Você está na página 1de 4

Agresi Remaja, Dampak Globalisasi?

ALAN-JALAN di Jakarta Pusat macet total. Ada apa? Rupanya ada tawuran antara pelajar
sekolah menengah. Bukan hanya di Jakarta Pusat, tetapi juga di Kebayoran, di Kota dan di
kawasan lain sering terjadi tawuran atau perkelahian antara remaja. Malah keihatannya tawuran
itu telah menjadi 'mode' yang ditiru oleh remaja kita di kota-kota lain.

Di Amerika masyarakat dikejutkan oleh beberapa kali kejadian pelajar sekolah menengah yang
menembak teman-teman sekolahnya. Bahkan pelaku penembakan itu ada yang usianya belum 10
tahun. Yang berwenang dan yang merasa prihatin mencoba mencari jawaban dari pertanyaan:
mengapa hal itu terjadi? Tanggung jawab siapakah ini? Orangtua, guru, penegak hukum,
pemerintah? Kadang-kadang orang saling menyalahkan, sehingga tidak ditemukan jalan keluar
yang baik untuk pencegahan terulangnya kejadian semacam ini.

Pertengahan Januari lalu di Belanda pun terjadi kasus agresi remaja yang membuat masyarakat
prihatin. Seorang murid SMU pada suatu hari saat istirahat makan siang masuk ke kantin sekolah
yang penuh dengan siswa dan guru, lalu mendekati seorang guru (wakil kepala sekolah) dan tiba-
tiba menembak kepalanya. Sang guru esok harinya meninggal di rumah sakit. Peristiwa
penembakan yang disaksikan oleh puluhan orang itu sangat mengagetkan masyarakat. Alasan
penembakan katanya karena si siswa itu merasa marah karena 'diskors' oleh gurunya, dilarang
masuk sekolah karena kenakalannya.

Kejadian itu membangkitkan diskusi di antara para pejabat (termasuk Menteri Pendidikan) dan
para pakar ilmu sosial, karena kebetulan si penembak itu remaja yang beretnis Turki. Timbullah
diskusi tentang perbedaan budaya. Hukuman skors itu dianggap mencoreng arang di muka si
remaja, dan menurut budaya Turki kehilangan muka itu sangat memalukan, sehingga harus
dibalas dengan nyawa. Juga ada pihak yang ingin mengetengahkan isu agama: pengaruh budaya
Islam yang keras. Untung masalah agama itu langsung ditentang oleh warga Belanda sendiri.

Belum reda dengan kejutan itu, sepuluh hari kemudian di kota lain terjadi kasus penusukan
seorang guru oleh mantan siswanya. Sekolah itu memang menyediakan program konseling bagi
mantan siswa yang mempunyai masalah di pekerjaan atau di lingkungan keluarganya. Mantan
siswa itu memang agak cacad pendengarannya dan dia tidak begitu cerdas. Makanya ketika
mantan siswa (pria) yang berusia 25 tahun itu datang ke sekolah untuk konseling, dia diterima
oleh gurunya di ruang tertutup. Ternyata sang guru ditusuk beberapa kali, sampai luka parah dan
keadaanya kritis sampai sekarang.

Alasan dari tindakan kekerasan ini adalah balas dendam, karena si eks-siswa mengaku dijadikan
korban pelecehan seks dan diperkosa oleh guru tersebut ketika dulu dia murid di sekolah itu.
Sang bapak guru belum bisa dimintai keterangannya tentang kebenaran tuduhan itu karena
kondisinya masih kritis. Tapi mengapa tindakan balas dendam itu baru dilakukan sekarang,
belum jelas jawabannya. Ada kemungkinan peristiwa penembakan sebelumnya merupakan
pencetus gagasan si pria muda itu untuk menusuk gurunya.

Beberapa hari setelahnya, di salah satu sekolah dasar dilaporkan bahwa anak laki-laki kelas 3
SD, berumur 8 tahun, pada saat jeda dengan bangganya menunjukkan kepada teman-teman
sekelasnya sebuah revolver dan beberapa peluru yang dimasukkan di sakunya. Tentu saja guru-
guru yang dilapori hal itu menjadi geger. Orangtua anak itu langsung dihubungi dan ditanyai
tentang masalah senjata itu. Mereka mengaku telah membersihkan senjata dan teledor
meninggalkannya di meja. Orangtua anak itu ditahan polisi sementara.

