Você está na página 1de 9

DINAMIKA AGRARIA DI PEDESAAN

(Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Pedesaan)

Disusun oleh:

Kelompok 2

Junizar Arya P. 150310080052


Priska Tandi Galla 150310080053
Eva Amaliyah F. 150310080054
Imam Ahmad M.Y. 150310080055
Roro Ratih Arini 150310080056

Program Studi Agribisnis


Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
2009
PENDAHULUAN

Pembaruan agraria merupakan kegiatan yang kompleks dari berbagai program


terkait dengan tanah dan apa yang ada di atasnya baik alam maupun kehidupan
sosialnya. Prinsip dasar dari implementasi pembaruan agraria adalah untuk
menciptakan sistem usaha pertanian yang berkeadilan, efisien, dan berkelanjutan.
Menurut Hanani dkk (2003), perubahan agraria adalah kegiatan yang meliputi seluruh
usaha redistribusi tanah kepada kaum tak bertanah (tunakisma), pengaturan harga
tanah bagi kegiatan pertanian terutama penyakap, jaminan bagi penguasaan tanah,
serta aturan bagi hasil yang seimbang pada penyakapan tanah. Selain itu teknologi
pertanian terutama tepat guna dapat diintrodusir guna mendukung usaha tani yang
baik. Hal itu dapat dilalui dengan pendampingan, bantuan modal, fasilitas pemasaran
lewat koperasi, sistem informasi pertanian dan kegiatan lainnya.
Dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 pasal 2 disebutkan: “Pembaruan agraria
mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria ......”.
Terlihat bahwa, pembaruan agraria terdiri atas dua sisi, yaitu: (1) sisi penguasaan dan
pemilikan, dan (2) sisi penggunaan dan pemanfaatan. Sisi pertama dapat disebut
dengan “aspek landreform” dan sisi kedua disebut “aspek non-landreform”. Landreform
dalam arti sempit adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah.
Sementara, komponen “non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah
tanah, introduksi teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan
penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain.
Tanah merupakan objek pokok dalam pengertian agraria ( Pasal 1 ayat 2 dan
pasal 2 ayat 1 UU No. 5 tahun 1960, dan Tap MPR no. IX tahun 2001). Maknanya adalah
bahwa kegiatan pertanian merupakan bentuk aktifitas masyarakat yang paling erat
kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam agraria, termasuk ketika membicarakan
pembaruan agraria. Namun keeratan konsep “agraria dengan tanah” tidak tercermin
pada keeratan “pembaruan agraria dengan Deptan”. Deptan sebagai departemen teknis,
terbatas hanya pada aspek “penggunaan dan pemanfaatan” (non-landreform), yaitu

1
bagaimana menghasilkan produktifitas yang setinggi-tingginya pada satu bidang tanah
dengan merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit
usaha, keterampilan petani, dan lain-lain.

Dari tahun-ketahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun, jumlah


petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin meningkat, begitu juga halnya
dengan petani penyakap yang kesemuaannya dapat dikategorikan sebagai masyarakat
miskin. Di sisi lain konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir
orang saja begitu mencuat, karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral
baik pada bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Di
sisi lain, konflik agraria merupakan kenyataan yang kerapkali terjadi di berbagai
wilayah di Indonesia.

Tanggal 24 September umumnya diperingati sebagai Hari Agraria. Pada tanggal


yang sama, 43 tahun lalu, Sukarno mengesahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). UU ini hadir
menggantikan Agrarisch Wet dan Agrarisch Besluit 1870, yang menyatakan bahwa
tanah yang tidak bisa dibuktikan sebagai eigendom (milik) seseorang, adalah tanah
negara.

Aturan ini sengaja diterapkan agar pemerintah Hindia Belanda dapat memiliki
tanah-tanah rakyat yang pada waktu itu, hampir seluruhnya menerapkan sistem hukum
adat. Sementara pemilikan tanah berdasarkan sistem adat tidak ada satupun yang
menyamai hak eigendom. Kelahiran UUPA 1960 lah yang kemudian dipandang sebagai
titik balik perjalanan politik agraria di Indonesia karena kembali menempatkan hukum
adat sebagai dasar hukum agraria di Indonesia. Dengan menerapkan strategi populis,
UUPA 1960 menghendaki penataan kembali struktur penguasaan sumber-sumber
agraria yang timpang dan terbukti pula menimbulkan berbagai masalah sosial pada
masa itu. UUPA ingin melakukan perombakan total terhadap strategi kapitalisme yang
dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

2
PEMBAHASAN

 Konsep Agraria

Menurut Sitorus (2002) konsep agraria merujuk pada berbagai hubungan


antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam
rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber graria. Secara kategoris, subjek
agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit
rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector).

