Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Aditya Jaya
Pendidikan Bahasa
a) Nativisme
b) Empirisme
c) Konvergensi
Pendukung Nativisme seperti Noam Chomsky memfokuskan teori ini dalam lapangan
bahasa. Ia menyatakan bahwa bahasa adalah pembawaan lahir; manusia dilahirkan
dengan peraturan tentang bahasa di benak mereka, yang disebut Chomsky sebagai
“Universal Grammar” (Tata bahasa Universal). Seluruh bahasa didunia didasarkan
1 Qureshi, Elena, M.A. M.Ed. “Models of the Learner” Model of Learner Ph.D.
<http://web2.uwindsor.ca/courses/edfac/morton/models_of_learners.htm>
2 Bomostein, Marc H. & Michael E. Lamb. Developmental psychology: an advanced
-1-
atas Universal Grammar ini. Bila ada makhluk luar angkasa mendarat di bumi,
makhluk ini akan berpikir bahwa diseluruh dunia ini hanya ada 1 bahasa, tapi dalam
beragam dialek. Anak-anak tidak diplejari secara formal untuk berbicara. Orang-
dewasa tak bertutur kata dengan sempurna; pembicaraan mereka terputus, mereka
memakai slang, salah berbicara, berubah pikiran, dan seterusnya. Tapi anak usia dini
toh masih bisa berbicara. Hal ini terjadi, menurut Chomsky, karena anak-anak tidak
sekedar meniru bahasa yang mereka dengar. Mereka bisa menilik peraturan dibalik
bahasa yang mereka dengar dan membuat kalimat-kalimat yang belum pernah mereka
dengar sebelumnya.3
Steven Pinker di bukunya “The Blank Slate: The Modern Denial of Human Nature”
berargumen bahwa manusia diberkati sejak lahir dengan beberapa modul kognitif
yang memungkinkan kita untuk mempelajari dan menguasai keahlian tertentu seperti
bahasa.
anak-anak bisa dengan cepat menguasai bahasa lisan, tapi memerlukan pengajaran
intensif untuk mempelajari bahasa tulisan. Menurut Pinker ini menunjukkan bahwa
manusia mempunyai kemampuan terlahir untuk ‘speech acquisition’ tapi bukan untuk
‘literacy acquisition.’4
Kelemahan utama Nativisme adalah tidak adanya batas jelas bakat apa yang bawaan
dan mana yang bukan. Tak jelas juga bagaimana dan dimana informasi bawaan
tersebut di kodekan di DNA atau gen manusia. Teori modern nativisme ini juga tak
bisa memberikan prediksi yang bisa dites, sehingga sering disamakan dengan
pseudoscience.
<http://en.wikipedia.org/wiki/Psychological_nativism#cite_note-0>
5 Markie, Peter, "Rationalism vs. Empiricism", The Stanford Encyclopedia of
-2-
Menurut Locke, bayi yang terlahir ini tak tahu apa-apa, tapi langsung mendapat
pengalaman dari indranya. Semua bentuk dan warna yang dilihat, semua hal yang
didengar, semua sentuhan dan rasa, membentuk gagasan sederhana (simple ideas)
yang “nyantol” di otak karena pikiran manusia mempunyai kekuatan ingatan. Lalu
perlahan lahan si anak menggunakan akal pikiran kombinasi, abstraksi, dll untuk
membangun konsep yang kompleks. Simple idea ini bisa diciptakan sendiri oleh sang
anak; bila sang anak tak mendapat pengalaman yang berkaitan, simple idea ini takkan
tumbuh di benaknya, yang selanjutnya akan berdampak pada miskinnya konsep
kompleks. Ide yang berhubungan adalah semua konsep kompleks bisa ditelusur balik
ke penggabungan beberapa simple idea (Ibid).7
Bila kini sekolah-sekolah begitu teliti dengan pendidikan dini anak, ini karena
dampak dari aliran ini. Di Amerika, untuk menanggulangi kurangnya konsep yang
dimiliki anak-anak dari keluarga kurang berada, pemerintah menyelenggarakan
program seperti “Operation Headstart” dan program TV “Sesame Street.”Sekolah-
sekolah Montessori juga sangat memperhatikan pendidikan dini ini, dengan
pengajaran menggunakan blok-blok berbeda warna, bentuk, dan tekstur. Salah satu
ide paling kekang dari aliran ini adalah konsep prerekuisit belajar; bahwa sang murid
harus sudah belajar suatu pengalaman atau simple idea sebelum ia bisa belajar
material baru (Ibid, hal. 15). 8
Kritik dari aliran ini adalah bahwa si murid adalah benda pasif, terutama di tahap-
tahap pertama pelajaran. Dalam pandangan Locke, si anak hanya menunggu
kejatuhan pengalaman saja; tidak ada tindakan aktif dari si anak. Yang juga dikritik
adalah pandangan ‘atomisme’ Locke, bahwa pengalaman datang dalam unit dan
ukuran tertentu, ‘simple idea’ membentuk konsep kompleks, seperti atom-atom
bergabung membentuk benda besar. Namun apakah pengalaman bisa ditakar dan
diukur secara gambling? Lingkungan si anak terdiri dari ribuan dan jutaan debu,
bayangan, berkas cahaya, berbagai benda dengan beragam bentuk, warna, permukaan,
dan seterusnya. Semestinya si anak mendapat jutaan dan ribuan simple idea hanya
dengan melihat saja. Tapi bukan itu yang terjadi. Bila Locke 100% benar, anak
tinggal lihat abjad langsung bisa baca, karena toch kata-kata adalah gabungan dari
huruf-huruf alfabet.