Akhir tahun 2003 di Belanda ada lagi ulah remaja yang membuat onar penduduk. Seorang gadis
manis usia 16 tahun pada suatu hari diketemukan tergeletak di lapangan, tubuhnya hangus
terbakar. Setelah diusut ternyata gadis itu dibunuh dan dibakar oleh 4 remaja, termasuk pacarnya
sendiri. Alasannya, si pacar marah karena ajakan untuk main seks ditolak oleh gadis itu. Merasa
tersinggung harga dirinya, remaja yang orang Maroko itu mengajak beberapa temannya untuk
menghadang gadis itu ketika dia naik sepeda mau pulang sekolah, lalu mencekiknya dan
membakarnya untuk menghapuskan jejak.

Tahun sebelumnya ada juga dua remaja pria yang berniat merampok tas nenek-nenek berusia 85
tahun tapi lalu dilerai oleh remaja lain yang kebetulan melihat peristiwa itu. Gagal
mencuri/merampok, keduanya lalu mengalihkan agresi mereka kepada yang melerai. Mereka
berdua memukuli dan menendang anak laki-laki yang tidak bersalah itu, sampai luka parah. Esok
harinya remaja malang tadi meninggal dunia karena luka-lukanya. Kebetulan yang melakukan
penganiayaan itu orang Belanda dan orang Maroko. Tetapi pengusutan polisi dan laporan saksi
mata akhirnya memutuskan bahwa remaja Marokolah yang lebih bertanggung jawab atas
kematian itu, karena dialah yang lebih banyak memukul di bagian kepala dan membanting si
korban.

Agresi

Masyarakat Belanda resah karena kriminalitas dan agresi di kalangan remaja sejak 10 tahun
terakhir ini makin meningkat. Para orangtua dan pendidik menganggap bahwa pendidikan moral
dan disiplin bagi anak-anak dan remaja telah gagal. Penanaman norma baik-buruk, tata cara
bergaul dan menghormati hak orang lain, yang sebetulnya harus dilakukan sejak dini di rumah
maupun di sekolah, tampaknya makin jarang dilakukan. Orangtua terlalu sibuk, guru terlalu berat
tanggung jawab dan beban kerjanya (Belanda kekurangan tenaga guru untuk pendidikan dasar
dan menengah), serta masyarakat sekitar tidak begitu peduli atau tidak merasa berhak untuk
menegur anak/remaja bukan anaknya sendiri, yang melakukan tindakan tidak baik.

Dua unsur yang tampaknya berpengaruh besar dalam pendidikan moral dan disiplin ini adalah
unsur agama dan demokrasi. Di kalangan masyarakat barat yang bukan penganut agama yang
kuat, penentuan norma dan nilai sosial (baik-buruk, wajib-dilarang) itu kurang mempunyai
landasan yang kuat. Anak-anak tidak bisa ditakut-takuti oleh hukuman Tuhan jika melanggar
aturan atau berbuat sesuatu yang tidak baik. Mereka hanya takut akan ancaman hukuman
orangtua. Jadi jika tidak ada orangtua (atau guru), mereka merasa bebas dari ancaman itu dan
berani berbuat yang kurang baik, dengan harapan bahwa tindakan tersebut tidak akan diketahui
(dipergoki) oleh orangtua/guru.
Anak/remaja yang di rumahnya dididik dengan ajaran agama, sering kali mengalami konflik
batin jika melihat teman sebayanya melakukan hal-hal yang dilarang tetapi tidak dihukum karena
tidak diketahui oleh guru atau orangtua. Anak-anak yang baik itu malah mungkin akan diejek
oleh teman sebaya kalau tidak mau turut melakukan tindakan yang salah itu. Hal itu dapat
membuat anak/remaja tadi merasa diperlakukan tidak adil dan berbalik akan memberontak
terhadap orangtuanya yang dianggap mengekang kebebasannya.

Kebebasan, itu unsur dasar dalam demokrasi. Anggota masyarakat yang hidup di negara yang
demokratis diberi hak untuk dapat mengeluarkan pendapat, melakukan sesuatu dan hak untuk
diperlakukan adil dan sama rata dengan warga lain. Bangsa-bangsa yang baru mulai belajar
melaksanakan asas demokrasi ini sering terlalu menekankan unsur kebebasannya itu sehingga
cenderung jengkel kalau dilarang. Larangan adalah pencabutan hak individu, pikir mereka.

Padahal guna melaksanakan demokrasi dengan baik, dituntut sikap dewasa, yaitu bertanggung
jawab dan bersedia menghargai pendapat dan hak orang lain. Jika setiap orang hanya ingin
menuntut haknya sendiri tanpa memperhatikan keinginan/hak orang lain, maka suasana bisa
kacau.

