Você está na página 1de 7

BAB I

PENDAHULUAN

1
BAB II

PEMBAHASAN

PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN

Meskipun para ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul jiwa keagamaan
pada manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan
rasa dan sikap keberagamaan pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran
penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seseorang anak. Kemudian, melalui
pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap tersebut.

A. Pendidikan Keluarga

Barang kali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak sejak
masa bayi hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Oleh karena itu, tak
mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak
sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga saat akan
tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lungkungan keluarga (Gilbert
Highest, 1961:78).

Bayi yang baru lahir merupakan mahluk yang tidak berdaya, namu ia dibekali oleh
berbagai kemampuan yang bersifat bawaan. Disini terlihat adanya dua aspek yang kontradiktif.
Disatu pihak bayi berada dalam kondisi tanpa daya, sedangkan dipihak lain bayi memiliki
kemampuan untuk berkembang (explorative). Tetapi menurut Walter Houston Clark,
perkembangan bayi tak mungkin berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar,
walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Seandainya bayi dalam pertumbuhan dan
perkembangannya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, maka ia memerlukan
berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan ( W.H. Clark. 1964:2).

Dua ahli psikologi anak Prancis bernama Itard dan Sanguin pernah meneliti anak-anak
asuhan srigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh sekelompok srigala
didalam gua. Ketika ditemukan, kedua bayi itu sudah berusia kanak-kanak, namun, kedua bayi

2
tersebut tidak menunjukan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh manusia pada usia anak-
anak. Tak seorangpun diantara keduanya yang mampu mengucapka kata-kata, kecuali suara
aungan layaknya seekor srigala. Keduanya juga berjalan dengan cara merangkak dan makan
dengan cara menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya lebih runcing menyerupai srigala,
setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat manusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan
srigala tersebut tak dapat menyesuaikan diri, dan akhirnya mati.

Contoh diatas menunjukan pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun
pembentukan kebiasaan terhadap masa depan perkembangan seorang anak.

Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan,


pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya
dapat berjalan secara baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinktif secara utuh,
sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuhnya.

Menurut W.H. Clark, bayi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu pengawasan serta


pemeliharaan yang terus-menerus sebagai latihan dasar dalam pembentukan kebiasaan dan sikap-
sikap tertentu agar memiliki kemungkinan untuk berkembang secara wajar dalam kehidupan di
masa dating (W.H. Clark, 1964: 2).

Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan
pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalah pendidika kodrati. Pendidikan keluarga
merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.

Menurut Rasul Allah saw., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk
arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki
potensi untuk Bergama, namun bentuk keyakinan agama yang dianut anak sepenuhnya
tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.

B. Pendidikan Kelembagaan

Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada, sebaliknya,


dimasyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin
dipertahankan. Untuk menyelarasakan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya,
seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga

3
khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan yang dimaksud. Dengan demikian,
secara kelembagaan maka sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang
artifisialis.

Selain itu, sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan
pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk
mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.

Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa
kegamaan pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam
konteks ini guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan
agama yang diberikannya.

Menurut Mc.Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima
berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama, adalah adanya perhatian;
kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan (Djamaludin Ancok, 1994: 40-41).
Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada
anak sangat tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan tiga proses itu.
Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus menarik perhatian peserta didik. Untuk
menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta
alat-alat bantu yang memungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya.

Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik
tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika
pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Ketiga, penerimaan
siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan.

C. Pendidikan di Masyarakat

Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya


sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik
adalah keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga

4
lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk
dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.

Seperti diketahui, bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi
sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam aspek menacakup fisik, psikis, moral dan
spiritual (M. Buchori, 1982: 155). Makanya, menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu
perlu pola asuh yang serasi. Menurutnya ada enam aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu,
yaitu: 1) fakta-fakta asuhan; 2) alat-alatnya; 3) regularitas; 4) perlindungan; dan 5) unsure waktu.

Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak
kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada
perbedan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil
penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan
menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya,
kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang penting
dalam pertumbuhan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah
perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi.

Selanjutnya, karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur
dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam
pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia
dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan
bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu
tertentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini pul a
terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian
dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang
memuat norma-norma kesopanan tidka akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja.
Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan pula
pada orang lain.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai
kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika
seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.

5
D. Agama dan Masalah Sosial

Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman


agama (religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh
luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya pendidikan. Adapun
pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila di lingkungan
keluarga anak-anak tidak diberikan agama, biasanya sulit untuk memperoleh kesadaran dan
pengalaman agama yang memadai.

Pepatah mengatakan: “bila anak tidak didik oleh orangtuanya, maka ia akan dididik oleh
siang dan malam.” Maksudnya, pengaruh lingkungannya akan mengisi dan memberi bentuk
dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan di kota-kota, terutama kota besar, anak-anak yang
kehilangan hubungan dengan orangtua cukup banyak. Mungkin dikarenakan faktor ekonomi,
hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karena yatim piatu. Anak-anak ini sering
disebut anak jalanan.

Secara umum, anak jalanan merupakan anak yatim. Baik karena berstatus sebagai yatim
sepenuhnya, yaitu mereka yang sudah kehilangan orangtua atau teryatimkan. Merke ayang
teryatimkan ini adalah yang masih mempunyai orangtua, tetapi sudah lepas dari hubungan
orangtua merkea. Hisup tanpa pemeliharaan dan pengawasan orangtua menjadikan anak jalanan
berhadapan dengan kehidupan yang keras serta terkesan “liar”.

Dalam kesehariannya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok sebaya atau
dalam kegiatan yang sama. Ada kelompok pengamen, pemulung, pengemis, dan sebagainya.
Mengamati lingkungan pergauloan sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus
anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial, juga kerawanan dalam nilai-nilai
keagamaan. Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka inipun tak memiliki kesempatan untuk
memperoleh bimbingan keagamaan, bahkan, di kota-kota besar, mereka ini seakan sudah
terbentuk menjadi golongan tersendiri dalam masyarakat, yakni masyarakat rentan.

Sebagai masyarakat rentan, golongan ini seakan berada di luar lingkungan budaya dan
tradisi masyarakat umum. Boleh dikatakan mereka mempunyai “budaya” sendiri yang terbentuk
di luar kaidah nilai-nilai yang berlaku. Pola kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh),
menjadikan anak jalanan rawan sentuhan berbagai pengaruh buruk.

6
Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme
agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat terjadi karena
kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini, tindakan emosional
dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat mengikat
dan mengatur sikap dan perilaku yang negative. Dengan demikian, mereka akan mudah
terprovokasi oleh berbagai isu yang berkembang.

Meskipun anak-anak jalanan ini sering digolongkan sebagai kelompok masyarakat yang
termarginalisasikan, namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan pengaruh
lingkungan yang membawa mereka ke dalam kehidupan yang demikian. Semuanya menjadikan
mereka kehilangan alternative dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Oleh karena
itu, tanggung jawab ini terbebankan kepada masyarakat secara keseluruhan.

Dalam konteks ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan. Demikian pula
organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan sepenuhnya kepada
pemerintah, bagaimanapun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memamng
memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi
bagian dari masalah keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.

BAB III

KESIMPULAN

Você também pode gostar