab swa-keberadaan mereka yang independen dalam hubungan
dengan aksiden itu, ditujukan sebagai realitas yang mendahului (matbū’); sedangkan aksiden itu,
dengan sebab ketergantungan mereka kepada substansi, secara berhubungan ditujukan sebagai
realitas (tābi’) yang diakibatkan. Ketika substansi ada sebagai intelejibilia dalam modus eksistensi
intelijibel (wujūd ‘ilmī), mereka mengambil bentuk kecerdasan (‘uqūl) murni, dan jiwa (nufūs)
murni — yakni, kecerdasan dan jiwa dari mana semua bentuk material dan relasi ragawi adalah
substracted ( tung. mujarrad). Ketika mereka ada sebagai sensibilia dalam modus eksistensi
konkret dan individiual (wujūd ‘aynī), mereka mengambil bentuk tubuh yang sederhana (ajsām
basīt). Ketika substansi dan aksiden ada bersama dalam bentuk campuran (murakkab), mereka
menyusun Tiga Kerajaan Alam (mawālīd al-thalāthah); dunia hewan, tumbuhan, dan mineral.
Setiap substansi dan aksiden tersebut disebarkan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan
mereka semua ada di bawah klasifikasi dalam tiga tingkatan genus (ajnās: tung. Jins): yang
tertinggi (‘āliyah); pertengahan (mutawassitah); dan yang terendah (sāfilah). Setiap genus itu lebih
lanjut diklasifikasikan menjadi pelbagai tingkatan, dimana masing-masing berdasarkan pada
kapasitas dan kebutuhannya sebagai sebuah ‘panggung’ manifestasi (mazhar: cth dari Being
Absolut), yang menerima pancaran yang akan mengembangkannya kepada aktualisasi
berdasarkan kepada kapasitas yang inheren dan kebutuhannya, dan untuk mengguncang —
yakni, kekuatan memanifestasi yang membawanya ke dalam eksistensi konkret dan eksternal —
dari Nama Ilahiyah yang menunjukkan kehati-hatian atasnya. Nama-Nama Ilahiyah itu hal ini
diri mereka sendiri diklasifikasikan berdasarkan derajat yang berbeda dari tingkatan yang
berhubungan dengan perbedaan dalam kapasitas dan kebutuhan akan substansi dan aksiden
yang menyusun pelbagai hal-hal yang banyak dari dunia empiris.289 Dengan demikian genus
tertinggi yang digolongkan sebagai ‘yang tertinggi’ datang di bawah pengaruh hati-hati dari
Nama prinsip ‘Yang Maha Pertama’ (al-awwal); ‘Yang Maha Tersembunyi ke Dalam’ (al-bātin);
‘Yang Terwujud di Luar’ (al-zāhir); dan ‘Yang Maha Terakhir’ (al-ākhir); genus yang digolongkan
sebagai ‘pertengahan’ tersebut datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-Nama yang lebih
rendah dalam derajat tingkatan dari yang prinsip di atasnya; dan genus yang terendah yang
digolongkan sebagai ‘yang terendah’ datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-Nama yang
bahkan lebih rendah dalam derajat tingkatan daripada yang ada di atas mereka. Dalam cara ini
Nama-Nama Ilahiyah menggunakan pengaruh hati-hati mereka, yang berdasarkan tempat
mereka yang terhormat dari tingkatan, menjangkau pelbagai genus dari realitas; dari golongan
tertinggi menurun pada pelbagai spesies di golongan yang paling rendah, namun sementara
dipengaruhi juga oleh hubungan kapasitas dan kebutuhan dari realitas mereka sendiri, masing-
masing itu berdasarkan pada potensialitas atau kesiapan yang inherennya sendiri. Tatanan
ontologis dari tiga genus yang berhubungan secara berturut-turut pada: (1) Dunia Arketip
Permanen (‘ālam al-a’yān al-thābiţah), atau Dunia Gagasan Ilahiyah, dimana swa-manifestasi dari
Yang Absolut kepada diri-Nya sendiri memunculkan bentuk-bentuk dari semua maujud yang
mungkin membuat penampakan mereka in potentia dalam kesadaran dari Yang Absolut; (2) Dunia
Ruh (‘ālam al-arwāh); dan (3) Dunia Indera dan Pengalaman Inderawi (‘ālam sl-shahādah).290
Ketika panggung-pangggung manifestasi berada pada spesies dari tubuh sederhana,
contohnya, Nama-Nama Ilahiyah yang menunjukkan kekuatan pengaktualisasian terhadap

289
Fusūs, hlm. 79; 152.
290
Harus dicatat bahwa istilah logis umum seperti ‘genus’, ‘spesies’, diferensia’ dan yang semisalnya seperti ‘universal’
sebagaimana kita gunakan di sini tidak untuk dimengerti berdasarkan makna kontekstual mereka dalam tradisi filsuf
Yunani. Kita memahami mereka bukan hanya sebagai nama-nama atau konsep-konsep, tetapi sebagai realitas atau
entitas sejati (ma’ānī). Yang ‘universal’ adalah entitas sejati, sehingga sedemikian — bahkan jika mereka
mengandaikan karakter dari universal dalam beberapa hal — mereka tidak cukup sama sebagai Universal Platonis,
karena mereka tanpa kecuali merupakan esensi partikular atau individual (a’yān).

176 Prolegomena
mereka itu beroperasi dalam bentuk-bentuk partikular (khāss) dan ditentukan (ma’ayyan). Dalam
kasus campuran, masing-masing bentuk tersebut begitu tercampur menjadi sebuah panggung
manifestasi dari kombinasi Nama-Nama Ilahiyah yang bertindak bersama sebagai sebuah
kesatuan yang berhubungan dengan sifat-dasar partikular dari bentuk gabungan tersebut. Dalam
kasus individual (ashkhās), dalam partikular yang memiliki swa-kesadaran, kelas tertinggi sebagai
manusia, masing-masing merupakan panggung manifestasi (mazhar) dari sebuah kombinasi
antara kombinasi Nama-Nama Ilahiyah yang beroperasi dalam bentuk campuran. Dalam kasus
manusia, dan secara khusus seseorang dibimbing dalam jalur yang benar dalam agama sejati,
masing-masing menjadi panggung ‘manifestasi halus’ (raqā’iq tung. raqīqah) yang menanamkan
kepadanya pengetahuan misteri (asrār) Ilahiyah yang membimbing mereka dalam tahap yang
bergantian dari perjalanan mereka menuju Kebenaran. Dengan cara ini, dari puncak tertinggi
tataran ontologis menurun kepada tingkatan paling rendah dari being dan eksistensi, dari
‘universal’ ke partikular, Nama-Nama Ilahiyah tersebut memenuhi tujuan mereka, dalam
mengaktualisasikan semua eksistensi yang mungkin yang ada in potentia dalam kesadaran
Ilahiyah, dalam proses abadi dan dinamis.
Penjelasan singkat ini tentang sifat-dasar esensi-esensi hal-hal yang mungkin dan
perkembangan dan aktualisasi mereka sebagai dunia indera dan pengalaman inderawi dapat
diuraikan dalam bentuk skema pada halaman 264.

177 Prolegomena
I Esensi-Esensi dari Hal-Hal yang Mungkin

Substansi Aksiden
Diklasifikasikan menjadi tiga golongan genus: yang tertinggi;
pertengahan; terendah; di bawah pengaruh hati-hati dari Nama-
Nama Ilahiyah: Yang Pertama; Yang Tersembunyi di Dalam;
Yang Terwujud di Luar; Yang Terakhir berturut-turut, dan
Nama-Nama di bawah ini dalam derajat tingkatan; masing-
masing derajat berhubungan pada masing-masing golongan
dalam tatanan yang bergantian. Tiga tingkatan yang
berhubungan berturut-turut:
I. Dunia Arketip-Arketip
II. Dunia Ruh
III. Dunia Indera dan Pengalaman Inderawi.

II

Eksistensi Eksistensi
Intelejibilia Konkret
Intelijibel Sensibilia

Kecerdasan Tubuh Sederhana


Dan Jiwa Murni

Campuran

III

Hewan (Genus) Tumbuhan Mineral

Spesies Spesies Spesies

Jenis dan Jenis dan Jenis dan


Individual Individual Individual

178 Prolegomena
Untuk meringkas, realitas merupakan bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah
yang dipertimbangkan dalam aspek mereka akan perbedaan. Sedemikian mereka merupakan
esensi-esensi yang secara permanen dibangun sebagai arketip-arketip dalam kondisi interior
Being. Dalam hal pada sifat-dasar mereka di dalam kerangka-kerja ontologis tersebut, mereka
merupakan kategori metafisis ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi. Dalam kerangka-kerja
dari tataran ontologis ini mereka menempati sebuah posisi pertengahan antara dua pancaran dari
Being Absolut yang serupa dengan jenis interior dan eksterior dari ekspansi Eksistensi. Dalam hal
pada keberadaan mereka dalam tatanan ontologis, mereka bukan hal yang abadi maupun
sementara, yang secara sinambung diperbaharui dalam bentuk dan identitas asali mereka,
sedemikian rupa mereka itu, dalam hal identitas mereka, yang secara permanen dibangun, dan
namun, dengan hal kepada potensialitas inheren mereka, mereka berkembang dalam perubahan.
Dalam hal kepada hubungan ontologis mereka dengan apa yang sesudahnya bagi mereka dan apa
yang mendahului mereka, mereka itu di satu sisi aktif dan di sisi lain adalah prinsip pasif dari
eksistensi konkret. Dari sudut pandang filsafat skolastik, mereka itu sebagai ‘universal’ dengan
mana ‘partikular’ menjadi diindividualisasikan. Sebagai esensi-esensi hal-hal yang mungkin, dan
dalam istilah Categories, mereka itu di satu sisi substansi dan di pihak lain aksiden; sebagai
substansi mereka merupakan realitas yang mendahului, dan sebagai aksiden mereka merupakan
realitas yang diakibatkan. Dengan memandang pada modus being mereka, mereka itu mungkin di
satu pihak dan niscaya di pihak lain. Dalam istilah sebagai esensi-esensi, mereka itu kuiditas-
kuiditas sejati yang pengendalian kekuatannya menyesuaikan dengan sifat-dasar mereka, akibat
dan kebiasaan, dan akibat yang menghasilkan dunia ruhani, citra, hal-hal inderawi, dan entitas
mental (cth. imajinasi), dimana semua ada dalam tatanan menurun secara berturut-turut.
Akhirnya, dalam hal kepada sifat-dasar esensial mereka mereka itu identik dengan realitas
eksistensi dalam hal substansi, tapi berbeda darinya dan yang lain di antara diri mereka sendiri
dalam hal individuasi.

179 Prolegomena
VII
DERAJAT-DERAJAT EKSISTENSI
Kata ‘eksistensi’ secara umum dipahami untuk menunjuk sebuah konsep dasar dan
universal yang padanya tidak ada realitas yang berhubungan yang disebut ‘eksistensi’ ditemukan
di dunia eksternal. Apa yang ditemukan dalam dunia eksternal yang dikatakan ‘ada’ merupakan
hal-hal yang secara pokok dapat direduksi pada ‘kuiditas’ atau ‘esensi’ individual mereka yang
diterima pikiran sebagai realitas independen pada dirinya sendiri, dan padanya hal tersebut
dilekatkan sebagai bagian mereka dimana entitas konseptual disebut ‘eksistensi’. Pikiran, ketika
menerima hal-hal dunia eksternal, mempertimbangkan hal-hal pada dirinya sendiri seolah-olah
mereka ‘sedang-disana’ (i.q. thamma) itu berkaitan dengan sifat-dasar intrinsik mereka, yakni,
‘kuiditas’ atau ‘esensi’ mereka. Pikiran mampu mengabstraksi apa yang dianggap sebagai entitas
konseptual, yakni ‘eksistensi’, dari hal-hal dan bertindak terhadapnya dan menampilkan
pembagian dan pembatasan mental ke dalam ikatan spesifik, yang membagi secara adil masing-
masing konfigurasi dari entitas konseptual yang disebut ‘eksistensi’ ini untuk berhubungan
dengan hal-hal individual dari dunia eksternal sedemikian sehingga masing-masing dan setiap
mereka dapat dikatakan ‘ada’. ‘Eksistensi’ dalam pemahaman umum istilah tersebut merupakan
sebuah entitas konseptual yang ‘ada’ hanya dalam pikiran’; ‘eksistensi’ merupakan konsep
abstrak dan umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan hal-hal
dan secara alamiah adalah statis atau pasif; ‘eksistensi’ merupakan sebuah intelijibel sekunder.
Tetapi ‘eksistensi’ dapat juga dipahami bukan hanya menunjuk kepada sebuah entitas
konseptual yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal, tetapi kepada sebuah
realitas ontologis yang ada di dunia eksternal yang independen dari pikiran, dan sehingga karena
hal tersebut ‘menjadi-maujud’ secara eksternal hal tersebut menciptakan pengaruh dalam pikiran
yang menghasilkan konsep ‘eksistensi’ dengan mana pikiran mengualifikasikan hal-hal yang
diterima di dunia eksternal. Kita menunjuk kepada pemahaman kedua terhadap istilah
‘eksistensi’ ini, yang tidak dapat dikonseptualisasikan sebab hal tersebut bukan sebuah universal,
sebagai realitas eksistensi untuk membedakannya dari konsep eksistensi. Tidak seperti rekan
pendamping konseptualnya, realitas eksistensi itu aktif; realitas eksistensi merupakan entitas yang
sadar, dinamis, dan kreatif, yang mengartikulasikan dari dalam dirinya sendiri pengungkapan
diri dengan kemungkinan yang tak terhingga dalam gradasi analogis pada tingkatan ontologis
yang berbeda dalam modus partikular dan individual yang nampak sebagai hal-hal terpisah
dalam dunia yang terlihat maupun dunia yang tak terlihat. Makna sejati dari kata ‘eksistensi’
sebagai sebuah realitas objektif menyentuh pada pemahaman kedua terhadapnya ini, dan berlaku
kepada Tuhan hanya dalam pengertian ini.291 Dalam penjelasan kita tentang derajat-derajat
eksistensi dalam halaman-halaman selanjutnya, kita akan berkonsentrasi kepada pengertian
kedua dari ‘eksistensi’ ini yakni, eksistensi sebagai sebuah entitas nyata dan maujud yang
pengaruhnya menjadi termanifestasi kepada rasio dan pengalaman kita.
Eksistensi sebagai realitas, dan bukan sebagai konsep, merupakan inti esensi Realitas
Tertinggi. Realitas tertinggi ini adalah Allāh. Dipertimbangkan dalam inti Esensi-Nya Dia
diketahui hanya pada diri-Nya sendiri, karena dipertimbangkan sebagaimana Dia dalam diri-Nya
sendiri Dia itu transenden secara tidak dikondisikan. Dengan ‘transenden secara tidak
dikondisikan’ kita ingin mengandung makna bahwa Dia ada dalam derajat isolasi sepenuhnya
291
Lihat Nūr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Jāmī, dalam karyanya Lawā’ih, dalam Majmū’ah Mullā Jāmī, Istanbul, 1309H.,
hlm 14; juga Lawā’ih, diterjemahkan oleh E.H. Whinfield dan Mirza Muhammad Kazvini, Royal Asiatic Societ, v,
1928, hlm. 13: XIV. Dielaborasikan lebih lanjut dalam karyanya Al-Durrah al-Fākhirah, (dalam edisi dari N. Heer dan
A. Musavi Bahbahani), Tehran, 1980, hlm. 2: 5; dan terjemahan Jāmī sendiri pada bagian itu, hlm. 54-55).

180 Prolegomena
sedemikian rupa yang tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā
shay’), maupun dikondisikan dengan indeterminasi dalam pengertian tidak dibatasi oleh
ketidakberhubungan dengan apapun tetapi bebas untuk menautkan dengan hal-hal individual (lā
bi shart shay’).292 Kita hanya dapat mengatakan bahwa Realitas Tertinggi tersebut dipertimbangkan
dalam inti Esensi-Nya tidaklah dikondisikan oleh kondisi apapun (lā bi shart).293 Hal ini berarti
bahwa realitas eksistensi pada tingkatan Realitas Tertinggi bahkan tidak dapat dipertimbangkan
sebagai absolut (mutlāq), karena eksistensi pada tingkatan tersebut ada di atas kualifikasi
keabsolutan (ītlāq)294 dengan sebab fakta bahwa kualifikasi sedemikian sudah sebuah kondisi yang
menkhususkan eksistensi pada kecenderungan tertentu, dan merupakan seperti jenis pembatasan,
sebuah keterbatasan (taqyīd) di antara kondisi dibatasi yang dipostulasikan secara mental dalam
pelbagai derajat dari eksistensi intelijibel dan inderawi. Dalam pandangan hal ini sifat-dasar
Realitas Tertinggi sebagai tidak dikondisikan oleh kondisi apapun itu, berbicara secara ketat, tidak
dikondisikan bahkan oleh transendensi, dan tidak pernah dapat dicapai oleh pengetahuan dan
kognisi kita, dan tetap secara abadi tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-
Nya sendiri. Kita menunjuk pada derajat pertama dan tertinggi dari eksistensi ini sebagai aspek
swa-penyembunyian Realitas Tertinggi, sebagai Diri terdalam-Nya dan inti Esensi (al-dhāt) yang
disebut dalam tradisi suci sebagai ‘Kabut Gelap’ (al-’amā’) dan ‘Harta Tersembunyi’ (kanz
makhfiyy).295
Tapi realitas eksistensi, dengan sebab sebagai apa hal tersebut adanya, yakni, sebagai
dirinya yang termanifestasi dan membawa segala hal yang lain ke dalam manifestasi, harus
dipostulasikan memiliki derajat-derajat (marātib) swa-manifestasi; jika tidak demikian tidak ada
yang akan terwujud sebagai diadakan dan, lebih lanjut, derajat swa-persembunyiannya juga tidak
pernah akan diketahui sebagai yang tidak dapat diketahui. Dengan demikian kendati akan
persembunyian penuh darinya, terdapat aspek darinya yang cenderung menuju swa-manifestasi.
Ketika kita katakan, menyebut kepada tradisi suci: “Aku adalah Harta Tersembunyi dan Aku
cinta dikenali, maka Aku ciptakan Makhluk sehingga Aku mungkin dikenali,” ‘Harta
Tersembunyi’ menunjuk pada aspek swa-persembunyian dari Realitas Tertinggi, ‘yang cinta
dikenali’ sudah menyiratkan sebuah kecenderungan yang menunjuk terhadap aspek swa-
pengungkapan-Nya. Dalam aspek ini Dia sudah dikuasai, seperti sebelumnya, oleh cinta (hubb),
yang merupakan prinsip pergerakan ontologis yang termanifestasi dalam ciptaan. Ciptaan,
sebagai pengujian dari apa yang sekaligus benar dan nyata, merupakan tindakan eksistensiasi

292
Lihat bab VI; hlm. 221-224, dan referensi pada catatan kaki di dalamnya.
293
Lihat karya ‘Abd al-Razzāq al-Qāshānī, Sharh ‘alā Fusūs al-Hikam, Cairo 1966, hlm. 4. Apa yang dimaksud dengan
lā bi shart di sini adalah bahwa yang bahkan ada di atas sebagai dikondisikan oleh ketidakkondisian; hal itu adalah
yang secara absolut tidak dikondisikan. Lihat juga karya ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī, Naqd al-Nusūs Tehran, 1977, hlm.
20, terjemahan 4.
294
Cth. kami maksud dengan sebagai absolut dan memiliki keabsolutan dalam pengertian sebagaimana digunakan
kepada alam universal. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 272-273 dan catatan 298 dan 299.
295
Tradisi tersebut cukup dikenal. Tradisi al-‘amā’ dilaporkan oleh al-Tirmidhī menunjuk pada komentar pada sūrah
11: 1, dalam Al-Jāmī al-Sahīh, Cairo, 1938, vol. IV, 44, no: 5109; oleh ibn Majah dalam karyanya Sunan, Cairo, 1952,
vol. I, Muqaddimah, 13, no: 182; oleh ibn Hanbal dalam karyanya Musnad, Cairo, 1313H., vol. IV, hlm. 11 dan 12. Al-
Jurjānī dalam karyanya Ta’rīfāt mengatakan bahwa al-‘ama’ menunjuk pada derajat Keesaan (ahadiyyah). Referensi
ini dari edisi Flugel, Beirut, 1969, hlm. 163. Al-Jili dalam karyanya Al-Insān al-Kāmil, Cairo, 1956, vol. I, hlm. 50,
mengatakan bahwa ini berhubungan dengan Keesaan. Tradisi al-kanz al-makhfiyy dilaporkan oleh al-Baghawī
sebagaimana disampaikan oleh Mujāhid. Hal itu berputar di sekitar komentar terhadap ayah 56 dari sūrah 51.
Transmisi oleh Mujāhid dalam sebuah komentar pada Qur’ān dari Abū al-Su’ūd al-‘Imādī ditemukan dalam pinggiran
dari karya al-Rāzī Tafsīr al-Kabīr, vol. VII dalam edisi Beirut dari 1342H., hlm. 777. Al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr
juga menyebutkannya dalam lima pertanyaan dalam jalur komentar atas ayat yang sama (hlm. 660). Tradisi ini
dilaporkan oleh hampir semua orang suci dan orang bijaksana yang terkenal. Al-Jurjānī (op.cit) mengatakan bahwa al-
kanz al-makhfiyy menunjuk pada Diri terdalam, ke-dalam-an absolut dan persembunyian sepenuhnya akan Tuhan
dalam derajat Keesaan (hlm. 197).

