Você está na página 1de 15

Anggaran Negara Boros akibat Struktur Kabinet Terlalu

Gemuk
07-01-2008
Anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Baharuddin Aritonang menilai struktur Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) terlalu gemuk sehingga menghabiskan banyak anggaran negara.
Demikian juga struktur di pemerintahan daerah sehingga lebih banyak dihabiskan untuk
kepentingan pembiayaan pejabat.

"Karena kabinet dan struktur pemerintahan saat ini terlalu gemuk, terjadi pemborosan pada
anggaran negara. Akibatnya, roda pemerintahan juga berjalan tidak efektif," kata Baharuddin
Aritonang kepada wartawan, di Jakarta, Minggu (6/1).

Ia menambahkan, mestinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memangkas jumlah


lembaga/departemen yang kini mencapai 50 lembaga/departemen dan 25 lembaga
nondepartemen.

Karena itu, menurut mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini, keberadaan lembaga-
lembaga baru seperti Wahtimpres (Dewan Pertimbangan Presiden), jubir presiden, dan staf
khusus presiden supaya dipertimbangkan kembali. "Kesannya pembentukan lembaga-lembaga
ini hanya untuk menampung 'rekan-rekan' penguasa saja," kata Aritonang.

Aritonang juga menyoroti tidak jelasnya alasan pemerintah dalam membentuk sebuah badan
atau direktorat dalam departemen.

Ia mencontohkan, dulu di Departemen Kesehatan ada direktorat farmasi, kemudian diubah


menjadi Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Lalu, dipisah lagi menjadi Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang lepas dari struktur Departemen Kesehatan.

"Yang membuat saya merasa aneh, Depkes juga kemudian membentuk Ditjen Pelayanan
Kefarmasian. Apa kerja mereka itu? Apa juga perbedaannya dengan BPOM, itu yang sam pai
sekarang tidak jelas," katanya.

Baharuddin Aritonang, mengingatkan siapa pun yang terpilih sebagai presiden dalam Pemilu
2009 agar memperhatikan jumlah struktur kabinet. Presiden yang terpilih harus membentuk
kabinet yang ramping.

"Jangan terlalu gemuk. Karena kalau kabinet terlalu gemuk akan diikuti oleh pemda-pemda
dalam menyusun struktur birokrasinya. Ini jelas tidak efisien dan tidak efektif," kata Aritonang.

Menurut Aritonang, jumlah anggota kabinet yang ideal ke depan nanti adalah 18
departemen/kementerian. Dengan demikian, kinerja kabinet bisa lebih efektif dari sekarang.

"Sekarang ini saya dengar banyak menteri yang stres karena tugas menteri menjadi sangat berat
akibat tidak efektifnya birokrasi yang ada," katanya.
Aritonang juga menilai banyak produk perundangundangan DPR yang tidak efektif, karena
sering digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). "Undang undang itu dibahas dan disahkan
oleh 550 anggota DPR tapi dibatalkan begitu saja oleh Mahkamah Konstitusi yang anggotanya
cuma sembilan orang," kata Aritonang.

Di tempat terpisah, Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) HM Lukman Edy
menyatakan, sepanjang pengetahuannya para menteri Kabinet Indonesia Bersatu dari unsur
partai politik tetap konsisten menjalankan tugasnya selaku pembantu presiden.

"Kinerja menteri tak ada persoalan. Komitmennya tetap sama, tidak akan mencampur urusan
kementerian dengan kepartaian," katanya.

