Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Aku pernah membaca sebuah komentar dari pembaca Eropa FFI bahwa “Dunia Arab
menemukan angka nol, dan setelah itu prestasi mereka nol melulu.” Hal ini salah, tapi
sayangnya, banyak dipercaya orang². Sistem angka yang kita pakai sekarang sudah digunakan
oleh masyarakat India di jaman post-Roma (setelah kekaisaran Romawi berdiri), tapi sistem
angka ini dikenal Eropa melalui budaya Timur Tengah abad pertengahan. Inilah sebabnya
sistem angka ini juga disebut sebagai numeral Arab di berbagai bahasa Eropa.
Pihak Muslim pun mengakui bahwa mereka mendatangkan sistem angka ini dari India.
Dengan demikian, penyebutan numeral Arab tentunya tidak tepat. Istilah sistem angka
“Hindu Arab” mungkin masih bisa diterima, tapi istilah tepatnya adalah “sistem angka India.”
Budaya Aztek secara politis sangat dominan di Mexico pusat dan sejak tahun 1300-an,
mereka telah menggunakan simbol² tangan, jantung, dan panah untuk menunjukkan
perbedaan jarak saat menghitung luas daerah. Matematika Amerika Selatan dan terutama
Maya merupakan prestasi saintifik pre-Kolumbia yang sama derajatnya dengan prestasi
matematika saintifik di Eropa, tapi penggunaan ilmu matematik di dua budaya tersebut
umumnya berpusat pada bidang astronomi ruang angkasa.
Angka nol dapat digunakan sebagai indikasi ruang kosong, dan untuk membedakan
(misalnya) angka 2106 berbeda dengan angka 216. Budaya Babilonia kuno telah memiliki
sistem angak seperti ini, tapi berdasar pada nilai 60. Guna kedua angka nol adalah sebagai
angka yang berdiri sendiri seperti cara kita menggunakan angka nol di jaman sekarang.
Sebagian ahli sejarah matematika yakin bahwa penggunaan angka nol dalam budaya India
berkembang dari penemuan angka nol oleh para ilmuwan astronomi Yunani. Simbol²
sembilan angka pertama dari sistem angka modern yang kita pakai sekarang berasal dari
sistem tulisan Brahmi di India, yang berasal dari setidaknya pertengahan abad ke-3
Sebelum Masehi. Meskipun begitu, tidak banyak bukti yang menunjukkan simbol angka
memiliki nilai angka yang sama dengan yang kita pakai sekarang.
Sistem angka Brahmi (di abad pertama Masehi) dan pengaruhnya terhadap sistem angka
Sansekerta, Arab, Latin, dll.
Budaya China juga punya sistem angka multiplikatif (perkalian) yang berdasarkan nilai 10,
hal ini mungkin berasal dari sistem penghitungan papan angka China. Di abad ke -4 SM,
orang² China sudah menggunakan papan hitung angka yang lengkap dengan kolom dan baris.
Angka² ditampilkan dalam bentuk bambu atau gading bundar. Abakus (papan hitung modern
China) mulai digunakan di China sekitar abad ke-4 Masehi. Di sekitar masa 600 M atau
sebelumnya (waktu yang tepat tidak diketahui), bangsa India tidak memakai angka yang lebih
tinggi dari 9 dan mulai menggunakan angka 1 sampai 9 dalam pengertian nilai yang sama
seperti yang digunakan sistem angka modern.
Abakus dari China.
Penulis² James E. McClellan dan Harold Dorn mencoba menjelaskan sebagai berikut:
“Angka nol dalam matematika India mungkin juga melambangkan pengertian filosofi agama
India akan ‘kekosongan’.” Tidak semua pihak setuju, tapi pendapat ini layak
dipertimbangkan. Pengertian “kekosongan” lebih berdampak besar pada bangsa yang
dipengaruhi kepercayaan Hindu dan Budhisme dibandingkan pada bangsa Eropa yang
didominasi kepercayaan Kristen.
Meskipun begitu, hal ini tetap tak menjelaskan mengapa bangsa India meninggalkan sistem
multiplikatif (perkalian) dan menggunakan sistem nilai tempat (place-value), termasuk
simbol angka nol. Kita sampai sekarang tidak begitu tahu sebabnya. Victor J. Jatz
menjabarkan hal ini dalam bukunya A History of Mathematic, Second Edition:
“Ada dugaan bahwa asal-usul sebenarnya sistem angka India berasal dari papan hitung angka
China. Papan hitung itu mudah dibawa kemana-mana. Tentunya para pedagang China yang
berkunjung ke India juga membawa papan hitung mereka. Karena Asia Tenggara berbatasan
dengan budaya Hindu dan pengaruh China, maka pertukaran budaya sering terjadi. Mungkin
yang terjadi adalah orang² India kagum akan penggunaan sembilan simbol angka saja.