181 Prolegomena
dari aspek swa-manifestasi Realitas Tertinggi, dan dalam aspek kreatif ini Dia disebut dengan
nama yang menandakan baik Kebenaran dan Nyata (al-haqq).296
Dari penjelasan singkat di atas, dan sebagaimana dikonfirmasi oleh Wahyu suci hal
tersebut sebagai bukti bahwa Realitas Tertinggi memiliki dua aspek: yang ke-dalam (inward),
interior, aspek swa-persembunyian (al-bātin), dimana bahkan tidak ada jejak penggerak awal dari
artikulasi internal manapun yang terlihat dari sudut pandang kognisi manusia meskipun hal itu
merupakan inti pijakan dari Being; dan yang bagian ke-luar (outward), eksterior, aspek swa-
manifestasi (al-zāhir), dimana kecenderungan menuju swa-manifestasi diawali oleh kesadaran
akan hasrat atau cinta untuk dikenali. Kedua aspek tersebut adalah diharmonisasi di dalam
Realitas Tertinggi, yang ke-dalam-annya (inwardness) itu identik dengan ke-luar-annya
(outwardness).297 Eksistensi di sini, seperti telah kita katakan, merupakan eksistensi pada derajat
pertama, yang memiliki dua aspek yang berhubungan dengan sisi interior dan swa-
persembunyian ‘Kabut Gelap’ dari tradisi suci, yang kadang-kadang juga ditunjuk sebagai inti
Esensi itu sendiri dari Realitas Tertinggi (al-dhāt) yang dikarakteristikkan dengan sebuah Keesaan
absolut sepenuhnya (ahadiyyah mutlāqah); dan sisi eksterior dan swa-manifestasi ‘Harta
Tersembunyi’ dari tradisi yang sama, yang cenderung menuju swa-manifestasi dalam alam Yang
Tak Terlihat (al-ghayb) dan yang, meskipun hal itu tetap dipertimbangkan sebagai dalam Keesaan
abstrak dari ahadiyyah, adalah tidak cukup sama sebagai Keesaan absolut sepenuhnya yang telah
disebutkan sebelumnya sebagai ahadiyyah mutlāqah. Hal ini karena pada aspek kedua inilah sudah
terkandung kemungkinan tak terhingga akan determinasi dalam pelbagai bentuk tak terbatas.
Kini aspek yang kemudian ini pada dirinya sendiri dikarakteristikkan dengan interioritas dan
eksterioritas yang serupa dengan aspek sebelumnya. Ketika kita memandang Keesaan abstrak
yang kemudian ini dalam aspek eksterior dan swa-manifestasi, hal itu disebut Eksistensi Absolut
(al-wujūd al-mutlāq). Modusnya dalam aspek eksterior ini tetaplah tidak dikondisikan oleh apapun
itu (lā bi shart), dalam pengertian bahwa hal itu tidak terlibat dalam determinasi apapun, tetapi
siap untuk memanifestasikan dirinya dalam determinasi. Aspek eksterior derajat pertama
eksistensi ini merupakan pusat kemungkinan tak terhingga akan determinasi; hal tersebut
merupakan sumber aktifitas penciptaan dan prinsip keanekaragaman. Istilah ‘absolut’, dalam
pengertian yang kita maksud di sini, menunjuk kepada sebuah modus abstraksi murni, yang
entah apa seperti aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, yang kadang-kadang disebut
‘alam semesta’ (kullī tabī’ī);298 kecuali bahwa di sini kita menunjuk kepada eksistensi, bukan
kuiditas, dan kepada eksistensi yang bukan hal konseptual atau mental tetapi nyata, yang tidak
statis atau pasif karena dinamis atau aktif. Jadi ketika kita menyamakan derajat Eksistensi Absolut
ini kepada aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, kita tidak dengan demikian
memaksudkan bahwa Eksistensi Absolut, dengan sebab keabsolutannya, adalah identik dengan
alam semesta. Hal ini karena sifat-dasar alam semesta, sebagaimana dipahami teolog dan filsuf
secara umum, dan apakah itu diberlakukan pada kuiditas atau eksistensi, adalah dipahami
sebagai hal mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal (teolog),
atau hal itu merupakan hal yang baik mental dan juga nyata dan memiliki realitas yang
berhubungan di dunia eksternal (filsuf), dalam pengertian bahwa kata ‘nyata’ dan ‘realitas’ di sini
ditunjukkan secara esensial kepada kuiditas-kuiditas yang dipertimbangkan sebagai realitas yang
berbeda, dan bukan kepada eksistensi.299 Kita tidak mengakui bahwa Eksistensi Absolut, dengan

296
Terdapat banyak referensi dalam Qur’ān yang menyentuh pada tindakan penciptaan oleh Tuhan dimana tindakan
penciptaan diselesaikan ‘oleh kebenaran’ (bi al-haqq). Lihat untuk contoh Al-An’ām (6): 73; dan Ibrāhīm (14): 19.
297
Al-Hadīd (57): 3.
298
Lihat bab VI, hlm. 237, catatan 266.
299
Untuk argumen dari teolog terhadap filsuf dan Sūfī, lihat untuk contoh, Karya al-Taftāzānī Sharh al-Maqāsid, ‘Ālam
al-Kutub, Beirut, 1989, 5 vol.; vol. I, hlm. 335-341.

182 Prolegomena
sebab keabsolutannya, adalah identik dengan alam semesta dalam pengertian yang disebutkan di
atas. Hal ini karena kita di sini tidak berbicara tentang eksistensi sebagai entitas konseptual, yang
karakteristiknya diatur oleh pertimbangan mental yang menyentuh pada universal. Karena kita
berbicara tentang eksistensi sebagai sebuah realitas objektif dan aktif yang independen dari
pikiran, apa yang dimaksudkan dengan ‘keabsolutan’ Eksistensi Absolut adalah bahwa hal itu
tidak memiliki determinasi (ta’ayyun) atau individuasi (tashakhkhus) yang tidak konsisten dengan
determinasi atau individuasi dimana hal itu terlibat dalam samaran dari esensi-esensi yang
muncul dalam pelbagai tingkatan dan derajat ontologis. Hal ini berarti bahwa hal tersebut tidak
memiliki sebuah individuasi berdasarkan dengan karakteristik esensi individual manapun yang
menghalanginya secara simultan juga diindividuasikan berdasarkan dengan karakteristik esensi-
esensi individual lain tanpa multiplisitas atau perubahan apapun muncul dalam esensinya
sendiri. Keabsolutan sedemikian, yang mustahil dalam kasus alam semesta dipertimbangkan
sebagai entitas mental, tidak membuat mustahil bagi Eksistensi Absolut untuk diindividuasikan
dalam dirinya sendiri, dalam sebuah cara individuasi yang bebas dari gagasan universalitas,
seperti individuasinya sebagai Tuhan, untuk contohnya.300
Kini Eksistensi Absolut dalam aspek eksteriornya pada gilirannya merupakan aspek
interior dari tahap perkembangan ontologis yang secara segera mengikuti, yakni determinasi
umum (ta’ayyun jāmi’), yang kadang-kadang juga disebut ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘āmm),301 yang
terkandung di dalam dirinya sendiri semua manifestasi aktif, niscaya, dan makhlukiah. Tahap
perkembangan ontologis ini diakibatkan oleh pancaran paling suci dari eksistensi (al-fayd al-aqdas),
yang merupakan ekspansi tunggal eksistensi dalam cara umum yang mengandung di dalam
dirinya manifestasi dari pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang mungkin dalam
dunia yang tidak terlihat maupun pada dunia yang terlihat, seperti manifestasi aktif, niscaya,
ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen dan maklukiah. Hal ini merupakan derajat kedua
eksistensi dan merupakan manifestasi pertama dari realitas eksistensi, sehingga disebut tahap
determinasi pertama dari eksistensi (ta’ayyun awwal).302 Kita dapat menskematisasi penjelasan di
depan dengan diagram berikut:

300
Jawaban Jāmī pada argumen dari teolog dinyatakan pada catatan 299 di atas ditemukan, untuk contoh, dalam
pernyataan pendek yang berjudul Risalāh fi al-Wujūd, yang telah diedit oleh N. Heer dalam Islāmic Philosophical
Theology, ed. Parvis Morewedge, SUNY, Albany, 1979, hlm. 223-256. Untuk teks bahasa Arab, lihat hlm. 248-256.
Dengan referensi pada apa yang telah kita nyatakan di atas, lihat hlm. 250 (14). Lihat juga referensi dalam catatan 291,
di atas.
301
Lihat Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 35, terjemahan 27.
302
Kata ‘ayn bermakna ‘entitas’. Ta’ayyun adalah berbicara secara ketat sebuah ‘entifikasi’, karenanya itu merupakan
sebuah determinasi sebagai sebuah entitas. Pasangan dari yang berlawanan tersusun dalam Nama-Nama Ilahiyah dan
Sifat dalam aspek mereka tentang perbedaan dari-Nya. Mereka ada dalam operasi sinambung dan tidak mungkin
berhenti dalam di antara mereka semua. Untuk makna ‘ayn, lihat lebih lanjut bab VI, hlm. 242, catatan 268.

183 Prolegomena
Esensi dari Realitas Tertinggi
Yang merupakan Eksistensi

Aspek Interior

Keesaan Absolut
Al-‘amā’
Derajat ke-1 Aspek Eksterior
Tidak dikondisikan
Aspek Interior Non Manifestasi

Keesaan Abstrak
Kanz makhfiyy Aspek Eksterior

Pancaran Paling Suci

Dalam bahasa metafora kita katakan bahwa ketika Realitas Tertinggi berhasrat untuk
melihat Keindahan gemerlapan diri-Nya (jamāl), Dia mengungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya
dalam Esensi-Nya (cth. tajallī dhāti) dan melihat di dalamnya seperti dalam cermin ajaib tentang
Kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt dhātiyyah) dalam keindahan abadi dan terus berlangsung.
Cermin pertama ini, dengan mana Dia memandang diri-Nya dalam perenungan yang
merefleksikan Nama-Nama-Nya Yang Paling Indah (al-asmā’ al-husnā) dan Sifat-Sifat Sublim (al-
sifāt al-‘ulyā). Swa-manifestasi dan swa-perenungan pertama dari Realitas Tertinggi ini menunjuk
kepada derajat pertama dan kedua dari Eksistensi Absolut, yang kedua darinya itu ada pada
tingkatan ontologis dari determinasi pertama.
Tingkatan ini, yang muncul sebagai hasil pancaran paling suci yang mengandung bentuk-
bentuk pasangan yang berlawanan yang menyusun semua manifestasi aktif, niscaya, ilahiyah,
maupun, semua manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiah, menandai ‘penurunan’ (tanazzul)
Realitas Tertinggi dari derajat Keesaan (wahdah), dimana di dalamnya tidak ada yang lain yang
dimanifestasikan meskipun hal itu menandakan langkah pertama menuju manifestasi, kepada
derajat Kesatuan (Wahidiyyah), dimana di dalamnya artikulasi dalaman yang menyusun dalam
Kesatuan tersebut itu terlihat pada-Nya sebagai bentuk-bentuk dari multiplisitas potensial. Dalam
derajat Keesaan yang lebih dahulu daripada Kesatuan, bentuk-bentuk partikular yang pasti sudah
tertinggal di dalamnya dalam sebuah kondisi ontologis huru hara namun dinegasikan oleh
Keesaan, seperti ‘cahaya dari banyaknya bintang hilang dalam kehadiran cahaya yang
dipancarkan matahari”.303 Keesaan tersebut yang tetap di sini lalu berpaling menuju aspek
interiornya, yang menegasi semua manifestasi dan selalu tinggal dalam Keesaan absolut dari
Esensi. Hanya ketika Keesaan tersebut berpaling menuju aspek eksterior ia membuat dirinya
menjadi pasangan yang berlawanan satu sama lain, seperti aktif dan pasif, niscaya dan kontingen,
ilahiyah dan makhlukiah, dengan maksud untuk disatukan kembali dalam determinasi yang
membawa partikularisasi (takhassus) pada tahap lebih lanjut. Tahap lebih lanjut ini adalah
Kesatuan, dan hal tersebut berhubungan dengan modus eksistensi sebagaimana dikondisikan
dengan indeterminasi, dalam pengertian tidak dikondisikan oleh partikularisasi atau individuasi
apapun, tetapi bebas menautkan dirinya dalam partikularisasi dan individuasi (lā bi shart shay’).
Kemudian dalam perkembangan lebih lanjut-Nya pada tingkatan determinasi kedua dan ketiga
lalu Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, memunculkan di dalam

303
Lihat karya ‘Abd al-Karīm al-Jīlī, Al-Insān al-Kāmil, Cairo, 1956, 2 vol; vol. 1 hlm. 51.

184 Prolegomena
kesadaran-Nya manifestasi aktif, efisien dan ilahiyah yang berhubungan dengan derajat Ilahiyah
(Ilāhiyyah). Hanya pada tahap inilah Eksistensi Absolut dapat dicapai kognisi manusia sebagai
‘Tuhan’ (ilāh), dan digambarkan dalam cara sebagaimana Dia telah mengungkapkan diri-Nya
dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya akan keilahiyahan. ‘Penurunan’ Eksistensi Absolut pada
determinasi ketiga dan keempat, yang berhubungan dengan derajat ketiga dan keempat
eksistensi, menampilkan aspek ke-luar dari Realitas Tertinggi yang juga disebut Eksistensi
Niscaya (al-wājib al-wujūd), karena keniscayaan adalah kondisi yang tidak berubah-ubah.304
Kemudian kembali dalam bahasa metafora kita katakan bahwa Realitas Tertinggi, setelah
merenungkan diri-Nya sendiri dalam cermin pertama tersebut dimana di dalamnya direfleksikan
kesempurnaan esensial-Nya, dan berhasrat untuk melihat esensi-esensi (al-a’yān) Nama-Nama
dan Sifat-Sifat-Nya yang tidak terhingga, yang diungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri
namun kembali dalam bentuk-bentuk mereka dan melihat, seperti dalam cermin ajaib lain, realitas-
realitas (haqā’iq) yang inheren dalam mereka.305 Bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut
merupakan esensi-esensi yang tegak atau arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah). Dengan
demikian ketika Eksistensi Absolut, dalam swa-pemanifestasian-Nya, dari aspek eksterior
Keesaan pada tingkatan ontologis dari determinasi pertama merenungkan diri-Nya sendiri, Dia
itu sadar terhadap kesempurnaan diri-Nya sendiri, yang merupakan bentuk esensial dari Nama-
Nama Ilahiyah yang dapat dilihat dalam kesadaran Ilahiyah. Mereka itu, sebagaimana dikatakan,
‘gagasan’ atau ‘intelijibel’ dalam pengetahuan Ilahiyah, dan dikualifikasikan sebagai dibangun
secara permanen dan tetap (thābitah) karena mereka berada secara permanen (cth. baqā’) dalam
kesadaran dan pengetahuan Ilahiyah. Mereka tetap tinggal di dalamnya dan tidak berubah dalam
sifat-dasar mereka dan tidak dipindahkan dari kondisi interior dan intelijibel mereka. Lebih
lanjut, karena keterpilahan mereka satu sama lain dan kesinambungan (baqā’) mereka sedemikian
dalam kesadaran Ilahiyah mereka itu merupakan realitas-realitas, pastinya, realitas-realitas asali
dari hal-hal yang kondisi masa depannya diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah
akan tingkatan ontologis.
Kini Eksistensi Absolut dalam derajat tertinggi keabsolutannya tidak membutuhkan
apapun, cukup pada diri-Nya sendiri dan tidak membutuhkan yang ‘lain’ apapun itu. Tapi Nama-
Nama dan Sifat-Sifat-Nya, yang menjadi nampak kepada-Nya pada derajat-derajat lebih rendah
akan tingkatan ontologis, membutuhkan realitas-realitas mereka untuk dimanifestasikan dalam
bentuk-manifestasi (manifestation-form) mereka (mazāhir, tung. mazhar), apakah bentuk-manifestasi

304
Dengan istilah ‘niscaya’ (wujūb) kita menunjuk pada salah satu dari tiga kategori eksistensi; dua yang lain adalah
‘mustahil’ (imtinā’) dan ‘kemungkinan’ (imkān). Kategori-kategori tersebut dapat dipahami dalam pengertian logis
maupun ontologis. Di sini kita tidak hanya memaksudkan ‘niscaya’ dalam pengertian logis (cth. wujūb; istihālah;
jawāz), seolah-olah objeknya yang ditunjuknya hanya sebuah putusan intelektual yang mungkin tidak memiliki realitas
yang berhubungan dalam eksistensi di luar pikiran. Kita maksudkan dengannya juga dalam pengertian ontologis, dan
niscaya dalam pengertian yang menyentuh kepada dua jenis realitas, yang satu tergantung kepada yang lain untuk
eksistensinya. Dalam kasus yang pertama hal itu menyentuh pada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh dirinya
sendiri, seperti Eksistensi Absolut yang diidentifikasi dengan ungkapan Qur’ān sebagai Kebenaran (al-haqq). Hal itu
merupakan realitas yang eksistensinya tidak didahului oleh non-eksistensi; hal itu merupakan swa-berada dengan sebab
esensinya sendiri (qā’im bi nafsih) dan deskripsi ini menunjuk pada Nama Ilahiyah al-qayyūm. Dalam kasus kedua hal
itu menyentuh kepada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh selain dirinya, seperti eksistensi konkret dunia hal-
hal empiris, yang eksistensinya didahului oleh non-eksistensi, dan dibuat niscaya oleh eksistensi dari Eksistensi
Absolut. Eksistensi dalam kasus pertama tinggal dari dan pada semua keabadian, sedangkan eksistensi dalam kasus
kedua adalah non-abadi. Lihat lebih lanjut karya ibn Sinā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, dengan komentar oleh Nasīr al-
Dīn al-Tūsī, ed. Sulaymān Dunyā, 4 pts. Dalam 3V., Cairo, 1958 (2nd. Ed. 1971), vol. 3, hlm. 19; juga Dānish Nāma-i
‘Alā’ī (The Metaphysica of Avicenna), trans, dan komentar Parvis Morewedge, New York, 1973, hlm 4748; 316; bab.
24 dan 25); al-Ghazāli, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Khwājah Zādah, Cairo, 1321, hlm. 19; al-Rāzī, Lawāmi’ al-Bayyināt
Sharh Asmā’ Allāh wa al-Sifāt, ed. Taha ‘Abd al-Ra’ūf Sa’d, Maktabat al-Kulliyat al-Azhariyyah, Cairo, 1400/1980,
hlm. 356.
305
Pada sifat-dasar dari realitas, lihat bab VI, hlm. 253-254, dan hlm. 265.

185 Prolegomena
tersebut menyentuh kepada dunia tidak terlihat atau dunia terlihat, karena tanpa bentuk-
manifestasi mereka realitas-realitas tersebut tidak akan pernah mampu mengaktualisasikan sifat-
dasar positif mereka.306 Realitas Nama-Nama dan Sifat-Sifat hanya menjadi positif dengan
diaktualisasikan dalam bentuk-manifestasi mereka. Aktualisasi ini diakibatkan oleh swa-
pengungkapan (tung. tajallī), determinasi dan individuasi (tung. ta’ayyun) dari Eksistensi Absolut
dalam diri mereka (cth. dalam bentuk mereka). Karena setiap realitas tersebut itu terpilah satu
sama lain, dan masing-masing mereka mengandung semua kondisi masa depannya untuk
dimanifestasikan dalam tatanan sekuensial, maka swa-pengungkapan-Nya pada mereka tidak
pernah diulangi dalam bentuk yang sama. Manifestasi lanjutan dari Eksistensi Absolut ini dalam
derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan ontologis berlangsung dengan pancaran lain dari
eksistensi-Nya yang disebut pancaran suci (al-fayd al-muqaddas).
Dengan demikian kita telah jauh meringkas dalam ringkasan tentang tingkatan ontologis
dari yang pertama kepada determinasi ketiga dari Eksistensi Absolut, yang berhubungan dengan
derajat kedua, ketiga, dan keempat dari eksistensi. Hal tersebut adalah derajat-derajat dari
Kesatuan, dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat, dan dari Arketip Permanen. Masing-masing derajat
tersebut, seperti yang pertama kali mendahului mereka, adalah dikarakteristikkan dengan
memiliki aspek interioritas dan eksterioritas. Pada tahap aspek eksterior dari derajat keempatlah,
yakni arketip, pancaran suci tersebut berlangsung. Diagram berikut menyertai secara sekuensial
dengan yang ditunjukkan pada halaman 274 di atas:

Pancaran Paling Suci

Interior
Kesatuan Ilahiyah
Derajat ke-2 Determinasi ke-1
Eksterior

Interior
Nama-Nama &
Sifat-Sifat Determinasi ke-2
Derajat ke-3 Eksterior

Interior
Arketip-Arketip
Permanen Determinasi ke-3
Derajat ke-4 Eksterior

Pancaran Suci

Isi pancaran suci dari eksistensi ini pada tahap aspek eksterior dari arketip, dan dalam hubungan
dengan aspek interior, adalah penerima pasif dari semua potensialitas inheren dalam arketip-
arketip permanen, yang kondisi masa depannya secara bertalian diaktualisasikan melalui
perantara aspek eksterior dari arketip-arketip (al-a’yān al-khārijiyyah). Karena aspek interior dari
arketip-arketip permanen merupakan penentu aktif semua maujud yang mungkin dalam
hubungan dengan apa yang merupakan akibat bagi mereka, aspek eksterior yang berhubungan

306
Beberapa realitas memiliki sifat-dasar negatif; mereka tidak memiliki bentuk-manifestasi yang dapat
mengaktualisasikan mereka ke dalam eksistensi eksternal. Lihat bab VI, hlm. 258-259.

186 Prolegomena
dari arketip-arketip, yang merupakan penerima pasif dari apa yang mendahului mereka,
mengandung manifestasi pasif, kontingen, makhlukiyah dari Eksistensi Absolut. Namun, dalam
hubungan dengan apa yang merupakan akibat bagi mereka, aspek eksterior dari arketip-arketip
adalah pengembang aktif dari aktualisasi terhadap potensialitas inheren dalam arketip permanen
berdasarkan kebutuhan semua kondisi masa depan mereka, dimana masing-masing aktualisasi
menyertai yang lain dalam tatanan yang bertalian sehingga masing-masing merupakan sesuatu
yang serupa, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dari yang sebelumnya. 307 Tingkatan ini
menandakan determinasi keempat Eksistensi Absolut, yang berhubungan dengan determinasi
kelima dari eksistensi. Derajat keenam dan yang terakhir dari eksistensi ini adalah tingkatan
determinasi kelima dari Eksistensi Absolut. Hal tersebut merupakan manifestasi dalam rincian
dari derajat sebelumnya dan merupakan alam dunia empiris, dunia indera dan pengalaman
inderawi di mana di dalamnya kontingensi (imkān) merupakan kondisi yang tidak berubah.308
Diagram di bawah berikut menyertai secara sekuensial pada yang di halaman 279 di atas.