Lukman Edy menambahkan, dalam pemahamannya yang lebih disorot Presiden justru para
kepala daerah, gubernur dan bupati, yang memang berasal dari partai yang beragam. "Harusnya
semua (tingkatan pemerintah) sinergis. Dalam posisi sekarang agak kesulitan," katanya.
http://www.bpk.go.id/
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #1
Defisit Anggaran Negara
Kunarjo *
Pendaluhuan
Tetangga saya yang awam, masih bingung memikirkan keadaan perekonomian pada
umumnya, dan APBN pada khususnya. Pagi-pagi dia sudah mengangkat telepon ke rumah
saya. “Dari siapakah ?” Dan “Dari manakah ?”, jawab saya di telepon menirukan Saur
Hutagalung, penyiar di Metro TV. Ternyata yang menelepon adalah tetangga yang saya
sebutkan tadi. Keheranannya, mengapa sampai dengan 1998/99 APBN masih dalam
keadaan
seimbang, tiba-tiba tahun berikutnya mengalami defisit yang luar biasa. Saya, walaupun
juga
sama-sama awam mencoba untuk menjawab seperti para pengamat yang ‘bergentayangan’
di
layar televisi dan surat kabar, yang merasa sok pintar dan benar, karena saya tahu apapun
jawabannya, tetangga saya itu akan manggut-manggut.
Penyusunan anggaran di semua negara ditentukan oleh unsur-unsur politik. Sejak
1969/70 sampai 1988/89, APBN kita berimbang, artinya penerimaan sama dengan
pengeluarannya. Berimbangnya anggaran itu karena memang arahan GBHN yang
merupakan
dokumen politis itu mengatakan demikian, sehingga pemerintah mengusahakan sekuat
tenaga
untuk menyusun APBN yang berimbang. Wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen selalu
mengatakan setuju dan bertepuk tangan setiap kali presiden selesai berpidato dalam
menyampaikan nota keuangan. Maklum mayoritas keanggotaan dewan adalah dari Golkar
yang merupakan partai pemerintah. Rakyat pada umumnya juga sependapat dengan
kebijakan
pemerintah yang nampaknya bagus itu, karena dalam hidup berumah tangga saja,
pengeluaran harus seimbang dengan penerimaannya. Kata orang Jawa jangan sampai
“kegedhen empyak kurang cagak”, artinya ibarat rumah yang kebesaran atap daripada
tiangnya.
Selama ini kekurangan dana untuk pembangunan, pemerintah cenderung menempuh
melalui cara meminjam dari luar negeri. Anehnya pemerintah selalu bangga apabila pada
sidang CGI dikabarkan Indonesia memperoleh pinjaman yang sama, atau lebih besar dari
tahun sebelumnya. Dan keberhasilan tersebut selalu dikatakan bahwa itu merupakan bukti
dari
kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah Indonesia.
Pinjaman luar negeri ini memang sering diperdebatkan oleh para pakar, apakah
pinjaman luar negeri itu merupakan beban bagi generasi yang akan datang atau tidak.
Banyak
pakar yang tidak sependapat apabila bantuan luar negeri itu akan membebani generasi
yang
akan datang.1 Tetapi siapapun yang benar, pinjaman luar negeri yang berbentuk valuta
asing
itu sangat terasa sekali bebannya, terutama terhadap APBN, pada saat Indonesia
mengalami
keterpurukan ekonomi pada tahun 1997, dimana nilai rupiah terus melemah terhadap dollar
* Drs. Kunarjo, MA adalah dosen luar biasa pada Program Pasca Sarjana, Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta-red.
1 Lihat John F.Due, Government Finance, Richard D. Erwin, Inc., Homewood, Illinois, 1963, Hal. 495

