Você está na página 1de 14

Institut Pertanian STIPER

Yogyakarta

RSPO dinilai Jadi Alat


Kolonialisme Industri
Kelapa Sawit
 

NAMA : ALBERTKA SEPTI ADI


NIM : 08/12518/BP_SPKS
Pendahuluan
Pengembangan ekspansi perkebunan secara cepat memberikan tekanan pada
lingkungan. Sedangkan perkebunan dikelola dengan baik dan petani kecil
kelapa sawit melayani sebagai model pertanian berkelanjutan, dalam hal
kinerja ekonomi maupun tanggung jawab sosial dan lingkungan, ada
kekhawatiran bahwa tidak semua minyak kelapa sawit selalu diproduksi
secara berkelanjutan. Pengembangan perkebunan baru telah mengakibatkan
konversi areal hutan dengan nilai konservasi tinggi dan telah mengancam
keanekaragaman hayati yang kaya dalam ekosistem.
Akibat permasalahan itu maka dibentuklah Roundtable on Sustainable Palm
Oil (RSPO). Pada tanggal 8 April 2004,organisasi tersebut resmi didirikan
yang berpusat di Zurich, Swiss dan ,Sekretariat berbasis di Kuala Lumpur
dengan kantor Penghubung RSPO di Jakarta. Mengapa minyak sawit
berkelanjutan? Didorong oleh semakin meningkat permintaan global untuk
minyak nabati, beberapa dekade terakhir telah melihat ekspansi yang cepat
dalam produksi dua minyak nabati utama, soya oil di Amerika Selatan dan
minyak sawit di daerah tropis dan peregangan ke dalam sub-tropis.
Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO)
RSPO adalah asosiasi non-profit yang menyatukan pihak-pihak terkait dari
beberapa sektor dalam industri kelapa sawit, yakni produsen minyak kelapa
sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit,, bank dan investor, LSM
lingkungan serta LSM sosial untuk mengembangkan dan menerapkan
standar global untuk minyak kelapa sawit yang berkesinambungan.
Peran RSPO :
 mewujudkan industri berkesinambungan dengan cara bekerja sama dengan
sejumlah organisasi.
 Membatasi perusakan hutan
 Menentukan standar ekonomi, lingkungan hidup dan sosial dari produksi
minyak kelapa sawit.
 Memberikan sertifikasi bagi perusahaan perkebunan.
Visi dan Misi RSPO

Visi
RSPO meyakinkan kelapa sawit memberikan
kontribusi untuk dunia yang lebih baik.

Misi
Untuk memajukan produksi, pengadaan dan
penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan melalui
pengembangan, implementasi dan verifikasi standar
global yang kredibel dan, keterlibatan pemangku
kepentingan di sepanjang rantai pasokan.
Secara khusus, RSPO akan bercita-cita untuk mencapai misi dengan
mengerjakan tugas-tugas berikut:
• Penelitian dan mengembangkan definisi dan kriteria untuk produksi
yang berkelanjutan dan penggunaan minyak sawit;
• Melakukan praktis proyek yang dirancang untuk memfasilitasi
pelaksanaan praktek terbaik yang berkelanjutan;
• Mengembangkan solusi untuk masalah-masalah praktis yang terkait
dengan adopsi dan verifikasi penerapan terbaik untuk pendirian
perkebunan dan manajemen, pengadaan, perdagangan dan logistik;
• Libatkan seluruh rantai pasokan untuk mendukung minyak sawit
lestari.Memperoleh sumber keuangan dari dana publik dan swasta
untuk membiayai proyek-proyek di bawah naungan Roundtable on
Sustainable Palm Oil.
• Mengkomunikasikan Roundtable itu bekerja untuk semua pemangku
kepentingan dan publik yang lebih luas.
Syarat Mendapatkan sertifikat
RSPO
Tahapan suatu perusahaan untuk mendapatkan system sertifikasi
dibagi menjadi 3 tahap :
1. Standar Sertifikasi: Yaitu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
perusahaan untuk mendapatkan sertifikat RSPO.
2. Persyaratan Akreditasi: Yaitu mekanisme pengesahan untuk
organisasi yang akan menjalankan sertifikasi.
3. Persyaratan Proses Sertifikasi: Yaitu proses yang disyaratkan
untuk membuat apakah standard sudah dipenuhi.
RSPO Dinilai Jadi Alat Kolonialisme Industri Sawit

Jakarta - Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)


