Você está na página 1de 6

Pradipa P Rasidi Politik Asia Timur

0806468612

Reformasi Ekonomi Cina dan Implikasinya Pada Kehidupan Petani

Terlepas dari namanya yang membawa embel ‘ekonomi’, Reformasi ekonomi


Cina yang terjadi pada tahun 1978 membawa berbagai perubahan mengakar tidak hanya
pada kehidupan ekonomi di Cina saat itu, namun juga perubahan sosial dan politik pada
kalangan-kalangan masyarakat yang ada di Negeri Tirai Bambu tersebut.
“Sosialisme dengan karakteristik Cina” yang diusung oleh Deng Xiaoping saat itu
merupakan titik balik dari kebijakan-kebijakan sentralistik Mao Zedong yang kental
dengan nuansa komunis Soviet; seperti yang pernah di utarakan oleh Deng sendiri,
reformasi ekonomi Cina yang ditandai dengan perubahan ideologis ini merupakan
simbolisasi pragmatisme ekonomi: ”tidak masalah apakah kucing itu hitam atau putih,
yang penting dapat menangkap tikus.”
Di antara berbagai kalangan masyarakat yang terkena pengaruh reformasi
ekonomi Cina, salah satunya adalah golongan petani di daerah rural. Petani, sebagai
bagian dari struktur masyarakat yang sudah membentuk masyarakat Cina sejak lama,
memiliki peran – dan terkena imbas – terkait kebijakan reformasi yang diterapkan oleh
Kamerad Xiaoping.
Pra-reformasi ekonomi, tepatnya, ketika Partai Komunis Cina (PKC) berhasil
meraih tampuk kekuasaannya pada tahun 1949, program distribusi tanah yang dikenal
sebagai land reform (reformasi agraria) segera diaplikasikan ke masyarakat Cina dan
segera berdampak pada para petani. Reformasi ini mendistribusikan tiap tanah yang
dimiliki oleh para tuan tanah di pedesaan sehingga tiap keluarga setidaknya mendapatkan
tanah bagiannya. Tindakan yang bernuansa egalitarian ini jelas menguntungkan para
petani, dan oleh karena itu PKC mendapat dukungan besar dari para petani pada saat itu.
Sebaliknya, para tuan tanah yang pada masa itu dianggap sebagai ’penindas’ para petani
dibunuh atau terusir keluar dari Cina hingga 60 tahun kemudian. 1 Land reform yang

1
Moore, M. (2008, Oktober). Mao’s hated landlords allowed to return to China. Diakses pada 27 Oktober
2009. http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/china/3330182/Maos-hated-landlords-allowed-to-
return-to-China.html
dilakukan oleh PKC ini kemudian diikuti oleh kebijakan yang mempromosikan produksi
pertanian kolektif – pun begitu, karena berbagai hal, proses kolektivisasi ini baru selesai
pada tahun 1957. Mengambil rata-rata, pada pertanian kolektif terdapat sekitar 160 rumah
tangga yang mengurusi lahan sekitar 140 hingga 160 hektar. Awal dari rencana ini
mungkin terdengar mapan, namun pada musim panas 1955, pertumbuhan produksi tani
dengan sistem ini menurun.2
Seakan tidak sadar dengan masalah yang sedang dihadapi, pemerintahan Cina
pada masa itu kemudian menciptakan sistem ’komune’. Dengan sistem ’komune’,
masyarakat desa diubah menjadi suatu unit kolektif besar dan terbagi atas kelompok-
kelompok produksi. Ibu-ibu dikelompokkan untuk berproduksi, anak-anak kecil untuk
dirawat dan orang-orang tua untuk merawat anak kecil. Dapur-dapur yang tadinya
dimiliki oleh keluarga secara pribadi dilarang dan segala perkakas di dalamnya – meja,
kursi, dan peralatan masak – diambil dan dijadikan perkakas dalam dapur komunal.
Begitu pula pelarangan terjadi pada ruang makan pribadi; yang ada hanyalah ruang
makan komunal di mana berbagai orang berada di satu ruangan untuk makan bersama.
Hewan-hewan pertanian tak pelak juga mengalami nasib yang kurang lebih sama –
dijadikan milik bersama. Semua kegiatan pertanian diawasi oleh kader tiap pagi.
Pembentukan ’komune’ ini membuat masyarakat desa Cina sebagai struktur
masyarakat yang, tak hanya berfungsi sebagai bentuk produksi agrikultural, tapi juga
sebagai entitas organisasi sosial, industri, pendidikan, dan politik. ’Komune’ merupakan
simbolisasi komunisme yang nyata di Cina; seperangkat sistem yang membentuk
kolektivisme di masyarakat dalam tahapannya yang tertinggi. Tingginya tingkat
komunalisme ini kemudian justru makin memperparah produksi pertanian yang telah
berlangsung. Oleh karena itu, pada tahun 1962 sistem ’komune’ ini disesuaikan untuk
memperbaiki tingkat produksi yang ada pada masyarakat. Tiap ’komune’ dibagi atas
’brigade produksi’ yang berfungsi sebagai pengawas dan pendukung kerja tim produksi.
Penyesuaian ini tampaknya tidak sia-sia, karena pada tahun 1965 pertanian Cina tampak
kembali pulih.3