C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #2


AS, yang akibatnya berdampak pada pengeluaran negara yang membengkak pada waktu
membayar pokok dan cicilan pinjaman.
Defisit anggaran negara adalah selisih antara penerimaan negara dan pengeluarannya
yang cenderung negatif, artinya bahwa pengeluaran negara lebih besar dari
penerimaannya.
Para ahli ekonomi cenderung menghitung defisit anggaran negara itu bukan dari angka
absolut, tetapi mengukur dari rasio defisit anggaran negara terhadap Produk Domestik
Bruto
(PDB). Apabila kita menghitung defisit anggaran negara sebagai persentase dari PDB, maka
akan mendapat gambaran berapa persen suatu negara dapat menghimpun dana untuk
menutup defisit tersebut.2 Kecuali itu, dengan menghitung besarnya persentase defisit
anggaran negara terhadap PDB juga menggambarkan berapa tingkat defisit itu sudah
membahayakan keadaan perekonomian. Sebagai contoh, APBN Indonesia tahun 2001
diasumsikan bahwa defisit anggaran negara mencapai sekitar 3,7% dari PDB. Tetapi dalam
perjalanannya, terus membengkak menjadi sekitar 3,8%.
Sebab-sebab Terjadinya Defisit Anggaran Negara
Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi
Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar
pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan
dengan
meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila
kekurangan
itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang dibebani tanggung jawab yang besar
dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Beban ini meliputi pembangunan
program-program, seperti :
a. Program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, jembatan, listrik,
pelabuhan, dll.
b. Program yang berkaitan dengan Hankam.
c. Pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan, lembaga
pemasyarakatan, dll.
d. Program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit, panti
asuhan.
e. Program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti program transmigrasi,
pembangunan daerah, dll.
f. Program yang menangani masalah kemiskinan, seperti PPK, P3DT, dsb.
Semuanya itu diperlukan biaya yang besar, dan diantaranya harus dilaksanakan oleh
negara, terutama program nomor b, c, e, dan f, karena swasta/ masyarakat tidak mungkin
membangun program-program seperti itu.
2 David N., Hyman, Public Finance, Dryden Press, London,1999, Hal. 446
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #3
Rendahnya Daya Beli Beli Masyarakat
Masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai pendapatan per
kapita rendah, dikenal mempunyai daya beli yang rendah pula. Sedangkan barang-barang
dan
jasa-jasa yang dibutuhkan, harganya sangat tinggi karena sebagian produksinya
mempunyai
komponen impor, sehingga masyarakat yang berpendapatan rendah tidak mampu membeli
barang dan jasa tersebut. Barang dan jasa tersebut misalnya listrik, sarana transportasi,
BBM,
dan lain sebagainya. Apabila dibiarkan saja menurut mekanisme pasar, barang-barang itu
pasti
tidak mungkin terjangkau oleh masyarakat dan mereka akan tetap terpuruk. Oleh karena
itu,
negara memerlukan pengeluaran untuk mensubsidi barang-barang tersebut agar
masyarakat
miskin bisa ikut menikmati.
Pemerataan Pendapatan Masyarakat
Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh
wilayah. Indonesia yang mempunyai wilayah sangat luas dengan tingkat kemajuan yang
berbeda-beda di masing-masing wilayah. Untuk mempertahankan kestabilan politik,
persatuan
dan kesatuan bangsa, negara harus mengeluarkan biaya untuk misalnya, pengeluaran
subsidi
transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar masyarakat di wilayah itu dapat
menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lebih maju.
Kegiatan itu misalnya dengan memberi subsidi kepada pelayaran kapal Perintis yang
menghubungkan pulau-pulau yang terpencil, sehingga masyarakat mampu menjangkau
wilayah-wilayah lain dengan biaya yang sesuai dengan kemampuannya.
Melemahnya Nilai Tukar
Indonesia yang sejak tahun 1969 melakukan pinjaman luar negeri, mengalami masalah
apabila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai
pinjaman
dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman
dihitung dengan rupiah. Apabila nilai tukar rupiah menurun terhadap mata uang dollar AS,
maka yang akan dibayarkan juga membengkak. Sebagai contoh APBN tahun 2000, disusun
dengan asumsi kurs rupiah terhadap dollar AS sebesar Rp. 7.100,-, dalam perjalanan tahun
anggaran telah mencapai angka Rp. 11.000,- lebih per US$ 1.00.
Apa artinya ? Bahwa pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang diambil dari
APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula.
Pengeluaran Akibat Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi Indonesia yang terjadi tahun 1997 mengakibatkan meningkatnya
pengangguran dari 34,5 juta orang pada tahun 1996, menjadi 47,9 juta orang pada tahun
1999.3 Sedangkan penerimaan pajak menurun, akibat menurunnya sektor-sektor ekonomi
3 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1999, Jakarta, Hal. 595
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #4
sebagai dampak krisis itu, padahal negara harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya
beli masyarakat yang tergolong miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana
ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di
wilayah pedesaan yang miskin itu.
Realisasi yang Menyimpang dari Rencana
Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan,
atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti
apa
yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan, proyek, atau program harus dipotong.
Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai
kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan
proyek lain. Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja
pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana semula.
Pengeluaran Karena Inflasi
Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang
telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat
dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga
itu
dapat meningkat tetapi jarang yang menurun.
Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga itu berarti biaya
pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggarannya tetap sama.
Semuanya
ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran
negara perlu direvisi. Anggaran negara yang telah tercantum terlalu rinci dalam dokumen
anggaran (DIP, DIPP), pemimpin proyek sulit untuk bisa menyesuaikan apabila terjadi
kenaikan harga barang yang melampaui harga standar. Untuk melaksanakan pembangunan
proyek yang melampaui standar yang telah ditentukan, pemimpin proyek akan
dipersalahkan
oleh Badan Pengawas Keuangan, sebaliknya juga apabila pemimpin proyek terpaksa
mengurangi volumenya. Akibatnya, negara terpaksa akan mengeluarkan dana untuk
eskalasi
dalam rangka menambah standar harga itu.
Dampak Defisit terhadap Ekonomi Makro
Mengapa kita membicarakan defisit? Dan mengapa defisit anggaran negara merupakan
momok yang sangat ditakuti?
Defisit anggaran itu ibaratnya seperti penyakit hipertensi yang dampaknya bisa
mempengaruhi kerja jantung, ginjal, mata, otak, yang berakibat kelumpuhan. Demikian
pula
defisit anggaran juga berdampak pada beberapa variabel ekonomi makro, antara lain : (1).