Pancaran Suci

Interior
Arketip-Arketip Eksterior Determinasi ke-4
Derajat ke-5
Eksterior

Interior
Dunia Empiris Determinasi ke-5
Derajat ke-6
Eksterior

Kita katakan sebelumnya bahwa Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah membutuhkan


dalam realitas-realitas mereka untuk diwujudkan dalam bentuk-manifestasi mereka (mazāhir,
tung: mazhar).309 Dari sudut pandang linguistik mazhar berarti ‘lokus manifestasi’, bukan suatu hal
yang termanifestasi; mazhar seperti sebuah cermin yang merupakan lokus dari citra, bukan
pemilik citra. Dengan demikian hal yang termanifestasi tidak terkandung dalam lokus
manifestasi. Dari sudut pandang metafisis mazhar menunjuk pada bentuk (sūrah) sesuatu, apakah
itu dalam alam intelijibel atau inderawi dari eksistensi. Yang intelijibel dan inderawi menujuk
kepada alam arketip-arketip permanen dan arketip eksterior secara berturut-turut. Dalam
pengertian ini, dan dengan referensi kepada bentuk dari dunia intelijibel, arketip-arketip
permanen merupakan bentuk-manifestasi di mana direfleksikan kesempurnaan esensial dari
Realitas Tertinggi yang sedang diproyeksikan oleh pancaran paling suci dari eksistensi dalam
swa-pengungkapan-Nya yang pertama (tajallī dhātī). Kesempurnaan esensial tersebut adalah
terliputi dalam Nama-Nama-Nya, yang refleksinya nampak sebagai ‘citra-citra’ dalam bentuk dari
arketip-arketip permanen. Demikian juga, arketip-arketip eksterior merupakan bentuk-
manifestasi dari arketip-arketip interior, yang melaluinya hal tersebut lebih lanjut diproyeksikan,
dengan pancaran suci dari eksistensi dalam swa-pengungkapan-Nya yang kedua (tajallī shuhūdi),
seiring itu hal lain muncul dari bentuk-bentuk dari Nama-Nama-Nya. Pengaruh niscaya mereka
menjadi dunia yang terlihat. Sama seperti dua jenis bentuk-manifestasi yang berhubungan dengan

307
Lihat bab VI, hlm. 254-255.
308
Lihat juga karya Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 29-30, dan teks bahasa Persia pada hlm. 3031. pada ‘kontingensi’, lihat
elaborasi terhadap maknanya dalam interpretasi kita tentang majāz, di bawah, hlm. 292-295.
309
Lihat di atas, hlm. 278-279.

187 Prolegomena
dua bentuk manifestasi-diri-Nya,310 maka mereka juga berhubungan, dalam perkembangan
eksistensial mereka, dengan akibat yang disebabkan Nama-Nama prinsip-Nya ‘Yang Interior’ (al-
bātin) dan ‘Yang Eksterior’ (al-zāhir), ‘Yang Pertama’ (al-awwal) dan ‘Yang Terakhir’ (al-akhir).311
Pada analogi cermin, kita lihat bahwa apa yang menjadi termanifestasi dalam lokus manifestasi
(mazhar) adalah bentuk, bukan esensi atau hal itu sendiri. Namun, kasus dari Eksistensi Absolut
adalah berbeda dalam semua itu yang manifestasinya itu identik dengan loci dimana mereka
dimanifestasikan, dan dalam semua loci tersebut, Dia dimanifestasikan dalam Esensi-Nya
sendiri.312 Di sini mazhar bukanlah sebuah lokus terpisah yang nyata dalam kesatuan (ittihād),
seperti dikatakan, dengan Eksistensi Absolut yang dimanifestasikan olehnya; maupun Eksistensi
Absolut itu imanen (hulūl) di dalamnya, karena mazhar itu tidak pada dirinya sendiri berada secara
terpisah terhadap-Nya menjadi dalam kesatuan dengannya, atau menjadi imanen dalamnya.
Mazhar dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu dalam kondisi interior Being (cth. bātin); mazhar
itu secara esensial non-maujud (ma’dūm bi al-dhāt). Jadi mazhar itu pada kenyataannya merupakan
kualitas dari ‘menjadi-terwujud’ (zuhūr), mazhar bukanlah sebuah ‘panggung’ atau ‘tempat’
manifestasi yang nyata dan terpisah. Kini proses menjadi termanifestasi (izhār) dari suatu hal
adalah proses menjadi terpilah dari yang lain, atau menjadi diferensia. Seperti kita telah katakan
sebelumnya dengan referensi kepada realitas-realitas, hal tersebut berkaitan dengan bagian
esensial dari keterpilahan inheren dalam masing-masing Sifat Ilahiyah sehingga sebuah realitas
dari sekian realitas tak terhingga dari Nama-Nama Ilahiyah menjadi temanifestasi. Maka mazhar
itu, disusun oleh Sifat-Sifat Ilahiyah.313 Dalam cara yang sama bahwa sifat itu identik dengan
Esensi dalam realitas, tetapi ditambahkan padanya dalam pikiran,314 maka mazhar itu disusun oleh
Sifat-Sifat pada kenyataan juga disusun oleh Esensi dalam hal tertentu, yang biasanya menunjuk
di sini sebagai Kebenaran (al-haqq), dengan cara ini Kebenaran juga, sebagai Eksistensi Absolut,
yang menyusun modus-modus eksistensi-Nya, karena modus-modus yang tidak memiliki
eksistensi terpisah dan independen melihat bahwa Dia merupakan eksistensi sejati mereka dan
esensi-esensi sejati mereka. Kebenaran, dalam sebab dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang
tak terhingga, melihat diri-Nya meskipun dalam cermin yang berbeda dan tak terhingga, dimana
masing-masing merefleksikan sebuah aspek yang berbeda dari Being-Nya, dan dengan demikian
menghasilkan sebuah citra multiplisitas yang sangat banyak tanpa mengurangi Keesaan absolut
dari Being-Nya.315 Referensi kita kepada ‘aspeknya yang berbeda dari Being-Nya’ sebagai analog
dengan banyaknya cermin dengan potensialitas mereka yang berbeda merupakan sebuah kiasan
kepada esensi-esensi sejati dan individual dari dunia interior dan intelijibel dari arketip-arketip,
darimana mereka diproyeksikan dan dikembangkan dalam arketip eksterior dan inderawi
menjadi dunia hal-hal konkret. Kini, dalam kasus cermin, bentuklah, bukan esensi dari yang
melihat, yang direfleksikan; tetapi dalam kasus akan mazhar dari Kebenaran, diri-Nya sendiri
merupakan bentuk-manifestasi dengan mana dia dimanifestasikan dalam Esensi-Nya sendiri —
Dia adalah diri-Nya sendiri, seperti dikatakan, sekaligus cermin dan wajah. Kebenaran nampak
dalam masing-masing dan esensi invidual tersebut berdasarkan sifat-dasar esensi tersebut,
310
Cth. manifestasi dalam alam yang tak terlihat dari Esensi (tajallī dhātī); dan manifestasi dalam dunia terlihat dari
entitas-entitas eksistensial konkret (tajallī shuhūdi, atau tajallī wujūdī).
311
Lihat bab VI, hlm. 259-264.
312
Lawā’ih, op.cit. hlm. 36. dengan ‘loci’ dimaksud arketip-arketip permanen.
313
Realitas atau esensi-esensi yang berada dalam pikiran Tuhan (cth. arketip yang mungkin dan permanen) itu pada
kenyataannya merupakan Sifat-Sifat Tuhan (contohnya pengetahuan, kehendak, kekuasaan, dll.) dan Nama-Nama
(contohnya mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll). Meskipun Sifat-Sifat bukanlah maujud dalam pengertian konkret,
mereka meskipun demikian berada dalam kesadaran Ilahiyah sebagai realitas dan subjektif bagi-Nya, sementara Nama-
Nama menjadi modus-modus eksistensi.
314
Kita tidak memaksudkan, dengan ungkapan: ‘ditambahkan padanya dalam pikiran’, apa yang filsuf mengerti dengan
ungkapan yang sama yang juga mereka gunakan. Untuk penjelasan dari ini lihat di bawah, hlm. 310-312.
315
Lihat karya Jāmī, Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 10-11: 24.

188 Prolegomena
sehingga sementara benarlah Dia dimanifestasikan oleh esensi tersebut, namun esensi tersebut,
dengan sebab potensialitas inherennya, membatasi Kebenaran tersebut berdasarkan sifat-
dasarnya sendiri.316 Jadi masing-masing dan setiap bentuk-manifestasi adalah Kebenaran tersebut
sebagaimana dimanifestasikan berdasarkan bentuk tersebut, bukan Kebenaran sebagaimana Dia
ada dalam keabsolutan-Nya. Dengan demikian, sementara Kebenaran itu identik dengan bentuk-
manifestasinya yang terakhir itu tidak identik dengan-Nya, karena tidak dapat dikatakan bahwa
secara absolut tidak ada perbedaan apapun dalam kondisi ontologis akan Kebenaran dan
individuasi majemuk-Nya dan banyak. Terdapat, yang pertama, pemilahan dari prioritas dan
posterioritas esensial antara Kebenaran dan manifestasi dan individuasi-Nya. Keberadaan-Nya
sebagai Kebenaran dalam keabsolutan-Nya itu mendahului bagi keberadaan-Nya sebagai
manifestasi dan individuasi-Nya, dan dengan demikian eksistensi pada kenyataannya menyentuh
kepada apa yang lebih dahulu. Kedua, ada pemilahan tentang keabsolutan dan keterbatasan di
antara mereka secara berturut-turut.317 Demikian juga, pemilahan antara mazhar interior dan
intelijibel dan mazhar eksterior dan inderawi ada dalam pengertian yang terdahulu sebagai
absolut (mutlāq) dan yang kemudian terbatas (muqayyad), dan tentu juga dalam pengertian
hubungan prioritas-posterioritas sebagaimana telah kita gambarkan dalam kasus tashkīk.318
Sehingga Kebenaran itu diungkapkan dalam eksistensi yang termanifestasikan, dan bentuk-
manifestasi-Nya yang mengungkapkan-Nya merupakan kualitas-kualitas-Nya. Dikatakan dalam
cara lain, Dia adalah ‘substansi’ Yang Satu (‘ayn wāhid), dimana bentuk-manifestasinya itu
merupakan ‘aksiden’ yang aksesoris bagi-Nya. Diambil dalam hubungan dengan Sumber mereka,
mereka telah merefleksikan kepada mereka cahaya dari eksistensi. Metafora cahaya membawa
kepada pikiran penyertaan tentang bayangan.
Bahwa yang ‘selain’ dari Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, dengan
mana yang berarti adalah dunia hal-hal ciptaan, ada dalam hubungan dengan Tuhan yang
analogis dengan bayangan dalam hubungan dengan seseorang, sehingga dalam pengertian ini
dunia tersebut adalah seperti dikatakan adalah bayangan Tuhan.319 Karena untuk adanya
bayangan harus ada tiga hal: seseorang yang menuangkan bayangan; tempat atau lokus dimana
bayangan dibuat; dan cahaya dimana bayangan tercipta. Seseorang di sini menyimbolkan
Kebenaran; tempat atau lokus menyimbolkan esensi-esensi yang mungkin (al-a’yān al-mumkināt)
atau arketip-arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah); dan cahaya menyimbolkan Nama Ilahiyah
‘Yang Termanifestasi’ (al-zāhir).320 Cahaya, sebagaimana dikatakan al-Ghazāli,321 dengan dirinya
sendiri terlihat dan membuat hal yang lain menjadi terlihat. Tentu saja, Tuhan merupakan Cahaya
Sejati, Sumber semua tahapan cahaya yang, dalam hubungan dengan Cahaya-Nya, merupakan
metaforis dalam alam.322 Nama Ilahiyah ‘Cahaya’ (al-nūr) pada kenyataannya menunjuk kepada
Nama Ilahiyah ‘yang termanifestasi’, karena seperti cahaya Tuhan itu dengan diri-Nya sendiri
termanifestasi dan membawa yang lain ke dalam manifestasi (al-zāhir fi nafsihi al-muzhir li
ghayrihi)323. Kini ‘yang lain’ yang dibawa ke dalam manifestasi adalah esensi-esensi yang mungkin
(mumkināt) yang dalam diri mereka sendiri hanya merupakan potensialitas yang tidak memiliki

316
Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 30-31: 58.
317
Sharh Fusūs, hlm. 141.
318
Bab VI, hlm. 245-246.
319
Fusūs al-Hikam, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī, Cairo, 1365/1946, 2 bagian diikat dalam 1, pt. 1, hlm. 101.
320
Sharh Fusūs, hlm. 138.
321
Mishkāt al-Anwār, ed. Abū al-‘Alā ‘Afīfī, Dār al-Qawmiyyah li al-Tibā’ah wa al-Nashr, Cairo, 1383/1964, hlm. 4-5.
322
Ibid, hlm. 16-18; pada pelbagai tahapan dari cahaya lihat hlm. 4-16.
323
Lihat karya al-Ghazāli, Al-Maqsad al-Asnā fi sharh ma’ānī Asmā’ Allāh al-Husnā, ed. Fadlou Shehadi, Dār al-
Mashriq, Beirut, 1971, hlm. 157; komentarnya pada Nama Ilahiyah al-nūr (hlm. 157-158); juga komentarnya pada
Nama Ilahiyah al-zāhir al-bātin, hlm. 147-150, Sharh Fusūs, hlm. 133. juga karya al-Rāzī pada Nama-Nama dalam
Lawāmi’ al-Bayyināt sharh Asmā’ Allāh wa al-Shifāt, hlm. 18-26; 347.

189 Prolegomena
eksistensi aktual, dan dimana secara esensial dalam kegelapan non-eksistensi (zulmah ‘adamiyyah),
tetapi yang meskipun demikian dibangun sebagai intelijibel dalam pengetahuan Ilahiyah.324 Istilah
‘kegelapan’ (zulmah) menyebut kepada sifat-dasar bayangan, karena semua bayangan itu gelap
dan tidak ada yang lebih gelap dari kegelapan non-eksistensi. Hanya seperti dalam kasus
bayangan fenomenal, jika tidak ada cahaya yang menyinarinya dan tidak ada tempat untuk
mencetaknya, bayangan itu akan tetap dalam non-eksistensi; bayangan akan tetap sebuah
potensialitas inheren dalam being atau hal yang fenomenal dan tidak akan pernah muncul ke
dalam aktualitas. Jadi dengan cara yang sama, esensi-esensi yang mungkin dalam kegelapan non-
eksistensi, yang dalam kasus ini juga berarti keberadaan mereka yang dibungkus dalam misteri,
merupakan potensialitas yang dibangun dalam kesadaran Ilahiyah. Mereka merupakan
kesempurnaan esensial (kamalāt dhātiyyah) yang menyusun Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah.
Hanya ketika cahaya Esensi-Nya diproyeksikan kepada mereka maka bayangan yang mereka
cetak menyusun arketip-arketip permanen, sehingga arketip-arketip tersebut menampilkan
‘tempat’ atau bentuk-manifestasi (mazhar) dari bayangan Esensi. Kemudian melalui arketip-
arketip permanen tersebut cahaya esensial lebih lanjut diproyeksikan kepada kekuatan yang
inheren dalam sifat-dasar mereka (ahkām), pengaruh niscaya mereka (lāwazim) dan kecocokan
(tawābi’) yang menuangkan sebagai akibat mereka (athār) terhadap bayangan kedua yang kita
sebut dunia. Bayangan Esensi tersebut disebut ‘cahaya relatif’ (nūr idāfi).325 Kini esensi-esensi yang
mungkin dalam diri mereka sendiri tidak bercahaya sebab mereka tidak memiliki being. Tanpa
cahaya esensial, esensi-esensi yang mungkin tidak menjadi esensi-esensi.326 Ketika Esensi tersebut
memanifestasikan dirinya sendiri dalam esensi-esensi yang mungkin bayangannya menjadi
termanifestasi. Esensi-esensi yang mungkin adalah seperti kaca transparan, sehingga bayangan
Esensi yang diproyeksikan melalui mereka mengambil sifat-dasar-cahayanya. Hanya ketika
bayangan cahaya ini lebih lanjut diproyeksikan kepada arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-
khārijiyyah) untuk nampak sebagai dunia hal itu membutuhkan pewarnaannya yang gelap
berkaitan dengan ‘jarak’ dari Sumber Cahaya. Cahaya itu sendiri murni dan tidak berwarna,
tetapi menjadi diwarnai oleh warna dari kaca yang melaluinya bersinar.327 Inilah mengapa
bayangan pertama di sebut ‘cahaya relatif’, yang merupakan nama lain dari ‘eksistensi relatif’
(wujūd idāfi), karena dalam terminologi dari metafisikawan Sūfī cahaya itu identik dengan
eksistensi.328
Dengan demikian dunia disebut ‘bayangan’ untuk dua alasan utama yang
mendemonstrasikan sifat-dasar analogis realitas mereka, yakni: (1) bayangan tidak memiliki
realitas independen; pergerakannya berkaitan dengan pemiliknya dan tidak memiliki keampuhan
untuk membawa ke dalam eksistensi atau menyebabkan non-eksistensi; bayangan itu secara
esensial adalah non-eksistensi, karena esensi sejatinya bukan dirinya sendiri tetapi pemiliknya; (2)
realitas bayangan itu adalah kekurangan eksistensial akan cahaya; hal itu tidak memiliki
eksistensi yang mendahului yang padanya seseorang dapat menunjuknya sebagai realitasnya
selain kemungkinan belaka, dan hal itu datang ke dalam eksistensi berkaitan dengan cahaya yang
mencetaknya. Maka, realitasnya, adalah yang lain dari dirinya sendiri.
Jelaslah dari apa yang telah kita jelaskan bahwa terdapat dua aspek bayangan dari Realitas
Tertinggi: yang pertama adalah bayangan esensial yang termanifestasi kepada-Nya sebagaimana
324
Fusūs, hlm. 101-102.
325
Lihat al-Qāshānī, Sharh Fusūs, hlm. 144; Fusūs, hlm. 104.
326
Tolong catat bahwa hubungan intelek manusia dengan imajinasi rasional, dan Kecerdasan Aktif dengan jiwa
manusia, ada dalam hal tertentu analogis dengan hal ini. Lihat lebih lanjut bab IV, hlm. 157; 164-165.
327
Fusūs, hlm. 102-103
328
Lihat Mishkāt, hlm. 55; Maqsad, hlm. 157; Fusūs, hlm. 102. Eksistensi realitas (wujūd idāfi) adalah identik dengan
‘napas Yang Maha Penyayang’ (nafas al-rahmān). Lihat juga karya Kashshāf Istilāhat al-Funūn dari al-Tahānawī,
Khayyar, Beirut, 1966, 6v., 1V, hlm. 938 di bawah judul al-zill.

190 Prolegomena
Dia mengungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri, dan ini berhubungan dengan swa-
manifestasi dari Realitas Tertinggi dengan Esensi-Nya sendiri (tajallī dhāti). Bayangan itu
diproyeksikan kepada arketip interior (al-a’yān al-thābiţat) yang merupakan bentuk Nama-Nama
dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Proyeksi ini berhubungan dengan pancaran pertama cahaya-Nya, yang
merupakan pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas). Swa-pengungkapan (tajallīyat) dan swa-
determinasi (ta’ayyunāt) dari Eksistensi Absolut disini adalah dari sebuah sifat-dasar interior yang
subjektif bagi-Nya, dan mereka menunjuk kepada tataran ontologis dari determinasi pertama dan
kedua secara berturut-turut. Aspek dari bayangan Eksistensi Absolut ini secara beragam disebut
‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī), ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘amm), dan ‘napas Yang Maha
Penyayang’ (nafas al-rahman) dalam derajat Keesaan esensial (al-wahdah) dalam tataran ontologis
determinasi pertama; dan hal tersebut disebut bayangan pertama, dan arketip-arketip permanen
(al-a’yān al-thābiţah) dalam derajat Kesatuan (al-wahidiyyah) dalam tataran ontologis determinasi
kedua. Aspek kedua bayangan dari Eksistensi Absolut adalah apa yang disebut bayangan
eksterior, yang merupakan mazhar atau bentuk-manifestasi dari determinasi kedua. Bayangan ini
merupakan sebuah refleksi dari bayangan pertama sebagaimana diproyeksikan dalam bentuk dari
arketip-arketip interior, dan berhubungan dengan pancaran kedua cahaya-Nya, yang merupakan
pancaran suci (al-fayd al-muqaddas), dan pada swa-pengungkapan dari Eksistensi Absolut
sebagaimana Dia selalu mendeterminasi diri-Nya sendiri menjadi bentuk-bentuk yang lebih
konkret dalam keanekaragaman dan multiplisitas melalui arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-
khārijiyyah) hingga akhirnya hal itu mengandaikan bentuk-bentuk dari dunia yang terlihat (tajallī
shuhūdī atau tajallī wujūdī). Bayangan kedua ini, sebagai bayangan yang direfleksikan oleh yang
pertama, adalah secara beragam disebut Intelek Pertama (al-’aql al-awwal), Dunia Ruh (‘alām al-
arwāh), Manusia Sempurna (al-insān al-kāmil) dan yang ‘lain’ dari Tuhan (mā siwa Allāh).
Kita telah menguraikan secara ringkas dalam halaman-halaman di depan enam derajat
eksistensi dalam tatanan yang menurun dari yang tertinggi ke yang terendah. Haruslah selalu
dijaga dalam pikiran, ketika kita berbicara ‘penurunan’ Realitas Tertinggi dari derajat keabsolutan
murni dan persembunyian penuh kepada manifestasi tersebut dalam derajat-derajat yang lebih
rendah akan tingkatan ontologis, bahwa tidak ada sekuensi temporal yang terlibat, tidak ada jarak
yang dapat diukur dalam pengertian waktu antara yang tertinggi dan yang terendah sebagaimana
mungkin disarankan pikiran. Waktu seperti kita ketahui hanya muncul bersama dengan dunia
empiris indera dan pengalaman inderawi. Proses determinasi penciptaan secara keseluruhan yang
terlibat dalam pelbagai derajat muncul sekaligus dan secara sinambung, karena aspek swa-
manifestasi Realitas Tertinggi secara terus menerus terlibat dalam swa-pengungkapan dan
individuasi dalam samaran yang berbeda dalam derajat yang berbeda dan dalam gradasi pada
tingkatan ontologis yang berbeda, sementara itu selalu tetap sebagaimana Dia sebelumnya,
memelihara Keesaan absolut dan kemurnian-Nya. Dengan demikian kendati perkembangan-Nya
dalam modus ontologis yang berbeda dari eksistensi-Nya, yang merupakan modus akan
dikondisikan, pertama oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’); kemudian oleh
indeterminasi tetapi bebas berhubungan dengan sesuatu (lā bi shart shay’); kemudian dengan
sebagai sesuatu (bi shart shay’), eksistensi-Nya itu sendiri adalah bebas dari dikondisikan oleh
pembagian sebagai eksistensi absolut di satu pihak dan eksistensi relatif di pihak lain, bahkan
ketika Dia ada dalam inti Esensi-Nya dan sumber pembagian tersebut. Dengan cara analogi, dan
meminjam perumpamaan al-Ghazāli pada pelbagai tahapan cahaya (Mishkāt, hlm. 53),
perumpamaan ekspansi eksistensi dalam tahap yang ambigu dalam pelbagai tingkatan ontologis
dapat ditangkap oleh seseorang yang melihat cahaya bulan yang bersinar melalui jendela sebuah
rumah, jatuh pada cermin di dinding, yang merefleksikan cahaya tersebut kepada dinding lain
yang berhadapan dengannya, kemudian yang pada gilirannya merefleksikan kepada lantai yang