2
Mackerras, C., Taneja, P., dan Young, G. (1994). China Since 1978: Reform, Modernisation and
’Socialism with Chinese Characteristics’. New York: St. Martin’s Press.
3
Ibid.
Pada tahun 1976, pertanian kolektif yang ditekankan oleh Mao pada tahun-tahun
sebelumnya dikendurkan, dan sebaliknya pertanian individual didorong oleh pemerintah.
Tahun 1979, dikenal sebuah sistem baru bagi para petani yang bernama household
contract responsibility system. Sistem ini menerapkan kontrak dari tiap rumah tangga
petani pada negara untuk produksi hasil pertanian dalam jumlah tertentu dengan
menggunakan tanah yang disewakan oleh negara. Produk tani yang dihasilkan bervariasi
tergantung kontrak yang disetujui – dan daerah tempat mereka bertanam – tapi pada
dasarnya petani yang mengikuti kontrak diharuskan untuk memproduksi dan menjual
sejumlah padi untuk negara. Sistem ini berawal bukan dari inisiatif pejabat negara; justru
mereka melihat sistem ini pertama kali diterapkan di provinsi Fengyang, kemudian
perlahan menyebar ke daerah lain, barulah, ketika dirasa cukup baik, didukung secara
resmi oleh negara sekitar tahun 1980. Ini merupakan tanda masuknya Cina ke Reformasi
Ekonomi.
Manfaat yang dapat dirasakan oleh petani dengan adanya sistem ini lebih terasa
dibandingkan sistem kolektif sebelumnya: bila kuota yang diberikan oleh pemerintah
sudah cukup – dalam artian, petani sudah memproduksi jumlah tertentu yang diberikan –
maka mereka bisa menggunakan lahan yang tersisa untuk ditanami produk yang lain.
Sistem ini tak lama disusul oleh Township and Village Enterprises (TVE) yang sama
sekali menggantikan ’komune’. TVE merupakan industri kolektif yang dimiliki dan
dibangun pada desa-desa, berada di bawah pengawasan pemerintahan daerah, serta
berorientasi pasar. TVE dibangun sebagai salah satu upaya menggantikan orientasi
sentralistik ekonomi masyarakat Cina dengan orientasi pasar – melalui cara Cina yang
khas. Dengan TVE ini, para petani bisa menjual hasil produksinya dan kemudian akan
disalurkan pada negara. Dalam mendukung fungsi TVE, reformasi ekonomi Cina juga
menerapkan apa yang mereka namakan sebagai dual-track pricing system.
Dual-track pricing system mengganti ’kebiasaan’ Cina yang mengatur harga jual
dan harga beli barang secara sentralistik seperti yang diterapkan oleh Mao beberapa tahun
sebelumnya. Usaha untuk menumbuhkan pasar membuat adanya sektor baru yang
kompetitif, namun negara merasa bahwa sistem ekonomi yang terencana seperti dulu pun
baiknya tetap dibiarkan ada. Karena itu, pemerintah Cina membolehkan beberapa
perusahaan untuk menjual surplus dari output-nya dengan harga pasar bila sudah
memenuhi kuota yang diberikan oleh negara (yang harus dijual dengan harga negara).4
Dengan demikian terdapat dua sistem jual-beli yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat
pedesaan Cina: transaksi dengan harga negara (yang sudah ditetapkan) atau transaksi
dengan harga pasar (yang masih perlu bersaing).
Barang-barang yang disediakan oleh negara cenderung lebih murah dibandingkan
barang yang tersedia dalam harga pasar, karena itu umumnya lebih banyak orang yang
memilih untuk membeli barang yang disediakan dari negara daripada pasar. Masalah
timbul ketika barang yang disediakan negara sulit dijangkau, terutama pada daerah
pedesaan; petani terpaksa membeli dari pasar. Disinilah peran TVE berfungsi: TVE
menggunakan barang dari negara untuk mengamankan pendapatan untuk barang lainnya
– mereka juga menyimpan barang yang tidak mereka pakai untuk produksi, tapi berguna
untuk dibarter dengan barang lain, misalnya TVE yang tidak membutuhkan baja
menyimpan baja dari negara untuk ditukar dengan barang lain yang dapat ditawarkan
oleh para petani. Dengan cara demikian, para petani dapat berfungsi sebagai unit
produksi yang lebih efisien dibanding dulu.
Pun begitu, reformasi ekonomi ini bukannya tanpa masalah. Tiap kebijakan yang