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #5
Tingkat bunga; (2). Neraca pembayaran; (3). Tingkat inflasi; (4). Konsumsi dan tabungan;
(5).
Tingkat pengangguran; dan (6). Tingkat pertumbuhan.
(1). Dampak Terhadap Tingkat Bunga
Defisit anggaran ditandai dengan kurangnya pembiayaan pengeluaran negara karena
kurangnya penerimaannya yang berasal dari pajak. Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam meningkatkan anggaran pembangunan maupun rutin, negara
memerlukan penambahan modal, yang berarti permintaan terhadap uang meningkat.
Bunga, yang merupakan harga modal itu, akan mengalami tingkat keseimbangan yang
lebih tinggi, atau tingkat bunga akan meningkat.
(2). Dampak Terhadap Neraca Pembayaran
Dalam ekonomi terbuka, defisit anggaran dapat mempengaruhi posisi ekspor dan impor
dari dan ke manca negara. Dengan meningkatnya tingkat bunga, investasi dalam negeri
akan menurun, yang berarti peluang modal asing cenderung masuk mengalir ke dalam
negeri untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam negeri. Apabila ini terjadi, maka defisit
anggaran mempunyai dua dampak yang berkaitan, yaitu : pertama, defisit anggaran akan
meningkatkan defisit neraca pembayaran; kedua, dengan membengkaknya defisit neraca
pembayaran, akan menurunkan nilai tukar dalam negeri terhadap mata uang asing. 4
Sehingga menurunnya nilai rupiah terhadap valuta asing selama ini bukan saja disebabkan
karena faktor psikologis, tetapi juga faktor teknis.
(3). Dampak Terhadap Tingkat Inflasi
Pengeluaran negara yang melebihi penerimaannya berarti anggaran negara itu ekspansif,
artinya ada kecenderungan terhadap kenaikan harga-harga umum (inflasi). Mengapa,
karena pengeluaran negara yang digunakan untuk pembangunan proyek-proyek dengan
biaya besar dan berjangka lama, selama dalam pembangunan belum dapat menghasilkan
dalam waktu yang cepat, tetapi sebaliknya, negara telah melakukan
pengeluaranpengeluaran,
antara lain untuk upah buruh yang berakibat meningkatnya daya beli
masyarakat. Dengan meningkatnya daya beli masyarakat di satu pihak, dan belum ada
output yang dihasilkan di lain pihak, akan mendorong harga-harga umum akan
meningkat, yang dampaknya adalah pada inflasi. Dalam masa pembangunan yang
menggebu-gebu sulit bisa dihindarkan keadaan inflasi ini.
4 Daniel Shaviro, Do Deficits Matter ?, The University of Chicago Press, Chicago, 1997, Hal.193
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #6
(4). Dampak Terhadap Konsumsi dan Tabungan
Inflasi yang diakibatkan karena defisit anggaran negara itu akan mengurangi pendapatan
riil masyarakat. Pengurangan pada pendapatan riil masyarakat itu akan berakibat pada
pengurangan baik konsumsi maupun tabungan. Tabungan sangat penting sekali untuk
mendorong investasi. Apabila pendapatan riil ini menurun, berarti tingkat konsumsi dan
tabungan riil juga menurun, padahal tingkat tabungan riil itu akan berpengaruh terhadap
tingkat investasi. Dengan menurunnya tingkat tabungan tersebut, tingkat investasi juga
menurun.
(5). Dampak Terhadap Penggangguran
Pengganguran berarti penurunan tingkat kesempatan kerja. Kesempatan kerja tergantung
pada besarnya investasi yang dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat. Naiknya
tingkat bunga akibat dari anggaran negara yang defisit itu, akan berdampak menurunnya
gairah untuk investasi, yang berarti banyak proyek-proyek maupun perluasan proyek yang
sudah ada tidak dapat dibangun, sehingga berakibat pada pemecatan tenaga kerja atau
kurangnya tenaga kerja baru yang masuk dalam lapangan kerja. Dengan demikian defisit
anggaran ini juga secara langsung berakibat pada kenaikan peningkatan tingkat
penggangguran.
(6). Dampak Terhadap Tingkat pertumbuhan
Pertumbuhan yang meningkat adalah akibat dari meningkatnya investasi, baik dari negara
maupun masyarakat. Peningkatan investasi itu bisa terjadi, kecuali disebabkan oleh situasi
keamanan yang kondusif, juga tingkat bunga yang rendah. Tetapi apabila perubahan
variabel-variabel tersebut berlawanan dengan yang disebutkan diatas, terutama tingkat
bunga yang tinggi akibat defisit anggaran, maka tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak
akan tercapai atau dapat dikatakan defisit anggaran itu juga mengakibatkan pada
penurunan tingkat pertumbuhan.
Membiayai Defisit Anggaran
Inflasi dapat mendatangkan masalah bagi anggaran negara dan sebaliknya anggaran
negara yang ekspansif berakibat timbulnya inflasi. Dengan inflasi mengakibatkan
pengurangan
penerimaan riil di satu pihak, tetapi justru menambah pengeluaran di lain pihak, dan
semuanya itu akan memperburuk posisi defisit anggaran negara.
Defisit anggaran dalam APBN 2001 direncanakan sebesar 3,7% dari PDB atau sekitar Rp.
52 trilyun. Tetapi dalam perjalanannya defisit tersebut membengkak karena
pengeluaranpengeluaran
negara yang tidak diperkirakan sebelumnya, antara lain pembayaran pinjaman
luar negeri dan dampak-dampak lainnya seperti yang disebutkan diatas. Krisis ekonomi
Indonesia tahun 1997 memang dirasakan cukup berat terutama dampaknya terhadap
APBN,
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #7
bahkan diantara negara-negara yang terlanda krisis, Indonesia mengalami krisis yang
terberat.
Mengapa Indonesia nampaknya yang paling sulit keluar dari krisis ?
Menurut Boediono,5 sebabnya adalah bahwa institusi-institusi yang menjadi pilar
kehidupan kemasyarakatan kita, di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan politik ternyata
lemah,
tidak tahan terpaan badai. Lebih dari itu, kelemahan yang ada dalam satu institusi ternyata
erat kaitannya dengan kelemahan yang ada di institusi lain. Sehingga gangguan pada satu
institusi merembet cepat pada institusi-institusi lain. Alhasil, apa yang pada awalnya hanya
berupa gejolak di pasar devisa, segera berkembang menjadi krisis perbankan, kemudian
krisis
ekonomi, dan akhirnya menjadi krisis politik dan sosial.
Dilihat dari sisi manajemen APBN, maka negara harus dapat menutup defisit ini. Secara
teoritis menutup defisit APBN dapat dilakukan secara mudah, yaitu : selama APBN terdiri
dari
sisi penerimaan dan pengeluaran, maka defisit APBN prinsipnya dapat ditanggulangi
dengan
cara menambah di sisi penerimaan atau mengurangi di sisi pengeluaran. Masalahnya,
menambah sisi penerimaan itu, penerimaan yang mana, jenis pajak yang mana. Dan
mengurangi pengeluaran itu, jenis pengeluaran yang mana. Yang terakhir ini kadang-
kadang
dapat diperdebatkan oleh para politisi, karena mereka khawatir tidak populer lagi di mata
masyarakat. Itulah solusi yang sulit untuk dipecahkan.
a. Sisi penerimaan :
(1) Meminjam dari perbankan dalam negeri. Dengan meminjam dari perbankan dalam
negeri berarti terjadi penciptaan uang, sehingga uang yang beredar dalam masyarakat
(money supply) meningkat. Dampak terhadap pertambahnya penawaran uang yang
tidak diimbangi dengan jumlah barang yang diproduksi, akan mengakibatkan kenaikan
harga-harga umum atau inflasi.
(2) Meminjam dari non perbankan dalam negeri atau masyarakat dengan cara
menerbitkan
obligasi. Di satu pihak penjualan obligasi pemerintah akan menyerap uang masyarakat
dan menambah penerimaan negara. Penyerapan uang dari masyarakat berakibat
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, yang akibatnya berdampak pada