atau Forum Meja Bundar Kelapa Sawit dinilai lebih
menunjukkan perannya sebagai alat kolonialisme ekonomi
para pembeli kelapa sawit dari negara-negara industri maju.
"RSPO sebenarnya bisa menjadi forum yang bermanfaat bagi
perkembangan sawit indonesia. Tapi kalau tidak dikelola
dengan benar, RSPO memang bisa menjadi kolonialisme
negara maju. RSPO bisa bias mendorong terciptanya buyers
market yang banyak didikte oleh konsumen, yang notabene
adalah korporasi dari negara-negara maju“. produsen kelapa
sawit Indonesia harus terus bersatu dan tidak mudah dipecah
belah, sehingga industri kelapa sawit Indonesia tidak mudah
diinjak-injak.
Dalam pernyataannya, Dradjad mengatakan RSPO saat ini terlalu
didikte oleh LSM, sehingga pelaku industri sawit dalam negeri harus
solid agar tidak mudah ditekan. "Jadi produsen Indonesia jangan
mudah dipecah belah. Malah upayakan mencuri suara konsumen.
Sehingga RSPO bisa diubah menjadi producers' market atau netral.
Ketika satu produsen terkena, solidaritas dari produsen lain tidak
muncul. Jika begini terus, RSPO akan dikendalikan konsumen. Lebih
buruk lagi, mudah didikte oleh sekelompok kecil pihak luar.“
pemerintah perlu membantu para pengusaha sawit yang menjadi
anggota RSPO. Caranya, adalah melalui jalur demokrasi. Lalu
memberikan klarifikasi legal sehingga menaikkan posisi tawar
produsen dalam negeri. "Contohnya kebijakan tentang kosmetika dan
produk pembersih seperti sabun. Pemerintah bisa mengatur sertifikasi
asal usul (certificate of origin) yang menguntungkan produsen
Indonesia. Sehingga, posisi tawar mereka naik terhadap industri
kosmetika dan produk pembersih yang menjadi konsumen,"
RSPO menyatakan Sinar Mas (SMART) telah melanggar sejumlah
aturan dan mengeluarkan peringatan agar perusahaan CPO tersebut
segera melakukan perbaikan atau dikeluarkan dari RSPO. Menanggapi
hal ini, pemerintah akan membuat pembelaan resmi terkait keputusan
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Meja Bundar Minyak
Sawit yang menyatakan Sinar Mas telah melanggar sejumlah aturan dan
mengeluarkan peringatan agar perusahaan CPO tersebut segera
melakukan perbaikan atau dikeluarkan dari RSPO.
• Perang Sawit dan Black Campaigne
Sebagai negeri pertanian, bersama Malaysia kita memang dikenal
sebagai penghasil sawit. Sebaliknya, Amerika Serikat (AS) adalah
penghasil minyak kedele (38 persen) di dunia. Lalu, disusul oleh
Brazil (37 persen) dan Argentina (15 persen). Posisi Indonesia
menjadi strategis karena dari 13,7 juta hektare kebun sawit di
dunia justru 7,5 juta hektare berada di Indonesia.
Kian melegakan hati, menurut data World Oil Annual
2009, kebun sawit kita itu justru 40 persen dimiliki oleh rakyat,
dan selebihnya milik PTPN dan perkebunan swasta besar.
Mencermati prospektif sawit yang cerah itu, saya menduga-
duga, jangan-jangan inilah penyebab mengapa beberapa tahun ini
terdengar black campaigne terhadap produk sawit kita. Beberapa
LSM atau NGO internasional meng-gembar-gemborkan seolah-olah
kebun sawit sebagai perusak lingkungan. Bukan kebetulan pula jika
NGO dimaksud berbasis di berbagai negara yang tak mempunyai
kebun sawit. Saya merasa ada semacam hiperbola yang terpampang
di pentas sawit internasional. Sederhana saja, industri sawit nasional
hanya mempunyai areal kebun sawit seluas 7,5 juta hektare alias
hanya 6 persen dari luas hutan Indonesia seluas 130 juta hektare.
Bukankah tuduhan itu terlalu dibesar-besarkan? Tak pelak di balik
semua isu itu jangan-jangan ada agenda tersembunyi. Saya sendiri
menyebutnya sebagai perang sawit yang akan berkecamuk di seluruh
dunia.
• Perang sawit, apa pula itu? Saya kira tak bisa dilepaskan dari
tren global, krisis energi dan global warning yang mendera
dunia dewasa ini. Kita terbayang betapa Co2 karbondioksida
dihamburkan oleh rumah-rumah kaca tanpa ampun yang
bertebaran di Amerika Serikat, Cina, Eropa, dan Jepang.
Enersi listrik yang digerakkan oleh BBM, termasuk Co2 yang
menyembur dari dunia industri maupun mobil memang sangat
rakus meminum energi yang berasal dari minyak bumi
tersebut.
• Ternyata CPO yang berasal dari tanaman nabati sangat efisien
mengganti bahan bakar petrolium dari fosil. Inilah, yang
menjadi benteng terakhir bagi dunia masa depan, sekaligus
dalam memerangi emisi-pemanasan global. Nah, Indonesia di
masa depan sangat dibutuhkan dunia.
• Terdengarlah RSPO (roundtable on Suistinable Palm Oil)
yang menuangkan panduan produksi minyak sawit. Tapi
Indonesia ternyata mau menurut. Sedikitnya, 72 industri sawit
nasional dari hulu hingga ke hilir bersedia menjadi anggota
RSPO yang berkantor pusat di Zurich, Swiss tersebut. Industri
sawit kita malah menandinginya dengan ISPO (Indonesian
Suistanable Palm Oil). Soalnya, seperti kata Haposan, GAPKI
menilai ketentuan RSPO tak selalu sejalan dengan arah dan
kepentingan industri sawit kita.
• Kita terbayang Indonesia akan bisa meningkatkan rata-rata
produksi CPO dari rata-rata 2 ton menjadi 4 ton per hektare.
Kelak tak hanya memproduksi CPO bersama turunannya,
tetapi juga sebagai cikal bakal penganti bahan bakar fosil yang
tak terbarukan. Sementara, sudah pasti pula krisis minyak kian
gawat karena minyak bumi kian kering di dasar bumi.
• . Adapun Indonesia kelak menjadi penghasil bio energy dari
bahan nabati terbesar di dunia. Di tengah desau black
campaigne tentang sawit Indonesia, saya terbayang perang
sawit akan dimenangkan Indonesia.
Institut Pertanian STIPER
Yogyakarta

TERIMA KASIH

Você também pode gostar