diambil, bila menghasilkan efek yang positif, pasti akan menimbulkan efek negatif pula.
Keberhasilan produksi produk pertanian dari reformasi ekonomi Cina pimpinan
Deng Xiaoping ini mengakibatkan lancarnya stok persediaan makanan; suplai makanan
yang tersedia dan tersebar di kota-kota Cina pun meningkat. Pada awal kekuasaan Partai
Komunis Cina, perpindahan penduduk antar kota atau antar wilayah dilarang keras oleh
pemerintah. Hal ini dikarenakan oleh minimnya persediaan makanan yang tersedia;
dikhawatirkan bila perpindahan dipermudah, maka akan timbul daerah-daerah terlantar di
perkotaan di mana para penduduk hasil perpindahan kota tidak mendapatkan makanan
yang seharusnya. Sehubungan dengan keberhasilan reformasi ekonomi Deng Xiaoping,
aturan ini diperingan. Masyarakat Cina bisa ’bermigrasi’ lebih mudah daripada tahun-
tahun sebelumnya.
Namun, rupanya kebijakan ini menimbulkan masalah. Jumlah orang yang
’bermigrasi’ dari kawasan pedesaan menuju perkotaan berkembang dengan sangat cepat;
urbanisasi terjadi hampir di mana-mana. Peluang pekerjaan yang besar pada daerah urban
4
China.org.cn (2009). 1981: Dual-track Price System. Diakses pada 8 Oktober 2009,
http://www.china.org.cn/features/60years/2009-09/16/content_18534471.htm
juga mengeskalasi urbanisasi masyarakat desa ke kota, apalagi bila dibandingkan dengan
penghasilan petani yang sekitar 1000 yuan, penghasilan di kota bisa sekitar tiga kali
lipatnya: 3000 yuan.5 Ada pula para petani yang tidak berhasil dengan household
responsibility system, sehingga pergi mencari pekerjaan yang lebih baik di kota. Akibat
dari migrasi yang meledak seperti ini, pada tahun 1986 aturan untuk berpindah kota
kembali diperketat. Bahkan dilakukan ’pengkotaan’ – membuat desa menjadi kota
dengan pabrik dan industri – untuk meredam urbanisasi ini. Tapi agaknya usaha
pemerintah tidak berpengaruh besar; urbanisasi masih berlanjut.
Survei pada bulan April 1985 di Beijing menunjukkan bahwa sekitar 662.000
orang merupakan floating population – dalam artian, populasi orang yang tidak memiliki
tempat tinggal – atau sektiar 12.5 persen dari total populasi di Beijing. 6 Menyikapi hal
ini, pemerintah segera mengambil langkah: setiap unit kerja dan rumah tetangga
diharuskan mendata kependudukan yang ada di sekitarnya; setiap orang yang berada di
Beijing selama tiga hari harus terdaftar dalam data itu, dan orang yang mau tinggal lebih
dari tiga hari harus mendapatkan izin resmi dari kantor polisi.
Dalam menghadapi kasus floating population di Beijing ini, kiranya pemerintah
Cina pada masa itu telah melakukan tindakan yang dimiliki secara penuh wewenangnya
dengan situasi represif yang minimal. Dikatakan bahwa kooperasi antar-warga untuk
mendata setiap orang yang terdaftar di Beijing adalah penting, dan selanjutnya diserahkan
kepada polisi bila terdapat warga yang ingin tinggal di Beijing lebih lama tidak
menunjukkan pencabutan ataupun pelanggaran HAM seperti yang biasa ditemui dalam
pemerintahan koersif – atau aksi-aksi yang biasa Cina lakukan lainnya seperti
pembatasan anak. Justru, hal demikian wajar pula bila ditemui dalam negara lain yang
mengambil format kenegaraan demokratis.
Mengingat jumlah populasi Beijing yang sudah tergolong padat – menghitung
dari jumlah wilayah Beijing sekitar 17.000 km2 beserta perkiraan jumlah populasi dari
662.000 yang hanya 12.5 persen dari keseluruhan populasinya – maka tindakan untuk
mendata orang yang ingin tinggal selama tiga hari itu sudah tergolong cukup cepat
sebagai antisipasi warga hasil urbanisasi yang berkemungkinan menjadi floating
population. Warga yang kemudian tidak dapat memenuhi syarat untuk mendatakan
5
Mackerras, op. cit.
6
National Bureau of Statistics of China. http://www.stats.gov.cn/english/
dirinya sebagai warga Beijing melalui kantor polisi setempat maka bisa segera ditangani
oleh aparat agar dikembalikan ke tempatnya.

Você também pode gostar