penurunan harga. Akan tetapi dengan penjualan obligasi kepada masyarakat dapat juga
berakibat disamping menambah pemasukan negara, juga mengurangi tabungan
masyarakat yang sebenarnya dapat dipergunakan untuk investasi masyarakat.
(3) Meminjam dari luar negeri. Karena alasan yang tersebut pada nomor (2), negara
cenderung meminjam ke luar negeri. Dengan meminjam dari luar negeri itu, sebagian
masyarakat ada yang mengkritik, karena pinjaman luar negeri berarti akan membebani
anak cucu kita di kemudian hari. Tetapi sebagian masyarakat tidak setuju pendapat itu,
karena dengan meminjam modal sekarang, dan digunakan untuk proyek-proyek yang
produktif dan efisien seperti pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, generasi
penerus telah mempunyai pondasi yang kuat untuk membangun proyek-proyek lain yang
telah tersedia pondasinya, yaitu berupa sarana dan prasarananya. Sedangkan
5 Boediono,Dr, Pembenahan Institusi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi (Keynote Speech disampaikan pada Kongres
Ikatan
alumni Australia ke-1 di Jakarta, 20 Maret 1999)
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #8
pembayaran cicilannya dapat diambil dari perpajakan yang akan ditarik dari
perusahaanperusahaan
yang telah mantap hasil dari pinjaman sebelumnya.
(4) Meningkatkan penerimaan pajak. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, baik pajak
langsung maupun pajak tidak langsung.
(5) Mencetak uang. Alternatif ini tidak populer karena pengalaman tahun-tahun
sebelumnya,
penambahan anggaran dari mencetak uang berarti akan menambah uang yang beredar
di masyarakat dan itu akan berdampak pada inflasi. Apalagi apabila pengeluaran
masyarakat dibelanjakan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak produktif atau tidak efisien.
Pengeluaran yang tidak efisien ini dapat dilihat dari 4 aspek,6 yaitu pertama kegiatan
yang saling bertentangan antara sektor negara dan swasta. Kedua kegiatan yang tidak
sesuai dengan tujuan pembangunan, ketiga kegiatan yang dilaksanakan dengan biaya
yang lebih besar daripada manfaat yang akan diperoleh. Keempat pengeluaran yang
bertentangan dengan tujuan makro ekonomi, misalnya penciptaan kesempatan kerja,
penciptaan devisa.
Negara cenderung untuk memilih menutup defisit dengan cara meminjam ke luar negeri
dibanding dengan menambah pajak, dengan alasan : (a). dengan meminjam ke luar negeri,
penerimaan pajak bisa diprioritaskan untuk keperluan lain yang lebih produktif; (b).
pemungutan pajak sangat memberatkan masyarakat yang pendapatannya sudah sangat
rendah; (c). meminjam ke luar negeri dapat meningkatkan pembangunan sarana dan
prasarana yang mempunyai dampak tumbuhnya investasi swasta dan yang berakibat pada
peningkatan penerimaan pajak.
b. Sisi pengeluaran :
(1). Mengurangi subsidi, yaitu bantuan yang diambil dari anggaran negara untuk
pengeluaran yang sifatnya membantu konsumen untuk mengatasi tingginya harga yang
tidak terjangkau oleh mereka agar tercipta kestabilan politik dan sosial lainnya, misalnya
subsidi pupuk, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya negara memberikan subsidi terhadap suatu barang, karena barang itu
dianggap harganya terlalu tinggi dibanding dengan kemampuan daya beli masyarakat.
Agar tidak terjadi gejolak di masyarakat, maka negara mengeluarkan dana untuk
mensubsidi barang tersebut. Subsidi itu dilakukan dengan beberapa cara, misalnya : i).
memberikan subsidi kepada konsumen dengan cara memberikan subsidi harga
barangbarang
yang dikonsumsi; ii). memberikan subsidi kepada produsen, yaitu memberikan
subsidi pada bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut. Kalau
pengeluaran subsidi itu dikurangi akan berakibat pada kenaikan harga barang yang
diberi subsidi itu.
(2). Penghematan pada setiap pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun
pembangunan.
Penghematan pada pengeluaran rutin dilakukan oleh departemen teknis, misalnya untuk
pengeluaran listrik, telepon, alat tulis, perjalanan dinas, rapat-rapat, seminar, dan
sebagainya tanpa mengurangi kinerja dari departemen teknis yang bersangkutan.
6 Richard Hemming, Daniel P. Hewitt, and G.A. Mackenzie, Public Expenditure Handbook, IMF, Washington, DC, 1991, Hal.
26
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc #9
(3). Menseleksi sebagian pengeluaran-pengeluaran pembangunan . Penge- luaran
pembangunan yang berupa proyek-proyek pembangunan diseleksi menurut prioritasnya,
misalnya proyek-proyek yang cepat menghasilkan. Proyek-proyek yang menyerap biaya
besar dan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang lama, sementara ditunda
pelaksanaannya
(4). Mengurangi pengeluaran program-program yang tidak produktif dan tidak efisien .
Program-program semacam itu adalah program-program yang tidak mendukung
pertumbuhan sektor riil, tidak mendukung kenaikan penerimaan pajak, dan tidak
mendukung kenaikan penerimaan devisa. Pemotongan program-program ini harus
dilakukan dengan hati-hati. Pemotongan pengeluaran tanpa memperbaiki produktivitas
program, berarti akan ada kecenderungan akan menurunnya kualitas dan kuantitas
output.7
Penutup
Penyusunan anggaran negara yang berimbang memang merupakan suatu cara yang
ideal untuk menghindari pengeluaran yang melebihi penerimaannya. Tetapi penyusunan
anggaran berimbang secara tidak transparan, tipu-tipuan maka masyarakat akan
mempunyai
harapan yang semu dan ada kecenderungan untuk melakukan pemborosan-pemborosan
(kurang hati-hati) karena menganggap bahwa keuangan negara dalam keadaan baik.
Dengan
anggaran berimbang, apabila penerimaan melebihi pengeluarannya, maka harus dipacu
dengan tingkat pengeluaran untuk menseimbangkan anggaran tersebut. Percepatan itu
akan
menjurus pada pengeluaran-pengeluaran yang tidak produktif dan dapat memicu KKN.
Defisit anggaran negara nampaknya pemecahannya mudah, yaitu dengan menambah
penerimaan dan/atau mengurangi pengeluaran. Sulitnya penambahan penerimaan (pajak)
mana yang dinaikkan, atau wilayah pengeluaran mana yang diturunkan. Sulitnya karena
semua itu mempunyai dampak pada politik. Pengurangan subsidi pada BBM, ujung-
ujungnya
pada dampak yang timbul dalam pengurangan subsidi BBM itu, dengan kata lain harga BBM
akan meningkat, biaya transportasi akan meningkat, biaya produksi akan meningkat, dan
seterusnya dan seterusnya, dan ujung-ujungnya Menteri Pertambangan yang kena cacian
dari
masyarakat. Oleh karena itu revisi APBN 2001 sangat alot􀂠
7 IMF, Unproductive Public Expenditure, Fiscal Affair Department IMF, Washington DC, 1995
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Kunarjo.doc # 10
Daftar Kepustakaan
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1999, Jakarta.
Boediono, Dr, Pembenahan Institusi Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi, (Keynote Speech)
disampaikan
pada Kongres Ikatan alumni Australia ke-1 di Jakarta, 20 Maret 1999).
Due, John F., Government Finance, Richard D. Erwin, Inc., Homewood, Illinois, 1963.
Hemming, Richard, Daniel P. Hewitt, and G.A. Mackenzie, Public Expenditure Handbook, IMF,
Washington, DC, 1991.
Hyman, David N., Public Finance, Dryden Press, London,1999.
IMF, Unproductive Public Expenditure, Fiscal Affair Department IMF, Washington DC, 1995.
Shaviro, Daniel, Do Deficits Matter ?, The University of Chicago Press, Chicago, 1997.