191 Prolegomena
menjadi tercerahkan oleh cahaya. Di sini kita memiliki empat tahapan cahaya dari yang terendah
ke yang tertinggi: cahaya di lantai adalah akibat dari apa yang ada di dinding; cahaya pada
dinding merupakan cahaya yang direfleksikan dalam cermin; cahaya dalam cermin bersinar dari
pancaran bulan; cahaya yang memancar dari bulan datang dari pancaran matahari yang
tersembunyi. Modus eksistensi dapat diringkas menjadi empat tahap:

(I) Tahap inti Esensi itu sendiri dari Realitas Tertinggi, yang merupakan Eksistensi
sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, dibebaskan dari semua kondisi,
termasuk dari ketidakkondisian, dan semua hubungan. Secara teologis, ini
merupakan tahap akan Tuhan sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri, yang
dibungkus dalam persembunyian sepenuhnya yang tetap secara abadi tidak
diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-Nya sendiri.
(II) Tahap ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘amm), yang merupakan Eksistensi absolut yang
diidentifikasi ungkapan Qur’āni sebagai Kebenaran. Tahap ini merupakan tahap
dari Tuhan dalam aspek swa-pengungkapan-Nya, yang merupakan aspek
eksterior dari (I) di atas. Hal itu meliputi derajat kedua eksistensi sebagaimana
hal itu mengembang dan membentangkan dirinya dalam manifestasi awal
melalui perantara pancaran paling suci pada determinasi pertama, yang
mengandung di dalamnya dirinya manifestasi akan bentuk-bentuk yang
berlawanan satu sama lain dari semua maujud yang mungkin dalam dunia yang
tak terlihat maupun dunia yang terlihat. Manifestasi tersebut adalah manifestasi
aktif, niscaya, dan ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen, dan
makhlukiyah. Hal itu merupakan manifestasi Esensi pada dirinya sendiri (tajallī
dhāti), yakni, yang subjektif bagi Tuhan, dimana kesempurnaan esensial-Nya
(kamalāt dhātiyyah) dan kecenderungan (shu’ūn) menjadi termanifestasi bagi-Nya.
(III) Tahap ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī), yang merupakan artikulasi lanjutan dari
(II) di atas. Di sini Eksistensi Absolut dikondisikan oleh indeterminasi tetapi
bebas untuk menghubungkan dirinya dengan sesuatu. Hal itu adalah tahap
Keesaan yang sudah mengandung kemungkinan tak terhingga akan swa-
keanekaragaman; tahap dari Kesatuan dari Yang Banyak (wāhidiyyah), dimana di
dalamnya Realitas Tertinggi dikualifikasikan dengan Nama-Nama dan Sifat-
Sifat yang bentuknya merupakan arketip-arketip permanen yang dibangun
dalam kesadaran-Nya. Tahap ini meliputi tingkatan ontologis determinasi
kedua dan ketiga yang berhubungan dengan derajat ketiga dan keempat dari
eksistensi. Hal itu juga diidentifikasi sebagai tahap ‘eksistensi yang
dibentangkan’ (wujūd munbasit) yang kadang-kadang juga disebut ‘napas Yang
Maha Penyayang’ (nafas al-rahmān) dan ‘cahaya relatif’ (nūr idāfī). Metafora
Cahaya (nūr), yang sering digunakan untuk menggambarkan tahap (II) di atas,
di sini direfleksikan sebagai citra dalam cermin yang tak berhingga dan berbeda
(cth. arketip-arketip permanen) yang pada gilirannya direfleksikan dalam
cermin yang berhubungan dalam derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan
ontologis (cth. arketip-arketip eksterior). Ekspansi eksistensi dari tingkatan
arketip-arketip permanen kepada arketip-arketip eksterior adalah diakibatkan
melalui perantara pancaran kedua eksistensi, yakni pancaran suci.
(IV) Tahap ‘eksistensi komprehensif’ (wujūd jami’), yang merupakan tahap dunia
empiris, dunia indera dan pengalaman inderawi. Di sini realitas eksistensi
dibagi menjadi entitas-entitas partikular dan individual, atau ke dalam modus

192 Prolegomena
majemuk beragam. Tahap ini meliputi determinasi keempat dan kelima dari
Eksistensi Absolut yang berhubungan dengan derajat kelima dan keenam dari
eksistensi.

Status ontologis dari apa yang ‘lain’ dari Tuhan (mā siwa Allāh), yakni, baik pada dunia tak
terlihat maupun yang terlihat, mengandung hubungan eksistensial yang muncul akan ‘peristiwa’
mereka dari ‘terhubung dengan’ pancaran eksistensi. Maka, eksistensi masing-masing hal
sedemikian tidaklah sinambung dan sementara. Tentu saja eksistensinya adalah simultan dengan
non-eksistensinya; dan pengenalan kita tentang sebagai memiliki sebuah ‘esensi’ dan sebagai ‘hal’
spesifik dan individual yang memiliki kesinambungan penampakan dalam eksistensi pada
kenyataannya disifatkan pada kuiditasnya yang hanya ada dalam pikiran ketika pikiran tersebut
mempertimbangkannya (cth. i’tibārī). Sifat-dasar ketidaksinambungannya berarti bahwa hal
tersebut dalam masing-masing ‘saat-dari-dirinya-sendiri’ tidak memiliki eksistensi dalam
pengertian sejati — yakni, dalam pengertian bahwa hal itu bertahan dalam suatu jenis durasi pada
masing-masing saat-dari-dirinya-sendiri. Tapi pada faktanya bahwa hal itu tidak memiliki
eksistensi sejati tidaklah bermakna bahwa hal itu merupakan sesuatu yang pura-pura. Tentu saja
eksistensi yang sementara itu memiliki status ontologis, semakin demikian ketika yang serupa
akan kesinambungan eksistensial dicapai oleh pembaharuan yang sinambung. Maka hal itu
merupakan sesuatu yang non-abadi (muhdath), sesuatu yang baru, sesuatu yang baru, yang ada
secara baru, untuk pertama kali, tidak ada sebelumnya, sesuatu yang diasalkan sekarang,
sehingga hal itu ‘selalu-baru’. Pada masing-masing peristiwa pembaharuannya, hal itu tidak sama
lagi dengan yang sebelumnya, tetapi merupakan sesuatu yang baru pada setiap penampakan dan
ketidaknampakan dan penampakan ulangnya dalam sebuah proses yang abadi. Proses itu sendiri
dapat digambarkan sebagai sama sepanjang proses itu, tetapi isi proses tersebut — yakni, dunia
dimana proses terlibat dan dengan mana proses terlibat — tidaklah sama: setiap suatu hal pada
masing-masing peristiwa yang bertalian dari pembaharuannya adalah serupa dengan yang lain
sebelumnya, dan karena setiap manifestasi tunggal tersebut dalam prosesnya adalah baru, setiap
manifestasi itu berbeda dari yang lain.
Dalam cara ini, dan berkaitan dengan fakta bahwa semuanya terlibat dalam proses yang
sinambung akan pembaharuan, tidak ada eksistensi sejati pada apapun selain hanya pada Tuhan.
Dengan demikian hanya Aspek-Nya yang tetap.329 Proses penciptaan penghancuran dan
pembaharuan melibatkan semua hal; bukan hanya semesta bersama dengan semua bagiannya,
tetapi bahkan dunia ruh dan realitas arketip secara sinambung dihancurkan dan diperbaharui,
secara sinambung nampak dan hilang. Tetapi ada sebuah pemilahan yang menentukan antara
penghancuran dan pembaharuan, penampakan dan ketidaknampakan dari realitas-realitas
(haqā’iq) dan dunia yang mereka proyeksikan. Sedangkan dalam kasus dunia tersebut mereka itu
baru setiap saat, dan masing-masing dunia baru itu berbeda meskipun serupa dalam hubungan
dengan yang sebelumnya sedemikian rupa sehingga dunia selalu binasa, realitas-realitas tersebut
disusun ulang, dirumuskan ulang dan dibuat nampak kembali selalu dalam bentuk yang sama.330
Itulah mengapa mereka ditunjuk sebagai ‘tetap’ atau ‘permanen’ (thābiţah); hal itu hanya karena
mereka dengan demikian secara permanen dibangun dalam kesadaran Ilahiyah sehingga mereka
dapat menjadi intelijibel dalam pengetahuan Ilahiyah; dan hanya karena sifat-dasar permanen
mereka dapat didefinisikan sebagai ‘realitas’, karena dalam hubungan dengan dunia yang mereka
proyeksikan mereka itu lebih nyata daripada dunia. Dalam pengertian inilah realitas-realitas
dapat dipertimbangkan sebagai ‘substansi’ dalam hubungan dengan dunia ‘aksiden’. Status
329
Qur’ān, Al-Qasas (28): 28.
330
Ibn ‘Arabī, Fusūs al-Hikam, Cairo, 1946, vol. 1, hlm. 124. Lihat juga al-Qāshānī Sharh Fusūs, op.cit. hlm. 237; dan
karya ibn ‘Arabī Futūhāt al-Makkiyah, Cairo, 1972, vol. 1, hlm. 204:290A.

193 Prolegomena
ontologis yang ‘lain’ daripada Tuhan adalah peristiwa menjadi ‘terhubung-dengan’ Eksistensi
Absolut; oleh karena itu eksistensi sejatinya itu merupakan peristiwa ‘sebagai-maujud’, peristiwa
menjadi ‘terhubung-dengan’ eksistensi, berhubungan dengan tahap III di atas akan Eksistensi
Absolut yang disebut ‘eksistensi relatif’, dan hal itu disebut ‘eksistensi metaforis’ (wujūd majāzi).
Kini hawādith (jamak dari hādith) menunjuk ‘hal-hal yang diasalkan’; hal-hal yang baru,
belum ada sebelumnya. Akar istilah ini (cth. hadatha) mengungkapkan pertentangan dari sesuatu
yang lebih dahulu yang selalu ada (cth. qaduma), sehingga istilah tersebut dalam pengertian
metafisis mengungkapkan pertentangan dari apa yang abadi (qaduma). Secara literal hawādith
berarti ‘hal-hal yang diperbaharui’; sesuatu yang selalu-baru sedemikian dalam penampakan
mereka sehingga eksistensi mereka diambil secara individual tidaklah sinambung. Eksistensi yang
kita predikasikan terhadap mereka sebagai selalu-baru menunjuk kepada eksistensi temporal
(zamānī) maupun eksistensi esensial mereka (dhātī); yakni, mereka memiliki permulaan dalam
waktu dan esensi-esensi mereka tidak swa-berada. Jadi karena mereka itu selalu-baru secara
temporal dan esensial, eksistensi individual mereka yang diambil secara kolektif sebagai sebuah
rangkaian merupakan ‘peristiwa’ yang berlangsung dan berhenti untuk berlangsung. Kemudian
pembaharuan mereka oleh yang serupa muncul dan diulangi secara terus menerus sehingga kita
dapat melihat eksistensi mereka sebagai sebuah keseluruhan itu sinambung. Tentu saja, eksistensi
pasti secara alamiah sinambung dalam keberadaannya; tetapi eksistensi dalam pengertian sejati
tersebut hanya berada pada Realitas Tertinggi. Namun, dalam kasus sesuatu yang diasalkan,
eksistensi mereka tidak sinambung meskipun kita menerima pertentangannya berkaitan dengan
proses terus menerus akan pembaharuan yang serupa. Sehingga apa yang kita lihat pada
kenyataannya adalah eksistensi ‘metaforis’ (wujūd majāzi).
Sebuah analisis semantik tentang konsep majāz akan menjelaskan lebih lanjut apa yang
dimaksud dengan ‘metafora’ ketika digunakan kepada eksistensi sebagaimana di sini. Akar jāza
menunjuk kepada sesuatu ‘yang diizinkan’, dan karenanya, dalam konteks metafisis atau teologis
kepada suatu hal in potentia atau pada hal yang ‘mungkin’; dan kata benda bentuk dasar jawāz pada
‘kemungkinan’. Apa yang dimaksud dengan ‘diizinkan’ atau ‘mungkin’ di sini digambarkan
dalam pikiran ketika suatu hal melewati dari satu tempat (e.g. sebuah jalan kecil, sebuah jalan) ke
tempat lain (cth. sisi yang lain dari jalan kecil atau jalan) karena telah diizinkan atau mungkin bagi
hal tersebut untuk mengaktualisasikan pelewatannya pada waktu yang spesifik. Kata benda
partisipial aktif dari jāza: jā’iz, adalah keberlangsungan pelewatan aktual. Ketika kita
memindahkan makna ini kepada konteks metafisis kita segera menerima gagasan bahwa suatu
hal yang mungkin telah, berkaitan dengan hubungan penciptaan aktual oleh Tuhan yang
diakibatkan oleh-Nya melalui Sifat-Sifat-Nya akan kekuasaan dan kehendak yang
dikombinasikan, melewati tahap potensialitas ke tahap aktualitas: dari non-eksistensi, ke dalam
eksistensi. Maka majāz menunjuk kepada penampakan kontingensi, atau keberlangsungan dari
yang kontingen, yakni, dunia dari being kontingen. Aktualisasi dari apa yang sebelumnya
potensial, meskipun hal itu merupakan sebuah aktualisasi, tidak berada dalam aktualisasinya; hal
itu lalu lewat dari non-eksistensi ke dalam eksistensi dan kembali pada non-eksistensi. Pelewatan
aktual yang berlangsung — yakni, aktualisasi — adalah apa yang diistilahkan sebagai jā’iz,
sehingga ketika teolog menunjuk kepada jā’iz al-wujūd mereka memaksudkan secara tepat tentang
jenis eksistensi sementara.
Kini makna majāz sebagai metafora dibawa kepada pikiran ketika sesuatu melewati
melampaui makna yang padanya hal itu secara asli digunakan, seperti contohnya, untuk
memindahkan makna ‘singa’, yang asalnya digunakan untuk binatang buas, melampaui dari
binatang kepada manusia, menyebut seseorang yang berani atau teguh hati sebagai seekor ‘singa’,
karena dari analogi atau hubungan antara dua pengertian dari makna ‘singa’. Manusia pada

194 Prolegomena
kenyataannya bukan singa, tetapi hanya seperti singa dalam keberanian dan keteguhan hati.331
Ketika kita memindahkan makna majāz sebagai metafora pada konteks metafisis, apa yang
dimaksud dengannya adalah bahwa kita telah memindahkan makna eksistensi, yang secara asli
digunakan pada sesuatu yang abadi dan swa-berada (cth. pada ‘eksistensi sejati’, wujūd haqīqī)
melampaui kepada sesuatu yang non-abadi dan tergantung (cth. pada dunia hal-hal ciptaan),
mempredikasikan dunia maujud sebagai ‘eksistensi’ karena analogi atau hubungan antara dua
pengertian dari makna ‘eksistensi’. Dunia dalam dirinya sendiri tidak memiliki eksistensi sejati
(cth. eksistensi abadi dan swa-berada), tetapi hal itu hanya nampak seolah-olah memiliki
eksistensi karena penampakannya yang sinambung dalam eksistensi. Kita katakan ‘terlihat
seolah-olah’ dan ‘nampak’ karena, seperti sudah dijelaskan, hubungan aktual Tuhan dengan
dunia melalui Sifat-Sifat-Nya akan kekuatan dan kehendak yang dikombinasikan tidaklah
sinambung, dan namun hal itu merupakan sebuah proses yang diulang secara sinambung dalam
sebuah jenis yang terus berlangsung yang membolehkan pembaharuan dari yang serupa dalam
hal-hal yang diciptakan, yang memberi mereka pengertian kesinambungan dalam eksistensi.
Dengan demikian eksistensi dunia qua dunia adalah metaforis (wujūd majāzi), yang menciptakan
dalam pikiran kita sebuah persamaan terhadap eksistensi sejati (wujūd haqīqī).
Eksistensi metaforis merupakan sebuah bagian, kepemilikan, atau kondisi (milk) dari
eksistensi sejati. Istilah milk dalam filsafat muslim adalah sepadan dengan salah satu dari Sepuluh
Kategori Aristotelian (al-ma’qūlāt al-‘ashr),332 dimana secara khusus tentang kondisi (ēchein).
Kondisi di sini menunjuk kepada sebuah kondisi eksistensi, sebuah kondisi eksistensi dalam
kepemilikan akan modus tertentu dari berada. Namun, cara dimana teolog menggunakan istilah
milk, adalah bahwa hal itu merupakan sebuah hubungan kepemilikan tubuh terhadap
penutupnya ke seluruh bagian keluasannya, atau pada sebuah bagian darinya, seperti pakaian
seseorang yang telah dipakai dan yang dibawa kemanapun dia pergi, dalam pertentangan dengan
rumah yang seseorang punyai yang tidak dibawa seperti itu, dan yang tidak menutupi sepenuh
waktu seperti layaknya pakaian. Dalam pengertian itu, ketika eksistensi metaforis dikatakan
sebagai sebuah milk dari eksistensi sejati, maknanya adalah bahwa hal-hal kontingen yang datang-
menjadi-eksistensi (kawn) merupakan sebuah bagian eksistensi sejati; dan bagian menunjuk
kepada modus pelewatan akan eksistensi yang disebut mawjūdiyyah. Makna mawjūdiyyah di antara
yang lain: (1) kondisi atau keadaan dari peristiwa (hālah); (2) datang-menjadi-eksistensi (kawn); (3)
sebuah rangkaian dari datang-menjadi-eksistensi (akwān); (4) ke-‘ada’-an (kā’in/isness); (5) menjadi-
maujud (mawjūd). Hal itu juga berarti — dengan referensi kepada perspektif metafisikawan Sūfī
dalam persoalan ini daripada filsuf dan teolog – determinasi, pembatasan, partikularisasi atau
individuasi yang diaktualisasikan dari eksistensi sejati pada tingkatan indera dan pengalaman
inderawi. Kita telah mengatakan bahwa proses aktualisasi dari hal-hal yang mungkin adalah
sinambung dari yang dirumuskan dalam sebuah rangkaian pembaharuan, sementara aktualisasi
itu sendiri dari hal-hal tersebut itu tidak sinambung. Sehingga hal-hal yang diaktualisasikan itu —
determinasi, pembatasan, partikularisasi dan individuasi dari eksistensi sejati — sepanjang waktu
hilang dan digantikan secara sinambung oleh yang serupa dengan mereka memberi mereka
dalam setiap bagiannya dan sebagai sebuah keseluruhan sebuah keserupaan dari eksistensi sejati.
Ketika kita memandang hal-hal-pada-diri-mereka-sendiri pada peristiwa aktualisasi mereka pada
waktu spesifik mereka, maka kita memandang peristiwa mereka akan ‘menjadi-maujud’, yang
merupakan modus eksistensi; ketika kita memandang mereka dalam kesinambungan mereka
dalam eksistensi dalam aspek pembaharuan sinambung yang serupa dengan mereka, maka kita
331
Lihat al-Fīrūzābādī, Al-Qāmūs al-Muhīt, Cairo, 1319AH. 4 vol., vol. 2, hlm. 176-177; lihat juga al-Tahānawī,
Kashshāf Istilāhat al-Funūn, Beirut, 1966, 6 vol., vol. 1, hlm. 208-209; 213-217 dan di bawah al-majāz al-lughawī:
isti’ārah, hlm. 214-217; al-Jurjānī dalam karyanya Ta’rīfāt, hlm. 20;214.
332
Lihat bab VI, hlm. 219, catatan 237.