Ketiga subjek agraria tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria


melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Dalam hubungan-
hubungan itu akan menimbulkan kepentingan-kepentingan sosial ekonomi masing-
masing subjek berkenaan dengan pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial
agraria yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, penggunaan) terhadap
sumber agraria.

 Analisis Permasalahan Agraria

3
Masyarakat Indonesia kerap kali dihadapi oleh berbagai persoalan yang terkait
dengan ketidak-adilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan
suber-sumber agraria. Hal ini disebabkan oleh kebijakan-kebijakan politik yang tidak
memberikan kelayakan akses bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan
sumber-sumber agraria.

Keberadaan tanah merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat


agraris. Menurut Tjodronegoro (1998), tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat
banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan
utamanya. Sumberdaya tanah bersifat multi fungsi dalam aktifitas kehidupan manusia
di berbagai bidang, baik di bidang pertanian maupun non-pertanian. Di bidang
pertanian tanah digunakan sebagai lahan untuk berusahatani sehingga dapat
menghasilkan produksi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan
di bidang non-pertanian tanah digunakan sebagai tempat pemukiman,
perkantoran/jasa maupun tempat lainnya.

Dari tahun ke tahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun, jumlah
petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin meningkat, begitu juga halnya
dengan petani penyakap yang kesemuaannya dapat dikategorikan sebagai masyarakat
miskin. Di sisi lain konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir
orang saja begitu mencuat, karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral.
Konflik agraria merupakan kenyataan yang kerap terjadi di berbagai wilayah di
Indonesia.

Menurut Mahkamah Agung, data empiris sengketa mengenai pertanahan di


Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan sengketa lain dalam perkara perdata, baik
di pengadilan tingat pertama maupun yang telah masuk ke MA. Rata-rata perkara
perdata bidang pertanahan yang ditangani MA (2001-2005) tercatat 63% dari perkara
perdata yang masuk ke MA (Muchsin; 2007). Jauh sebelumnya, Konsorsium Pembaruan
Agraria telah merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural sepanjang Orde Baru,
yaitu konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau
instrumen negara. Konflik agraria struktural adalah sengketa atau konflik yang
disebabkan oleh penggunaan dan/atau penyalahgunaan  kekuasaan negara yang
dijalankan pemerintahan. Bukan antarwarga yang sifatnya individual. Umumnya

4
konflik agraria berawal dari proses “negaraisasi” tanah-tanah yang sudah lama dikuasai
dan didiami rakyat.  Atas nama hak menguasai dari negara, pemerintah memberikan
alas klaim atau hak pemanfaatan baru bagi badan- badan usaha.

Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang saat ini ditangani Badan
Pertanahan Nasional RI setelah validasi  bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491
kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus,
dan perkaran pertanahan 2.052 kasus. Dari 7.491 kasus tersebut, presentase
berdasarkan tipologi masalahnya adalah:

(a) Penguasaan dan pemilikan 59,61%

(b) Penetapan hak dan pendaftaran hak 14,62%

(c) Batas dan letak bidang tanah 6,81%

(d) Ganti rugi eks-tanah partikelir 3,48%

(e) Tanah ulayat 1,78%

(f) Tanah objek landreform 2,27%

(g) Pembebasan dan pengadaan tanah 3,18%;

(h) Pelaksanaan putusan pengadilan 8,20% (Pidato Kepala BPN RI, di Denpasar Bali, 14
November 2007).

Contoh konflik agraria yang kerap kali terjadi di Indonesia yakni dalam hal
kepemilikan kawasan hutan. Dalam konteks ini, petani sering dituduh menyerobot
kawasan hutan, padahal dalam banyak kasus justru petanilah yang diserobot lahannya.
Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Cibaliung di Propinsi Banten, tanah rakyat justru
dirampas Perhutani, meski petani memiliki bukti kepemilikan yang sah hal tersebut
tidak menutup tindak kekerasan yang terjadi pada petani.

