Você está na página 1de 12

Candi Plaosan yang dibangun Rakai Pikatan memiliki beberapa keunikan dibanding candi lain,

yaitu dua candi utamanya yang "kembar" serta teras yang permukaannya halus. Di candi ini
juga terdapat figur Vajrapani, Amitbha, dan Prajnaparamitha.

Candi Plaosan, Candi Kembar di Yogyakarta


Anda tak perlu terburu-buru kembali ke penginapan usai berkunjung ke Candi Prambanan,
sebab tidak jauh dari candi Hindu tercantik di dunia itu anda juga akan menemui candi-candi lain
yang sama menariknya. Melaju ke utara sejauh 1 km, anda akan menemui Candi Plaosan, sebuah
candi yang dibangun oleh Rakai Pikatan untuk permaisurinya, Pramudyawardani. Terletak di
Dusun Bugisan Kecamatan Prambanan, arsitektur candi ini merupakan perpaduan Hindu dan
Budha.

Kompleks Plaosan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan
Kidul. Kedua candi itu memiliki teras berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh dinding, tempat
semedi berbentuk gardu di bagian barat serta stupa di sisi lainnya. Karena kesamaan itu, maka
kenampakan Candi Plaosan Lor dan Kidul hampir serupa jika dilihat dari jauh sehingga sampai
sekarang Candi Plaosan juga sering disebut candi kembar.

Bangunan Candi Plaosan Lor memiliki halaman tengah yang dikelilingi oleh dinding
dengan pintu masuk di sebelah barat. Pada bagian tengah halaman itu terdapat pendopo
berukuran 21,62 m x 19 m. Pada bagian timur pendopo terdapat 3 buah altar, yaitu altar utara,
timur dan selatan. Gambaran Amitbha, Ratnasambhava, Vairochana, dan Aksobya terdapat di
altar timur. Stupa Samantabadhara dan figur Ksitigarbha ada di altar utara, sementara gambaran
Manjusri terdapat di altar barat.

Candi Plaosan Kidul juga memiliki pendopo di bagian tengah yang dikelilingi 8 candi kecil
yang terbagi menjadi 2 tingkat dan tiap-tiap tingkat terdiri dari 4 candi. Ada pula gambaran
Tathagata Amitbha, Vajrapani dengan atribut vajra pada utpala serta Prajnaparamita yang
dianggap sebagai "ibu dari semua Budha". Beberapa gambar lain masih bisa dijumpai namun
tidak pada tempat yang asli. Figur Manujri yang menurut seorang ilmuwan Belanda bernama
Krom cukup signifikan juga bisa dijumpai.

Bagian Bas relief candi ini memiliki gambaran unik pria dan wanita. Terdapat seorang pria
yang digambarkan tengah duduk bersila dengan tangan menyembah serta figur pria dengan
tangan vara mudra dan vas di kaki yang dikelilingi enam pria yang lebih kecil. Seorang wanita
ada yang digambarkan sedang berdiri dengan tangan vara mudra, sementara di sekelilingnya
terdapat buku, pallet dan vas. Krom berpendapat bahwa figur pria wanita itu adalah gambaran
patron supporter dari dua wihara.

Seluruh kompleks Candi Plaosan memiliki 116 stupa perwara dan 50 candi perwara. Stupa
perwara bisa dilihat di semua sisi candi utama, demikian pula candi perwara yang ukurannya
lebih kecil. Bila berjalan ke bagian utara, anda bisa melihat bangunan terbuka yang disebut
Mandapa. Dua buah prasati juga bisa ditemui, yaitu prasasti yang di atas keping emas di sebelah
utara candi utama dan prasasti yang ditulis di atas batu di Candi Perwara baris pertama.
Salah satu kekhasan Candi Plaosan adalah permukaan teras yang halus. Krom berpendapat
teras candi ini berbeda dengan teras candi lain yang dibangun di masa yang sama. Menurutnya,
hal itu terkait dengan fungsi candi kala itu yang diduga untuk menyimpan teks-teks kanonik
milik para pendeta Budha. Dugaan lain yang berasal dari para ilmuwan Belanda, jika jumlah
pendeta di wilayah itu sedikit maka mungkin teras itu digunakan sebagai sebuah wihara (tempat
ibadah umat Budha).