195 Prolegomena
memandang tindakan eksistensiasi dari eksistensi sejati, kondisi atau keadaan eksistensi sejati
yang dirumuskan dalam pengertian hubungan niscaya dengan eksistensi metaforis. Hubungan
niscaya ini adalah salah satu dari hubungan dan kepemilikan. Sementara hubungan niscaya dari
keduanya itu saling menguntungkan, kepemilikan tersebut hanya pada sisi eksistensi sejati.
Secara serupa, kendati hubungan yang saling menguntungkan dan niscaya, kebutuhan atau
ketergantungan untuk eksistensi hanya ada pada sisi dari eksistensi metaforis. Dengan hal pada
konsep milk eksistensi metaforis itu seperti pakaian dari eksistensi sejati. Kini dua pengertian
dimana menjadi-maujud dimaksudkan itu mengungkapkan bahwa meskipun kata yang sama
menandakan dua referensi, maknanya dalam masing-masing kasus tidaklah sama sebab dua
referensinya tidak sama: yang satu menunjuk pada yang abadi, esensi swa-berada, yang lain pada
esensi temporal, non-swa-berada. Dalam hal ini terbentang perbedaan dasar antara eksistensi
sejati dan eksistensi metaforis. Tentu saja hal ini menyusun sebuah perbedaan sejati antara
keduanya, dan perbedaan ini lebih lanjut ditekankan oleh kepemilikan yang digunakan pada sisi
yang terdahulu dan yang memberikan eksistensi kepada yang kemudian, dan dengan
ketergantungan pada sisi yang kemudian untuk eksistensi tersebut. Dengan demikian karena
eksistensi itu, yang secara ekuivokal digunakan kepada Tuhan maupun kepada dunia, dipahami
sebagai unsur umum dari mereka, sebuah perbedaan temporal maupun yang esensial harus digali
antara eksistensi sejati dan eksistensi metaforis, yakni, antara Eksistensi Niscaya dan Eksistensi
Kontingen atau antara Being Tuhan dan being dunia, jika tidak mereka akan secara niscaya identik,
atau akan ada eksistensi lain yang menduplikasi eksistensi Tuhan, dimana keduanya itu mustahil.
Posisi filsuf muslim (hukamā) dan teolog (mutakallimūn) dalam memandang sifat-dasar
eksistensi dan hubungannya dengan hal-hal, yakni, dengan realitas-realitas yang ada di dunia
eksternal yang independen dari pikiran, adalah bahwa eksistensi merupakan konsep umum dan
abstrak yang umum bagi semua eksistensi dalam pengertian yang umum dipahami sebagaimana
dijelaskan pada awal bab ini.333 Berdasarkan perspektif mereka eksistensi bukanlah sesuatu yang
ada secara objektif, tetapi hanya sesuatu yang dipostulasikan dalam pikiran ketika secara
eksternal hal-hal maujud menjadi objek pikiran (cth. i’tibārī). Oleh karena itu eksistensi bagi
mereka merupakan entitas konseptual yang padanya tidak ada apapun di dunia eksternal yang
berhubungan; eksistensi merupakan sebuah intelijibel sekunder.
Beberapa teolog awal di antara Ash’ariyyah dan Mu’tazilah mempertahankan bahwa
eksistensi segala hal, termasuk eksistensi Tuhan, adalah identik dengan esensinya (dhāt) baik
dalam pikiran dan dalam dunia eksternal yang independen dari pikiran. Mereka tidak
memaksudkan dengan ‘identik’ (‘ayn) sebuah kombinasi dua entitas menjadi satu dan yang sama,
sebagaimana mereka tidak mengenali pemilahan apapun antara eksistensi dan kuiditas atau
esensi. Mereka memaksudkan dengan ‘identitas’ sebagai ‘ketidakterpilahan’, apakah dalam
pikiran atau secara eksternal; yakni, bahwa eksistensi dan kuiditas atau esensi pada faktanya
adalah hal yang satu dan sama yang dipandang kadang-kadang sebagai eksistensi dan kadang-
kadang sebagai kuiditas. Oleh karena itu, berdasarkan perspektif mereka, tidak ada dalam dunia
eksternal sesuatu yang merupakan kuiditas, dan sesuatu yang lain berada di dalamnya yang
merupakan eksistensi; melainkan, dalam dunia eksternal, dan dalam pikiran hanya ada ‘sesuatu’
yang sama yang dipandang secara berbeda pada waktu yang berbeda, kadang-kadang dinamakan
dengan kata ‘eksistensi’, kadang-kadang dinamakan dengan kata ‘kuiditas’ atau ‘esensi’.334 Kita
sudah mengangkat bahwa posisi yang disebutkan di atas dari teolog awal dalam memandang
sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas tidaklah dapat dipertahankan.335 Namun,
teolog yang kemudian, mengafirmasi sebuah pemilahan antara eksistensi dan kuiditas atau esensi
333
Lihat di atas hlm. 267.
334
Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 2-3; par. 5 dan 6.
335
Lihat bab VI, hlm. 232 dan catatan 262.

196 Prolegomena
dan mempertahankan bahwa eksistensi merupakan entitas konseptual yang secara rasional dibagi
menjadi bagian yang ditambahkan kepada objek maujud secara eksternal yang kuiditas-
kuiditasnya merupakan entitas sejati. Dalam ringkasan penjelasan kita kini akan posisi para teolog
dalam memandang sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas, kita menunjuk di
sini kepada teolog yang kemudian.
Posisi para filsuf, sejauh itu pada perhatiannya terhadap eksistensi sebagai sebuah konsep
tunggal, umum dan abstrak yang umum bagi semua eksistensi, adalah sama sebagaimana teolog;
tetapi mereka berbeda dengan teolog berkaitan dengan eksistensi pada tingkatan realitas
eksternal. Mereka mempertahankan bahwa pada tingkatan realitas eksternal eksistensi itu bukan
sesuatu yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan kuiditas-kuiditas
yang merupakan entitas maujud yang sejati sebagaimana dipertahankan teolog, tetapi bahwa
terdapat multiplisitas yang nyata dari eksistensi, bukan melalui perbedaan spesifik, tetapi melalui
diri mereka sendiri hal itu majemuk. Dengan demikian mereka eksistensi berbeda satu sama lain
secara esensial, masing-masing sebagai sebuah entitas independen. Mereka itu realitas yang
berbeda (haqā’iq mukhtalifah) yang ada dalam dunia eksternal yang independen dari pikiran, dan
yang pikiran postulasikan sebagai bagian dari konsep umum dan abstrak dari eksistensi berkaitan
dengan secara rasional dimultiplikasi dan dibagi sedemikian (cth. sebagai bagian) secara tunggal
sebab pelekatan mereka yang dinyatakan kepada kuiditas-kuiditas yang merupakan lapisan-dasar
mereka. Maka, pada kenyataannya, bagian dari eksistensi itu ditambahkan dalam pikiran kepada
eksistensi dengan realitas yang berbeda dan oleh karena itu adalah eksternal bagi mereka.336
Eksistensi Tuhan, Eksistensi Niscaya, yang identik dengan esensi-Nya, adalah sesuatu dari realitas
yang tidak sama tersebut.337
Posisi teolog dan filsuf sebagaimana diuraikan sejauh ini dapat ditampilkan dengan
demikian:
1. Teolog 2. Filsuf
(a) Konsep tunggal dari eksistensi yang (a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum
umum bagi semua eksistensi; bagi semua eksistensi;
(b) Bagian dari (b) Bagian dari
(a) diindividuasi melalui penyifatan (a) diindividuasikan melalui penyifatan
pada (c); pada kuiditas-kuiditas (c);
(c) Kuiditas-kuiditas yang merupakan (d) Eksistensi parikular sebagai realitas yang
lapisan-dasar mereka. tidak serupa.

Dari intisari di depan tentang posisi teolog dari para filsuf dalam memandang sifat-dasar
eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas-kuiditas kita menurunkan tiga hal: (1) konsep
umum dan abstrak tentang eksistensi yang umum bagi semua eksistensi; (2) bagiannya yang
diindividuasikan melalui penyifatan kepada kuiditas-kuiditas; (3) eksistensi partikular yang
merupakan realitas-realitas yang tidak sama. Eksistensi seperti dalam (1) di atas adalah esensial
pada dan inheren dalam (2), tetapi baik (1) dan (2) adalah eksternal bagi (3). Eksistensi parikular
itu identik dengan esensi dalam kasus Tuhan, Eksistensi Niscaya, tetapi ditambahkan dan
eksternal dalam kasus segala hal yang lain.338 Dalam hal posisi teolog Ash’arī, mereka
mempertahankan sebuah identitas utuh eksistensi dan esensi atau kuiditas pada semua tingkatan,
yakni, pada tingkatan konseptual maupun pada tingkatan realitas eksternal. Pada teolog yang
kemudian, mereka mempertimbangkan (a) dan (b) di atas sebagai konseptual, dan (c) sebagai
336
Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 2-4, par. 6.
337
Lihat karya Jāmī Hawāshī pada Durrah, ibid; hlm. 54-55; par. 5 (1).
338
Al-Durrah, hlm. 3; par. 7.

197 Prolegomena
yang nyata. Secara serupa, para filsuf mempertimbangkan (a) dan (b) sebagai konseptual, dan (c)
dipertimbangkan sebagai nyata.
Dengan hal posisi metafisikawan Sūfī (sūfiyyah), mereka mempertahankan bahwa sama
seperti mungkinlah bagi konsep umum dan abstrak dari eksistensi (cth. (a) di atas) untuk
ditambahkan dalam pikiran kepada Tuhan dan kepada semua eksistensi partikular dengan
realitas-realitas yang berbeda (d), jugalah mungkin baginya untuk ditambahkan dalam pikiran
kepada Realitas maujud yang tunggal dan absolut yang merupakan realitas dari Eksistensi
Niscaya. Sedangkan konsep yang ditambahkan ini akan menjadi sesuatu yang ada dalam pikiran,
lapisan-dasarnya dapat menjadi sebuah maujud ekstramental dan nyata yang merupakan realitas
eksistensi.339
Posisi metafisikawan Sūfī dapat ditampilkan dengan demikian:

(a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi;
(b) Bagian dari (a) yang diindividuasikan melalui penyifatan pada (c) yang dipertimbangkan
sebagai (d);
(e) Eksistensi Absolut (wujūd mutlāq);
(f) Eksistensi partikular (wujūdat khāssah) yang dipertimbangkan sebagai modus dari (e).

Maka, bagi metafisikawan, eksistensi pada tingkatan dari (a), (b), (c) dan (d) adalah tidak lain dari
entitas mental yang tidak memiliki hubungan eksistensi dengan tingkatan realitas eksternal.
Hanya (e) dan (f) yang dipertimbangkan nyata. Dalam hal ini, sebuah terjemahan dalam karya
Jāmī Naqd al-Nusūs membuat posisi mereka jelas:

Eksistensi (al-wujūd), berdasarkan pada filsuf (al-hakim) dan teolog (al-mutakallim), adalah
aksidental (‘arid)340 kepada kuiditas-kuiditas (al-māhiyyat) dan realitas-realitas (al-haqā’iq),
dan kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas merupakan lapisan-dasar (ma’rudat) bagi
eksistensi. Tapi berdasarkan pada penguji (al-muhaqqiq)341 dan unitarian (al-muwahhid),342
eksistensi merupakan lapisan-dasar (ma’rud), sementara maujud yang ditentukan dan
dibatasi (al-mawjūdāt al-muqayyadah) adalah aksidental baginya dengan sebab penyifatan
(al-idāfah) dan hubungan (al-nisbah).343 Di antara mereka344 terdapat perbedaan yang besar
(bawn ba’īd). Dalam pandangan tentang hal ini, teolog dan filsuf itu dipimpin kepada posisi
bahwa Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlāq) tidak memiliki eksistensi eksternal (wujūd fi
al-khārij), tetapi hanya memiliki eksistensi mental (wujūd dhihnī); hal itu merupakan sebuah
entitas universal (amr kullī), sebuah konsep umum (‘amm) yang menjadi maujud dengan
jalan ketunggalannya (afrād). Namun, yang mengetahui yang menguji (al-‘ārif al-muhaqqiq),
memegang erat-erat posisi bahwa Eksistensi Absolut itu maujud (mawjūd),345 dan pada
kenyataannya tidak ada eksistensi (wujūd aslān) dasar (cth. akar) lain selainnya, meskipun
mungkinlah untuk mempostulasikan sedemikian hal (cth. sumber lain dari eksistensi)
dalam pikiran (fil al-i’tibār). Hal yang aneh adalah bahwa filsuf dan teolog yang

339
Ibid., hlm. 3-4; par. 8.
340
Yakni, terkandung dalam kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas, atau nampak kepada mereka dari sisi luar.
341
Penguji tersebut merupakan seseorang yang membuktikan lewat demonstrasi. Dalam kasus ini merupakan seseorang
yang menguji dengan jalan intuisi akan eksistensi melalui pengungkapan (kashf) dan pengalaman intuitif (dhawq).
342
Yakni, metafisikawan Sūfī dari mazhab kesatuan transendensi eksistensi (wahdat al-wujūd).
343
Maujud yang dibatasi atau dikondisikan adalah ‘kuiditas-kuiditas’ dan ‘realitas-realitas’ yang ada secara ekstra
mental. kemenjadi-maujudan mereka itu berkaitan dengan sifat mereka dan hubungan dengan Eksistensi Absolut yang
merupakan lapisan-dasar mereka, dan yang juga dikenal sebagai wujūd idāfī.
344
Teolog dan filsuf pada satu sisi, dan metafisikawan Sūfī dari sekolah wahdat al-wujūd di sisi lain.
345
Yakni, ada secara eksternal.

198 Prolegomena
menggambarkan Eksistensi Absolut mengatakan bahwa hal tersebut merupakan lawan
dari non-eksistensi absolut (‘adam mutlāq), dan bahwa hal itu adalah pembagi (al-muqassim)
untuk semua maujud, dan bahwa hal itu merupakan kebaikan murni (khayr mahd), dan
bahwa hal itu adalah tunggal (wāhid) tanpa lawan (didd) dan yang serupa (mathal), dan
namun mereka mengatakan bahwa itu adalah non-maujud (ma’dūm) dalam dunia
eksternal (fi al-khārij).346

Maka, metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa dalam tambahan kepada eksistensi


pada tingkatan (a), (b), dan (c) yang dipertimbangkan sebagai (d), yang semuanya secara mental
dipostulasikan, terdapat entitas lain yang karena asosiasinya dengan kuiditas-kuiditas ((c)
dipertimbangkan sebagai (d)) dan mereka dipakaikan dengannya, eksistensi pada tingkatan (a)
dan (b) datang ke dalam mereka. Entitas yang lain ini adalah realitas eksistensi.347 Hal tersebut
adalah Eksistensi Absolut ((e) dalam halaman depan); dan eksistensi partikular (f), yang
merupakan modus dan aspek dari Eksistensi Absolut itu, dalam kondisi aktual mereka, realitas-
realitas yang berhubungan dengan (c) dan (d), atau (c) yang dipertimbangkan sebagai (d);
sedangkan eksistensi sebagai intelijibel sekunder yang padanya tidak ada dalam dunia eksternal
apa apa yang berhubungan adalah satu dari akibatnya. Seperti telah kita angkat sebelumnya,348
metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari eksistensi
bahkan dari Eksistensi Absolut. Eksistensi Absolut itu, dalam skema ‘penurunan’ ontologis
Realitas Tertinggi, sudah pada tingkatan determinasi pertama, sedangkan tingkatan yang lebih
tinggi dari eksistensi kita menunjuk untuk menyentuh pada inti esensi dan realitas eksistensi itu
sendiri pada tingkatan Esensi (al-dhāt). Tingkatan ini merupakan tingkatan eksistensi yang tidak
dikondisikan oleh apapun, termasuk oleh ketidakkondisian; hal itu transenden dari dikondisikan
bahkan oleh transendensi, sehingga hal itu merupakan indeterminasi murni yang absolut, dan
akibatnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kepada kognisi kita. Maka, posisi mereka
sejauh sebagai realitas eksistensi yang didiskusikan, melibatkan empat hal: (1) Eksistensi sebagai
non-dikondisikan secara absolut; (2) Eksistensi Absolut, yang merupakan sebuah determinasi dari
(1) dan merupakan eksistensi dalam realitas; (3) determinasi dan individuasinya menjadi
eksistensi partikular, yang merupakan modus dan aspeknya yang muncul dari tindakan dinamis
dari Eksistensi Absolut; dan (4) sebuah konsep umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian
yang berhubungan dengan kuiditas-kuiditas yang juga bersifat konseptual dalam alam. Yang
terakhir ini tidak dapat diberlakukan kepada yang tiga sebelumnya.
Sedangkan kebanyakan filsuf dan teolog berkutat pada posisi bahwa dunia ekstramental
dari hal-hal konkret itu disusun dengan campuran esensi dan eksistensi, yang darinya
dirumuskan hubungan mereka dengan metafisika substansi dan aksiden, metafisikawan tersebut,
di sisi lain, mempertahankan kebalikan posisi ini: mereka memegang bahwa eksistensi itu satu-
satunya realitas, dan dunia hal-hal konkret bukanlah sebuah campuran esensi dan eksistensi sama
sekali karena esensi pada kenyataannya adalah eksistensi sebagaimana muncul dalam bentuk yang
dipartikularisasi dan diindividualisasi. Realitas suatu hal adalah inti eksistensinya sebagaimana
ditentukan menjadi bentuk partikular dan individual, bukanlah ‘esensi’nya jika ‘esensi’ diterima
sebagai sesuatu yang berbeda secara substansi dari eksistensi: tidak ada ‘sesuatu’ pada mana
eksistensi kemudian dilekatkan; eksistensi sebagai modus partikular dan individual, adalah hal
itu pada dirinya sendiri. Maka esensi adalah sebuah modus eksistensi. Realitas-realitas
ekstramental dan yang berbeda yang mendasari multiplisitas hal-hal dalam faktanya merupakan
swa-pembatasan dan individuasi dari eksistensi yang menciptakan dalam pikiran gagasan akan
346
Naqad al-Nusūs, hlm. 21; terjemahan 5. terjemahan saya.
347
Al-Durrah, Hawāshī, hlm. 55; 5 (2).
348
Lihat di atas, hlm. 268-269.

199 Prolegomena
‘esensi’ — ‘kuiditas’ yang memiliki realitas terpisah dan ontologis. Namun, dalam diri mereka
sendiri sebagaimana direnungkan pikiran, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ itu bukan entitas maujud
eksternal — mereka hanya sesuatu yang ada dalam pikiran. Dengan demikian, karena eksistensi
selalu dalam tindakan, substansi nyata dari setiap hal individual adalah baik sebuah individuasi
dari eksistensi berdasarkan pada aspek partikular itu dari mana hal tersebut merupakan citra
eksternal, atau hal itu merupakan individuasi aktual itu sendiri dari eksistensi pada waktu
spesifik berdasarkan aspek yang sama. Akibatnya masing-masing hal individual adalah baik
sebuah individuasi dari eksistensi, atau merupakan eksistensi itu sendiri sebagaimana
diindividuasikan secara sementara dalam bentuk partikular tersebut; hal itu merupakan baik
eksistensi yang dibuat termanifestasi, atau sebuah ‘aksiden’ dari eksistensi yang dengan demikian
termanifestasi. ‘Aksiden’ yang termanifestasi merupakan sebuah kualitas atau modus eksistensial
eksistensi yang termanifestasi, dan meskipun secara mental kualitas atau modus eksistensial
dipostulasikan sebagai terpilah dari hal yang dikualifikasikan, hal itu secara ekstramental identik
dengannya sejauh substansinya yang diperhatikan. Hal ini tidak serta merta berarti bahwa
eksistensi mengandung multiplisitas, atau bahwa eksistensi itu terdiri dari banyak hal. Karena
eksistensi tidak statis dan pasif; eksistensi itu dalam pergerakan terus menerus; sebuah proses
dinamis, kreatif, dan sistematis tentang pembentangan dirinya sendiri dalam tahapan dari
indeterminasi kepada semakin dideterminasi; dari lebih umum kepada lebih partikular hingga
membagi dirinya menjadi lebih dan lebih konkret. Pembentangan diri dari eksistensi adalah apa
yang metafisikawan sebut sebagai inbisāt al-wujūd — ekspansi dan peliputan dari eksistensi dalam
modus yang beranekaragam —sebagaimana dikonseptualisasikan dalam pengertian dari
metafisika mereka tentang derajat-derajat ‘penurunan’ (tanazzul) ontologis, determinasi (ta’ayyun)
dan individuasi (tashakhkhus), dan swa-manifestasi (tajallī) dari Eksistensi Absolut. Ketika
Eksistensi Absolut ‘turun’,349 menciptakan dari dirinya partikularisasi dan individuasi yang
banyak, sepanjang waktu hanya ada satu eksistensi, dimana partikularisasi dan individuasinya
hanya sebagai modusnya yang banyak. Modalitas eksistensi tersebut tidak dapat dipandang
sebagai memiliki realitas ontologis terpisah sebab esensi sejati mereka adalah eksistensi. Hanya
pikiran yang mempostulasikan modus eksistensi sebagai memiliki realitas ontologis terpisah yang
lain dari eksistensi yang memandangnya sebagai ‘esensi’ atau ‘kuiditas’. Tetapi pada
kenyataannya hanya ada satu eksistensi.
Dunia qua dunia — yakni, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia ketika
dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri sebagai secara mental diabstraksi dari eksistensi —
pada kenyataannya bukanlah apa-apa; hal tersebut merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran.
Hal itu bukan apa-apa bukanlah hanya karena hanya sebuah konstruksi mental, tetapi karena
‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia bersama semua bagiannya itu, ketika
dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri dalam kondisi ekstra mental, yakni, sebagai modus
eksistensi, bersifat ‘aksidental’ dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu, tidak bertahan
dalam dua peristiwa waktu, sedemikian rupa sehingga mereka secara terus menerus ‘hilang’ pada
eksistensi. Apa yang diterima pikiran sebagai dunia yang memiliki eksistensi dan kesinambungan
dalam eksistensi pada akhirnya hanya sebuah fenomena mental yang muncul dalam pikiran
sebagaimana sebuah hasil pergantian yang cepat dari modus eksistensi yang serupa, namun
masing-masing terpilah dari yang lain, yang terlibat dalam proses dinamis akan pembentangan
eksistensi, yang modusnya diabstraksikan dalam pikiran sebagai ‘esensi-esensi’ terpisah dan
individual yang memiliki kesinambungan dalam eksistensi. Namun, dalam sifat-dasar sejati
mereka, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ mental merupakan akibat modus ekstramental dari eksistensi. Hal

349
‘Penurunan’ Eksistensi Absolut itu hanya dipostulasikan secara mental (i’tibārī). Pada kenyataannya proses abadi
tersebut tidak diukur dalam pengertian sekuensi waktu, sebagaimana telah kita nyatakan.