Presiden Akan Bentuk Tim Evaluasi Anggaran Negara


Kamis, 7 Oktober 2010 18:23 WIB

Jakarta, (tvOne)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana mengeluarkan instruksi presiden (inpres) dan
peraturan presiden tentang aturan penghematan anggaran negara di seluruh jajaran pemerintahan
mulai 2011.

Untuk itu, Presiden akan segera membentuk tim evaluasi untuk meneliti seluruh pos anggaran
yang bisa dihemat pada seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah.

"Akan dibentuk tim untuk mengevaluasi, meneliti, seluruh jajaran pemerintah termasuk
pemerintah daerah, yang mana belanja rutin yang tidak diperlukan. Selama ini barangkali
digunakan, tetapi setelah diteliti, dievaluasi, tidak diperlukan, harus dihentikan yang berarti ini
penghematan," tuturnya sebelum memulai rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan,
Jakarta, Kamis (7/10).

Setelah tim evaluasi itu bekerja, Presiden kemudian akan mengeluarkan inpres dan perpres guna
mengatur penghematan secara konkret di seluruh jajaran pemerintah mulai 2011.
Presiden mengimbau kepada seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah, agar tidak menghabis-
habiskan anggaran untuk hal tidak berguna mendekati akhir tahun. Sehingga sisanya dapat
dikembalikan pada negara

"Jangan lantas dicari-cari, dihabis-habiskan. Kalau memang tidak dipakai, ada sisa,
dikembalikan pada negara. Jadi jangan mumpung-mumpung. Itu sumber penyimpangan,
pemborosan," katanya.