Misalnya, pelajar-pelajar di Jakarta yang tersinggung atau merasa tertekan, yang mengeluarkan
rasa marahnya dengan tawuran atau dengan tindakan vandalisme. Tawuran dan vandalisme
dianggap sebagai ekspresi dari demokrasi remaja. Mereka lalu puas, karena merasa masalah yang
menekan hatinya sudah lepas. Tetapi mereka tidak mau mengambil tanggung jawab atas
kerusakan bahkan mungkin korban jiwa yang disebabkan oleh tindakan mereka itu.

to be continued...

Hamlet
February 16, 2004, 03:01
Situasi Akhir-akhir Ini

Di Belanda, negara yang sudah melaksanakan prinsip demokrasi selama satu abad, kondisinya
berbeda, tapi situasi akhir-akhir ini sama saja dengan di negara berkembang. Masyarakat
Belanda sadar bahwa demokrasi itu mencakup juga kewajiban dan tanggung jawab. Makanya
orang Belanda taat dalam disiplin waktu, antre, buang sampah, membayar pajak, dan sebagainya.

Namun sejak tahun 1980-an timbul kecenderungan baru dalam pendidikan anak. Agar anak
dapat tumbuh kembang dengan lebih optimal, dianjurkan agar anak sejak kecil sudah diberi
kebebasan untuk mengatakan dan melakukan apa yang dia sukai. Ibu dan ayah makin jarang
mengatakan jangan dan tidak kepada anak-anak mereka, supaya mereka tidak tertekan. Malah
ibu atau ayah yang memukul pantat anak atau mengunci anak di kamar sebagai hukuman
kenakalannya, bisa dituntut pengadilan karena dituduh menganiaya anak.

Mudah diterka bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang permisif itu nantinya akan
sulit untuk mengikuti aturan dan disiplin. Sementara itu, masyarakat Belanda juga menghargai
hak dan urusan pribadi orang lain. Orang tidak mau turut campur urusan orang lain, kecuali jika
dimintai bantuan. Oleh sebab itu, jika seseorang melihat anak/remaja melakukan tindakan yang
tidak baik, maka orang itu tidak berani atau segan memberikan teguran, karena merasa bukan
haknya. Kalau sekali-sekali orang berani menegur kesalahan orang lain, bukan permintaan maaf
atau terima kasih yang diperolehnya, tapi justru kekerasan/agresi yang didapatnya, seperti remaja
yang meninggal dipukuli karena membela nenek tua itu. Kontrol sosial kehilangan fungsinya di
masyarakat demokratis.

Yang memperihatinkan, gejala peningkatan agresi remaja itu terlihat di mana-mana. Globalisasi
agresi itu antara lain terjadi karena pengaruh film-film keras di televisi dan bioskop dan segala
macam berita dan foto yang disebarkan melalui internet. Banyaknya adegan keras yang
ditayangkan akan membuat anak/remaja berpikir bahwa tindakan semacam itu 'normal'.

Di samping itu, remaja yang sedang dalam proses identifikasi diri, mungkin akan merasa gagah
dan 'modern' jika meniru tindakan tokoh-tokoh populer, termasuk tokoh-tokoh 'keras'. Remaja
merasa bangga kalau ikut berkelahi sampai berdarah-darah. Jika perkelahian itu dilakukan secara
ksatria, satu lawan satu, masih lumayan. Tetapi kebanyakan remaja itu pengecut. Mereka baru
berani jika main keroyok atau jika menganiaya lawan yang lebih lemah, lebih sedikit jumlahnya
atau melawan anak kecil.

Mustahil membendung penyebaran informasi melalui teknologi internet dan film. Roda
globalisasi sudah terlanjur berputar. Yang bisa kita upayakan adalah mencari tokoh idola bagi
remaja, yang betul-betul pantas dijadikan teladan. Untuk menemukan tokoh idola itu dan
menyebarkannya ke seluruh dunia bisa digunakan media internet dan film. Tugas itu tidak
mudah karena makin jarang tokoh yang bisa dijadikan panutan, tapi tetap perlu dicoba.
Globalisasi bisa juga positif, bukan?

Penulis adalah psikolog dan sosiolog yang bermukim di Wassenaar, Belanda.

Dikutip tanpa perubahan dari www.suarapembaruan.com

------------------------------------------------------------------------------------

Gimana menurut loe semua? Setuju dengan pernyataan "Agresi Remaja, Dampak Globalisasi?"
Atau ini cuma emang fenomena sosial, tanpa dipengaruhi globalisasi?

Mungkin himpitan hidup dan tata cara berpikir yang berubahlah yang membuat remaja bisa
sampe begini 'meletup'

Você também pode gostar