Jika melihat sekeliling candi, anda akan tahu bahwa Candi Plaosan sebenarnya merupakan
kompleks candi yang luas. Hal itu dapat dilihat dari adanya pagar keliling sepanjang 460 m dari
utara ke selatan serta 290 m dari barat ke timur, juga interior pagar yang terdiri atas parit
sepanjang 440 m dari utara ke selatan dan 270 m dari barat ke timur. Parit yang menyusun
bagian interior pagar itu bisa dilihat dengan berjalan ke arah timur melewati sisi tengah
bangunan bersejarah ini.
Candi Ijo adalah candi yang letaknya paling tinggi di Yogyakarta yang menyuguhkan pesona
alam dan budaya serta pesawat yang tengah landing. Candi inilah yang membuat landasan
Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.

Candi Ijo, Candi yang Letaknya Tertinggi di Yogyakarta


Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah
perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak,
bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya yang belum
banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di
antara candi-candi lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau
atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya,
maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di
bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski
bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.

Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak.
Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang
membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah
lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan
pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling
sakral.

Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu
ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa
atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha
menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha.
Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.

Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan
mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai
suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi
Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca
di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.

Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat
api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-
lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api
pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara
menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.

Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di
bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau
Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal
9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis
sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa."
Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu.
Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.

Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa
dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa
melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai
karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena
keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke
arah timur.

Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya
untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak
karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat
Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni,
bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.
Borobudur adalah candi Budha terbesar di abad ke-9 yang berukuran 123 x 123 meter. Candi
Borobudur selesai dibangun berabad-abad sebelum Angkor Wat di Kamboja.

Borobudur, Candi Budha Terbesar di Abad ke-9


Siapa tak kenal Candi Borobudur? Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa
Budha di kompleksnya. Jutaan orang mendamba untuk mengunjungi bangunan yang termasuk
dalam World Wonder Heritages ini. Tak mengherankan, sebab secara arsitektural maupun
fungsinya sebagai tempat ibadah, Borobudur memang memikat hati.

Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno,
keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama
Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang
selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur
sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara
beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.

Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42


meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah
digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat
di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang
menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai
mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti
melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.

Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat
nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat
membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung
Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam
stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas
dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana,
tempat Budha bersemayam.

Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya.
Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu
masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda,
yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat
itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem
pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang
waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).

Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha.
Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari
ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di
Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada
abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja
dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini.

Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah
satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha. Ia menjadi kepala
biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam
naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path
to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.

Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana
kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur.
Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena
letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan 'Amawa' berarti lautan susu. Kata
itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi. Beberapa yang lain mengatakan Borobudur
tertimbun lahar dingin Merapi.

Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar bila banyak orang dari segala penjru dunia
memasukkan Borobudur sebagai tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain
menikmati candinya, anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti
Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat kerajinan. Anda juga bisa
pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu
apa lagi? Tak perlu khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya
sama sekali.
Candi Tara adalah candi yang dipersembahkan untuk Dewi Tara yang dinding luarnya dilapisi
semen kuno. Candi Budha tertua di Yogyakarta ini dibangun oleh Rakai Panangkaran, raja dari
dinasti Syailendra yang juga mengkonsep pendirian Borobudur.