7 Ibid.
8 Ibid.
-3-
seluruh psikologi manusia harus di dekati melalui aspek kepribadian.9
Dari “pertikaian” antara aliran Nativisme dan Empirisme, tak dapat dihindarkan
terbuatnya aliran Konvergensi. Kedua aliran pertama memberikan petunjuk-petunjuk
kuat akan perkembangan pendidikan manusia, sehingga memang diperlukan suatu
aliran yang bisa mempersatukan kedua sudut pandang tersebut. William Stern bukan
hanya menyambungkan kedua aliran tersebut tapi membuat satu langkah lebih maju
lagi bahwa adonan kedua aliran itu akhirnya terkukus dalam bentuk kepribadian
seseorang. Pandangan Stern ini juga membuat bidang psikologi lebih humanis;
memandang seseorang sebagai seorang pribadi dengan kepribadiannya, dan bukan
hanya sekedar subjek observasi; sekumpulan gelagat yang kebetulan bisa bernafas,
berjalan, dan berbicara.
Kultur harus dipelajari oleh manusia. Bayi yang meraih makanan, adalah karena
dorongan yang diturunkan lewat kode genetiknya. Tapi seseorang yang meraih bubur
ayam, atau sebaliknya lebih memilih sereal dan susu disbanding bubur, telah belajar
bahwa di kulturnya bubur ayam (atau sereal) adalah makanan yang layak dan diterima
masyarakat untuk makanan pagi. (Miraglia)11
webster.com/dictionary/culture>
11 Miraglia, Eric, “What is Culture?” Learning Systems Group. 1999.
<http://www.wsu.edu/gened/learn-modules/top_culture/culture-definition.html>
-4-
• Memberikan batas-batas yang selalu relevan 12
Seperti yang sudah dinyatakan diatas, kebudayaan harus diajarkan ke anggota baru,
baik secara informal; seorang ibu mengingatkan ‘mana tangan yang manis’; atau
formal; guru mengajar cara hormat menyapa yang lebih tua.
Bila kebudayaan diputuskan untuk diajar secara formal, maka institusi pendidikan
harus dikukung, disokong dan diayomi dalam usahanya mengajarkan kebudayaan
tersebut. Dukungan tersebut dalam berbagai betuk, mulai dari mengharuskan sekolah-
sekolah menyediakan cukup waktu untuk pengajaran budaya, sampai menyediakan
sarana-sarana untuk menghasilkan guru yang bisa mengajarkan kebudayaan dengan
baik dan benar.
Ada yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia punya rasa harga diri rendah.
Indonesia selalu memandang rendah kemampuan warganya sendiri. Tapi bila ada bule
yang memuji prestasi seorang Indonesia, maka barulah orang tersebut dipuja, walau
sebelumnya orang ini terlantar dalam ketakjelasan. Dan bidang yang dipuja tersebut
menjadi bidang “panas” dimana semua orang ingin memasukinya. Kebudayaan
kebangsaan yang baik dan benar bisa membantu menaikkan rasa harga diri bangsa
Indonesia. Kebudayaan kebangsaan, karena itu, wajib dilestarikan di Indonesia. Selain
melalu segi informal (misalnya sinetron) juga melalu segi formal, yaitu melalui
pendidikan.