200 Prolegomena
itu hanya ketika kita mempertimbangkan ‘esensi-esensi’ atau ‘kuiditas-kuiditas’ dalam diri mereka
sendiri sebagai menyusun dunia bersama semua bagiannya sehingga dunia bukanlah apa-apa.
Kini dengan ‘bukan apa-apa’ di sini berarti sebuah negasi utuh atau penekanan sepenuhnya dari
eksistensi, dan ini ditunjuk dengan istilah ‘adam mahd, atau ‘non-eksistensi murni’. Dalam
pengertian ini, dunia qua dunia sebagaimana diterima pikiran dalam pengertian disusun oleh
kuiditas-kuiditas majemuk dan berbeda secara absolut bukanlah apa-apa; hal itu merupakan non-
eksistensi murni. Tapi kadang-kadang istilah tersebut bermakna sesuatu yang lain, dan ini hanya
ketika digunakan untuk menunjuk bukan kepada dunia sebagaimana diterima oleh imajinasi,
tetapi kepada arketip permanen atau esensi-esensi tetap (al-a’yān al-thābiţhah) yang
dipertimbangkan sebagai sesuatu yang diketahui (ma’lūmāt) dalam pengetahuan atau kesadaran
Ilahiyah dimana mereka berada sebagai kemungkinan (mumkināt) ontologis. Dalam pengertian
tersebut ‘adam mahd tidak menunjuk kepada suatu jenis ketiadaan yang dikarakteristikkan dengan
negasi absolut atau penekanan dari eksistensi, tetapi melainkan kepada sebuah modus eksistensi
dalam kondisi interior (butūn) dari Being, yang ditunjuk oleh istilah ‘adam, atau ‘non-eksistensi’,
dalam pengertian dari sesuatu yang tidak dalam maujud konkret tetapi yang berada dalam
kondisi interior Being itu meskipun demikian telah dibangun. Kualifikasi mahd atau ‘murni’,
ketika ‘adam menunjuk kepada aspek ini dari eksistensi, berarti bahwa sesuatu yang nyata ada
dalam kondisi interior Being tetap secara murni dalam kondisi interior dan tidak dapat secara esensial
menjadi maujud yang diaktualisasikan secara eksternal atau konkret. Apa yang dari realitas
tersebut dapat menjadi realitas secara eksternal atau diaktualisasikan secara konkret adalah
kekuatannya yang menyesuaikan dengan sifat-dasarnya (ahkām), kecocokannya (lāwazim) dan
akibat (āthār), yang menjadi dieksternalisasikan dan berkembang ke dalam eksistensi eksterior
sesuai dengan potensialitas inheren atau kesiapan (isti’dād aslī), cth. kondisi masa depan, dari
realitas partikular. Dengan demikian apa yang ada dalam kondisi non-eksistensi murni,
sebagaimana menyentuh kepada aspek ini dari non-eksistensi, menyentuh kepada modus
kemungkinan (imkān), dan sama juga seperti eksistensi yang mungkin (wujūd mumkin).350 Hal-hal
yang mungkin (al-mumkināt) ada dalam pengertian ini adalah realitas-realitas (haqā’iq) yang
berada dalam kesadaran Tuhan, dimana di dalamnya mereka nampak sebagai bentuk dari Nama-
Nama Ilahiyah yang datang di bawah pengaruh hati-hati dari Nama prinsip al-zāhir, yang
termanifestasi ke-luar, dan dengan sebab dari mana hal itu dapat menerima pancaran (tung. fayd)
yang mengembangkan mereka, dalam pengertian kekuatan, akibat dan kecocokan mereka,
kepada manifestasi ke-luar dan eksistensi eksternal. Dengan demikian ketika kita
mempertimbangkan ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang secara mental dipostulasikan dalam sifat-dasar
sejati mereka — yakni, bukan sebagaimana mereka ada dalam pikiran, tetapi sebagaimana mereka
ada secara ekstramental — sebagai pembentangan eksistensi terus-menerus yang menampilkan
dirinya sendiri dalam anekaragam modus dan aspek yang berbeda, maka dunia yang mereka
susun bukanlah apa-apa. Tentu saja, bahwa hal itu menciptakan dalam pikiran gagasan akan
‘kuiditas’ yang tiada berjumlah, terpisah, dan berbeda menunjukkan bahwa ada sesuatu tentang
dunia qua dirinya sendiri, dan independen dari pikiran, yang bukan apa-apa. Sesuatu
sebagaimana dipandang oleh pikiran ketika direnungkan ‘keapaan’ (māhiyyah) hal tersebut lalu
menciptakan dalam pikiran gagasan ‘kuiditas’ (māhiyyah).351 ‘Kuiditas’ ini, seperti telah berulang
kali dikatakan, bukan apa-apa dalam dirinya sendiri tetapi sebuah fenomena mental. Tetapi ketika
sesuatu itu dipertimbangkan dalam pengertian ‘yang dengannya hal itu adalah hal itu’ (ma bihi al-
350
Metafisikawan, tidak seperti para teolog, memaksudkan dengan eksistensi ‘mungkin’ sebagai sebuah kemungkinan
yang objektif; sesuatu yang ada dalam kondisi interior Being sebelum dikualifikasikan oleh eksistensi eksternal.
Meskipun ini nampaknya entah apa seperti gagasan filsuf tentang kemungkinan objektif, pada faktanya terpilah dari
gagasan filsuf tersebut. Bandingkan. Bab VI, hlm. 257-258.
351
Lihat bab VI, hlm. 248(1); dan diagram pada hlm. 250, Māhiyyah II.

201 Prolegomena
shay’ huwa huwa),352 maka kuiditas tidak lagi dipertimbangkan hanya sebagai sebuah fenomena
mental, tetapi juga sebagai sebuah realitas maujud yang independen dari pikiran.353 Konsep yang
kemudian dari māhiyyah ini menunjuk kepada penyusun penentu dari suatu hal, tetapi di sini hal
itu tidak berarti ‘kuiditas’ dalam pengertian sesuatu yang secara esensial selain dari eksistensi
yang padanya eksistensi kemudian ditambahkan sebagai sebuah sifat; di sini kuiditas berarti
‘esensi sejati’ (‘ayn), ‘inti diri’ (nafs) atau realitas (haqīqah) yang membuat hal tersebut apa hal
tersebut adanya.354 Dalam kasus yang kemudian ini hal tersebut itu pada kenyataannya sebuah
modus eksistensi. Tidak terdapat, seperti telah kita katakan, sesuatu yang secara esensial selain
dari eksistensi yang padanya eksistensi disifatkan; eksistensi (cth. sebagai sebuah modus
partikular) adalah inti sesuatu itu sendiri.
Filsuf muslim, teolog dan metafisikawan setuju bahwa Tuhan, Eksistensi Niscaya, adalah
Satu dalam esensi; tidak ada pembagian dalam Esensi-Nya, baik dalam imajinasi, aktualitas, atau
dalam pengandaian yang mungkin; tidak ada pluralitas atau dualitas di dalamnya. Tidak ada
multiplisitas pada-Nya; Dia bukan sebuah lokus dari kualitas, maupun sesuatu yang dibagi dan
dipisahkan ke dalam bagian-bagian, maupun Dia disusun oleh unsur-unsur mendasar, 355 karena
sesuatu seperti itu datang di bawah kategori tubuh yang dibatasi oleh ikatan, dan karenanya
mereka diasalkan, dan bahwa adalah inkonsisten dengan keberadaan-Nya sebagai Eksistensi
Niscaya. Tetapi teolog dan filsuf tidak setuju tentang sifat-dasar Keesaan; apakah hal itu secara
Absolut Satu dalam semua aspek sebagaimana dipertahankan oleh filsuf, atau apakah hal itu Esa
yang padanya sifat sejati ditambahkan sebagaimana diakui teolog. Pada problem ini posisi
metafisikawan mendekati teolog dalam hal tertentu, dan filsuf pada hal yang lain, meskipun tidak
cukup sama sebagaimana keduanya, yang melihat basis eksistensialis yang padanya
metafisikawan membangun diri mereka sendiri secara berlawanan dengan basis esensialis dimana
para teolog sebagaimana filsuf menegakkan posisi mereka.
Teolog mengatakan bahwa Tuhan memiliki Sifat sejati dan abadi yang ditambahkan
kepada Esensi-Nya, baik dalam pikiran dan secara eksternal, sehingga Tuhan mengetahui melalui
pengetahuan, menginginkan melalui kehendak, dan menggunakan kekuatan melalui kekuatan,
dan seterusnya dengan sifat seterusnya. Mereka menantang, terhadap pandangan Mu’tazilah dan
filsuf, bahwa jika pengetahuan, kehendak, kekuatan, identik dengan Esensi, maka itu berarti
bahwa pengetahuan, kehendak, kekuatan juga identik dengan satu sama lain, dan kesimpulan ini
menuju kepada banyak absurditas.356 Tidak pula Sifat-Sifat diterima hanya sebagai istilah sinonim
yang menggambarkan Esensi berdasarkan pada modus atau kondisinya (ahwāl); mereka itu nyata
dan abadi, yang terpilah satu sama lain dan lebih demikian dari Esensi. Realitas dan keabadian
mereka tidak secara niscaya menyiratkan keberadaan pluralitas keabadian akan Esensi Ilahiyah,
karena Sifat-Sifat bukan esensi-esensi yang terpisah ‘dalam’ Tuhan, maupun mereka
memunculkan kepada esensi-esensi ‘di luar’ dari Tuhan; mereka berada dalam Tuhan dan tidak
terpisahkan dari-Nya, tetapi mereka tergantung kepada-Nya sementara Dia tidak tergantung
kepada mereka. Esensi harus diterima bersama dengan Sifat-Sifatnya sebagai satu entitas, dan
karena Esensi itu abadi dan tanpa penyebab efisien untuk eksistensinya, maka Sifat-Sifatnya itu
abadi dan tanpa penyebab efisen apapun untuk eksistensinya. Istilah ‘Tuhan’ tidak dapat
disifatkan dari sebuah esensi yang gundul dari Sifat-Sifat, sebagaimana hal itu menunjuk kepada

352
Lihat ibid, hlm. 248 (2).
353
Lihat ibid, hlm. 241 fol,. Hlm. 250, Māhiyyah I.
354
Bandingkan. Ibid., hlm. 236; 233-234.
355
Sesuatu yang memiliki bagian, ketika bagiannya merupakan dalam susunan bersama, merupakan sesuatu yang
disusun, ketika bagian-bagian tersebut terpisah satu sama lain, merupakan sesuatu yang dibagi atau dipisahkan.
356
Bandingkan. Al-Shahrastānī, Kitāb Nihāyat al-Iqdām fi ‘Ilm al-Kalām, ed. A. Guillaume, London, 1934, bab I, dan
hlm. 238-267.

202 Prolegomena
esensi dan sifat bersama-sama. Sifat-Sifat itu bukan Tuhan, maupun mereka lain dari Tuhan,
dalam pengertian bahwa ‘yang lain’ yang menunjuk Sifat-Sifat tidak untuk diterima berarti bahwa
eksistensi mereka itu mungkin dalam pengecualian akan Esensi dalam hubungan dengan mereka.
Dengan demikian sementara teolog mengakui bahwa Kesatuan Ilahiyah (al-tawhīd) adalah jauh
terlalu agung dari penyusunan di atas, jenis susunan yang dapat dibuktikan dengan metode
rasional adalah tidak cocok dengan Eksistensi Niscaya, namun mereka mempertahankan bahwa
itu bukan kesederhanaan absolut.357
Filsuf, di sisi lain, mempertahankan bahwa Kesatuan Ilahiyah adalah kesederhanaan
absolut. Tidak ada dualitas atau multiplisitas di dalam-Nya. Dia bukan subjek terhadap
pembagian menjadi kuantitas, prinsip, atau dalam definisi, yang terakhir ini sebab Dia tidak
memiliki genus maupun pembeda spesifik. Dia mengetahui, menghendaki, dan berkuasa bukan
dengan pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan, karena sifat-sifat-Nya adalah inti Esensi itu
sendiri. Dengan demikian Esensi-Nya, dengan hal pada hubungannya dengan hal-hal yang
diketahui, digambarkan sebagai ‘mengetahui’; dan dengan hal pada hubungannya pada sesuatu
yang dikehendaki, digambarkan sebagai ‘menghendaki’; dan dengan hal pada hubungannya
dengan sesuatu terhadapnya Dia memiliki kekuasaan, digambarkan sebagai ‘berkuasa’. Mereka
bersikeras bahwa Esensi itu Esa dalam semua hal, sedemikian sehingga hal itu tidak dapat
memiliki Sifat-Sifat yang ada di dalamnya. Hal ini, mereka berpendapat, akan melibatkan Esensi
dalam sebuah dualitas atau multiplisitas. Jadi mereka menolak Sifat-sifat secara keseluruhan,
mempertahankan bahwa Sifat-Sifat hanya ada dalam pikiran dan tidak dalam realitas eksternal.358
Metafisikawan setuju dengan teolog bahwa Esensi memiliki Sifat-Sifat sejati yang
merupakan majemuk dan ditambahkan padanya, tetapi berbeda dari mereka bahwa Sifat-Sifat itu
majemuk dan ditambahkan kepada Esensi hanya dalam inteleksi, atau dalam pikiran, dan tidak
secara eksternal. Lebih lanjut, mereka mempertahankan bahwa Sifat-Sifat tersebut merupakan
manifestasi dari Esensi-Nya dalam dunia eksternal yang nampak sebagai entitas eksistensial yang
terpisah dan konkret. Afirmasi mereka bahwa Sifat-Sifat itu majemuk dan ditambahkan kepada
Esensi hanya dalam inteleksi, dan bukan juga secara eksternal sebagaimana dipertahankan teolog,
akan nampak menyiratkan bahwa metafisikawan pada faktanya setuju dengan filsuf dalam
menolak realitas mereka. Karena filsuf mengatakan bahwa Sifat-Sifat itu majemuk dan
ditambahkan kepada Esensi hanya dalam pikiran, dan bahwa pada kenyataannya Sifat-Sifat
adalah inti Esensi itu sendiri, bukan dalam pengertian bahwa ada sebuah Esensi yang memiliki
Sifat-Sifat dan bahwa keduanya disatukan sebagai satu entitas, tetapi dalam pengertian bahwa
Esensi pada kenyataannya tidak ada Sifat-Sifat sama sekali, yang kemudian hanya ada dalam
pikiran. Apa yang mereka maksud dengan ‘ada dalam pikiran’ adalah hanya ada sebagai sebuah
konsep (mafhūm). Namun, apa yang metafisikawan maksud dengan ‘inteleksi’ (ta’aqqul), tidaklah
sama. Perbedaan antara esensi dan sifat, dalam hal konsep, adalah dua konsep dari esensi dan
sifat, menunjuk kepada dua hal yang berbeda, tetapi itu apa yang benar dari mereka adalah sama,
yakni, inti esensi itu sendiri. Karena filsuf menerima Esensi sebagai nyata sedangkan Sifat-Sifat
Esensi hanya ada dalam pikiran; sehingga apa yang benar dari konsep Esensi tentangnya pada
kenyataannya adalah Esensi itu sendiri, dan apa yang benar dari konsep Sifat — karena Sifat-Sifat
hanya ada dalam pikiran — adalah juga pada kenyataannya adalah Esensi yang sama. Tapi
357
Untuk rincian dan argumentasi mereka, lihat karya al-Ghazāli Al-Iqtisād fil al-I’tiqād, eds. A. Cūbūkcū & H. Atay,
Nur Matbaasi, Ankara, 1962, hlm. 129-139; 139-141; 142-157; Tahāfut, hlm. 40-48; karya ‘Adud al-Dīn ‘Abd al-
Rahmān al-Ijī, Al-Mawāqif fi ‘Ilm al-Kalām, ‘Ālam al-Kutub, didistribusikan oleh Maktabah al-Mutanabbi, Cairo, dan
Maktabah Sa’d al-Dīn, Damascus [n.d.]; hlm. 279-296; karya Sa’d al-Dīn al-Taftāzānī, Sharh al-‘Aqā’id, Dār al-Kutub
al-‘Arabiyyah al-Kubrā, Cairo, 1335, hlm. 69-77.
358
Al-Ishārāt, vol.III, hlm. 44-45; 49-50; Metaphysica, bab. 13, 21; Tahāfut, hlm. 40 fol; Sharh al-’Aqāid, hlm. 60,
69-71; al-Mawāqif hlm. 279; Kitab al-Milāl wa al-Nihāl dari al-Sharastānī, ke-2. ed. Beirut, 1395/1975, 2V., vol. II,
hlm. 182.

203 Prolegomena
metafisikawan memaksudkan bahwa hanya seperti konsep sifat berbeda dari esensi, demikian
juga apa yang benar dari dua konsep yang berbeda tentang satu sama lain: apa yang benar dari
sifat tidak sama sebagaimana apa yang benar dari esensi. Apa yang benar dari pengetahuan
Tuhan adalah dengan demikian bukan Esensi itu sendiri, tetapi Esensi dalam hal tertentu. Esensi
itu, seperti telah kita jelaskan sebelumnya,359 dikarakteristikkan dengan dua aspek: yang interior,
aspek swa-persembunyian (al-bātin), dan yang eksterior, aspek swa-pengungkapan (al-zāhir).
Aspek yang pertama adalah Keesaan absolut dan esensial (ahadiyyah mutlaqah), transenden dalam
dirinya sendiri, tidak diketahui kecuali oleh diri-Nya sendiri. Aspek yang kedua adalah juga dari
Keesaan, (wahdah) tetapi keesaan dimana sudah ada dibayangkan kemungkinan artikulasi laten
dalam bentuk majemuk dan anekaragam. Ketika dalam aspek kedua ini Tuhan, sebagai Eksistensi
Niscaya, merenungkan diri-Nya dan sadar terhadap kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt
dhātiyyah), lalu pancaran pertama eksistensi berlangsung (cth. al-fayd al-aqdas). Isi pancaran
pertama dari eksistensi adalah bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah yang, dalam
kemunculan mereka dalam tindakan-Nya akan eksistensi, identik dengan-Nya, dan namun juga
sesuatu yang berbeda.360 Mereka berbeda dalam pengertian bahwa dalam swa-perenungan
pertama ini, sudah ada dibayangkan dalam Esensi-Nya bentuk-bentuk laten dari kesempurnaan-
Nya yang membutuhkan perwujudan dalam alam kontingensi. Kemudian dalam swa-
perenungan kedua, dia mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-
bentuk mereka sedemikian rupa sehingga esensi-esensi mereka (al-a’yān) menjadi termanifestasi
pada-Nya sebagai realitas-realitas (haqā’iq) yang terpilah. Sifat-Sifat itu muncul pada tingkatan ini
akan swa-perenungan Ilahiyah. ‘Penurunan’ (tanazzul) ini, atau pancaran dari eksistensi-Nya, dari
derajat keabsolutan-Nya (itlāq) pada determinasi (taqayyud), yakni, determinasi pertama, muncul
dalam kondisi interior dari Being, yakni, dalam pikiran Tuhan. Dengan demikian Sifat-Sifat dan
realitas-realitas mereka tidak terpisahkan dari-Nya, yakni, mereka tetap sebagai inteljibel dalam-
Nya, dan apa yang menjadi terpisah dan kontingen merupakan kekuatan mereka, kecocokan atau
akibat yang diaktualisasikan secara eksternal sebagai swa-pembentangan eksistensi yang
mengembang kepada mereka dalam pancaran kedua eksistensi (cth. al-fayd al-muqaddas).361 Maka
Sifat-Sifat, bukanlah Esensi itu sendiri, tetapi Esensi dalam hal tertentu; yakni, dalam aspek,
hubungan, wajah tertentu dari dirinya sendiri sebagaimana hal itu mengkualifikasikan dirinya
sendiri dalam bentuk-bentuk mereka. Oleh karena itu perbedaannya, ada bukan hanya dalam
pikiran kita, tetapi dalam pikiran atau kesadaran Tuhan pada tingkatan dari manifestasi kognitif
Tuhan tentang diri-Nya sendiri kepada diri-Nya sendiri dimana di dalamnya nampak Sifat-Sifat
sebagai realitas-realitas ideal, arketip-arketip permanen atau esensi-esensi tetap.362 Maka,
metafisikawan setuju dengan teolog bahwa Tuhan memiliki Sifat-Sifat sejati yang ditambahkan
kepada Esensi-Nya; tetapi mereka juga setuju dengan filsuf bahwa Esensi (dan di sini
metafisikawan memaksudkan Esensi pada tingkatan Keesaan absolut dimana tidak ada bahkan
jejak akan multiplisitas yang dapat dilihat) itu Esa dalam semua hal; dan bahwa dari apa yang
sungguh-sungguh Esa hanya dapat menghasilkan satu akibat. Teolog, seperti telah kita lihat,
mengafirmasi terhadap-Nya sifat-sifat yang ditambahkan kepada Esensi-Nya baik dalam pikiran
dan secara eksternal, sehingga meskipun Dia dinyatakan oleh mereka jauh telalu agung dari
susunan di atas, Kesatuan-Nya itu bukan suatu kesederhanaan absolut. Karena ini merupakan

359
Lihat di atas, hlm. 271 fol.
360
Mereka identik dalam hal eksistensi dan realitas, tetapi berbeda dalam hal determinasi dan individuasi.
361
Di sini swa-pembentangan eksistensi diidentifikasi sebagai ‘napas dari Yang Maha Penyayang’’ (nafas al-rahmān),
cth. ‘eksistensi relatif’ (wujūd idāfī).
362
Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, 12:27; 13:2-29; Hawāshī, 62:19-20; Sharh al-Durrah, 88:28; Lawā’ih, 14(XV) 14-15.
Tentu saja , mereka adalah realitas-realitas karena perbedaan mereka dalam pikiran Tuhan. Lihat juga Fusūs, hlm. 48
fol; 101-106.