Candi Tara, Peninggalan Budha Tertua di Yogyakarta


Banyak orang selalu menyebut Borobudur saat membicarakan bangunan candi Budha.
Padahal, ada banyak candi bercorak Budha yang terdapat di Yogyakarta, salah satu yang
berkaitan erat dengan Borobudur adalah Candi Tara. Candi yang terletak di Kalibening, Kalasan
ini dibangun oleh konseptor yang sama dengan Borobudur, yaitu Rakai Panangkaran. Karena
letaknya di daerah Kalasan, maka candi ini lebih dikenal dengan nama Candi Kalasan.

Selesai dibangun pada tahun 778 M, Candi Tara menjadi candi Budha tertua di
Yogyakarta. Candi yang berdiri tak jauh dari Jalan Yogya Solo ini dibangun sebagai
penghargaan atas perkawinan Pancapana dari Dinasti Sanjaya dengan Dyah Pramudya Wardhani
dari Dinasti Syailendra. Selain sebagai hadiah perkawinan, candi itu juga merupakan tanggapan
usulan para raja untuk membangun satu lagi bangunan suci bagi Dewi Tara dan biara bagi para
pendeta.

Candi Tara adalah bangunan berbentuk dasar bujur sangkar dengan setiap sisi berukuran
45 meter dan tinggi 34 meter. Bangunan candi secara vertikal terdiri dari tiga bagian, yaitu kaki
candi, tubuh candi dan atap candi. Bagian kaki candi adalah sebuah bangunan yang berdiri di
alas batu berbentuk bujur sangkar dan sebuah batu lebar. Pada bagian itu terdapat tangga dengan
hiasan makara di ujungnya. Sementara, di sekeliling kaki candi terdapat hiasan sulur-suluran
yang keluar dari sebuah pot.

Tubuh candi memiliki penampilan yang menjorok keluar di sisi tengahnya. Di bagian
permukaan luar tubuh candi terdapat relung yang dihiasi sosok dewa yang memegang bunga
teratai dengan posisi berdiri. Bagian tenggaranya memiliki sebuah bilik yang di dalamnya
terdapat singgasana bersandaran yang dihiasi motif singa yang berdiri di atas punggung gajah.
Bilik tersebut dapat dimasuki dari bilik penampil yang terdapat di sisi timur.

Bagian atap candi berbentuk segi delapan dan terdiri dari dua tingkat. Sebuah arca yang
melukiskan manusia Budha terdapat pada tingkat pertama sementara pada tingkat kedua terdapat
arca yang melukiskan Yani Budha. Bagian puncak candi berupa bujur sangkar yang
melambangkan Kemuncak Semeru dengan hiasan stupa-stupa. Pada bagian perbatasan tubuh
candi dengan atap candi terdapat hiasan bunga makhluk khayangan berbadan kerdil disebut
Gana.

Bila anda mencermati detail candi, anda juga akan menjumpai relief-relief cantik pada
permukaannya. Misalnya relief pohon dewata dan awan beserta penghuni khayangan yang
tengah memainkan bunyi-bunyian. Para penghuni khayangan itu membawa rebab, kerang dan
camara. Ada pula gambaran kuncup bunga, dedaunan dan sulur-suluran. Relief di Candi Tara
memiliki kekhasan karena dilapisi dengan semen kuno yang disebut Brajalepha, terbuat dari
getah pohon tertentu.
Di sekeliling candi terdapat stupa-stupa dengan tinggi sekitar 4,6 m berjumlah 52 buah.
Meski stupa-stupa itu tak lagi utuh karena bagiannya sudah tak mungkin dirangkai utuh, anda
masih bisa menikmatinya. Mengunjungi candi yang sejarah berdirinya diketahui berdasarkan
Prasasti Candi yang berhuruf Panagari ini, anda akan semakin mengakui kehebatan Rakai
Panangkaran yang bahkan sempat membangun bangunan suci di Thailand.