Konflik kehutanan bisa juga muncul di wilayah konservasi hutan atau hutan
suaka, padahal rakyat lebih lama tinggal di kawasan tersebut. Hal ini juga terjadi seperti
kasus TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon) di Propinsi Banten, yang dimana petani
dipaksa pindah dari tempat tinggalnya karena daerahnya ditetapkan sebagai taman
nasional. Konflik yang berkepanjangan itu kembali memakan korban, yakni satu orang
petani anggota SPI (Serikat Petani Indonesia) tewas tertembak pada 2006 yang

5
mengakibatkan kemarahan kaum tani yang hidup disana. Buntut dari konflik tersebut,
pada 23 Mei 2007 lima orang petani di kawasan TNUK ditangkap.

 Reforma Agraria

Penataan kembali arah kebijakan politik agraria disadari bersama sebagai hal
yang sangat esensial untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dan pemerataan hak bagi
masyarakat. Salah satu upaya perbaikan tersebut adalah dengan mencuatkan kembali
pentingnya pelaksanaan Reforma Agraria sebagai salah satu agenda pembangunan
bangsa.

Dalam program pemerintahan SBY-JK agenda reforma agraria merupakan bagian


dari program Perbaikan dan Penciptaan Kesempatan Kerja dan Revitalisasi Pertanian
dan Pedesaan. Presiden RI DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono telah melakuakn pidato
politik terkait dengan maslah agraria di Indonesia pada awal tahun 2007, salah satu
penggalan pidato tersebut adalah: “Program Reforma Agraria…secara bertahap…akan
dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah
bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut
hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya
sebut sebagai prinsip tanah untuk keadialan dan kesejahteraan rakyat…[yang] saya
anggap mutlak untuk dilakukan”.

Tanah merupakan komponen dasar dalam Reforma Agraria. Pada dasarnya


tanah yang ditetapkan sebagai obyek Reforma Agraria adalah tanah-tanah negara dari
berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan
sebagi obyek Reforma Agraria. Sesuai dengan tahapan perencanaan luas tanah yang
dibutuhkan untuk menunjang Reforma Agraria, maka luas kebutuhan tanah obyek
Reforma Agraria dalam kurun waktu 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta Ha. Menurut
Badan Petanahan Nasional RI (2007), makna Reforma Agraria adalah restrukturisasi
penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber agraria,
terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan

6
kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini di dekomposisikan, terdapat lima komponen
mendasar di dalamnya, yaitu:
1. Resturukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-
ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity),
2. Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasisi keagraraiaan (welfare),
3. Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara
optimal (efficiency),
4. Keberlanjutan (sustainability), dan
5. Penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Konsep Reforma Agraria tidak lepas dari apa yang disebut dengan konsep
Lanreform. Syahyuti (2004) mengutarakan bahwa dalam konteks reforma agraria,
peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak
didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai
tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis
pembangunan pertanian dan pedesaan. Adapun tujuan dari landreform menurut
Michael Lipton dalam Mocodompis (2006) adalah:

1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini
dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk
mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat
merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani.

2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan


ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya
meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan, kemudian secara langasung
akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem
bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.

Keseluruhan tujuan Reforma Agraria di atas bermuara pada peningkatan


kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Berbagai
upaya perbaikan dalam bidang agrarian sebaiknya terus diupayakan dengan memiliki
suatu muara, yaitu tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

7
DAFTAR PUSTAKA

BPN. 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan
“Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional RI.

Mocodompis, Harison. 2006. Reforma Agraria Dan Upaya Mengatasi Kemiskinan di Indonesia.

Sitorus, MT Felix. 2002. Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar et al (ed.). Menuju Keadilan
Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga.

Soetarto, Endriatmo dan Shohibuddin. 2006. Tantangan Pelaksanaan Reforma Agraria dan
Peran Lembaga Pendidikan Kedinasan Keagrariaan.

Suryo, Tejo. 2008. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Program Reforma Agraria Nasional.
Tesis. Program Pasca Sarjan IPB.

http://ahmad.zuber70.googlepages.com/pendekatandalammemahamiperubahanagrariad

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART3-2d.pdf

http://www.suarapembaruan.com/News/2009/08/02/Profil/pro01.htm

Você também pode gostar