204 Prolegomena
posisi mereka, mereka tidak menemukannya mustahil bagi akibat majemuk untuk diproses dari
yang Esa, sebagaimana posisi mereka tidak berada di bawah prinsip bahwa dari apa yang
sungguh-sungguh Esa hanya satu yang diproses. Metafisikawan mengafirmasi posisi yang sejati
dalam hal ini — cth. prinsip bahwa dari apa yang Esa secara absolut hanya satu akibat yang dapat
diproses — sebagaimana filsuf, dengan mana mereka dalam kesepakatan dalam kasus ini. Tetapi
mereka juga berbeda dalam hal ini dari filsuf; sedangkan filsuf mengafirmasi Keesaan absolut
dalam sebuah Esensi yang diindividuasikan,363 metafisikawan menyatakan Keesaan absolut dalam
sebuah Esensi Absolut364 yang menjadi diindividuasikan pada tingkatan Ilahiyah (ilāhiyyah)
dimana, sebagai Tuhan, Dia sudah menanamkan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Tingkatan ini, yang berhubungan dengan tingkatan Prinsip Pertama menurut teolog, tidak
menampilkan Keesaan absolut, tetapi dikarakteristikkan dengan Kesatuan dalam Multiplisitas
(wāhidiyyah). Namun, karena metafisikawan mengafirmasi realitas tunggal akan eksistensi,
multiplisitas dan keanekaragaman itu dalam sifat-dasar sejati mereka tidak lain dari modus,
partikularisasi dan individuasi dari realitas yang sama akan eksistensi, sehingga tidak ada
multiplisitas dan keanekaragaman yang sungguh-sungguh di sana. Lebih lanjut, berbeda lagi dari
filsuf, mereka mempertahankan bahwa multiplisitas dan keanekaragaman dalam entitas-entitas
eksistensial yang konkret yang kita lihat dan pegang pada kenyataannya merupakan Nama-Nama
dan Sifat-Sifat-Nya — atau melainkan kecocokan mereka, dan pengulangan akan kecocokan
mereka — yang telah diturunkan dalam gradasi dari tingkatan keabsolutan mereka pada
determinasi dan pembatasan. Pada filsuf, karena mereka mempertahankan keunggulan esensi
terhadap eksistensi, dan mengafirmasi kesederhanaan absolut dalam sebuah Esensi yang
diindividuasikan, posisi mereka pada Sifat-Sifat adalah membingungkan, dan solusi mereka
seperti bagaimana akibat majemuk dapat diproses dari sesuatu yang secara absolut sederhana itu
tetap menjadi subjek kontradiksi.365
Meskipun metafisikawan setuju dengan filsuf dalam prinsip bahwa dari yang Esa hanya
satu akibat yang dapat diproses, namun mereka tidak setuju dengan filsuf pada apakah akibat
tunggal pertama itu. Filsuf berkata akibat tunggal pertama dari yang Esa yang mereka sebut
Prinsip Pertama366 adalah Kecerdasan Pertama (al-’aql al-awwal), yang menurut mereka adalah
maujud konkret yang tidak memiliki maujud lain dalam tatarannya. Namun, metafisikawan,
karena mereka mengafirmasi realitas tunggal eksistensi, mengatakan bahwa akibat tunggal
pertama dari yang Esa yang merupakan Eksistensi Absolut adalah eksistensi umum (wujūd
al-’āmm) yang, sebagai eksistensi yang dibentangkan (al-wujūd al-munbasit), mengembang sebagai
hasil dari swa-perenungan Tuhan dalam derajat pertama eksistensi pada tingkatan determinasi
pertama (al-ta’ayyun al-awwal).367 Kini pancaran pertama eksistensi ini, seperti kita tahu, bukanlah
363
Cth. pada tingkatan ‘Tuhan’, atau determinasi pertama dari Eksistensi Absolut.
364
Cth. pada tingkatan Esensi dalam aspek swa-persembunyian dari Keesaan absolut.
365
Esensi berdasarkan pada filsuf adalah identik dengan eksistensi dalam Tuhan, tetapi yang lain daripada eksistensi itu
kontingen, dengan sebab posisi mereka bahwa hal itu merupakan sebuah Esensi yang diindividuasikan, adalah identik
dengan eksistensi yang diindividuasikan. Apa yang dimaksud filsuf dengan eksistensi, ketika mereka mengatakan
bahwa Esensi itu identik dengan eksistensi dalam Tuhan, tetapi selain dari eksistensi dalam kontingen, hanyalah
eksistensi sebagai konsep, bukan sebagai realitas, sejalan dengan posisi esensialis secara umum, yakni bahwa esensi
merupakan realitas tunggal dibandingkan daripada eksistensi. Di antara filsuf yang kemudian, al-Tūsī berusaha untuk
menunjukkan bagaimana akibat yang banyak dapat diproses dari yang secara absolut adalah Esa, tetapi argumentasi al-
Ghazāli bahwa apa yang diproses dalam kasus seperti ini harus juga menjadi entitas sederhana nampak masih
memegang kuat melawan keabsahannya – sejauh, yakni, persoalan ini dipandang dari sebuah posisi esensialis. Tapi
persoalannya akan berbeda jika dipandang dari posisi metafisikawan eksistensialis. Lihat Al-Durrah al-Fākhirah,
67-68, 79; Hawāshī, 98: 20; Sharh al-Durrah 127-128: 28.
366
Cth. pada tingkatan ‘Tuhan’, sama sebagai Prinsip Pertama dari teolog.
367
Terdapat kemiripan antara eksistensi umum (al-wujūd al-’āmm) dari Sūfī dan materi dasar (al-hayulā) dari filsuf;
hanya bahwa sedangkan materi dasar itu hanya penerima bentuk dalam cara yang pasif, eksistensi umum dari Sūfī
adalah agen yang aktif. Pada gagasan emanasi yang inheren dalam konsep ekspansi, hal itu harus dipahami bahwa tidak

205 Prolegomena
sebuah maujud konkret, tetapi merupakan sebuah hubungan eksistensi dalam cara yang umum,
dan ekspansinya terhadap esensi-esensi intelijibel dan individual yang dibangun dalam
pengetahuan-Nya. Maujud intelijibel tersebut menjadi dimanifestasikan sebagai esensi-esensi
tepatnya berkaitan dengan ekspansi eksistensi umum terhadap mereka.368 Dengan demikian ada
maujud lain dalam tataran ini, termasuk Kecerdasan Pertama. Jelaslah dari ini bahwa Sūfī
membuat Prinsip Pertama dari filsuf sebagai sepadan bukan terhadap Esensi dalam Keesaan
absolutnya pada derajat transenden dari non-determinasi (ahadiyyah mutlaqah), tetapi Esensi yang
telah diturunkan kepada derajat swa-manifestasi pada tingkatan determinasi atau individuasi
pertama dalam tataran kesatuan dalam multiplisitas (cth. wāhidiyyah).369 Filsuf percaya bahwa
akibat dari Esensi sebagai entitas-entitas terpisah itu berbeda dari Esensi. Namun, menurut
metafisikawan, akibat dari Esensi, atau Tuhan sebagai Eksistensi Absolut, adalah modus atau
kecenderungan (shu’ūn) inheren dan aspeknya (i’tibārāt), atau inteleksinya terhadap hal-hal yang
mungkin di dalam dirinya sendiri yang menghasilkan esensi hal-hal dalam pengetahuan Ilahiyah.
Pada tingkatan kesatuan esensial-Nya hal tersebut tidak terbedakan, tetapi menjadi terbedakan
melalui pancaran eksistensi umum yang mengembang terhadap mereka dan berlangsung pada
tingkatan determinasi pertama. Esensi pada tingkatan yang kemudian ini adalah berdasarkan
pada skema metafisikawan yang sepadan dengan Prinsip Pertama dari filsuf. Multiplisitas akibat
dari Esensi yang dibayangkan dalam dirinya sendiri pada tingkatan yang terdahulu menjadi
diwujudkan pada tingkatan yang kemudian dalam bentuk-bentuk Sifat-Sifat dan esensi-esensi
yang tetap melalui perantara pancaran pertama eksistensi. Dengan demikian apa yang pertama
kali diproses dari Esensi adalah pancaran tunggal ini. Kemudian melalui perantara pancaran
pertama eksistensi ini, yang mengakibatkan munculnya Sifat-Sifat dan esensi-esensi, dan juga
melalui perantara dari Sifat-Sifat dan esensi-esensi tersebut seiring dengan aliran eksistensi dalam
pancaran kedua sebagaimana hal tersebut terus mengembang, modus dan aspek yang lain
muncul hingga akhirnya akibat-akibat mereka muncul sebagai entitas-entitas eksistensial dan
kontingen, yang beberapanya diaktualisasikan pada tingkatan indera dan pengalaman inderawi.
Maka, dalam cara ini, metafisikawan setuju dengan teolog yang percaya bahwa mungkin bagi
akibat majemuk untuk diproses dari Prinsip Pertama,370 meskipun mereka mengafirmasi filsuf
tentang prinsip yang dari apa yang sungguh-sungguh Esa hanya dapat diproses satu akibat.371
Inti sari di halaman depan dari posisi filsuf, teolog, dan metafisikawan pada pemahaman
mereka tentang sifat-dasar Keesaan Tuhan dan hal-hal yang dipadukan berhubungan dengan
Sifat-Sifat Ilahiyah dan problem penciptaan secara jelas mengungkapkan bahwa perbedaan
mendasar mereka dari mana perbedaan lain lalu menyertai, berputar di sekitar pertanyaan dasar
pada apakah kuiditaslah (esensi) atau eksistensilah yang secara primer. Pada dasarnya, jika
seseorang menglasifikasikan pemikiran muslim sebagai sebuah keseluruhan ke dalam mazhab
yang terpilah dalam pengertian kesetiaan kepada prinsip dasar tertentu atau menyetujui dalam
jenis karakteristik, maka hal itu harus yang mengafirmasi realitas mendasar akan esensi, atau
yang mengafirmasi keunggulan eksistensi terhadap esensi. Filsuf dan teolog secara umum
mengafirmasi yang terdahulu, dan perspektif mereka pada sifat-dasar Keesaan Tuhan, Sifat-Sifat
Ilahiyah, penciptaan dan persoalan yang dipadukan oleh karena itu esensialistik. Tapi teolog
Ash’ariyyah merupakan yang terdekat pada metafisikawan dalam penglihatan ontologis, sebab
ada ‘emanasi’ seolah-olah akibatnya terpisah dari sumber; apa yang diistilahkan sebagai ‘emanasi’ hanya tindakan dari
Sumber.
368
Eksistensi umum juga diidentifikasi secara beragam sebagai eksistensi relatif (wujūd idāfī), cahaya relatif (nūr idāfi)
dan Napas dari Yang Penyayang (nafas al-rahmān).
369
Dengan teolog hal ini merupakan tingkatan Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya, yang mereka pertimbangkan sebagai Prinsip
Pertama.
370
Cth. Prinsip Pertama dalam pengertian dari tingkatan wāhidiyyah dalam skema metafisikawan.
371
Lihat Al-Durrah al-Fākhirah, 70/86; 87; 71/88; 89, 90, 91. Lawā’ih, hlm. 1618 (XVIII).

206 Prolegomena
posisi mereka pada persoalan esensi melawan eksistensi entah apa ambivalen. Mereka berkutat
pada posisi bahwa esensi dan eksistensi itu tidak terbedakan. 372 Bahkan meskipun kita telah
menunjukkan bahwa keabsahan posisi ini sungguh-sungguh tidak dapat dipertahankan,373 adalah
bagaimanapun penting dalam menunjukkan bahwa posisi Ash’ariyyah sebagai sebuah
keseluruhan sudah menyiratkan keunggulan eksistensi dan kesatuan transenden eksistensi
(wahdat al-wujūd) yang diafirmasi metafisikawan. Lebih lanjut, terlepas dari keserupaan mereka
dengan posisi metafisikawan pada bagian tertentu dari metafisika mereka tentang atom dan
aksiden, terdapat juga keserupaan antara Ash’ariyyah dan metafisikawan dalam pernyataan
mereka akan kredo dan pasal dari kepercayaan-lemah dan kepercayaan-kuat, dan dalam afirmasi
keampuhan Tuhan yang eksklusif. Karena sebagian besar mereka menuju esensialisme, namun,
Ash’ariyyah harus mengafirmasi perbedaan Tuhan dari hal-hal yang diasalkan (mukhalāfah li al-
hawādith). Metafisikawan, karena mereka tetap dalam eksistensialisme mereka, mempertahankan
bahwa Tuhan berbeda dari hal-hal yang diasalkan dalam hal determinasi dan individuasi, tetapi
tidak berbeda dari mereka dalam hal eksistensi dan realitas; karena realitas eksistensi dapat
menjadi prinsip sekaligus baik dari Yang Esa dan Yang Banyak, tanpa Yang Esa menjadi Yang
Banyak atau Yang Banyak menjadi Yang Esa. Lagi, posisi esensialistik dari teolog menuntut
afirmasi terhadap doktrin penciptaan dari tiada, dengan demikian menolak kategori metafisis
ketiga antara eksistensi dan non-eksistensi, yang merupakan alam kemungkinan, seperti realitas-
realitas arketipal yang diafirmasi metafisikawan. Tapi karena teolog memindahkan kemungkinan
yang tidak terbatas pada diri Tuhan sendiri mereka pada faktanya mendekati posisi
metafisikawan, hanya esensialisme mereka mencegah mereka untuk tiba pada kebenaran yang
sama. Lebih lanjut, problem determinisme dalam nasib manusia hanya dapat menemukan
penjelasannya dalam sifat-dasar realitas-realitas arketipal. Pada Kesatuan Ilahiyah Ash’ariyyah
mengafirmasi Sifat-Sifat sejati-Nya yang ditambahkan kepada Esensi baik dalam pikiran dan
secara eksternal. Dengan demikian, sementara mereka menolak susunan apapun dalam Esensi,
meskipun demikian mereka menolak kesederhanaan absolut di dalamnya, seperti yang diakui
oleh para filsuf. Metafisikawan juga mengafirmasi Sifat-Sifat sejati-Nya yang ditambahkan kepada
Esensi, tetapi tidak secara eksternal, namun hanya dalam pikiran. Kita telah menunjukkan ini
dalam penjelasan kita tentang sifat-dasar ganda dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah; dan
juga telah menunjuk bahwa bagi metafisikawan Sifat-Sifat merupakan manifestasi dari Esensi
dalam dunia eksternal yang nampak sebagai entitas-entitas eksistensial terpisah dan konkret. 374
Lebih lanjut, dalam pengertian derajat-derajat ‘penurunan’ Yang Absolut dalam gradasi analogis
sebagaimana dirumuskan oleh metafisikawan, Kesatuan Ilahiyah sebagaimana dipahami teolog
berhubungan dalam skema metafisikawan pada tingkatan wahidiyyah dalam tataran determinasi
dan individuasi pertama dan kedua, dimana Yang Absolut sebagai Tuhan sudah ditanamkan
dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat dari keilahiyahan. Oleh karena itu metafisikawan
mengafirmasi sebuah tingkatan yang tidak termanifestasi dan lebih tinggi dan karenanya tidak
diketahui pada tingkatan Kesatuan Ilahiyah, dimana Esensi diketahui hanya pada dirinya sendiri.
Dari pernyataan ringkas ini dari nilai penting keserupaan dan ketidakserupaan dalam
posisi metafisikawan dan teolog kepada sifat-dasar realitas dan Tuhan, alasannya mengapa
kebanyakan atau semua metafisikawan Sunni dari mazhab ini juga menyokong teologi dan
metafisika Ash’ariyyah seharusnya sudah jelas. Hal itu karena metafisikawan mempertimbangkan
interpretasi Ash’ariyyah, sejauh hal tersebut menyentuh pada tingkatan rasio dan indera dan pengalaman
inderawi yang biasa, sekalipun rumit, sebagai sesuatu yang kebetulan terdekat dengan kebenaran.
Metafisikawan mempertimbangkan bahwa interpretasi Ash’ariyyah itu benar pada tingkatan ini,
372
Lihat di atas, hlm. 298-299: 300.
373
Lihat bab VI, hlm. 232-233; 234 fol.
374
Ibid., hlm. 251-253; dan di atas, hlm. 310-313.

207 Prolegomena
yang merupakan tingkatan umum manusia, dimana setiap orang itu merupakan seorang
esensialis dalam persepsinya terhadap kebenaran berdasarkan kecenderungan alamiah dari
pikiran.

208 Prolegomena
EPILOG

Penjelasan ringkas kita tentang Enam Derajat Eksistensi dapat disajikan sebagai sebuah
interpretasi yang mungkin terhadap bagian sulit tertentu dalam Qur’ān Suci menyentuh pada
Penciptaan dalam Enam Hari. Di sana dinyatakan bahwa Allāh, Realitas Tertinggi, “telah
menciptakan Langit dan Bumi dalam Enam Hari, dan bersemayam secara teguh di atas
Singgasana” (Al-A’rāf (7): 54; Yūnus (1): 3); dan “telah menciptakan Langit dan Bumi, dan semua
di antara mereka, dalam Enam Hari, dan bersemayam secara teguh di atas Singgasana” (Al-Sajdah
(32): 4); “tanpa tersentuh keletihan” (Qāf (50): 38). Kita menginterpretasikan ini bermakna bahwa
Dia telah menciptakan seluruh semesta — yakni, dunia yang terlihat maupun yang tidak terlihat
bersama semua bagiannya (al-‘ālamīn): Dia menyatakan diri-Nya dalam bagian penciptaan sebagai
‘Pemilik semua dunia’ (rabb al-‘ālamīn, Fuşşilat (41): 9) — dalam Enam Tahap, karena Hari Ilahiyah
dalam perhitungan kita akan sepanjang, kita telah diberitahu, “seperti seribu tahun” (Al-Hajj (22):
47), atau “seukuran lima puluh ribu tahun” (Al-Ma’ārij (70): 4). Kita juga diberitahu bahwa bagi
Tuhan tindakan penciptaan merupakan “tindakan tunggal” (amr wāhidah) yang diselesaikan
dalam “kedipan mata” (ka lamhin bi al-başar): Al-Qamar (54): 50). Dalam hal ini kita lihat, dari sudut
pandang kognisi manusia, dan ketika kita pertimbangkan tindakan penciptaan dan proses
penciptaan yang termasuk dalam pengertian ‘penurunan’ Realitas Tertinggi dari derajat
keabsolutan murni dan persembunyian penuh kepada manifestasi dan determinasi dalam derajat-
derajat yang lebih rendah akan level ontologis, kognisi manusialah yang mempostulasikan (cth.
i’tibār) sebuah sekuensi temporal, sebuah jarak yang dapat diukur dalam pengertian waktu, dari
derajat yang tertinggi kepada yang terendah; sedangkan pada kenyataannya tindakan penciptaan
dan seluruh proses penciptaan terlibat dalam pelbagai derajat muncul sekaligus — “dalam
kedipan mata”. Kemudian dalam kedipan mata tersebut Being-Nya sementara itu “bersemayam
secara teguh di atas Singgasana” bermakna bahwa kendati keterlibatan-Nya dalam proses
penciptaan Dia selalu tetap sebagaimana sebelumnya, dalam pengendalian absolut,
mempertahankan Keesaan absolut-Nya. Tindakan penciptaan dan proses penciptaan itu diulangi
(Yūnus (10): 4; Al-Naml (27): 64; Al-‘Ankabūt (29): 19-20), dalam sebuah ciptaan baru (Qāf (50): 15;
juga Al-Ra’d (13): 5; Ibrāhīm (14): 48; Banī Isrā’īl (17): 49, 98; Al-Anbiyā’ (21): 104; dan Fāţir (35): 16).

Enam Hari tersebut dapat dibagi ke dalam fase-fase terpilah di antara Empat Hari dan Dua
Hari (Fuşşilat (41): 10; dan 9; 12). Dalam bagian tersebut kita lebih lanjut diinformasikan bahwa
Dia menjadikan being (ja’ala) rawāsiya — dimana para komentator biasanya menginterpretasikan
dengan makna ‘gunung-gunung’ — meletakkan mereka tinggi di atas Bumi. Makna dasar dari
kata rawāsiya, yang merupakan bentuk jamak dari akar rasā, mengandung gagasan tentang entitas-
entitas yang rampung, kokoh, dan secara teguh dibangun dengan jenis cara permanen yang tidak
dapat digerakkan atau dipindahkan ke tempat yang lain. Oleh karena itu interpretasi terhadapnya
sebagai ‘gunung-gunung’ adalah masuk akal; karena gunung-gunung dikarakteristikkan dengan
suatu jenis kerampungan yang digambarkan dengan rawāsiya, dan mereka tinggi di atas tingkatan
tanah. Dia juga memberkahi Bumi, dan mengukurnya dalam proporsi (qaddara) semua hal di
dalamnya, dan memberi mereka makanan (aqwātaha) mereka “berdasarkan kebutuhan dari yang
meminta” (sawā’an li al-sā’ilīn). Fase penciptaan ini diselesaikan dalam Empat Hari.

Kini interpretasi para komentator terhadap bagian di atas tentang penciptaan dan proses
penciptaan adalah berdasarkan kepada makna lahir yang dikandung mereka, dan dijelaskan
sejauh penciptaan Langit dan Bumi dalam tahap materi dasar yang tidak berbentuk menjadi

209 Prolegomena
bentuk fisik yang kita lihat, menyusun kerajaan alam akan mineral, tumbuhan, dan hewan dan
cakrawala semesta bersama seluruh bagiannya. Dari sudut pandang kognisi manusia, interpretasi
ini dibangun di atas prinsip rasio dan observasi yang didukung bukti sains yang relevan seperti
fisika, astronomi, dan geologi. Tanpa mengabaikan keabsahan interpretasi tersebut, melainkan
sesuai dengannya dan dari sudut pandang metafisis yang disajikan sebagai sebuah kerangka-
kerja yang di dalamnya dimana semua sains manusia menemukan korespondensi dan koherensi,
kita mempertahankan bahwa juga mungkin menginterpretasikan bagian Penciptaan dalam Enam
Hari sesuai dengan Enam Derajat Eksistensi. Kita pada faktanya sudah menyinggung interpretasi
metafisis terhadap bagian tersebut bahkan pada awal Epilog ini; dan kini kita melanjutkan dengan
menawarkan bahwa ungkapan ‘Langit’ (al-samāwāt) dan ‘Bumi’ (al-ard) yang disebutkan dalam
bagian penciptaan dapat tidak selalu menunjuk pada Langit dan Bumi yang bersifat fisik, tetapi
pada tahap-tahap tertentu dan dengan merujuk pada hubungan sebab prioritas-posterioritas
dalam proses penciptaan yang dipahami dalam konteks derajat-derajat eksistensi, dimana mereka
menunjuk kepada arketip-arketip mereka (al-a’yān al-thābitah). Dalam pengertian ini kita kemudian
dapat menginterpretasikan rawāsiya, yang secara teguh ditegakkan “tinggi di atas” Bumi,
bermakna realitas-realitas arketipal yang secara teguh dan permanen ditegakkan dalam
kerampungan sedemikian sehingga mereka tidak dapat digerakkan atau dipindahkan dari
wilayah mereka dalam kondisi interior Being.