Candi ini juga menjadi bukti bahwa pada masa lalu telah ada upaya untuk merukunkan
pemeluk agama satu dengan yang lain. Terbukti, Panangkaran yang beragama Hindu
membangun Candi Tara atas usulan para pendeta Budha dan dipersembahkan bagi Pancapana
yang juga beragama Budha. Candi ini pulalah yang menjadi salah satu bangunan suci yang
menginspirasi Atisha, seorang Budhis asal India yang pernah mengunjungi Borobudur dan
menyebarkan Budha ke Tibet.
Candi Gampingan yang ditemukan pada tahun 1995 diduga merupakan bagian dari Situs
Gampingan. Bagian kaki candi dihiasi relief beragam jenis hewan, salah satunya burung yang
dipercaya mampu membawa pesan dari nirwana.

Membaca Pesan dari Nirwana di Candi Gampingan


Tak semua candi memiliki relief cantik yang khas sebab umumnya hanya dihias oleh arca
dan relief umum yang terdapat hampir di semua candi. Salah satu yang memiliki relief cantik
yang khas itu adalah Candi Gampingan, sebuah candi yang ditemukan secara tak sengaja oleh
pengrajin batu bata di Dusun Gampingan, Piyungan, Bantul pada tahun 1995. Meski ukurannya
kecil dan sudah tak utuh lagi, Candi Gampingan masih kaya akan relief yang mempesona.

Salah satu relief cantik yang bisa dijumpai di candi ini adalah relief hewan yang ada di
kaki candi. Relief hewan di Gampingan begitu natural hingga bisa diketahui jenis hewan yang
digambarkan. Cukup jarang candi yang memiliki relief demikian, setidaknya hanya Candi
Prambanan dan Mendut yang dikenal memiliki relief serupa. Semua relief itu dihias dengan latar
sulur-suluran, yaitu padmamula (akar tanaman teratai) yang diyakini sebagai sumber kehidupan.

Saat YogYES berkeliling, tampak jenis hewan yang mendominasi adalah burung. Terdapat
relief burung gagak yang tampak memiliki paruh besar, tubuh kokoh, sayap mengembang ke atas
dan ekor berbentuk kipas. Ada pula relief burung pelatuk yang digambarkan memiliki jambul di
atas kepala, paruh yang agak panjang dan runcing serta sayap yang tidak mengembang. Selain
itu, ada juga ayam jantan yang memiliki dada membusung dan sayap mengembang ke bawah.

Pembuatan relief burung dalam jumlah banyak di candi ini berkaitan keyakinan masyarakat
saat itu terhadap kekuatan transedental burung. Diyakini, burung merupakan perwujudan para
dewa sekaligus pembawa pesan dari alam para dewa atau nirwana. Burung juga berkaitan dengan
kebebasan absolut manusia yang dicapai setelah berhasil meninggalkan kehidupan duniawi,
lambang jiwa manusia yang lepas dari raganya.

Relief hewan lain yang juga banyak digambarkan adalah katak. Masyarakat saat itu
percaya bahwa katak memiliki kekuatan gaib yang mampu mendatangkan hujan, sehingga katak
juga dipercayai mampu meningkatkan produktivitas, karena air hujan yang didatangkan katak
bisa meningkatkan hasil panen. Katak yang sering muncul dari air juga melambangkan
pembaharuan kehidupan dan kebangkitan menuju arah yang lebih baik.

Hingga kini, relief itu masih menyisakan pertanyaan, apakah sebuah fabel (cerita hewan
yang didongengkan pada anak-anak) seperti di Candi Mendut atau gambaran hewan yang
sengaja dibuat untuk menunjukkan maksud tertentu. Pertanyaan itu muncul sebab gambaran
hewan seperti di Candi Gampingan tak ditemukan dalam kitab yang memuat fabel, seperti
Jataka, Sukasaptati, Pancatantra dan versi turunannya.