Mereka lalu mengembangkan sistem China dalam menghitung gading atau bambu bundar
dalam papan hitung, dengan menggantinya butir² gading bundar dengan angka sebenarnya
dan tidak menggunakan sistem dua jenis simbol dalam baris dan kolom. Karena mereka harus
bisa menuliskan angka² ini di atas kertas dan tidak hanya tampak di papan hitung, maka
mereka terpaksa menggunakan simbol titik dan lalu lingkaran untuk menunjukkan kolom
kosong di papan hitung. Jika teori ini memang benar, maka agak ironis bahwasanya para
ilmuwan India nantinya memperkenalkan sistem angka baru mereka pada China di awal abad
ke-8.
Sistem nilai tempat desimal untuk bilangan bulat sudah jelas digunakan di India sejak abad ke
8 M, dan mungkin bahkan sebelum itu. Sistem desimal sudah lama digunakan di China,
sedangkan di India tiada bukti yang menunjukkan sistem desimal dipakai sebelum abad ke 8
M. Kaum Muslimlah yang “melengkapi sistem nilai tempat desimal dengan memperkenalkan
pecahan² desimal.”
Beberapa teori Sansekerta juga diperkenalkan di Eropa melalui terjemahan Arab. Satu naskah
Latin dimulai dengan kata² Dixit Algorismi, atau al-Khwarizmi. Kata algorismi, melalui
banyak perubahan akhirnya menjadi istilah yang berhubungan dengan berbagai perhitungan
aritmatika dan asal kata algoritme. Kata zero (nol) berasal dari kata sifr, yang merupakan
bentuk Latin dari kata zephirum. Kata sifr sendiri merupakan terjemahan bahasa Arab dari
kata Sansekerta sunya yang berarti “kosong.” Kata Inggris sine (sinus) berasal dari berbagai
terjemahan salah kata Sansekerta jya-ardha (perbandingan sisi segitiga yang ada di depan
sudut dengan sisi miring). Aryabhata seringkali menyingkat kata ini sebagai jya atau jiva.
Ketika beberapa buku berhitung India diterjemahkan dalam bahasa Arab, kata jya atau jiva
lalu diterjemahkan jadi kata jiba. Tapi karena tulisan konsonan Arab biasanya ditulis tanpa
tambahan huruf vokal, maka penulis Arab mengartikan konsonan² jb sebagai jaib, yang
berarti buah dada. Ketika buku Arab trigonometri diterjemahkan dalam bahasa Latin,
penerjemah menerjemahkan kata jaib (buah dada) dengan kata Latin sinus (buah dada). Kata
Latin inilah yang lalu dipakai dalam istilah Inggris sine (sinus).
Rabbi Abraham ben Meir ibn Ezra, atau Abenezra (ca. 1090-1167), adalah
seorang filsuf Yahudi-Spanyol, penyair dan penafsir Alkitab. Dia meninggalkan Spanyol di
tahun 1140 untuk menghindari penindasan terhadap orang² Yahudi oleh kekalifahan
Almohads. Dia menulis tiga buku yang memperkenalkan simbol² angka India pada orang²
terpelajar Eropa. Beberapa abad kemudian, angka² India ini benar² diserap dan digunakan
oleh masyarakat Eropa.
Leonardo of Pisa (kira² 1170-1240), yang juga dikenal sebagai Fibonacci (son of
Bonaccio), adalah orang Italia dan merupakan ahli matematika Barat pertama yang
terkemuka setelah merosotnya sains Yunani kuno. Dia adalah putra pedagang di kota Pisa.
Leonardo of Pisa
Leonardo lalu berkelana ke Afrika Utara. Dia paling terkenal karena tulisannya yang berjudul
Buku Berhitung (Liber abbaci). Kata abbaci (berasal dari kata abakus) bukan
berarti papan hitung tapi berarti cara berhitung secara umum. Edisi bukunya yang pertama
terbit di tahun 1202, dan ditulis ulang di tahun 1228. Bukunya dibaca banyak orang di
seluruh Eropa dan buku ini mengandung aturan² berhitung yang menggunakan angka² India.
Contoh² perhitungan yang diajukan seringkali berasal dari contoh² penjabaran versi Arab, tapi
hal ini disaring melalui cara Leonardo yang kreatif sehingga sari asli angka² India muncul
murni. Angka² India menghadapi banyak penolakan selama beberapa generasi di Eropa tapi
perlahan-lahan angka² ini dipakai luas dalam masa Renaisans, terutama oleh para pedagang
Italia. Mereka lebih memilih angka² India karena lebih singkat dan praktis dibandingkan
angka² Romawi yang rumit, meskipun angka Romawi masih dipakai untuk tujuan terbatas
dalam negara² Barat di abad ke 21.