Kita telah katakan pada awal penjelasan kita (cf. hlm. 268-278 di atas) bahwa Realitas
Tertinggi dalam Keesaan Absolut-Nya pada derajat pertama eksistensi dikarakteristikkan dengan
aspek interioritas dan eksterioritas, dan being yang kemudian dari aspek swa-pengungkapan-Nya
yang ditunjuk dalam tradisi suci sebagai ‘Harta Tersembunyi’. Aspek ini, yang juga
dikarakteristikkan dengan interioritas dan eksterioritas, dan yang belum terlibat dalam
determinasi apapun, pada aspek eksteriornya sudah mengandung kemungkinan tak terhingga
akan determinasi dalam pelbagai bentuk yang tak terbatas; aspek eksteriornya merupakan pusat
dan sumber dari aktifitas penciptaan, dan prinsip keanekaragaman. Dalam aspek derajat pertama
eksistensi ini Realitas Tertinggi merupakan Eksistensi Absolut, dan asal semua ciptaan, yang
bermula dengan pancaran pertama eksistensi, yang menyentuh kepada aspek ini dimana
kesempurnaan esensial (kamālāt dhātiyyah) dan kecenderungan-Nya (shu’ūn) menjadi
termanifestasi pada kesadaran-Nya (cf. Hlm. 289 (II) dan 290 di atas). Penciptaan merupakan
tindakan eksistensiasi dari Realitas Tertinggi; hal tersebut juga verifikasi dari apa yang sekaligus
benar (pada Perintah penciptaan) dan nyata (secara potensial sebagaimana juga secara aktual).
Maka, Eksistensi Absolut di sini identik dengan istilah Qur’an tentang ‘Kebenaran’ atau
‘Kebenaran-Kenyataan’ (al-haqq).

Pancaran pertama eksistensi merupakan pancaran paling suci (al-fayd al-aqdas), yang
merupakan sebuah ekspansi tunggal eksistensi dengan cara yang umum (cth. wujūd ‘āmm), yang
mengandung manifestasi bentuk-bentuk pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang
mungkin dalam dunia yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Semua hal tersebut merupakan
manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiyah.
Hal ini merupakan yang pertama dari semua manifestasi realitas Eksistensi dan disebut
determinasi pertama (ta’ayyun awwal), yang berhubungan dengan derajat kedua eksistensi. Realitas
Tertinggi, pada level ekspresi ontologis ini, tidak lagi dipandang Esa secara absolut (ahadiyyah
mutlaqah), tetapi Tunggal (fard) dengan sebab telah menyebabkan muncul dalam kesadaran-Nya
akan potensialitas ‘yang lain’, diri-Nya sendiri sebagai Yang Lain daripada keyanglainan
(otherness) dari ‘yang lain’. Tahap ini merupakan tahap Kesatuan dari yang banyak (wāhidiyyah).

210 Prolegomena
Kemudian, sebagai sebuah artikulasi lanjutan dari ekspresi ontologis dan aktifitas
penciptaan Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, memunculkan dalam
kesadaran-Nya manifestasi aktif, niscaya, dan ilahiyah yang berhubungan dengan derajat
Keilahiyahan (iliāhiyyah) di mana, sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), Dia dikualifikasikan dengan Nama-Nama
(cth. mengetahui, menghendaki, berkuasa, dll.) dan Sifat-Sifat (cth.pengetahuan, kehendak,
kekuasaan, dll.) keilahiyahan. Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan partikularisasi
lanjutan dari kecenderungan dan kesempurnaan esensial-Nya yang menjadi termanifestasi
kepada-Nya yang sudah terdapat dalam derajat pertama eksistensi. Tahap ini menandai
‘penurunan’-Nya pada determinasi kedua (ta’ayyun thāni) yang berhubungan dengan derajat
ketiga eksistensi. Tahap ini merupakan tahap Nama-Nama dan Sifat-Sifat.

Kini kencederungan dan kesempurnaan esensial Realitas Tertinggi itu termanifestasi


kepada-Nya sebagai bentuk-bentuk Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahiyah. Bentuk-bentuk tersebut
secara esensial merupakan ‘gagasan-gagasan’ atau ‘intelejibel-intelejibel’ dalam pengetahuan
Ilahi. Inheren dalam masing-masing bentuk tersebut itu terdapat sebuah aspek ‘keyanglainan’,
sebuah keterpilahan yang khas pada dirinya sendiri dan dengan demikian juga berbeda dari-Nya.
Mereka dikualifikasikan dengan ditegakkan secara permanen sebab sebagai ‘gagasan’ dalam
pikiran Ilahi mereka berada secara permanen (baqā’) dalam pengetahuan Ilahi, dan tidak berubah
dalam sifat-dasar mereka dan tidak bergerak dari kondisi interior dan intelejibel mereka. Dengan
sebab keterpilahan mereka satu sama lain dan dari-Nya, dan dari kesinambungan mereka
sedemikian rupa dalam pengetahuan Ilahi, mereka itu realitas-realitas (haqā’iq) asli yang kondisi
masa depannya itu diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis
sebagai pancaran eksistensi yang mengembang terhadap mereka. Inheren dalam masing-masing
realitas terdapat potensialitas yang khas bagi masing-masing; masing-masing telah menerima
ukurannya dalam proporsi (cf. qaddara) yang berkaitan, sehingga masing-masing memiliki
kesiapan (isti’dād) untuk diaktualisasikan berdasarkan kebutuhannya. Inteleksi-Nya terhadap
bentuk-bentuk tersebut dalam aspek mereka akan ‘keyanglainan’ dari-Nya, dan swa-
pengungkapan-Nya (tajallī) pada mereka sebagaimana pancaran eksistensi-Nya yang
mengembang terhadap mereka, yang membawa sifat-dasar positif mereka sebagai realitas-realitas
yang dapat diaktualisasikan sebagai eksistensi konkret dan individual dalam dunia eksternal.
Oleh karena itu realitas-realitas bersifat arketipal dalam alam dan esensi dan tepat disebut
‘arketip-arketip permanen’ (a’yān thābitah), yang level ontologisnya berhubungan dengan
determinasi ketiga (ta’ayyun thālith) dari Eksistensi Absolut pada derajat keempat eksistensi (cf.
hlm. 277-278; 290 (III), di atas).

Kita katakan (hlm. 278, di atas) bahwa Eksistensi Absolut swa-mencukupi dalam
kesuburan-Nya yang abadi, yang tidak membutuhkan yang ‘lain’ apapun itu, tetapi Nama-Nama
dan Sifat-Sifat-Nya yang nampak kepada-Nya pada derajat-derajat yang lebih rendah dari level
ontologis memiliki kebutuhan agar realitas-realitas positif mereka diaktualisasikan dalam bentuk-
manifestasi (mazāhir) mereka di dunia tidak terlihat maupun yang terlihat. Aktualisasi mereka
menyentuh pada aktualisasi yang bertalian dari potensialitas yang inheren di setiap mereka,
sedemikian supaya muncul sebagai pembentangan kondisi masa depan mereka dalam eksistensi
eksternal. Aktualisasi realitas-realitas positif mereka ini diakibatkan oleh swa-pengungkapan,
determinasi, individuasi Eksistensi Absolut dalam bentuk-manifestasi mereka. Karena masing-
masing realitas-realitas itu terpilah dari yang lain, dan masing-masing mengandung semua
kondisi masa depannya untuk diaktualisasikan dalam tatanan sekuensial, swa-pengungkapan-
Nya pada mereka tidak pernah berulang dalam bentuk-bentuk yang sama. Manifestasi lanjutan

211 Prolegomena
Eksistensi Absolut ini dalam derajat-derajat yang lebih rendah akan level ontologis berlangsung
dengan pancaran yang lain (cth. yang kedua) dari eksistensi-Nya yang disebut pancaran suci (al-
fayd al-muqaddas), yang membawa kita pada fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam
Dua Hari. Namun, sebelum tiba pada hal itu, kita melanjutkan interpretasi kita bahwa pemberian-
Nya kepada segala hal “ukuran akan keberadaan dalam proporsi” (qaddara aqwātaha) mereka, dan
“berdasarkan kebutuhan dari mereka yang meminta” (sawā’an li-al-sā’ilīn), bermakna dalam
konteks ini menunjuk kepada potensialitas yang inheren dalam realitas-realitas hal-hal, dimana
masing-masing diukur dalam proporsi dan berdasarkan kebutuhan sifat-dasarnya. Pemberian-
Nya akan makanan mereka secara mendasar bermakna pemberian-Nya akan eksistensi. Kini
karena realitas-realitas tersebut membangkitkan dalam diri mereka sendiri sebuah kesiapan
(isti’dād) sebagai penerima eksistensi sesuai dengan apa yang inheren pada mereka, maka kondisi
dalam kebutuhan aktualisasi ini merupakan permintaan dari “mereka yang meminta” (al-sā’ilīn).

Penjelasan singkat di halaman depan, yang pendatangannya dapat secara tepat ditangkap
hanya setelah memahami secara utuh penjelasan yang disajikan dalam buku ini, merupakan
interpretasi metafisis dari fase pertama penciptaan yang diselesaikan dalam Empat Hari. Aktifitas
penciptaan Realitas Tertinggi muncul, menurut interpretasi ini, pada level ontologis aspek
eksterior dari Keesaan Absolut-Nya yang secara beragam disebut ‘Harta yang Tersembunyi’,
‘Kebenaran’, ‘Eksistensi Absolut’, dan kemudian memroses pada determinasi pertama, kedua, dan
ketiga dari Eksistensi Absolut. Hal tersebut berhubungan dengan derajat pertama, kedua, ketiga,
dan keempat dari eksistensi, yakni: derajat Keesaan (al-ahadiyyah) yang mengarakteristikkan
Eksistensi Absolut; Kesatuan Ilahiyah (al-wāhidiyyah); Nama-Nama dan Sifat-Sifat (al-asmā’ wa al-
şifāt); dan Arketip-Arketip Permanen (al-a’yān al-thabitāh) dalam tatanan mereka. Masing-masing
derajat-derajat tersebut dikarakteristikkan memiliki aspek interioritas dan eksterioritas dan
hubungan sebab akan prioritas dan posterioritas. Penjelasan kita tentang empat derajat eksistensi
tersebut menunjukkan bahwa mereka bersesuaian dengan fase pertama penciptaan dalam Empat
Hari yang disebutkan dalam Qur’an Suci, yang memang dapat juga disebut kepada mereka pada
kenyataannya. Jika demikian, maka ini berarti fase penciptaan ini muncul dalam dunia interior
dari intelejibel yang subjektif bagi Realitas Tertinggi, dimana dari sudut pandang kognisi manusia
itu merupakan dunia entitas-entitas spiritual.

Untuk fase kedua yang tertinggal dari penciptaan dalam Dua Hari, kita diinformasikan
bahwa Tuhan, “setelah menyelesaikan penciptaan sebelumnya (cth. fase pertama), mengarahkan
rancangan-Nya (cth. Rencana-Nya membuat dengan tujuan yang jelas) pada Langit” (Fuşşilat
(41): 11; lihat berbagai makna istawā ilā dalam Lisān al-‘Arab, XIV hlm. 414, kol. 1&2). Langit yang
dimaksudkan, kita telah diberitahu, adalah sebagai asap (dukhān), yang berarti sesuatu yang
sebagian fisik dan sebagian non-fisik dalam alam. Dia kemudian memerintahkan Langit dan Bumi
untuk datang bersama secara sukarela atau terpaksa; dan mereka berdua datang dalam kepatuhan
sukarela. Kemudian Dia melengkapi mereka dengan tujuh cakrawala dalam Dua Hari, dan
menugaskan kepada masing-masing langit tugas dan perintahnya. Langit yang lebih rendah Dia
hiasi dengan cahaya dan diamankan dengan penjaga (41: 11-12).

Sudah kita lihat di sini, dalam Dua Hari yang disebutkan untuk melengkapi penciptaan
semesta bersama semua bagiannya, sebuah kiasan kepada dua derajat terakhir eksistensi: derajat
kelima dan keenam, yang berhubungan dengan determinasi keempat dan kelima dari Eksistensi
Absolut. Hal itu juga dapat bahwa pada level artikulasi ontologis pada derajat kelima eksistensi
(determinasi keempat), Langit dan Bumi yang ditunjuk tetap menyimbolkan aspek spiritual dan

212 Prolegomena
intelejensial dalam perkembangan mereka ke dalam bentuk yang lebih dan lebih konkret.
Tingkatan ini merupakan level arketip-arketip eksterior (al-a’yān al-khārijiyyah). Arketip-arketip
eksterior tersebut menerima pancaran suci eksistensi yang mengalir dari aspek eksterior arketip-
arketip permanen. Kini arketip-arketip permanen pada faktanya itu merupakan realitas hal-hal
yang ditegakkan dalam kehadiran kognitif dari Realitas Tertinggi. Mereka itu ‘realitas-realitas
ideal’ yang berada secara permanen dalam pikiran Tuhan, dan sedemikian sehingga mereka tidak
dibuat untuk muncul pada kondisi manifestasi eksterior dalam alam hal-hal empiris. Mereka
dalam pengertian itu bukanlah ‘maujud’ meskipun mereka memiliki realitas ontologis positif.
Dalam hubungan dengan arketip-arketip eksterior mereka merupakan determinan aktif dari
semua maujud yang mungkin, karena mereka, lagi pula, merupakan artikulasi kecenderungan
Ilahi; mereka merupakan realitas-realitas asli dan positif yang seimbang dalam kesiapan untuk
mengaktifasikan potensialitas inheren pada mereka, dan untuk membentangkan keadaan masa
depan mereka dalam bentuk eksistensi individual dan konkret dalam dunia eksternal. Dalam hal
ini arketip-arketip eksterior bertugas sebagai penerima pasif mereka. Isi dari pancaran suci
eksistensi adalah potensialitas tersebut, yang keadaan masa depannya secara bertalian
diaktualisasikan dalam dunia hal-hal empiris melalui perantara arketip-arketip eksterior
sebagaimana pancaran eksistensi tersebut mengembang terhadap mereka. Maka, arketip-arketip
eksterior merupakan manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiyah dari Eksistensi Absolut.
Karena arketip-arketip tersebut sendiri memiliki aspek interioritas dan eksterioritas, mereka
menjadi, dalam hubungan dengan dunia hal-hal empiris, pengembang aktif aktualisasi
kandungan mereka melalui aspek eksterior mereka sebagaimana pancaran eksistensi tersebut
berlanjut mengembang terhadap mereka pada derajat level ontologis yang terendah. Level
ontologis arketip-arketip eksterior merupakan determinasi keempat dari Eksistensi Absolut yang
berhubungan dengan derajat kelima eksistensi. Yang keenam dan derajat yang terakhir eksistensi
adalah level determinasi kelima akan Eksistensi Absolut. Hal itu merupakan manifestasi secara
rinci dari derajat yang mendahului dan merupakan alam hal-hal empiris, dunia indera dan
pengalaman inderawi yang sifat-dasarnya dikarakterisitikkan dengan kontingensi. (cf. hlm.
279-280, dan 290 (III), dan 290 (VI) di atas).

Kini pada bagian di mana Tuhan memanggil Langit dan Bumi untuk datang bersama
“sukarela atau terpaksa” (ţaw’an aw karhan) merupakan indikasi jelas yang menunjukkan bahwa
Langit dan Bumi memiliki kesadaran kepatuhan dan ketidakpatuhan kepada perintah Ilahi
kendati dari realitas dimana perintah tidak dapat dikontradiksikan. Hal itu juga menunjukkan
bahwa mereka memiliki kekuatan atau kapasitas untuk menjawab kata perintah Ilahi, karena
mereka menjawab: “kami datang dalam kepatuhan sukarela” (ataynā ţā’i’īn). Kita memahami dari
sini bahwa proses penciptaan yang digambarkan muncul pada level ontologis dari arketip-arketip
eksterior dalam derajat kelima eksistensi. Seseorang dapat menyebut bahwa arketip-arketip
eksterior merupakan penerima semua manifestasi kontingen dan makhlukiyah dari Eksistensi
Absolut, dan bahwa dalam hubungan pada apa yang merupakan akibat dari mereka, yakni, dunia
hal-hal empiris dalam derajat keenam dari eksistensi, mereka merupakan agen aktif aktualisasi
dari kandungan mereka ke dalam eksistensi eksternal pada derajat terendah akan level ontologis.
Perkataan mereka “kami datang dengan kepatuhan sukarela” secara eksplisit memberi kesan
sifat-dasar pasif mereka; dan “kami datang” menyiratkan kekuatan atau kapasitas laten mereka
untuk mengaktifkan aktualisasi akan kandungan mereka.

Kemudian Tuhan memenuhi penciptaan mereka sebagai tujuh cakrawala; menugaskan


pada masing-masing langit tugasnya dan perintahnya, dan menghiasi langit dari bumi kita (samā’

213 Prolegomena
al-dunyā) dengan jasad langit yang bercahaya dan mengamankannya dengan penjaga. Menurut
interpretasi kita, hanya pada tahap ini kata-kata: ‘langit’ atau ‘cakrawala’ (samāwāt), ‘langit’ (samā)
dan ‘bumi’ (ard yang dalam kasus ini ditunjuk sebagai dunyā) menunjuk pada semesta fisik
bersama semua bagiannya. Kata dunyā, diturunkan dari akar dana, mengandung makna sesuatu
yang ‘dibawa dekat’. ‘Dibawa dekat’, menurut kita, berarti ‘dibawa dekat’ pada pengalaman dan
kesadaran inderawi dan intelejibel manusia. Sesuatu yang dibawa dekat pada pengalaman dan
kesadaran inderawi dan intelejibel kita itu merupakan semesta fisik bersama semua bagiannya.
Seluruh semesta fisik dibawa dekat kepada kita dengan cara ini dengan sebab realitas dan
kebenaran yang menyusun tanda-tanda dan simbol-simbol (āyāt) Tuhan yang ditampilkan kepada
pengalaman dan kesadaran inderawi dan intelejibel dengan maksud bahwa kita dapat melihat
makna dan tujuan mereka. Qur’ān Suci menyatakan demikian dalam banyak bagian. Jika kita
benar dalam interpretasi kita, hal itu merupakan Dua Hari terakhir yang ditunjuk sebagai
penyelesaian penciptaan ke dalam tujuh cakrawala; dan seluruh semesta fisik adalah yang terakhir
dari tujuh langit.

Penting untuk ditekankan di sini, meskipun kita tidak secara eksplisit mengelaborasi pada
persoalan ini dalam halaman-halaman di bagian depan buku ini, yakni, tindakan penciptaan dari
Realitas Tertinggi dalam aspek-Nya sebagai Tuhan, yakni, tindakan penciptaan: operasi Ilahiyah
yang membawa eksistensi dari sesuatu yang non-eksistensi ‘selain’ Dia, tidak diselesaikan hanya
dengan operasi kekuatan dan kehendak penciptaan-Nya. Memang, operasi yang dikombinasikan
dari kekuatan penciptaan (qudrah) dan kehendak-Nya (iradāh) tentulah instrumental dalam
tindakan penciptaan, tetapi tanpa kata perintah-Nya untuk ‘jadi’, dan tanpa pemberian eksistensi-
Nya kepada apa Dia telah perintahkan untuk ‘menjadi’, hal yang demikian diperintah tidak akan
pernah mampu menjadi being. Pemberian eksistensi-Nya dalam pengertian swa-pengungkapan,
determinasi, partikularisasi, dan individuasi-Nya dalam samaran hal tersebut merupakan apa
yang telah kita elaborasikan dalam buku ini. Hal itu merupakan pancaran eksistensi-Nya dan
pengembangannya (pancaran, penerj.) terhadap realitas-realitas hal-hal berdasarkan kebutuhan
mereka, dan dalam gradasi ambigu yang melibatkan hubungan sebab prioritas dan posterioritas
dalam pelbagai derajat level ontologis. Maka penciptaan adalah (i) pemasukan eksistensi-Nya
dalam bentuk hal-hal; (ii) perintah-Nya terhadap hal-hal untuk menjadi eksistensi; (iii) kekuasaan-
Nya membawa hal-hal menjadi eksistensi eksternal; dan (iv) kehendak-Nya yang menspesifikasi
hal tersebut untuk menjadi eksistensi eksternal pada waktu yang ditentukan. Karena Dia
mengungkapkan diri-Nya dalam bentuk setiap segala hal, apa yang telah ‘jadi’ merupakan
eksistensi-Nya yang mengaktualisasikan satu modusnya dalam samaran hal tersebut; sehingga
ciptaan tersebut melibatkan juga kapasitas atau kekuatan sesuatu untuk menjawab perintah-Nya,
seperti ke-hal-an (thingness) atau keyanglainannya, pendengarannya, dan kepatuhannya dalam
menjadi seperti apa yang telah diperintahkan untuk menjadi — semua bertindak bersama secara
simultan membawa dirinya sendiri ke dalam eksistensi eksternal. Tindakan penciptaan, kita
katakan sebelumnya, merupakan tindakan tunggal yang diselesaikan “dalam kedipan mata”;
tetapi tindakan penciptaan tersebut diulangi, sehingga sesuatu yang diciptakan berkembang
sebagai sebuah proses pembentangan kondisi masa depan mereka dalam ciptaan baru secara
terus menerus yang mengalami tahap-tahap ontologis.

Akhirnya untuk menyimpulkan, dengan hal pada Penciptaan dalam Enam Hari
sebagaimana diinterpretasikan oleh para komentator berdasarkan pada makna lahir dari bagian
yang relevan, penjelasan mereka terhadap enam tahap berhubungan dengan Enam Hari
bertepatan hanya dengan derajat terakhir eksistensi dari interpretasi kita. Hal ini berarti mereka

214 Prolegomena
telah menginterpretasikan kata ‘Langit’ dan ‘Bumi’ dan ‘apa yang terletak di antara mereka’
dalam bagian ciptaan tersebut menunjuk hanya pada semesta fisik bersama dengan semua
bagiannya, yang di dalam interpretasi kita terletak pada level ontologis derajat keenam eksistensi.
Hal ini sebanyak sebagaimana harapan kita untuk mengandung di sini tanpa berlanjut ke dalam
rincian lebih lanjut. Kita memohon Tuhan untuk mengampuni kita dimana kita terpeleset dan
salah, untuk menghargai kita dengan bantuan dan petunjuk-Nya dalam pemahaman yang benar
akan kata-kata-Nya dan tanda-tanda dan simbol-simbol-Nya yang makna tertingginya Dia
sendirilah yang terbaik dalam mengetahuinya.

215 Prolegomena

Você também pode gostar