Dr. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan; kebudayaan merupakan dasar pendidikan. Juga, kebudayaan yang
menjadi dasar pendidikan tersebut harus bersifat kebangsaan. Dari pernyataan ini
sudah jelas bahwa pendidikan kebudayaan kebangsaan haurs tertanam dalam di DNA
pendidikan Indonesia.
Pendidikan adalah proses bimbingang yang berujud pengaruh dari orang dewasa
kepada peserta didik supaya menjadi dewasa yang mempunyai kepribadian, berbudi
pekerti luhur, dan berakhlak mulia.13
-5-
Untuk menghasilkan peserta didik yang berakhlak tinggi ini tentu dibutuhkan guru
yang bisa mengangkat peserta didik tersebut. Guru ideal mempunyai profil antara
lain:
• Memiliki kepribadian dengan ciri-ciri kebangsaan tinggi, jujur, sabar, disiplin dan
kerja keras, dll.
• Memiliki pengetahuan dan pemahaman profesi kependidikan tentang peserta didik,
teori belaja, kurikulum, teknologi, moral, dll
• Memiliki pengetahuan dan pemahaman tnetang bidang spesialisasi teori, konsep,
prosedur disiplin ilmunya, cara mengembangkan materi dan bahan ajar, dll.
• Memiliki kemampuan dan ketrampilan profesi dalam mengembangkan dan
merencanakan pembelajaran, menerapkan berbagai teori dan prinsip pendidikan dll
Yang diatas hanyalanya cuplikan kecil dari profil panjang sebuah guru ideal.
Untuk memastikan bahwa pendidik memiliki profil yang mendekati profil ideal ini,
maka pemerintah membuat undang-undang, UU. No. 20 th. 2003; Sistim Pendidikan
Nasional, yang mengatur hak dan kewajiban guru dan dosen. Contoh kewajiban
misalnya untuk mengajar TK-SMA, maka pendidik haruslah sudah meraih tingkat
sarjana S1. Untuk mengajara peserta didik di bangku SMA-Universitas, maka
pendidik haruslah sudah menggapai S2. Sedang pendidik S3 cocok utnuk mengajar
mereka yang lulus dari kuliah/ paska sarjana. UU ini juga mengatur pendidikan anak
usia dini.
Dengan pelan-pelan sistem pendidikan nasional yang kokoh dan terintegrasi mulai
terbangun. Tentu saja, apa yang tertera di buku undang-undang dan pelaksanaannya di
lapangan belum tentu sesuai, dan masih ada yang bocor atau ketinggalan.
4) Pendidikan Anak Usia Dini sangat tepat untuk membentuk manusia Indonesia
yang berkepribadian, berkarakter, dan berakhlak mulia. Jelaskan pernyataan ini
dilihat dari tiga lingkungan pendidikan oleh Ki Hadjar Dewantara!
Menurut Ki Hajar Dewantara ada tiga lingkungan pendidikan (Tri Sentra); lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan organisasi pemuda.14
14 Ibid.
-6-
Lingkungan Keluarga merupakan pengalaman pertama sang anak. Disinilah sang
anak belajar tentang emosi, dasar dari pendidikan moral dan sosial, dan dasar
pendidikan agama.
Ketiga lingkungan ini saling tergantung satu sama lain. Murid yang datang dari
lingkungan keluarga yang kacau, tentu akan mempengaruhi prestasinya di lingkungan
sekolah, dan mungkin menyebabkan ia memiliki lingkungan organisasi pemuda yang
kecil. Pendidikan yang optimal akan terjadi bila ketiga lingkungan tersebut bisa
berkoordinasi dalam membangun pendidikan sang anak.
Misalnya di lingkungan keluarga sang anak diajar utk bertindak dengan sopan santun,
dan tak perlu terlalu cepat takut pada hal-hal baru. Tentu ini bisa melicinkan jalannya
membentuk ikatan sosial di lingkungan organisasi pemuda; ia tidak mudah merengek
mencari ibunya, misalnya. Atau ia mudah membagi mainan dengan teman mainnya.
Atau istilahnya, bila dirumah diajar manis, dengan temannya ia akan bermain manis.
Bila disekolah diajar tentang tradisi adat, misalnya, akan tetapi di lingkungan rumah
tak ada yang tertarik berbicara tentang tradisi adat, maka pendidikan tradisi adat ini
akan tertera secara dangkal saja pada si anak, sekedar tingkat hafalan saja,
umpamanya.
Jika ketiga lingkungan ini dapat saling melengkapi dan bahu membahu, maka mereka
bisa menjadi fondasi untuk mengangkat sang anak menjadi manusia modern
berakhlak tinggi.
-7-