Candi Gampingan yang diperkirakan dibangun antara tahun 730 - 850 M diyakini
merupakan tempat pemujaan Dewa Jambhala (Dewa Rejeki, anak Dewa Siwa). Hal itu didasari
oleh penemuan Arca Jambhala ketika penggalian. Jambhala digambarkan sedang dalam keadaan
semedi, tubuhnya duduk bersila sementara matanya terpejam. Bagian tubuhnya dihiasi oleh
unsur ikonografis (asana) berupa bunga teratai yang memiliki daun berjumlah 8 helai sebagai
lambang cakra dalam tubuh manusia.

Figur Jambhala di candi ini berbeda dengan yang ada di candi lainnya. Umumnya,
Jambhala di candi lain digambarkan dengan mata lebar yang menatap ke arah pemujanya disertai
dengan beragam hiasan yang melambangkan kemakmuran dan kemewahan. Diyakini,
penggambaran berbeda ini didasari oleh motivasi pemujaan, bukan untuk memohon
kemakmuran tetapi bimbingan agar dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Mengunjungi Candi Gampingan akan membawa kita merenungkan kembali tentang jalan
yang sudah kita tempuh untuk menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Relief yang didominasi
bentuk hewan yang hidup di alam sekitarnya bisa jadi merupakan wujud kearifan masyarakat
setempat pada jaman itu dalam merepresentasikan sebuah pesan dari nirwana: untuk hidup
sejahtera dan terhindar dari bencana, manusia seharusnya menjaga keselarasan dengan alam.
Candi Kedulan ditemukan pada tahun 1993. Penemuan candi ini beserta dua buah prasasti di
lokasi penggaliannya mengundang pertanyaan tentang keberadaan desa kuno bernama
Pananggaran dan sebuah bendungan di dekatnya.

Mengungkap Teka-Teki Bendungan Kuno di Sekitar Candi


Kedulan
Candi Kedulan adalah sebuah candi bercorak Hindu yang terdapat di Dusun Kedulan,
kurang lebih 3 kilometer dari Candi Kalasan. Candi ini ditemukan secara tak sengaja oleh para
penambang pasir pada 24 November 1993. Kesenangan yang berbeda akan didapatkan bila
mengunjungi candi ini, sebab anda bisa menikmati proses rekonstruksi candi yang sangatlah
rumit.

Lokasi penggalian sedalam 7 meter akan langsung ditemui begitu tiba di kompleks candi
ini. Lokasi penggalian itu berisi batu-batu candi yang tersebar ke segala penjuru dan bagian kaki
candi induk yang tampak masih menyatu. Di lokasi penggalian inilah kompleks Candi Kedulan
yang terdiri dari 1 candi induk dan 3 candi perwara (pendamping) semula berdiri. Kini, bagian
kaki candi induk tengah diuji kekokohannya agar dapat ditumpangi batu-batu lain pada tahap
selanjutnya.

Mengelilingi daerah sekitar lokasi penggalian, akan dijumpai batu-batu candi yang tengah
direkonstruksi dengan cara mencocokkan batu satu dengan batu lainnya. Batu yang telah berhasil
dicocokkan diberi simbol-simbol tertentu yang ditulis menggunakan kapur. Tampak konstruksi
sementara bangunan pagar pembatas selasar candi, atap, bilik candi dan beberapa bagian tubuh
candi lainnya. Terlihat pula lingga dan yoni yang diduga merupakan komponen yang mengisi
bilik candi.

Beberapa ornamen yang menghias candi sudah bisa dinikmati keindahannya walau
candinya sendiri masih dalam tahap rekonstruksi. Misalnya, relief naga di bawah yoni yang
diperkirakan mengisi bilik utama candi induk, figurnya berbeda dengan naga penghias yoni
candi di Jawa Tengah lainnya sebab terlihat memiliki rahang. Terdapat pula relief dewa di
beberapa bagian dinding candi, hiasan sulur-suluran, roset, serta relief motif batik.