Presiden pun mencontohkan rumah tangga kepresidenan selalu mengembalikan sisa anggaran
pada akhir tahun selama lima tahun berturut-turut.

Pada 2005, kata dia, dikembalikan sebanyak Rp36 miliar, pada 2006 sebesar Rp61 miliar, Rp80
miliar pada 2007, Rp61 miliar pada 2008, dan Rp60 miliar pada 2009.

Untuk melakukan penghematan anggaran negara, Presiden Yudhoyono juga seringkali menolak
permohonan izin perjalanan dinas ke luar negeri yang diajukan oleh kepala daerah. (Ant)

Beban Anggaran Negara


Ditulis oleh Redaksi   
Kamis, 28 Januari 2010 19:30
Jakarta, Kompas -- Banyaknya lembaga baru, terutama yang
dibentuk untuk membantu presiden, dinilai telah memberatkan
anggaran negara. Dari tahun ke tahun, belanja pegawai terus
meningkat. Untuk itu, pemerintah diharapkan bisa mengurangi
atau menggabungkan lembaga-lembaga tersebut.

”Lingkaran dalam” Presiden misalnya mengalami penambahan,


seperti staf khusus presiden/wakil presiden, Dewan Pertimbangan
Presiden (Wantimpres), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia
Hukum, dan tim ad hoc lainnya.
”Sebagian besar lembaga baru dibentuk melalui undang-undang. Seharusnya ketika membuat
undang-undang tidak perlu ada komisi baru,” kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri, Rabu (27/1).

Penambahan staf di ”lingkaran dalam”, ujar Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan, membuat belanja pegawai di APBN
Tahun 2010 membengkak. ”Dengan tambahan staf dan jabatan baru, ada beban baru yang harus
ditanggung negara,” kata Yuna.
Data Fitra, dalam lima tahun terakhir belanja pemerintah pusat didominasi belanja subsidi.
Namun, pada 2010 justru belanja terbesar adalah belanja pegawai, sebesar Rp 160,364 triliun.
Jumlahnya lebih besar dibandingkan subsidi rakyat, yang mencapai Rp 157,82 triliun.

Dari tahun ke tahun belanja pegawai terus naik. Pada 2005 belanja pegawai Rp 54,254 triliun,
pada 2006 naik menjadi Rp 73,252 triliun, dan terus naik menjadi Rp 90,425 triliun pada 2007.
Pada 2008 naik lagi menjadi Rp 112,829 triliun dan melonjak hingga Rp 143,555 triliun pada
2009.

Bakal direvisi

Mantan Ketua Panitia Anggaran DPR, yang kini Ketua Komisi XI Emir Moeis, mengaku,
anggaran lembaga kepresidenan dipastikan bakal membengkak sehingga pemerintah pasti akan
mengajukan revisi kembali pada perubahan APBN 2010 ini.

Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz mengakui, pada pembahasan APBN 2010, akhir
tahun lalu, pemerintah memotong Rp 2 triliun dalam belanja pegawai yang sebesar Rp 161 triliun
untuk dimasukkan dalam pos belanja lain-lain.

Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah anggaran Wantimpres
dialokasikan dadakan dan belum dimasukkan dalam APBN 2010. ”Wantimpres sudah ada sejak
Kabinet Indonesia Bersatu I. Oleh sebab itu, alokasi anggaran sudah masuk dalam APBN 2010
pada bagian anggaran Sekretariat Negara sebesar Rp 34,5 miliar,” ujar Sri Mulyani.
(SIE/IDR/HAR)

Seperempat Anggaran Negara untuk Bangun Jalan di Papua


Kamis, 22 April 2010 | 17:00 WIB

Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekitar 25 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan 2010 untuk sektor infrastruktur dialokasikan untuk pembangunan jalan di wilayah
Papua. Kementerian ini mendapatkan Rp 805 miliar dari APBN Perubahan.

“Dari jumlah itu Rp 238 miliar dialokasikan untuk (peningkatan ruas jalan) Papua. Selebihnya
sebagian besar untuk infrastruktur pengairan,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto di
sela acara peringatan “Hari Air Dunia” di Jakarta, Kamis (22/4).

Terdapat 11 ruas jalan di Papua yang sedang dibangun dan menjadi prioritas pembangunan
infrastruktur. 11 ruas jalan itu adalah Sorong-Makbon-Mega (88 Km), Sorong-Klamono-
Ayamaru-Kebar-Manokwari (536 Km), Manokwari-Bintuni (253 Km), Fakfak-Hurimber-
Bomberay (161 Km), Nabire-Wagete-Enarotali (262 Km), Timika-Mapurujaya-Pomako (42
Km), Serui-Menawi-Saubeba (49 Km), Jayapura-Wamena-Mulia (733 Km), Jayapura-Sarmi
(364 Km), Jayapura-Hamadi-Holtekamp-Bts. Papua Nugini (53 Km), Merauke-Woropko (557
Km).

Selama kurun waktu 2005 sampai 2009, Kementerian Pekerjaan Umum telah mengalokasikan
lebih dari Rp 2,343 triliun untuk pembangunan jalan di Papua dan Rp 1,219 triliun untuk Papua
Barat.