Selesai berkeliling, YogYES sempat berbincang dengan salah seorang staf bernama
Haryono. Ia bercerita betapa sulitnya menyusun kembali bangunan yang telah runtuh itu. Ada
ratusan batu yang harus dicocokkan agar candi bisa berdiri lagi, padahal untuk mencocokkannya
tak ada petunjuk sama sekali. Saking sulitnya, seorang pekerja kadang hanya mampu
mencocokkan satu batu dengan satu batu lainnya dalam kurun waktu seminggu. Betul, bagaikan
menyusun sebuah puzzle raksasa.

Kalau memasuki ruang informasi di sebelah lokasi penggalian, anda bisa mengetahui
perkiraan rancangan Candi Kedulan. Dari hasil diperkirakan, candi induk memiliki tinggi 8
meter, terbagi menjadi bagian kaki, tubuh dan atap. Tubuh candi terdiri dari 10 lapis batu dengan
tinggi 2,4 meter, memiliki beberapa relung yang berisi arca Ganesha (anak Dewa Siwa),
Agastya, Durga (isteri Dewa Siwa), Nandaka dan Nandiswara (kendaraan Dewi Durga), serta
mempunyai selasar sempit yang diduga hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Atap candi
terdiri atas 13 lapis batu andesit. Dari keterangan diatas bisa diperkirakan bahwa arsitekturnya
secara keseluruhan mirip dengan Candi Sambisari.

Di ruang informasi itu pula, anda bisa melihat puing-puing puing-puing mangkuk berhias
dan barang gerabah yang diduga digunakan dalam ritual peribadatan di candi ini. Selain itu, ada
juga kayu-kayu yang berasal dari pepohonan yang tumbuh semasa candi ini berdiri. Haryono
bercerita pada YogYES bahwa salah satu serpihan kayu pohon itu pernah dibawa seseorang
untuk diukir, namun dikembalikan lagi sebab orang yang membawanya justru mengalami petaka.

Beberapa foto benda-benda lain yang ditemukan selama penggalian juga bisa dilihat di
ruang informasi. Ada foto arca dewa berbahan perunggu dan foto prasasti Pananggaran dan
Sumudul yang ditemukan pada tahun 2003. Pada dinding ruangan, terdapat gambaran lapisan
tanah tempat batu-batu candi ditemukan, serta foto-foto yang menggambarkan proses penggalian
yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Pada 12 Juni 2003, ditemukan 2 buah prasasti di lokasi penggalian. Prasasti yang ditulis
dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta tersebut sudah berhasil dibaca oleh dua epigraf dari
Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yaitu Dr Riboet Darmoseotopo dan
Tjahjono Prasodjo MA. Berangka tahun 791 Saka (869 Masehi, atau sekitar 10 tahun setelah
candi Prambanan berdiri), isinya tentang pembebasan pajak tanah di Desa Pananggaran dan
Parhyangan, pembuatan bendungan untuk irigasi, pendirian bangunan suci bernama
Tiwaharyyan serta ancaman kutukan bagi siapapun yang tidak mematuhi aturan.

Beberapa arkeolog menduga bahwa prasasti tersebut berkaitan dengan pendirian Candi
Kedulan. Bangunan suci Tiwaharyyan diduga merupakan Candi Kedulan itu sendiri. Desa
Pananggaran yang diceritakan pada prasasti diduga berada di wilayah sekitar candi, begitu pula
bendungan yang dimaksud. Namun sampai kini belum ditemukan jejak bendungan kuno yang
dimaksud. Mungkin bendungan itu dibangun di Sungai Opak yang berjarak ±4 km dari lokasi
candi, atau mungkin juga di sungai yang kini sudah tidak ada lagi karena tertutup lahar letusan
Gunung Merapi seribu tahun silam.

Banyaknya teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan beserta pesona komponen candi
menjadikan berwisata ke Candi Kedulan menarik untuk dilakukan. Kondisi candi yang masih
dalam tahap rekonstruksi justru menambah kesenangan ketika mengunjunginya.

Você também pode gostar