Selain untuk Papua, alokasi APBN Perubahan juga dibagi untuk pembangunan jalan di koridor
ekonomi, yaitu jalur Lintas Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa, Lintas Selatan Kalimantan,
Lintas Barat Sulawesi, dan jalur timur mulai Bali, Lombok sampai Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Sesuai dengan arahan Presiden di Tampak Siring kemarin supaya kita meningkatkan domestic
connectivity untuk mendukung perokonomian nasional,” ujar Djoko. Ia menambahkan jalan di
koridor ini harus ditingkatkan ke kondisi mantap.

Belum semua jalan yang termasuk koridor ekonomi terhubung. Misalnya jalur lintas selatan
Kalimantan. Meski sudah tersambung tetapi belum semua jalur terpoles dengan aspal.
Sedangkan di lintas barat Sulawesi meski konstruksi beton sudah terpasang namun belum semua
jalur sudah terhubung. “Kita usahakan supaya ini cepat diselesaikan. Tetapi tentu secara
bertahap,” katanya.

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak mengatakan, total panjang jalan yang
dibangun di koridor ekonomi selama lima tahun mendatang akan mencapai 20.000 kilometer.
“Anggaran untuk ini akan dialokasikan secara bertahap melalui APBN 2010-2014 secara
bertahap. Sampai kondisinya baik seluruhnya,” ujarnya.

Anggaran Negara Surplus Rp 38 Triliun


Sementara itu, realisasi defisit anggaran mencapai Rp 87,2 triliun atau
1,6 persen PDB.
Jum'at, 1 Januari 2010, 18:01 WIB
Arinto Tri Wibowo, Agus Dwi Darmawan
foto ilustrasi audit  
BERITA TERKAIT

 Pegawai Depkeu Tak Bisa Nikmati Tahun Baru


 Realisasi Defisit Anggaran Rp 119 Triliun
 Realisasi Pendapatan Negara Rp 637 Triliun
 Minyak Tembus US$ 75, APBN Masih Aman
 Pembiayaan APBN Tinggal Rp 18 Triliun Lagi

VIVAnews - Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2009
jauh lebih baik. Hal tersebut tercermin dari realisasi defisit anggaran yang mencapai Rp 87,2
triliun (1,6 persen Produk Domestik Bruto/PDB).
Defisit anggaran itu lebih rendah dari target Rp 129,8 triliun (2,4 persen PDB). Selain itu,
terdapat surplus anggaran sekitar Rp 38 triliun.

Kepala Biro Humas Departemen Keuangan Harry Z Soeratin dalam siaran pers Departemen
Keuangan di Jakarta, Jumat 1 Januari 2010, menyatakan pencapaian kinerja APBN-P 2009
tersebut berasal dari realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp 866,8 triliun atau 0,5
persen di bawah target, belanja negara Rp 954 triliun atau 4,7 persen di bawah pagu, dan
pembiayaan anggaran Rp 125,2 triliun.

Untuk realisasi pendapatan negara dan hibah tersebut ditentukan oleh penerimaan perpajakan
yang mencapai Rp 641,2 triliun, atau 1,7 persen lebih rendah dari target.

Kondisi tersebut sebagai dampak dari perlambatan kegiatan ekonomi di dalam negeri serta
perdagangan luar negeri akibat krisis global, yang sangat mempengaruhi penerimaan pajak
penghasilan.

Selain itu, realisasi pendapatan negara dan hibah tersebut ditentukan oleh penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) yang mencapai Rp 224,5 triliun, atau 3 persen lebih tinggi dari rencana.

Realisasi yang lebih tinggi tersebut terutama ditunjang oleh kenaikan PNBP SDA Non-Migas
dan PNBP lainnya.

Sementara itu, realisasi belanja negara mencapai Rp 954 triliun, atau 4,7 persen di bawah pagu
tersebut berasal dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 645,4 triliun, atau 6,7 persen lebih
rendah dari rencana.

Realisasi tersebut dipengaruhi oleh belanja kementerian/lembaga yang mencapai Rp 301,6 triliun
atau sekitar 96 persen dari pagu. Penyerapan anggaran ini jauh lebih tinggi dari penyerapan
belanja tahun sebelumnya yang kurang dari 90 persen.

Sementara itu, realisasi subsidi energi (bahan bakar minyak (BBM) dan listrik) sebesar Rp 94,6
triliun, atau 5,4 persen lebih rendah dari target. Rendahnya realisasi subsidi energi itu terutama
berasal dari penghematan subsidi BBM karena realisasi harga Mean Oil Platts Singapore
(MOPS) yang lebih rendah.

Di sisi lain realisasi subsidi non-energi sebesar Rp 64,9 triliun, atau 11,5 persen lebih tinggi dari
target, karena pembayaran kekurangan subsidi pajak BBM tahun-tahun sebelumnya.

Untuk transfer ke daerah sebesar Rp 308,6 triliun, atau tidak jauh dari target Rp 309,3 triliun.

Sedangkan realisasi pembiayaan anggaran sebesar Rp 125,2 triliun terutama dipengaruhi


penerbitan Surat Berharga Negara (neto) sebesar Rp 99,4 triliun, atau sesuai dengan target
APBN-P 2009.

Você também pode gostar